Oleh:
Dosen Pembimbing:
dr. NYIMAS MAIDA SHOFA, Sp. PD
2019
1
HALAMAN PENGESAHAN
NPM : 19710027
Fakultas : Kedokteran
Disetujui oleh:
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
“HIV/AIDS”. Laporan kasus ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam
Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
Gresik. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua.
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
Kasus HIV pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1987. Sampai
dengan tahun 2012, kasus HIV/AIDS telah tersebar di 345 dari 497 (69,4%)
kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Jumlah kasus HIV baru setiap
tahunnya telah mencapai sekitar 20.000 kasus. Pada tahun 2012 tercatat 21.511 kasus
baru, yang 57,1 % di antaranya berusia 20-39 tahun. Sumber penularan tertinggi
(58,7%) terjadi melalui hubungan seksual tidak aman pada pasangan heteroseksual.
Pada tahun 2012 tercatat kasus AIDS terbesar pada kelompok ibu rumah tangga
(18,1%) yang apabila hamil berpotensi menularkan infeksi HIV ke bayinya. Pada
tahun 2012 pula, dari 43.624 ibu hamil yang melakukan konseling dan tes HIV
terdapat 1.329 (3,05%) ibu dengan infeksi HIV (KEMENKES RI, 2015).
Berdasarkan data yang bersumber dari aplikasi Sistem Informasi HIV-AIDS
& IMS (SIHA) dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2017 terjadi
peningkatan jumlah kasus HIV setiap tahunnya. Jumlah kumulatif infeksi HIV yang
dilaporkan sampai dengan Desember 2017 sebanyak 280.623 orang. Jumlah Infeksi
HIV tertinggi yaitu DKI Jakarta (51.981), diikuti Jawa Timur (39.633), Papua
(29.083), Jawa Barat (28.964), dan Jawa Tengah (22.292). Angka kematian (CFR)
akibat AIDS juga mengalami peningkatan dari 1,07% pada tahun 2015 menjadi
1,08% pada tahun 2017 (KEMENKES RI, 2017). Menurut UNAIDS (2018),
Indonesia menempati urutan ketiga dengan kasus baru HIV terbanyak dibandingkan
dengan negara-negara Asia-Pasifik lainnya. Oleh karena itu perlu upaya untuk
meningkatkan pemahaman mengenai HIV/AIDS dan perlu dilakukan pendekatan
klinis yang tepat dalam diagnosis dan penatalaksanaan HIV/AIDS.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2. Anamnesa
I. Keluhan Utama
Kelemahan satu sisi tubuh
II. Riwayat Penyakit Sekarang
Kelemahan pada sisi tubuh sebelah kanan sejak 2 hari sebelum MRS.
Mual dan muntah setiap makan sejak 3 hari yang lalu.
Pusing seperti berputar sejak 1 minggu yang lalu, pusing hilang timbul.
Nafsu makan menurun sejak 1 minggu yang lalu.
Penurunan berat badan ± 20 kg selama 6 bulan terakhir.
III. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat demam tinggi 1 bulan yang lalu setiap malam hari selama ± 2
minggu, pasien sudah sempat di periksa di puskesmas dan di lakukan cek
6
lab dan di dapatkan hasil bahwa trombosit pasien mengalami penurunan.
Pasien sempat di rujuk ke IGD RSUD IBNU SINA dengan keluhan
demam namun tidak MRS.
Riwayat diare berkepanjangan disangkal
Riwayat trauma kepala disangkal
Riwayat muncul plentingan berisi air di kulit disangkal
Riwayat hipertensi ditangkal
Riwayat diabetes mellitus disangkal
Riwayat asma & alergi disangkal
Riwayat sakit paru disangkal
Riwayat sakit jantung disangkal
7
GCS : 456
BB : 69 kg
TB : 158 cm
Tanda-tanda vital
- Tekanan darah : 140/87 mmHg
- Nadi : 86x/menit
- Nafas : 17x/menit
- Suhu : 36,3°C
Kepala dan leher
- Mata : Anemis (-), ikterus (-)
- Hidung : Dispnea (-)
- Mulut : Sianosis (-)
Candidiasis oral (+)
Cheilitis angularis (-)
Hairy leukoplakia (-)
- Leher : Pembesaran KGB (-), peningkatan JVP (-)
Thorax
Paru
- Inspeksi : Gerak dada simetris kanan & kiri
- Palpasi : Fremitus suara simetris kanan & kiri
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi : Vesikuler kedua lapangan paru, ronki (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V, 2
jari medial garis linea midclavicularis sinistra
8
- Perkusi :
Batas jantung kiri atas : ICS II garis parasternal sinistra
Batas jantung kiri bawah : ICS V 2 jari medial dari garis linea
midclavicularis sinistra
Batas jantung kanan atas : ICS II garis parasternal dextra
Batas jantung kanan bawah: ICS IV garis parasternal dextra
Auskultasi : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut datar, distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani (+)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Ektremitas
Superior : Akral hangat kering merah, CRT<2 detik,
tidak didapatkan edema, needle track
(-), tatoo (-).
Inferior : Akral hangat kering merah, CRT<2 detik,
tidak didapatkan edema, tatoo (-).
Status Neurologis
GCS : 456
Meningeal Sign : Kaku kuduk (-), Kernig sign (-), Brudzinski I : -/-,
Brudzinski II : -/-, Brudzinski III : -/-
Pemeriksaan saraf kranial :
- Saraf Kranial VII : parese N. VII dextra
Pemeriksaan sistem motorik :
- Kekuatan : 3 5
3 5
Refleks fisiologis :
9
- Biceps : +2/+2
- Triceps : +2/+2
- Brachioradialis : +2/+2
- Patella : +2/+2
- Achilles : +2/+2
Refleks patologis :
- Babinski : +/-
- Chaddock : +/-
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Nama 28/08 29/09 30/08 31/08 01/09 Nilai Normal
Pemeriksaa 2019 2019 2019 2019 2019
n
HB 9,36 9,15 8,73 8,66 8,1 L: 13,0-17 g%
P: 11,4-15,1 g
%
Leukosit 2400 1.890 1.850 2.040 2000 3.600-11.000
PCV 28 26 25 24 24 35%-47%
Trombosit 54.100 51.700 53.300 53.300 53.000 150.000-
450.000 /µL
MCV 87 86,4 87 87 92 80-100
MCH 29 30,8 30 31 32 26-34
MCHC 34 35,7 35 36 34 32-36
GDA 136 - < 200 mg/dl
BUN 18 - 8-18 mg/dL
SC 0,68 - 0,45-
0,75mg/dL
SGOT 34,9 0-35
SGPT 26,8 - 0 – 35
Natrium 136 - 135 – 147
Kalium 3,8 - 3,5- 5,0
Chlorida 101 - 95 -105
B23 Reaktif
CD4 6
10
Nama 02/09 04/09 05/09 Nilai Normal
Pemeriksaa 2019 2019 2019
n
HB 10,3 9,94 8,73 L: 13,0-17 g%
P: 11,4-15,1 g
%
Leukosit 2.700 2490 1.850 3.600-11.000
PCV 29 29,4 25 35%-47%
Trombosit 53.000 51.700 54.000 150.000-
450.000 /µL
MCV 89 86,4 80-100
MCH 31 30,8 26-34
MCHC 35 35,7 32-36
GDA < 200 mg/dl
BUN 8-18 mg/dL
SC 0,45-
0,75mg/dL
SGOT 0-35
SGPT 0-35
Natrium 135 – 147
Kalium 3,5- 5,0
Chlorida 95 -105
11
KELUHAN UTAMA : Penurunan BB Planning Diagnosa:
Kelemahan satu sisi dalam 6 bulan TCM
tubuh terakhir
ANAMNESA : Dizziness Planning Terapi :
RPS Nausea, vomitting Inf. NS 1000ml/24
- Hemiparese dextra Riwayat demam jam
- Penurunan BB dalam berkepanjangan HIV/AIDS Inj. Pantoprazole
6 bulan terakhir Pasien menikah 2x1 amp IV
- Penurunan nafsu sebanyak 3x dan Nystatin drop 6 dd
makan suami kedua gtt II
- Dizziness meninggal karena Po FDC ARV 1x1
- Nausea HIV/AIDS tab
- Vomitting Candidiasis oral Po Betahistin 3x1
RPD (+) tab
- Riwayat demam Pansitopeni
berkepanjangan (+) B23 : Reaktif Planning Monitoring :
RPK CD4 : 6 CD4
Riwayat DM (+) HIV RNA
Riwayat Sosial :
- Pasien menikah
sebanyak 3x dan
suami kedua Hemiparese Plannding Diagnosa :
meninggal karena dextra CT scan
HIV/AIDS Status IgG anti toxoplasma
neurologis :
PEMERIKSAAN - Kekuatan Suspect Planning Terapi :
FISIK : motorik : Toxoplasmos Po Pirimetamin
Keadaan umum : 3 5 is Cerebri 3x25 mg
Lemah Po Klindamisin
TD : 140/87 mmHg 3 5 4x600 mg
Kepala/Leher : - Refleks
Mulut : patologis : Planning Monitoring :
Candidiasis Oral Babinski +/- , CT scan
(+) chaddok +/-
Status neurologis :
- Kekuatan motorik :
3 5 TD : 140/87 HT stage 1 Planning Diagnosa :
mmHg RFT
3 5 EKG
- Refleks patologis :
Planning Terapi :
Babinski +/- ,
12
chaddok +/- Po Amlodipin 1x10
mg
HB : 8,73
Leukosit : 1.850
PCV : 25%
Trombosit : 54.000
B23 : Reaktif
CD4 : 6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN
13
3.1 Definisi HIV/AIDS
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu kumpulan
gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat
infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) (Djoerban dan Djauzi,
2014).
3.2 Epidemiologi HIV/AIDS
Menurut KEMENKES RI dalam laporan perkembangan HIV/AIDS &
Infeksi Menular Seksual (IMS) Triwulan IV tahun 2017 berdasarkan data yang
bersumber dari aplikasi Sistem Informasi HIV-AIDS & IMS (SIHA) dilaporkan
dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2017 terjadi peningkatan jumlah kasus HIV
setiap tahunnya. Jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan
Desember 2017 sebanyak 280.623 orang. Jumlah Infeksi HIV tertinggi yaitu DKI
Jakarta (51.981), diikuti Jawa Timur (39.633), Papua (29.083), Jawa Barat
(28.964), dan Jawa Tengah (22.292) (KEMENKES RI, 2017).
Jumlah AIDS juga dilaporkan mengalami peningkatan yang relatif stabil
setiap tahunnya. Jumlah kumulatif AIDS mencapai 102.667 orang. Presentase
kumulatif AIDS tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun (32,5%), kemudian
diikuti kelompok umur 30-39 tahun (30,7), 40-49 tahun (12,9%), 50-59 tahun
(4,7%), dan 15-19 tahun (3,2%). Presentase AIDS pada laki-laki sebanyak 57%
dan perempuan 33%. Jumlah AIDS tertinggi menurut pekerjaan/status adalah
pada ibu rumah tangga (14.721), tenaga non profesional/karyawan (14.116),
diikuti wiraswasta (13.610), petani/peternak/nelayan (5.155), dan buruh kasar
(4.583). Jumlah AIDS terbanyak di laporkan di Papua (19.729), Jawa Timur
(18.243), DKI Jakarta (9.215), Jawa Tengah (8. 170), Bali (7.441), dan Jawa
Barat (6.502) (KEMENKES RI, 2017).
Sedangkan menurut data internasional dibandingkan dengan negara-negara
Asia-Pasifik lainnya, Indonesia menempati urutan ketiga dengan kasus infeksi
14
baru HIV terbanyak (18%) dan menempati urutan kedua dengan insiden
kematian akibat AIDS terbanyak (23%) (UNAIDS, 2018).
3.3 Patogenesis HIV/AIDS
Transmisi HIV ke dalam tubuh manusia dapat terjadi melalui 3 cara yaitu
(Nasronudin dkk, 2007) :
a. Secara vertikal dari ibu ke anak. Kebanyakan bayi/anak terinfeksi HIV
berasal dari ibu yang terinfeksi. Transmisi pada periode perinatal dapat
terjadi pada masa intrauterin (transplasenta), intrapartum, dan
postpartum (terutama melalui ASI). Sekitar 85-50% infeksi HIV pada
anak didapatkan pada persalinan dari ibu yang terinfeksi HIV,
sedangkan sebagian karena transfusi darah atau komponen darah yang
tercemar HIV. Transmisi melalui ASI, sebanyak 14% terjadi pada
enam bulan pertama post partum. Oleh karena itu Center’s of Disease
Control (CDC) menyarankan agar ibu hamil dengan HIV agar tidak
menyusui bayinya.
b. Secara transeksual (homoseksual maupun heteroseksual).
c. Secara horizontal yaitu kontak antar darah (pemakaian jarum suntik
bersama-sama secara bergantian, tato, transfusi darah, transplantasi
organ, HD, perawatan gigi)
Perjalanan infeksi HIV dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu : 1) infeksi
akut, 2) infeksi kronik (simptomatik dan asimptomatik) dan 3) AIDS. Sebesar
60-70% infeksi HIV akan mencapai stadium AIDS dalam waktu rata-rata 10-11
tahun, 10-20% sangat progresif dan berkembang menjadi AIDS dalam waktu
kurang dari 5 tahun. Sebagian kecil lainnya antara 5-15% infeksi HIV berjala
sangat lambat dan masih belum mencapai AIDS dalam waktu lebih dari 15 tahun.
Perbedaan progresivitas penyakit ditentukan oleh titer virus dalam plasma,
jumlah limfosit T CD4 dan respon imun spesifik baik selular maupun humoral.
Begitu HIV masuk ke dalam tubuh manusia, viremia akan ditemukan 4-11
hari setelah paparan. Onset terjadinya viremia ini juga tergantung dari faktor-
15
faktor lain yang merusak barrier mukosa sehingga dapat memudahkan masuknya
HIV, seperti adanya inflamasi dan infeksi (Merati TP, 2014). Terdapat berbagai
sel target infeksi HIV terutama sel-sel yang mampu mengekspresi reseptor CD4
karena virus memiliki afinitas terhadap molekul permukaan CD4 (Djoerban dan
Djauzi, 2014). Berbagai sel tubuh yang mampu mengekspresikan CD4 yaitu,
pada sel saraf : astrosit, mikroglia, olgiodendroglia. Darah : limfosit T, limfosit
B, monosit-makrofag. Pada kulit : sel langerhans, fibroblas, dendritik
(Nasronudin dkk. 2007).
Pada awal kejadian infeksi, terjadi interaksi antara gp120 (glikoprotein
yang terdapat pada permukaan virus) virus dengan reseptor CD4 yang terdapat
pada permukaan sel target. Interaksi gp120 dengan CD4 akan memicu terjadinya
ikatan lebih lanjut dengan reseptor kemokin (suatu polipeptida yang sekresikan
oleh sel-sel tertentu yang terikat dengan reseptor permukaan spesifik dengan
transmisi signal melalui protein G) yang bertindak sebagai koreseptor spesifik
CXCR4 atau X4 dan CCR5 atau R5 yang juga terdapat pada membran sel target.
Ikatan ini bersifat spesifik karena masing-masing sel target memiliki koreseptor
khusus. Interaksi beruntun antara gp120 virus dengan reseptor CD4 dan
korepestor CXCR4 serta CCR5 sel target tersebut tidak begitu saja meloloskan
proses internalisasi ke dalam sel target, karena masih diperlukan gp41 yang
terdapat pada selubung virus. G40 memiliki peran penting dalam proses fusi
membran virus dengan membran sel target. Beriktunya seluruh komponen inti
HIV akan masuk dan mengalami proses internalisasi yang ditandai dengan
masuknya inti nukleokapsid ke dalam sitoplasma. Begitu internalisasi
berlangsung maka akan disusul oleh proses transkripsi genom ssRNA ke double
stranded DNA melalui virion RNA-dependent DNA polymerase, dengan bantuan
enzim reverse transcriptase (Nasronudin dkk. 2007).
Di dalam sitoplasma, RNA virus mula-mula akan ditranskripsikan sehingga
tebentuk dsDNA virus (DNA pro virus) dan diintregasikan ke dalam genom pada
inti sel target sehingga DNA provirus akan berikatan dengan DNA sel.
16
Kemudian akan terjadi replikasi virus sehingga akan terbentuk RNA virus baru
yang masih imatur, maturasi virus yang imatur didukung oleh poliprotein pada
permukaan sel. Apabila virus sudah matur maka akan terjadi peningkatan
pelepasan virus baru yang matang dan siap menginfeksi sel target yang lain. HIV
yang telah berada di dalam limfosit T akan mengalami peningkatan aktivitas
transkripsi, translasi protein, dan replikasi HIV lebih lanjut (Nasronudin dkk.
2007). Segera setelah terjadinya viremia maka akan terjadi replikasi HIV yang
sangat tinggi, dimana ditemukan sejumlah 106 kopi/ml RNA HIV, puncaknya
tercapai dalam 4-8 minggu, lalu akan menurun secara drastis, bahkan sampai
kadar tidak terdeteksi, walaupun tanpa terapi ARV, dan kadar yang dicapai ini
disebut virologic set point. Secara klinis akan timbul gejala menyerupai flue like
syndrome, berupa demam, sakit kepala, mual, letargi dan anoreksia. Fase ini
merupakan fase infeksi akut dimana terjadi replikasi virus yang sangat cepat
(Merati TP, 2014).
Sekitar 6 bulan setelah fase infeksi akut, sebagian besar pasien akan masuk
ke fase asimptomatik, dimana kadar virus mencapai set point, seringkali RNA
<20.000 kopi/ml. Hal ini menunjukkan adanya respon antiviral baik dari imun
bawaan maupun imun adaptif. Dari imun bawaan terdapat faktor mannose
binding lectins (MBLs) dan komplemen. Disamping itu anti HIV antibodi, sel
natural killer , dan sel T juga memegang peranan. Sel limfosit T sitotoksik CD8+
sebagai sel efektor dapat mengontrol infeksi akut oleh virus, karena sel tersebut
dapat mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi. Limfosit CD8 sitotoksik
yang teraktivasi oleh HIV akan mengeluarkan sejumlah sitokin yang dapat
menghambat replikasi HIV dalam limfosit CD4 tanpa menyebabkan sel lisis.
Dalam periode infeksi persisten, dapat terjadi replikasi virus yang rendah di
dalam kelenjar limfe dan jaringan lain yang mencerminkan repon imun antiviral
yang kuat. Selama fase kronik asimptomatik akan terjadi keseimbangan yang
dinamis antara host dan HIV dimana respon imun seluler dan humoral tetap aktif,
17
sehingga sel limfosit CD4 jumlahnya masih tinggi dan RNA HIV masih tetap
rendah. (Merati TP, 2014).
Setelah infeksi selama 10 tahun, sekitar 50% dari orang yang terinfeksi dan
tidak mendapat ARV akan menunjukkan gejala penyakit, penurunan sel limfosit
CD4 <200-350 sel/uL dan hilangnya respon imun spesifik sel limfosit T CD4 dan
CD8. Terjadinya destruksi jaringan limfoid oleh virus menunjukkan infeksi HIV
yang progresif. Pada fase kronik simptomatik ini atau disebut staidum AIDS,
kemokin yang diproduksi oleh sel limfosit yang teraktivasi tidak dapat memblok
tempat masuk virus X4 ke dalam sel. Maka akan terjadi peningkatan produksi
HIV, penurunan sel limfosit CD4 sehingga secara umum terjadi defisiensi sistem
imun yang mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik, tumor ganas dan
akhirnya kematian. Infeksi HIV memiliki karakteristik adanya defisiensi imun
yang terjadi secara kronik progresif dan pada saat yang sama juga terjadi aktivasi
imun. Aktivasi imun pada infeksi HIV terjadi karena adanya disregulasi antara
imunitas bawaan dan imunitas adaptif sebagai respon terhadap HIV, produk
mikroba dan koinfeksi. Berbagai bukti telah menunjukkan bahwa aktivasi imun
inilah yang terutama menjadi mediator terjadinya disfungsi dan defisiensi imun.
Stimulasi imun yang berkelanjutan tersebut memungkinkan terjadi lingkungan
homeostasis yang permisif untuk terus terjadi replikasi virus (Merati TP, 2014).
18
Gambar : Patogenesis HIV/AIDS
19
Tabel : Klasifikasi HIV/AIDS (WHO, 2007)
Clinical Event Clinical Diagnosis Definitive Diagnosis
Stadium 1
Asimptomatik Titak terdapat gejala dan
tanda infeksi HIV
-
Stadium 2
Penurunan berat badan Anamnesis adanya Penurunan berat badan
derajat sedang yang penurunan berat badan. dari pemeriksaan fisik
tidak dapat dijelaskan Pada kehamilan, berat sebesar <10%
(<10% BB) badan gagal naik
Infeksi saluran napas Kumpulan gejala ISPA, Kultur
atas berulang (episode seperti nyeri wajah
saat ini, ditambah 1 unilateral disertai nasal
episode atau lebih discharge (sinusitis), nyeri
dalam 6 bulan) dan radang di membran
timpani (otitis media), atau
tonsilofaringitis tanpa
tanda infeksi virus (coryza,
batuk)
Herpes zooster Vesikel yang terasa nyeri Diagnosis klinis
nyeri dengan distribusi
dermatomal, dengan dasar
eritem atau hemoragik,
tidak melewati garis
tengah tubuh
20
Angular cheilitis Luka pada sudut bibir yang Diagnosis klinis
bukan disebabkan karena
defisiensi besi maupun
vitamin, umumnya
membaik dengan terapi
antifungal
Stadium 3
Penurunan berat badan Adanya penurunan berat Penurunan berat badan
tanpa penyebab yang badan tanpa sebab, dari pemeriksaan fisik
jelas (>10% dari berat penurunan BMI < 18,5 sebesar> 10%
21
badan) kg/m2
22
Necrotizing ulcerative Manifestasi ginggivitis Diagnosis klinis
gingivitis atau atau periodontitis
necrotizing ulcerative
periodontitis
Stadium 4
HIV wasting syndrome Adanya penurunan berat Adanya data yang
badan tanpa sebab yang menunjukkan penurunan
jelas disertai penurunan berat badan > 10%
BMI < 18,5 kg/m2
Diare kronik
Pemeriksaan feses ≥ 2
kali tanpa didapatkan
hasil yang jelas
atau
23
Kandidiasis esofagus Nyeri retrosternal dan Pemeriksaan mikroskopis
gangguan menelan disetai
dengan kandidiasis oral
24
adanya penyakit yang
mendasari
25
dengan berganti-ganti pasangan, pengguna narkoba intravena dengan jarum
suntik yang digunakan secara bergantian, bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi
HIV dan tidak mendapatkan terapi ARV, resipien donor darah tanpa tes
penapisan terhadap HIV. Sedangkan yang termasuk kelompok resiko rendah
yaitu petugas kesehatan termasuk dokter, dokter gigi, perawat, dan petugas
laboratorium (Nasronudin dkk. 2007).
Tes diagnostik HIV merupakan bagian dari proses klinis untuk menentukan
diagnosis. Diagnosis HIV ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium. Jenis
pemeriksaan laboratorium HIV dapat berupa (KEMENKES RI, 2015) :
1. Tes serologi
Tes serologi terdiri atas:
a) Tes cepat
Tes cepat dengan reagen yang sudah dievaluasi oleh institusi yang
ditunjuk Kementerian Kesehatan, dapat mendeteksi baik antibodi
terhadap HIV-1 maupun HIV-2. Tes cepat dapat dijalankan pada
jumlah sampel yang lebih sedikit dan waktu tunggu untuk
mengetahui hasil kurang dari 20 menit bergantung pada jenis tesnya
dan dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih.
b) Tes Enzyme Immunoassay (EIA)
Tes ini mendeteksi antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2. Reaksi antigen
antibodi dapat dideteksi dengan perubahan warna.
c) Tes Western Blot
Tes ini merupakan tes antibodi untuk konfirmasi pada kasus yang
sulit.
26
Gambar : Alur diagnosis HIV pada anak >18 bulan, remaja, dan dewasa
(KEMENKES RI, 2015)
27
Gambar : Kriteria interpretasi tes anti-HIV dan tindak lanjutnya (KEMENKES
RI, 2015)
28
kali hasil pemeriksaan CD4 di bawah ambang batas sebelum ARV dimulai
(KEMENKES RI, 2015).
Prinsip pemberian ARV adalah harus menggunakan 3 jenis obat yang
ketiganya harus terserap dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah, dikenal
dengan Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART). Istilah HAART sering
disingkat menjadi ART (Antiretroviral Therapy) atau terapi ARV. Pemerintah
menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV dengan
berdasarkan pada 5 aspek yaitu efektivitas, efek samping/toksisitas, interaksi
obat, kepatuhan, dan harga obat. Adapun indikasi untuk inisiasi ARV yaitu :
Gambar : Rekomendasi inisiasi ART/ARV pada dewasa dan anak (WHO, 2013)
29
Penilaian klinis dan tes laboratorium berperan penting untuk melihat
kondisi ODHA sebelum inisiasi ARV dan membantu penentuan paduan yang
akan digunakan (KEMENKES RI, 2015).
30
e. Pertimbangkan penilaian ada tidaknya penyakit kronis lain terkait
penatalaksanaan HIV seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular, dan
diabetes.
f. Terapi ARV dapat dimulai sambil menunggu hasil CD4. Pemeriksaan
CD4 awal tetap diperlukan untuk menilai respons terapi.
g. Untuk ODHA dengan risiko tinggi mengalami efek samping TDF:
penyakit ginjal, usia lanjut, IMT rendah, diabetes, hipertensi, penggunaan
PI atau obat nefrotoksik lainnya. Dipstik urin digunakan untuk
mendeteksi glikosuria pada ODHA non diabetes.
h. Untuk anak dan dewasa yang berisiko tinggi mengalami efek samping
terkait AZT (CD4 rendah atau Indeks Massa Tubuh rendah)
i. Untuk ODHA dengan risiko tinggi efek samping NVP, misalnya ARV
naif, wanita dengan CD4 250 sel/mm3 dan koinfeksi HCV. Namun enzim
hati awal memiliki nilai prediktif yang rendah untuk memonitor toksisitas
NVP.
ODHA yang belum memenuhi syarat untuk mendapat terapi ARV perlu
dimonitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6 bulan sekali.
Evaluasi klinis meliputi parameter seperti pada evaluasi awal termasuk
pemantauan berat badan dan munculnya tanda dan gejala klinis perkembangan
infeksi HIV. Parameter klinis dan CD4 ini digunakan untuk mencatat
perkembangan stadium klinis WHO pada setiap kunjungan dan menentukan
apakah ODHA mulai memenuhi syarat untuk pengobatan pencegahan
kotrimoksazol (PPK) dan/atau ARV. Evaluasi klinis dan jumlah CD4 perlu
dilakukan lebih ketat ketika mulai mendekati ambang dan syarat untuk memulai
ART (KEMENKES RI, 2015).
31
Gambar : Alur tatalaksana HIV di fasyankes (KEMENKES RI, 2015)
Apabila pasien HIV sudah memenuhi syarat untuk inisiasi ARV, maka
digunakan panduan ARV lini pertama. Pilihan paduan ARV lini pertama ini
berlaku untuk ODHA yang belum pernah mendapatkan ARV sebelumnya (naive
ARV) (KEMENKES RI, 2015).
32
A. Paduan ARV lini pertama pada anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa
Gambar : ARV lini pertama untuk anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa,
termasuk ibu hamil dan menyusui, ODHA koinfeksi hepatitis B,
dan ODHA dengan TB (KEMENKES RI, 2015)
a) Jangan memulai TDF jika creatine clearance test (CCT) hitung < 50
ml/menit, atau pada kasus diabetes lama, hipertensi tak terkontrol dan
gagal ginjal.
b) Jangan memulai dengan AZT jika Hb < 10 g/dL sebelum terapi.
c) Kombinasi 3 dosis tetap (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC + EFV
Setelah pemberian ARV maka perlu dilakukan pemantauan dengan tujuan
untuk mengevaluasi respon pengobatan. Penilaian klinis dan tes laboratorium
berperan penting untuk melihat kondisi ODHA sebelum inisiasi ARV dan
berguna untuk memonitor respons pengobatan dan kemungkinan toksisitas obat
ARV. Pemantauan klinis dalam pengawasan dokter dilakukan rutin minimal
sebulan sekali dalam 6 bulan pertama setelah inisiasi ARV. Pemantauan oleh
dokter selanjutnya dapat dilakukan minimal 3 bulan sekali atau lebih sering,
sesuai dengan kondisi dan kepatuhan pengobatan (KEMENKES RI, 2015).
33
Gambar : Rekomendasi tes laboratorium setelah pemberian ARV
(KEMENKES RI, 2015)
a. Pada ODHA dengan kepatuhan dan hasil pengobatan ARV yang
baik, frekuensi pemantauan CD4 dan HIV RNA dapat dikurangi
b. Tes HIV RNA (viral load) sangat dianjurkan untuk menentukan
kegagalan terapi
Selain pemantauan terhadap respon pengobatan, juga perlu dilakukan
pemantauan terhadap efek samping ARV. Efek samping (toksisitas) ARV dapat
terjadi dalam beberapa minggu pertama setelah inisiasi hingga toksisitas pada
pemakaian lama. Kebanyakan reaksi toksisitas ARV tidak berat dan dapat diatasi
dengan memberi terapi suportif. Prinsip penanganan efek samping akibat ARV
adalah sebagai berikut (KEMENKES RI, 2015):
a. Tentukan beratnya toksisitas
b. Evaluasi obat yang diminum bersamaan, dan tentukan apakah toksisitas
terjadi karena (satu atau lebih) ARV atau karena obat lainnya
c. Pertimbangkan proses penyakit lain (seperti hepatitis virus atau
sumbatan bilier jika timbul ikterus)
d. Tatalaksana efek samping bergantung pada beratnya reaksi. Penanganan
secara umum adalah:
34
a) Derajat 4, reaksi yang mengancam jiwa: segera hentikan semua
obat ARV, beri terapi suportif dan simtomatis; berikan lagi ARV
dengan paduan yang sudah dimodifikasi (contoh: substitusi 1 ARV
untuk obat yang menyebabkan toksisitas) setelah ODHA stabil
b) Derajat 3, reaksi berat: ganti obat yang dicurigai tanpa
menghentikan pemberian ARV secara keseluruhan
c) Derajat 2, reaksi sedang: beberapa reaksi (lipodistrofi dan neuropati
perifer) memerlukan penggantian obat. Untuk reaksi lain,
pertimbangkan untuk tetap melanjutkan pengobatan, jika tidak ada
perubahan dengan terapi simtomatis, pertimbangkan untuk
mengganti 1 jenis obat ARV
d) Derajat 1, reaksi ringan: tidak memerlukan penggantian terapi.
Tekankan pentingnya tetap meminum obat meskipun ada toksisitas
pada reaksi ringan dan sedang
e) Jika diperlukan, hentikan pemberian terapi ARV apabila ada
toksisitas yang mengancam jiwa. Perlu diperhatikan waktu paruh
masing-masing obat untuk menghindari kejadian resistensi.
35
Gambar : Waktu Terjadinya Toksisitas ARV (KEMENKES RI, 2015)
36
Gambar : Definisi Kegagalan Terapi dan Keputusan untuk Ubah Paduan
(Switch) ARV (KEMENKES, 2015)
B. Paduan ARV Lini Kedua
Paduan ARV lini kedua di dindikasikan untuk kasus kegagalan terapi
dengan paduan NNRTI atau 3TC.
37
Gambar : Paduan ARV Lini Kedua (KEMENKES, 2015)
C. Paduan ARV Lini Ketiga
Jika terjadi kegagalan terapi menggunakan lini kedua maka perlu
dilakukan terapi penyelamatan yang efektif. Kriteria yang digunakan untuk
penentuan kegagalan terapi lini kedua harus menggunakan kriteria
virologis (pemeriksaan HIV RNA). Seperti pada penentuan gagal terapi lini
pertama, penentuan kegagalan terapi lini kedua harus dilakukan saat
ODHA menggunakan ART lini kedua minimal 6 bulan dalam keadaan
kepatuhan yang baik. Tes resistansi genotyping diwajibkan sebelum pindah
ke lini ketiga.
38
pasien HIV terutama terjadi jika pada kondisi CD4 yang rendah, penurunan
produksi sitokin dan interferon gama, dan menurunnya fungsi sel limfosit T
sitotoksik sehingga menyebabkan reaktivasi dari infeksi laten T. Gondii
(KEMENKES, 2015)
3.8 Diagnosis Toxoplasmosis Cerebri
Manifestasi toxoplasmosis cerebri tergantung pada ukuran, jumlah, lokasi
lesi otak, serta status imunologi dari penderita. Pada onset yang subakut
umumnya akan muncul tanda-tanda neurologis fokal seperti demam, perubahan
status mental dan nyeri kepala. Lesi serebelar, subkortikal, atau kortikal dapat
ditemukan pada lebih dari 50% kasus infeksi toxoplasmosis, yang menimbulkan
menifestasi hemiparesis, gaya berjalan atau gaya bicara yang abnormal. Sebagian
besar pasien ensefalitis juga dapat mengalami kelainan neuropsikiatri termasuk
psikosis, demensia, kecemasan, dan gangguan kepribadian (Hongkong
Departement of Health, 2019).
Pemeriksaan CT scan dan serologi dapat menunjang diagnosis
toxoplasmosis. Pemeriksaan serologi dapat dilakukan dengan pemeriksaan IgG
anti toxoplasma yang mulai meningkat 1 - 2 minggu setelah infeksi dan akan
mencapai puncaknya pada 6 - 8 minggu. Selanjutnya IgG akan menurun secara
bertahap dalam waktu 1 - 2 tahun. Pada pemeriksaan neuroimaging (CT scan)
dapat ditemukan gambaran lesi fokal yang jumlahnya seringkali lebih dari satu
(multifokal) (KEMENKES, 2015).
39
Gambar : Algoritma Tatalaksana Toxoplasmosis Cerebri pada Pasien HIV/AIDS
(Hongkong Departement of Health, 2019)
3.9 Terapi Toxoplasmosis Cerebri
Pilihan pengobatan toxoplasmosis cerebri di Indonesia untuk fase akut adalah
kombinasi pirimetamin dan klindamisin disertai dengan asam folinat diberikan
selama 6 minggu.
40
Gambar : Terapi Toxoplasmosis Cerebri (KEMENKES, 2015)
Setelah pengobatan fase akut berhasil, dianjurkan untuk memberikan terapi
rumatan berupa pirimetamin + klindamisin + asam folinat selama CD4 <200
sel/mm3 dengan dosis setengah dari dosis fase akut. Pencegahan sekunder juga
dapat menggunakan kotrimoksazol dengan dosis yang sama dengan pengobatan
pencegahan primer (KEMENKES, 2015)
Pencegahan paparan terhadap toxoplasma (KEMENKES, 2015):
Penderita HIV harus diperiksa IgG toxoplasmanya untuk mengetahui
ada/tidaknya infeksi laten T. gondii
Penderita HIV dianjurkan untuk menghindari kemungkinan kontak
dengan sumber infeksi toxoplasma seperti daging yang tidak dimasak
dengan baik, buah dan sayur mentah.
Pencegahan primer (KEMENKES, 2015):
Semua orang dengan HIV yang memiliki jumlah sel CD4 < 200
sel/mm3 dianjurkan memulai pencegahan primer terhadap
toksoplasmosis yaitu Trimetoprim-Sulfametoksazol sediaan forte 960
mg sekali sehari.
Jika ada perbaikan klinis dengan pemberian ARV, yang ditandai
dengan CD4 > 200 sel/mm3 selama setidaknya 6 bulan, dapat
dipertimbangkan penghentian pencegahan primer.
41
DAFTAR PUSTAKA
Djoerban Z dan Djauzi S. 2014. HIV/ AIDS di Indonesia. Dalam: Setiati dkk. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.VI Jilid I. Jakarta: Interna Publishing.
Merati TP. 2014. Imunopatogenesis Infeksi HIV. Dalam: Setiati dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Ed.VI Jilid I. Jakarta: Interna Publishing.
WHO. 2007. WHO Case Definitions of HIV for Surveillance and Revised Clinical
Stagging and Immunological Classification of HIV Related Disease in Adults
and Children. France.
42