Anda di halaman 1dari 38

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A218036


**Pembimbing/ dr. Vivi, Sp.A

Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus

Oleh:
Khoirunnisa Sarabayan Pazka
G1A218036

Pembimbing: dr. Vivi, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Case Report Session (CRS)

BRONKOPNEUMONIA BERAT
Oleh
Khoirunnisa Sarabayan pazka (G1A218036)

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas


Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Raden Mattaher Jambi
Program Studi Profesi Dokter Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Jambi, Juli 2019

Pembimbing

dr. Vivi, Sp.A

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Clinical
Report Session ini dengan judul “Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus”
Laporan ini merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Ilmu Kesehatan Anak RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan
dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada dr. Vivi, Sp.A selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan sehingga laporan Clinical Report Session ini dapat terselesaikan dengan
baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Clinical
Report Session ini.
Penulis menyadari bahwa refrat ini masih banyak kekurangannya, untuk
itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.
Sebagai penutup semoga kiranya Clinical Report Session ini dapat bermanfaat
bagi kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Juli 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul....................................................................................................... i
Halaman Pengesahan ............................................................................................ ii
Kata Pengantar ...................................................................................................... iii
Daftar Isi................................................................................................................ iv
Bab I Pendahuluan .............................................................................................. 1
Bab II Laporan kasus............................................................................................ 2
Bab III Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 15
3.1 Definisi ............................................................................................... 15
3.2 Epidemiologi ....................................................................................... 15
3.3 Etiologi ................................................................................................ 17
3.4 Klasifikasi ........................................................................................... 17
3.5 Patogenesis .......................................................................................... 19
3.6 Manifestasi Klinis ............................................................................... 21
3.7 Diagnosis ............................................................................................. 22
3.8 Diagnosis Banding .............................................................................. 25
3.9 Penatalaksanaan .................................................................................. 25
3.10 Komplikasi ........................................................................................ 28
3.11 Prognosis ........................................................................................... 28
Bab IV Analisa Kasus ............................................................................................ 29
Bab V Kesimpulan ............................................................................................... 31
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 33

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu bentuk Glomerulonefritis Akut (GNA) yang paling sering terjadi
pada anak di negara berkembang adalah setelah infeksi bakteri streptokokus beta
hemolitikus grup A, yaitu Glomerulonefritis Akut Pasca infeksi Streptokokus
(GNAPS). Manifestasi klinis yang paling sering dari GNAPS berupa sindrom
nefritik akut, manifestasi klinis lainnya dapat berupa sindrom nefrotik, atau
glomerulonefritis progresif cepat.

GNAPS dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia
6-7 tahun. Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan sebaran usia 2,5-
15 tahun dengan rerata usia tertinggi 8,46 tahun dan rasio laki laki : perempuan =
1,34:1.1 Biasanya kasus terjadi pada kelompok sosioekonomi rendah, berkaitan
dengan higiene yang kurang baik dan jauh dari tempat pelayanan kesehatan.

Angka kejadian GNAPS sukar ditentukan mengingat bentuk asimtomatik


lebih banyak dijumpai daripada bentuk simtomatik. World Health Organization
(WHO) mempekirakan 472.000 kasus GNAPS terjadi setiap tahunnya secara
global dengan 5.000 kematian setiap tahun. Di negara maju, insiden GNAPS
berkurang akibat sanitasi yang lebih baik, pengobatan dini penyakit infeksi,
sedangkan di negara sedang berkembang insiden GNAPS masih banyak
dijumpai.2 Di Indonesia & Kashmir, GNAPS lebih banyak ditemukan pada
golongan sosial ekonomi rendah, masing – masing 68,9%1 dan 66,9%.3

5
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : An. A
Umur : 6 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
BB : 8,5 Kg
PB : 70 cm
Alamat : Taman batu aji indah blok BE 05
Nama Ayah : Tn. R
Umur : 32 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Nama Ibu : Ny. y
Umur : 30 tahun
Pekerjaan : IRT
Tanggal Masuk : 23 Maret 2019

2.2 Anamnesis
Keluhan utama : Sesak napas
Keluhan tambahan : Batuk, pilek, demam
Riwayat perjalanan penyakit
Pasien datang ke IGD RSUD Raden Mattaher diantar oleh kedua orang tua
dengan keluhan sesak napas sejak ± 2 hari SMRS. Awalnya pasien demam
sejak ± 3 hari SMRS, demam naik turun dan hanya turun dengan pemberian obat
penurun panas. Demam tidak diikuti dengan berkeringat dan menggigil serta tidak
ada mimisan. ± 2 hari SMRS pasien menderita batuk berdahak yang disertai
sesak napas. Mual (-), muntah (-), BAK dan BAB tidak ada keluhan.

6
Ibu pasien mengatakan 1 hari SMRS sesak napas semakin memberat,
kemudian pasien dibawa berobat ke RS Anisa. Kemudian dari RS Anisa pasien
dirujuk ke RSUD Raden Mattaher untuk tindakan lebih lanjut.

Riwayat penyakit dahulu


Keluhan sesak napas, batuk, dan demam tidak ada

Riwayat penyakit keluarga


Di dalam keluarga tidak ada yang menderita batuk berdahak. Ayah pasien
memiliki kebiasaan merokok sejak ± 12 tahun yang lalu.

Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit


 Riwayat kehamilan dan kelahiran
 Masa kehamilan : Aterm
 Partus : Normal
 Ditolong oleh : Bidan
 Tanggal : 22 September 2018
 Berat badan lahir : 3200 gram
 Panjang badan : Ibu lupa
 Riwayat makanan
*ASI : + (usia 3 bln) *Telur :+
*Susu formula :+ *Tempe dan tahu :+
*Bubur nasi :+ *Daging, ikan :+
*Nasi tim/lembek : - *Sayur dan buah :+
*Nasi biasa :-

7
 Riwayat imunisasi
 BCG :+
 Polio :+
 DTP :+
 Campak :-
 Hepatitis :+
 Kesan : Imunisasi dasar lengkap
 Riwayat keluarga
 Perkawinan : Orang tua menikah
 Umur :
Ayah : 32 tahun
Ibu : 30 tahun
 Saudara :-
 Riwayat perkembangan
 Gigi pertama : Belum tumbuh
 Tengkurap : 4 bulan
 Merangkak : Belum dapat dilakukan
 Duduk : Belum dapat dilakukan
 Berdiri : Belum dapat dilakukan
 Berjalan : Belum dapat dilakukan
 Berbicara : Belum dapat dilakukan
 Sering mimpi :-
 Aktifitas : Aktif
 Membangkang :-
 Ketakutan :-
 Kesan : Tidak bisa dinilai

8
Status gizi

BB/U
Persentile > 3

9
PB/U
Persentile > 3

10
BB/PB
Persentile 0 s/d 1

11
Riwayat penyakit yang pernah diderita
*Parotitis :- *Batuk/pilek : (+)
*Pertusis :- *Muntah berak :-
*Difteri :- *Asma :-
*Tetanus :- *Cacingan :-
*Campak :- *Patah tulang :-
*Varicella :- *Jantung :-
*Thypoid :- *Sendi bengkak : -
*Malaria :- *Kecelakaan :-
*DBD :- *Operasi :-
*Demam menahun : - *Keracunan :-
*Radang paru :- *Sakit kencing :-
*TBC :- *Sakit ginjal :-
*Kejang :- *Alergi :-
*Lumpuh :- *Perut kembung :-
*Otitis Media :-

2.3 Pemeriksaan Fisik


 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 GCS : E4M6V5 = 15
 Pengukuran
o Tanda vital
Nadi : 120 x/menit, kuat angkat
RR : 50 x/menit, teratur
Suhu : 37.5 0C
o Berat badan : 8,5 kg
o Panjang badan : 70 cm
 Kulit
Pucat :-
Sianosis :-

12
Lain-lain : Petekie (-), Purpura (-)
 Kepala
Bentuk : Normochepal, tanda-tanda trauma (-)
o Rambut
Warna : Hitam, merata, tidak mudah dicabut
Alopesia :-
Lain-lain : Dalam Batas Normal
Wajah :
o Mata
Palpebra : Edema (-), cekung (-)
Alis : Hitam
Konjungtiva : Anemis (-)
Sklera : Ikterik (-)
Pupil : Isokor, refleks cahaya (+/+)
o Telinga
Bentuk : Simetris
Sekret :-
Serumen :-
Nyeri tekan :-
o Hidung
Bentuk : Simetris
Sekret :+
Epistaksis :-
Lain-lain : Napas cuping hidung (+)
o Mulut dan Gigi
Bentuk : Simetris
Bibir : Kering (-), Sianosis (-)
Karies :-
o Faring
Hiperemis :-
Edema :-

13
Membran/pseudomembran : -
o Tonsil
Warna : Merah muda
Ukuran : T1/T1
Abses :-
Membran/pseudomembran : -
o Leher
Pembesaran KGB: -
Kaku kuduk :-
Massa :-
 Thoraks
Paru
o Inspeksi
Bentuk : Simetris
Retraksi :+
Pernapasan : Thorakoabdominal
Sternum : Deviasi (-)
o Palpasi : Fremitus taktil (+)
o Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
o Auskultasi
Suara nafas dasar : Bronkovesikuler (+/+)
Suara nafas tambahan : Ronkhi (+/+) basah halus nyaring di
seluruh lapangan paru, wheezing (-/-).
Jantung
o Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
o Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V linea midclavikularis
sinistra
o Perkusi
Batas kiri : ICS V linea midclavikularis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra

14
o Auskultasi
Suara dasar : Bunyi jantung I/Bunyi jantung II, reguler
Bising : Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
o Inspeksi
Bentuk : Cembung
o Auskultasi : Bising usus (+) normal
o Palpasi
Nyeri tekan :-
Nyeri lepas :-
Hati : Hepatomegali (-)
Lien : Splenomegali (-)
Ginjal : Perbesaran (-), massa (-)
Massa : (-)
o Perkusi : Timpani
o Ascites :-
 Ekstremitas
Atas : Edema (-), sianosis (-), CRT < 2detik
Bawah : Edema (-), sianosis (-), CRT < 2 detik

2.4 Pemeriksaan Penunjang


 Darah Lengkap (23-03-2019)
Indikator Hasil Satuan
WBC 4,96 109/L
RBC 4,19 1012/L
HGB 10,1 g/dL
HCT 28,9 %
PLT 376 109/L

15
 Pemeriksaan radiologi (23-03-2019)

Ro Thoraks AP
Cor : CTR dalam batas normal
Pulmo : Hilus menebal, adanya infiltrat peribronkial. Sinus costofrenicus dan
diafragma baik.
Kesan : Bronkopneumonia

2.5 Diagnosis Banding


Dyspneu e.c Bronkopneumonia
Dyspneu e.c Bronkiolitis

2.6 Diagnosis Kerja


Dyspneu e.c Bronkopneumonia Berat

2.7 Tatalaksana
 O2 nasal 2 L/menit
 IVFD D5 ¼ NS 500 cc/24jam
 Inj. Cefotaxime 500 mg + D5 50 cc/18 jam
 Inj. Dexamethason 2 x 1.5 mg – Ns 2 cc

16
 Nebu ventolin 1 cc + ns 2 cc/4jam
 Nebu pulmicort 1 cc + ns 2 cc /4jam

2.8 Prognosis
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad malam

17
FOLLOW UP

Tanggal Subject Object Assessment Planning


PF Tatalaksana
Thorax: Retraksi (+)  O2 nasal 2 L/menit
Pulmo : vesikuler (-/-),  IVFD D5 ¼ NS 500
RK (+/+),WZ (-/- cc/24jam
)  Inj. Cefotaxime 500 mg +
D5 50 cc/18 jam
Sesak(+), Dyspneu e.c
24-03-2019 TTV  Inj. Dexamethason 2 x 1.5
Batuk (+) 0 bronkopneu
(Picu) N : 107 x/i T : 36.3 C mg – Ns 2 cc
Pilek (+) monia berat
RR : 48 x/i SpO2 : 98%  Nebu ventolin 1 cc + ns 2
cc/4jam
 Nebu pulmicort 1 cc + ns 2
cc /4jam
 Diet enteral Low Lactosa 8
x 20 cc
PF Tatalaksana
Thorax: Retraksi (-)  O2 nasal 2 L/menit
Pulmo : vesikuler (-/-),  IVFD D5 ¼ NS 500
RK (+/+),WZ (-/- cc/24jam
)  Inj. Cefotaxime 500 mg +
D5 50 cc/18 jam
Sesak(-), Dyspneu e.c
25-03-2019 TTV  Inj. Dexamethason 2 x 1.5
Batuk (+) 0 bronkopneu
(Picu) N : 110 x/i T : 36.1 C mg – Ns 2 cc
Pilek (+) monia berat
RR : 46 x/i SpO2 : 98%  Nebu ventolin 1 cc + ns 2
cc/4jam
 Nebu pulmicort 1 cc + ns 2
cc /4jam
 Diet enteral Low Lactosa 8
x 20 cc

18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus


3.1 Definisi

Glomerulonefritis adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk


menjelaskan berbagai macam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan
inflamasi di glomerulus akibat suatu proses imunologis.1 Pada
glomerulonefritis pasca infeksi, proses inflamasi terjadi dalam glomerulus yang
dipicu oleh adanya reaksi antigen antibodi, selanjutnya menyebabkan aktifasi
lokal dari sistem komplemen dan kaskade koagulasi. Kompleks imun dapat
terjadi dalam sirkulasi atau in situ pada membran basalis glomerulus.2,3

Glomerulonefritis akut yang paling sering terjadi pada anak di negara


berkembang adalah Glomerulonefritis Akut Pasca infeksi Streptokokus (GNAPS)
yang merupakan suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara histopatologi
menunjukkan proliferasi & Inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi group
A β-hemolytic streptococci (GABHS) dan ditandai dengan gejala nefritik seperti
hematuria, edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara akut.

3.2 Epidemiologi
GNAPS sering terjadi pada anak usia 5-12 tahun, jarang pada anak di bawah
3 tahun. Penyebabnya karena pada usia 5-12 tahun merupakan usia sekolah, di
mana mudah terpapar dengan agen infeksi.2,3 Sekitar 97% kasus GNAPS terjadi
di negara berkembang dan berkurang di negara industri atau negara maju.1
Terbukti, selama 2-3 dekade terakhir, kejadian GNAPS telah menurun di Amerika
Serikat dan juga di negara lain, seperti Jepang, Eropa Tengah, Inggris Raya dan
korea selatan.2,3 Hal ini berkaitan dengan kondisi higiene yang baik, lingkungan
yang sehat, serta penggunaan antibiotik.1,2 WHO memperkirakan kasus GNAPS
terjadi kira-kira 472 000 kasus setiap tahunnya secara global dengan 5000
kematian setiap tahunnya. Kira-kira 404 000 kasus di laporakan terjadi pada anak-
anak dan 456 terjadi pada negara berkembang. 4

19
Umumnya GNAPS terjadi pada daerah beriklim tropis dan biasanya berdampak
pada anak-anak dengan tingkat ekonomi yang rendah. Penyakit ini biasanya terjadi
secara sporadik tetapi peningkatan insidensi kasus terjadi secara epidemik pada
tempat dengan komunitas yang memiliki populasi tempat tinggal di lingkungan yang
padat penduduk, higiene kurang baik, kondisi dengan insidens malnutrisi yang tinggi.
Indonesia merupakan negara beriklim tropis. Sebanyak 68,9% penderita GNAPS
berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi yang rendah dan 82% pada keluarga
berpendidikan rendah.

3.3 Etiologi
GNAPS biasanya mengikuti 1 hingga 2 minggu setelah faring
infeksi dan 2 hingga 4 minggu setelah infeksi kulit disebabkan
oleh strain nefritogenik kelompok A - hemolytic streptococcus. Serotipe yang
terlibat dalam infeksi faring dan kulit masing-masing adalah tipe M 1,3,4,12,25,49
dan tipe M 2,49,55,57,60; 12 dan 49 adalah paling umum. Namun, baru-baru ini
telah ditemukan bahwa glomerulonefritis dapat terjadi dari streptokokus
kelompok C, seperti yang disebutkan sebelumnya membuat jelas bahwa fraksi
antigenik yang mampu menyebabkan nefritis dibagi oleh banyak streptokokus.

3.4 Patogenesis dan Patofisiologi


Mekanisme dari pathogenesis terjadinya jejas glomerulus pada GNAPS
sampai sekarang belum diketahui, meskipun telah diduga terdapat sejumlah
faktor host dan faktor kuman streptokokus yang berhubungan dalam terjadinya
GNAPS.
Faktor host
Penderita yang terserang infeksi kuman streptokokus grup A strain
nefritogenik, hanya 10-15% yang berkembang menjadi GNAPS, mengapa hal
ini demikian masih belum dapat diterangkan, tetapi diduga beberapa faktor ikut
berperan.3 GNAPS menyerang semua kelompok umur dimana kelompok umur
5-15 tahun (di Indonesia antara umur 2.5 – 15 tahun, dengan puncak umur 8.4
tahun) merupakan kelompok umur tersering dan paling jarang pada bayi. Anak

20
laki-laki menderita 2 kali lebih sering dibandingkan anak wanita. Rasio anak
laki-laki dibanding anak wanita adalah 76.4%:58.2% atau 1.3:1.6 GNAPS lebih
sering dijumpai di daerah tropis dan biasanya menyerang anak-anak dari
golongan ekonomi rendah. Di Indonesia 68.9% berasal dari keluaga sosial
ekonomi rendah dan 82% dari keluarga berpendidikan rendah.6 Keadaan
lingkungan yang padat, higiene sanitasi yang jelek, malnutrisi, anemia, dan
infestasi parasit, merupakan faktor risiko untuk GNAPS, meskipun kadang-
kadang outbreaks juga terjadi dinegara maju. Faktor genetik juga berperan,
misalnya alleles HLA-DRW4, HLA-DPA1 dan HLA-DPB1 paling sering
terserang GNAPS.

Faktor kuman streptokokus


Proses GNAPS dimulai ketika kuman streptokokus sebagai antigen masuk
kedalam tubuh penderita,yang rentan, kemudian tubuh memberikan respon
dengan membentuk antibodi. Bagian mana dari kuman streptokokus yang
bersifat antigen masih belum diketahui. Beberapa penelitian pada model
binatang dan penderita GNAPS menduga yang bersifat antigenik adalah: M
protein, endostreptosin, cationic protein, Exo-toxin B, nephritis plasmin-
binding protein dan streptokinase.3 Kemungkinan besar lebih dari satu antigen
yang terlibat dalam proses ini, barangkali pada stadium jejas ginjal yang
berbeda dimungkinkan akibat antigen M protein dan streptokinase.3,7
Protein M adalah suatu alpha-helical coiled-coil dimer yang terlihat sebagai
rambut- rambut pada permukaan kuman. Protein M menentukan apakah strain
kuman tersebut bersifat rematogenik atau nefritogenik. Strain nefritogenik
dibagi menjadi serotype yang berkaitan dengan faringitis (M 1, 4, 12, 25) dan
serotipe infeksi kulit (M 2, 42, 49, 56, 57, 60).2,3,8 Streptokinase adalah protein
yang disekresikan oleh kuman streptokokus, terlibat dalam penyebaran kuman
dalam jaringan karena mempunyai kemampuan memecah plasminogen menjadi
plasmin. Streptokinase merupakan prasarat terjadinya nefritis pada GNAPS.

Saat ini penelitian lebih menitikberatkan terhadap protein M yang terdapat


pada streptokokus sebagai tipe nefritogenik yang dapat menyebabkan kerusakan

21
glomerulus. Selain itu penelitian-penelitian terahir menemukan adanya dua
fraksi antigen, yaitu nephritis associated plasmin receptor (NAPlr) yang
diidentifikasi sebagal glyceraldehide 3-phosphate dehydrogenase (GAPDH) dan
streptococcal pyrogenic exotoxin B (SPEB) sebagai fraksi yang menyebabkan
infeksi nefritogenik. NAPlr dan SPEB didapatkan pada biopsi ginjal dini dan
menyebabkan terjadinya respon antibody diglomerulus. Penelitian terbaru pada
pasien GNAPS memperlihatkan deposit SPEB di glomerulus lebih sering terjadi
daripada deposit NAPlr.
Mekanisme terjadinya jejas renal pada GNAPS
GNAPS adalah suatu penyakit imunologik akibat reaksi antigen-antibodi yang
terjadi dalam sirkulasi atau in situ dalam glomerulus. Mekanisme terjadinya
inflamasi yang mengakibatkan terjadinya jejas renal didahului oleh proses:
1. Terbentuknya plasmin sebagai akibat pemecahan plasminogen oleh
streptokinase yang akan menaktivasi reaksi kaskade komplemen.
2. Terperangkapnya kompleks Ag-Ab yang sudah terbentuk sebelumnya
kedalam glomerulus.
3. Antibodi antistreptokokus yang telah terbentuk sebelumnya berikatan
dengan molekul tiruan (molecul mimicry) dari protein renal yang
menyerupai Ag Streptokokus (jaringan glomerulus yang normal yang
bersifat autoantigen).
Proses terjadinya jejas renal pada GNAPS diterangkan pada gambar berikut:

Gambar . Mekanisme imunopatogenik GNAPS

22
Imunitas selular juga turut berperan pada GNAPS, karena dijumpainya
infiltrasi sel-sel limfosit dan makrofog pada jaringan hasil biopsi ginjal. Infiltrasi
sel-sel imunokompeten difasilitasi oleh sel-sel molekul adhesi ICAM – I dan LFA
– I, yang pada gilirannya mengeluarkan sitotoksin dan akhirnya dapat merusak
10,11
membran basalis glomerulus.

Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan


filtrasi glomeruli berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal biasanya normal.
Hal tersebut akan menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di bawah 1%.
Keadaan ini akan menyebabkan reabsorbsi di tubulus proksimalis berkurang yang
akan mengakibatkan tubulus distalis meningkatkan proses reabsorbsinya,
termasuk Na, sehingga akan menyebabkan retensi Na dan air.

Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na dan air


10,11
didukung oleh keadaan berikut ini:

1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses radang di


glomerulus.
2. Overexpression dari epithelial sodium channel.

3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin intrarenal.

Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na dan


air, sehingga dapat menyebabkan edema dan hipertensi.

Efek proteinuria yang terjadi pada GNAPS tidak sampai menyebabkan


edema lebih berat, karena hormon-hormon yang mengatur ekpansi cairan
ekstraselular seperti renin angiotensin, aldosteron dan anti diuretik hormon
(ADH) tidak meningkat. Edema yang berat dapat terjadi pada GNAPS bila ketiga
hormon tersebut meningkat.

3.5 Manifestasi Klinis


GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15 tahun dan jarang pada
usia di bawah 2 tahun. GNAPS didahului oleh infeksi GABHS melalui infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) atau infeksi kulit (piodermi) dengan periode laten

23
1-2 minggu pada ISPA atau 3 minggu pada pioderma. Penelitian multisenter di
Indonesia menunjukkan bahwa infeksi melalui ISPA terdapat pada 45,8% kasus
sedangkan melalui kulit sebesar 31,6%.
Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai
gejala yang khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada bentuk simtomatik
baik sporadik maupun epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui bila terdapat
kelainan sedimen urin terutama hematuria mikroskopik yang disertai riwayat
kontak dengan penderita GNAPS simtomatik.

GNAPS simtomatik

1. Periode laten :

Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi
streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu; periode
1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA, sedangkan
periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi
di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini berlangsung kurang dari 1 minggu,
maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain, seperti eksaserbasi dari
glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-
Schöenlein atau Benign recurrent haematuria.

2. Edema
Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan
menghilang pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah
periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan
hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema
skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik. Distribusi edema bergantung pada 2
faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada
palpebra sangat menonjol waktu bangun pagi, karena adanya jaringan longgar pada
daerah tersebut dan menghilang atau berkurang pada siang dan sore hari atau
setelah melakukan kegitan fisik. Hal ini terjadi karena gaya gravitasi. Kadang-
kadang terjadi edema laten, yaitu edema yang tidak tampak dari luar dan baru
diketahui setelah terjadi diuresis dan penurunan berat badan. Edema bersifat pitting

24
sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke jaringan interstisial yang
dalam waktu singkat akan kembali ke kedudukan semula.
3. Hematuria
Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS,4,5 sedangkan
hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Suatu penelitian
multisenter di Indonesia mendapatkan hematuria makroskopik berkisar 46- 100%,
sedangkan hematuria mikroskopik berkisar 84-100%.
Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian
daging atau berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam
minggu pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung
sampai beberapa minggu. Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama,
umumnya menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai
hematuria mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik GNAPS sudah
sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun,
sedangkan proteinuria sudah menghilang. Keadaan terakhir ini merupakan
indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat kemungkinan adanya
glomerulonefritis kronik.

4. Hipertensi

Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS.


Albar mendapati hipertensi berkisar 32-70%. Umumnya terjadi dalam minggu
pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang
lain. Pada kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90
mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup
dan diet yang teratur, tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya hipertensi
berat menyebabkan ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi yang disertai gejala
serebral, seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun dan kejang-
kejang. Penelitian multisenter di Indonesia menemukan ensefalopati hipertensi
berkisar 4-50%

25
5. Oliguria

Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan

produksi urin kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal
menurun atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya,
oliguria umumnya timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan
dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama. Oliguria bisa pula
menjadi anuria yang menunjukkan adanya kerusakan glomerulus yang berat
dengan prognosis yang jelek.

6. Gejala Kardiovaskular

Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi yang


terjadi pada 20-70% kasus GNAPS. Bendungan sirkulasi dahulu diduga terjadi
akibat hipertensi atau miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik bendungan tetap
terjadi walaupun tidak ada hipertensi atau gejala miokarditis. Ini berarti bahwa
bendungan terjadi bukan karena hipertensi atau miokarditis, tetapi diduga akibat
retensi Na dan air sehingga terjadi hipervolemia.

 Edema paru

Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat bendungan
sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya terlihat secara
radiologik. Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas, sianosis. Pada
pemeriksaan fisik terdengar ronki basah kasar atau basah halus. Keadaan ini
disebut acute pulmonary edema yang umumnya terjadi dalam minggu pertama
dan kadang-kadang bersifat fatal. Gambaran klinik ini menyerupai
bronkopnemonia sehingga penyakit utama ginjal tidak diperhatikan. Oleh
karena itu pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis yang teliti dan jangan
lupa pemeriksaan urin. Frekuensi kelainan radiologik toraks berkisar antara
62,5-85,5% dari kasus-kasus GNAPS. Kelainan ini biasanya timbul dalam
minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala-
gejala klinik lain. Kelainan radiologik toraks dapat berupa kardiomegali,
edema paru dan efusi pleura. Tingginya kelainan radiologik ini oleh karena

26
pemeriksaan radiologik dilakukan dengan posisi Postero Anterior (PA) dan
Lateral Dekubitus. Kanan (LDK).

Kelainan radiologik paru yang ditemukan pada GNAPS ini sering sukar
dibedakan dari bronkopnemonia, pnemonia, atau peradangan pleura, oleh
karena adanya ronki basah dan edema paru. Menurut beberapa penulis,
perbaikan radiologik paru pada GNAPS biasanya lebih cepat terjadi, yaitu
dalam waktu 5-10 hari, sedangkan pada bronkopnemonia atau pneumonia
diperlukan waktu lebih lama, yaitu 2-3 minggu. Atas dasar inilah kelainan
radiologik paru dapat membantu menegakkan diagnosis GNAPS walaupun
tidak patognomonik. Kelainan radiologik paru disebabkan oleh kongesti paru
yang disebabkan oleh hipervolemia akibat absorpsi Na dan air.

7. Gejala-gejala lain

Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi dan
anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat
edema atau akibat hematuria makroskopik yang berlangsung lama.

3.6 Diagnosis
Anamnesis
 Riwayat infeksi saluran nafas atas (faringitis) 1-2 minggu sebelumnya atau
infeksi kulit (pyoderma) 3-6 minggu sebelumnya.
 Umumnya pasien datang dengan hematuria nyata (gross hematuria) atau
sembab di kedua kelopak mata dan tungkai
 Kadang-kadang pasien datang dengan kejang dan penurunan kesadaran
akibat ensefalopati hipertensi
 Oligouria/anuria akibat gagal ginjal atau gagal jantung.
Pemeriksaan Fisik
 Sering ditemukan edema di kedua kelopak mata dan tungkai dan hipertensi
 Dapat ditemukan lesi bekas infeksi di kulit
 Jika terjadi ensefalopati, pasien dapat mengalami penurunan kesadaran dan
kejang.

27
 Pasien dapat mengalami gejala-gejala hipervolemia seperti gagal jantung,
edema paru.
Pemeriksaan Penunjang
 Urinalisis menunjukkan proteinuria, hematuria, dan adanya silinder eritrosit.
 Kreatinin dan ureum darah umumnya meningkat.
 ASTO meningkat pada 75-80% kasus.
 Komplemen C3 menurun pada hampir semua pasien pada minggu pertama.
 Jika terjadi komplikasi gagal ginjal akut, didapatkan hiperkalemia, asidosis
metabolik, hiperfosfatemia, dan hipokalsemia.

3.7 Diagnosis Banding


a. Pneumonia lobaris
Biasanya pada anak yang lebih besar disertai badan menggigil dan kejang
pada bayi kecil. Suhu naik cepat sampai 39-40oC dan biasanya tipe kontinu. Sesak
nafas (+), nafas cuping hidung (+), sianosis sekitar hidung dan mulut dan nyeri
dada. Anak lebih suka tidur pada sisi yang terkena. Pada foto rotgen terlihat
adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus.

b. Bronkiolitis
Diawali infeksi saluran nafas bagian atas, subfebris, sesak nafas, nafas
cupung hidung, retraksi intercostal dan suprasternal, terdengar wheezing, ronki
nyaring halus pada auskultasi. Gambaran labarotorium dalam batas normal, kimia
darah menggambarkan asidosis respiratotik ataupun metabolik.

c. Aspirasi benda asing


Ada riwayat tersedak

d. Atelektasis
Adalah pengembangan tidak sempurna atau kempisnya bagian paru yang
seharusnya mengandung udara. Dispnoe dengan pola pernafasan cepat dan

28
dangkal, takikardia, sianosis. Perkusi mungkin batas jantung dan mediastinum
akan bergeser dan letak diafragma mungkin meninggi.

e. Tuberkulosis
Demam > 2 minggu, batuk > 3 minggu, berat badan menurun, nafsu makan
menurun, malaise, diare persisten yang tidak membaik dengan pengobatan baku
diare. Dan biasanya terdapat kontak.

3.8 Penatalaksanaan
Prinsip terapi yang diberikan adalah: kausatif, suportif, simptomatik dan
edukasi.1,3,4
a. Oksigen
b. Pemberian cairan dan kalori yang cukup, sesuai dengan berat badan,
peningkatan suhu dan status hidrasi
c. Bila sesak tidak terlalu hebat dapat dimulai diet enteral bertahap melalui
selang nasogastrik, orogastrik maupun per oral
d. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal
e. Koreksi keseimbangan asam basa, elektrolit, gula darah
f. Pemilihan antibiotik sesuai umur, keadaan umum penderita dan dugaan
penyebab. Evaluasi pengobatan setiap 48-72 jam, bila tidak ada perbaikan
klinis dilakukan penggantian antibiotik sampai anak dinyatakan sembuh.
g. Lama pemberian antibiotik tergantung kemajuan klinis penderita, evaluasi
pemeriksaan penunjang (pemeriksaan darah, foto thorax) dan jenis kuman
penyebab. Sebagian besar membutuhkan waktu 10-14 hari, kecuali untuk
kuman staphylococcus dapat diberikan 6 minggu.
h. Keadaan imunokompromised (gizi buruk, keganasan, pengobatan steroid
jangka panjang, infeksi HIV), penyakit jantung bawaan, gangguan
neuromuskular, dan fibrosis kistik, antibiotik harus segera diberikan. Dapat
dipertimbangkan pemberian: kortimoksazol pada pneumocystic carinii,
antiviral (acyclovir, gansiclovir) pada pneumonia karena CMV, antijamur

29
(amphoterisin b, ketokonazol, fluconazol) pada pnemumonia karena jamur
dan imunoglobulin
i. Analgetik/ antipirektik untuk demamnya
j. Atasi penyakit penyerta lainnya
Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada anak <5
tahun karena efektif melawan sebagian besar patogen yang menyebabkan
pneumonia pada anak, ditoleransi dengan baik, dan murah. Alternatifnya adalah
co-amoxiclav, ceflacor, eritromisin, claritromisin, dan azitromisin
M. pneumonia lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka antibiotik
golongan makrolid diberikan sebagai pilihan pertama secara empiris pada anak >5
tahun. Makrolid diberikan jika M. pneumoniae atau C. pneumonia dicurigai
sebagai penyebab. Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika S.
pneumonia sangat mungkin sebagai penyebab. Jika S. aureus dicurigai sebagai
penyebab, diberikan makrolid atau kombinasi flucloxacillin dengan amoksisilin.
Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat menerima
obat per oral (misal karena muntah) atau termasuk dalam derajat pneumonia berat.
Pilihan antibiotik untuk penderita pneumonia baru yang datang ke IGD atau
rawat jalan yang belum pernah mendapatkan perawatan di RS lain:
a. Pneumonia ringan yang bisa rawat jalan
- Amoksisilin 50-80 mg/kgBB/hari per oral dibagi dalam 3 dosis, atau
- Amoksisilin+asam klavulanat 50 mg/kgBB/hari per oral dibagi dalam 3 dosis
b. Pneumonia yang memerlukan rawat inap
- Ampicilin 100 mg/kgBB/hari intravena dibagi dalam 4 dosis atau
- Ampicilin sulbactam 100 mg/kgBB/hari intravena dibagi dalam 4 dosis
Pneumonia yang memerlukan rawat inap yang disertai peyakit penyerta
yang menular tanpa disertai sepsis (ISK, gastroenteritis, morbili), diberikan
Ampicilin sulbactam 100 mg/kgBB/hari intravena dibagi dalam 4 dosis.
Pneumonia yang memerlukan rawat inap yang disertai sepsi, dberikan Ampicilin
sulbactam 200 mg/kgBB/hari intravena dibagi dalam 4 dosis.
Pilihan antibiotik untuk penderita pneumonia yang dirujuk dari RS lain
adalah:

30
a. Pernah mendapatkan perawatan di RS lain < 72 jam
Ampicilin sulbactam 100 mg/kgBB/hari intravena dibagi dalam 4 dosis
b. Pernah mendapatkan perawatan di RS lain > 72 jam
- Cefotaxim 50-100 mg/kgBB/hari intravena dibagi dalam 3-4 dosis
- Cefotaxim 50-100 mg/kgBB/hari intravena dibagi dalam 1-2 dosis, atau
sesuai dengan kultur dahak/darah yang ada, atau pertimbangan lain

Antibiotik untuk community acquired pneumonia:


 Neonatus - 2 bulan: Ampisilin + gentamisin
 > 2 bulan:
- Lini pertama Ampisilin bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dapat
ditambahkan kloramfenikol
- Lini kedua Seftriakson
Bila klinis perbaikan antibiotik intravena dapat diganti preparat oral dengan
antibiotik golongan yang sama dengan antibiotik intravena sebelumnya. Edukasi
kepada keluarga mengenai imunisasi, pemberian ASI yang adekuat, asupan gizi
yang cukup, serta jauhkan anak dari polusi udara dan asap rokok.

3.9 Komplikasi
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis
purulenta, pnemothorax, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta.
Empiema torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia
bakteri. Efusi pleura, abses paru dapat juga terjadi.
Ilten F dkk. melaporkan mengenai komplikasi miokarditis (tekanan sistolik
ventrikel kanan meningkat, kreatinin kinase meningkat, dan gagal jantung) yang
cukup tinggi pada seri pneumonia anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena
miokarditis merupakan keadaan yang fatal, maka dianjurkan untuk melakukan
deteksi dengan teknik noninvasifseperti EKG, ekokardiografi, dan pemeriksaan
enzim.3

3.10 Prognosis

31
Secara umum, prognosisnya adalah baik, Gangguan jangka panjang pada
fungsi paru jarang, bahkan pada anak dengan pneumonia yang telah terkomplikasi
dengan empiema dan abses paru. Sekuele yang signifikan muncul pada penyakit
adenoviral, termasuk bronkiolitis obliterans. Kematian dapat muncul pada anak
dengan kondisi yang mendasari, seperti penyakit paru kronik pada bayi prematur,
penyakit jantung bawaan, imunosupresi, malnutrisi energi. Dengan pemberian
antibiotik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan sampai kurang dari
1%.2

32
BAB IV
ANALISA KASUS

Pada kasus ini dilaporkan seorang anak berusia 6 bulan dibawa oleh kedua
orang tua nya ke IGD RSUD Raden Mattaher dengan keluhan sesak nafas ± 2 hari
SMRS. Awalnya pasien demam sejak ± 3 hari SMRS, demam naik turun dan hanya
turun dengan pemberian obat penurun panas. Demam tidak diikuti dengan berkeringat
dan menggigil serta tidak ada mimisan. ± 2 hari SMRS pasien menderita batuk
berdahak yang disertai sesak napas. Mual (-), muntah (-), BAK dan BAB tidak
ada keluhan. Ibu pasien mengatakan pasien pernah tersedak saat sedang disusui.
Ibu pasien mengatakan 1 hari SMRS sesak napas semakin memberat, kemudian
pasien dibawa berobat ke Rumah sakit Anisa. Kemudian dari RS Anisa pasien
dirujuk ke RSUD Raden Mattaher untuk tindakan lebih lanjut.
Secara teori, bronkopneumonia adalah infeksi saluran nafas bagian bawah
yang mengenai parenkim paru yang biasanya dimulai di bronkiolus terminalis
yang tersumbat oleh eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan. Penyakit ini seringnya bersifat sekunder, mengikuti
infeksi dari saluran nafas atas, demam pada infeksi spesifik dan penyakit yang
melemahkan sistem pertahanan tubuh. Pada bayi dan orang-orang yang lemah,
pneumonia dapat muncul sebagai infeksi primer. Bronkopneumonia sering
disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda
asings
Dari anamnesis, pasien menderita demam namun saat ini sudah tidak
demam lagi karena telah meminum obat penurun panas. Kemudian kemungkinan
faktor risiko pasien ini karena sering terpapar dengan asap rokok ayah nya. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan suhu 37.5 0C, nadi 120 x/menit kuat angkat,
pernafasan 50 x/menit. Terdapat nafas cuping hidung (+), retraksi (+), perkusi
sonor, vokal fremitus kedua lapangan paru normal, rhonki basah halus nyaring
(+/+), namun tidak didapatkan sianosis. Hal ini sesuai dengan teori manifestasi
klinis bronkopneumonia yaitu demam, sesak nafas, batuk, takipnue, dan
pernafasan cuping hidung. Pada pemeriksaan fisik dijumpai retraksi pada dinding

33
dada dan terdapat suara napas tambahan yaitu rhonki basah. Dari hasil
laboratorium darah rutin dan elektrolit dalam batas normal. Pada pemeriksaan
radiologis ditemukan adanya penebalan hilus dan infiltrat peribronkial yang
menandakan adanya infiltrat di bagian daerah bronkus. Namun, masih diperlukan
pemeriksaan penunjang lainnya yang mungkin dapat dilakukan untuk membantu
menunjang penegakkan diagnosis, pemeriksaan mikrobiologik, spesimen usap
tenggorokan, sekresi nasofaring, bilasan bronkus atau sputum, darah, aspirasi
trakea, pungsi pleura atau aspirasi paru dan pemeriksaan uji tuberkulin
dipertimbangkan pada anak dengan riwayat kontak dengan penderita TBC
dewasa.
Untuk tatalaksana pasien ini diberikan O2 nasal 2 L/menit, IVFD D5 ¼ NS
500 cc/24jam, Inj. Cefotaxime 500 mg + D5 50 cc/18 jam, Inj. Dexamethason 2 x
1.5 mg – Ns 2 cc, Nebu ventolin 1 cc + ns 2 cc/4jam, Nebu pulmicort 1 cc + ns 2
cc /4jam. Berdasarkan teori, terapi pada bronkopneumonia yang pertama adalah
kausatif. Dengan pemberian oksigenasi sesuai dengan kondisi pasien, pada pasien
ini diberikan O2 nasal kanul 2 L/menit. Kemudian diberikan cairan secara
intravena yaitu D5 ¼ NS 500 cc/24 jam. Perhitungan kebutuhan cairan pada
pasien dengan berat badan 8.7 kg dengan menggunakan rumus holiday segar 100
cc/kgbb/hari maka cairan yang dibutuhkan adalah 870 cc/hari atau 870 : 24 =
36,25 cc/jam (mikro).
Kemudian, diberikan antibiotik berupa Inj. Cefotaxime 500 mg + D5 50
cc/18 jam. Namun tidak menutup kemungkinan juga memakai amoksisilin 20 – 40
mg/kgbb/ hari (3x) per oral sesuai teori yang merupakan terapi pilihan pertama
untuk bronkopneumonia pada anak <5 tahun ditambah anak juga tidak mengalami
muntah, bisa juga diberikan antibiotik ceftriaxone 50 – 80 mg/kgbb/hari (1x) per
injeksi yang bersifat broadspectrum jika belum diketahui secara pasti bakteri apa
yang menyebabkan bronkopneumonia.
Pada pemeriksaan auskultasi paru pasien terdapat suara nafas tambahan
yaitu suara ronkhi basah halus nyaring yang dicurigai akibat penumpukan sekret
maka diberikan nebu ventolin yang berfungsi sebagai bronkodilator, pulmicort
sebagai kortikosteroid untuk menekan proses inflamasi. Dapat juga dikonsulkan

34
ke fisiotherapis untuk dilakukan chest fisioterapi untuk membantu pengeluaran
dahak.

35
BAB V
KESIMPULAN

Bronkopneumonia adalah suatu peradangan pada parenkim paru yang


terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus
disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh
bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur, mikoplasma dan benda
asing yang teraspirasi dengan akibat timbulnya ketidakseimbangan ventilasi
dengan perfusi.
Etiologi pada neonatus dan bayi kecil meliputi streptococcus grup B dan
Bakteri gram negatif seperti E.coli, Pseudomonas sp, Klebsiella sp. Pada bayi
yang lebih besar dan balita seringnya disebabkan oleh infeksi Streptococcus
Pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B dan Staphylococcus auereus.
Gambaran klinis bronkopneumonia pada bayi dan anak, seperti: demam,
sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal.
Gambaran gangguan respiratori: batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipnea, napas
cuping hidung, penggunaan otat pernafasan tambahan, air hunger, sianosis,
merintih, ronki basah halus, mengi dan penurunan suara nafas.
Prinsip terapi yang diberikan adalah kausatif, suportif, simtomatis dan
edukasi. Dengan pemberian oksigen, cairan intravena, koreksi keseimbangan
asam basa, elektrolit, gula darah, analgetik/ antipirektik untuk demamnya dan
antibiotik.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman Richard et all. Nelson textbook of Pediatrics sanders : Phyladelpia.


2009
2. Price SA, Wilson LM, 1995, Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease
Processes (Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit), Edisi 4,
Penerbit EGC, Jakarta, hal: 709-712.
3. Sidhartani M. Pneumonia dalam : Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama.
Jakarta: UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008: 350-65.
4. Pudjiaji AH, Hegar Badriul, Handryastuti S, dkk. Pneumonia dalam: Pedoman
Pelayanan Medis IDAI, Jilid I. Jakarta. Badan Penerbit IDAI. 2010. 250-55
5. Bradley J.S., et al. (2011). The Management of Community-Acquired
Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of Age : Clinical
Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the
Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7): 617-630
6. Matondang. C, wahidiyat. I, sastroasmoro. S, Diagnosis Fisis Pada Anak,
Edisi kedua. Jakarta, 2003. Sagung Seto.
7. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM, Jakarta,
2005.
8. Staf Pengajar FKUI. Buku Kuliah IKA 3. Cetakan ke empat. Jakarta: BPFKUI

37

Anda mungkin juga menyukai