Anda di halaman 1dari 19

CASE REPORT SESSION (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / April 2022


** Pembimbing / dr. Susiati, M. Ked, Sp. KJ

GANGGUAN PENYESUAIAN DENGAN REAKSI DEPRESI SINGKAT

Diffa Ammara, S. Ked*


Maya Vella Pontia, S. Ked*

dr. Susiati, M. Ked, Sp. KJ **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI
JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2022
HALAMAN PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION (CRS)

GANGGUAN PENYESUAIAN DENGAN REAKSI DEPRESI SINGKAT

Oleh:

Diffa Ammara, S. Ked G1A221084


Maya Vella Pontia, S, Ked G1A221048

Sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

Laporan ini Telah Diterima dan Dipresentasikan


Jambi, April 2022

Pembimbing

dr. Susiati, M. Ked, Sp. KJ

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa atas segala berkah, rahmat, dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Case
Report Session (CRS) ini dengan judul “GANGGUAN PENYESUAIAN DENGAN
REAKSI DEPRESI SINGKAT”.

Laporan ini merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di


Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa RSJD Provinsi Jambi. Penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada dr. Susiati, M.Ked, Sp.KJ selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan sehingga laporan Case Report Session ini dapat terselesaikan
dengan baik, serta kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Case
Report Session ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada laporan
ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan laporan
ini. Semoga kiranya laporan ini dapat bermanfaat dan diimplementasikan dalam
kehidupan klinik.

Jambi, April 2022

Penulis

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan penyesuaian merupakan gangguan terkait stres dan beberapa elemen fungsi
umum individu akibat respon emosional dan perilaku terhadap kejadian stres yang dapat
merubah kehidupan seseorang. Pada populasi anak-anak, peristiwa semacam ini dapat
dikarenakan oleh perceraian orang tua, kelahiran baru dalam keluarga, atau kehilangan sosok
yang dicintai. Pada orang dewasa, stres termasuk di dalamnya gngguan dalam hubungan,
kehilangan pekerjaan, kesulitan perekonomian, dan perubahan yang tidak diinginkan.
Gangguan penyesuaian terjadi sebagai reaksi terhadap stressor yang mengganggu dalam
fungsional regulasi diri. Gangguan penyesuaian disebut terbatas pada diri sendiri, terdapat
ketidaknyamanan yang terkait, kesusahan, kekacauan, penderitaan, dan termasuk di dalamnya
kemungkinan bunuh diri.1
Menurut DSM-V, diagnosis utama gangguan penyesuaian terjadi pada kurang lebih
5%-20% individu yang menjalani perawatan kesehatan jiwa rawat jalan. Dalam pelayanan
konsultasi psikiatri di rumah sakit, gangguan penyesuaian seringkali merupakan diagnosis
uang paling umum, dengan frekuensi setinggi 50%. Secara umum, studi menunjukkan bahwa
kejadian gangguan penyesuaian meningkat pada penyakit kronis atau penyakit lain yang
dapat mengubah hidup, seperti pada korban luka bakar.1
Dalam kriteria diagnosis, terdapat sub bagian gangguan penyesuaian dengan reaksi
depresi singkat. Kejadian depresi ini dapat terjadi bila terdapat aksi stres yang berhubungan
dengan respon fisiologi tubuh dalam hal ini termasuk system neurotransmit dan
neuroendokrin. Penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai gangguan
penyesuaian, khususnya dengan kombinasi reaksi depresi singkat.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien


1. Nama : Ny. S
2. Tempat, tanggal lahir/umur : Nganjuk Jatim, 13 April 1966 /
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Alamat : Kel. Suka Karya, Kec. Kota Baru, Kota Jambi
5. Suku/bangsa : Jawa / Indonesia
6. Status perkawinan : Menikah
7. Pekerjaan : TNI / POLRI
8. Pendidikan : SMA
9. MRS tanggal : 2 April 2022

2.2. Anamnesis
2.2.1. Keluhan Utama
Os merasa sedih dan emosi sejak 3 bulan SMRS

2.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke POLI Rumah Sakit Jiwa Daerah provinsi Jambi atas keinginan
sendiri diantar oleh anaknya dengan keluhan merasa sedih dan emosi labil yang
memberat sejak 3 bulan yang lalu. Os sulit untuk tidur dengan tenang dan terbangun
di malam hari. Os mengaku bahwa emosinya sering tidak stabil, merasa marah dan
jengkel.
Keluhan tidak nyaman mulai dirasakan sejak 5 bulan yang lalu, tepatnya satu
bulan setelah os mendapati suaminya diduga selingkuh. Saat mengetahui suaminya
berkirim pesan dengan wanita lain, os mulai menyelidiki masalah perselingkuhan
tersebut. Sekitar satu bulan setelahnya, os mulai merasa kecewa, marah, dan sedih.
Puncak dari kesedihan os adalah ketika suaminya mengatakan “aku tidak pernah
bahagia setelah menikah denganmu selama 30 tahun dan aku bahagia selama 1 tahun
mengenal wanita itu”.
Os sangat sering berpikir mengenai apa yang salah dengannya sehingga
suaminya berselingkuh, lalu bertanya-tanya mengapa kejadian seperti ini bisa
menimpanya, menduga-duga siapa yang paling bersalah atas perselingkuhan ini, dan

2
pemikiran ini lah yang membuat os merasa semakin sedih dan sering menangis. Os
mengatakan sudah marah atas perselingkuhan suaminya dan mengatakan ingin
bercerai.

2.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu


1. Gangguan mental dan emosi : tidak ditemukan
2. Gangguan psikosomatis : tidak ditemukan
3. Kondisi medik : riwayat kecelakaan 7 tahun yang lalu
4. Penggunaan NAPZA dan alkohol : tidak ditemukan
5. Gangguan neurologi : tidak ditemukan

2.2.4. Riwayat Keluarga


Riwayat penyakit keluarga dengan keluhan serupa tidak ditemukan.

Tabel 2.1 Struktur Keluarga


No Nama L/P Usia Hubungan Sifat
1.
2.
3.

2.2.5 Genogram

2.2.5. Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Riwayat prenatal hingga kanak-kanak tidak dilaporkan adanya gangguan atau
abnormalitas.
2. Masa pubertas hingga dewasa
a. Hubungan sosial
Relasi sosial pasien baik, pasien merupakan pribadi yang ramah dan baik
kepada orang lain, baik dengan teman maupun keluarga.
b. Riwayat sekolah
Pasien menamatkan pendidikan SD hingga SMA
c. Perkembangan kognisi dan motorik
Perkembangan kognisi dan motorik dalam batas normal

3
d. Masalah emosi dan fisik
Tidak ditemukan masalah emosi dan fisik yang mengganggu
e. Riwayat psikoseksual
Pasien mulai tertarik dengan lawan jenis sejak SMP
f. Latar belakang agama
Pasien beragama islam dengan latar belakang agama yang berpendidikan
g. Riwayat pekerjaan
Pasien bekerja sebagai TNI/Polri
h. Aktivitas sosial
Pasien beraktivitas sehari-hari sebagai wanita karir
i. Riwayat pernikahan
Pernikahan pasien dengan suami merupakan pernikahan pertama
j. Riwayat militer dan masalah hukum
Tidak ditemukan riwayat masalah hukum

2.3. Status Intrinsik


1. Pemeriksaan tanda vital
- Kesadaran : Compos Mentis
- Tekanan darah : 117/86
- Nadi : 74x/ menit
- Suhu : 36 c
- Pernapasan : 20x/ menit
2. Status gizi
- Tinggi badan : 161 cm
- Berat badan : 75 kg
- IMt : 28,95 Kg/m2
3. Status generalis
4. Pemeriksaan penunjang lainnya
Tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium.

2.4. Pemeriksaan Status Psikiatri


Pemeriksaan dilakukan pada hari Sabtu, 2 April 2022 pukul 10.00 WIB di
Poliklinik Kejiwaan RSJD Jambi.

4
1. Keadaan umum
a. Penampilan : tampak rapi
b. Kesadaran : compos mentis
c. Orientasi : W/T/O baik
d. Sikap dan tingkah laku : kooperatif

2. Gangguan berpikir
a. Bentuk pikir : realistis
b. Arus pikir : koheren
c. Isi pikir : preokupasi masalah dengan suami

3. Alam perasaan
a. Mood : hipotimia
b. Afek : tumpul

4. Persepsi
a. Halusinasi : tidak ditemukan
b. Ilusi : tidak ditemukan

5. Fungsi intelektual
a. Daya konsentrasi : baik
b. Orientasi : W/T/O baik
c. Daya ingat : jangka panjang, menengah, pendek, dan segera baik
d. Pikiran abstrak : baik

6. Pengendalian impuls : baik


7. Daya nilai : baik
8. Tilikan :6
9. Taraf dapat dipercaya : dapat dipercaya

2.5. Diagnosis Banding


Diagnosis banding meliputi: major depressive disorder
2.6. Diagnosis Multiaksial
Aksis I : gangguan penyesuaian dengan reaksi depresi singkat

5
Aksis II : ciri kepribadian perfeksionis
Aksis III : post kecelakaan 7 tahun yang lalu
Aksis IV : masalah dengan suami
Aksis V : GAF 60-51

2.7. Penatalaksanaan
2.8. Prognosis

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Gangguan penyesuaian didefinisikan sebagai respon maladaptif terkait
emosional dan perilaku terhadap suatu stressor psikososial yang teridentifikasi.
Gejala yang muncul dicirikan dengan reaksi yang tidak sesuai dengan perkiraan
terhadap stressor tersebut, yang ditandai dengan distress dan kesulitan dalam
beraktivitas sehari-hari. Berbagai kemungkinan stressor yang biasanya dijumpai
seperti perceraian, kerenggangan hubungan, kehilangan pekerjaan, mendapati
diagnosis penyakit, dan terdapat konflik di lingkup kerja atau di rumah. Selain itu
juga terdapat stressor secara global, meliputi kesulitan kondisi ekonomi, migrasi
secara terpaksa, atau adaptasi dengan kebudayaan baru.2
Gangguan penyesuaian merupakan kondisi yang dikaitkan dengan keberadaan
stressor yang memicu pengalaman tidak nyaman kepada penderitanya. Gangguan ini
bersifat sementara dan berhubungan dengan kegagalan beberapa elemen dalam
fungsi umum pasien yang diakibatkan oleh respon emosional atau perilaku terhadap
stress ataupun perubahan tertentu dalam kehidupan seseorang.3
Pada sebagian kasus, stressor pencetus mungkin saja bersifat tunggal, seperti
perceraian atau kehilangan pekerjaan, namun juga dapat bersifat multiple seperti
kematian orang tersayang yang bersamaan dengan penyakit fisik atau kehilangan
pekerjaan yang dialami orang tersebut. Stressor juga bisa saja bersifat rekuren,
seperti kesulitan bisnis musiman atau kontinu, penyakit kronis, ataupun kondisi
kemiskinan.3

3.2. Epidemiologi
Gangguan penyesuaian sering ditemukan pada praktik klinis, namun data
mengenai prevalensi masih sedikit diteliti. Data epidemiologinya terbatas
dikarenakan gangguan penyesuaian tidak termasuk dalam survey nasional utama.
Studi yang ada menunjukkan sebanyak 1%-2% prevalensi dari gangguan
penyesuaian hadir dalam populasi secara umum.4
Berdasarkan kriteria ICD-10 dan menggunakan schedule for clinical
assessment in neuropsychiatry untuk mendiagnosis gangguan penyesuaian,

7
prevalensi pada daerah Finlandia, Irlandia, Norweigia, dan Spanyol menunjukkan
rentang angka 0,2%-1% pada populasi. Sedangkan di Jerman, prevalensinya
menunjukkan sejumlah 0,9%-2%.4

3.3. Etiologi
3.7.1. Genetik
Pada seseorang dengan temperamen yang tinggi, reaksi akan lebih terpicu dari
stress yang ada dan dapat berujung pada gangguan penyesuaian. Ada penelitian yang
mendapati bahwa berbagai peristiwa kehidupan dan stressor ada korelasinya pada
anak kembar.5

3.7.2. Stres
Individu harus melewati suatu kejadian yang membuat stress sehingga baru
dapat dikatakan bahwa kemungkinan mengalami gangguan penyesuaian.6

3.7.3. Kerentanan individu


Individu memiliki kerentanan yang berbeda terhadap suatu stressor tergantung
dari kepribadian dan latar belakang karakteristik masing-masing. Tidak semua orang
dengan stress yang begitu mengganggu berkembang menjadi gangguan penyesuaian.
Faktor yang memengaruhi kerentanan individu dalam menghadapi masalah di
antaranya meliputi kesejahteraan masa kanak-kanak, tingginya taraf pengetahuan
atau pendidikan, dan ada tidaknya konflik dalam suatu hubungan.6

3.4. Patogenesis
Stress pada model respons didefinisikan sebagai reaksi seseorang terhadap
stimulus yang diberikan atau tanggapan tubuh secara spesifik terhadap penyebab
stress yang memengaruhi seseorang. Terdapat tiga tahapan stress, yaitu:
1. Alarm, merupakan suatu kondisi yang tidak diinginkan dan terjadi ketika ada
perbedaan antara kenyataan yang sedang terjadi dan situasi yang diharapkan.
Sebagai akibatnya, tubuh menerima rangsangan dan secara alami mengaktifkan
rekasi flight or fight karena adanya kondisi yang berpotensi mengancam kestabilan
kondisi tubuh. Pada tahap pertama ini dapat timbul seperti sakit di dada, jantung
berdebar, sakit kepala, dan kram.

8
2. Resistence, merupakan perlawanan saat alarm tidak berakhir atau berlangsung terus
menerus. Dampaknya, kekuatan fisikm pun dikerahkan untuk melanjutkan
kerusakan-kerusakan karena rangsangan yang membahayakan sedang menyerang.
Peristiwa ini terjadi karena pada tahap kedua terjadi konflik dengan tahap pertama.
Oleh karena itu, selama proses ini ada kemungkinan timbulnya penyakit seperti
radang sendi dan hipertensi.
3. Exhaustion, ketika stress berlangsung terus menerus, tubuh sudah merasakan
kelelahan. Kondisi ini dikarenakan tubuh benar-benar tidak sanggup mengadakan
perlawanan terhadap sumber stress atau dengan kata lain, tubuh sudah menyerah
karena kehabisan kemampuan untuk menghadapi serangan yang mengancam.7
Hubungan antara stres dan depresi dapat dikatakan saling berkesinambungan.
Terjadi kelainan pada regulasi respon neuroendokrin pada pasien dengan depresi,
terjadi hiperaktivitas sumbu HPA yang didorong oleh hipersekresi CRH. Stres
psikologis juga meningkatkan sitokin pro-inflamasi, yang merespon reaksi stres dan
kecemasan pada pasien. Peningkatan aktivitas makrofag dan produksi sitokin pro-
inflamasi telah dilaporkan berhubungan dalam keadaan stres dan depresi.8
Ketika stres, terjadi pelepasan glukokortikoid dan CRH pada hipotalamus
yang mengaktivasi ACTH di hipofisis anterior untuk selanjutnya melepaskan
kortisol di korteks adrenal. Ketika kortisol meningkat, mekanisme umpan balik
negatif pada sumbu HPA mengalami disregulasi atau gangguan. Peningkatan
kortisol selama stres, menyebabkan penurunan fungsi GR atau resistensi
glukokortikoid, sehingga dapat berujung pada depresi.8

3.5. Diagnosis
Terdapat berbagai gejala yang terbagi atas:
1. Gejala psikologis
Termasuk di dalamnya depresi, kecemasan, kekhawatiran, konsentrasi yang
menurun, dan iritabilitas.
2. Gejala fisik
Termasuk palpitasi, pernapasan yang cepat, diare, dan tremor
3. Gangguan perilaku
Termasuk agresi, perilaku menyakiti diri, penyalahgunaan alkohol dan NAPZA,
dan kesulitan dalam fungsi sosialnya.1
Gejala-gejala tersebut muncul secara bertahap setelah adanya kejadian yang

9
penuh tekanan dan biasanya berlangsung dalam waktu sebulan (ICD-10) atau 3
bulan dan jarang terjadi lebih dari 6 bulan. Seseorang yang menderita gangguan
penyesuaian akan mengalami kesulitan dalam menjalani fungsi sosial dan pekerjaan,
terganggunya hubungan antara sesame, dan berkurangnya konsentrasi. Gejala tidak
selalu menghilang segera setelah stressor menghilang dan jika stressor berlanjut,
mungkin akan berkembang menjadi gangguan kronis.1
Kriteria diagnostic menurut PPDGJ-III:
a. Diagnosis tergantung pada evaluasi terhadap hubungan antara:
- Bentuk, isi, dan beratnya gejala
- Riwayat sebelumnya atau corak kepribadian
- Kejadian, situasi yang penuh stress, atau krisis kehidupan
b. Adanya ketiga faktor di atas harus jelas dan mempunyai bukti yang kuat
bahwa gangguan tersebut tidak akan terjadi bila tidak mengalami hal tersebut.
c. Manifestasi gangguan bervariasi dan mencakuop afek depresi, ansietas,
campuran depresi dan ansietas, gangguan tingkah laku disertai adanya
disabilitas dalam kegiatan rutin sehari-hari.
d. Biasanya mulai terjadi dalam satu bulan setelah terjadinya kejadian yang
penuh stress, dan gejala-gejala biasanya tidak bertahan melebihi 6 bulan
kecuali dalam hal reaksi depresi berkepanjangan.
e. Karakter kelima:
F43.20 = reaksi depresi singkat
F43.21 = reaksi depresi berkepanjangan
F43.22 = reaksi campuran anxietas dan depresi
F43.23= dengan predominan gangguan emosi lain
F43.24= dengan predominan gangguan perilaku
F43.25= dengan gangguan campuran emosi dan perilaku
F43.28= dengan gejala predominan lainnya YDT.9

3.6. Diagnosis Banding

10
Gambar 3.1 Diagnosis Banding Gangguan Penyesuaian10

3.7. Tatalaksana
3.7.1. Psikoterapi
Psikoterapi merupakan pilihan utama pada gangguan penyesuaian. Intervensi
ini dapat dilakukan baik dengan psikoterapi psikodinamik, kognitif, perilaku,
suportif, dan konseling. Secara individual dapat dilakukan eksplorasi makna stressor
bagi pasien sehingga trauma dapat diselesaikan, perlu juga memberikan dukungan,
alternatif mekanisme coping dan memberikan empati.5
Terapi kelompok juga dapat dilakukan dan bermanfaat bagi kelompok pasien
yang mengalami peristiwa yang sama, misalnya para pensiunan atau pasien yang
mengalami dialysis karena kegagalan fungsi ginjal. Terapi lain yang dapat dilakukan
di antaranya meliputi terapi keluargam biofeedback, teknik relaksasi, dan hipnosis.5
Psikoterapi juga dapat dilakukan dengan membuat strategi dalam mekanisme
coping. Problem-focused coping adalah cara menanggulangi stress dengan berfokus
pada permasalahan yang dihadapi dengan memberikan perhatian terhadap hal yang
bisa dilakukan apabila masih ada kemungkinan melakukan suatu hal untuk
menanggulangi stress, dengan kata lain dengan menghindari atau secara langsung
menghadapi sumber stres yang terjadi. Emotion-focused coping adalah cara
penanggulangan stres dengan melibatkan emosi, seseorang yang mengalami stres

11
akan melibatkan emosinya dan menggunakan penilaiannya terhadap sumber-sumber
stres yang ada.7

3.7.2. Farmakoterapi
Medikasi dengan obat-obatan dapat diberikan tergantung dari tipe gangguan
penyesuaian. Antidepresan dapat diberikan bila dijumpai adanya depresi, misalnya
pemberian obat golongan SSRI.5

3.8. Prognosis
Prognosis dari gangguan penyesuaian pada umumnya adalah baik dengan
tatalaksana yang sesuai. Sebagian besar pasien kembali ke tingkat fungsi
sebelumnya dalam tiga bulan. Remaja biasanya memerlukan waktu yang lebih lama
untuk pulih dibandingkan dengan orang dewasa.3
3.9.

12
BAB IV
ANALISA KASUS

Pada kasus ini pasien mengalami gangguan penyesuaian dengan reaksi depresi singkat
yang ditegakkan berdasarkan anamesis dan status psikiatri. Pada kasus ini dilaporkan Ny. S,
usia 56 tahun datang ke Poliklinik Jiwa RSJD Provinsi Jambi diantar oleh calon menantu dan
suami dengan keluhan sering merasa sedih dan emosi sejak 3 bulan SMRS.
Pasien datang dalam keadaan stabil, penampilan sesuai dengan usianya. Kondisi fisik
pasien menggunakan tongkat berjalan, pakaian rapi dan bersih. Selama autoanamesis, pasien
sangat kooperatif. Pasien mengeluhkan emosi yang tidak stabil sejak 3 bulan SMRS. Pasien
mengeluhkan serangan emosi muncul saat pasien merasa sensitive dengan perlakuan suami
kepadanya, pasien juga mengeluh sulit tidur beberapa hari karena sering merasa tiba-tiba
sedih dan menangis,
Pasien mengatakan keluhan mulai dirasakan saat mengetahui suaminya berselingkuh
dengan perempuan lain, dan juga pasien mengatakan keluhan dirasakan saat pasien dan suami
mengalami pertengkaran hebat dan suami mengeluarkan kata-kata yang cukup menyakitkan
bagi pasien, maka dari kejadian itu pasien selalu sering teringat perkataan suami yang
membuat pasien merasa marah dan sedih yang tidak stabil.
Berdasarkan data-data yang didapat melalui anamesis psikiatri dan pemeriksaan fisik,
tidak ditemukan kelainan organic seperti demam tinggi, trauma, sakit berat, penurunan
kesadaran, dan kejang. Hal ini dapat menjadi dasar untuk menyingkirkan diagnosis gangguan
mental organic (F.0). Selain itu, pasien juga tidak pernah meminum alcohol ataupun obat-
obatan terlarang lainnya sehingga dapat menyingkirkan diagnosis gangguan mental dan
perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif (F.1).
Berdasarkan anamnesis juga tidak didapatkan gangguan dalam kemampuan menilai,
gangguan daya nilai norma sosial (judgement), dan gangguan daya tilikan diri (insight).
Selain itu, tidak didapatkan isi pikiran yang bergema dalam dirinya, isi pikiran yang
dimasukan, diambil dari luar atau isi pikiran yang tersiar. Tidak didapatkan pula adanya
waham baik waham dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu, dipengaruhi, waham dirinya
tidak berdaya dan pasrah, dan pengalaman menerima mukjizat. Selain itu juga pasien tidak
didapatkan adanya halusinasi baik itu auditorik maupun visual. Hal ini dapat menjadi dasar
untuk menyingkirkan diagnosis skizofrenia, skizotipal, dan gangguan waham (F.2).
Pada pasien juga tidak didapatkan gangguan suasana perasaan baik berupa afek yang
meningkat, disertai peningkatan dalam jumlah dan kecepatan aktivitas fisik dan mental. Hal
ini dapat menjadi dasar untuk menyingkirkan diagnosis gangguan suasana perasaan (F.3).

13
Pada pasien, keluhan muncul hamper setiap saat selama 3 bulan terakhir. Beberapa
gejala yang ada lainnya yakni merasa sedih, menangis, putus asa, kekhawatiran terhadap
sesuatu hal, sulit berkonsentrasi, gelisah dan kesulitan tidur, Maka kondisi ini dapat
digolongkan sebagai gangguan penyesuaian dengan reaksi depresi singkat.
Pasien didiagnosis menggunakan sistem diagnostic multiaksial. Diagnosis aksis I
ditegakkan berdasarkan anamesis dan pemeriksaan status psikiatri dengan pasien. Data ini
menjadi dasar untuk mendiagnosus bahwa pasien menderita gangguan penyesuaian dengan
reaksi depresi singkat (F43.21).
Kriteria diagnosis gangguan penyesuaian dengan reaksi depresi singkat menurut PPDGJ III
yaitu pasien telah mengalami keluhan setelah stressor terjadi dalam kurun waktu 3 bulan,
maka dari itu pasien dapat didiagnosis gangguan penyesuaian dengan reaksi depresi singkat.
Pada aksis II tidak ada diagnosis dikarenakan pada pasien didapatkan riwayattumbuh
kembang saat masa kanak-kanak dan remaja baik, pasien mampu menyelesaikan pendidikan
sampai tingkat SMA. Hal ini menyingkirkan diagnosis retardasi mental (F.70). Pasien juga
tidak mengalami gangguan kepribadian.
Pada aksis III pasien pernah mengalami kecelakaan 7 tahun yang lalu dan pasien
menjalankan operasi pada lutut kiri.
Pada aksis IV, terdapat stressor dalam kehidupan oasien yang disebabkan oleh
perselingkuhan yang dilakukan oleh suami pasien. Stresor ini menyebabkan timbulnya
keluhan yang dialami pasien, Keluhan tersebut sangat mengganggu keberlangsungan
kehidupan pasiaen sehingga pasien menjalani pengobatan ke psikiater dan psikologi.
Pada aksis V, penilaian terhadap kemampuan pasien untuk berfungsi dalam
kehidupan menggunakan skala Global Assesment of Functioning (GAF). Pada saat dilakukan
wawancara skor GAF 60-51 (Gejala sedang (moderate)
Pasien memberitahukan bahwa pasien tidak ingin mengambil tatalaksana
farmakologi, tetapi untuk gangguan penyesuaian dengan reaksi episode depresi singkat dapat
diberikan antidepressan jika ada gejala depresi seperti golongan SSRI (Selective serotonin
reuptake inhibitor) yang diketahui berguna didalam mengobati gejala berkambung traumatik.
Pasien juga diberikan psikoedukasi yaitu edukasi terkait penyakit yang sedang dialami
oleh pasien seperti tanda dan gejala kekambuhan yang mungkin timbul serta pentingnya
teratur dan disiplin dalam minum obat. Terkait hal ini perlu dilakukan edukasi kepada
keluarga pasien agar dapat mengontrol pasien dalam mengonsumsi obat. Faktor-faktor yang
meringankan adalah adanya dukungan keluarga, motivasi yang kuat (keinginan kuat yang
ingin sembuh), dan tidak ada riwayat keluarga (keluarga pasien tidak ada yang mengalami

14
gangguan yang sama). Sedangkan faktor-faktor yang memperberat adalah pola pikiran dan
ketidakpercayaan pasien dengan suami sehingga dapat memperburuk prognosis.

BAB V
PENUTUP

Gangguan penyesuaian merupakan respon maladpatif terkait emosi dan perilaku yang terjadi
setelah stressor berlangsung. Gangguan penyesuaian dapat disertai dengan reaksi depresi,
ansietas, maupun keduanya. Faktor yang mendukung terjadinya gangguan ini di antaranya
termasuk genetic, tingkat stress, dan kerentanan individu dalam menghadapi masalah. Dalam
penatalaksanaannya, pasien dengan gangguan penyesuaian dapay diberikan terapi psikologis
maupun farmakoterapis, serta dinbutuhkan pula dukungan dari orang terdekat seperti
keluarga.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Dwipa O, Puji D, Rahayu Y, Rahmelia S, Andriza PD, Kj Kepaniteraan S, et al. GANGGUAN


PENYESUAIAN (F43.2). 2017.
2. O’donnell ML, Agathos JA, Metcalf O, Gibson K, Lau W. Adjustment disorder: Current
developments and future directions. Vol. 16, International Journal of Environmental Research and
Public Health. MDPI AG; 2019.
3. Savitri MI. Profil Umum Jenis Stressor dan Gangguan Penyesuaian pada Mahasiswa Tahun Pertama
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2017.
4. Zelviene P, Kazlauskas E. Adjustment disorder: Current perspectives. Vol. 14, Neuropsychiatric
Disease and Treatment. Dove Medical Press Ltd; 2018. p. 375–81.
5. Kandou JE. Gangguan Penyesuaian. In: Elvira SD, Hadisukanto G, editors. Buku Ajar Psikiatri. Edisi
Ketiga. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2017. p. 350–4.
6. Wilson S, Moran P, Bartholomew S. Synopsis of Causation Adjustment Disorder. 2008.
7. Lumban Gaol NT. Teori Stres: Stimulus, Respons, dan Transaksional. Buletin Psikologi. 2016 Jun
1;24(1):1.
8. Rosyanti L, Devianty R, Hadi I, Keperawatan Poltekkes Kemenkes Kendari J, Kebidanan Poltekkes
Kemenkes Kendari J. Kajian Teoritis: Hubungan Antara Depresi dengan Sistem Neuroimun (Sitokin-
HPA Aksis). Health Information: Jurnal Penelitian. 2017;9(2).
9. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta; 2003.
10. Maercker A, Lorenz L. Adjustment disorder diagnosis: Improving clinical utility. World Journal of
Biological Psychiatry. 2018 Jun 22;19(sup1):S3–13.
 

Anda mungkin juga menyukai