Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
LAPORAN KASUS
DEPRESI SEDANG
Disusun oleh :
Oldesta Zakly Brilliant Gamara, S. Ked
NIM. 1510015041
Pembimbing:
dr. Denny Jeffry Rotinsulu, Sp. KJ
Oleh
Oldesta Zakly Brilliant Gamara, S. Ked
NIM. 1510015041
Mengetahui,
Pembimbing
dr. Denny Jeffry Rotinsulu, Sp. KJ
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus
”Depresi Sedang” tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai
depresi, subtipenya dan bagaimana cara menghadapi kasus tersebut pada praktik
kedokteran.
Penulis mengucapkan terima kasih terutama kepada dr. Denny Jeffry
Rotinsulu, Sp. KJ. selaku pembimbing penulis, atas segala bantuan dan bimbingan
dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Oleh karena keterbatasan pengalaman, pengetahuan dan kepustakaan,
penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari berbagai
pihak. Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat menjadi masukan yang berarti
dalam perbaikan proses pembelajaran.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Hal
Hal Judul................................................................................................................ii
Kata Pengantar.....................................................................................................iii
Daftar Isi................................................................................................................iv
Bab 1 Pendahuluan................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
1.2 Tujuan.........................................................................................................2
1.3 Manfaat ......................................................................................................2
Bab 2 Laporan Kasus............................................................................................3
Bab 3 Tinjauan Pustaka........................................................................................8
Bab 4 Diskusi........................................................................................................21
Bab 5 Penutup......................................................................................................23
Daftar Pustaka.....................................................................................................24
iv
v
BAB 1
PENDAHULUAN
1
dekade sejak 1990-2017, gangguan jiwa berupa depresi tetap menduduki urutan
pertama dalam tiga decade terakhir. Di indonesia prevalensi depresi pada
penduduk umur 15-24 tahun adalah sebesar 6,2%. Hanya sekitar 9% penderita
depresi yang mendapatkan pengobatan, sementara 91% tidak mendapatkan
pengobatan. Pola prevalensi depresi semakin meningkat seiring dengan
peningkatan usia, tertinggi pada usia 75+ tahun sebesar 8,9%, 65-74 tahun sebesar
8,0% dan 55-64 tahun sebesar 6,5% (Indrayani & Wahyudi, 2019).
1.2 Tujuan
Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai gangguan depresi,
meliputi definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, klasifikasi,
penegakkan diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, dan prognosisnya.
1.3 Manfaat
Diharapkan laporan kasus ini dapat memberikan manfaat berupa wawasan
pengetahuan yang terkait gangguan mood terutama mengenai depresi mulai
dari definisi, epidemiologi, etiologi, diagnosis, tatalaksana, diagnosis banding
hingga prognosis.
2
BAB 2
LAPORAN KASUS
3
Pasien juga merasa cemas dan sempat putus asa namun tidak sampai
ingin bunuh diri. Pasien tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan
tinggi dikarenakan masalah ekonomi pasien. Pasien merasa gagal dan lelah
karena belum bekerja sedangkan teman-temannya sudah banyak yang
bekerja dan memeiliki penghasilan tetap. Pasien merasa murung dan
minder jika ada yang membahas perihal pernikahan karena banyak teman-
temannya yang sudah menikah sedangkan pasien belum menikah.
b. Heteroanamnesis
Menurut keluarga pasien, pasien sering menangis, emosi tidak stabil
hingga marah, Pasien dikekahui sering tidur larut malam dan sering
murung. Hubungan pasien dengan keluarga cukup baik walaupun
hubungan dengan ibu pasien sempat buruk tapi sekarang sudah tidak.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah memiliki keluhan serupa, ini adalah kali pertama
pasien mengalami hal ini. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit tertentu.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah pasien menderita hipertensi dan ibu pasien tidak menderita
penyakit tertentu dan adik pasien juga tidak menderita penyakit tertentu.
e. Genogram
4
Keterangan :
: Laki-laki
: Garis pernikahan
: Perempuan
: Garis Keturunan
: Pasien
5
D. Status Fisik
1. Tanda Vital : T : 142/85 mmHg, N : 81 x/menit, t : 36oC
2. Keadaan Gizi : BB : 70 kg, Tb : 145 cm (IMT = 33,3) Obesitas.
3. Kepala : Dalam batas normal
4. Toraks
- Jantung : dalam batas noormal
- Paru : dalam batas noormal
5. Abdomen : dalam batas noormal
6. Ekstremitas : dalam batas normal
E. Status Neurologik
1. GCS : E4V5M6 (15)
2. Refleks fisiologis : Tidak diperiksa
3. Refleks patologis : Tidak diperiksa
F. Status Psikiatri
1. Keadaan umum : Tampak rapi, wajah pasien sesuai dengan
usia, pasien tampak sedih.
2. Sikap / Tingkah Laku : Pasien kooperatif terhadap pemeriksa.
3. Kesadaran : Kompos mentis
4. Kontak / rapport : Kontak verbal lancar, kontak visual baik
5. Atensi / Konsentrasi : Baik
6. Orientasi : Baik
7. Mood / Afek : Mood dan afek sesuai
8. Proses Berfikir : Linear
9. Persepsi : Normal
10. Intelegensi : Dalam batas normal
11. Psikomotor : Dalam batas normal
12. Kemauan : Menurun
G. Diagnosis Multiaksial
Aksis I : F32.1 (Depresi sedang)
Aksis II : F60.3 (Gangguan Kepribadian emosional tak stabil)
Aksis III : Tidak ada
6
Aksis IV : Masalah Ekonomi
Masalah ekonomi (tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan
belum mendapatkan pekerjaan).
Aksis V : Penilaian Fungsi Secara Global
GAF Scale 70-61 (Beberapa gejala ringan & menetap, disabilitas ringan dalam
fungsi, secara umum masih baik).
H. Diagnosis Banding
a. Depresi post partum
b. Gangguan Cemas Menyeluruh (F41.1)
I. Penatalaksanaan
1. Psikofarmaka
Antidepresan : Sertraline 50 mg 1 dd tab 1
Clobazam : 10 mg 2 dd tab ½
2. Psikoterapi
a. Mengurangi stimulus yang berlebihan, stressor lingkungan, dan
memberikan ketenangan kepada pasien.
b. Memberikan dukungan dan motivasi.
c. Menyediakan lingkungan yang nyaman.
d. Memberikan psikoedukasi kepada keluarga pasien dan kerabat pasien.
J. Prognosis
Dubia ad Bonam
7
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Gangguan mood atau ‗gangguan afektif‘ adalah istilah yang sekarang
banyak diterapkan pada berbagai kondisi umum di mana gejala yang paling
menonjol adalah peningkatan atau depresi suasana hati. Gangguan mood sering
disebut gangguan afektif, karena afek adalah tampilan eksternal dari suasana hati,
emosi yang dirasakan secara internal. Depresi dan mania sering dilihat sebagai
ujung berlawanan dari spektrum afektif atau mood. Secara klasik, mania dan
depresi adalah "kutub" terpisah, sehingga menghasilkan istilah depresi unipolar
(yaitu, pasien yang hanya mengalami kutub bawah atau tertekan) dan bipolar
(yaitu, pasien yang pada waktu yang berbeda mengalami baik kutub manik atau
kutub bawah/tertekan.Kondisi afektif utama termasuk gangguan depresi mayor
(MDD) dan gangguan bipolar (BD) berhubungan dengan kecacatan yang
signifikan dan gangguan psikososial selama perjalanan hidup (Wahyuni, 2018).
Depresi merupakan gangguan alam perasaan yang ditandai dengan rasa
sedih terus-menerus yang berkepanjangan yang dapat mengganggu kondisi fisik
dan kehidupan sosialnya (Mandasari & Tobing, 2020). Depresi ditandai dengan
adanya perasaan sedih, murung, dan iritabilitas. Pasien mengalami distorsi
kognitif seperti mengkritik diri sendiri, timbul rasa bersalah, perasaan tidak
berharga, kepercayaan diri turun, pesimis dan putus asa. Terdapat rasa malas,
tidak bertenaga, retardasi psikomotor, dan menarik diri dari hubungan social.
Pasien mengalami gangguan tidur seperti sulit masuk tidur atau terbangun dini
hari. (Amir, 2016).
8
depresi sebanyak 322 juta orang di seluruh dunia (4,4% dari populasi) dan hampir
separuhnya berasal dari wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Depresi
merupakan kontributor utama kematian akibat bunuh diri, yang mendekati
800.000 kejadian bunuh diri setiap tahunnya (World Health Organization, 2017).
Menurut perhitungan beban penyakit pada tahun 2017, beberapa jenis
gangguan jiwa yang di prediksi dialami oleh penduduk di Indonesia diantaranya
adalah gangguan depresi, cemas, skizofrenia, bipolar, gangguan perilaku, autis,
gangguan perilaku makan, cacat intelektual, dan ADHD. Dimana dalam masa tiga
dekade sejak 1990-2017, gangguan jiwa berupa depresi tetap menduduki urutan
pertama dalam tiga decade terakhir. Di indonesia prevalensi depresi pada
penduduk umur 15-24 tahun adalah sebesar 6,2%. Hanya sekitar 9% penderita
depresi yang mendapatkan pengobatan, sementara 91% tidak mendapatkan
pengobatan. Pola prevalensi depresi semakin meningkat seiring dengan
peningkatan usia, tertinggi pada usia 75+ tahun sebesar 8,9%, 65-74 tahun sebesar
8,0% dan 55-64 tahun sebesar 6,5% (Indrayani & Wahyudi, 2019).
9
meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan bupropion,
menurunkan gejala depresi. Disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan
pusat pengaturan aksis neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung
neurotransmiter amin biogenik. Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi
neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang
mengandung amin biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis
Hypothalamic- Pituitary-Adrenal (HPA) dapat menimbulkan perubahan pada
amin biogenik sentral. Aksis neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu
adrenal, tiroid, dan aksis hormon pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang
paling banyak diteliti Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis HPA yang
sangat fundamental pada pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi diduga akibat
adanya defek pada sistem umpan balik kortisol di sistem limpik atau adanya
kelainan pada sistem monoaminogenik dan neuromodulator yang mengatur CRH.
Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi. Emosi seperti perasaan takut dan marah
berhubungan dengan Paraventriculer nucleus (PVN), yang merupakan organ
utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh sistem limbik. Emosi
mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan peningkatan sekresi CRH Pada
orang lanjut usia terjadi penurunan produksi hormon estrogen. Estrogen berfungsi
melindungi sistem dopaminergik negrostriatal terhadap neurotoksin seperti
MPTP, 6 OHDA dan methamphetamin. Estrogen bersama dengan antioksidan
juga merusak monoamine oxidase Kehilangan saraf atau penurunan
neurotransmiter. Sistem saraf pusat mengalami kehilangan secara selektif pada sel
– sel saraf selama proses menua. Walaupun ada kehilangan sel saraf yang konstan
pada seluruh otak selama rentang hidup, degenerasi neuronal korteks dan
kehilangan yang lebih besar pada sel-sel di dalam lokus seroleus, substansia nigra,
serebelum dan bulbus olfaktorius Bukti menunjukkan bahwa ada ketergantungan
dengan umur tentang penurunan aktivitas dari noradrenergik, serotonergik, dan
dopaminergik di dalam otak. Khususnya untuk fungsi aktivitas menurun menjadi
setengah pada umur 80-an tahun dibandingkan dengan umur 60-an tahun.
10
2) Faktor Genetik
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di antara
anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat
(unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum.
Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar
monozigot. Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan secara khusus,
hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan kemampuan
dalam menanggapi stres. Proses menua bersifat individual, sehingga dipikirkan
kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah genetik.
3) Faktor psikososial
Menurut freud dalam teori psikodinamiknya, penyebab depresi adalah
kehilangan objek yang dicintai. Ada sejumlah faktor psikososial yang diprediksi
sebagai penyebab gangguan mental pada lanjut usia yang pada umumnya
berhubungan dengan kehilangan. Faktor psikososial tersebut adalah hilangnya
peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian teman atau sanak saudara, penurunan
kesehatan, peningkatan isolasi diri, keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi
kognitif. Sedangkan menurut Kane, faktor psikososial meliputi penurunan percaya
diri, kemampuan untuk mengadakan hubungan intim, penurunan jaringan sosial,
kesepian, perpisahan, kemiskinan dan penyakit fisik. Faktor psikososial yang
mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan dan stressor lingkungan,
kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori kognitif dan
dukungan sosial. Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa
kehidupan yang menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama
gangguan mood dari episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa
peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain
menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam
onset depresi. Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu
episode depresi adalah kehilangan pasangan. Stressor psikososial yang bersifat
akut, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis misalnya
11
kekurangan finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal,
ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi.
12
5. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang menderita gangguan depresi lebih tinggi pada subyek
penderita depresi bila dibandingkan dengan control. Begitu pula Riwayat keluarga
bunuh diri dan menggunakan alcohol, lebih sering pada keluarga penderita depresi
daripada control. Dengan kata lain, kejadian depresi semakin meningkat jika ada
Riwayat genetic dalam keluarga (Amir, 2016).
6. Kepribadian
Seseorang dengan kepribadian yang lebih tertutup, mudah cemas,
hipersensitif, dan lebih bergantung pada orang lain rentan terhadap depresi (Amir,
2016).
7. Stresor sosial
Stresor adalah suatu keadaan yang dirasakan sangat menekan sehinga
seseorang tidak dapat beradaptasi dan bertahan. Stresor social merupakan factor
risiko terjadinya depresi. Peristiwa kehidupan baik yang akut maupun kronis
dapat menimbulkan depresi (Amir, 2016).
3.5 Diagnosis
Berikut kriteria diagnosis episode depresi menurut PPDGJ-III (Maslim, 2013).
Gejala utama ( pada derajat ringan, sedang, dan berat) :
1) Afek depresif
2) Kehilangan minat dan kegembiraan
3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa
lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.
Gejala Lainnya :
1) Konsentrasi dan perhatian berkurang
2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistik
5) Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri
6) Tidur terganggu
7) Nafsu makan berkurang
13
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan
masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi
periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan
berlangsung cepat.
Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan
berat (F32.2) hanya digunakan untuk episode depresif tunggal (yang pertama).
Episode depresif berikutnya harus diklasifikasikan dibawah salah satu diagnosis
gangguan depresif berulang (F33.-).
Pedoman Diagnostik Depresi
Pedoman diagnosis depresi PPDGJ-III (Maslim, 2013).
F32.0 Episode Depresif Ringan
Episode Depresi Ringan
1. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
tersebut diatas.
2. Ditambah sekurang-kurang 2 dari gejala lainnya:
3. Tidak boleh ada gejala berat diantaranya.
4. Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu.
5. Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya.
F32.1 Episode Depresif Sedang
Episode Depresif Sedang
1. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada
episode depresi ringan.
2. Ditambah 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya.
3. Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu.
4. Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
dan urusan rumah tangga.
F32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik
Episode Depresi Berat Tanpa Gejala Psikotik
1. Semua 3 gejala utama depresi harus ada.
14
2. Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa di
antaranya harus berintensitas berat.
3. Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian
secara menyeluruh terhadap episode depresif berat masih dapat
dibenarkan.
4. Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka
masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang
dari 2 minggu.
5. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat
terbatas.
F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik
Episode depresi berat dengan gejala psikotik
1. Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 tersebut
diatas.
2. Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham malapetaka yang
mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi
auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau
menuduh atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor
yang berat dapat menuju stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi
dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan afek (mood –
congruent).
3.6 Tatalaksana
1) Psikoterapi
15
professional antara terapis dengan pasien.Psikoterapi dapat diberikan secara
individu, kelompok, atau pasangan sesuai dengan gangguan psikologik yang
mendasarinya. Beberapa hal dapat menjadi pertimbangan untuk pemilihan
jenis psikoterapi yang diindikasikan. Beberapa pasien dan klinis sangat
meyakini manfaat intervensi psikoterapi tetapi ada pula yang sebaliknya yaitu
tidak percaya dengan psikoterapi. Berdasarkan ini, keputusan untuk
melakukan psikoterapi sangat dipengaruhi oleh penilaian dokter maupun
pasiennya (Amir, 2016).
Terapi Kognitif
Ada dugaan bahwa penderita depresi adalah orang yang “menjadi tak
beerdaya”. Depresi diterapi dengan memberikan pasien latihan keterampilan
dan memberikan pengalaman-pengalaman tentang kesuksesan. Terapi ini
bertujuan untuk menghilangkan symptom depresi melalui usaha yang
sistematis, yaitu merubah cara pikir maladaptive dan otomatik pada pasien-
pasien depresi. Dasar pendekatannya adalah suatu asumsi bahwa kepercayaan-
kepercayaan yang mengalami distorsi tentang diri sendiri, dunia, dan masa
depan dapat menyebabkan depresi. Pasien harus menyadari cara pikirnya yang
salah. Kemudian, ia harus belajar cara merespons cara pikir yang salah
tersebut dengan cara yang lebih adaptif. Dari perspektif kognitif, pasien dilatih
untuk mengenal dan menghilangkan pikiran-pikiran negatif dan harapan-
harapan negatif. Cara ini dipraktikkan diluar sesi terapi dan menjadi modal
utama dalam merubah gejala (Amir, 2016).
Terapi ini berlangsung kurang lebih 12-16 sesi. Ada tiga fase, yaitu:
Fase Awal (sesi 1-4) : membentuk hubungan terapeutik dengan pasien.
Mengajarkan pasien tentang bentuk kognitif yang salah dan pengaruhnya
terhadap emosi dan fisik. Menentukan tujuan terapi. Mengajarkan pasien
untuk mengevaluasi pikiran-pikirannya yang otomatis.
Fase Pertengahan (sesi 5-12) : mengubah secara berangsur-angsur
kepercayaan yang salah. Membantu pasien mengenal akan kepercayaan
diri. Pasien diminta mempraktikkan keterampilan yang berespons terhadap
hal-hal yang depresogenik dan memodifikasinya.
16
Fase Akhir (sesi 13-16) : menyiapkan pasien untuk terminasi dan
memprediksi situassi berisiko tinggi yang relevan untuk terjadinya
kekambuhan, dan mengkonsolidasikan pembelajaran melalui tugas-tugas
terapi sendiri.
Terapi Perilaku
Intervensi perilaku terutama efektif untuk pasien yang menarik diri dari
social dan anhedonia. Terapi ini sering digunakan Bersama-sama dengan
terapi kognitif. Tujuan terapi perilaku adalah meningkatkan aktivitas pasien,
mengikutkan pasien dalam tugas-tugas yang dapat meningkatkan perasaan
yang menyenangkan (Amir, 2016).
Fase awal: pasien diminta untuk memantau aktivitas mereka, menilai
derajat kesulitan aktivitasnya, serta kepuasan terhadap aktivitasnya. Pasien
diminta untuk melakukan sejumlah aktivitas yang menyenagkan. Latihan
keterampilan sosial, asertif, dapat meningkatkan hubungan interpersonal dan
dapat menurunkan interaksi submitif.
Fase akhir: fokus berpindah ke Latihan mengontrol diri dan pemecahan
masalah. Diharapkan ilmu yang didapat dalam terapi dapat digeneralisasi dan
dipertahankan dalam lingkungan pasien sendiri.
Psikoterapi Suportif
Psikoterapi ini hamper selalu diindikasikan dengan cara memberikan
kahangatan, empati, pengertian dan optimistik. Bantu pasien mengidentifikassi
dan mengekspreksikan emosinya dan bantu untuk ventilasi. Mengidentifikasi
faktor-faktor presipitasi dan membantu mengoreksi. Bantu memecahkan
problem eksternal (misalnya masalah pekerjaan). Latih pasien untuk mengenal
tanda-tanda dekompensasi yang akan dating. Temui pasien sesering mungkin
dan secara teratur, tetapi jangan sampai tidak berakhir. Kenalilah bahwa
beberapa pasien depresi dapat memprovokasi kemarahan terapis (Amir, 2016).
Psikoterapi Psikodinamik
Dasar terapi ini adalah teori psikodinamik, yaitu kerentanan psikologik
yang terjadi akibat konflik perkembangan yang tak selesai. Terapi ini
dilakukan dalam periode jangka panjang. Perhatian pada terapi ini adalah
17
deficit psikologik yang menyeluruh dan diduga mendasari gangguan depresi.
Misalnya problem yang berkaitan dengan rasa bersalah, rasa rendah diri,
berkaitan dengan pengalaman yang memalukan, pengaturan emosi yang
buruk, defisit interpersonal akibat tak adekuatnya hubungan dengan keluarga
(Amir, 2016).
2) Terapi Farmakologi
Tujuan utama terapi yaitu mengakhiri episode depresi saat ini dan
mencegah timbulnya episode penyakit di masa yang akan datang. Untuk itu
terapi dibagi menjadi 3 fase (kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2015).
Terapi Fase Akut
Dimulai dari keputusan untuk terapi dan berakhir dengan remisi. Skala
penentuan beratnya depresi (HAM-D dan MADRS) dapat membantu
menentukan beratnya penyakit dan perbaikan gejala. Target pengobatan pada
fase akut tercapainya respon atau remisi (lebih baik). Lama terapi pada fase
akut 2-6 minggu.
Indikasi yang pasti untuk perawatan di rumah sakit adalah:
1) Prosedur diagnostik
2) Risiko bunuh diri atau pembunuhan
3) Kemunduran yang parah dalam kemampuan memenuhi kebutuhan makan
dan perlindungan
4) Cepatnya perburukan gejala
5) Hilangnya sistem dukungan yang biasa didapatnya Kombinasi terapi
psikososial dan farmakoterapi memberikan hasil yang baik. Untuk kasus
ringan terapi psikososial saja juga memberikan hasil yang baik.
Panduan memilih medikasi :
1) Riwayat respons pengobatan
2) Prediksi respons gejala terapi
3) Adanya gangguan psikiatri/medik lain
4) Keamanan
5) Potensi Efek Samping
18
Terapi Fase Lanjutan
Tujuan pengobatan pada fase ini adalah tercapainya remisi dan mencegah
relaps. Remisi yaitu bila HAM-D ≤ 7 atau MADRS ≤ 8, bertahan paling
sedikit 3 minggu. Dosis obat sama dengan fase akut.
Terapi Fase Rumatan
Tujuan untuk mencegah rekurensi. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah
risiko rekuren, biaya dan keuntungan perpanjangan terapi. Pasien yang telah
tiga kali atau lebih mengalami episode depresi atau dua episode berat
dipertimbangkan terapi pemeliharaan jangka Panjang. Antidepresan yang telah
berhasil mencapai remisi dilanjutkan dengan dosis yang sama selama masa
pemeliharaan.
Tabel 1. Jenis Obat Antidepressan, dosis,dan efek samping
Nama Obat Dosis Efek Samping
SSRI Semua SSRI dapat
- Escitalopram 20 – 60 mg/hari menimbulkan insomnia,
- Fluoxetine 20 – 40 mg/hari agitasi, sedasi, gangguan
- Sertraline 50 – 100 mg/hari saluran cerna, dan
- Fluvoxamine 50 – 100 mg/hari disfungsi seksual
Triskiklik/Tetrasiklik
- Amitriptilin 75 – 150 mg/hari
- Imipramin 75 – 150 mg/hari Antikolinergik
- Maprotilin 75 – 150 mg/hari
MAOI-reversible Pusing, sakit kepala,
- Maclobemide 300 – 600 mg/hari mual, berkeringat,
mulut kering, mata
kabur
Atypical Somnolen, mual,
- Trazodone 100 – 200 mg/hari mengantuk, kenaikan
- Mirtazapine 15 – 45 mg/hari BB, gangguan saluran
- Venlafaksin 75 – 150 mg/hari cerna
19
3.7 Diagnosis Banding
Gangguan medis
Banyak gangguan medis dan neurologis serta agen farmakologis dapat
menimbulkan gejala depresi. Pasien dengan gangguan depresif sering kali pertama
kali datang ke dokter umum untuk keluhan somatik. Sebagian besar penyebab
medis gangguan depresif dapat dideteksi melalui anamnesis riwayat medis yang
komprehensif, pemeriksaan fisik dan neurologis, serta uji urine dan darah rutin
(Sadock & Sadock 2018).
Keadaan Neurologis
Masalah neurologis yang sering menunjukkan gejala depresif adalah
penyakit Parkinson, penyakit dementis (termasuk demensia tipe Alzheimer),
epilepsi, penyakit serebrovaskular, dan tumor. Sekitar 50-75% pasien dengan
penyakit Parkinson memiliki gejala gangguan depresif nyata yang tidak
berhubungan dengan derajat disabilitas fisik, usia, atau durasi penyakit tetapi
berhubungan dengan adanya abnormalitas yang ditemukan pada uji neurologis.
Gejala depresif sering berespons terhadap antidepresan atau ECT (Sadock &
Sadock 2018).
Pseudodemensia
Klinisi biasanya dapat membedakan pseudodemensia pada gangguan
depresif berat dengan demensia pada suatu penyakit, seperti demensia tipe
Alzheimer, dengan dasar medis. Pada pasien depresi, memori jangka pendek
lebih sering terganggu dibandingkan dengan memori jangka panjang. Selama
wawancara, pasien depresi kadang-kadang dapat diajari serta disemangati untuk
mengingat, yaitu suatu kemampua yang tidak dimiliki pasien demensia (Sadock &
Sadock 2018).
Gangguan jiwa lainnya
Gangguan terkait zat, gangguan psikotik, gangguan penyesuaian,
gangguan somatoform, dan gangguan ansietas, semuanya lazim dikaitkan dengan
gejala depresif dan harus dipertimbangkan di dalam diagnosis banding pasien
dengan gejala depresif. Mungkin diagnosis banding yang sulit adalah antara
20
gangguan ansietas dengan depresi dan gangguan depresif dengan ansietas yang
nyata (Sadock & Sadock 2018).
3.8 Prognosis
Prognosis tiap episode adalah baik, akan tetapi gangguan ini bersifat kronis
sehingga psikiater harus menganjurkan strategi terapi untuk mencegah
kekambuhan di masa yang akan datang (kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2015).
BAB 4
DISKUSI
21
Kehilangan minat dan pekerjaan.
kegembiraan
Berkurangnya energi yang
menuju meningkatnya
keadaan mudah lelah (rasa
lelah yang nyata setelah
kerja sedikit saja) dan
menurunnya aktivitas.
Ditambah sekurang-kurang 2 √ - 1) Tidur pasien kadang terganggu.
dari gejala lainnya: 2) Pasien merasa gagal dan lelah
1) Konsentrasi dan perhatian karena belum mendapatkan
berkurang. pekerjaan.
2) Harga diri dan
3) Pasien merasa murung dan
kepercayaan diri
minder jika ada membahas
berkurang.
perihal pernikahan.
3) Gagasan tentang rasa
bersalah dan tidak
berguna.
4) Pandangan masa depan
yang suram dan
pesimistik.
5) Gagasan atau perbuatan
yang membahayakan diri
atau bunuh diri.
6) Tidur terganggu
7) Nafsu makan berkurang
Tabel 4.1 Pedoman Diagnostik Depresi Sedang
22
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pasien yang dilaporkan pada laporan kasus memiliki diagnosis kerja depresi
sedang. Status psikiatrik pasien menunjukkan bahwa pasien memiliki gejala
depresi. Pasien diterapi dengan sertaline dan clobazam. Depresi merupakan
gangguan alam perasaan yang ditandai dengan rasa sedih terus-menerus yang
berkepanjangan yang dapat mengganggu kondisi fisik dan kehidupan sosialnya.
Diagnosis depresi menggunakan kriteria yang dirumuskan PPDGJ III. Depresi
menurut PPDGJ III dibagi menjadi depresi ringan, depresi sedang, depresi berat
tanpa gejala psikotik dan depresi berat dengan gejala psikotik. Terapi
psikofarmaka antidepresan dapat dibagi menjadi fase akut, fase lanjutan dan fase
rumatan. Prognosis tiap episode adalah baik, akan tetapi gangguan ini bersifat
kronis sehingga psikiater harus menganjurkan strategi terapi untuk mencegah
kekambuhan di masa yang akan datang.
23
24
DAFTAR PUSTAKA
Mandasari, L., & Tobing, D. L. (2020). Tingkat Depresi dengan Ide Bunuh Diri
pada Remaja. Jurnal Keperawatan, 2(1), 1–7.
Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III
dan DSM 5. Jakarta: PT Nuh Jaya
Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2018). Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Santoso, M. B., Siti Asiah, D. H., & Kirana, C. I. (2018). Bunuh Diri Dan Depresi
Dalam Perspektif Pekerjaan Sosial. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian
Kepada Masyarakat, 4(3), 390. https://doi.org/10.24198/jppm.v4i3.18617
25