Anda di halaman 1dari 58

LAPORAN KASUS

Seorang Perempuan 72 Tahun Datang dengan Keluhan Sesak


Napas 2 hari Sebelum Masuk Rumah Sakit

Oleh :

Tiara Yosepha, S. Ked

71 2017 041

Pembimbing :

dr. Yudi Fadilah, Sp.PD, KKV, FINASIM,MARS

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG

RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG

2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan Laporan Kasus dengan Judul

Seorang Perempuan 72 Tahun Datang dengan Keluhan Sesak Napas 2 hari


Sebelum Masuk Rumah Sakit

Disusun Oleh

Tiara Yosepha, S. Ked

71 2017 041

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior (KKS) di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS Muhammadiyah Palembang,
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang periode Januari –
Februari 2018.

Palembang, Januari 2019

Pembimbing,

dr. Yudi Fadilah, Sp.PD, KKV, FINASIM,MARS

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul
“Seorang Perempuan 72 Tahun Datang dengan Keluhan Sesak Napas 2 hari
Sebelum Masuk Rumah Sakit”, sebagai salah satu tugas individu di Bagian Ilmu
Penyakit Dalam di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang. Shalawat dan salam
selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga,
sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.

Penulis menyadari bahwa laporan ini belum sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bahan
pertimbangan perbaikan di masa mendatang.

Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bantuan,


bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, baik yang diberikan secara lisan
maupun tulisan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih terutama kepada:

1. dr. Yudi Fadilah, Sp.PD, KKV selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan banyak ilmu, saran, dan bimbingan selama penyusunan Laporan
Kasus ini.
2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa
yang tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan sejawat seperjuangan serta semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis berharap semoga Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam
lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, Januari 2019

Penulis

DAFTAR ISI

3
Halaman

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii

KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1

BAB II LAPORAN KASUS………………………………………………...... 3

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 18

BAB IV ANALISIS KASUS ............................................................................ 48

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 50

BAB I
4
PENDAHULUAN

Gagal jantung menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama pada


beberapa Negara industri maju dan Negara berkembang seperti Indonesia. Data
epidemiologi untuk gagal jantung di Indonesia belum ada, namun ada Survei
Kesehatan Nasional 2003 dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi merupakan
penyebab kematian utama di Indonesia (26,4%) dan pada Profil Kesehatan
Indonesia 2003 disebutkan bahwa penyakit jantung berada di urutan ke-delapan
(2,8%) pada 10 penyakit penyebab kematian terbanyak di rumah sakit di
Indonesia.
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa
tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab tersering terjadinya gagal
jantung di Negara Barat yaitu sekitar 60-75% kasus. Hipertensi mempunyai
kontribusi untuk terjadinya gagal jantung sebesar 75% yang termasuk didalamnya
bersamaan dengan penyakit jantung koroner. Gagal jantung dengan sebab yang
tidak diketahui sebanyak 20 – 30% kasus.
Di antara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu diantara
penyakit tidak menular yang akan meningkat di masa datang. Diabetes sudah
merupakan suatu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad ke 21.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000
jumlah pengidab diabetes diatas usia 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan
dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu akan
membengkak menjadi 300 juta orang ( Sudoyo, Aru W,2006).
Diabetes adalah salah satu penyakit yang paling sering diderita dan
penyakit kronik yang serius di Indonesia saat ini. Setengah dari jumlah kasus
Diabetes Mellitus (DM) tidak terdiagnosa karena pada umumnya diabetes tidak
disertai gejala sampai terjadinya komplikasi. Prevalensi penyakit diabetes
meningkat karena terjadi perubahan gaya hidup, kenaikan jumlah kalori yang
dimakan, kurangnya aktifitas fisik dan meningkatnya jumlah populasi manusia
usia lanjut.
5
Dengan makin majunya keadaan sosio ekonomi masyarakat Indonesia
serta pelayanan kesehatan yang makin baik dan merata, diperkirakan tingkat
kejadian penyakit diabetes mellitus (DM) akan makin meningkat. Penyakit ini
dapat menyerang segala lapisan umur dan sosio ekonomi. Dari berbagai penelitian
epidemiologis di Indonesia di dapatkan prevalensi sebesar 1,5-2,3 % pada
penduduk usia lebih besar dari 15 tahun. Pada suatu penelitian di Manado
didapatkan prevalensi 6,1 %. Penelitian di Jakarta pada tahun 1993 menunjukkan
prevalensi 5,7%.

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
No. RM : 22-28-67
Nama : Ny. H
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 72 tahun
Alamat : Jalan KH.Azhari No.16. RT 12.RW 06 Kel.
Tangga Takat
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
6
Status perkawinan : Kawin
Agama : Islam
MRS : 14 Januari 2019
Ruangan : Ahmad Dahlan 7 Bed 3

2.2 Anamnesis (14 Januari 2019)


Keluhan Utama:
Sesak napas sejak 2 hari SMRS.
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Sesak nafas dirasakan sejak 1 minggu yang lalu, memberat sejak 2 hari
yang lalu. Sesak dirasakan saat istirahat, sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca.
Sesak tidak disertai bunyi mengi. Os mengeluh sering mudah lelah. Pasien
juga mengeluh susah tidur karena sesak napas makin berat saat berbaring,
pasien lebih nyaman menggunakan 3 bantal tersusun saat tidur. Nyeri dada
(-), berdebar-debar (+), mual muntah (-).

Sejak 4 hari yang lalu os mengeluh kakinya mulai bengkak dan perut
kembung. BAB dan BAK biasa, os menyangkal adanya demam, nafsu
makan menurun.

Sejak 1 tahun yang lalu, pasien masuk rumah sakit dengan keluhan
yang sama yaitu sesak napas. Setelah keluar dari rumah sakit pasien tidak
pernah kontrol ulang mengenai penyakit yang dideritanya. Sejak saat itu
setiap harinya pasien lebih sering melakukan aktivitas di tempat tidur.
Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 10 tahun, tidak terkontrol.
Pasisen juga memiliki riwayat DM sejak 6 tahun yang lalu, tidak terkontrol.

2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat hipertensi ada sejak 10 tahun.
 Riwayat nyeri dada disangkal.
 Riwayat penyakit jantung ada sejak 1 tahun.
 Riwayat penyakit Diabetes Mellitus ada sejak 6 tahun.

2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit hipertensi : disangkal
Riwayat penyakit diabetes melitus : disangkal
7
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit paru : disangkal

2.5 Riwayat Kebiasaan


Riwayat suka makanan tinggi kolestrol :Ya, senang makanan berminyak.
Riwayat minum alkohol : disangkal

2.6 Pemeriksaan fisik


Dilakukan pada tanggal 14 Januari 2019
Keadaan Umum:
- Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
- Kesadaran : Apatis
- Tekanan darah : 150/100 mmHg
- Nadi : 130 x/ menit, reguler isi dan tegangan cukup
- Pernafasan : 28 x/ menit, tipe abdominothorakal
- Temperature : 36,5 oC
- Berat Badan : 70 kg
- Tinggi Badan : 155 cm

Keadaan Spesifik:
1. Pemeriksaan Kepala:
- Bentuk kepala : Normochepali
- Rambut : Putih, tidak rontok, tidak mudah dicabut
- Muka : Simetris, Pucat (-)

2. Pemeriksaan Mata:
- Exoftalmus : Tidak ada
- Endoftalmus : Tidak ada
- Palpebra : Edema (-/-)
- Konjungtiva : Anemis (-/-)
- Sklera : Ikterik (-/-)
- Kornea : jernih (+/+)
- Pupil : Refleks cahaya (+/+), (3mm/3mm), isokor.
- Gerakan : Baik kesegala arah
- Lapang Pandang : Luas

3. Pemeriksaan Telinga :
- Liang telinga : Normal
- Serumen : (-/-)
- Sekret : (-/-)
- Nyeri tekan : (-/-)
- Gangguan pendengaran : (-)

8
4. Pemeriksaan Hidung :
- Deformitas : (-)
- Nafas cuping hidung : (-/-)
- Sekret : (-)
- Epistaksis : (-)
- Mukosa hiperemis : (-)
- Septum deviasi : (-)
5. Pemeriksaan Mulut dan Tengorokan:
- Bibir : sianosis (-)
- Gusi : hiperemis (-)
- Lidah : kotor (-) Atrofi (-)
- Tonsil : T1/T1
- Faring : hiperemis (-)
6. Pemeriksaan Leher :
- Inspeksi : Simetris, tidak terlihat benjolan, lesi pada
kulit (-)
- Palpasi : Pembesaran Tiroid (-), Pembesaran KGB(-)
- JVP : 5+2 cm H2O
7. Pemeriksaan Kulit :
- Hiperpigmentasi : (-)
- Ikterik : (-)
- Petikhie : (-),
- Sianosis : (-)
- Pucat pada telapak tangan dan kaki : (-)
- Turgor : CRT < 2 detik.

8. Pemeriksaan Thorax:
Paru Depan
Inspeksi : Statis Dinamis simetris
Statis  Kanan sama dengan kiri
Dinamis  Tidak ada yang teringgal
Sela iga melebar (-), retraksi intercostae (-), benjolan (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri, benjolan (-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+) melemah, ronki (+/+), wheezing (+/+)

Paru Belakang
Inspeksi : Simetris statis dan dinamis
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru.
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, ronki (+/+), wheezing (-/-)

JANTUNG
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
9
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi :
- Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
- Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
- Batas kiri : ICS VI linea Axillaris anterior sinistra
Auskultasi : HR: 130 x/menit; BJ, Murmur (-), gallop (-)

9. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Cembung, venektasi (-), caput medusa (-), spider nevi (-),
benjolan(-)
Palpasi : Tegang, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien sulit dinilai,
massa (-), ballotement (-)
Perkusi : Sulit dinilai, undulasi sulit dinilai, shifting dullness sulit dinilai
Auskultasi : Bising usus (+) Normal

10. Pemeriksaan Genitalia:


Tidak diperiksa
11. Ekstremitas:
Superior : Akral hangat (+/+), edema (-/-), kekuatan (tidak bisa dinilai),
eritema (-), CRT< 2 detik
Inferior : Akral hangat (+/+), edema (+/+), kekuatan (tidak bisa dinilai),
Eritema (-), CRT< 2 detik

2.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan EKG

10
Interpretasi:
HR: 150x/menit reguler, irama sinus, axis ke kiri, interval PR normal,
kompleks QRS normal dan interval QRS normal, segmen ST normal,
interval QT normal, gelombang T tinggi.

2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hematologi
- Hemoglobin 13,7 g/dL 14.0 - 18.0
- Hematokrit 38,9 % 37,0 - 47,0
- Jumlah trombosit 272 103/ul 150 – 440
- Leukosit 16,1 103 /ul 4.2 - 11.0
- Hitung jenis
o Eosinofil 0.1 % 1- 3
o Basofil 0.1 % 0–1
o Netrofil 94.5 % 40.0 - 60.0
o Limfosit 3.1% 20.0 – 50.0
o Monosit 2.2 % 2–8
Kimia Klinik
BSS Stik 231 mg/dL 70 - 140
Ureum 36 mg/dL 10 - 50
Kreatinin 0,7 mg/dL 0.60 - 1.50
Natrium 139 mEq/L 135 - 148
Kalium 3.9 mEq/L 3.5 - 5.5

3. Pemeriksaan Rontgen Thorax AP


 Cor membesar
 Kalsifikasi / elongasi aorta
 Diafragma kanan dan kiri licin
 Sinus kostofrenikus kanan dan kiri lancip
 Tulang-tulang intak dan soft tissue baik.
 Soft tissue baik
Kesan:
Cardiomegali.

11
2.7 Resume
Sesak nafas dirasakan sejak 1 minggu yang lalu, yang semakin
memberat sejak 2 hari yang lalu. Sesak dirasakan saat istirahat, sesak tidak
dipengaruhi oleh cuaca. Sesak tidak disertai bunyi mengi. Os mengeluh
sering mudah lelah. Pasien juga mengeluh susah tidur karena sesak napas
makin berat saat berbaring, pasien lebih nyaman menggunakan 3 bantal
tersusun saat tidur. Nyeri dada (-), berdebar-debar (+), mual muntah (-).

Sejak 4 hari yang lalu os mengeluh kakinya mulai bengkak dan perut
kembung. BAB dan BAK biasa, os menyangkal adanya demam. Nafsu
makan menurun.
Sejak 1 tahun yang lalu, pasien masuk rumah sakit dengan keluhan
yang sama yaitu sesak napas. Setelah keluar dari rumah sakit pasien tidak
pernah kontrol ulang mengenai penyakit yang dideritanya. Sejak saat itu
setiap harinya pasien lebih sering melakukan aktivitas di tempat tidur.
Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 10 tahun, tidak terkontrol.
Pasisen juga memiliki riwayat DM sejak 6 tahun yang lalu, dan tidak
terkontrol.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak sakit sedang dan
kesadaran apatis. Tekanan darah 150/100 mmHg. Nadi: 130x/menit regular,
isi dan tegangan cukup. Respiration rate: 28x/menit dan temperature 36,5oC.
Dari pemeriksaan keadaan spesifik, kepala: normochepali. Leher: JVP: 5+2
cm H2O. Pulmo; auskultasi: vesikuler (+/+), ronki (+/+), wheezing (-/-).
Jantung; perkusi: batas atas ICS II linea parasternalis sinistra, batas kanan
ICS IV linea parasternalis dextra, batas kiri ICS VI linea Axillaris anterior
sinistra. Auskultasi: HR: 130 x/menit; BJ, Murmur (-), gallop (-).
Ekstremitas : edema tungkai.
Hasil rontgen thorax didapatkan kesan Cardiomegali. Dari hasil
pemeriksaan EKG didapatkan HR: 150x/menit reguler, irama sinus, axis ke
kiri, interval PR normal, kompleks QRS normal dan interval QRS normal,
segmen ST normal, interval QT normal, gelombang T tinggi.

2.8 Diagnosis Banding


Congestive Heart Failure et causa HHD
12
Kardiomiopati Diabetik

2.9 Diagnosis Kerja


Congestive Heart Failure et causa Hipertensi Heart Disease + DM Tipe II

2.9 Penatalaksanaan
Non Farmakologis
1. Istirahat tirah baring.
2. Edukasi (disarankan untuk membatasi aktivitas)
3. Terapi gizi (hindari obesitas, diet rendah garam, dan rendah
karbohidrat).
4. Mengatur posisi senyaman mungkin.

Farmakologis
1. IVFD RL gtt 20 x/menit
2. Oksigen 3 L/menit
3. Furosemid 2x1 (20 mg) / iv
4. Spironolacton 1x1 (25 mg) / po
5. Clopidogrel 1x 75 mg tab / po
6. Captopril 2x25 mg tab / po
7. Nitrogliserin 2x 5 mg tab / po
8. Novorapid 3x 100 u/ml

2.10 Prognosis
- Quo ad vitam : Dubia ad malam
- Quo ad fungtionam : Dubia ad malam

FOLLOW UP

15 Januari 2018 S/ Sesak nafas (+), Gelisah, P/


O/
 IVFD RL gtt 20 x/menit
Keadaan Umum: Tampak Sakit
 Oksigen 3 L/menit
Sedang  Furosemid 2x1 (20 mg) / iv
Kesadaran: Apatis  Spironolacton 1x1 (25
Tanda Vital
TD: 160/100 mmHg mg) / po
N : 134x/menit  Clopidogrel 1x 75 mg tab /
RR: 28 x/menit
13
T: 36,60C po
 Captopril 2x25 mg tab / po
Pemeriksaan Fisik  Nitrogliserin 2x 5 mg tab /
Kepala: Konjungtiva anemis (-/-),
po
sklera ikterik (-/-)  Novorapid 3x 100 u/ml
Leher: JVP: 5+2 cm H2O,
Pembesaran KGB (-)

Cor:
Ictus Cordis tidak terlihat, BJ 1 dan
II regular, murmur (-) Gallop (-).

Pulmo:
Statis Dinamis simetris, Stem
Fremitus kanan sama dengan kiri,
nyeri tekan, vesikuler (+), rhonki (+/
+), wheezing (-/-)

Abdomen:
Cembung, tegang, hepar dan lien
sulit dinilai.

Extremitas: Hangat, Pitting Edema


(+/+)

A/ CHF e.c HHD + DM tipe II

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

GAGAL JANTUNG
3.1. Definisi
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan
darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan
tekanan pengisian jantung yang tinggi atau kedua-duanya.4
Secara singkat menurut Sonnenblik, gagal jantung terjadi apabila
jantung tidak mampu memompakan darah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolik tubuh pada tekanan pengisian yang normal, meskipun
aliran balik vena (venous return) ke jantung dalam keadaan normal.5

3.2. Epidemiologi
Di Amerika Insidens Gagal Jantung tetap stabil selama beberapa
dekade ini , dengan >650.000 kasus gagal jantung baru didiagnosa setiap
tahunnya. Insidens Gagal jantung mengingkat dengan usia , peningkatan dari
20 kasus per 1,000 individu usia 65-69 tahun hingga > 80 per 1.000
individual diantara usia >85 tahun kehidupan.6
Data epidemiologi untuk gagal jantung di Indonesia belum ada, namun
ada Survei Kesehatan Nasional 2003 dikatakan bahwa penyakit sistem
sirkulasi merupakan penyebab kematian utama di Indonesia (26,4%) dan
pada Profil Kesehatan Indonesia 2003 disebutkan bahwa penyakit jantung
berada di urutan ke-delapan (2,8%) pada 10 penyakit penyebab kematian
terbanyak di rumah sakit di Indonesia.2 Di antara 10 penyakit terbanyak pada

15
sistem sirkulasi darah, stroke tidak berdarahah atau infark menduduki
urutan penyebab kematian utama, yaitu sebesar 27 % (2002), 30%(2003) ,
dan 23,2%( 2004). Gagal jantung menempati urutan ke-5 sebagai penyebab
kematian yang terbanyak pada sistim sirkulasi pada tahun 2005.3

3.3. Klasifikasi
3.3.1. Lokasi : Gagal Jantung kiri dan kanan
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan
tekanan vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas
dan orthopnea. Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya
melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal
primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti
vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan
distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia gagal
jantung terjadi pada miokard ke-2 ventrikel, maka retensi cairan pada
gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi
berbeda.
3.3.2. Fungsi : Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit
dibedakan dari pemeriksaan fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya
dapat dibedakan dengan echocardiography.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi
jantung memompa sehingga curah jantung menurun dan
menyebabkan kelemahan, kemampuan aktivitas fisik menurun dan
gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan
gangguan pengisian ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan
sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Ada 3
macam gangguan fungsi diastolik ; Gangguan relaksasi, pseudo-
normal, tipe restriktif.
3.3.3. Volume darah yang dipompa : Low output dan high output
Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi,
kardiomiopati dilatasi, kelainan katup dan perikard. High output
16
heart failure ditemukan pada penurunan resistensi vaskular sistemik
seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A – V, beri-beri,
dan Penyakit Paget. Secara praktis, kedua kelainan ini tidak dapat
dibedakan.
3.3.4. Akut-Kronik
Gagal Jantung Akut
Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat (rapid
onset) dari gejala-gejala atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang
abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya sakit jantung
sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa disfungsi sistolik atau
disfungsi diastolik, keadaan irama jantung yang abnormal atau
ketidakseimbangan dari preload atau afterload. Gagal jantung akut
dapat berupa acute de novo (serangan baru dari gagal jantung akut,
tanpa ada kelainan jantung sebelumnya) atau dekompensasi akut dari
gagal jantung kronik.
Klasifikasi gagal jantung akut berdasarkan manifestasi klinis7:
a. Gagal jantung dekompensasi (Acute decompensated congestive
heart failure). Biasanya ada riwayat perburukan progresif pada
pasien yang telah diketahui gagal jantung yang sedang dalam
pengobatan dan bukti adanya bendungan paru dan sistemik.
b. Gagal jantung akut hipertensif (Acute heart failure with
hypertension/crisis hypertension). Tanda dan gejala gagal
jantung disertai peningkatan tekanan darah dan biasanya fungsi
ventrikel kiri masih baik. Terdapat bukti peningkatan tonus
simpatis dengan takikardi dan vasokonstriksi. Responnya cepat
terhadap terapi yang tepat dan mortaliti rumah sakitnya rendah.
c. Gagal jantung akut dengan edema paru (Acute heart failure with
pulmonary edema). Pasien yang datang dengan distress
pernafasan berat, takipnoe, dan ortopnoe, dengan ronki basah
halus seluruh lapangan paru. Saturasi O2 arteri biasanya < 90°
pada udara ruangan sebelum diterapi oksigen.
d. Syok kardiogenik (Cardiogenic shock/ low output syndrome).
Adanya bukti hipoperfusi jaringan akibat gagal jantung setelah
17
dilakukan koreksi preload dan aritmia mayor. Bukti hipoperfusi
organ dan bendungan paru terjadi dengan cepat.
e. High output failure. Ditandai tingginya curah jantung, umumnya
disertai laju jantung yang sangat cepat (penyebabnya antara
lain : aritmia, tirotoksikosis, anemia, penyakit paget, iatrogenik),
dengan perifer hangat, kongesti paru, dan kadang tekanan darah
yang rendah seperti pada syok septik.
f. Gagal jantung kanan (Righ-sided acute heart failure). Ditandai
oleh sindrom low output dengan peningkatan tekanan vena
sentral tanpa disertai kongesti paru.
g. Sindrom koroner akut dan gagal jantung. Banyak pasien gagal
jantung datang dengan gambaran klinis dan bukti laboratoris
sindrom koroner akut. Sekitar 15% pasien dengan sindrom
koroner akut memiliki tanda dan gejala gagal jantung akut.

Klasifikasi yang lain telah divalidasi pada perawatan


kardiomiopati, yang berdasarkan sirkulasi perifer (perfusion) dan
auskultasi paru (congestion), diklasifikasikan menjadi:
 Kelas I (A) : kering dan hangat (warm and dry)
 Kelas II (B) : basah dan hangat (wet and warm)
 Kelas III (L) : kering dan dingin (dry and cold)
 Kelas IV (L) : basah dan dingin (wet and cold)

Gagal Jantung Kronik


Suatu definisi objektif yang sederhana untuk menentukan
batasan gagal jantung kronik hampir tidak mungkin dibuat karena
tidak terdapat nilai batas yang tegas pada disfungsi ventrikel.
Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik didefinisikan
sebagai sindrom klinik yang kompleks yang disertai keluhan gagal
jantung berupa sesak, fatik, baik dalam keadaan istirahat atau
aktivitas, edema dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam
keadaan isrirahat.
Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan abnormalitas struktural
jantung (ACC/AHA) atau berdasarkan gejala berkaitan dengan
kapasitas fungsional (NYHA).

18
3.4. Etiologi dan Faktor Presipitasi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi
penting untuk mengetahui penyebab gagal jantung, di negara maju penyakit
arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di
negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit katup
jantung dan penyakit jantung akibat malnutrisi.9
Faktor risiko seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor
yang dapat berpengaruh pada perkembangan gagal jantung. Selain itu berat
badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL dikatakan
sebagai factor risiko independent perkembangan gagal jantung.
Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal
jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal
jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertropi ventrikel kiri.
Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik
dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta
memudahkan untuk terjadinya aritmia. Ekokardiografi yang menunjukkan
hipertropi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal
jantung. Adanya krisis hipertensi dapat menyebabkan timbulnya gagal
jantung akut.10
Kardiomiopati merupakan penyakit otot jantung yang bukan
disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung
congenital, katup ataupun penyakit perikardial.
Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional : dilatasi
(kongestif), hipertropik, restriktif, dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi
merupakan kelainan dilatasi pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi
ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit
jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strtrauss dan poliarteritis nodosa.
Kardiomiopati hipertropik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal
dominant) meski secara sporadic masih memungkinkan. Ditandai adanya
kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertropi septum
yang asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta
(kardiomiopati hipertropik obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai

19
dengan kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk, tidak membesar
dan dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolic (relaksasi) yang
menghambat pengisian ventrikel7. Kardiomiopati peripartum menyebabkan
gagal jantung akut.
Penyakit katup sering disebabkan penyakit jantung rematik. Penyebab
utama terjadinya gagal jantung adalah regurgutasi mitral dan stenosis aorta.
Regurgitasi mitral dan aorta menyebabkan kelebihan beban (peningkatan
preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan
afterload).
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan
gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia. Konsumsi alkohol
yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot
jantung alkohol). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2-3% dari kasus.
Alkohol juga dapat menyebabkan malnutrisi dan defisiensi tiamin. Obat-
obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti
doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan
gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.9

3.5. Patofisiologi
Gagal jantung dapat dilihat sebagai suatu kelainan progresif yang
dimulai setelah adanya “index event” atau kejadian penentu hal ini dapat
berupa kerusakan otot jantung, yang kemudian mengakibatkan
berkurangnya miosit jantung yang berfungsi baik, atau mengganggu
kemampuan miokardium untuk menghasilkan daya. Hal ini pada akhirnya
mengakibatkan jantung tidak dapat berkontraksi secara normal. Kejadian
penentu yang dimaksud ini dapat memiliki onset yang tiba-tiba, seperti
misalnya pada kasus infark miokard akut (MI), atau memiliki onset yang
gradual atau insidius, seperti pada pasien dengan tekanan hemodinamik yang
tinggi (pada hipertensi) atau overload cairan (pada gagal ginjal), atau bisa
pula herediter, seperti misalnya pada kasus dengan kardiomiopati genetik.
Pasien dengan gagal jantung pada akhirnya memiliki satu kesamaan,
yaitu penurunan kemampuan pompa jantung, terlepas dari berbagai

20
penyebab gagal jantung. Pada kebanyakan orang gagal jantung bisa
asimtomatik atau sedikit bergejala setelah terjadi penurunan fungsi jantung,
atau menjadi bergejala setelah disfungsi dialami dalam waktu yang lama.
Tidak diketahui dengan pasti mengenai pasien dengan disfungsi ventrikel
kiri tetap asimtomatik, hal yang berpotensi mampu memberi penjelasan
mengenai hal ini adalah banyaknya mekanisme kompensasi yang akan
teraktivasi saat terjadi jejas jantung atau penurunan fungsi jantung yang
tampaknya akan mengatur kemampuan fungsi ventrikel kiri dalam batas
homeostatik/fisiologis, sehingga kemampuan fungsional pasien dapat terjaga
atau hanya menurun sedikit.
Transisi pasien dari gagal jantung asimtomatik ke gagal jantung yang
simtomatik, aktivasi berkelanjutan dari sistem sitokin dan neurohormonal
akan mengakibatkan perubahan terminal pada miokardium, hal ini dikenal
dengan remodelling ventrikel kiri. Patogenesis pada gagal jantung dapat
diterangkan pada Gambar 1. Gagal jantung dimulai setelah adanya index
event yang menghasilkan penurunan pada kemampuan pompa jantung.
Seiring dengan menurunan pada kapasitas pompa jantung, beragam
mekanisme kompensasi diaktifkan termasuk sistem syaraf adrenergik, sistem
renin angiotensin, dan sistim sitokin. Pada jangka pendek hal ini dapat
mengembalikan fungsi jantung pada batas homoestatik sehingga pasien tetap
asimtomatik. Namun dengan aktivasi berkelanjutan mekanisme kompensasi
ini dapat mengakibatkan kerusakan organ terminal sekunder pada ventrikel,
dengan remodelling ventrikel kiri yang memburuk dan dekompensasi
jantung. Sebagai akibatnya secara klinis pasien mengalami transisi dari
gagal jantung yang tidak bergejala ke gagal jantung yang bergejala.

21
Gambar 1. Patofisiologi Gagal Jantung.12

Mekanisme Neurohormonal
Beberapa ahli menyarankan gagal jantung dilihat dalam suatu model
neurohormonal yaitu gagal jantung berkembang sebagai hasil ekspresi
berlebihan suatu molekul yang secara biologis aktif, yang dapat
memberikan efek kerusakan jantung dan sirkulasi. 11,12,14
Seiring dengan progresi gagal jantung, masukan inhibisi dari reseptor
arterial dan kardiopulmoner terus menurun, dan masukan eksitasi
meningkat. Akibatnya perubahan keseimbangan ini terjadi peningkatan
aktifitas pada sistem simpatis, berkurangnya kemampuan sistem
parasimpatik dan simpatik dalam mengontrol denyut jantung, dan
terganggunya regulasi reflek simpatis pada resistensi vaskular. Iskemia
dinding anterior juga memiliki efek tambahan pada eksitasi sistem saraf
simpatik efferent. Gambaran sistem syaraf simpatik dan parasimpatik pada
gagal jantung dapat dilihat pada Gambar 2. 1.
Pengaturan mekanisme neurohormonal ini dapat bersifat adaptif
ataupun maladaptif. Sistem ini bersifat adaptif apabila sistem dapat
memelihara tekanan perfusi arteri selama terjadi penurunan curah jantung.
Sistem ini menjadi maladaptif apabila menimbulkan peningkatan
hemodinamik melebihi batas ambang normal, menimbulkan peningkatan
kebutuhan oksigen, serta memicu timbulnya cedera sel miokard. Adapun
pengaturan neurohormonal sebagai berikut:
A. Sistem Saraf Adrenergik

22
Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung. Hal
ini akan dikenali oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcus aorta,
kemudian dihantarkan ke medulla melalui nervus IX dan X, yang akan
mengaktivasi sistem saraf simpatis. Aktivasi system saraf simpatis ini
akan menaikkan kadar norepinefrin (NE). Hal ini akan meningkatkan
frekuensi denyut jantung, meningkatkan kontraksi jantung serta
vasokonstriksi arteri dan vena sistemik.11
Norepinefrin dapat meningkatkan kontraksi dan mempertahankan
tekanan darah, tetapi kebutuhan energi miokard menjadi lebih besar,
yang dapat menimbulkan iskemi jika tidak ada penyaluran O2 ke
miokard. Dalam jangka pendek aktivasi sistem adrenergic dapat sangat
membantu, tetapi lambat laun akan terjadi maladaptasi.11
Penderita dengan gagal jantung kronik akan terjadi penurunan
konsentrasi norepinefrin jantung; mekanismenya masih belum jelas,
mungkin berhubungan dengan “exhaustion phenomenon” yang berasal
dari aktivasi sistem adrenergik yang berlangsung lama.11

Keterangan: Ach:asetilkolin, SSP=Susunan Syaraf Pusat,


E=epinephrine, Na+=Natrium, NE=norepinephrine.

Gambar 2. Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan parasimpatik


pada gagal jantung. 15

B. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron


23
Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi sistem renin-
angiotensin aldosteron. Beberapa mekanisme seperti hipoperfusi renal,
berkurangnya natrium terfiltrasi yang mencapai makula densa tubulus
distal, dan meningkatnya stimulasi simpatis ginjal, memicu peningkatan
pelepasan renin dari apparatus juxtaglomerular. Renin memecah empat
asam amino dari angiotensinogen I, dan Angiotensin -converting enzyme
akan melepaskan dua asam amino dari angiotensin I menjadi angiotensin
II. Angiotensin II berikatan dengan 2 protein G menjadi angiotensin tipe
1 (AT1) dan tipe 2 (AT2). Proses rennin angiotensin aldosteron ini dapat
tergambar pada `Gambar 2.2. Aktivasi reseptor AT1 akan mengakibatkan
vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron dan pelepasan
katekolamin, sementara AT2 akan menyebabkan vasodilatasi, inhibisi
pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin.1

Gambar 3. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron.11

Angiotensin II mempunyai beberapa aksi penting dalam


mempertahankan sirkulasi homeostasis dalam jangka pendek, namun
jika terjadi ekspresi lama dan berlebihan akan masuk ke keadaan
maladaptif yang dapat menyebabkan fibrosis pada jantung, ginjal dan
organ lain. Selain itu, juga akan mengakibatkan peningkatan pelepasan
NE dan menstimulasi korteks adrenal zona glomerulosa untuk
memproduksi aldosteron.11
24
Aldosteron memiliki efek suportif jangka pendek terhadap sirkulasi
dengan meningkatkan reabsorbsi natrium. Akan tetapi jika berlangsung
relatif lama akan menimbulkan efek berbahaya, yaitu memicu hipertrofi
dan fibrosis vaskuler dan miokardium, yang berakibat berkurangnya
compliance vaskuler dan meningkatnya kekakuan ventrikel. Di samping
itu aldosteron memicu disfungsi sel endotel, disfungsi baroreseptor, dan
inhibisi uptake norepinefrin yang akan memperberat gagal jantung.
Mekanisme aksi aldosteron pada sistem kardiovaskuler nampaknya
melibatkan stres oksidatif dengan hasil akhir inflamasi pada jaringan.11
C. Stres Oksidatif
Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar reactive
oxygen species (ROS). Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh
rangsangan dari ketegangan miokardium, stimulasi neurohormonal
(angiotensin II, aldosteron, agonis alfa adrenergik, endothelin-1) maupun
sitokin inflamasi (tumor necrosis factor, interleukin-1). Efek ROS ini
memicu stimulasi hipertrofi miosit, proliferasi fibroblast dan sintesis
collagen. ROS juga akan mempengaruhi sirkulasi perifer dengan cara
menurunkan bioavailabilitas NO.11,13
D. Bradikinin
Penelitian menunjukkan bahwa bradikinin berperan penting dalam
pengaturan tonus pembuluh darah. Bradikinin akan berikatan dengan
reseptor B1 dan B2. Sebagian besar efek bradikinin diperantarai lewat
ikatan dengan reseptor B2. Ikatan dengan reseptor B2 ini akan
menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah. Pemecahan bradikinin akan
dipicu oleh ACE.11,13
E. Remodeling Ventrikel Kiri
Model neurohormonal yang telah dijelaskan di atas gagal
menjelaskan progresivitas gagal jantung. Remodeling ventrikel kiri yang
progresif berhubungan langsung dengan bertambah buruknya
kemampuan ventrikel kiri di kemudian hari. Proses remodeling
mempunyai efek penting pada miosit jantung, perubahan volume miosit
dan komponen nonmiosit pada miokard serta geometri dan arsitektur
11,13
ruangan ventrikel kiri. Proses remodeling jantung ini dapat
25
dijelaskan pada gambar 3. Remodeling berawal dari adanya beban
jantung yang mengakibatkan meningkatkan rangsangan pada otot
jantung. Keadaan jantung yang overload dengan tekanan yang tinggi,
misalnya pada hipertensi atau stenosis aorta, mengakibatkan peningkatan
tekanan sistolik yang secara parallel menigkatkan tekanan pada sarkomer
dan pelebaran pada miosit jantung, yang menghasilkan hipertrofi
konsentrik. Jika beban jantung didominasi dengan peningkatan volume
ventrikel, sehingga meningkatkan tekanan pada diastolik, yang
kemudian secara seri pada sarkomer dan kemudian terjadi pemanjangan
pada miosit jantung dan dilatasi ventrikel kiri yang mengakibatkan
hipertrofi eksentrik.11
Homeostasis kalsium merupakan hal yang penting dalam
perkembangan gagal jantung. Hal ini diperlukan dalam kontraksi dan
relaksasi jantung. Jalur kalsium tipe L merupakan jalur kalsium pada
jantung yang paling penting. Jalur ini akan terbuka saat depolarisasi
membran sewaktu fase upstroke potensial aksi. Akibatnya terjadi influk
kalsium kedalam sel yang menyebabkan fase plateu dan meningkatnya
kadar kalsium dalam sitosol. Beberapa penelitian menunjukkan adanya
penurunan mRNA dan kadar protein serta meningkatnya proses
fosforilasi pada jalur ini. Kedua kondisi ini menyebabkan abnormalitas
pada influks kalsium dan mempengaruhi pelepasan kalsium oleh
retikulum sarkoplasma dimana hal ini akan menurunkan kecepatan
pengambilan kalsium sehingga menyebabkan konstraksi dan pengisian
jantung menurun.11,13
Kontraksi dan relaksasi jantung merupakan interaksi yang
tergantung pada energi yang memerlukan pemasukan kalsium dalam
sitosol. Proses kontraksi-eksitasi merupakan proses yang
menghubungkan depolarisasi membran plasma dengan pelepasan
kalsium ke dalam sitosol, sehingga dapat berikatan dengan troponin C.
Saluran ion kalsium dan natrium pada membran plasma berperan dalam
memulai proses kontraksi-eksitasi. Proses membuka dan menutup
saluran kedua ion ini yang akan menjaga potensial membran.11,13
26
Pada kondisi gagal jantung terjadi abnormalitas pada pompa ion
dan saluran ion yang menjaga proses kontraksi-eksitasi. Perpindahan
isoform yang terjadi akan mengganti miosin ATPase yang tinggi dan
mempengaruhi struktur membran sehingga mengakibatkan penurunan
dalam pompa kalsium ATPase. Selain itu, adanya kebutuhan energi juga
menyebabkan gangguan pada proses kontraksi-eksitasi pada gagal
jantung.11,13
Kematian sel miokard merupakan indikator prognosis buruk pada
gagal jantung. Baik apoptosis dan nekrosis akan menyebabkan
kematian sel pada gagal jantung. Apoptosis terjadi sebagai konsekuensi
dari adanya luka pada sel, peningkatan permeabilitas mitokondria dan
jumlah kalsium yang berlebih. Apoptosis dapat berkembang menjadi
nekrosis yang kemudian menjadi fibrosis. Hal-hal ini memperburuk
gagal jantung.11,13

Gambar 4. Pola remodelling jantung yang terjadi karena respon terhadap


hemodinamik berlebih.16

3.6. Manifestasi Klinis


Gambaran klinis gagal jantung secara umum17:
27
1. Dispnea, atau perasaan sulit bernafas adalah manifestasi yang paling
umum dari gagal jantung. Dispnea disebabkan oleh peningkatan kerja
pernafasan akibat kongesti vaskular paru-paru yang mengurangi
kelenturan paru-paru. Meningkatnya tahanan aliran udara juga
menimbulkan dispnea. Dispnea saat beraktivitas menunjukkan gejala
awal dari gagal jantung kiri.
2. Ortopnea, atau dispnea pada posisi berbaring, terutama disebabkan oleh
redistribusi aliran darah dari bagian-bagian tubuh yang di bawah ke arah
sirkulasi sentral. Reabsorpsi dari cairan interstitial dari ekstremitas bawah
juga akan menyebabkan kongesti vaskular paru-paru lebih lanjut.
3. Dispnea nokturnal paroksismal (PND) atau mendadak terbangun karena
dispnea, dipicu oleh perkembangan edema paru-paru interstitial. PND
merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri
daripada dispnea atau ortopnea.
4. Asma kardial adalah mengi akibat bronkospasme dan terjadi pada waktu
malam atau karena aktivitas fisik.
5. Batuk non produktif juga dapat terjadi sekunder dari kongesti paru-paru,
terutama pada posisi berbaring. Terjadinya ronki akibat transudasi cairan
paru-paru adalah ciri khas dari gagal jantung, ronki pada awalnya
terdengar di bagian bawah paru-paru sesuai pengaruh gaya gravitasi.
6. Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial sekunder
dari distensi vena.

3.7. Pemeriksaan
Sebagai penunjang dari pemeriksaan klinis yang terperinci,
pemeriksaan penunjang diagnostik yang menyeluruh sangat perlu dilakukan
pada pasien yang diduga kuat terkena penyakit gagal jantung.
Pemeriksaan penunjang diagnostik juga sangat membantu pada pasien
yang mengalami sedikit gejala dan juga bermanfaat untuk mendiagnosis
penyebab gagal jantung. Ejeksi Fraksi juga ditentukan dari pemeriksaan
penunjang.

1. Rontgen Foto Toraks

28
Rontgen toraks bermanfaat untuk mendiagnosis gagal jantung dan
memantau respon pengobatan. Hal berikut yang dapat ditemukan pada
hasil rontgen toraks.
Tabel 1. Kelainan rontgen toraks yang sering ditemukan pada Gagal Jantung

Kelainan Penyebab Implikasi Klinis


Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, Ekhokardiografi, doppler
ventrikel kanan, atria,
efusi perikard
Hipertropi Hipertensi, stenosis Ekhokardiografi, doppler
ventrikel aorta, kardiomiopati
hipertropi
Kongesti Peningkatan tekanan Gagal jantung kiri
vena paru pengisian ventrikel kiri
Edema Peningkatan tekanan Gagal jantung kiri
interstisial pengisian ventrikel kiri
Efusi pleura Gagal jantung dengan Pikirkan diagnosis non
peningkatan pengisian kardiak
tekanan jika ditemukan
bilateral, infeksi paru,
keganasan
Garis Kerley Peningkatan tekanan Mitral stenosis atau gagal
B limfatik jantung kronis

2. Elektrokardiogram
Hasil EKG bersama dengan gejala klinis dapat meningkatkan
spesifisitas diagnosis pada pasien yang dicurigai menderita gagal jantung.

Tabel 2. Kelainan EKG yang sering pada gagal jantung.

29
Kelainan Penyebab Implikasi klinis
Sinus Gagal jantung yang Penilaian klinis
Pemeriksaan
takikardi terdekompensasi,
laboratorium
anemia, infeksi,
hipertiroidiesme
Sinus Obat β bloker,
anti Evaluasi terapi obat
Pemeriksaan
bradikardi aritmia, sick sinus
laboratorium
syndrome, hipotiroidisme
Atrial Hipertiroidisme, infeksi, Konduksi AV yang
takikardi/ gagal jantung lambat, konversi
flutter/ terdekompensasi, infark medical, elektroversi,
fibrilasi ablasi kateter,
antikoagulasi
Aritmia Iskemia, infark, Pemeriksaan
ventrikel kardiomiopati, laboratorium
Tes latihan beban
miokarditis,
Pemeriksaan perfusi
hipokalemiaa, Angiografi koroner
Pemeriksaan
hipomagnesemi,
elektrofisiologi, ICD
overdosis digitalis
Isekmia/ Penyakit jantung koroner Ekokardiografi,
Infark troponin, angiografi
koroner, revascularisasi

Gelombang Infark, kardiomiopati Ekokardiografi


Angiografi koroner
Q hipertropi, LBBB, pre-
eksitasi
Hipertropi Hipertensi, penyakit Ekokardiografi, doppler
ventrikel kiri katup aorta,
kardiomiopati hipertropi
Blok AV Infark, intoksikasi obat, Evaluasi penggunaan
miokarditis, sarcoidosis obat, pacu jantung,
30
penyakit sistemik
Mikrovoltage Obesitas, emfisema, efusi Ekokardiografi
Rontgen tórax
perikard, amiloidosis
Durasi QRS Disinkroni elektronik Ekokardiografi, CRT-P,
> 120 msec CRT-D
dengan
morfologi
LBBB

3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Hematologi rutin
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menghilangkan kemungkinan,
terutama, anemia pada pasien gagal jantung lanjut. Anemia juga
merupakan penyebab kesulitan bernafas dan gagal jantung high
output.
b. Urinalisis
Proteinuria biasa terjadi pada pasien gagal jantung yang dapat dilihat
pada pemeriksaan urin rutin.
c. Elektrolit serum
Hiponatremia, hipokalemia, hiperkalemia, dan hipomagnesia
mungkin terjadi akibat penggunaan diuretik. Ketidakseimbangan
elektrolit ini dapat memicu aritmia. Hiponatremia juga merupakan
pertanda tingkat keparahan gagal jantung.
d. Profil Lipid
Meupakan serangkaian pemeriksaan yang menentukan risiko
penyakit jantung koroner. Pemeriksaan ini meliputi kolesterol total,
HDL, LDL, trigliserida, dan juga perbandingan HDL/ kolesterol.
e. Tes fungsi hati
Akibat kerusakan pada gagal jantung dapat terjadi peningkatan
enzim hati dan penurunan albumin.
f. Tes fungsi ginjal
Kadar kreatinin serum dan kadar nitrogen urea pada darah harus
dilakukan sebelum memulai pengobatan gagal jantung. Peningkatan
kadar kreatinin serum menandakan:
 Pengobatan ACEI
 Pengobatan diuretik dosis tinggi
31
 Azotemia pre-renal
 Stenosis arteri ginjal
g. Hormon stimulasi tiroid
Gangguan fungsi tiroid merupakan penyebab gagal jantung high
output. Oleh karenanya, pemeriksaan profil tiroid disarankan pada
pasien yang baru didiagnosis gagal jantung.
h. Peptida natriuretik
Peptida natriuretik merupakan tanda biologis (biomarker) gagal
jantung yang dapat digunakan sebagai pemeriksaan pada keadaan
gawat darurat dan rawat jalan. Kelompok peptida natriuretik terdiri
dari peptida natriuretik atrium, peptida natriuretik otak (brain
natiuretic peptide, BNP), natriuretik tipe-C dari sistem saraf pusat,
urodilatin dari ginjal, dan peptida natriuretik dendroaspis. BNP dan
bagian ujung aminonya dari projormon N-terminal-pro-BNP (NT-
proBNP) juga penting dalam diagnosis dan pengobatan gagal
jantung. BNP berhubungan dengan tingkat keparahan gagal jantung
dan memperkirakan prognosis.

Tabel 3. Kadar peptida natriuretik pada diagnosis gagal jantung.

Pemeriksaan BNP dan NT-proBNP dengan indikator nilai untuk


diagnosis gagal jantung
Usia Cenderung Kemungkinan Kemungkinan
(tahun) bukan gagal gagal jantung besar gagal
jantung jantung
BNP Semua <100 pg/Ml 100-500 >500 pg/mL
pg/mL
NT- < 50 <300 pg/Ml 300-450 >450 pg/mL
proBNP pg/mL
50-75 <300 pg/mL 450-900 >900 pg/mL
pg/mL
>75 <300 pg/Ml 900-1800 >1800 pg/mL
pg/mL

32
3. Ekokardiografi
Ekokardiografi merupakan pengujian non invasif yang paling
bermanfaat dalam membantu menilai struktur dan fungsi jantung.
Pemeriksaan ini merupakan standar utama (gold standar) untuk menilai
gangguan fungsi sistol ventrikel kiri dan membantu memperkirakan hasil
dan kemampuan bertahan kasus gagal jantung.

4. Radionuklir
a. MUGA Scan (Multiple Gated Acquisition Scan)
Merupakan pemeriksaan non invasif untuk menilai fungsi
jantung. MUGA scan menghasilkan gambar dari detak jantung yang
membantu menentukan kesehatan jantung16.
MUGA scan dilakukan dengan sel berwarna merah yang diberi
label Technetium-99m untuk menilai:

- Ejeksi fraksi
- Kecepatan pengisian sistolik
- Kecepatan pengosongan diastolik
- Abnormalitas gerakan dinding
- Perfusi miokard
- Daerah iskemia koroner
- Stunning miokard

b. Positron Emission Tomography Scanning


Merupakan perangkat diagnostik yang memperlihatkan
perkembangann gambaran fisiologis berdasarkan deteksi radiasi dari
emisi positron. Positron adalah partikel penting yang diemisikan dari
senyawa radioaktif yang diamsukkan ke dalam pasien. Gambar yang
dihasilkan dapat membantu mengevaluasi penyakit. PETS jantung
membantu menentukan aliran darah dari otot jantung, dan membantu
mengevaluasi penyakit jantung koroner. Scanning ini juga membantu
menentukan daerah yang mengalami penurunan fungsi jantung, yang
bermanfaat pada tindakan seperti angioplasti atau CABG.

33
c. Cardiac MRI dan CT
Menilai fraksi pengeluaran dan gerakan dinding, namun
pemeriksaan ini jarang direkomendasikan.17

d. Pemeriksaan Katerisasi Jantung


Tindakan invasif berikut dapat dilakukan terhadap pasien
dengan gagal jantung. Pemeriksaan kateterisasi jantung : kateterisasi
sisi kiri bermanfaat untuk menilai tekanan diastolik akhir dan
kateterisasi sisi kanan bermanfaat untuk menilai kejenuhan oksigen
dan tekanan wedge arteri kapiler.
1) Angiografi koroner
Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada pasien yang diduga
menderita iskemia jantung bersamaan dengan gagal jantung.
Angiografi juga merupakan cara pemeriksaan yang akurat untuk
menentukan ejeksi fraksi.
2) Biopsi endomiokard
Pemeriksaan ini perlu dilakukan ketika diagnosis mengarah pada
kecurigaan adanya kardiomiopati infiltratif, penyakit perikardia
atau miokarditis.

e. Exercise Stress Test


Tes ini dapat dilakukan menggunakan obat seperti dipiridamol
dan dobutamin (pharmacological stress test) atau dengan olahraga
(exercise stress test).
Exercise test bermanfaat untuk mengidentifikasi sisa iskemia
pada pasien dengan gagal jantung. Pasien gagal jantung mempunyai
kemampuan berolahraga yang rendah; dan konsumsi oksigen
maksomal serta produksi karbondioksida yang berhubungan dengan
tingkat keparahan gagal jantung. Selain itu, konsumsi oksigen
maksimal adalah pertanda dari prognosis jangka panjang.

f. Pemeriksaan Fungsi Paru


Pasien yang dicurigai gagal jantung disarankan melakukan
pemeriksaan fungsi paru untuk menhilangkan dugaan gangguan
saluran nafas sebagai penyabab kondisi kesulitan bernafas pada hasil
diagnosis. Pada gagal jantung, mungkin terdapat penurunan puncak
34
kecepatan aliran ekspirasi dan volume ekspirasi maksimal, namun
demikian, ini tidak seberat penyakit saluran nafas (puncak kecepatan
aliran akspirasi < 200 L/menit).

3.8. Diagnosis
Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam
pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara
lain pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard
Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu:

Klasifikasi Forrester

Stevenson

NYHA.2

Menurut New York Heart Association ( NYHA ), gagal jantung di


klasifikasikan berdasarkan pengaruhnya terhadap aktivitas sehari-hari.
- Kelas I : sesak nafas ketika aktivitas berat
- Kelas II : sesak nafas ketika aktivitas sedang
- Kelas III : sesak nafas ketika aktivitas ringan
- Kelas IV : sesak nafas ketika istirahat

Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah


digunakan secara luas. Diagnosis gagal jantung kongestif mensyaratkan
minimal 2 kriteria mayor atau satu kriteria mayor disertai 2 kriteria minor.
Kriteria minor tersebut dapat diterima jika kriteria minor tersebut tidak
berhubungan dengan penyakit seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis
hati atau sindroma nefrotik.

Tabel 4. Kriteria Framingham.


Kriteria mayor Kriteria minor
Paroxysmal nocturnal dyspnea Edema ekstremitas
Distensi vena leher (peningkatan Dyspnea pada exersi biasa
JVP)
Ronki paru Takikardia (nadi > 120/min)
S3 gallop Batuk nocturnal

35
Kardiomegali (rasio kardiotorak Hepatomegaly
50% pada rontgen torak)
Edema pulmonal akut Efusi pleura
Reflux hepatojugular Penurunan dalam kapasitas vital
dalam 1/3 dari maksimal
Peningkatan tekanan vena sentral
(16cmH2O pada atrium kanan)
Penurunan berat badan .4,5kg
dalam 5 hari sebagai respon
terhadap pengobatan

3.9. Penatalaksanaan
Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung secara umum ditujukan
pada lima aspek yaitu mengurangi beban kerja, memperkuat kontraktilitas
miokard, mengurangi kelebihan cairan dan garam, melakukan tindakan
terhadap penyebab, faktor pencetus dan penyakit yang mendasari.Dasar
pengobatan gagal jantung dapat dibagi menjadi :

Non medikamentosa
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi
penalaksanaan secara non farmakologis dan secara farmakologis.
Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik ditujukan untuk
mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun penatalaksanaan
secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi. 19
Terapi : 20
a. Non Farmakalogi :
- Anjuran umum :
 Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan
pengobatan.
 Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat
dilakukan seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan
profesi yang masih bisa dilakukan.
- Tindakan Umum :
 Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung
ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter
36
pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung
ringan.
 Hentikan rokok
 Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama
20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit
dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal
jantung ringan dan sedang).
 Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan
eksaserbasi akut.
Gagal jantung pada eksaserbasi akut pada kondisi emergensi dimana
memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui
penyebab seperti :

perbaikan hemodinamik

menghilangan kongesti paru,

perbaikan oksigenasi jaringan19
Menempatkan penderita dengan posisi duduk dengan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang
dapat dilakukan. Monitoring gejala serta produksi kencing yang akurat
dengan kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan
khusus. Base excess menunjukkan perfusi jaringan, semakin rendah
menunjukkan adanya asidosis laktat akibat metabolisme anerob dan
merupakan prognosa yang buruk. Koreksi hipoperfusi dan pemberian
natrium bikarbonat utnuk memperbaiki asidosis.21
1. Tujuan Terapi
Tujuan terapi pada pasien gagal jantung kongestif (CHF) berdasarkan
American Heart Association antara lain sebagai berikut6:
- Mencegah terjadinya CHF pada orang yang telah mempunyai faktor
resiko.
- Deteksi dini asimptomatik disfungsi LV.
- Meringankan gejala dan memperbaiki kualitas hidup.
- Progresifitas penyakit berjalan dengan lambat.

2. Algoritma
Terapi Penggolongan obat sangat erat kaitannya dengan algoritma pada
terapi gagal jantung kongestif. Berdasarkan Pharmacoterapy Handbook

37
edisi 9, penggolongan obat pada terapi gagal jantung kongestif (CHF)
adalah sebagai berikut12:
- Angiotensin converting enzyme Inhibitor (ACE I)
Obat-obat yang termasuk ACE I mempunyai mekanisme kerja
menurunkan sekresi angiotensin II dan aldosteron dengan cara
menghambat enzim yang dapat mengubah angiotensin I menjadi
angiotensin II. Termasuk juga dapat mengurangi kejadian remodeling
jantung serta retensi air dan garam.
- Beta bloker
Berdasarkan guideline dari ACC/AHA direkomendasikan
menggunakan β-blocker pada semua pasien gagal jantung kongestif
yang masih stabil dan untuk mengurangi fraksi ejeksi jantung kiri
tanpa kontraindikasi ataupun adanya riwayat intoleran pada β-
blockers. Mekanisme kerja dari β- blocker sendiri yaitu dengan
menghambat adrenoseptor beta (beta-bloker) di jantung, pembuluh
darah perifer sehingga efek vasodilatasi tercapai. Beta bloker dapat
memperlambat konduksi dari sel jantung dan juga mampu
meningkatkan periode refractory.
- Angiotensin II receptor type 1 Inhibitor (ARB)
Mekanisme ARB yaitu menghambat reseptor angiotensin II pada
subtipe AT1. Penggunaan obat golongan ARB direkomendasikan
hanya untuk pasien gagal jantung dengan stage A, B, C yang intoleran
pada penggunaan ACE I. Food and Drug Approval (FDA) menyetujui
penggunaan candesartan dan valsartan baik secara tunggal maupun
kombinasi dengan ACE I sebagai pilihan terapi pada pasien gagal
jantung kongestif.

- Diuretik
Mekanisme kompensasi pada gagal jantung kongestif yaitu dengan
meningkatkan retensi air dan garam yang dapat menimbulkan edema
baik sistemik maupun paru. Penggunaan diuretik pada terapi gagal
jantung kongestif ditujukan untuk meringankan gejala dyspnea serta
mengurangi retensi air dan garam (Figueroa dan Peters, 2006).
Diuretik yang banyak digunakan yaitu dari golongan diuretik tiazid
38
seperti hidroklorotiazid (HCT) dan golongan diuretik lengkungan
yang bekerja pada lengkung henle di ginjal seperti furosemid.
- Antagonis aldosteron
Antagonis aldosteron mempunyai mekanisme kerja menghambat
reabsorpsi Na dan eksresi K. Spironolakton merupakan obat golongan
antagonis aldosteron dengan dosis inisiasi 12,5 mg perhari dan 25 mg
perhari pada kasus klinik yang bersifat mayor.
- Digoksin
Digoxin merupakan golongan glikosida jantung yang mempunyai sifat
inotropik positif yang dapat membantu mengembalikan kontraktilitas
dan meningkatkan dari kerja jantung. Digoxin memiliki indeks terapi
sempit yang berarti dalam penggunaan dosis rendah sudah
memberikan efek terapi. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian
pada penggunaan digoxin dan diperlukan monitoring ketat bila
dikhawatirkan terjadi toksik.
- Nitrat dan hidralazin
Nitrat dan hidralazin mempunyai efek hemodinamik yang saling
melengkapi. Hidralazin sebagai vasodilator pembuluh darah arteri
yang dapat mengurangi resisten pembuluh darah sistemik serta
meningkatkan stroke volum dan cardiac output.
Hidralazin memiliki mekanisme yaitu dengan menghambat
inositoltrifosfat (IP3) pada retikulum sarkoplasma yang berfungsi
untuk melepaskan ion kalsium intraseluler dan terjadi penurunan ion
kalsium intraseluler. Nitrat sebagai venodilator utama (dilatasi
pembuluh darah) dan menurunkan preload (menurunkan beban awal
jantung) dengan mekanisme aktivasi cGMP (cyclic Guanosine
Monophosphate) sehingga menurunkan kadar ion kalsium intraseluler.

Yancy et al. (2013) juga memaparkan mengenai algoritma terapi dari


penggolongan obat-obat CHF berdasarkan klasifikasi AHA (Tabel 1) dan
NYHA (Gambar 2). Algoritma dari kedua klasifikasi tersebut dapat
disesuaikan dengan keluhan dan perburukan penyakit yang dialami oleh
pasien CHF.

39
3.10. Prognosis
Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak diketahui.
Sedangkan prognosis pada penderita gagal jantung yang mendapat terapi
yaitu: 22
 Kelas NYHA I : mortalitas 5 tahun 10-20%
 Kelas NYHA II : mortalitas 5 tahun 10-20%
 Kelas NYHA III : mortalitas 5 tahun 50-70%
 Kelas NYHA IV : mortalitas 5 tahun 70-90%

DIABETES MELITUS
3.11 DEFINISI
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya.

40
Diabetes Melitus adalah suatu penyakit kronik yang ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa didalam darah. Penyakit ini dapat
menyerang segala lapisan umur dan sosial ekonomi.

3.12 KLASIFIKASI
Diabetes melitus diklasifikasikan menurut etiologinya seperti yang tertera
pada tabel.

Klasifikasi lainnya membagi diabetes melitus atas empat kelompok yaitu


diabetes melitus tipe-1, diabetes melitus tipe-2, diabetes melitus bentuk khusus,
dan diabetes melitus gestasional.

American Diabetes Association (ADA) dalam standards of Medical Care in


Diabetes (2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe :
1. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan
oleh adanya destruksi sel β pankreas yang secara absolut
menyebabkan defisiensi insulin.

41
2. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh
adanya kelainan sekresi insulin yang progresif dan adanya
resistensi insulin.
3. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh
beberapa faktor lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel β
pankreas, kelainan genetik pada aktivitas insulin, penyakit eksokrin
pankreas (cystic fibrosis), dan akibat penggunaan obat atau bahan
kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan terapi setelah
transplantasi organ).
4. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa
atau dialami selama masa kehamilan.

3.13 DIAGNOSIS
Diagnosis diabetes melitus harus berdasarkan atas pemeriksaan kadar
glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis diabetes melitus harus diperhatikan
asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk
diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara
enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis diabetes
melitus, pemeriksaan glukosa darah sebaiknya dilakukan di laboratorium klinik
yang terpercaya. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga
dipakai bahan darah utuh, vena maupun kapiler dengan memperhatikan angka-
angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan WHO.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut
di bawah ini
1. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
wanita.

42
Jika keluhan khas khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan untuk acuan diagnosis
diabetes melitus. Untuk kelompok tanpa keluhan khas diabetes melitus, hasil
pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat
untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Diperlukan pemastian lebih lanjut
dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥
126 mg/dl, kadar glukosa sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil
tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca
pembebanan ≥ 200 mg/dl.
Tabel . Kriteria diagnosis diabetes melitus.

Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaan


penyaring. Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang
menunjukkan gejala atau tanda diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan
penyaring bertujuan untuk mengidentifikasikan mereka yang tidak bergejala, yang
mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan
kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk
memastikan diagnosis definitif.
Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan Dibetes
melitus, toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa
terganggu (GDPT), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien
dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan
43
tahapan sementara menuju diabetes melitus. Kedua keadaan tersebut merupakan
faktor risiko untuk terjadinya diabetes melitus dan penyakit kardiovaskular di
kemudian hari (PERKENI, 2006).
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa
darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes
toleransi glukosa oral (TTGO) standar (Sudoyo,Ari W, 2006).

Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring
dan diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.

Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untuk


menentukan diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosa
darah puasa tergagnggu. Berikut adalah langkah-langkah penegakkan diagnosis
diabetes melitus, TGT, dan GDPT.

44
Gambar 1. Langkah-langkah diagnostik diabetes melitus dan toleransi
glukosa terganggu.

3.14 PENATALAKSANAAN
Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes melitus tipe 2, yang
umumnya mempunyai latar belakang kelainan yang diawali dengan terjadinya
resistensi insulin. Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan diabetes
secara klinis. Pada saat tersebut sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi
keadaan ini dan terjadi suatu hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal
atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta
pankreas, baru akan terjadi diabetes melitus secara klinis, yang ditandai dengan
terjadinya peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria diagnosis
diabetes melitus.
Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus dibagi menjadi dua yaitu:
1. Jangka pendek, hilangnya keluhan dan tanda diabetes melitus,
mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian
glukosa darah.
2. Jangka panjang, tercegah dan terhambatnya progresifitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neyropati.
Tujuan akhir pengelolaan diabetes melitus adalah turunnya morbiditas dan
mortalitas diabetes melitus. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan
pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid, melalu
pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan
perubahan tingkah laku.
45
Langkah pertama dalam mengelola diabetes melitus selalu dimulai dengan
pendekatan non farmakologis, yaitu berupa perencanaan makan atau terapi nutrisi
medik, kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih
atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah tesebut sasaran pengendalian belum
tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau intervensi farmakologis.
Dalam melakukan pemilihan obat perlu diperhatikan titikkerja obat sesuai dengan
macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia seperti yang tertera pada
gambar 2.

Gambar 2. Sarana farmakologis dan titik kerja obat untuk pengendalian


kadar glukosa darah.
Untuk penatalaksanaan diabetes melitus, di Indonesia, pendekatan
yang digunakan adalah berdasarkan dari pilar penatalaksanaan diabetes
melitus yang sesuai dengan konsensus penatalaksanaan diabetes melitus
menurut PERKENI tahun 2006. Adapun pilar penatalaksanaan diabetes
melitus sebagai berikut :
46
A. Edukasi.
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan
perilaku telah terbentuk dengan mapan. Tujuan dari perubahan perilaku
adalah agar penyandang diabetes dapat menjalani pola hidup sehat.
Perilaku yang diharapkan adalah :
1. Mengikuti pola makan sehat
2. Meningkatkan kegiatan jasmani
3. Menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus
secara aman, teratur
4. Melakukan Pementauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan
memanfaatkan data yang ada
5. Melakukan perawatan kaki secara berkala
6. Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi sakit akut
dengan tepat
7. Mempunyai ketrampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau
bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak
keluarga untuk mengerti pengelolaan penyandang diabetes.
8. Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

B. Terapi Gizi Medis.


Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri).
Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada
penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat
47
umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah
makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah
atau insulin.

C. Latihan jasmani.

C. Intervensi Farmakologis

48
Insulin
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino,
dihasilkan oleh sel beta pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada
rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan
kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untik keperluan regulasi
glukosa darah.
Insulin diperlukan pada keadaan (PERKENI, 2006) :
49
1. Penurunan berat badan yang cepat
2. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
3. Ketoasidosis diabetik
4. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
5. Hiperglikemia dengan asidosis laktat
6. Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
7. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
8. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional
9. yang tidak terkendali dengan perencanaan makan
10.Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
11.Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni
(PERKENI, 2006) :
1. insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
2. insulin kerja pendek (short acting insulin)
3. insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
4. insulin kerja panjang (long acting insulin)
5. insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed
insulin)

50
2.5 Penilaian hasil terapi
Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara
terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah :

2.5.1 Pemeriksaan kadar glukosa darah


2.5.2 Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai
glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi disingkat sebagai A1C,
merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-
12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai
hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan
dilakukan minimal 2 kali dalam setahun.

Komplikasi
2.6.1 Komplikasi akut
Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik
yang ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama
disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia
merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius dan membutuhkan
51
pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami
dehidrasi berat bahkan sampai menyebabkan syok.
Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik
Sindrom koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) ditandai
oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis
utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai
gangguanneurologis dengan atau tanpa adanya ketosis
Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60
mg/dL. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu
dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering
disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat
sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat
diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang
cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien
dengan gagal ginjal kronik). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal
yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya
kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia
lanjut sering lebih lamban dan memerlukan pengawasan yang lebih lama
(PERKENI, 2006).
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak
keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah,
kesadaran menurun sampai koma) (PERKENI, 2006).
Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai.
Diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang
mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 g melalui intra vena. Perlu
dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa.
Glukagon diberikan
pada pasien dengan hipoglikemia berat (PERKENI, 2006).

52
Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan
glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat
dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.

2.6.2 Komplikasi kronik


Komplikasi kronis ini berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu
• Komplikasi mikrovaskular
• Komplikasi makrovaskular
• Komplikasi neurologis
1. Komplikasi Mikrovaskular
Timbul akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler.
Komplikasi ini spesifik untuk diabetes melitus.
Retinopati diabetika
Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala
berkurangnya ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata yang dapat
mengarah pada kebutaan.

Nefropati diabetika
Diabetes mellitus tipe 2, merupaka penyebab nefropati paling banyak,
sebagai penyebab terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik
pada DM mengaikibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul
besar seperti protein dapat lolos ke dalam kemih (mis. Albuminuria). Akibat
nefropati diabetika dapat timbul kegagalan ginjal yang progresif.
2. Komplikasi Makrovaskular
Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah besar,
khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma.
Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan
kontrol kadar gula darah yang balk. Tetapi telah terbukti secara epidemiologi
bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko mortalitas kardiovaskular,
dimana peninggian kadar insulin menyebabkan risiko kardiovaskular semakin
tinggi pula. kadar insulin puasa > 15 mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas
53
koroner sebesar 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor
aterogenik dan diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi
makrovaskular.
Penyakit Jantung Koroner
Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan suatu faktor
risiko koroner. Ateroskierosis koroner ditemukan pada 50-70% penderita diabetes.
Stroke
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua tersering
pada penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita
diabetes. Stroke lebih sering timbul dan dengan prognosis yang lebih serius untuk
penderita diabetes. Akibat berkurangnya aliran atrteri karotis interna dan arteri
vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemik.
3. Neuropati
Umumnya berupa polineuropati diabetika, kompikasi yang sering terjadi
pada penderita DM, lebih 50 % diderita oleh penderita DM. MAnifestasi klinis
dapat berupa gangguan sensoris, motorik, dan otonom. Proses kejadian neuropati
biasanya progresif di mana terjadi degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-
gejala nyeri atau bahkan baal. Yang terserang biasanya adalah serabut saraf
tungkai atau lengan.
Neuropati disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi pada struktur syaraf
akibat adanya peningkatan jalur polyol, penurunan pembentukan myonositol,
penurunan Na/K ATP ase, sehingga menimbulkan kerusakan struktur syaraf,
demyelinisasi segmental, atau atrofi axonal.

BAB IV
ANALISA KASUS

Sejak 1 tahun yang lalu, pasien masuk rumah sakit dengan keluhan
yang sama yaitu sesak napas dan 7 hari SMRS menandakan keluhan pasien
berulang. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca, sesak tidak disertai bunyi

54
mengi. Sesak dirasakan saat istirahat dan mengeluh mudah lelah. Pasien
juga mengeluh susah tidur karena sesak napas makin berat saat berbaring,
pasien lebih nyaman menggunakan 3 bantal tersusun saat tidur. berdebar-
debar (+), Sejak 4 hari yang lalu os mengeluh kakinya mulai bengkak dan
perut kembung. Nafsu makan menurun. Hasil anamnesis menandakan bahwa
keluhan os termasuk dalam gejala Congestive Heart Failure, yaitu: di malam
hari os mengeluh susah tidur karena sesak napas atau disebut Paroxysmal
nocturnal dyspnea termasuk dalam kriteria mayor Framingham’s Score.
bengkak pada kaki kanan dan kiri termasuk dalam kriteria minor
Framingham’s Score.

Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 10 tahun, tidak terkontrol.


Adanya riwayat hipertensi kontribusi untuk terjadinya gagal jantung sebesar
75%. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa
mekanisme, termasuk hipertropi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri
dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan
meningkatkan risiko terjadinya infark miokard.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak sakit sedang dan
kesadaran apatis. Tekanan darah 150/100 mmHg. Nadi: 130x/menit regular,
isi dan tegangan cukup. Respiration rate: 28x/menit dan temperature 36,5oC.
Dari pemeriksaan keadaan spesifik, Leher: JVP: 5+2 cm H2O. Pulmo;
auskultasi: vesikuler (+/+), ronki (+/+), Jantung; perkusi: batas atas ICS II
linea parasternalis sinistra, batas kanan ICS IV linea parasternalis dextra,
batas kiri ICS VI linea Axillaris anterior sinistra. Auskultasi: HR: 130
x/menit; Ekstremitas : edema tungkai. Hasil rontgen thorax didapatkan
kesan Cardiomegali. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nadi 130 x/m,
merupakan kriteria minor Framingham’s Score. JVP: 5+2 cm H2O, ronki (+/
+), dan dari hasil rontgen didapatkan kesan kariomegali, merupakan kriteria
mayor Framingham’s Score.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
rontgen yang telah dilakukan didapatkan diagnosis Ny. H, usia 72 tahun
dengan CHF (Congestive Heart Failure) . Diagnosis CHF pada pasien ini
55
berdasarkan Framingham’s Score adalah 4 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor, sebagai berikut: Kriteria mayor, yaitu paroxysmal nokturnal dispnea
atau ortopnea, distensi vena jugularis, kardiomegali, ronki paru, Kriteria
minor, yaitu edema kedua ekstremitas inferior dan takikardia. Diagnosis
CHF dapat ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor; atau 1 kriteria mayor
dan 2 kriteria minor berdasarkan Framingham’s Score.
Dari hasil pemeriksaan EKG didapatkan HR: 150x/menit reguler,
irama sinus, axis ke kiri, interval PR normal, kompleks QRS normal dan
interval QRS normal, segmen ST normal, interval QT normal, gelombang T
tinggi.
Os diberikan pengobatan dengan farmakologis dan non farmakologis.
Pengobatan non farmakologis berupa istirahat tirah baring, edukasi
(disarankan untuk membatasi aktivitas). Terapi gizi (hindari obesitas, diet
rendah garam), mengatur posisi senyaman mungkin. Untuk pengobatan
farmakologis os diberikan IVFD RL gtt 20 x/menit, Oksigen 3 L/menit,
Furosemid 2x1 iv (20 mg), Spironolacton 1x1 (25 mg), Clopidogrel 1x 75
mg tab, Nifedipine 1x5 mg tab, Nitrogliserin 2x 5 mg tab, Insulin Aspart 3x
1.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P,
Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwald’s Heart Disease.
Philadelphia: Saunders; 2007. p. 561-80.
2. Darmojo B. Penyakit Kardiovaskuler pada Lanjut Usia. Dalam :Darmojo B,
Martono HH, editor. Buku Ajar Geriatri. Jakarta :Balai Penerbit FKUI, 2004.
h. 262-264

56
3. Hardiman A. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. 2007. h. 2-9.
4. Shah RV. Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS, editor. Pathophysiology of
Heart Disease A Collaborative Project of Medical Students and Faculty. 4th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007; p. 225-251.
5. Sonnenblick EH, LeJemtel YH. Pathophysiology of congestive heart failure.
Role of angiotensin converting enzyme inhibitors. Am J Med. 1989; 87: 88-
91.
6. Clyde W,et al . 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart
Failure. 2013.
7. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and
restrictive). In: Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to
diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker; 2005; p. 137-56.
8. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure 2008. European Heart Journal (2008) 29. 2388-2442.
9. Lip GHY, Gibbs FDR, Beevers DG. ABC of heart failure: aetiology. BMJ
2000; 320: 104-107.
10. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in adult. In : Dec GW. Heart failure a
comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker;
2005. 137-156.
11. 1 Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P,
Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwald’s
12. Mann DL. Heart Failure and CorPulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E,
Kasper DL, editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17 th ed. New
York: Mc graw hill; 2008. p. 1443.
13. Shah RV. Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS, editor. Pathophysiology of
Heart Disease A Collaborative Project of Medical Students and Faculty. 4th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007; p. 225-251.
14. 8 Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult(dilated, hypertrophic, and
restrictive). In: DecGW, editor. Heart Failure a ComprehensiveGuide to
Diagnosis and Treatment. New York:Marcel Dekker; 2005. p.137-156.
15. Floras JS: Alterations in the sympathetic and parasympathetic nervous system
in Heart Failure. In Mann DL [ed]: Heart Failure: A Companion to
Braunwald's Heart Disease. Philadelphia, Elsevier, 2004, pp 247-278.
57
16. Hunter JJ, Chien KR: Signaling pathways for cardiac hypertrophy and
failure. N Engl J Med. 1999; 341:1276
17. Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S.
Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal jantung akut. 2007
18. Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S.
Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal jantung akut. 2007
19. Watson RDS, Gibbs CR, Lip GY H. ABC of heart failure: clinical features and
complications. BMJ 2000;320:236-9.
20. Gillespie ND. The diagnosis and management of chronic heart failure in the
older patient. British Medical Bulletin 2005;75 and 76: 49- 62.
21. Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec GW,
editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New
York: Marcel Dekker; 2005.p.449-65.

58

Anda mungkin juga menyukai