Oleh:
Dosen Pembimbing:
dr. NYIMAS MAIDA SHOFA, Sp. PD
2019
1
HALAMAN PENGESAHAN
NPM : 19710027
Fakultas : Kedokteran
Disetujui oleh:
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
“Demam”. Referat ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan
dalam menyusun referat ini sangat terbatas. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca.
Tidak lupa penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada dr. Nyimas
Dalam di RSUD Ibnu Sina Gresik. Semoga referat ini dapat memberikan
Penulis
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
2.3 Fisiologi Pengaturan Suhu Tubuh
7
Bila pusat suhu hipotalamus mendeteksi bahwa suhu tubuh terlalu panas
atau terlalu dingin, hipotalamus akan melakukan mekanisme penurunan atau
peningkatan suhu tubuh yang sesuai. Sistem termoregulator memiliki tiga
mekanisme penting untuk menurunkan suhu tubuh ketika suhu tubuh sangat
tinggi, yaitu sebagai berikut (Guyton dan Hall, 2011) :
1. Vasodilatasi pembuluh darah kulit. Pembuluh darah kulit pada semua
area tubuh akan berdilatasi dengan kuat. Hal ini disebabkan oleh
hambatan pusat simpatis di hipotalamus posterior yang menyebabkan
hambatan vasokonstriksi. Vasodilatasi akan meningkatkan kecepatan
pemindahan panas ke kulit sebanyak delapan kali lipat.
2. Berkeringat. Penurunan suhu tubuh dengan berkeringat merupakan
pengeluaran panas melalui mekanisme evaporasi.
3. Penurunan pembentukan panas. Mekanisme yang menyebabkan
pembentukan panas yang berlebihan, seperti menggigil akan dihambat
dengan kuat.
Sedangkan ketika tubuh terlalu dingin, sistem termoregulasi akan
melakukan mekanisme yang berlawanan (Guyton dan Hall, 2011) :
1. Vasokonstriksi kulit di seluruh tubuh. Hal ini disebabkan oleh
rangsangan dari pusat simpatis hipotalamus posterior.
2. Peningkatan termogenesis (pembentukan panas), dengan menggigil,
rangsang simpatis, dan sekresi tiroksin.
8
mensekresi pyrogenic cytokines (IL-1, IL-6, IFN, TNF). Pyrogenic cytokines
tersebut kemudian akan merangsang sel-sel endotel hipotalamus untuk
mengeluarkan asam arakidonat yang akan menginduksi sekresi prostaglandin
(PGE2). Sekresi prostaglandin akan mempengaruhi kerja termostat di
hipotalamus, sebagai kompensasinya maka hipotalamus akan meningkatkan set
point sehingga suhu tubuh saat itu dianggap berada dibawah batas normal,
akibatnya akan terjadi respon menggigil untuk menghasilkan panas tubuh yang
lebih banyak, sehingga akan terjadi demam. Sedangkan demam yang disebabkan
tanpa adanya pirogen eksogen maka mekanisme terjadinya demam dimulai dari
sekresi pyrogenic cytokines yang pada akhirnya akan menimbulkan demam.
(Jameson dkk, 2018). Demam terdiri dari tiga fase yaitu (Dalal dan Zhukovsky,
2006) :
a. Chill/cold phase : yaitu saat terjadi vasokonstriksi pembuluh darah dan
peningkatan aktivitas otot yang bertujuan untuk mempercepat produksi
panas sehingga tubuh akan terasa kedinginan/menggigil.
b. Fever phase : yaitu saat terjadi keseimbangan antara produksi panas dan
kehilangan panas. Manifestasi yang muncul pada fase ini yaitu kulit
menjadi hangat, merah dan kering.
c. Flush phase : merupakan fase penurunan suhu tubuh melalui produksi
keringat dan vasodilatasi pembuluh darah, manifestasi yang muncul yaitu
tubuh akan tampak kemerahan.
9
Gambar : Patomekanisme Demam (Jameson dkk, 2018)
10
2.5 Klasifikasi Demam
a. Demam Akut
Merupakan demam yang berlangsung selama kurang atau sampai dengan
tujuh hari. Adapun beberapa penyakit dengan manifestasi demam akut yaitu
(WHO, 2011) :
11
Leptospirosis Riwayat kontak dengan rodent
Conjunctival suffusion
Ikterus, renal failure, Haemorrhage
(Weil’s disease)
Influenza Demam dengan onset yang mendadak,
batuk, rhinitis dan nyeri tenggorok
Nyeri kepala, atralgia, myalgia
Riwayat kontak dengan penderita
influenza
Drug-induced fever Disertai ruam/gatal
Obat yang dapat mencetuskan demam :
ART (NVP, ABC, EFV), cotrimoxazole,
dapsone, B-lactan, INH
Reumatic fever Takikardi
Artritis, eritema marginatum
b. Demam Kronis
Merupakan demam yang berlangsung selama lebih dari tujuh hari. Beberapa
penyakit dengan manifestasi demam kronis yaitu (WHO, 2011) :
12
malaria
RDT anti malaria (+), hapusan darah (+)
Endokarditis Low grade fever, keringat malam hari
Murmur (+)
Tanda penyakit embolik (stroke)
Tanda gagal jantung (sesak napas)
Liver abscess Nyeri perut kuadran kanan atas
USG abdomen : liver focal lession
Lymphoma Penurunan berat badan, keringat malam
hari
Pembesaran kelenjar getah bening,
hepatosplenomegali
13
intensif untuk menentukan etiologi demam namun tidak didapatkan
hasil yang jelas.
3. FUO Neutropenik
Penderita yang memiliki hitung jenis neutrofil < 500 ul dengan
demam >38,3°C dan telah dilakukan pemeriksaan intensif selama
tiga hari namun tidak didapatkan hasil yang jelas.
4. FUO HIV
Penderita HIV yang mengalami demam >38,3°C selama empat
minggu pada rawat jalan tanpa dapat ditentukan penyebabnya atau
pada penderita yang dirawat di RS yang mengalami demam selama
lebih dari tiga hari dan telah dilakukan pemeriksaan namun tidak
didapatkan hasil yang jelas.
Etiologi FUO (Roth dan Basello, 2003) :
1. Infeksi :
a. TBC
b. Abdominal abscesses
c. Dental abscesses
d. Endocarditis
e. Osteomyelitis
f. Sinusitis
g. CMV
h. HIV
2. Keganasan :
a. Leukimia kronik
b. Limfoma
c. Renal sel karsinoma
d. Karsinoma kolon
e. Hepatoma
14
f. Sarkoma
3. Kondisi autoimun :
a. Polymyalgia rheumatica
b. Temporal arteritis
c. Rheumatoid arthritis
d. SLE
4. Miscellaneous :
a. Drug-induced fever
b. Deep venous thrombosis
Gambar : Ringkasan Klasifikasi Empat Subtipe Fever of Unknown Origin (Roth dan
Basello, 2003)
15
Gambar : Algoritma Diagnosis Fever of Unknown Origin (FUO) (Roth dan Basello,
2003).
16
Selisih penurunan suhu
setiap harinya dapat
mencapai 2°C (Setiati dkk,
2014).
Intermiten Demam yang hanya terjadi Malaria :
selama beberapa jam dalam
Malaria Plasmodium
satu hari (Setiati dkk, 2014).
Dema tipe ini dibagi menjadi falciparum (quotidian)
beberapa jenis (Ogoina,
2011) : Malaria Plasmodium
Quotidian: terjadi setiap ovale dan Plasmodium
24 jam
vivax (tertian)
Tertian : terjadi setiap
48 jam Malaria Plasmodium
Quartan : Terjadi setiap
malariae (Quartan)
72 jam
limfoma, leptospira (Ogoina,
2011)
Siklik Kenaikan suhu tubuh selama Dengue Fever
beberapa hari yang diikuti
oleh periode bebas demam
yang kemudian diikuti oleh
kenaikan suhu seperti semula
(Setiati dkk, 2014).
Kontinyu Pada tipe demam kontinyu, Gram negative pneumonia,
perbedaan fluktuasi suhu demam tifoid, UTI, acute
tubuh sepanjang hari tidak bacterial meningitis (Ogoina,
lebih dari 1°C (Setiati dkk, 2011)
2014).
17
Pembacaan hasil suhu rektal juga dipengaruhi oleh inflamasi yang terjadi
di sekitar rektum dan panas yang di produksi oleh mikroorganisme dalam
feses (Kimberger, 2013).
b. Pengukuran suhu oral
Suhu oral dapat dipengaruhi konsumsi makanan/minuman yang
dingin/panas. Metode pengukuran suhu ini di kontraindikasikan untuk
pasien dengan gangguan kesadaran dan pasien yang beresiko mengalami
kejang (Kimberger, 2013).
c. Pengukuran suhu membran timpani
Pengukuran suhu dengan metode ini dapat memberikan rasa tidak
nyaman dan dapat menimbulkan resiko ruptur membran timpani apabila
termometer diletakkan terlalu dalam. Adanya serumen dapat
mempengaruhi pembacaan hasil. Otitis media dapat mempengaruhi hasil
0,1°C lebih tinggi (Kimberger, 2013).
d. Pengukuran suhu aksila
Keringat pada aksila dan penempatan termometer yang tidak tepat dapat
memepengaruhi hasil pada metode pengukuran suhu ini (Kimberger,
2013). Suhu aksila lebih rendah 1°C - 2°C lebih rendah dari core
temperature (Kimberger, 2013).
Selain pengukuran suhu tubuh, pemeriksaan lanjutan diperlukan pada pasien
dengan manifestasi demam untuk menentukan etiologi dari demam tersebut.
Beberapa pemeriksaan lanjutan yang dapat dilakukan yaitu :
a. Hematologi
Hematologi merupakan salah satu pemeriksaan yang dapat memberikan
petunjuk bahwa suatu demam disebabkan oleh infeksi atau non infeksi.
Netropenia dapat terlihat pada sebagian infeksi virus khususnya
parvovirus B19, reaksi obat, SLE, tifoid, brucellosis, limfoma, leukimia,
tuberkulosis serta histoplasmosis. Limfositosis dapat terlihat pada
penyakit tifoid dan brucellosis. Jika demam menetap dalam waktu yang
18
lama dan memberat, maka pemeriksaan hapusan darah tepi perlu
dilakukan untuk memeriksa adanya infeksi malaria (Jameson dkk, 2018).
b. Sero-imunologi
19
Suhu tubuh di atur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya
panas. Namun pada keadaan demam maka keseimbangan tersebut terganggu.
Antipiretik merupakan obat yang mampu menurunkan suhu tubuh kembali ke
suhu normal dengan mekanisme kerjanya yaitu melalui penghambatan enzim
COX di susunan saraf pusat sehingga mencegah konversi asam arakidonat
menjadi prostaglandin yang merupakan mediator demam (Gunawan, 2016).
Aspirin dapat secara efektif menurunkan demam namun efek sampingnya
dapat mempengaruhi trombosit dan GI tract. Gangguan fungsi trombosit terjadi
akibat penghambatan biosintesis tromboksan A2 (TXA2) sedangkan gangguan
pada GI tract terutama tukak lambung terjadi karena hambatan terhadap enzim
COX-1 sebagai enzim yang bersifat protektif terhadap ginjal dan saluran cerna.
Penggunaan acetaminophen lebih disarankan dibandingkan dengan agen
antipiretik lainnya. Pada anak-anak, acetaminophen lebih dipilih dibandingkan
dengan aspirin karena aspirin dapat menimbulkan Reye’s syndrome. Selain
pemberian antipiretik, terapi lainnya juga di sesuaikan dengan penyakit yang
mendasari demam tersebut. Antibiotik dapat diberikan untuk mengatasi infeksi
yang disebabkan oleh bakteri (Jameson dkk, 2018).
20
Prognosis untuk demam ditentukan berdasarkan dengan penyakit penyebab
serta keadaan klinis pasien.
2.10 Komplikasi Demam
Komplikasi demam yang paling sering adalah dehidrasi, sedangkan pada
anak demam tinggi dapat menyebabkan kejang. Komplikasi demam yang lainnya
tergantung dari etiologi demam tersebut, beberapa komplikasi demam
berdasarkan penyakit yang mendasari yaitu :
a. DHF : Syok, ensefalopati dengue, Koagulasi Intravaskular
Diseminata (KID) (Alwi dkk, 2015).
b. Demam typhoid (Tjokroprawiro, 2007)
- Komplikasi intestinal : perdarahan usus, perforasi usus, illeus
paralitik
- Komplikasi ektra intestinal : syok septik, trombositopeni,
hepatitis
c. Leptospirosis : Gagal ginjal, hepatitis (Alwi dkk, 2015).
d. Malaria : Anemia, gagal ginjal akut, malaria serebral
(Tjokroprawiro, 2007)
BAB III
21
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
22
Alwi dkk. 2015. Panduan Praktik Klinis Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : Interna Publishing. Hal : 885
Guyton dan Hall. 2011. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. USA : Elsevier. Hal : 875.
Jameson dkk. 2018. Harrison’s Principle of Internal Medicine 20th Edition. USA :
McGraw-Hill Education
Kasper dkk. 2005. Harrison’s Principle of Internal Medicine 16th Edition. USA :
McGraw-Hill Education
Kemenkes. 2007. Kejadian Demam Tinggi dengan Angka Kematian Tinggi di RS Sint
Carolus Jakarta Pusat. Www.depkes.go.id. Diakses pada tanggal 16
September 2019 pukul 15:38.
Ogoina, Dimie. 2011. Fever, Fever Patterns and Diseases Called ‘Fever’-A Review.
Journal of Infection and Public Health : Elsevier
Roth dan Basello. 2003. Approach to the Adult Patient with Fever of Unknown
Origin. American Family Physician Vol. 68 No.11. Hal : 2224
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. 2014. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing.
Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. EGC. Hal :
714.
Worl Health Organization. 2011. IMAI District Clinician Manual : Hospital Care for
Adolescents and Adults Vol. 2. Switzerland. Hal. 22-25.
23
24