Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

F20.0 SKIZOFRENIA PARANOID

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas akhir Kepaniteraan Klinik Madya
di Rumah Sakit Jiwa Daerah Abepura

Disusun oleh:
Benediktus Renal Kayame
Indriani
Landoaldus Kawarnidi
Maria Dwi Tibarsoni

Pembimbing:
dr. Elisabeth Meyni Marpaung, Sp.KJ

SMF PSIKIATRI
RUMAH SAKIT JIWA DAERAH ABEPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan, diterima dan disetujui oleh penguji, Laporan Kasus dengan
judul “F20.0 SKIZOFRENIA PARANOID”, sebagai salah satu syarat untuk
mengikuti Ujian Akhir Kepaniteraan Klinik Madya SMF Psikiatri Rumah Sakit
Jiwa Daerah Abepura.

Yang dilaksanakan pada:


Hari :
Tanggal :
Tempat :

Menyetujui,
Dosen Penguji/Pembimbing:

dr. Elisabeth Meyni M, Sp.KJ


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...........................................................................................i

DAFTAR ISI .......................................................................................................ii

BAB I EPIDEMIOLOGI ...................................................................................1

BAB II LAPORAN KASUS ...............................................................................2

1
2
2.1 Riwayat Psikiatri ..............................................................................2
2.1.1 Keluhan Utama.....................................................................2
2.1.2 Riwayat Penyakit Sekarang..................................................2
2.1.3 Riwayat Medis dan Psikiatri Dahulu....................................3
2.1.4 Riwayat Gangguan Fisik......................................................3
2.1.5 Riwayat Penggunaan Zat......................................................3
2.1.6 Riwayat Keluarga.................................................................3
2.1.7 Riwayat Premorbid...............................................................4
2.1.8 Status Generalis....................................................................5
2.1.9 Pemeriksaan Laboratorium...................................................7
2.1.10 Status Psikiatrikus................................................................3
2.2 Formulasi Diagnosis.........................................................................7
2.3 Rencana Terapi ................................................................................10
2.4 Prognosis .........................................................................................12
BAB III PEMBAHASAN ...................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................19


BAB I

DATA EPIDEMIOLOGI

No. Catatan Medik : 004720


Nama : Ny. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : 19 Agustus 1990
Umur : 30 Tahun
Pendidikan : SMA
Status Pernikahan : Menikah
Suku/Bangsa : Bugis
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jalan Koti Jayapura
Tanggal Pemeriksaan : 10-12-2020
Yang Mengantar : Suami pasien.
Pemberi Informasi : Suami Pasien
Tempat pemeriksaan : Polik Psikiatri RSJD Abepura, Jayapura Provinsi Papua.

1
BAB II
LAPORAN PSIKIATRI

2.1. Riwayat Psikiatrik


2.1.1 Keluhan Utama
Autoanamnesis : pasien merasa dada berdebar-debar
Heteroanamnesis : Suami Pasien.
Pasien diantar ke polik RSJD Abepura, karena pasien sering marah-
marah, suka menghamburkan barang, sering mengompol celana dan sering
berbicara sendiri.
2.1.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Autoanamnesis : pasien merasa dada berdebar-debar disertai sesak
nafas yang dirasakan sejak 2 minggu. Pasien mengatakan banyak suara-suara
dari dalam hatinya yang membuatnya terus merasa curiga kepada suaminya.
Pasien mengatakan sangat jengkel pada suaminya karena tidak dapat menjadi
imam yang baik dalam keluarga, dan menuduh suaminya sudah tidak
mencintainya. Selain itu pasien mengatakan serasa seperti diintai dan diawasi
bila berada di rumahnya. Seakan banyak yang tidak suka padanya. Pasien
mengatakan biasa merokok kurang lebih 2 batang untuk membuatnya lebih
tenang. Pasien tidak berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
Heteroanamnesis : Suami pasien mengatakan pasien pernah berobat di
dokter Sp.KJ dua kali. Pertama kali berobat saat belum menikah dengan keluhan
sering marah-marah pada orang tuanya. Setelah itu pasien berobat dan gajala
hilang. Kedua pasien berobat ke dokter Sp.KJ 2 tahun lalu dengan keluhan sering
berlari-lari dan mengamuk pada orang sekitar. Lalu pasien di bawa ke dokter
Sp.KJ dan menjalani pengobatan. Lama terapi kejiwaan yang dijalani di dokter
Sp. KJ sebelumnya yakni sejak 2 tahun lalu, dan setelah mendapat pengobatan
pasien merasakan perbaikan. Namun suami mengaku pasien tidak kontrol
dikarena dokter Sp.KJ yang biasa menangani pasien pindah.

2
Pasien dibawa kepoli RSJ Abepura dengan kaluhan suka marah-marah,
melempar barang dan berbicara sendiri. Suami mengatakan keluhan ini muncul 2
minggu belakangan. Pasien pernah tidak dapat mengontrol buang air kecil sekitar
seminggu sebeluh di bawa ke RSJ Abepura namun saat dating sudah lebih baik.

2.1.3 Riwayat Medis dan Psikiatri Dahulu


Anak : Sejak kecil tidak pernah sakit berat menurut laporan pasien dan suami.
Dewasa : Beberapa tahun lalu suami menjelsakan pasien pernah berobat ke
dokter Sp.KJ dengan keluhan serupa namun lupa tepatnya karena
pengobatan dilakukan sebelum menikah.
Trauma : Berdasarkan Heteroanamnesis dan Autoanamesa, suami dan pasien
mengatakan pasien tidak pernah mengalami trauma.
2.1.4 Riwayat Gangguan Fisik
Riwayat kejang (-), Diabetes Melitus (-), dan Hipertensi (-), Jantung (-)
2.1.5 Riwayat Penggunaan Zat
Autoanamesis:
 Riwayat merokok (+)
 Riwayat konsumsi minuman beralkohol (-)
 Kopi (+)
 Riwayat penggunaan ganja dan penggunaan zat adiktif (-)
2.1.6 Riwayat Keluarga
Genogram

3
Keterangan :
Laki-laki :
Perempuan :
Pasien :

2.1.7 Riwayat Premorbid


A. Riwayat Prenatal dan Perinatal
Tidak ada data.
B. Masa kanak-kanak awal (usia 0 - 3 tahun)
Tidak ada data.
C. Masa kanak-kanak pertengahan (usia 3-11 tahun)
Pasien tidak bisa menceritakan semua peristiwa yang berkaitan
dengan kondisi fisik dan kejiwaan pasien saat masa kanak-kanak
pertengahan pasien.
D. Masa kanak-kanak akhir (pubertas sampai remaja)
Pasien mengatakan pada masa ini, belum terjadi masalah apa-apa
mengenai masalah gangguan kejiwaan pasien, tidak ada masalah mengenai
trauma, orientasi seksual, sampai pasien menamatkan sekolah SMA.
E. Masa Dewasa
1. Riwayat pendidikan
Pasien menjalani pedidikan secara baik dari SD-pasien menamatkan
sekolah SMA
2. Riwayat pekerjaan
Pasien merupakan seorang IRT
3. Riwayat pernikahan
Pasien telah menikah dan memiliki 2 orang anak laki-laki.
4. Riwayat hukum
Pasien tidak memiliki masalah dengan hukum (SMRS).

4
5. Riwayat ekonomi
Pasien biasanya mendapatkan penghasilan dari hasil pekerjaan suami
sebagai seorang wiraswasta.
6. Riwayat agama
Pasien baragama Islam.
7. Riwayat Sosial
Hubungan pasien dengan warga sekitar cukup baik, sebelum kondisi
kejiwan pasien memburuk.
8. Hubungan Dengan Keluarga
Hubungan pasien dengan kedua anak laki-lakinya sangan baik sebelum
dan sesukan sakit. Bahkan saat ini pasien masih dapat merawat kedua
anaknya. Hubungan pasien dengan suami sebelum skit dapat dikatakan
baik. Namun saat ini pasien sering marah-marah dan curiga pada
suaminya.
9. Persepsi Pasien Terhadap Dirinya
Pasien tahu kalau dirinya sedang sakit dan pasien mengetahui alasan
untuk datang ke Poli RSJD Abepura
10. Ide Bunuh Diri
Pasien tidak memiliki ide bunuh diri.

2.1.8 Status Generalis


A. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 87 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,7 °C
SPO2 : 98%
1. Kulit

5
Inspeksi : purpura (-), petekie (-), anemis (-), ikterik (-)
Palpasi : nodul (-), sklerosis (-), atrofi (-)
2. Kepala dan Leher
Inspeksi : normosefali
Palpasi : pembesaran KGB (-/-), peningkatan JVP (-/-)

3. Mata
Inspeksi : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), merah (-),
perdarahan (-), mata berair (-), ptosis (-), Pandangan kabur
(- /-), pupil isokor kiri dan kanan.
4. Telinga
Inspeksi : serumen minimal, sekret (-/-)
PalpasI : nyeri mastoid (-/-)
5. Hidung
Inspeksi : epistaksis (-/-)
Palpasi : nyeri (-/-)
6. Mulut
Inspeksi : perdarahan gusi (-), pucat (-), sianosis (-), stomatitis (-),
leukoplakia (-)
7. Toraks
Inspeksi : simetris
Palpasi : vocal fremitus simetris
Perkusi : sonor
Auskultasi : suara napas vesikuler, wheezing (-/-), rhonki (-/-)
8. Jantung
Inspeksi : iktus tidak tampak
Palpasi : iktus teraba pada ICS V midclavicula sinistra
Perkusi : batas kanan: ICS IV linea sternalis dektra
Batas kiri : ICS V linea midklavikula sinistra
Auskultasi : S1 S2 tunggal, irama regular, murmur (-), gallop (-)

6
9. Abdomen
Inspeksi : cembung
Auskultasi : peristaltik usus (+) normal 6x/ menit
Perkusi : timpani
Palpasi : shifting dullness (-), hepatomegali (-), splenomegali (-),
massa (-), Nyeri tekan (-)
10. Ekstremitas
Akral hangat/ dingin, CRT < 3’’, Edema (-/-)
11. Status Neurologis
Nervus I – XII : Tidak dievaluasi
Rangsang Meningeal : Tidak dievaluasi
Gejala peningkatan TIK : Tidak dievaluasi
Refleks Fisiologis : Tidak dievaluasi
Refleks patologis : Tidak dievaluasi
Kesan secara keseluruhan` : Tidak dievaluasi

2.1.9 Status Psikiatrikus


Kesadaran Compos Mentis Pasien secara sadar penuh terhadap
lingkungan serta memberikan reaksi
yang memadai.
Orientasi Orang :baik Pasien tahu pasien sedang berada
dimana, dan memahami situasi
setempat, mengenal suami dan anak-
anak pasien.
Tempat :baik Pasien mengatakan ini adalah Rumah
Sakit Jiwa Abepura.
Waktu : kurang baik Pasien tidak dapat menyebutkan waktu
dengan benar karena tidak pernah
memikirkan perihal waktu dan tanggal,
namun hari kelahiran anak-anak dan

7
kelahirannya pasien dapat menyebutkan
secara benar yang berarti pasien masih
mengingatnya.
Penampilan Cukup bersih, Pasien perempuan, tinggi badan ± 150
menggunakan cm, BB: 80 kg, berkulit sawo matang,
pakaian sesuai usia memakai baju kaos merah muda, celana
pasien namun pasien kain panjang bergaris.
menggunakan
aksesoris tidak sesuai
dengan uasianya
(Saat di bawa di RSJD
Abepura)
Roman Inppropriate Ekspresi wajah pasien tidak sesuai
muka dengan irama perasaan emosional,
dengan gagasan pikiran atau
pembicaraan yang menyertainya.
Perilaku Kontak : ada Kontak mata pasien baik, dapat
terhadap mengikuti alur percakapan tanpa
pemeriksa kehilangan focus atau kontak mata.
Rapport : adekuat Pasien menjawab pertanyaan yang
ditanyakan kepadanya untuk diarahkan
demi mencari penyebab dan faktor
penyerta gangguan yang di alami pasien.
Sikap terhadap Pasien tidak menolak untuk diperiksa
pemeriksa :
Kooperatif
Atensi Baik Pasien fokus pada setiap pertanyaan
yang diberikan.
Bicara Artikulasi : Jelas Intonasi ucapan terdengar jelas
Kecepatan bicara : Pasien berbicara dengan normal

8
Lambat
Emosi Mood :Irritable Mood dalam suasana perasaan yang
sensitif, mudah tersinggung, mudah
marah dan seringkali bereaksi
berlebihan terhadap situasi yang tidak
disenanginya.
Afek : Luas Ekspresi emosi yang luas yang
dengan sejumlah variasi yang
beragam dalam ekspresi wajah,
irama, suara maupun gerakan
tubuh,serasi dengan suasana yang
dihayatinya.
Persepsi Ilusi: Tidak ada Namun pasien mengatakan bahwa ia
merasa tidak aman terhadap orang
disekitarnya.
Halusinasi o;’: Ada Pasien mendengar bisikan dari dalam
(auditorik) hatinya yang membuatnya terus merasa
curiga kepada suaminya dan merasa
lingkungannya tidak menyukai nya
Depersonalisasi: -
Tidak ada
Pikiran Bentuk : Logis Pasien dapat menjelaskan siapa dirinya
sesuai dengan kenyataan secara
keseluruhan.
Isi : Waham kejar Pasien berkeyakinan bahwa ada yang
ingin menyakitinya, dan iri kepadanya
(2 minggu terakhir)
Arus : Koherensia Kalimat pembicaraan pasien dapat
dipahami
Memori & Konsentrasi : Baik Pasien menjawab baik, namun kadang

9
fungsi marah seperti menggerutu saat suaminya
kognitif mencoba menjelaskan keadaannya.
Memori :Baik Pasien masih mengingat kejadian yang
terjadi dengan baik pada masa sebelum
sakit. Long Time Memory pasien masih
dapat di kelola walau tidak maksimal,
walaupun short dan middle memory
pasien masih mengalami sedikit
penurunan saat mengingat kejadian yang
baru saja terjadi, walaupun masih dapat
di fungsikan, hanya mengalami
penurunan ketajaman daya ingat.
Tilikan Tilikan IV Pasien menyadari dirinya sakit dan
mebutuhkan bantuan namun tidak
memahami penyebab sakitnya.

2.2 Formulasi Diagnosis


Berdasarkan data yang didapatkan dari hasil wawancara dengan pasien
ditemukan adanya masalah yang muncul yang mengakibatkan perubahan sikap,
perilaku dan emosi pada pasien, serta terdapat halusinasi auditorik (SMRS).
Perubahan pola perilaku dan psikologis pada pasien saat ini memenuhi kriteria
dan didiagnosis F20.0.
a. Diagnosis Multiaxial
 Axis I :F20.0. Skizofrenia Paranoid
 Axis II : F60.0
 Axis III : Tidak ada
 Axis IV : Masalah dengan primary support group: (Keluarga).
 Axis V : GAF 40-31 (saat masuk RS ).

10
b. Diagnosis Banding
- Keadaan Paranoid involusional (F22.8)
- Paranoia (F22)

2.3 Rencana Terapi


A. Psikofarmako
Terapi:
Oral:
 Haloperidol 1mg Anjuran Pemberian : 2x1
 Trihexipenidil 2mg Anjuran Pemberian : 1x1
 Elizac 2mg Anjuran Pemberian : 1x1
 Merlopam 0,5mg Anjuran Pemberian : 2x1
 Persidal 2mg Anjuran Pemberian : 2x1

B. Farmakologi
Terapi yang di jalani pasien untuk Penyakit Psikotik pasien sudah
berjalan kurang lebih dari 2 tahun lalu dan hasil cukup memuaskan, namun
putus obat membuat pasien mengalami kekambuhan yang menyebabkan
pasien di bawa ke Poli RSJD Abepura.
C. Psikoterapi
1. Psikoterapi supportif
- Pengenalan terhadap penyakitnya, manfaat pengobatan, cara pengobatan
dan efek samping pengobatan.
- Memotivasi pasien agar minum obat secara teratur dan rajin konsultasi
ke Dokter Umum/Spesialis Psikiatri, jika ada keluhan tambahan atau
efek samping obat.
- Mendorong pasien agar dapat kembali melakukan aktivitas sehari-hari
secara bertahap.

2. Psikoedukasi

11
Kepada keluarga:
- Edukasi ke keluarga untuk menjaga rutinitas minum obat secara teratur
dan menjaga pola makan dan menjaga emosi pasien agar tidak
mengalami mood yang tidak stabil.

2.4 Prognosis
 Ad vitam : dubia ad bonam.
 Ad fungsionam : dubia ad bonam.
 Ad sanationam : dubia ad bonam.

12
BAB III
PEMBAHASAN

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, ‘schizein’ yang berarti terpisah atau
pecah, dan ‘phren’ yang artinya jiwa. Pada skizofrenia, terjadi pecahnya atau
ketidakserasian antara afeksi, kognitif, dan perilaku.1 Skizofrenia adalah suatu
deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan
penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating) yang luas, serta sejumlah
akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial
budaya.1
Skizofrenia paranoid sendiri memiliki gejala berupa halusinasi dan atau
waham harus menonjol, seperti suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau
memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit,
mendengung, atau bunyi tawa, ataupun waham dapat berupa hampir setiap jenis,
tetapi waham dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence),
atau passivity (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka
ragam adalah yang paling khas. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan
pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata/menonjol.2-3
Berdasarkan riwayat gangguan pasien, ditemukan adanya riwayat pola
perilaku yang secara klinis bermakna dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala
yang menimbulkan penderitaan (distress) dan menimbulkan disabilitas (disability)
dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Dengan demikian berdasarkan Pedoman dan
Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III), dapat disimpulkan bahwa pasien menderita
gangguan jiwa.
Diagnosis gangguan mental organik (F00-F09) dapat disingkirkan karena dari
anamnesis tidak didapatkan adanya riwayat pasien tidak pernah mengalami kejang
atau epilepsi. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik juga tidak ditemukan kondisi
medis umum yang mempengaruhi fungsi otak.

13
Pada pemeriksaan status mental juga tidak ditemukan adanya gejala kelainan
organik. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif (F10-F19)
juga dapat disingkirkan karena penggunaan zat psikoaktif dan alkohol disangkal oleh
pasien maupun keluarga.
Berdasarkan gejala yang diamati dan ditemukan, diagnosis mengarah pada
gangguan skizofrenia (F20). Adapun untuk menegakkan diagnosis skizofrenia pasien
harus memenuhi kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th
Edition (DSM-IV) atau International Statistical Classification of Diseases (ICD-10)
Adapaun kriteria berdasarkan DSM- IV, yaitu2-3: Berlangsung paling sedikit enam
bulan, penurunan fungsi yang cukup bermakna, yaitu dalam bidang pekerjaan,
hubungan interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi, pernah mengalami psikotik
aktif dalam bentuk yang khas selama periode tersebut, tidak ditemui gejala gejala
yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan mood mayor, autisme, atau gangguan
organik.2-3
Pada kasus ini pasien didiagnosa sebagai gangguan skizofrenia paranoid
(F20.0). Hal ini harus dibedakan dengan kondisi gangguan waham lain seperti
gangguan skizoafektif (F25). Gangguan skizoafektif memiliki gejala khas skizofrenia
yang jelas dan pada saat bersamaan juga memiliki gejala gangguan afektif yang
menonjol. Adapun pedoman diagnostik gangguan skizoafektif berdasarkan PPDGJ
III.2-3
1. Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitif
adanya skizofrenia dan gangguan skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama
menonjol pada saat yang bersamaan (simultaneously), atau dalam beberapa hari
yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama, dan
bilamana, sebagai konsekuensi dari ini, episode penyakit tidak memenuhi kriteria
baik skizofrenia maupun episode manik atau depresif.
2. Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia dan
gangguan afektif tetapi dalam episode penyaki yang berbeda.
3. Bila seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah mengalami
suatu episode psikotik, diberi kode diagnosis F20.4 (depresi pasca skizofrenia).

14
Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoafektif berulang, baik berjenis manik
(F25.0) maupun depresif (F25.1) atau campuran dari keduanya (F25.2). Pasien lain
mengalami satu atau dua episode manik atau depresif (F30-F33).2-3
Berdasarkan keterangan tersebut, bahwa diagnosis skizoafektif dibuat apabila
gejala-gejala definitif gangguan skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama
menonjol pada saat yang bersamaan (simultaneously), atau dalam beberapa hari yang
satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama. 2-3 Sedangkan perlu
diketahui bahwa kondisi pasien mengalami perubahan mood menjadi elasi pada saat
wawancara. Sedangkan untuk gangguan skizoafektif, gangguan skizofrenia dan
gangguan afektif harus muncul disaat bersamaan saat dimulainya gejala atau
beberapa hari setelahnya. Kondisi mood pasien yang elasi ini baru dimulai sejak
pasien mendapatkan terapi obat obatan bukan pada saat dimulainya gejala awal satu
bulan lalu ataupun beberapa hari setelahnya. Penentuan diagnosis pada pasien
psikiatri ini harus benar benar dipastikan melalui anamnesis yang rinci dan kondisi
mood yang elasi saat wawancara bisa saja tidak didapatkan pada wawancara
selanjutnya.
Semua pasien skizofrenia mesti digolongkan ke dalam salah satu dari sub tipe
yang telah disebutkan di atas. Subtipe ditetapkan berdasarkan atas manifestasi
perilaku yang paling menonjol. Sedangkan kriteria diagnostik skizofrenia-F20
(PPDGJ III) harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) di bawah
ini:2-3
1. “thought echo”, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan; walaupun isinya sama,
namun kualitasnya berbeda; atau “thought insertion or withdrawal”, yaitu isi
pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi
pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
“thought broadcasting”, yaitu isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya;

15
2. “delusion of control”, yaitu waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau “delusion of influence”, yaitu waham tentang
dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau “delusion of
passivity”, yaitu waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu
kekuatan dari luar (tentang dirinya = secara jelas merujuk ke pergerakan
tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus);
“delusion perception”, yaitu pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna
sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
3. Halusinasi auditorik, yaitu suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien diantara
mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau jenis suara
halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
4. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau
politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikas dengan makhluk asingdari
dunia lain).2-3
Atau paling sedikit dua gejala di bawah, ini yang harus selalu ada secara
jelas:2-3
1. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afekif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan;
2. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation)
yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau
neologisme;
3. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu negativisme, mutisme, dan stupor;

16
4. Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus
jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi
neuroleptika.2
Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodormal).
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu,
sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara
sosial.2-3
Pada pasien ini, keluhan-keluhan yang timbul sudah memenuhi kriteria
diagnostik untuk skizofrenia, yaitu berupa waham yang menetap, dan adanya
halusinasi auditorik dan hal ini sudah mulai dirasakan sejak 3 bulan lalu
(kriteria DSM IV: 6 bulan), sedangkan kriteria skizofrenia paranoid, gejala
pasien sudah memenuhi kriteria meliputi dua hal, yaitu adanya halusinasi yang
menetap dan adanya waham, yaitu waham kejar di mana pasien berkeyakinan
bahwa ada yang ingin menyakitinya, dan membunuhnya.
Pasien mengatakan sering mendengar bisikan-bisikan yang menyuruh
pasien untuk bangun dari tidurnya dan mengontrol perilaku pasien. Menurut
pasien, bisikan ini sudah dia dengar sejak 3 bulan sebelumnya, sehingga sesuai
dengan kriteria ICD-10, untuk skizofrenia (F.20) adanya gejala-gejala khas
tersebut di atas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih
(tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal). 2-3
 Haloperidol 1mg Anjuran Pemberian : 2x1
 Trihexipenidil 2mg Anjuran Pemberian : 1x1
 Elizac 2mg Anjuran Pemberian : 1x1
 Merlopam 0,5mg Anjuran Pemberian : 2x1
 Persidal 2mg Anjuran Pemberian : 2x1

17
Berdasarkan jurnal penelitian berjudul Psychotropic Prescriptions For
The Treatment Of Skizophrenia in an Out Patiente Clinic Diperoleh hasil bahwa
pemberian haloperidol (Antipsikotik generasi pertama) memiliki efikasi yang
baik dalam menatalaksana pasien skizofrenia dengan efek samping yang
berbeda secara signifikan dengan golongan antipsikotik generasi kedua. Pasien
pada kasus ini diberikan berupa haloperidol. Haloperidol adalah anti psikosis
dari kelompok butirofenon dengan potensi tinggi. Haloperidol biasanya
memberikan efek samping ekstra-piramidal. Oleh sebab itu trihexypenidil
diberikan sebagai pencegahan. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi,
delusi, dan perubahan pola pikir yang terjadi pada skizofrenia. 4-6
Pasien juga di berikan obat Merlopam 0,5mg 1x1 tablet, merlopam
termasuk golongan benzodiazepin yang bereaksi dengan reseptornya
(bezodiazepine receptors) akan meng-reinforce “the inhibitory action of GABA-
ergic neuron’(GABA Re-uptake inhibitor) sehingga hiperaktivitas dari sistem
limbik SSP mereda.4
Keadaan relaps (kambuh) biasanya timbul bila penderita berhenti
minum obat. Untuk itu, sangat penting untuk mengetahui alasan mengapa
penderita berhenti minum obat. Terkadang penderita berhenti minum obat
karena efek samping yang ditimbulkan oleh obat tersebut. Apabila hal ini
terjadi, dokter dapat menurunkan dosis, menambah obat untuk efek
sampingnya, atau mengganti dengan obat lain yang efek sampingnya lebih
rendah. Pemberian obat dengan injeksi lebih mudah dalam penerapannya
untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur minum obat atau pada pasien
yang tidak efektif terhadap medikasi oral. 4-6
Pada kasus ini juga diberikan obat antidepresan dengan golongan
selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) yakni Fluoxetine dengan merek
dagang elizac 2mg 1x1 yang digunakan untuk mengatasi depresi. Obat ini
bekerja dengan meningkatkan aktivitas zat alami serotonin dalam otak.

18
Adapun pada kasus ini, digunakan antipsikotik yang bersifat atipikal
seperti Risperidone dengan merek dagang persidal dengan mekanimenya yaitu
memblokade reseptor D2 sehingga menghambat aktivitas dopamine dan juga
memblokade reseptor serotonin (5-HT) sehingga sesuai untuk mengatasi simtom
positif (mesolimbik) dan juga simtom negative (mesokorteks). Memiliki efek
samping gejala ekstrapiramidal (EPS) yang minimal dan juga memiliki
kelebihan yaitu memiliki efek antimuskarinik dan anti histaminergik. 4-6
Psikoterapi suportif (juga disebut psikoterapi berorientasi hubungan)
menawarkan dukungan kepada pasien. Pada kasus ini dukungan dari orang
terdekat seperti keluarga pasien semestinya dapat berperan besar untuk
membantu pemulihan kondisi mental pasien selama periode penyakit.
Pendekatan ini juga memiliki tujuan untuk memulihkan dan memperkuat
pertahanan pasien dan mengintegrasikan kapasitas yang telah terganggu. Cara
ini memberikan suatu periode penerimaan dan ketergantungan bagi pasien
yang membutuhkan bantuan untuk menghadapi rasa bersalah, malu, dan
kecemasan, dan dalam menghadapi frustasi atau tekanan eksternal yang
mungkin terlalu kuat untuk dihadapi.7
Psikoterapi suportif dapat memainkan peran kunci dalam mencegah
eksaserbasi dari lebih mengganggu kehidupan pasien. Sangat penting untuk
memahami fluktuasi penyakit ini dalam konteks penilaian risiko. Sebagai
contoh, risiko bunuh diri tertinggi dalam dua minggu pertama setelah pulang
dari sebuah rumah sakit rawat inap. Oleh karena itu penting untuk
memberikan psikoterapi suportif ini dan masa stres lain transisi.7
Jika anggota keluarga hadir, klinisi dapat memutuskan untuk
melibatkan mereka di dalam rencana pengobatan. Tanpa menjadi terlihat
berpihak pada musuh, klinisi harus berusaha mendapatkan keluarga sebagai
sekutu di dalam proses pengobatan. Sebagai akibatnya, baik pasien dan anggota
keluarganya perlu mengerti bahwa konfidensialitas dokter-pasien akan dijaga
oleh ahli terapi dan dengan demikian membantu pasien.8

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, Harold IS, Benjamin JG, Jack A. Mood disorder: synopsis of psychiatry
(terjemahan). Edisi Pertama. Tanggerang: Binarupa aksara; 2010.
2. American Psychological Association. Diagnosis and statistical manual of mental
disorders [dsm IV] [internet]. Washington DC: APA; 2003 [diakses tanggal 27
Februari 2019]. Tersedia dari: http://www.psychiatry.org/
3. Maslim R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III.
Jakarta: FK Unika Atma Jaya; 2003.
4. Maslim R. Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik. Edisi Ke-3.
Jakarta: FK Unika Atma Jaya; 2007.
5. Peter JW, Patricia LS, Joshep PM, Allen F, Ruth R. Expert consensus treatment
guidelines for schizophrenia: a guide for patients and families. J Clin Psychiatry.
1999; 60(suppl 11): 1-8.
6. Schizophrenia treatment [internet]. UK: Psychiatrist4U; 2014 [diakses tanggal 27
Februari 2019]. Tersedia dari: http//www. psychiatrist4u.co.uk/
7. Corey G. Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: Refika aditama;
2007.
8. Brown JH, Bledsoe LK, Yankeelov PA Christensen DN, Rowan NL, Cambron M.
Family therapy theory and practice. California: University of Louisville; 1999.

20

Anda mungkin juga menyukai