DISUSUN OLEH
PEMBIMBING
2
dr. Susiati, M. Ked, Sp.KJ
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan case report
session (CRS) ini dengan judul “Attention Deficit Hiperactivity Disorder
(ADHD)”. Laporan ini merupakan bagian dari tugas Bagian Ilmu Psikiatri di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Susiati, M. Ked, Sp. KJ selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan sehingga laporan case report session (CRS) ini dapat terselesaikan dengan
baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan
case report session (CRS) ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.
Sebagai penutup semoga kiranya laporan case report session (CRS) ini dapat
bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
LAPORAN KASUS
5
aktivitas lainnya tanpa menyelesaikannya terlebih dahulu. Pasien sering merasa
tidak nyaman ketika menggunakan pakaian atau popok. Pasien tidak mau makan
nasi dan pilih pilih makanan.
Pasien telah diterapi sebanyak 3 kali di RSJ Prof Jambi. Setelah diterapi,
ibu pasien merasa keadaan anaknya belum ada perubahan. Ibu pasien mengaku
tidak memberikan obat secara rutin kepada pasien.
2.1.3 Riwayat Penyakit Dahulu
1. Gangguan Mental dan Emosi
Riwayat gangguan mental dan emosi tidak ada sebelumnya.
2. Gangguan Psikosomatis
Tidak didapatkan kelainan
3. Kondisi Medik
Tidak ada gangguan medik
4. Riwayat Penggunaan Zat Narkotika dan Alkohol
Tidak ada Riwayat penggunaan zat narkotika dan alkohol
5. Gangguan Neurologi
Tidak ada riwayat gangguan neurologi
Struktur Keluarga
No Nama L/P Usia Hubungan Sifat
1. Tn. M L 36 th Ayah pasien Tegas,disiplin, penyayang
2. Ny. N P 35 th Ibu pasien Ramah, penyayang
3. An. X P 8 th Kakak Pasien Belum memahami
kondisi adiknya
4. An. N P 6th 5bln Pasien Hiperaktif
5. An. X L Adik pasien Belum memahami
kondisi kakaknya
6
Genogram :
Keterangan :
Pasien
(pria)
(wanita)
7
Belum dapat dinilai
b. Riwayat sekolah
Pasien belum sekolah
c. Perkembangan kognisi dan motorik
Pasien lupa mengenai perkembangan kognisi dan motorik.
d. Masalah emosi dan fisik
e. Riwayat Psikoseksual
Belum dapat dinilai
f. Latar belakang agama
Pasien beragama islam.
g. Riwayat pekerjaan
Pasien tidak bekerja.
h. Aktivitas sosial
Pasien sulit diarahkan, tidak bisa fokus terhadap sesuatu, saat ini
pasien mampu mengikuti beberapa kata yang diajarkan.
i. Kehidupan seksual
Orientasi seksual pasien terhadap lawan jenis belum dapat dinilai
j. Riwayat pernikahan
Pasien belum menikah
k. Riwayat militer dan masalah hukum
Pasien tidak pernah melakukan pendidikan militer. Pasien tidak
pernah terlibat dengan masalah hukum dan kepolisian.
8
Tinggi Badan : - cm
Berat Badan : 15 kg
IMT :-
3. Status Generalisata
Kulit : Turgor baik
Kepala : Normochepal, rambut hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Deformitas (-), epistaksis (-)
Telinga : Serumen minimal, Nyeri tekan (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Trakea terletak ditengah
Thorax
Paru
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, pergerakan dada simetris,
retraksi dinding dada (-), sikatriks (-)
Palpasi : Fremitus dada kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, Ronkhi (-/-), Wheezing
(-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Batas atas : ICS II linea parastenalis sinistra
Batas bawah : ICS V linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : BJ1- BJ2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Abdomen datar, distensi (-), ikterik (-), sikatriks (-)
Auskultasi : Bising usus normal
9
Palpasi : Supel
Perkusi : Timpani di keempat kuadran, pekak alih (-)
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, edema (-/-), CRT 2detik
Inferior : Akral hangat, edema (-/-), CRT 2detik
Pemeriksaan Neurologis
GCS : 15 (E4 V6 M5)
Pemeriksaan Psikometrik : Tidak dilakukan pemeriksaan
10
2. Arus pikir : Belum dapat dinilai
3. Isi pikir : Belum dapat dinilai
c. Alam perasaan
1. Mood : Euforia
2. Afek : Serasi
d. Persepsi
1. Halusinasi : (-)
2. Ilusi : (-)
e. Fungsi intelektual
1) Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan
a. Taraf pendidikan : Pasien belum sekolah.
b. Pengetahuan umum : Sulit dinilai
2) Daya konsentrasi dan perhatian
a. Konsentrasi dan perhatian pasien tidak baik.
3) Orientasi
a. Waktu : Belum dapat dinilai
b. Tempat : Belum dapat dinilai
c. Orang : Belum dapat dinilai
4) Daya Ingat
a. Daya ingat jangka panjang : Belum dapat dinilai
b. Daya ingat jangka menengah : Belum dapat dinilai
c. Daya ingat jangka pendek : Belum dapat dinilai
d. Daya ingat segera : Belum dapat dinilai
5) Kemampuan baca tulis : Belum dapat dinilai
6) Pikiran abstrak : Belum dapat dinilai
f. Pengendalian impuls : Belum dapat dinilai
g. Daya nilai : Belum dapat dinilai
h. Tilikan : Derajat 1
i. Taraf dapat dipercaya : Tidak dapat dipercaya
2.4 Diagnosis Banding
1. Mental retardation
11
2. Gangguan tingkah laku
3. Gangguan pervasive
2.6 Penatalaksanaan
Farmakologi
1 Arinia 1 x 5 mg
2 Asam folat 100 mg
3 Diazepam 2 mg
Psikoterapi
1. Terapi Okupasi
IX. PROGNOSIS
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Gangguan inatensi dan hiperaktivitas pada anak, pertama kali dikenalkan
oleh Heinrich Hoffman pada pertengahan abad ke-19 dalam sebuah buku
dongeng untuk anak-anak berjudul Slovenly Peter melalui karakter Fidgety
Phil dan Harry Who. Pada awal abad ke-20, gangguan tersebut dianggap sebagai
sebuah sekuele dari ensefalitis yang menyebabkan “brain damage”, dan seiring
waktu menyebabkan “brain dysfunction”. Istilah yang berkembang hingga
pertengahan abad 20 untuk menyebutkan gangguan tersebut antara lain
sindorma hiperkinetik, hiperaktivitas, gangguan hiperaktivitas-impulsifitas, defisit
integrasi psikoneurologis, dan pseudoneurosis.4
Attention Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan salah satu
gangguan mental yang paling umum menyerang anak-anak.5 ADHD merupakan
gangguan neurodevelopmental (gangguan yang terjadi pada masa perkembangan
yang mengakibatkan gangguan emosi dan perilaku) yang bersifat kronis dan
menetap yang paling sering dijumpai dalam praktik klinis ditandai dengan tiga
gejala utama meliputi gangguan pemusatan perhatian, hiperaktivitas, dan
impulsivitas yang lebih berat apabila dibandingkan dengan teman sebaya.6 Di
samping gejala di atas, anak-anak dengan ADHD seringkali juga menunjukkan
beberapa gejala lain seperti adanya ambang toleransi frustasi yang rendah,
disorganisasi, dan perilaku agresif.2
3.2 Epidemiologi
Laporan-laporan mengenai insiden ADHD di Amerika Serikat bervariasi
dari 2 hingga 20 persen pada anak-anak sekolah dasar. Angka konservatif adalah
kira-kira 3 hingga 7 persen pada anak-anak sekolah dasar prapubertas. Orang tua
dari anak-anak dengan ADHD menunjukkan meningkatnya insiden hiperkinesis,
13
sosiopati, gangguan penggunaan alkohol, serta gangguan konversi. Gejala ADHD
sering muncul pada usia 3 tahun, tetapi diagnosis umumnya tidak dibuat hingga
anak masuk ke dalam lingkungan sekolah terstruktur, seperti prasekolah atau
taman kanak-kanak, ketika informasi guru tersedia yang membandingkan
perhatian dan impulsivitas anak yang dicurigai dengan teman sebayanya.7
Pada tahun 2003, sebanyak 51 anak dari sekitar 215 anak sekolah dasar
di diagnosis sebagai ADHD di Poli Jiwa Anak dan Remaja Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM). Dalam penelitian lebih lanjut terhadap 30 buah sekolah
dasar ayng dipilih secara acak di Jakarta pada tahun 2011 dengan menggunakan
pedoman wawancara Mini Neuropsychiatric Interview for Kids (MINI kids)
didapatkan proporsi pada anak sekolah dasar dengan ADHD sebesar 26,2%.
Prevalensi ADHD dipengaruhi oleh jenis kelamin dan juga usia. Angka kejadian
ADHD pada anak remaja dan dewasa dikatakan lebih rendah jika dibandingkan
dengan anak usia sekolah dasar. Anak laki-laki dikatakan memiliki insidensi yang
lebih tinggi untuk mengalami gangguan ini dibandingkan dengan anak
perempuan, dengan rasio 3-4 : 1.2
3.3 Etiologi
Sampai saat ini belum ditemukan penyebab pasti dari ADHD. Faktor
dugaan yang turut berperan untuk ADHD mencakup pajanan toksik pranatal,
prematuritas, dan cedera mekanis pranatal pada sistem saraf janin.7
3.3.1 Faktor Genetik
Bukti adanya dasar genetik untuk ADHD mencakup concordance yang
lebih tinggi pada kembar monozigot dibandingkan dizigot. Saudara kandung anak
hiperaktif juga semiliki risiko kira-kira dua kali untuk memiliki gangguan
dibandingkan populasi umum. Saudara kandung tersebut dapat mempunyai gejala
hiperaktif yang menonjol sedangkan saudara kandung yang lain dapat mempunyai
gejala defisit atensi yang menonjol Pola biologis anak-anak dengan gangguan ini
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk ADHD dibandingkan orang tua adoptif.7
3.3.2 Kerusakan Otak
Diperkirakan bahwa beberapa anak yang menderita ADHD mengalami
kerusakan ringan pada sistem saraf pusat dan perkembangan otak selama periode
14
janin dan perinatal. Kerusakan otak yang dihipotesiskan mungkin dapat
disebabkan karena gangguan sirkulasi, toksik, metabolik, mekanis, atau fisik pada
otak selama masa bayi awal yang disebabkan oleh infeksi. peradangan, dan
trauma. Tanda-tanda neurologis nonfokal (halus) ditemukan dengan angka yang
lebih tinggi pada anak dengan ADHD dibandingkan dengan populasi umum.7
3.3.3 Faktor Neurokimia
Obat yang paling luas dipelajari di dalam terapi ADHD, yaitu stimulan,
memengaruhi dopamin dan norepinefrin, sehingga menimbulkan hipotesis
neurotransmitter yang mencakup kemungkinan disfungsi pada kedua sistem
adrenergik dan dopaminergik. Secara keseluruhan, tidak ada bukti jelas yang
mengaitkan satu neurotransmiter di dalam timbulnya ADHD, tetapi banyak
neurotransmiter dapat terlibat di dalam prosesnya.7
3.3.4 Faktor Neurofisiologis
Hubungan fisiologis adalah adanya berbagai pola elektroensefalogram
(EEG) abnormal nonspesifik yang tidak beraturan dibandingkan dengan kontrol
normal. Sejumlah studi yang menggunakan positron emission tomography (PET)
menemukan berkurangnya aliran darah otak serta laju metabolik di area lobus
frontalis anak-anak dengan ADHD dibandingkan dengan kontrol. Pemindaian
PET juga menunjukkan bahwa remaja perempuan dengan gangguan ini memiliki
metabolisme glukosa yang berkurang secara global dibandingkan dengan kontrol
normal perempuan dan laki-laki serta pada laki-laki dengan gangguan ini. Satu
teori menjelaskan temuan ini dengan menganggap bahwa lobus frontalis anak-
anak dengan ADHD melakukan mekanisme inhibisinya dengan tidak adekuat
pada struktur yang lebih rendah, suatu efek yang menghasilkan disinhibisi.7
3.3.5 Faktor Psikososial
Peristiwa psikik yang memberikan stres, gangguan pada keseimbangan
keluarga, serta faktor pencetus ansietas lain turut berperan di dalam mulainya atau
berlanjutnya ADHD. Faktor predisposisi dapat mencakup temperamen anak,
faktor familial-genetik, dan tuntutan masyarakat untuk patuh dengan cara
berperilaku atau berpenampilan dengan cara yang rutin.7
3.4 Patofisiologi
15
Korteks prefrontal adalah daerah yang paling sering dinilai dalam
pemeriksaan 1H magnetic resonance spectroscopy (MRS) dan metabolit yang
diukur dengan 1H MRS adalah N-acetyl-aspartate (NAA), glutamate+glutamine
(Glu+Gln), creatine phosphocreatine (Cr) dan senyawa kolin (Cho). Hasil studi
dengan menggunakan 1
H MRS, menunjukkan pada anak dengan ADHD
ditemukan mengalami peningkatan Cho, Glu+Gln dan penurunan NAA.
Penurunan tingkat NAA dalam lobus frontal juga telah dilaporkan dalam studi
ADHD yang lebih baru. NAA disintesis dalam mitokondria dan kadar NAA
mencerminkan produksi energi yang terkait erat dengan aktivitas otak. Beberapa
studi menyimpulkan bahwa terjadi disfungsi korteks frontal, prefrontal kanan
pada anak dengan ADHD. Selain itu juga terjadi penurunan pelepasan dopamin
pada jalur kortikostriatal pada remaja ADHD telah dikaitkan dengan patologi
korteks frontal kanan yang mengakibatkan munculnya impulsivitas, inatensi, dan
gangguan fungsi eksekutif serta sering komorbiditas dengan gangguan
penggunaan obat dan zat.8
Rapoport, dkk dari The National Institute of Mental Helath melakukan
penelitian pada otak anak dengan ADHD menggunakan MRI (Magnetic
Resonance Imaging), melaporkan bahwa pada anak dengan ADHD didapatkan
pengecilan lobus prefrontal kanan, nukleus kaudatus kanan, globus palidus kanan,
serta vermis (bagian dari serebelum) pada anak dengan ADHD jika dibandingkan
dengan anak tanpa ADHD. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi bagian
otak di atas adalahh meregulasi fungsi perhatian seseorang. Lobus prefrontal
dikenal sebagai bagian otak yang terlibat dalam proses editing perilaku,
mengurangi distraktibilitas, membantu kesadaran diri dan waktu seseorang.
Sedangkan nucleus kaudatus dan globus palidatus berperan dalam menghambat
respons otomatik yang datang pada bagian otak, sehingga koordinasi rangsangan
tersebut tetap optimal. Sedangkan fungsi serebelum adalah mengatur
keseimbangan. Meskipun demikian, apa yang menyebabkan pengecilan lobus atau
bagian otak tersebut masih merupakan tanda tanya yang memerlukan penelitian
lebih lanjut.2
16
Gambar 1. Belahan otak kanan.2
17
polimorfisme DAT1 dan ADHD ini sudah banyak diteliti di berbagai negara,
namun hasil didapatkan masih bervariasi. Polimorfisme DAT1 pada anak dengan
ADHD ini berupa pengulangan sekuens 40 basa (alele) dan bersifat Variable
Number Tandem Repeat (VNTR). Pengulangan sekuens basa tersebut yang
seringkali dikaitkan dengan ADHD yaitu pengulangan 9 – 11 kali, dan paling
sering ditemukan pada anak dengan ADHD adalah pengulangan 10 kali. Dalam
penelitian yang dilakukan di Jakarta (2015) terhadap 50 anak dengan ADHD dan
50 anak non-ADHD sebagai kontrol dijumpai pengulangan yang sama yaitu 9 dan
10 kali, frekuensi terbanyak juga 10 kali.2
Polimorfisme DAT1 ini dikaitkan dengan gangguan dalam fungsi
neurotransmitter dopamin terutama di korteks dorsolateral prefrontal yang
terutama berkaitan dengan fungsi eksekutif. Kondisi ini membuat anak dengan
ADHD mengalami kesulitan dalam kontrol diri dan gangguan dalam menginhibisi
perilakunya. Secara teoritis, dengan bertambahnya usia maka seorang anak
seharusnya lebih mampu untuk melakukan kontrol terhadap dirinya dengan baik
serta mengendalikan perilakunya dengan lebih terarah sehingga ia mempunyai
kemampuan untuk mengatasi tuntutan yang datang dari lingkungan sekitarnya.
Tetapi kondisi ini tidaklah berjalan mulus pada anak dengan ADHD.2
18
hambatan pada komunikasi dan gangguan belajar akibat mudah teralihkannya
perhatian, penunjukan perhatian, dan hambatan memperoleh retensi.7
3.6 Diagnosis
19
4. Gambaran penyerta tidaklah cukup bahkan tidak diperlukan bagi suatu
diagnosis, namun demikian ia dapat mendukung. Kecerobohan dalam
hubungan-hubungan sosial, kesembronoan dalam situasi yang berbahaya
dan sikap yang secara impulsif melanggar tata tertib sosial (yang
diperlihatkan dengan mencampuri urusan atau mengganggu kegiatan
orang lain, terlampau cepat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang belum
lengkap diucapkan orang, atau tidak sabar menunggu gilirannya),
kesemuanya merupakan ciri khas dari anak-anak dengan gangguan ini.
5. Gangguan belajar serta kekakuan motorik sangat sering terjadi dan
haruslah di catat secara terpisah (di bawah F80-F89) bila ada; namun
demikian tidak boleh dijadikan bagian dari diagnosis aktual mengenai
gangguan hiperkinetik yang sesungguhnya.
6. Gejala-gejala dari gangguan tingkah laku bukan merupakan kriteria
eksklusi ataupun kriteria inklusi untuk diagnosis utamanya, tetapi ada
tidaknya gejala gejala itu dijadikan dasar untuk subdivisi utama dan
gangguan tersebut (lihat di bawah)
20
4. Terdapat bukti nyata bahwa gejala mengganggu atau menurunkan kualitas
kehidupan sosial, akademik, dan pekerjaan
1. Menggeliat saat duduk atau bermain-main dengan kaki atau tangan seperti
mengetuk-ngetukkan jemari dan terus bergerak
2. Sering meninggalkan tempat duduk pada kondisi dimana anak diharapkan
tetap duduk diam, misalnya saat belajar di sekolah
3. Sering berlalu atau memanjat pada situasi yang tidak tepat
4. Sering tidak mampu untuk bermain atau beraktivitas yang membutuhkan
ketenangan
5. Sering terlihat seperti dikendalikan oleh mesin atau seperti tidak mudah
merasa lelah
6. Banyak bicara
7. Menjawab sebelum pertanyaan selesai
8. Sulit menunggu giliran
9. Menyela atau mengganggu percakapan dan aktivitas orang lain
21
3.7 Diagnosis Banding 9,11
1. Gangguan pervasive
a) Autisme Pada anak > 3 bidang utama interaksi
social,komunikatif,perilaku terbatas, sebelum 3 tahun onset
b) Sindrom rett > onset usia 7-24 bulan, Hilangnya kemampuan gerakan
tangan,pandangan kosong
c) Sindrom Asperger > Komunikatif normal, interaksi social dan
perilaku terbatas
d) Sindrom Heller > Lupa dengan kegiatan yang lama setelah belajar
yang baru
e) Autisme tak khas > onset lebih 3 tahun, mirip Autisme pada anak,
umumnya disertai retardasi mental berat
2. Retardasi Mental > Diagnosa pasti lewat penurunan tingkat kecerdasan,
terdapat kemampuan dibidang tertentu ( contoh : Berbicara) namun ada
bidang yang tidak dapat ia kerjakan ( contoh : Membaca)
Diagnosis banding yang perlu kita kaji yaitu seperti oppositional defiant
disorder, gangguan belajar, gangguan cemas, dan gangguan bipolar.
22
5. Pasien gangguan bipolar dapat menunjukan peningkatan aktivitas,
kesulitan konsentrasi, dan impulsivitas. Namun gejala ini bersifat periodik
pada beberapa hari saja setiap kali episode. Gejala biasanya diikuti
dengan peningkatan mood, waham kebesaran, dan fitur bipolar lainnya.
23
3.8 Komorbiditas
24
3.8.4 Teori Psikoanalitik
Tidak ada angka akurat yang menunjukkan jumlah penderita GPPH yang
mengalami gangguan bipolar. GPPH dan gangguan bipolar terkadang sulit
dibedakan pada masa kanak, karena terdapat beberapa gejala yang ditemukan
baik pada GPPH maupun gangguan bipolar, seperti energi yang berlebihan dan
16 kebutuhan tidur yang kurang. Karakteristik yang membedakan GPPH dengan
gangguan bipolar pada anak adalah elasi mood dan terdapatnya ide-ide
kebesaran pada gangguan bipolar.
3.8.7 Autisme
25
3.9 Tatalaksana
a. Golongan Metilfenidat
b. Golongan Deksamfetamin
c. Golongan Pemolin
26
berperilaku serta bereaksi sesuai dengan norma yang ada dan dapat berinteraksi
dengan lebih optimal Edukasi bagi orangtua agar mereka dapat menghadapi
perilaku anaknya dengan lebih baik
b. Edukasi dan pelatihan bagi guru yang bertujuan untuk:
1. Mengurangi terjadinya stigmatisasi pada anak dengan GPPH di sekolah,
sehingga menghindari adanya anggapan buruk terhadap anak-anak ini,
misalnya label sebagai anak nakal, bandel, atau pemalas.
2. Meningkatkan kemampuan guru dalam berempati terhadap perilaku dan
reaksi emosi anak didik mereka yang mengalami GPP.
3.10 Prognosis
Perjalanan riwayat GPPH cukup bervariasi. Prognosis biasanya ditentukan
oleh ada atau tidaknya gangguan lain yang timbul bersamaan atau komorbid.
Adanya komorbiditas memprediksikan prognosis yang lebih buruk.13
27
BAB IV
ANALISA KASUS
28
hiperaktivitas dan berkurangnya attensi. Os juga dikeluhkan adanya impulsivitas
dalam setiap berkegiatan baik dalam kesehariannya maupun bermain.
Pada Os ini dilakukan terapi psikoterapi. Psikoterapi merupakan terapi
yang digunakan untuk menghilangkan atau mengurangi keluhan-keluhan dan
mencegah kambuhnya gangguan psikologik atau pola perilaku maladaptif. Terapi
dilakukan dengan terapi okupasi. Terapi Okupasi pada penderita gangguan ADHD
dapat diberikan secara individu, kelompok, dan disesuaikan dengan gangguan
yang mendasarinya. Terapi okupasi dilakukan dengan memberikan berbagai
macam kegiatan yang dapat membuat Os dapat melakukan kegiatan dalam
kegiatan maksimal baik dalam hal untuk diri sendiri, berkgeitan, ataupun
bersantai. Selain itu tujuan dari terapi ini yaitu untuk membentuk kepercayaan diri
dari Os itu sendiri. Untuk edukasi pada Os ini adalah dengan menyarankan Os
untuk rutin kontrol ulang dalam pengobatan dan terapi okupasi. Dengan kontrol
ulang secara rutin, dokter dapat mengevaluasi efektivitas terapi sehingga dokter
dapat memberikan terapi yang adekuat pada Os.
Pada Os ini, selain psikoterapi diberikan farmakoterapi racikan berupa
arinia 1 x 5 mg, asam folat 100 mg, dan diazepam 2 mg. Arinia (Aripiprazole)
merupakan obat antipsikotik dari golongan atypical (Serotonin Dopamin Receptor
Antagonist). Obat ini bertindak secara khusus pada neurotransmitter serotonin dan
dopamin. Obat ini menghambat jalur dopamine pada bagian mesolimbic dan
mesocortical, sehingga menurunkan kadar dopamine dan serotine. Sehingga gejala
positif Os berkurang. Obat ini merupakan obat yang memiliki efek mual, muntah,
sakit kepala, dispepsia, konstipasi atau konstipasi, kehilangan selera makan,
pertambahan berat badan yang signifikan,sulit tidur atau insomnia,mengantuk.
Asam folat digunakan sebagai suplementasi vitamin/mineral harian tambahan
untuk Os. Obat-obatan diazepam seringkali ditambahkan dan efektif dalam
membantu meringankan gejala hiperaktivitas dari Os.
Prognosis pada Os ini yaitu terdapat 2 kemungkinan prognosis ke arah
baik dan buruk. Prognosis ke arah baik karena orang tua Os menyadari
sepenuhnya tentang situasi Os serta rutin untuk kontrol ulang dan minum obat,
29
respon terhadap pengobatan baik sampai saat ini.Kemungkinan terburuk yaitu
orang tua tidak rutin meminum obat yang diberikan oleh dokter.
30
KESIMPULAN
31
DAFTAR PUSTAKA
2. Utama H. Buku Ajar Psikiatri. 3 ed. FKUI. Jakarta; 2017. 516–533 hal.
7. Kaplan H, Sadock B. Buku Ajar Psikiatri Klinis. 2 ed. Jakarta: EGC; 2010.
597–601 hal.
32
2018 Nov;23(7):447-453. doi: 10.1093/pch/pxy109. Epub 2018 Oct 24.
PMID: 30681669; PMCID: PMC6199644.
12. Wiguna T. Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH),
dalam: Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2010: 441-454
13. Australian Psychological Society. 2018. ADHD (Attention Deficit
Hyperactivity Disorder) in children. The Australian Psychological Society
Limited. https://www.psychology.org.au/for-the-public/Psychology-
Topics/ADHDin-children
33