Anda di halaman 1dari 24

DEMAM

REFERAT ILMU PENYAKIT DALAM

Oleh:

Desak Gede Candra Handayani


NPM: 19710027

KEPANITERAAN KLINIK 2019-2021


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD IBNU SINA GRESIK

Dosen Pembimbing:
dr. NYIMAS MAIDA SHOFA, Sp. PD

2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Desak Gede Candra Handayani

NPM : 19710027

Fakultas : Kedokteran

Universitas : Wijaya Kusuma Surabaya.

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Stase : Ilmu Penyakit Dalam

Judul Referat : Demam

Pembimbing : dr. Nyimas Maida Shofa, Sp. PD.

Kepaniteraan Klinik Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Rumah Sakit Ibnu Sina Gresik

Disetujui oleh:

dr. NYIMAS MAIDA SHOFA, Sp. PD


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas kehendakNya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul

“Demam”. Referat ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan

Klinik Ilmu Penyakit Dalam. Penulis menyadari bahwa pengetahuan penulis

dalam menyusun referat ini sangat terbatas. Untuk itu penulis sangat

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca.

Tidak lupa penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada dr. Nyimas

Maida Shofa, Sp.PD selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit

Dalam di RSUD Ibnu Sina Gresik. Semoga referat ini dapat memberikan

manfaat bagi kita semua.

Gresik, 10 September 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Judul ........................................................................................... 1


Halaman Pengesahan ................................................................................ 2
Kata Pengantar .......................................................................................... 3
Daftar Isi ................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Demam ........................................................................... 6
2.2 Etiologi Demam ........................................................................... 6
2.3 Fisiologi Pengaturan Suhu Tubuh ............................................... 7
2.4 Patomekanisme Demam .................................................................... 8
2.5 Klasifikasi Demam ....................................................................... 11
2.6 Tipe Demam ................................................................................ 17
2.7 Diagnosis Demam ........................................................................ 18
2.8 Terapi Demam .............................................................................. 21
2.9 Prognosis Demam ........................................................................ 22
2.10Komplikasi Demam ..................................................................... 22
BAB III KESIMPULAN ........................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 24

4
BAB I

PENDAHULUAN

Demam merupakan suatu kondisi dimana terjadi kelainan pengaturan suhu


tubuh sehingga suhu tubuh berada di atas batas normal. Secara fisiologis tubuh
memiliki mekanisme termoregulasi untuk mengatasi suhu tubuh yang rendah ataupun
tinggi. Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2°C. Demam merupakan salah satu
manifestasi dari suatu penyakit yang penting sebagai penanda terjadinya infeksi,
namun tidak semua demam di sebabkan oleh infeksi (Jameson dkk, 2018).
Demam dapat terjadi pada berbagai jenjang usia baik anak-anak maupun
orang dewasa. Berdasarkan KEMENKES RI pada tahun 2006 telah terjadi
peningkatan kematian dengan gejala demam tinggi yang belum diketahui penyebab
dan sumbernya. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendekatan klinis yang tepat untuk
menentukan apakah seseorang mengalami demam atau tidak, serta untuk mengetahui
etiologi dari demam tersebut sehingga terapi yang diberikan akan sesuai dengan
penyakit yang mendasari.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Demam


Demam adalah peningkatan suhu tubuh yang terjadi bersamaan dengan
peningkatan hypothalamic set point. Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5-
37,2°C (Jameson dkk, 2018).
Terdapat beberapa istilah lain yang berhubungan dengan demam yaitu
hipertermia dan hiperpireksia. Hipertermia merupakan suatu kondisi dimana
terjadi peningkatan suhu tubah tanpa disertai dengan peningkatan pada
hypothalamic set point. Hipertermia lebih merujuk pada ketidakseimbangan
antara produksi panas dan proses pengeluaran panas (Sherwood,2012).
Sedangkan hiperpireksia merupakan suatu keadaan saat suhu tubuh
>41,5°C, keadaan ini dapat terjadi pada pasien dengan infeksi berat dan
perdarahan sistem saraf pusat (Jameson dkk, 2018).

2.2 Etiologi Demam


Pirogen merupakan istilah yang digunakan untuk substansi yang dapat
menyebabkan demam. Pirogen dibagi menjadi dua yaitu :
a. Pirogen eksogen : yaitu pirogen yang berasal dari luar tubuh. Beberapa
contoh pirogen eksogen yaitu lipopolisakarida (endotoksin) yang dihasilkan
oleh bakteri gram negatif dan enterotoksin/superantigen yang dihasilkan oleh
bakteri gram positif seperti Staphylococcus aureus, serta Streptococcus
group A dan B, pirogen eksogen juga dapat berasal dari virus (Jameson dkk,
2018).
b. Pirogen endogen : yaitu pirogen yang berasal dari dalam tubuh atau disebut
juga dengan pyrogenic cytokines. IL-1, IL-6, IFN dan Tumor Necrosis Factor
(TNF) merupakan contoh dari pyrogenic cytokines (Jameson dkk, 2018).

6
2.3 Fisiologi Pengaturan Suhu Tubuh

Di hipotalamus diketahui terdapat dua pusat regulasi suhu. Regio posterior


diaktifkan oleh suhu dingin dan kemudian memicu refleks-refleks yang
memerantarai produksi panas. Regio anterior, yang diaktifkan oleh suhu panas,
mernicu refleks-refleks yang memerantarai pengeluaran panas (Sherwood, 2012).
Area preoptik-hipotalamus anterior diketahui mengandung sejumlah besar
neuron yang sensitif terhadap panas. Neuron-neuron ini diyakini berfungsi
sebagai sensor suhu untuk mengontrol suhu tubuh. Apabila area preoptik
dirangsang dengan suhu panas, kulit di seluruh tubuh dengan segera akan
mengeluarkan banyak keringat, sementara pembuluh darah kulit di seluruh tubuh
akan mengalami vasodilatasi. Hal ini merupakan reaksi yang timbul segera untuk
menurunkan suhu tubuh. Di samping itu, pembentukan panas tubuh yang
berlebihan akan dihambat. Dengan demikian, area preoptik dari hipotalamus jelas
memiliki kemampuan yang berfungsi sebagai termostatik pusat pengaturan suhu
tubuh (Guyton dan Hall, 2011).
Walaupun reseptor suhu di hipotalamus berperan sangat kuat dalam
mengatur suhu tubuh, reseptor suhu di bagian tubuh yang lain juga memiliki
peran tambahan dalam pengaturan suhu. Hal ini terjadi pada reseptor suhu di
perifer yaitu kulit. Kulit dilengkapi dengan reseptor dingin dan panas. Reseptor
dingin terdapat 10 kali lebih banyak daripada reseptor panas di seluruh kulit.
Apabila kulit di seluruh tubuh kedinginan, maka akan terjadi refleks untuk segera
meningkatkan suhu tubuh melalui beberapa cara: (1) dengan memberikan
rangsang kuat sehingga menyebabkan menggigil, yang akhirnya meningkatkan
kecepatan pembentukan panas tubuh; (2) dengan menghambat proses
berkeringat, dan (3) dengan meningkatkan vasokonstriksi kulit untuk
menurunkan pemindahan panas tubuh dari kulit (Guyton dan Hall, 2011).

7
Bila pusat suhu hipotalamus mendeteksi bahwa suhu tubuh terlalu panas
atau terlalu dingin, hipotalamus akan melakukan mekanisme penurunan atau
peningkatan suhu tubuh yang sesuai. Sistem termoregulator memiliki tiga
mekanisme penting untuk menurunkan suhu tubuh ketika suhu tubuh sangat
tinggi, yaitu sebagai berikut (Guyton dan Hall, 2011) :
1. Vasodilatasi pembuluh darah kulit. Pembuluh darah kulit pada semua
area tubuh akan berdilatasi dengan kuat. Hal ini disebabkan oleh
hambatan pusat simpatis di hipotalamus posterior yang menyebabkan
hambatan vasokonstriksi. Vasodilatasi akan meningkatkan kecepatan
pemindahan panas ke kulit sebanyak delapan kali lipat.
2. Berkeringat. Penurunan suhu tubuh dengan berkeringat merupakan
pengeluaran panas melalui mekanisme evaporasi.
3. Penurunan pembentukan panas. Mekanisme yang menyebabkan
pembentukan panas yang berlebihan, seperti menggigil akan dihambat
dengan kuat.
Sedangkan ketika tubuh terlalu dingin, sistem termoregulasi akan
melakukan mekanisme yang berlawanan (Guyton dan Hall, 2011) :
1. Vasokonstriksi kulit di seluruh tubuh. Hal ini disebabkan oleh
rangsangan dari pusat simpatis hipotalamus posterior.
2. Peningkatan termogenesis (pembentukan panas), dengan menggigil,
rangsang simpatis, dan sekresi tiroksin.

2.4 Patomekanisme Demam


Mekanisme terjadinya demam dapat didahului oleh invasi mikroorganisme
maupun tanpa adanya invasi mikroorganisme ke dalam tubuh, demam yang
disebabkan oleh karena invasi mikroorganisme umumnya dipicu oleh suatu zat
toksin yang disebut dengan pirogen eksogen. Dengan adanya pirogen eksogen
maka tubuh akan berusaha untuk melakukan mekanisme pertahanan tubuh
melalui fagositosis yang di lakukan oleh makrofag/monosit dengan cara

8
mensekresi pyrogenic cytokines (IL-1, IL-6, IFN, TNF). Pyrogenic cytokines
tersebut kemudian akan merangsang sel-sel endotel hipotalamus untuk
mengeluarkan asam arakidonat yang akan menginduksi sekresi prostaglandin
(PGE2). Sekresi prostaglandin akan mempengaruhi kerja termostat di
hipotalamus, sebagai kompensasinya maka hipotalamus akan meningkatkan set
point sehingga suhu tubuh saat itu dianggap berada dibawah batas normal,
akibatnya akan terjadi respon menggigil untuk menghasilkan panas tubuh yang
lebih banyak, sehingga akan terjadi demam. Sedangkan demam yang disebabkan
tanpa adanya pirogen eksogen maka mekanisme terjadinya demam dimulai dari
sekresi pyrogenic cytokines yang pada akhirnya akan menimbulkan demam.
(Jameson dkk, 2018). Demam terdiri dari tiga fase yaitu (Dalal dan Zhukovsky,
2006) :
a. Chill/cold phase : yaitu saat terjadi vasokonstriksi pembuluh darah dan
peningkatan aktivitas otot yang bertujuan untuk mempercepat produksi
panas sehingga tubuh akan terasa kedinginan/menggigil.
b. Fever phase : yaitu saat terjadi keseimbangan antara produksi panas dan
kehilangan panas. Manifestasi yang muncul pada fase ini yaitu kulit
menjadi hangat, merah dan kering.
c. Flush phase : merupakan fase penurunan suhu tubuh melalui produksi
keringat dan vasodilatasi pembuluh darah, manifestasi yang muncul yaitu
tubuh akan tampak kemerahan.

9
Gambar : Patomekanisme Demam (Jameson dkk, 2018)

Gambar : Efek perubahan set point pada pengaturan suhu hipotalamus


(Guyton dan Hall. 2011)

10
2.5 Klasifikasi Demam
a. Demam Akut
Merupakan demam yang berlangsung selama kurang atau sampai dengan
tujuh hari. Adapun beberapa penyakit dengan manifestasi demam akut yaitu
(WHO, 2011) :

Penyakit Gejala, Tanda & Laboratory Findings


Dengue fever Riwayat perjalanan ke daerah endemis
DF
RDT (+) : NS1 atau IGM
Nyeri kepala, nyeri retroorbita, atralgia,
myalgia, petechiae
DL : leukopeni, trombositopeni
Severe case :
 Tanda plasma leakage, shock
 Severe bleeding
Chikungunya Nyeri sendi disertai demam dan ruam
Yellow fever Riwayat perjalanan ke daerah endemis
yellow fever atau terjadi local outbreak
Sudden onset of acute fever abd rigors
Nyeri kepala, nyeri tulang
Diikuti oleh jaundice dalam 2 minggu
Measles Konjungtivitis, coryza, batuk
Koplik’s spot pada mucosa buccal
Limfadenopati
Komplikasi :
 Respiratory tract infection
(pneumonia, bronkiolitis)
 Ensefalitis
 Keratitis

11
Leptospirosis Riwayat kontak dengan rodent
Conjunctival suffusion
Ikterus, renal failure, Haemorrhage
(Weil’s disease)
Influenza Demam dengan onset yang mendadak,
batuk, rhinitis dan nyeri tenggorok
Nyeri kepala, atralgia, myalgia
Riwayat kontak dengan penderita
influenza
Drug-induced fever Disertai ruam/gatal
Obat yang dapat mencetuskan demam :
ART (NVP, ABC, EFV), cotrimoxazole,
dapsone, B-lactan, INH
Reumatic fever Takikardi
Artritis, eritema marginatum

b. Demam Kronis
Merupakan demam yang berlangsung selama lebih dari tujuh hari. Beberapa
penyakit dengan manifestasi demam kronis yaitu (WHO, 2011) :

Penyakit Gejala, Tanda & Laboratory Findings


Tuberculosis Penurunan berat badan, keringat malam
hari, demam, malaise
Batuk > 2 minggu
Typhoid Nyeri kepala
Konstipasi atau diare
Nyeri perut dan tenesmus
Hepato atau splenomegali
“Rose spots” pink macules pada
abdomen.
Malaria Riwayat perjalanan ke daerah endemis

12
malaria
RDT anti malaria (+), hapusan darah (+)
Endokarditis Low grade fever, keringat malam hari
Murmur (+)
Tanda penyakit embolik (stroke)
Tanda gagal jantung (sesak napas)
Liver abscess Nyeri perut kuadran kanan atas
USG abdomen : liver focal lession
Lymphoma Penurunan berat badan, keringat malam
hari
Pembesaran kelenjar getah bening,
hepatosplenomegali

c. Fever of Unknown Origin (FUO)


Fever of Unknown Origin merupakan suatu keadaan demam secara
terus menerus selama tiga minggu dengan suhu tubuh > 38,3°C dan tetap
belum ditemukan penyebabnya walaupun telah di observasi selama satu
minggu secara intensif dengan menggunakan sarana laboratorium dan
penunjang medis lainnnya. Fever of Unknown Origin dibagi dalam empat
kelompok, yaitu (Setiati dkk, 2014) :
1. FUO Klasik
Penderita telah diperiksa di rumah sakit atau di klinik selama tiga hari
berturut turut namun tidak dapat ditetapkan etiologi demam tersebut.
Definisi lain juga menyebutkan bahwa FUO klasik adalah kondisi
demam lebih dari tiga minggu dimana telah dilakukan diagnostik
invasif maupun non-invasif selama satu minggu tanpa dapat
ditetapkan etiologi demam.
2. FUO Nosokomial
Penderita yang pada awalnya dirawat tanpa infeksi di rumah sakit
dan kemudian menderita demam >38,3°C dan sudah diperiksa secara

13
intensif untuk menentukan etiologi demam namun tidak didapatkan
hasil yang jelas.
3. FUO Neutropenik
Penderita yang memiliki hitung jenis neutrofil < 500 ul dengan
demam >38,3°C dan telah dilakukan pemeriksaan intensif selama
tiga hari namun tidak didapatkan hasil yang jelas.
4. FUO HIV
Penderita HIV yang mengalami demam >38,3°C selama empat
minggu pada rawat jalan tanpa dapat ditentukan penyebabnya atau
pada penderita yang dirawat di RS yang mengalami demam selama
lebih dari tiga hari dan telah dilakukan pemeriksaan namun tidak
didapatkan hasil yang jelas.
 Etiologi FUO (Roth dan Basello, 2003) :
1. Infeksi :
a. TBC
b. Abdominal abscesses
c. Dental abscesses
d. Endocarditis
e. Osteomyelitis
f. Sinusitis
g. CMV
h. HIV
2. Keganasan :
a. Leukimia kronik
b. Limfoma
c. Renal sel karsinoma
d. Karsinoma kolon
e. Hepatoma

14
f. Sarkoma
3. Kondisi autoimun :
a. Polymyalgia rheumatica
b. Temporal arteritis
c. Rheumatoid arthritis
d. SLE
4. Miscellaneous :
a. Drug-induced fever
b. Deep venous thrombosis

Gambar : Ringkasan Klasifikasi Empat Subtipe Fever of Unknown Origin (Roth dan
Basello, 2003)

15
Gambar : Algoritma Diagnosis Fever of Unknown Origin (FUO) (Roth dan Basello,
2003).

2.6 Tipe Demam

Tipe Demam Karakteristik Penyakit


Remiten Penurunan suhu tubuh setiap Endokarditis, rickettsiae
hari tetapi tidak pernah infections (Ogoina, 2011).
mencapai suhu tubuh normal.

16
Selisih penurunan suhu
setiap harinya dapat
mencapai 2°C (Setiati dkk,
2014).
Intermiten Demam yang hanya terjadi Malaria :
selama beberapa jam dalam
 Malaria Plasmodium
satu hari (Setiati dkk, 2014).
Dema tipe ini dibagi menjadi falciparum (quotidian)
beberapa jenis (Ogoina,
2011) :  Malaria Plasmodium
 Quotidian: terjadi setiap ovale dan Plasmodium
24 jam
vivax (tertian)
 Tertian : terjadi setiap
48 jam  Malaria Plasmodium
 Quartan : Terjadi setiap
malariae (Quartan)
72 jam
limfoma, leptospira (Ogoina,
2011)
Siklik Kenaikan suhu tubuh selama Dengue Fever
beberapa hari yang diikuti
oleh periode bebas demam
yang kemudian diikuti oleh
kenaikan suhu seperti semula
(Setiati dkk, 2014).
Kontinyu Pada tipe demam kontinyu, Gram negative pneumonia,
perbedaan fluktuasi suhu demam tifoid, UTI, acute
tubuh sepanjang hari tidak bacterial meningitis (Ogoina,
lebih dari 1°C (Setiati dkk, 2011)
2014).

2.7 Diagnosis Demam


Pemeriksaan fisik dan tanda-tanda vital merupakan petunjuk yang relevan
untuk menentukan seseorang mengalami demam atau tidak. Dalam praktik klinis,
terdapat beberapa metode pengukuran suhu tubuh yaitu melalui rektal,oral,
membran timpani dan aksila.
a. Pengukuran suhu rektal
Hasil pengukuran suhu rektal dapat lebih tinggi daripada tempat
pengukuran suhu yang lainnya, hal ini dapat disebabkan oleh aliran darah
yang rendah sehingga mekanisme kehilangan panas sangat terbatas.

17
Pembacaan hasil suhu rektal juga dipengaruhi oleh inflamasi yang terjadi
di sekitar rektum dan panas yang di produksi oleh mikroorganisme dalam
feses (Kimberger, 2013).
b. Pengukuran suhu oral
Suhu oral dapat dipengaruhi konsumsi makanan/minuman yang
dingin/panas. Metode pengukuran suhu ini di kontraindikasikan untuk
pasien dengan gangguan kesadaran dan pasien yang beresiko mengalami
kejang (Kimberger, 2013).
c. Pengukuran suhu membran timpani
Pengukuran suhu dengan metode ini dapat memberikan rasa tidak
nyaman dan dapat menimbulkan resiko ruptur membran timpani apabila
termometer diletakkan terlalu dalam. Adanya serumen dapat
mempengaruhi pembacaan hasil. Otitis media dapat mempengaruhi hasil
0,1°C lebih tinggi (Kimberger, 2013).
d. Pengukuran suhu aksila
Keringat pada aksila dan penempatan termometer yang tidak tepat dapat
memepengaruhi hasil pada metode pengukuran suhu ini (Kimberger,
2013). Suhu aksila lebih rendah 1°C - 2°C lebih rendah dari core
temperature (Kimberger, 2013).
Selain pengukuran suhu tubuh, pemeriksaan lanjutan diperlukan pada pasien
dengan manifestasi demam untuk menentukan etiologi dari demam tersebut.
Beberapa pemeriksaan lanjutan yang dapat dilakukan yaitu :
a. Hematologi
Hematologi merupakan salah satu pemeriksaan yang dapat memberikan
petunjuk bahwa suatu demam disebabkan oleh infeksi atau non infeksi.
Netropenia dapat terlihat pada sebagian infeksi virus khususnya
parvovirus B19, reaksi obat, SLE, tifoid, brucellosis, limfoma, leukimia,
tuberkulosis serta histoplasmosis. Limfositosis dapat terlihat pada
penyakit tifoid dan brucellosis. Jika demam menetap dalam waktu yang

18
lama dan memberat, maka pemeriksaan hapusan darah tepi perlu
dilakukan untuk memeriksa adanya infeksi malaria (Jameson dkk, 2018).
b. Sero-imunologi

Gambar : Daftar Uji Virologis (Setiati dkk, 2014)


c. Mikrobiologi
Isolasi bakteri penyebab infeksi merupakan kriteria diagnosis utama pada
pasien suspek demam karena infeksi.

Gambar : Daftar Uji Bakterio-Parasitologi (Setiati dkk, 2014)

2.8 Terapi Demam

19
Suhu tubuh di atur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya
panas. Namun pada keadaan demam maka keseimbangan tersebut terganggu.
Antipiretik merupakan obat yang mampu menurunkan suhu tubuh kembali ke
suhu normal dengan mekanisme kerjanya yaitu melalui penghambatan enzim
COX di susunan saraf pusat sehingga mencegah konversi asam arakidonat
menjadi prostaglandin yang merupakan mediator demam (Gunawan, 2016).
Aspirin dapat secara efektif menurunkan demam namun efek sampingnya
dapat mempengaruhi trombosit dan GI tract. Gangguan fungsi trombosit terjadi
akibat penghambatan biosintesis tromboksan A2 (TXA2) sedangkan gangguan
pada GI tract terutama tukak lambung terjadi karena hambatan terhadap enzim
COX-1 sebagai enzim yang bersifat protektif terhadap ginjal dan saluran cerna.
Penggunaan acetaminophen lebih disarankan dibandingkan dengan agen
antipiretik lainnya. Pada anak-anak, acetaminophen lebih dipilih dibandingkan
dengan aspirin karena aspirin dapat menimbulkan Reye’s syndrome. Selain
pemberian antipiretik, terapi lainnya juga di sesuaikan dengan penyakit yang
mendasari demam tersebut. Antibiotik dapat diberikan untuk mengatasi infeksi
yang disebabkan oleh bakteri (Jameson dkk, 2018).

Gambar : Mekanisme Kerja Paracetamol (Sharma dan Mehta, 2013)


2.9 Prognosis Demam

20
Prognosis untuk demam ditentukan berdasarkan dengan penyakit penyebab
serta keadaan klinis pasien.
2.10 Komplikasi Demam
Komplikasi demam yang paling sering adalah dehidrasi, sedangkan pada
anak demam tinggi dapat menyebabkan kejang. Komplikasi demam yang lainnya
tergantung dari etiologi demam tersebut, beberapa komplikasi demam
berdasarkan penyakit yang mendasari yaitu :
a. DHF : Syok, ensefalopati dengue, Koagulasi Intravaskular
Diseminata (KID) (Alwi dkk, 2015).
b. Demam typhoid (Tjokroprawiro, 2007)
- Komplikasi intestinal : perdarahan usus, perforasi usus, illeus
paralitik
- Komplikasi ektra intestinal : syok septik, trombositopeni,
hepatitis
c. Leptospirosis : Gagal ginjal, hepatitis (Alwi dkk, 2015).
d. Malaria : Anemia, gagal ginjal akut, malaria serebral
(Tjokroprawiro, 2007)

BAB III

21
KESIMPULAN

Demam adalah peningkatan suhu tubuh yang terjadi bersamaan dengan


peningkatan hypothalamic set point dimana suhu tubuh mencapai > 37,2°C. Terdapat
beberapa istilah yang perlu dibedakan dari demam yaitu hipertermia dan
hiperpireksia. Demam dapat di sebabkan oleh keadaan infeksi maupun non infeksi.
Tubuh memiliki termoregulator yaitu di hipotalamus yang akan melakukan
mekanisme penyesuaian apabila suhu tubuh berada dibawah atau diatas dari set point,
namun pada keadaan demam, mekanisme termoregulasi tersebut dapat terganggu.
Diagnosis dan terapi demam disesuaikan berdasarkan etiologi dari demam tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

22
Alwi dkk. 2015. Panduan Praktik Klinis Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : Interna Publishing. Hal : 885

Dalal S dan Zhukovsky. 2006. Pathophysiology and Management of Fever. Texas :


The Journal of Supportive Oncology. Hal 11.

Guyton dan Hall. 2011. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. USA : Elsevier. Hal : 875.

Jameson dkk. 2018. Harrison’s Principle of Internal Medicine 20th Edition. USA :
McGraw-Hill Education

Kasper dkk. 2005. Harrison’s Principle of Internal Medicine 16th Edition. USA :
McGraw-Hill Education

Kemenkes. 2007. Kejadian Demam Tinggi dengan Angka Kematian Tinggi di RS Sint
Carolus Jakarta Pusat. Www.depkes.go.id. Diakses pada tanggal 16
September 2019 pukul 15:38.

Kimberger O. 2013. The Significance of Core Temperature – Pathophysiology and


Measurement Methods. Jerman : Drager.

Ogoina, Dimie. 2011. Fever, Fever Patterns and Diseases Called ‘Fever’-A Review.
Journal of Infection and Public Health : Elsevier

Roth dan Basello. 2003. Approach to the Adult Patient with Fever of Unknown
Origin. American Family Physician Vol. 68 No.11. Hal : 2224

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. 2014. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing.

Sharma dan Mehta. 2013. Paracetamol: Mechanisms and Updates. UK : Oxford


University Press. Hal : 154.

Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. EGC. Hal :
714.

Tjokroprawiro, Askandar. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya :


Airlangga University Press.

Worl Health Organization. 2011. IMAI District Clinician Manual : Hospital Care for
Adolescents and Adults Vol. 2. Switzerland. Hal. 22-25.

23
24

Anda mungkin juga menyukai