Anda di halaman 1dari 40

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/Tahun 2018


**Pembimbing

EPISODE DEPRESIF BERAT DENGAN GEJALA PSIKOTIK

Oleh

Zaujah Nurhanni Zulaisa G1A217096


Tanissa Rizky Alya G1A217116
Mutia Ramadhani Sakti Lubis G1A217119

Pembimbing: dr.Diva Mariska Tarastin, Sp. KJ**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH
PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018

i
HALAMAN PENGESAHAN

Case Report Session (CRS)

EPISODE DEPRESIF BERAT DENGAN GEJALA PSIKOTIK

DISUSUN OLEH

Zaujah Nurhanni Zulaisa G1A217096


Tanissa Rizky Alya G1A217116
Mutia Ramadhani Sakti Lubis G1A217119

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas


Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi
Program Studi Kedokteran Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Jambi, Juni 2018

PEMBIMBING

dr.Diva Mariska Tarastin, Sp.KJ

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
Case Report Session ini dengan judul “Episode Depresif Berat dengan Gejala
Psikotik”. Laporan ini merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr.Diva Mariska Tarastin, Sp. KJ selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan sehingga laporan Case Report Session ini dapat terselesaikan
dengan baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
laporan Case Report Session ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.Sebagai
penutup semoga kiranya laporan Case Report Session ini dapat bermanfaat bagi
kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Juni 2018

Penulis

iii
BAB I
PENDAHULUAN
Depresi adalah gangguan mental umum yang menyajikan dengan mood
depresi, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau rendah diri,
tidur tergangguatau nafsu makan, energi rendah, dan hilang konsentrasi. Masalah
ini dapat menjadi kronisatau berulang dan menyebabkan gangguan besar dalam
kemampuan individu untuk mengurus tanggung jawab sehari-harinya.1 Episode
depresi biasanya berlangsung selama 6 hingga 9 bulan, tetapi pada 15-20%
penderita bisa berlangsung selama 2 tahun atau lebih.2
Dasar penyebab depresi yang pasti tidak diketahui, banyak usaha untuk
mengetahui penyebab dari gangguan ini. Menurut Kaplan, faktor-faktor yang
dihubungkan dengan penyebab depresi dapat dibagi atas: faktor biologi, faktor
genetik dan faktor psikososial. Dimana ketiga faktor tersebut juga dapat saling
mempengaruhi satu dengan yang lainnya.3
Depresi psikotik atau gangguan depresi utama dengan fitur psikotik adalah
penyakit serius di mana seseorang menderita kombinasi depresi dan psikosis,
dengan psikosis yang umumnya memanifestasikan dirinya sebagai delusi tipe
nihilistik, dengan keyakinan bahwa hal-hal buruk akan terjadi.4
Kehadiran delusi atau halusinasi dalam gangguan depresi mayor
menunjukkan bentuk gangguan yang parah. Dibandingkan dengan pasien dengan
depresi nonpsikotik, pasien dengan depresi psikotik memiliki gejala depresi yang
secara individual lebih berat. Prognosis jangka pendek dan panjang untuk pasien
seperti ini buruk. Temuan gejala psikotik ini dapat menjadi permanen dan gejala
psikotik dapat kambuh kembali pada di episode berikutnya, ini menunjukkan
bahwa gejala-gejala pada gangguan depresi mayor dapat ada seumur hidup.
Meskipun monoterapi dengan antidepresan mungkin efektif, pemulihan lebih
cepat ketika antidepresan dikombinasikan dengan antipsikotik.4

iv
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 RIWAYAT PSIKIATRI


Pemeriksaan dilakukan tanggal 10 Juni 2018 pukul 16.00 di IGD RSJD Jambi.
Riwayat psikiatri diperoleh dari heteroanamnesis dengan Tn.D (suami pasien)
serta autoanamnesis.
2.2 IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Ny. S
2. Tanggal Lahir/Umur : 03 Juni 1988 / 30 tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Alamat : Jl. Desa Rantau Kapas Dusun I RT. 01
5. Suku/Bangsa : Melayu/Indonesia
6. Agama : Islam
7. Status Perkawinan : Menikah
8. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
9. Pendidikan : SMP
10. MRS tanggal : 10 Juni 2018
2.3 IDENTITAS HETEROANAMNESA
1. Nama : Tn. D
2. Tanggal Lahir/Umur : 05 Agustus 1985 / 33 tahun
3. Jenis kelamin : Laki-laki
4. Alamat : Jl. Desa Rantau Kapas Dusun I RT. 01
5. Suku/Bangsa : Melayu/Indonesia
6. Agama : Islam
7. Status Perkawinan : Menikah
8. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
9. Pendidikan : SMA
10. Hubungan dengan pasien: Suami

v
2.4 ANAMNESIS
2.4.1 Keluhan Utama
Mengoceh sendiri
2.4.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi diantar
oleh suaminya. Menurut suami pasien, pasien sering mengoceh sendiri sejak ± 2
hari SMRS.
Keluhan ini bermula dari sekitar 2 bulan yang lalu, suami pasien berhutang
dengan seseorang yang dikenal suami pasien sebagai bos. Suami pasien memiliki
hutang sekitar 300 juta, uang tersebut digunakan sebagai modal untuk bekerja
sebagai tukang kayu. Sebelumnya pasien sering mengingatkan suami pasien
bahwa jangan boros dan harus bersabar dalam usaha kayunya. Namun suami
pasien menghiraukan nasihat istrinya, sehingga suami pasien terus meminjam
uang kepada bosnya.
Saat pertama kali mendengar jumlah hutang yang suaminya miliki, pasien
marah kepada suaminya. Akibat hutang yang suaminya miliki, pasien dan
suaminya menjual tanah yang mereka miliki. Selain itu, suami pasien juga
meminjam perhiasan yang dimiliki pasien dan menjualnya untuk membayar
hutang yang ia miliki. Sebelum masalah yang dimiliki oleh suaminya, kehidupan
ekonomi pasien dan keluarga lebih baik dari saat ini.
Semenjak mengetahui hutang yang suaminya miliki, pasien sering terfikir
mengenai hal tersebut. Sehingga pasien sering melamun saat sedang sendirian.
Seringkali pasien ditegur sama anaknya untuk jangan melamun dan meminta
pasien berbicara seperti saat sebelum sakit. Suami pasien juga mengeluh bahwa
pasien menjadi tidak focus jika melakukan pekerjaan rumah tangga. Pasien
mengatakan bahwa ia merasa bersalah dan menyesal dikarenakan ia tidak bisa
mencegah masalah ini terjadi. Pasien juga merasa kecewa dan sedih atas masalah
yang menimpa keluarganya. Pasien sering menangis sendiri dan merasa putus asa.
Menurut penuturan suami pasien, pasien menjadi sulit tidur sejak 2 bulan
terakhir ini. Pasien sering terbangun pada tengah malam hari. Serta nafsu makan
pasien menjadi berkurang.

vi
Dalam 2 hari SMRS, tiba-tiba pasien sering mengoceh sendiri. Menurut
suaminya, pasien sering membicarakan segala hal yang tidak jelas. Pasien juga
sering keluyuran dan jalan-jalan bahkan menari sendiri. Serta ia sering mendengar
suara-suara yang mengejek bahwa pasien bangkrut. Suara-suara tersebut sering
pasien dengar saat ia sedang sendirian dan melamun. Setiap kali mendengar suara
bisikan tersebut pasien menghiraukannya dengan cara memeluk anak-anaknya.
Pasien juga selalu menyalahkan dirinya sendiri atas semua yang menimpa
keluarganya.
Sebelum pasien mengalami keluhan tersebut, pasien merupakan pribadi
yang ceria dan murah senyum. namun, semenjak masalah yang menimpa
keluarganya pasien menjadi pendiam dan jarang senyum. Tetangga sekitar
lingkungan rumah pasien sering bertanya kepada pasien mengapa sudah tidak
pernah tersenyum seperti sebelumnya.
2.4.3 Riwayat Penyakit Dahulu
1. Gangguan Mental dan Emosi
Riwayat gangguan mental dan emosi sebelumnya tidak ditemukan
2. Gangguan Psikosomatis
Tidak didapatkan adanya riwayat asma, nyeri lambung, eksim, rematik
atau penyakit psikosomatis lainnya
3. Kondisi Medik
Tidak didapatkan adanya riwayat penyakit medis
4. Riwayat Penggunaan Zat Psikotik dan Alkohol
Riwayat penggunaan zat psikotik dan alkohol tidak ditemukan.
5. Gangguan Neurologi
Riwayat demam, muntah-muntah, penglihatan ganda sebelumnya tidak
ada. Riwayat trauma kepala, kejang dan kehilangan kesadaran tidak
ada.
2.4.4 Riwayat Keluarga
Pasien merupakan anak ketiga dari 4 bersaudara. Kedua orangtua pasien
telah meningggal dunia. Pasien memiliki 2 orang saudara laki-laki dan 1

vii
orang saudara perempuan. Riwayat penyakit keluarga dengan keluhan
serupa disangkal.

Struktur keluarga yang tinggal serumah saat ini


No Nama L/P Usia Hubungan Sifat
1. Tn. D L 33 thn Suami pasien Tegas
2. Ny. S P 30 th Pasien Ramah, Mudah bergaul
3. An. D L 11 th Anak pasien Pemalu
4. An. M L 7 th Anak pasien Periang
5. An. N L 3 th Anak pasien Periang

Genogram

Ket:

: Lk : Pr

: sudah meninggal

: pasien

2.4.5 Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Riwayat prenatal dan perinatal

viii
Pasien lahir cukup bulan, merupakan kehamilan yang diharapkan dan
direncanakan. Pasien lahir di dukun. Pasien lahir dengan berat badan
cukup dan tidak ada kelainan fisik.
2. Riwayat masa kanak-kanak awal (0-3 tahun)
Pasien lupa mengenai riwayat masa kanak-kanak awal
3. Riwayat masa kanak-kanak menengah (3-11 tahun)
Pasien pergi ke sekolah dengan berjalan bersama teman-temannya.
Pasien merupakan anak yang sering menghabiskan masa kecilnya
dengan bermain bersama teman-teman seusianya.
4. Masa pubertas hingga dewasa
a. Hubungan sosial
Pasien merupakan pribadi yang mudah bergaul. Pasien memiliki
cukup teman baik laki-laki maupun perempuan. Pasien lebih
banyak dekat dengan temannya.
b. Riwayat sekolah
Pasien hanya bersekolah hingga tamat SMP dan tidak bekerja.
c. Perkembangan kognisi dan motorik
Pasien lupa mengenai perkembangan kognisi dan motorik
d. Masalah emosi dan fisik
Masalah emosi dan fisik disangkal
e. Riwayat Psikoseksual
Pasien pertama kali tertarik dengan lawan jenis saat usia 13 tahun.
Saat masa remaja pasien seringkali berganti-ganti pacar. Pasien
pacaran dengan suaminya selama 4 tahun.
f. Latar belakang agama
Pasien mendapatkan agama yang cukup dari orang tuanya. Saat
masih kecil, pasien sering pergi mengaji ke masjid.
g. Riwayat pekerjaan
Pasien hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga
h. Aktivitas sosial

ix
Pasien bila ada masalah lebih banyak diam daripada menceritakan
kepada orang lain. Hubungan pasien dengan tetangganya cukup
baik
i. Kehidupan seksual
Orientasi seksual pasien terhadap lawan jenis.
j. Riwayat pernikahan
Pasien menikah pada tahun 2005
k. Riwayat militer dan masalah hokum
Pasien tidak pernah melakukan pendidikan militer. Pasien tidak
pernah terlibat dengan masalah hukum dan kepolisian.
2.5 Status Internistik
1. Pemeriksaan Tanda Vital
 Kesadaran : Compos mentis
 TD : 120/80 mmHg
 Nadi : 80 x/menit
 Suhu : 37,8º C
 RR : 20 x/menit
2. Status Gizi
 Tinggi Badan : 151 cm
 Berat Badan : 58 kg
 IMT : 25,4 kg/m2 (overweight)
3. Status Generalisata
Kulit : Turgor baik
Kepala : Normochepal, rambut hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor (+/+).
Hidung : Deformitas (-), epistaksis (-)
Telinga : Serumen (-), Nyeri tekan (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Trakea terletak ditengah
Thorax
Paru

x
 Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, pergerakan dada simetris,
retraksi dinding dada (-), sikatriks (-)
 Palpasi : Fremitus dada kanan = kiri
 Perkusi : Sonor pada kedua paru
 Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, Ronkhi (-/-), Wheezing
(-/-)
Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba
 Perkusi : Batas atas : ICS II linea parastenalis sinistra
Batas bawah : ICS V linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
 Auskultasi : BJ1- BJ2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
 Inspeksi : Abdomen datar, distensi (-), ikterik (-), sikatriks (-)
 Auskultasi : Bising usus normal
 Palpasi : Supel
 Perkusi : Timpani di keempat kuadran, pekak alih (-)

Ekstremitas
 Superior : Akral hangat, edema (-/-), CRT 2detik
(kanan=kiri)
 Inferior : Akral hangat, edema (-/-), CRT 2detik
(kanan=kiri)
Pemeriksaan Neurologis
 GCS :15 (E4 V6 M5)
Pemeriksaan Psikometrik :Tidak dilakukan pemeriksaan
4. Pemeriksaan Penunjang Lainnya :
a. Laboratorium darah rutin

xi
NO Jenis pemeriksaan Nilai normal Hasil Satuan
1 Haemoglobin 11-14 14,5 gr/dL
2 Leukosit 4.000-10.000 13.730 Sel/mm3
3 DIFF
- Basofil 0-2 %
- Eosinofil 0-6 %
- Neutrofil 42-85 %
- Limfosit 11-49 %
- Monosit 0-9 %
4 LED 0-15 - mm/jam
5 Eritrosit 3,8-5,3 4,75 Juta
sel/mm3
6 Trombosit 120-380 304.000 Sel/mm3
7 Hematokrit 36-56 40,3 %

b. Instrumen HDRS: 37 (Depresi berat)


2.6 Status Psikiatri
a. Keadaan Umum
1. Penampilan : Pasien berpenampilan sesuai usianya, perawakan
pendek, cara berpakaian kurang rapi, rambut acak-acakan dan
kebersihan diri kurang.
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor : Pasien agitasi dan mengoceh
sendiri dan kurang kooperatif
4. Pembicaraan
a. Kuantitas: Terjadi peningkatan kuantitas pembicaraan
b. Kualitas: Inkoheren
c. Tidak ada hendaya berbahasa.
d. Sikap terhadap pemeriksa :Pasien kurang kooperatif, kontak
mata tidak adekuat.
5. Orientasi

xii
 Tempat :baik, pasien dapat mengetahui bahwa ia sedang
berada di IGD Jiwa RSJD Jambi
 Waktu :baik, pasien mengetahui bahwa pemeriksaan
berlangsung di sore hari
 Orang :baik, pasien mengenal orang yang
mendampinginya saat pemeriksaan
6. Sikap dan tingkah laku :Pasien kurang kooperatif dengan
pemeriksa, kontak mata dengan pemeriksa tidak terarah, serta
pasien kurang mampu menjawab pertanyaan.
b. Gangguan berpikir
1. Bentuk pikir : Psikotik
2. Arus pikir : Flight of ideas
3. Isi pikir : Waham menyalahkan diri
c. Alam perasaan
1. Mood : Hipomania
2. Afek : Labil
d. Persepsi
1. Halusinasi : Auditorik (+)
2. Ilusi : (-)
e. Fungsi intelektual
1) Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan
a. Taraf pendidikan :Pasien lulusan SMP
b. Pengetahuan umum :Sulit dinilai, karena pasien tidak
menjawab saat diajukan pertanyaan
2) Daya konsentrasi dan perhatian
a. Konsentrasi dan perhatian pasien kurang baik.
3) Orientasi
a. Waktu: Baik, pasien mengetahui saat wawancara saat sore hari
b. Tempat: Baik, pasien mengetahui dia sedang berada di rumah
sakit jiwa jambi
c. Orang : Baik, pasien mengetahui dengan siapa ia berobat, siapa

xiii
saja yang tinggal serumah dengannya, dan mengetahui sedang
diwawancara oleh siapa.
4) Daya Ingat
a. Daya ingat jangka panjang : Baik, pasien dapat mengingat
b. Daya ingat jangka menengah : Baik, pasien dapat mengingat
c. Daya ingat jangka pendek : Baik, pasien dapat mengingat
d. Daya ingat segera : Baik, pasien dapat mengingat
5) Kemampuan baca tulis : Baik
6) Pikiran abstrak : Baik
f. Pengendalian impuls : Terganggu
g. Daya nilai : Buruk
h. Tilikan : Derajat 1
i. Taraf dapat dipercaya : Tidak Dapat dipercaya
PANSS EC: 24
PANSS TOTAL: 151
2.7 Diagnosis Banding
a. Episode depresif berat tanpa psikotik akut
b. Gangguan psikotik polimorfik akut tanpa gejala skizofrenia
2.8 Diagnosis Multiaksial
Aksis I : F32.3 Depresi berat dengan gejala psikotik
Aksis II : Ciri Kepribadian Emosi Tidak Stabil
Aksis III : Tidak ada diagnosis
Aksis IV : Masalah ekonomi
Aksis V : GAF 50-41 (disabilitas berat)
2.9 Penatalaksanaan
Terapi pada pasien ini yaitu :
- Farmakologi
 Inj. Zyprexa 1 vial/IM
 Haloperidol 1,5 mg 2x1 tablet/oral/hari
 Trihexyphenidyl 2 mg 2x1 tablet/oral/hari
 Amitriptilin 25 mg (0-0-1)

xiv
- Penanganan psikososial
Psikoterapi.
1. Membina raport dengan pasien dan keluarga pasien sehingga pasien
merasa nyaman dan aman untuk menceritakan apa yang sedang
dirasakan serta riwayat penyakitnya.
2. Memberikan informasi kepada keluarga pasien mengenai penyakitnya
2.10 Prognosis
a. Quo Ad Functionam : dubia ad bonam
b. Quo Ad Sanationam : dubia ad bonam

xv
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Menurut National Institute of Mental Health tahun 2010, depresi merupakan
gangguan mental yang serius ditandai dengan perasaan sedih dan cemas.
Gangguan ini biasanya akan menghilang dalam beberapa hari tetapi dapat juga
berkelanjutan yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari.5
Menurut World Health Organization (WHO) depresi merupakan gangguan
mental yang ditandai dengan munculnya gejala penurunan mood, kehilangan
minat terhadap sesuatu, perasaan bersalah, gangguan tidur atau nafsu makan,
kehilangan energi, dan penurunan konsentrasi.1
Dapat disimpulkan bahwa depresi adalah gangguan mental dimana terjadi
perubahan mood atau suasana hati seseorang menjadi buruk dan sedih, kehilangan
minat dan kegembiraan dalam melakukan aktivitas, serta adanya gangguan pada
energi, konsentrasi nafsu makan dan pola tidur yang dapat mengakibatkan
terganggunya aktivitas hidup sehari-hari. Depresi berkaitan dengan gangguan
pada alam perasaan (affective/mood disorder) yang disertai:6
a. Afek disforik, yaitu perasaan murung sedih, gairah hidup menurun, tidak
semangat, merasa tidak berdaya;
b. Perasaan bersalah, berdosa, penyesalan;
c. Nafsu makan menurun;
d. Berat badan menurun;
e. Konsentrasi dan daya ingat menurun;
f. Gangguan tidur: insomnia atau malah sebaliknya hipersomnia. Gangguan ini
sering disertai dengna mimpi-mimpi yang tidak menyenangkan, misalnya
mimpi orang yang telah meninggal;
g. Agitasi atau retardasi psikomotor (gaduh, gelisah, atau lemah tak berdaya)
h. Hilangnya rasa senang, semangat dan minat, tidak suka lagi melakukan hobi,
kreativitas menurun, produktivitas juga menurun

xvi
i. Gangguan seksual (libido menurun)
j. Pikiran-pikiran tentang kematian, bunuh diri.
3.2 Epidemiologi
Menurut WHO, proporsi populasi penderita depresi secara global pada
tahun 2015 sekitar 4.4%. Sekitar 322 juta orang didunia mengalami depresi.
Hampir setengahnya tinggal di region asia tenggara dan pasifik barat.6
Depresi lebih sering terjadi pada wanita (5.1%) dibandingkan laki-laki
(3.6%). Prevalensi depresi berdasarkan usia, puncak peningkatan depresi pada
usia dewasa tua (lebih dari 7.5% pada wanita usia 55-74 tahun dan diatas 5.5%
pada laki-laki).6
Depresi juga terjadi pada anak-anak dan dewasa dibawah usia 15 tahun.
Studi yang dilakukan oleh Kashani dan Sherman menunjukkan persentase
kejadian depresi pada anak-anak usia pra sekolah 0.9%, anak-anak usia sekolah
1.9% dan remaja 4.7%.6

Gambar 3.1 Epidemiologi kasus gangguan depresi6

xvii
Gambar 3.2 Prevalensi gangguan depresi (populasi %)6
3.3 Etiologi dan Patofisiologi3
A. Faktor biologis
Norepinefrin
Hubungan antara penurunan regulasi atau penurunan sensitifitas dari reseptor
B-adrenergik dan respon klinis antidepressant mungkin menjadi suati bukti yang
paling meyakinkan adanya pengaruh langsung dari system noradrenergic pada
penderita depresi. Bukti lain juga mengindikasikan adanya reseptor B2-presinaps
pada depresi karena aktivasi dari reseptor tersebut menimbulkan penurunan
jumlah norepinefrin yang dilepaskan reseptor B2 presinaps juga berlokasi pada
neuron serotonergic dan meregulasi sejumlah serotonin yang dilepaskan.
Serotonin
Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi dan beberapa pasien dengan
keinginan untuk bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin pada cairan
serebrospinal dan konsentrasi rendah pada tempat uptake serotonin di platelet.
Dopamin
Meskipun norepinefrin dan serotonin adalah neurotransmitter biogenic amin
yang paling sering dikaitkan dengan patofisiologi depresi, dopamine juga
diperkirakan memiliki peran khusus. Temuan-temuan menyebutkan bahwa
aktifitas dopamine dapat berkurang pada depresi dan meningkat pada mania. Dua
teori terbaru tentang dopamine dan depresi menyebutkan jalur mesolimbic

xviii
dopamine dapat mengalami disgfungsi pada depresi dan reseptor dopamine D1
menjadi hipoaktif dalam depresi.
Gangguan neurotransmitter lain.
Asetilkolin ditemukan pada neuron terdistribusi secara menyebar ke seluruh
korteks serebri. Neuron kolinergik memiliki hubungan resiprokal atau interaktif
dengan ke 3 sistem monoamine. Jumlah abnormal kolin (prekurson Ach)
ditemukan dalam autopsy otak pada beberapa pasien depresi, mungkin
mencermikan abnormalitas pada komposisi sel fosfolipid. Obat-obatan agonis dan
antagonis kolinergik memilki efek klinis yang berbeda pada depresi dan mania.
Obat-obat agonis menyebabkan letargi, anergia, dan retardasi psikomotor pada
pasien yang sehat, dapat mengeksaserbasi gejala-gejala depresi dan mengurangi
gejala-gejala mania. Efek ini umumnya tidak cukup menyokong untuk
penggunaan klinis dan efek sampingnya cukup menyulitkan. Pada percobaan
hewan yang mengalami depresi, tikus-tikusf yang super atau subsensitif terhadap
kolinergik agonis ditemukan lebih menyesuaikan / lebih resisten untuk
ketidakberdayaan yang dipelajari. Agonis kollinergik dapat meminimalkan
perubahan aktivitas HPA dan aktivitas tidur yang memiliki kemiripan dengan
depresi berat. Beberapa pasien dengan gangguan mood yang mengalami remisi
serta keluarganya yang tak pernah sakit memiliki kecenderungan peningkatan
sensitivitas agonis kolinergik.
Aminobutirik acid (GABA) memiliki efek inhibitor pada jalur monoamine
ascending, khususnya system mesokortik dan mesolimbik. Reduksi dari GABA
telah diobservasi pada plasma, CSF, dan tingkat GABA di otak pada depresi.
Asam amino glutamate dan glisin adalah neurotransmitter paling mayor
secara excitatory dan inhibitory di SSP. Glutamat dan glisin terikat pada tempat-
tempat yang berkaitan dengan N-metil-D-aspartat (NMDA) dan stimulasi
glutamatergik yang berlebihan dapat menyebabkan efek neurotoksik. Yang
terpenting, konsentrasi tinggi reseptor NMDA terdapat pada hipokampus.
Glutamat dapat bersama-sama hiperkolesterolemia untuk memediasi efek
neurokognitif yang (deleterious) dari episode depresi berulang. Bukti yang

xix
muncul menyebutkan bahwa obat-obatan yang antagonis terhadap reseptor
NMDA memiliki efek antidepressant.
Diagram dibawah menunjukkan mekanisme yang diyakini terlibat dalam
patofisiologi depresi. Jalur utama prodepresi yang terlibat adalah axis
hipotalamus-pituitari-adrenal yang diaktivasi oleh stres dan pada gilirannya
menguatkan aksi eksitotoksik glutamat yang dimediasi oleh reseptor NMDA, dan
berhubungan dengan ekspresi gen yang memulai terjadinya apoptosis neural di
hipokampus dan korteks prefrontal. Jalur antidepresif meliputi monoamin
norepinefrin dan 5-hydroxytryptamine (5-HT), yang bekerja pada reseptor G-
protein-coupled, dan brain-derived neurotrophic factors (BDNF), yang bekerja
pada kinase-linked receptor(TrkB), berhubungan dengan gen yang melindungi
neuron melawan apoptosis dan mempromosikan terjadinya neurogenesis. 2

Gambar 3.3 Patofisiologi Depresi3

xx
B. Perubahan regulasi hormon
Aktivitas HPA yang meningkat adalah tanda dari respon stress mamalia
dna merupakan salah satu hubungan terjelas antara depresi dan biologi dari stress
kronik. Hiperkortisolema pada depresi mengusulkan satu atau lebih gangguan
pusat berikut ini; penurunan hambatan serotonin; peningkatan norepinefrin, Ach,
atau CRH (corticotropin releasing hormone) atau menurunnya feedback negative
dari hippocampus.
Peningkatan aktivitas HPA pada pasien depresi dapat dilihat dari eksresi
kortisol bebas di urin (UFC/urinary-free cortisol), tingkat kortisol plasma
intravena dalam 24 jam (atau dalam jangka waktu lebih pendek), tingkat kortisol
dalam saliva, dan tes integrasi dari feedback penghambat.
Aktivitas aksis tiroid. Sekitar 5-10 pasien depresi yang dievaluasi sebelumnya
memang memiliki gangguan fungsi tiroid yang tidak terdeteksi, terlihat pada
peningkatan tingkat Thyroid stimulating hormone (TSH) basal atau peningkatan
TSH pada infuse dengan neuropeptide hipotalamik TRH 500 mg.
Growth hormone
Hormon pertumbuhan atau growth hormone disekresi oleh pituitary
anterior setelah stimulasi dari norepinefrin dan dopamine. Sekresinya di hambat
oleh somatostatin, sebuah neuropeptide hipotalamik dan CRH. Penurunan tingkat
somatostatin CSF telah diamati pada pasien depresi dan peningkatannya telah
diamati pada pasien mania.
Prolactin
Prolactin dilepaskan dari hipotalamus oleh stimulasi dari serotonin dan
dihambat pengeluarannya oleh dopamine.
C. Perubahan dari neurofisiologi tidur
Depresi dikaitkan dengan hilangnya deep (slow-wave) sleep secara
premature dan peningkatan terjadinya nocturnal arousal (terbangun di malam
hari). Nocturnal arousal tersebut digambarkan dalam empat tipe gangguan, yakni:
1. Peningkatan terjadinya bangun di malam hari
2. Penurunan jumlah waktu total tidur
3. Peningkatan tidur REM fasik

xxi
4. Peningkatan suhu inti tubuh
D. Gangguan imunologis
Gangguan depresif terkadang dikaitkan dengan beberapa kelainan
imunologis, termasuk penurunan proliferasi limfosit pada respon mitogen dan
bentuk lain dari imunitas seluler yang terganggu. Limfosit-limfosit ini
memproduksi neuromodulator seperti corticotropin-releasing factor (CRF) dan
sitokin, peptide yang dikenal sebagai interleukin. Tampaknya ada kaitan antara
derajat keparahan klinis, hiperkortisolism, dan disfungsi imun, dan sitokin
interleukin-1 dapat menginduksi aktivitas gen untuk sintesis glukokortikoid.
E. Pertimbangan Neuroanatomikal
Baik gejala gangguan suasana hati dan temuan penelitian biologi
mendukung hipotesis bahwa gangguan mood melibatkan proses patologi otak.
Neuroscience afektif modern berfokus pada empat wilayah otak dalam pengaturan
emosi normal: korteks prefrontal (PFC), cingulate anterior, hippocampus, dan
amigdala. PFC dipandang sebagai struktur yang menyimpan representasi tujuan
dan tanggapan yang tepat untuk mendapatkan sasaran-sasaran ini. Beberapa
temuan mengindikasikan adanya peran hemisferikal pada fungsi PFC. Contohnya
ketika bagian kiri dari PFC teraktivasi, yang lebih terlibat umumnya berkaitan
dengan sikap sikap yang mengarah ke tujuan dan sikap apetitif. Sementara bagian
kanan PFC lebih berkaitan dengan tindakan menghindar dan inhibisi dari sikap
apetitif. Subregio dari PFC tampaknya lebih berkaitan dengan hal-hal yang
bersifat reward dan punishment.
Korteks cingulate anterior diduga memiliki fungsi tertentu pada input
emosional dan atensi. Ada dua subdivisi yang telah dikenali yakni subdivisi
afektif di bagian rostral dan subdivisi kognitif dorsal. Bagian rostral memiliki
hubungan yang banyak dengan bagian limbic yang lain dan bagian dorsal lebih
banyak memiliki itneraksi dengan PFC dan bagian korteks lain. Dikatakan bahwa
aktivasi dari ACC memfasilitasi pengendalian rangsangan emosional, terutama
ketika pencapaian tujuan telah digagalkan atau ketika masalah baru telah ditemui.
Hipokampus memiliki keterlibatan pada berbagai proses pembelajaran,
memori, termasuk rasa takut dan regulasi penghambat dari aktivitas HPA aksis.

xxii
Pembelajaran emosional atau kontekstual tampaknya memiliki keterkaitan
langsung terhadap hipokampus dan amigdala.

Gambar 3.4. Wilayah otak utama yang terlibat dalam gangguan suasana
hati/gangguan mood. A. Orbital prefrontal cortex dan korteks prefrontal
ventromedial. B. Korteks prefrontal dorsolateral. C. Hippocampus dan amygdala.
D. Anterior cingulate cortex.3
F. Faktor genetik
Studi keluarga/family. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa bila satu
orangtua memilki gangguan mood, maka anaknya akan berisiko 10-25% untuk
mengalami gangguan mood juga. Jika dua orangtua dari anak tersebut memiliki
gangguan mood resikonya meningkat menjadi 2 kali lipat pada anaknya.
Studi Kembar. Studi kembar memberikan pendekatan yang paling kuat
untuk memisahkan faktor genetik dari faktor lingkungan, atau memisahkan
"nature" dari “nurture" Data kembar memberikan bukti yang meyakinkan bahwa
gen hanya menjelaskan 50 hingga 70 persen etiologi gangguan suasana hati.
Lingkungan atau faktor tak berhalang lainnya merupakan sisanya.

xxiii
Mempertimbangkan gangguan unipolar dan bipolar bersama-sama, studi ini
menemukan tingkat konkordansi untuk gangguan mood pada kembar monozigotik
(MZ) dari 70 hingga 90 persen dibandingkan dengan kembar yang berjenis
kelamin sama dizigotik (DZ) 16 hingga 35 persen.
G. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan dimana suatu pengamatan klinik
menyatakan bahwa peristiwa atau kejadian dalam kehidupan yang penuh
ketegangan sering mendahului episode gangguan mood. Suatu teori menjelaskan
bahwa stres yang menyertai episode pertama akan menyebabkan perubahan
fungsional neurotransmitter dan sistem pemberi tanda intra neuronal yang
akhirnya perubahan tersebut menyebabkan seseorang mempunyai resiko yang
tinggi untuk menderita gangguan mood selanjutnya.
Faktor kepribadian premorbid menunjukkan tidak ada satu kepribadian
atau bentuk kepribadian yang khusus sebagai predisposisi terhadap depresi.
Semua orang dengan ciri kepribadian manapun dapat mengalami depresi,
walaupun tipe kepribadian seperti dependen, obsesi kompulsif, histironik
mempunyai risiko yang besar mengalami depresi dibandingkan dengan lainnya.
Faktor Psikoanalitik dan Psikodinamik menyatakan suatu hubungan antara
kehilangan objek dan melankoli. Ia menyatakan bahwa kemarahan pasien depresi
diarahkan kepada diri sendiri karena mengidentifikasikan terhadap objek yang
hilang.
Pada teori kognitif, Beck menunjukkan perhatian gangguan kognitif pada
depresi. Dia mengidentifikasikan 3 pola kognitif utama pada depresi yang disebut
sebagai triad kognitif, yaitu pandangan negatif terhadap masa depan, pandangan
negatif terhadap diri sendiri, individu menganggap dirinya tak mampu, bodoh,
pemalas, tidak berharga, dan pandangan negatif terhadap pengalaman hidup.
3.4 Klasifikasi dan gejala klinis
Menurut buku PPDGJ-III, episode depresif memiliki gejala utama pada derajat
ringan, sedang, dan berat:7
- Afek depresif
- Kehilangan minat dan kegembiraan

xxiv
- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit) dan menurunnya aktivitas
Gejala lainnya meliputi:
- Konsentrasi dan perhatian berkurang
- Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
- Gagasan tentang rasa bersalah dan rasa tidak berguna
- Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
- Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
- Tidur terganggu
- Nafsu makan berkurang
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebuh diperlukan
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode
lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung
cepat.
Klasifikasi dari depresi menurut PPDGJ-III dapat diuraikan sebagai berikut:
Tabel 3.1 Klasifikasi derajat depresi
Derajat depresi Keterangan diagnostic

Episode depresif  Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi


ringan (F32.0) seperti disebut diatas;
 Ditambah sekuran-kurangnya 2 dari gejala lainnya (a) sampai
(g)
 Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya
 Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya
sekitar 2 minggu
 Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial
yang biasa dilakukannya
Episode depresif  Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
sedang (F32.1) seperti pada episode depresi ringan
 Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala
lainnya

xxv
 Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2
minggu
 Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan
sosial, pekerjaan, dan urusan rumah tangga
Episode depresif  Semua 3 gejala utama depresi harus ada
berat (F32.2)  Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan
beberapa diantaranya harus berintensitas berat.
 Bila ada gejala penting (misalnya agitasi, atau retardasi
psikomotor) yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau
atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara
rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh
terhadap episode depresif berat masih dapat dibenarkan.
 Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-
kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan
beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk
menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2
minggu
 Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan
kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali
pada taraf yang sangat terbatas
Episode depresif  Episode berat yang memenuhi criteria menurut F32.2 diatas
berat dengan gejala  Disertai waham, halusinasi, atau stupor depresif. Waham
psikotik (F32.3) biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau
malapetaka yang mengancam, dan pasien merasa bertanggung
jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya
berupa suara yang menghina atau menuduh atau bau kotoran
atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat
menuju pada stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi
dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan afek
(mood-congruent).

xxvi
3.5 Pemeriksaan status psikiatri3
a. Keadaan umum
Gejala paling sering pada depresi adalah retardasi psikomotor umum dan
agitasi psikomotor. Gejala agitasi yang paling sering berupa menarik rambut dan
menulis. Pasien depresi seringkali memiliki postur bungkuk, tidak ada pergerakan
spontan, dan tatapan yang mengalihkan.
2. Mood, Afek and Perasaan
Gejala khas adalah depresif, walaupun 50% pasien sering menolak mereka
mengalami depresi dan jarang menunjukkan depresi sebagai gejala utama.
Biasanya pasien ini sering diantar oleh keluarga akibat penarikan social dan
berkurangnya aktivitas sehari-hari.
3. Bicara
Umumnya pasien depresi memiliki penurunan volume dan berkurangnya
frekuensi bicara. Mereka biasanya merespon pertanyaan dengan jawaban dengan
satu kata serta keterlambatan dalam merespon. Biasanya pemeriksa menunggu 2-3
menit hingga pasien menjawab pertanyaan.
4. Gangguan persepsi
Pasien depresi yang memiliki delusi dan halusinasi disebut memiliki
episode gangguan depresif mayor dengan gambaran psikotik. Delusi dan
halusinasi yang dialami biasanya konsisten dengan mood depresi yang disebut
mood-congruent. Pada pasien depresif, delusi biasanya tentang kemiskinan,
kekecewaan, dosa, putus asa, kegagalan, dan penyakit somatic terminal. Delusi
mood inkongruen atau halusinasi yang tidak konsisten dengan mood depresi
contohnya delusi kebesaran mengenai kekuatan, pengetahuan. dan kekayaan. Jika
hal itu terjadi, harus dipikirkan gangguan skizofrenik.
5. Pikiran
Pasien depresi memiliki pandangan negative mengenai diri sendiri dan
dunia. Isi pikir mereka berupa pikiran nondelusi tentang kehilangan, kekecewaan,
bunuh diri, dan kematian. Sekitar 10% pasien depresi memiliki gejala gangguan
dari arus pikiran adanya blocking dan miskin isi.

xxvii
6. Sensorium dan kognisi
7. Orientasi
Kebanyakan pasien depresi memiliki orientasi baik terhadap orang, tempat
dan waktu.
8. Memori
Sekitar 50-75% pasien depresi memiliki gangguan kognitif.
9. Kontrol impuls
Sekitar 10-15% dari semua penderita depresi melakukan bunuh diri, dan
2/3 penderita memiliki ide untuk bunuh diri. Pasien depresi dengan psikotik sering
ingin membunuh oranglain akibat dari delusi yang mereka miliki, tetapi pasien
dengan depresi paling berat sering kurang memiliki motivasi atau energy untuk
bertindak impulsive ataupun kekerasan.
10. Daya nilai dan tilikan
Pasien depresi sering hiperbolik dalam menggambarkan gejala-gejala yang
mereka alami dan masalah kehidupan
11. Reliabilitas
Pasien depresi seringkali melebihkan hal-hal yang buruk dan
meminimalisasi hal-hal baik. Seringkali pernyataan yang mereka katakan salah
sehingga pemeriksa memerlukan konfirmasi dari sumber lain.
3.6 Terapi
3.6.1 Farmakoterapi8
a. Terapi Fase Akut
Target pengobatan pada fase akut tercapainya respon atau remisi (lebih
baik). Lama terapi pada fase akut 2-6 minggu. Indikasi untuk perawatan di Rumah
Sakit adalah:
1) Prosedur diagnostic
2) Risiko bunuh diri dan pembunuhan
3) Kemunduran yang parah dalam kemampuan memenuhi
kebutuhan makan dan perlindungan
4) Cepatnya perburukan gejala
5) Hilangnya sistem dukungan yang biasa didapatnya

xxviii
Kombinasi terapi psikososial dan farmakoterapi memberikan hasil yang lebih
baik.
Tabel 3.2 Jenis Obat Antidepresan, Dosis dan Efek Samping

Nama obat Dosis harian (mg) Efek samping

SSRI
Escitalopram 20-60 Semua SSRI bisa menimbulkan
Fluoksetin 10-40 insomnia, agitasi, sedasi,

Sertralin 50-150 gangguan sal. Cerna dan disfungsi


seksual
Fluovoksamin 150-300

Trisiklik/Tetrasiklik
Amitriptilin 75-300 Antikolinergik
Maprotilin 100-225
Imipramin 75-300

Nama obat Dosis harian (mg) Efek samping

SNRI
Duloksetin 40-60 Mengantuk, kenaikan BB,
Venflaksin 150-375 hipertensi, gangguan
sal.cerna

RIMA
Moklobemid 150-300 Pusing, sakit kepala,
mual, berkeringat, mulut
kering, mata kabur

NaSSA
Mirtazapin 15-45 Somnolen, mual

SSRE
Tianeptin 12.5-37.5 Somnolen, mual,

xxix
gangguan kardiovaskular

Melatonin Agonis
Agomelatin 25-50 Sakit kepala

b. Terapi fase lanjutan


Tujuan pengobatan pada fase ini adalah tercapainya remisi dan mencegah
relaps. Remisi yaitu HAM-D ≤ 7 atau MADRS ≤ 8, bertahan paling sedikit 3
minggu. Dosis obat sama dengan fase akut.
c. Terapi fase rumatan
Tujuan untuk mencegah rekurensi. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah
risiko rekuren, biaya dan keuntungan perpanjangan terapi. Pasien yang telah 3
kali atau lebih mengalami episode depresif atau 2 episode berat
dipertimbangkan terapi pemeliharaan jangka panjang. Antidepresan yang telah
berhasil mencapai remisi dilanjutkan dengan dosis yang sama selama masa
pemeliharaan.
3.6.2 Psikoterapi
a) Cognitive-behavioural therapy (CBT)
Terapi CBT berdasarkan premis bahwa pasien yang depresi mengalami
trias kognitif depresi bahwa mereka memiliki pandangan negative mengenai diri
mereka sendiri (konsep negative diri sendiri, cont.: tidak pantas), dunia
(overestimate terhadap permintaan, cont.: hidup tidak berarti), dan masa depan
(cont.: putus asa). Beck, Rush, Shaw dan Emery memiliki postulat bahwa
pemikiran negative yang otomatis dan distorsi dalam berfikir berasal dari skema
problematic dimana struktur-struktur kognitif mempengaruhi bagaimana
informasi dinterpretasi dan recall. Tujuan terapi ini adalah meringankan episode
depresif dan mencegah kekambuhan dengan membantu pasien mengidentifikasi
dan menguji kognisi negative; mengembangkan cara berpikir alternative,
fleksibel, dan positif; serta melatih respons perilaku dan kognitif yang baru.
Penggunaan CBT pada dewasa tergolong efikasi dan spesifik untuk terapi depresi
akut dan pencegahan relaps.9

xxx
Selama CBT, pasien dibantu untuk mengidentifikasi asumsi maladaptive
mereka dan memproses kesalahan lalu psikiater meminta mereka untuk
melaksanakannya melalui monitor pengalaman mereka dan emosi-emosi yang
berkembang. Standar sesi CBT antara 15-20 menit. Pasien juga diminta membuat
pekerjaan rumah (PR) yakni pasien diminta melaksanakan tugas-tugas tertentu
seperti merekam kegiatan sehari-hari mereka dan membuat daftar pemikiran-
pemikiran negative mereka.10
Terapi kognitif ini efektif mencegah relaps saat diberikan sebagai sesi booster
setiap bulan setelah terapi akut dengan antidepresan sukses.10

Gambar 3.5 Teknik yang digunakan pada CBT untuk depresi10


b) Terapi interpersonal
Terapi interpersonal dikembangkan dari ide “neofreudian” oleh Harry Stack
Sullivan (1892-1949). Asumsi dasar dari terapi interpersonal adalah masalah
emosional yang merupakan akibat dari masalah hubungan interpersonal yang
dialami selama masa kanak-kanak: secara primer diantara anak-anak dengan
orangtua, tetapi juga dapat antara saudara dan orang-orang signifikan lainnya.
Konsekuensi dari hubungan interpersonal yang bermasalah dianggap menjadi cara
maladaptive dalam mengatasi kehidupan. Terapi interpersonal mendefinisikan 4
area utama interpersonal yang sering sesuai dengan gangguan depresi mayor: 1.
Reaksi kesedihan abnormal 2. Masalah peran interpersonal 3. Transisi peran sulit
4. Deficit interpersonal (kemampuan sosial tidak adekuat). Standarnya sesi terapi

xxxi
ini 15-20 menit. Progres terapi harus dimonitor, strategi coping baru dilakukan
oleh pasien sebagai strategi pekerjaan rumah.
Terapi interpersonal berguna untuk terapi fase depresi akut, berkelanjutan, dan
rumatan.10
c) Terapi penyelesaian masalah
Terapi penyelesaian masalah merupakan intervensi psikologik baru untuk
depresi. Terapi ini efektif untuk terapi gangguan depresif pada pelayanan primer.
Gangguan depresif dikenal berhubungan erat dengan kejadian yang membuat stres
dalam hidup. Pasien depresi kurang mampu mengatasi stres ini dengan cara yang
focus terhadap masalah. Rasionalitas dari terapi ini adalah gejala-gejala yang
disebabkan oleh masalah sehari-hari yang mana dapat diselesaikan melalui teknik
penyelesaian masalah dan resolusi masalah mengakibatkan pengurangan dari
gejala-gejala yang timbul.10
3.6.3 Terapi Fisik10
a) Electroconvulsive therapy (ECT)
Terapi elektrokonvulsid melibatkan induksi kejang singkat yang diinduksi
oleh arus listrik melewati otak penderita bersamaan dengan pemberian
anestetis umum dan relaksan otot. ECT memiliki efek antidepresan yang
potent, yang mana memiliki onset aksi lebih cepat daripada antidepressant.
ECT diperkirakan efektif untuk terapi kondisi psikiatri dan neurologis
termasuk gangguan mood (khususnya depresi psikotik), psikosis dan
penyakit parkinson. Terapi ini efektif jika tidak ada aktivitas motorik
abnormal seperti katatonia, stupor dan Parkinson. Indikasi ECT:
1) Stupor depresif
2) Gagal makan atau minum
3) Risiko tinggi bunuh diri
4) Delusi depresif
5) Retardasi psikomotor
6) Respon yang bagus sebelumnya dengan ECT
3.7 Prognosis

xxxii
Dengan terapi yang sesuai, sekitar 70-80% pasien depresi mampu
mengalami penurunan gejala. 20% penderita dengan gangguan depresi mayor
yang tidak ditangani selama 1 tahun akan tetap memenuhi kriteria, sekitar 40%
akan mengalami remisi parsial. Gejala-gejala psikotik mempengaruhi outcome
yang lebih buruk. Remisi parsial dan atau adanya riwayat episode depresi mayor
sebelumnya merupakan factor risiko terjadinya episode rekuren dan resistensi
terapi.9
Menurut American Academy of Child and Adolescent Psychiatry (AACAP)
parameter untuk ganggguan depresi pada anak-anak dan dewasa, adanya riwayat
episode depresif sebelumnya, gejala subsindrom depresi, distimia dan gangguan
kecemasan dapat meningkatkan risiko depresi pada masa yang akan datang.9
Prognosis pada pasien dengan depresi onset lambat lebih buruk
dibandingkan pasien yang berusia lebih muda. Hal itu tergantung pada disabilitas
fisik atau penyakit dan kurangnya dukungan sosial. Lamanya episode depresif
pada populasi lansia kira-kira 18 bulan, dimana penderita depresi dengan usia 20-
55 tahun mengalami episode depresi 18-24 minggu. Pada pasien yang berusia tua,
depresi sering komorbid dengan kondisi medis kronik dan mampu memperburuk
outcome yang dialami, termasuk kematian. Contohnya, penyakit arteri coroner
merupakan factor risiko berkembangnya depresi dan depresi merupakan factor
risiko independen berkembangnya penyakit coroner. Pasien dengan kondisi
seperti itu lebih cepat mengalami kematian dibandingkan pasien yang hanya
memiliki penyakit arteri coroner.3
Depresi onset lambat dilaporkan dapat melipatgandakan risiko timbulnya
gangguan kognitif ringan dan gangguan tersebut akan berkembang menjadi
demensia.3
Selain itu, depresi menyebabkan lebih dari ½ usaha bunuh diri. Faktor
risiko untuk bunuh diri termasuk:3
a. Diagnosis depresif mayor
b. Riwayat usaha bunuh diri sebelumnya
c. Gejala depresif dengan agitasi atau distress

xxxiii
d. Adanya beban penyakit medis lainnya dan adanya kondisi medis yang
serius
e. Kejadian akhir-akhir ini yang menyebabkan stress
f. Kurangnya dukungan social
g. Merupakan janda/duda ataupun diceraikan
h. Adanya senjata tajam di rumah
i. Berat badan menurun yang tidak dapat dijelaskan
j. Tingginya tingkat kecemasan
k. Kurangnya alasan untuk tidak bunuh diri
l. Rencana yang telah disiapkan

xxxiv
BAB IV
ANALISA KASUS

Pada kasus ini depresi dengan psikotik akut ditegakkan berdasarkan


anamnesa dan status psikiatri. Pada kasus ini dilaporkan Ny. S (30 tahun) datang
ke IGD RSJD Provinsi Jambi bersama dengan suaminya dengan keluhan sering
mengoceh sendiri sejak 2 hari SMRS. Keluhan ini bermula dari sekitar 2 bulan
yang lalu, suami pasien berhutang dengan bosnya. Suami pasien memiliki hutang
sekitar 300 juta. Sebelumnya pasien sering mengingatkan suami pasien bahwa
jangan boros dan harus bersabar dalam usaha kayunya. Namun suami pasien
menghiraukan nasihat istrinya, sehingga suami pasien terus meminjam uang
kepada bosnya. Saat pertama kali mendengar jumlah hutang yang suaminya
miliki, pasien marah kepada suaminya. Akibat hutang yang suaminya miliki,
pasien dan suaminya menjual tanah yang mereka miliki. Selain itu, suami pasien
juga meminjam perhiasan yang dimiliki pasien dan menjualnya untuk membayar
hutang yang ia miliki. Pasien sering terfikir mengenai hal tersebut. Sehingga
pasien sering melamun saat sedang sendirian. Suami pasien juga mengeluh pasien
menjadi tidak focus melakukan pekerjaan rumah tangga. Pasien mengatakan
bahwa ia merasa bersalah dan menyesal dikarenakan ia tidak bisa mencegah
masalah ini terjadi. Pasien juga merasa kecewa dan sedih atas masalah yang
menimpa keluarganya. Pasien sering menangis sendiri dan merasa putus asa.
Menurut penuturan suami pasien, pasien menjadi sulit tidur sejak 2 bulan terakhir
ini. Pasien sering terbangun pada tengah malam hari. Serta nafsu makan pasien
menjadi berkurang.
Dalam 2 hari SMRS, tiba-tiba pasien sering mengoceh sendiri. Menurut
suaminya, pasien sering membicarakan segala hal yang tidak jelas. Pasien juga
sering keluyuran dan jalan-jalan bahkan menari sendiri. Serta ia sering mendengar
suara-suara yang mengejek bahwa pasien bangkrut. Suara-suara tersebut sering
pasien dengar saat ia sedang sendirian dan melamun. Pasien juga sering
menyalahkan diri sendiri atas masalah yang menimpa keluarganya. Sebelum
pasien mengalami keluhan tersebut, pasien merupakan pribadi yang ceria dan

xxxv
murah senyum. namun, semenjak masalah yang menimpa keluarganya pasien
menjadi pendiam dan jarang senyum.
Dari hasil observasi pertama kali, didapatkan kesadaran pasien kompos
mentis, pasien datang dengan pakaian kurang rapi dan sesuai usianya, sikap
terhadap pemeriksa kurang kooperatif. Mood pasien hipomania dengan afek labil.
Terdapat gangguan psikotik dalam bentuk pikir. Terdapat gangguan dalam arus
pikir berupa flight of ideas dan isi pikir, yaitu waham menyalahkan diri. Pasien
mengalami gangguan persepsi berupa halusinasi auditorik. Orientasi waktu,
tempat dan orang baik, konsentrasi dan daya ingat kurang baik. Pasien tidak
menyadari ia sakit dan menolak untuk diobati.
Diagnosis multiaksial pada pasien ini:
a) Aksis I : F32.3 Episode Depresi Berat dengan Gejala Psikotik
Diagnosis pasien pada aksis I berdasarkan PPDGJ III, pada pasien
menunjukkan gejala depresi berupa afek yang labil kadang hipomania dan
kadang depresi, kehilangan minat dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan
bergaul terhadap lingkungan sekitar rumah, menurunnya aktivitas, konsentrasi
berkurang, rasa bersalah terhadap masalah yang menimpa keluarganya, tidur
terganggu dan penurunan nafsu makan. Semua gejala tersebut sudah tampak
sejak 2 bulan sebelum masuk Rumah Sakit. Selain itu sejak 2 hari SMRS,
pasien mendengar bisikan yang mengejek dirinya bangkrut dan dia
menyalahkan dirinya atas semua yang terjadi selama ini.
b) Aksis II : Ciri Kepribadian Emosi Tidak Stabil
Pasien menunjukkan ciri-ciri kepribadian emosi yang tidak stabil dan
kurangnya pengendalian diri. Namun pasien tidak menunjukkan gejala
impulsive.
c) Aksis III : Tidak ada diagnosis
d) Aksis IV : Masalah ekonomi
Dari anamnesis yang dilakukan, keluhan pasien bermula sejak keluarganya
memiliki masalah ekonomi yakni suami pasien berhutang sekitar 300 juta
yang digunakan sebagai modal kayu.
e) Aksis V : GAF 50-41 (disabilitas berat)

xxxvi
Diagnosis banding episode depresif berat tanpa gejala psikotik dapat
disingkirkan karena menurut PPDGJ III pedoman diagnostic depresi berat
tanpa gejala psikotik akut berupa:
1. Semua 3 gejala utama depresi harus ada
2. Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa
diantaranya harus berintensitas berat
3. Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotorik)
yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu
untuk melaporkan gejalanya secara rinci.
4. Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala maat berat dan beronset sangat cepat,
maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun
waktu kurang dari 2 minggu
5. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat
terbatas
Pada criteria diagnosis tersebut tidak ada menunjukkan halusinasi
dikarenakan pasien memiliki halusinasi auditorik yang bersifat mengejek atau
menghina dan waham berupa menyalahkan diri maka diagnosis episode depresif
berat tanpa gejala psikotik dapat disingkirkan.
Diagnosis banding gangguan psikotik polimorfik akut tanpa gejala
skizofrenia dapat disingkirkan menurut PPDGJ III, untuk diagnosis pasti harus
memenuhi:
1. Onset harus akut (dari suatu keadaan non psikotik sampai keadaan
psikotik yang jelas dalam kurun waktu 2 minggu atau kurang)
2. Harus ada beberapa jenis halusinasi atau waham yang berubah dalam
jenis dan intensitasnya dari hari ke hari atau dalam hari yang sama
3. Harus ada keadaan emosional yang sama beraneka ragamnya
4. Walaupun gejala-gejalanya beraneka ragam, tidak satupun dari gejala
itu ada secara cukup konsisten dapat memenuhi criteria skizofrenia
(F20-) atau episode manic (F30-) atau episode depresif (F32-)

xxxvii
Pada pasien ini menunjukkan gejala halusinasi atau waham yang tidak
berubah dalam jenis dan intensitasnya dari hari ke hari atau dalam hari
yang sama serta mencukupi memenuhi episode depresif.
Terapi farmakologi yang diberikan pada pasien ini adalah:
 Inj. Zyprexa 1 vial/IM
Obat ini merupakan golongan antipsikotik atipikal yakni Olanzapine.
Mekanisme kerja olanzapin sebagai antagonis reseptor dopamine dan
serotonin tipe 2.
Efek samping zyprexa: hipotensi ortostatik, peningkatan berat badan,
dan hipertrigliseridemia.
 Haloperidol 1,5 mg 2x1 tablet/oral/hari
Obat ini merupakan golongan antipsikotik tipikal/generasi pertama.
Mekanisme kerja haloperidol sebagai antagonis reseptor dopamine D1
dan D2 di otak.
Efek samping dari haloperidol: akatisia, distonia, Parkinson, tardive
diskinesia dan kaku otot.
 Trihexyphenidyl 2 mg 2x1 tablet/oral/hari
Obat ini merupakan antikolinergik untuk meminimalisir efek samping
gejala ekstrapiramidal dari antipsikotik.
 Amitriptilin 25 mg (0-0-1)
Merupakan antidepresan golongan trisiklik, bekerja menghambat
reuptake norepinefrin dan serotonin serta sebagai antikolinergik.

xxxviii
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan PPDGJ III, depresi merupakan gangguan mental yang
ditandai dengan 3 gejala utama berupa afek depresi, penurunan minat dan
kegembiraan serta berkurangnya energi dan menurunnya aktivitas. Episode
depresif dibagi menjadi episode depresif ringan, sedang, dan berat. Episode
depresif berat dibagi menjadi episode depresif berat tanpa atau dengan gejala
psikotik.
Depresi seringkali terjadi pada wanita, namun dapat terjadi juga pada
anak-anak dan remaja bahkan lansia. Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya
depresi seperti faktor biologi, regulasi hormone,perubahan fisiologis tidur, faktor
genetic dan psikososial.
Tatalaksana depresi merupakan kombinasi farmakologi, psikoterapi dan
dukungan sosial dari lingkungan primer dan sekitarnya.

xxxix
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Statistics 2011 [cited by 25 Juni 2018]. Available from:


http://www.who.int/gho/publications/world_health_statistics/EN_WHS20
11_Full.pdf
2. Harista RA, Rika L, Depresi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2.
Majority. 2015:4(9):1
3. Sadock BJ, Virginia AS, Pero R. Synopsis of Psychiatry Behavioural
Sciences/Clinical Psychiatry. 11th ed. New york: Wolters Kluwer,
2015;Hal.754.
4. Rothschild AJ. Challenges in the Treatment of Major Depressive Disorder
with Psychotic Features. Schizophrenia Bulletin. 2013:39(4):787-96.
5. National Institute of Mental Health. Depression [cited by 25 Jun 2018].
Available from:
https://www.nimh.nih.gov/health/topics/depression/index.shtml
6. Depression and other common mental health disorder. WHO 2017 [cited
by 26 Jun 2018]. Available from:
http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/254610/WHO-MSD-MER-
2017.2-
eng.pdf;jsessionid=BDFA7DD1E7319C8D89B17DED7E40BF34?sequen
ce=1
7. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III dan DSM-5.
8. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa Menteri Kesehatan
Republik Indonesia 2015
9. Halverson JL. Depression. 21 May 2018 [cited by 26 Jun 2018]. Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/286759-
overview?pa=Y%2Fuv6S6GxgzWW1sdUuAtkrQvtPfr3UXWooYFhJktw
4SV0bKfYMXDssfFSkD4bw0y%2FxBiS5Oc80%2BP6Lc314ARmZuirm
rJC0so7wvS3wxSmSU%3D
10. Baldswin DS, Birtwistle J. An Atlas of Depression. USA:The Parthenon
Publishing Group,2002;Hal.50

xl

Anda mungkin juga menyukai