Anda di halaman 1dari 39

RESPONSI

STATUS EPILEPTIKUS
PADA ANAK USIA 5 TAHUN

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna mengikuti ujian


di SMF Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah Abepura

Oleh:
Dian Ayu Pertiwi
Eka Indrayanti Sirait
Hendriko Kabanga
Neny Hardhini Asmodiasih
Jean M.C Werluka

Pembimbing :

dr. Hj. Jumilarita, Sp.A, M.Kes

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM ABEPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA- PAPUA
2019
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

DAFTAR ISI

BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II............................................................................................................................. 2
LAPORAN KASUS........................................................................................................ 2
2.1 IDENTITAS....................................................................................................... 2
2.2 ANAMNESA ..................................................................................................... 2
2.3 PEMERIKSAAN FISIK ................................................................................... 4
2.4 STATUS GIZI ................................................................................................... 9
2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG ................................................................... 10
2.6 DIAGNOSA KERJA ...................................................................................... 11
2.7 TERAPI ........................................................................................................... 11
2.8 PROGNOSIS ................................................................................................... 11
2.9 FOLLOW UP PASIEN................................................................................... 11
BAB III ................................................................................................................. 17
PEMBAHASAN ................................................................................................... 17
3.1. Definisi................................................................................................................... 17
3.2. Epidemiologi .......................................................................................................... 17
3.3. Etiologi................................................................................................................... 17
3.4. Patogenesis ............................................................................................................ 18
3.5. Manifestasi Klinis .................................................................................................. 20
3.6. Diagnosis................................................................................................................ 23
3.7. Diagnosa Banding .................................................................................................. 29
3.8. Penatalaksanaan ..................................................................................................... 30
3.9. Komplikasi ............................................................................................................. 32
3.10. Prognosis .............................................................................................................. 34
3.11. Pencegahan .......................................................................................................... 34
BAB IV ................................................................................................................. 35

1
KESIMPULAN ..................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 36

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan yang
mewakili keadaan darurat medis dan neurologis. Menurut International
League Against Epilepsy, status epileptikus adalah aktivitas kejang yang
berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih.1
Studi berbasis populasi di Richmond, VA, Delorenzo et al.,
memperkirakan bahwa 50,000-200,000 kasus status epileptikus terjadi setiap
tahun di Amerika Serikat.2 Angka kematian untuk status epileptikus cukup
tinggi, sekitar 22%-25% walaupun dengan terapi obat agresif. Aktivitas
kejang yang berlangsung lebih dari 60 menit dan usia lanjut adalah faktor
yang berperan memperburuk diagnosis.3
Berdasarkan gejala kejang yang menyertainya, status epileptikus
diklasifikasikan menjadi tiga yakni status epileptikus konvulsif, status
epileptikus non-konvulsif, dan status epileptikus refrakter.4 Kejang tonik
klonik pada status epileptikus konvulsif menandakan keberlanjutan aktivitas
kejang. Hal ini tidak terjadi pada status epileptikus non konvulsif.3 Etiologi
terjadinya status epileptikus adalah usia, penyakit cerebrovskular, hipoksia,
gangguan metabolik, alkohol, tumor, infeksi trauma, dan idiopatik.4
Pada status epileptikus, baik konvulsif maupun non-konvulsif, tujuan
pengobatan adalah untuk menghentikan secepatnya aktivitas kejang.
Diperlukan penatalaksanaan yang agresif. Obat yang sering digunakan adalah
golongan benzodiazepine, fosfeitoin dan fenobarbital. The American
Acedemy of Neurology merekomendasi bahwa semua pasien status
epileptikus juga mendapat tiamin (vitamin B1) dan dektrosa 50%.3

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS
Nama : An. A.F
Tanggal Lahir : 06-03-2014
Umur : 5 tahun
Jenis kelamin :Laki-Laki
Alamat :Pasir 2
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Pelajar
Suku : Papua
Ruangan : Kanak-Kanak lt.1
Tanggal Masuk RS : 08-10-2019
Tanggal Keluar RS : 11-10-2019
Jaminan : KPS
No. DM : 431412

2.2 ANAMNESA
1. Keluhan utama : Kejang
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD Abepura diantar oleh keluarga
pasien dengan keluhan kejang yang dirasakan kurang lebih 1 jam
SMRS. Kejang yang dialami pasien disertai keluar busa dari
mulut.Kejang diawali dengan pandangan kosong seperti melamun lalu
diikuti kejang kelojotan seluruh badan dengan mata melotot.Setelah kejang,
pasien membutuhkan waktu  15 menit untuk kembali sadar sepenuhnya.
. Kejang sudah dialami pasien sejak kurang lebih 4 tahun yang
lalu.Kejang dapat terjadi jika pasien sedang lelah atau sebelumnya
melakukan aktivitas yang cukup berat.Ibu pasien mengaku, bahwa
selama ini pasien sedang dalam pengobatan depaken yang diberikan
dari RSUD Dok 2 sejak bulan April 2019.

2
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat Kejang 4 tahun yang lalu
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat penyakit paru (-)
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat asma (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga :


- Riwayat penyakit paru disangkal
- Riwayat asma disangkal
- Riwayat penyakit hipertensi disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal.
- Riwayat kejang serupa dengan pasien.

5. Riwayat Kebiasaan Sosial dan Ekonomi :


- Pasien merupakan anak ke 2 dari 2 bersaudara
- Merokok disangkal pasien, riwayatterpapar memasak memakai
tungku disangkal pasien.

6. Riwayat Imunisasi :
- BCG : sudah dilakukan
- Polio : sudah dilakukan
- DPT : sudah dilakukan
- Campak : sudah dilakukan
- Hepatitis : sudah dilakukan
Kesan : imunisasi lengkap

3
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
 Status generalis
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : Compos mentis
- GCS : E4 V5 M6
- TD : 100/60 mmHg
- Nadi : 100x/menit,
- RR : 35x/menit
- Suhu badan : 36,80C
- SPO2 : 98 % tanpa O2.

Kepala leher :

konjungtiva anemis(-/-), skleraikterik(-/-), pupil isokor, refleks cahaya +/+,


sianosis (-), oral hygienebaik,KGB Tidak didapatkan pembesaran

a. Preauricular (dan parotis)  di depan telinga


b. Posterior auricular superfisial di mastoid
c. Occipital dasar tulang kepala posterior
d. Tonsillar  di bawah angulus mandibula
e. Submandibular di tengah di antara sudut dan ujung mandibula
f. Submental di garis tengah beberapa sentimeter di belakang ujung
mandibula
g. Superficial (anterior) cervical  superfisial di m. Sternomastoid
h. Posterior cervicalsepanjang tepi anterior dari m. Trapezius
i. Deep cervical chain bagian dalam di m. Sternomastoid dan terkadang
sulit untuk diperiksa. Kaitkan kedua ibu jari dengan jari-jari di sekitar otot
sternomastoid
j. Supraclavicular di dalam sudut yang dibentuk oleh klavikula dan m.
Sternomastoid

Thoraks :
o Paru
 Inspeksi : Simetris, Ikut gerak nafas

4
 Palpasi : Vocal fremitus D=S
 Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
 Auskultasi : Suara napas vesikuler(+/+),Rhonki(-/-) di
basal,Wheezing(-)
o Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis teraba
 Perkusi : Batas-batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II Tunggal, Gallop (-), Murmur (-)

Abdomen
 Inspeksi : Datar
 Auskultasi : Bising usus (+) N
 Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-), Hepar/Lien : tidak teraba
 Perkusi : Timpani
Ekstremitas
 Ekstremitas atas :
Hangat (+/+), CRT <2”, Kulit :ikterik (-/-), turgor cukup,
ptekie/purpura/ekimosis (-), kulit lembap, Otot : Tidak terdapat
atrofi otot, Tulang: Tidak terdapat deformitas dan fraktur pada
tulang. Edema (-/-).
 Ekstremitas bawah :
Hangat (+/+), CRT <2”, Kulit :ikterik (-/-) turgor cukup,
ptekie/purpura/ekimosis (-), kulit lembap, Otot : Tidak terdapat
atrofi otot, Tulang: Tidak terdapat deformitas dan fraktur pada
tulang. Edema (-/-).

5
 Pemeriksaan neurologis

Rangsang Meningeal :

- Kaku Kuduk (-)


- Kernig : -
- Lasegue : -
- Brudzinski I, II, III, IV(-, -/-,-/-,-/-)

Refleks Fisiologis :

BFR N N
TFR N N
PFR N N
AFR N N

Refleks Patologis :

- Babinsky (-/-)
- Chaddock (-/-)
- Oppenheim (-/-)
Kekuatan Motorik:
5 5
5 5

Tonus Otot:

Normotonus Normotonus

Normotonus Normotonus

Otonom : BAK (+) lancar, warna kuning jernih; BAB (+) normal.

6
Nervus Cranialis

N. I (Olfaktorius) normosomia (kopi, teh, tembakau)


N. II (Optikus) RCL (+/+), RCTL (+/+)
N. III (Occulomotorius) Strabismus (-), gerak bola mata (+/+)
IV (Trochlearis) pergerakan bola mata (+/+), diplopia (-/-)
N. V (Trigeminus) motorik : menggigit, membuka mulut (+),
Sensorik V.I. Ophtalmicus ; simetris
Sensorik V.III. Maxilaris ; simetris
Sensorik V.III. Mandibularis ; simetris
pupil bulat isokor (2,5 mm/2,5 mm), gerak bola
N. VI (Abdusen)
mata (+/+)
Motorik : mengerutkan dahi (+), mengangkat
N. VII (Fascialis) alis (+), senyum simetris.
Sensorik : rasa manis (+), asin (+), asam (+)
N. VIII
Pendengaran (+), keseimbangan (sde)
(Vestibulocochlearis)
N. IX
Dalam batas normal
(Glossopharingeus)
N. X (Vagus): uvula simetris (+), reflex menelan (+)
N. XI (Accesorius) gerakan kepala, leher, bahu (+)
N. XII (Hypoglossus) deviasi (-), bicara pelo (+)

7
Gambar Pasien Dirawat Di RSUD Abepura

Gambar Pasien Pulang

8
2.4 STATUS GIZI
𝐵𝐵 18
𝑋100 % = 18 𝑋100 % = 100 % (Berat Badan normal)
𝑈

𝑇𝐵 122
𝑋100 % = 109 𝑋100 % = 112 % (Tinggi Badan tinggi)
𝑈

𝐵𝐵 18
𝑋100 % = 23 𝑋100 % = 73 % (Gizi kurang)
𝑇𝐵

GROW CHART

9
2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Tanggal 06/ 10/ 2019 (darah lengkap)
NILAI
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
RUJUKAN
Haemoglobin 11,6 gr/dl 11,0-16,5
Leukosit 22,46 103/uL 3,5-10,0
Eosinofil 2,84 % 0,0-4,0
Basofil 0,11 % 0,0-1,0
Neutrofil 29,2 % 46,0-73,0
Limfosit 50,3 % 17,0-48,0
Monosit 5,0 % 4,0-10,0
Hematokrit 32,8 % 35,0-50,0
Trombosit 497 103/uL 150-500
Eritrosit 4,15 106/uL 3,8-5,8
DDR Negative

Kimia Darah
NILAI
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
RUJUKAN
GDS 143 mgdL < 140
Natrium 143,6 Mmol/L 135-145
Kalium 3,46 Mmol/L 3,5-5,5
Chlorida 113,2 Mmol/L 98-108
Creatinin 0,22 mgdL 0,9-1,5
Ureum 52 mgdL 10-50
SGOT 45 U/L <50
SGPT 11 U/L <50

10
2.6 DIAGNOSA KERJA
- Status Epileptikus
- Kejang demam Komplek ec. Suspect epilepsi
- Leukositosis

2.7 TERAPI
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Inj. Cefotaxime 2x1 gr
- Inj. Amikasin 2x30 mg
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
- Inj. Ondancentron 3x2 mg
- Inj. Dexamethason 3x2 mg
- Inj Phenitoin 2x100 mg
- Paracetamol drip 3x250 mg
- Asam Folat 1x1 tablet

2.8 PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

2.9 FOLLOW UP PASIEN


Hari
Follow UP
/Tanggal
S : kejang (-)demam (-), batuk (-) berdahak mulai berkurang,
sesak (-), badan lemas (+), mual (-), muntah (-)
O: KU: Tampak sakit sedang
Selasa Kesadaran : Compos Mentis
08/10/2019 TD : 100/80 mmHg, N: 112x/m, R: 22x/m, SB: 36.10 C, SpO2
: 98%
K/L : CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P>KGB (-)
Paru  I : Simetris, Ikut gerak napas

11
P : Taktil Fremitus D=S
P : Sonor
A : Suara Napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
Jantung  I : Ictus cordis tidak tampak
P : Iktus cordis teraba, thrill (-)
P : Batas jantung dalam batas normal
A : Bunyi Jantung I-II reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen  I : Datar
A : Bising Usus (+)N
P : Supel, nyeri tekan abdomen (-), hepar/lien
tidak teraba
P : Timpani
Ekstremitas  akral hangat, edema (-), CRT <2”
Vegetatif  Ma/Mi(+/+), BAB/BAK(+/+).
A: observasi kejang demam ec. Status epileptikus
P:
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Inj. Cefotaxime 2x1 gr
- Inj. Amikasin 2x30 mg
- Inj. Ondancentron 3x2 mg (kalau perlu)
- Inj Phenitoin 2x100 mg
- Paracetamol drip 3x250 mg
- Asam Folat 1x 1 tab

S : kejang (-)demam (-), batuk (+) berdahak mulai berkurang,


sesak (-), badan lemas (+), mual (-), muntah (-)
Rabu, O: KU: Tampak sakit sedang
09/10/2019 Kesadaran : Compos Mentis
TD : 100/80 mmHg, N: 112x/m, R: 22x/m, SB: 36.10 C,
SpO 2 : 98%

12
K/L : CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P>KGB (-)
Paru  I : Simetris, Ikut gerak napas
P : Taktil Fremitus D=S
P : Sonor
A : Suara Napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
Jantung  I : Ictus cordis tidak tampak
P : Iktus cordis teraba, thrill (-)
P : Batas jantung dalam batas normal
A : Bunyi Jantung I-II reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen  I : Datar
A : Bising Usus (+)N
P : Supel, nyeri tekan abdomen (-), hepar/lien
tidak teraba
P : Timpani
Ekstremitas  akral hangat, edema (-), CRT <2”
Vegetatif  Ma/Mi(+/+), BAB/BAK(+/+).
A: observasi kejang demam ec. Status epileptikus
P:
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Inj. Cefotaxime 2x1 gr
- Inj. Amikasin 2x30 mg
- Inj. Ondancentron 3x2 mg (kalau perlu)
- Inj Phenitoin 2x100 mg
- Paracetamol drip 3x250 mg
- Asam Folat 1x1 tablet

S : kejang (-)demam (-), batuk (+) berdahak mulai berkurang,


Kamis, sesak (-), badan lemas (+), mual (-), muntah (-)
10/10/2019 O: KU: Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis

13
TD : 100/80 mmHg, N: 112x/m, R: 22x/m, SB: 36.10 C, SpO2
: 98%
K/L : CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P>KGB (-)
Paru  I : Simetris, Ikut gerak napas
P : Taktil Fremitus D=S
P : Sonor
A : Suara Napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
Jantung  I : Ictus cordis tidak tampak
P : Iktus cordis teraba, thrill (-)
P : Batas jantung dalam batas normal
A : Bunyi Jantung I-II reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen  I : Datar
A : Bising Usus (+)N
P : Supel, nyeri tekan abdomen (-), hepar/lien
tidak teraba
P : Timpani
Ekstremitas  akral hangat, edema (-), CRT <2”
Vegetatif  Ma/Mi(+/+), BAB/BAK(+/+).
A: observasi kejang demam ec. Status epileptikus
P:
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Inj. Cefotaxime 2x1 gr
- Inj. Amikasin 2x30 mg
- Inj. Ondancentron 3x2 mg (kalau perlu)
- Inj Phenitoin 2x100 mg
- Paracetamol drip 3x250 mg
- Asam Folat 1x1 tablet

Kamis, S : kejang (-)demam (-), batuk (+) berdahak mulai berkurang,


11/10/2019 sesak (-), badan lemas (+), mual (-), muntah (-)

14
O: KU: Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 100/80 mmHg, N: 112x/m, R: 22x/m, SB: 36.10 C, SpO2
: 98%
K/L : CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P>KGB (-)
Paru  I : Simetris, Ikut gerak napas
P : Taktil Fremitus D=S
P : Sonor
A : Suara Napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
Jantung  I : Ictus cordis tidak tampak
P : Iktus cordis teraba, thrill (-)
P : Batas jantung dalam batas normal
A : Bunyi Jantung I-II reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen  I : Datar
A : Bising Usus (+)N
P : Supel, nyeri tekan abdomen (-), hepar/lien
tidak teraba
P : Timpani
Ekstremitas  akral hangat, edema (-), CRT <2”
Vegetatif  Ma/Mi(+/+), BAB/BAK(+/+).
A: observasi kejang demam ec. Status epileptikus
P:
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
- Inj. Amikasin 2x30 mg
- Inj. Ondancentron 3x2 mg (kalau perlu)
- Inj Phenitoin 2x100 mg
- Paracetamol drip 3x250 mg
- Asam Folat 1x1 tablet

15
S : kejang (-)demam (-), batuk (+) berdahak mulai berkurang,
sesak (-), badan lemas (+), mual (-), muntah (-)
O: KU: Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 100/80 mmHg, N: 112x/m, R: 22x/m, SB: 36.10 C, SpO2
: 98%
K/L : CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P>KGB (-)
Paru  I : Simetris, Ikut gerak napas
P : Taktil Fremitus D=S
P : Sonor
A : Suara Napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
Jantung  I : Ictus cordis tidak tampak
P : Iktus cordis teraba, thrill (-)
P : Batas jantung dalam batas normal
Jumat, A : Bunyi Jantung I-II reguler, murmur (-),
12/10/2019 gallop (-)
Abdomen  I : Datar
A : Bising Usus (+)N
P : Supel, nyeri tekan abdomen (-), hepar/lien
tidak teraba
P : Timpani
Ekstremitas  akral hangat, edema (-), CRT <2”
Vegetatif  Ma/Mi(+/+), BAB/BAK(+/+).
A: observasi kejang demam ec. Status epileptikus
P:
- Cefixime 2x1 cth
- Zinc 1x1 cth
- Alerfed 3x1/3 tab
- Phenytoin 2x5 mg
- Pasien diijinkan pulang

16
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Definisi
Menurut International League Againts Epilepsy (ILAE) adalah keja yang
berlangsung terus menerus selama periode waktu tertentu atau berulng tanpa
disertai pulihnya kesdaran diantara kejang. Kekurangan definisi menurut
ILAE tersebutadalah batasan lama kejang tersebut berlangsung. Oleh sebab
itu, sebagianpara ahli membuat kesepakatan batasan waktunya adalah selama
30 menitatau lebih.1

3.2. Epidemiologi
Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10 – 58 per 100.000 anak.
Statusepileptikus lebih sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia
kurangdari 1 tahun dengan estimasi insidens 1 per 1000 bayi.1

3.3. Etiologi
Secara umum, etiologi SE dibagi menjadi:
1. Simtomatik: penyebabb diketahui
a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan
elektrolit, trauma kepala, perdarahan atau stroke
b. Remot, bila terdapat riwayat elainan sebelumnya: ensefalopati
hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infesi atau kelainan otak
congenital
c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolic,
otoimun (contohnya vaskulitis)
d. Epilepsi

2. Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui1


Pasien dengan usia 5 tahun pada kasus ini berdasarkan teori diatas
penyebab dari status epileptikus yang dialami pasien belum jelas
dikarenakan ada dan tidak adanya riwayat keluarga oleh karena itu
bersifat idiopatik yang artinya tdak diketahui penyebabnya.

17
3.4. Patogenesis
Status epileptikus terjaid akibat kegagalan mekanisme untuk membatasi
penyebaran kejang baik karna aktivitasneurotransmiter eksitasi yang
berlebihan dan atau aktivitas neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif.
Neurotransmitter eksitasi utama tersebut adalah neurotran dan asetilkolin,
sedangkan neurotransmitter inhibisi adalah gamma-aminobutyric acid
(GABA).1
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktifitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas
muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di mesensefalon, talamus, dan korteks
serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di
serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.3
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut: 3
- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan;
- Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan
menurun, apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;
- Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan
asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA);
- Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera
setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi
akibat hiperaktifitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara
drastis meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat

18
menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi
dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS)
selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi
selama aktifitas kejang.3
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik yang seringkali normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih
bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang
secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan
asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka
terhadap asetilkolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut
lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.3
Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status
epileptikus melibatkan adanya kegagalan dalam pemutusan rantai kejang
tersebut. Berbagai studi eksperimen menemui kegagalan yang mungkin
timbul dari kelangsungan kejang terus menerus yang abnormal, eksitasi yang
meningkat secara tajam atau pengerahan dan penghambatan yang tidak
efektif. Obat standar yang digunakan pada status epileptikus lebih efektif
apabila diberikan pada jam pertama berlangsungnya status.8
Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak, khususnya struktur
limbik seperti hipokampus. Selama 30 menit pertama kejang, otak masih
dapat mempertahankan homeostasis melalui peningkatan aliran darah,
glukosa darah, dan pemanfaatan oksigen. Setelah 30 menit, kegagalan
homeostasis dimulai dan mungkin akan berperan dalam kerusakan otak.
Hipertermi, rhabdomyolisis, hiperkalemia, dan asidosis laktat meningkat
sebagai hasil dari pembakaran otot spektrum luas yang terjadi terus menerus.
Setelah 30 menit, tanda-tanda dekompensasi lainnya meningkat, yakni
hipoksia, hipoglikemia, hipotensi, leukosistosis, dan cardiac output yang
tidak memadai.8
Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri
saja nampak cukup, untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya
aliran darah otak (Cerebral Blood Flow), kurang dari 20 ml/100g/menit,
memberikan banyak efek di antaranya terinduksinya Nitrit Oksida Sintase

19
(iNOS) di dalam astrosit dan mikroglia - yang mungkin berhubungan dengan
aktivasi N-methyl-D-Aspartate(NMDA) receptor yang menyebabkan
kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit saja - yang kemudian bereaksi
dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan super-radical. Aktifasi ini
menyebabkan pelepasan asam amino eksitatorik aspartat dan glutamat.
Akibatnya, berlangsunglah sebuah mekanisme kerusakan yang dimediasi
oleh glutamat - glutamic-mediated excitotoxicity-khususnya di hipokampus.
Sementara, konsentrasi kalsium ekstraseluler normal pada neuron-neuron
setidaknya 1000 kali lebih besar daripada intraseluler. Selama kejang,
receptor-gatedcalcium channel terbuka mengikuti stimulasi reseptor NMDA.
Peningkatan kalsium intraseluler yang fluktuatif ini akan semakin
meningkatkan keracunan sel. Akibatnya apabila kejang ini terus menerus
terjadi, kerusakan otak yang terjadi pun akan semakin besar.9
Status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk
membatasipenyebaran kejang baik karena aktivitas neurotransmiter eksitasi
yangberlebihan dan atau aktivitas neurotransmiter inhibisi yang tidak
efektif.Neurotransmiter eksitasi utama tersebut adalah neurotran dan
asetilkolin,sedangkan neurotransmiter inhibisi adalah gamma-aminobutyric
acid(GABA).

3.5. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis status epileptikus berbeda tergantung pada masing-
masing jenisnya. Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal
stadium untuk mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik
umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang
paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74
persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.7

A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic


Status Epilepticus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling
sering dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan.
Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial

20
yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-
klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik
umum tanpa pemulihan kesadaran di antara serangan dan
peningkatan frekuensi.7
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan
fase tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan
pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase
ini, diikuti oleh hiperpnea dengan retensi karbondioksida. Adanya
takikardi dan peningkatan tekanan darah, hiperpireksia mungkin
berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi
yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik
dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama
pada kasus yang tidak tertangani.7

B. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status


Epilepticus)
Ada kalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas
klonik umum mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik
pada periode kedua.

C. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epilepticus)


Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja
dengan kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini
terjadi pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari
Lenox-Gestaut Syndrome.7

D. Status Epileptikus Mioklonik


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselopati.
Sentakan mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan
semakin memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status
epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan

21
prognosis yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas,
metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.7

E. Status Epileptikus Absens


Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai
pada usia pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat
kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy
state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai slow motion
movie dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama.
Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada
masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus
(monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Status epileptikus
memberikan respon yang baik terhadap Benzodiazepin intravena.7

F. Status Epileptikus Non Konvulsif


Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens
atau parsial kompleks karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan
status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya
koma. Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan
paranoid, delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif
(impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus
dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave
discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status
absens.7

G. Status Epileptikus Parsial Sederhana


a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut,
ibu jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki
dan kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian
march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara
unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Variasi dari status

22
somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermiten
atau gangguan berbahasa (status afasik).7
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik
dengan gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu
sensory jacksonian march.

H. Status Epileptikus Parsial Kompleks


Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial
dari frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan di antara
episode. Pada SE parsial kompleks juga dapat terjadi otomatisme,
gangguan berbicara dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan.
Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis
di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit
memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status
epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.

3.6. Diagnosis
3.6.1 ANAMNESIS
Epilepsi adalah sebuah penyakit yang sangat sulit untuk didiagnosa,
dan kesalahan-kesalahan dalam mendiagnosis seringkali terjadi. Ketepatan
diagnosis pada pasien dengan epilepsi bergantung terutama pada penegakan
terhadap gambaran yang jelas baik dari pasien maupun dari saksi. Hal ini
mengarahkan pada diagnosis gangguan kesadaran. Seseorang harus
menelusuri secara teliti tentang bagaimana perasaan pasien sebelum
gangguan, selama (apabila pasien sadar) dan setelah serangan, dan juga
memperoleh penjelasan yang jelas tentang apa yang dilakukan pasien setiap
tahap kejang dari seorang saksi. Seseorang tidak dapat langsung
menegakkan diagnosa hanya dengan gejala klinis yang ada melalui penilaian
serangan. Pemeriksaan, seperti EEG, sebaiknya digunakan untuk menunjang
perkiraan diagnostik yang didasarkan pada informasi klinis. Diagnostik

23
secara tepat selalu jauh lebih sulit dilakukan pada pasien yang mengalami
kehilangan kesadaran tanpa adanya saksi mata.10
Gejala klinis yang dapat dilihat secara nyata adalah kejang dengan
tonik, klonik, atau tonik-klonik pada gerakan tungkai. Pasien mungkin
hanya menunjukkan gerakan kejang dengan amplitudo yang kecil pada
wajahnya, tangan, kaki dan sentakan nistagmoid pada kedua matanya. Jika
kejang ini berhenti, pasien akan tetap dalam kondisi tidak sadar dan tidak
memberikan respon atau kemungkinan pasien bingung kemudian kejang
kembali terjadi.
Pada pemeriksaan neurologis, pasien tidak akan memberikan respon
terhadap komando verbal. Dia akan meningkatkan atau menurunkan tonus
otot, dengan gerakan yang tidak perlu pada tungkai, dan akan
memperlihatkan refleks Babinski positif. Umumnya, tanda neurologis yang
ditemukan bersifat simetris.
Kadang-kadang terdapat pasien dengan kebingungan yang menetap,
gangguan kesadaran, dan mampu menggerakkan kaki dan berjalan yang
dimiliki oleh pasien status epileptikus yang disebut juga status epileptikus
non-konvulsif (complex partial epilepticus). Pada pasien seperti ini,
gambaran hasil EEG yang abnormal dan terjadi secara persisten dan
spesifik, menegakkan diagnosis.
Uraian di bawah ini dapat menjelaskan tentang diagnosis diferensial
pada epilepsi bentuk lain
1. Bangkitan tonik-klonik harus dibedakan dari penyebab serangan
gangguan kesadaran lainnya. Gangguan kardiovaskuler adalah penentu
utama yakni berupa pusing biasa dan pingsan vasovagal pada pasien
yang muda, aritmia, dan hipotensi postural pada pasien yang tua.
Kebingungan seringkali terjadi disebabkan oleh kejang mioklonik
singkat yang kadang-kadang disertai pingsan yang disebabkan oleh
banyak faktor. Yang cukup memburamkan diagnosis adalah serangan
non-epileptik yang bersifat psikogenik. Diabetes yang dalam masa terapi
harus segera dicurigai merupakan hipoglikemia. Pada umumnya,
menggigit lidah, nafas sesak dan tidak teratur, kejang hebat,

24
inkontinensia, post-ictal confusion, dan nyeri tungkai merupakan ciri
dari epilepsi tonik-klonik
2. Bangkitan absen atau Absence Seizure memberikan gambaran jelas
berupa hilangnya kesadaran dalam beberapa waktu secara tiba-tiba.
Selama hilangnya kesadaran, penderita seakan-akan sadar namun seperti
orang yang menghayal dan tiba-tiba kembali melanjutkan aktifitas
seakan tidak pernah terjadi bangkitan. Namun dagnosis untuk bangkitan
jenis ini diburamkan oleh menghayal dan ketidakfokusan terhadap
lingkungan.
3. Kejang motorik fokal tidak memiliki diagnosis diferensial
4. Kejang sensorik fokal dapat diburamkan oleh transient ischaemic attack
tetapi seringkali terjadi dalam waktu yang lebih singkat dan lebih sering,
dan menyebabkan lebih banyak menyebabkan kesemutan daripada
kebas.
5. Kejang lobus frontal dapat diburamkan oleh dystonia. Penyakit ini
sendiri menunjukkan perubahan perilaku yang aneh akibat fungsi lobus
frontal yang terganggu.
6. Kejang lobus temporal harus dibedakan dengan ansietas dan serangan
panik. Serangan yang diprovokasi oleh berbagai penyebab, atau yang
lebih dari beberapa menit, sepertinya tidak disebabkan oleh epilepsi
lobus temporal. Serangan yang melibatkan tingkah laku aneh yang
membutuhkan kewaspadaan, pikiran yang jernih dan/atau tingkah laku
yang terkoordinasi dengan baik seperti berkelahi dan merampok toko
tidak menggambarkan epilepsi sama sekali.

Di luar dari temuan akurat yang berkaitan dengan serangan, terdapat


banyak informasi lebih lanjut yang perlu ditelusuri melalui anamnesis dan
pemeriksaan. Jika serangan tersebut diduga akan berlanjut sebagai epilepsi,
penelusuran harus disusun sesuai dengan penyebab epilepsi. Epilepsi umum
primer-tonik-klonik umum primer, bangkitan absen dan mioklonik, dengan
atau tanpa fotosensitivitas-memiliki kaitan dengan keluarga, sehingga
bertanya mungkin akan mengungkap anggota keluarga lainnya yang juga

25
menderita serangan epilepsi. Epilepsi fokal bentuk apapun memperlihatkan
adanya patologi intrakranial. Patologi paling umum yang dimaksud adalah
pembentukan jaringan ikat pada satu daerah yang merupakan kelanjutan dari
beberapa proses perjalanan penyakit aktif sebelumnya, meskipun kadang-
kadang serangan epilepsi mungkin terjadi ketika terdapat proses patologi
yang masih berlangsung di fase aktif.

- Setelah trauma otak saat melahirkan;


- Setelah trauma pada otak dan kepala;
- Selama atau setelah meningitis, ensefalitis, atau abses otak;
- Pada saat atau sisa dari infark serebri, perdarahan serebral, atau perdarahan
sub arachnoid;
- Hasil dari trauma bedah yang tak terhindarkan.

Kadang-kadang epilepsi dicetuskan oleh gangguan biokimia di otak seperti:


- Selama putus konsumsi obat dan alkohol;
- Selama koma hepatik, uremik, dan hipoglikemik;
- Sementara mengonsumsi obat penenang atau antidepresan.

Yang juga perlu dipikirkan adalah kemungkunan epilepsi yang


dicetuskan oleh tumor otak. Tumor otak merup[akan penyebab yang tidak
sering menyebabkan epilepsi, namun tidak boleh disingkirkan tanpa adanya
pemeriksaan lebih lanjut. Epilepsi yang onsetnya dimulai pada umur
dewasa, khususnya dengan tanda-tanda defisit neurologis fokal dan
terasosiasi, kemungkinan besar disebabkan oleh tumor.
Untuk mempermudah anamnesis, berikut kesimpulan yang perlu
dintanyakan kepada pasien maupun saksi:
- Family history
- Past history
- Systemic history
- Alcoholic history
- Drug hostory

26
- Focal neurological symptoms and signs

Pasien anak pada kasus ini dari anamnesa didapatkan tidak ada
keluarga pasien yang memiliki riwayat kejang seperti ini, pasien juga
mengalami kejang disertai keluar busa dari mulut. Kejang berlangsung
kurang lebih 1 menit dan mengenai seluruh tubuh.Kejang yang dialami
pasien tidak berulang dalam waktu 24 jam.Kejang sudah dialami pasien
sejak kurang lebih 4 tahun yang lalu.Kejang dapat terjadi jika pasien
sedang lelah atau sebelumnya melakukan aktivitas yang cukup berat.
Pasien sedang menjalani program depaken sejak bulan April 2019

3.6.2 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik sangat penting karena mungkin dapat
mengungkapkan tanda neurologis yang abnormal yang mengindikasikan
temuan sebagai berikut:2
- Patologi intrakranial di masa lalu
- Patologi intrakranial yang dialami sekarang
- Perkembangan patologi intrakranial yang dimaksud di atas
Pada kasus ini tidak didapatkan kelainan patologis yang
bermakna saat dilakukan pemeriksaan.Pada saat dilakukan
pemeriksaan fisik neurologi tidak didapatkan kelainan neurologi.
Pada kasus ini tidak ditemukan tanda neurologis yang abnormal.
Oleh karena itu, kemungkinan bahwa kejang pada kasus ini bukan
disebabkan oleh penyebab intracranial.Penyebab ekstrakranial
mungkin menjadi penyebab dari kejang pada kasus ini.

3.6.3 EEG DAN PEMERIKSAAN LAINNYA


Pemeriksaan EEG umumnya membantu dalam mengklasifikasikan
tipe epilepsi seseorang. Pasien jarang mengalami kejang selama
pemriksaan EEG rutin. Namun kejang tetap dapat memberikan konfirmasi
tentang kehadiran aktifitas listrik yang abnormal, informasi tentang tipe
gangguan kejang, dan lokasi spesifik kejang fokal. Pada pemeriksaan EEG

27
rutin, tidur dan bangun, hanya terdapat 50% dari seluruh pasien epilepsi
yang akan terdeteksi dengan hasil yang abnormal.7
EEG sebenarnya bukan merupakan tes untuk menegakkan diagnosa
epilepsi secara langsung. EEG hanya membantu dalam penegakan
diagnosa dan membantu pembedaan antara kejang umum dan kejang
fokal. Tetapi yang harus diingat7 :
- 10% populasi normal menunjukkan gambaran EEG abnormal yang
ringan dan non spesifik seperti gelombang lambat di salah satu atau
kedua lobus temporal-menurut sumber lain terdapat 2% populasi yang
tidak pernah mengeluh kejang memberikan gambaran abnormal pada
EEG;
- 30% pasien dengan epilepsi akan memiliki gambaran EEG yang
normal pada masa interval kejang-berkurang menjadi 20% jika EEG
dimasukkan pada periode tidur.

Dengan kata lain, EEG dapat memberikan hasil yang berupa positif
palsu maupun negatif palsu, dan diperlukan kehati-hatian dalam
menginterpretasinya. Perekaman EEG yang dilanjutkan pada pasien
dengan aktifitas yang sangat berat dapat sangat membantu dalam
penegakan diagnosis dengan kasus yang sangat sulit dengan serangan yang
sering, karena memperlihatkan gambaran selama serangan kejang terjadi.
Namun dengan metode ini pun masih terdapat kemungkinan negatif palsu,
dengan 10% kejang fokal yang timbul di dalam sebuah lipatan korteks
serebri dan yang gagal memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan
EEG.7
Pencitraan otak, lebih sering digunakan MRI daripada CT Scan,
adalah bagian yang penting dari penilaian epilepsi tipe fokal, dan di
beberapa kasus epilepsi tipe yang tidak menentu. Mungkin tidak begitu
penting pada pasien kejang umum yang telah dikonfirmasi dengan EEG.
Pemeriksaan lainnya seperti glukosa, kalsium, dan ECG jarang
memberikan informasi yang dibutuhkan.7

28
Sulitnya menegakkan diagnosis epilepsi dengan bantuan
pemeriksaan di atas, memaksa seorang pemeriksa harus meneliti gejala
klinis secara seksama untuk menegakkan diagnosa dengan tetap
memperhatikan hasil dari pemeriksaan EEG.7
Tujuan dari pemeriksaan dengan EEG adalah untuk
membantu dalam mengklasifikasikan tipe epilepsi seseorang. Pada
kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang EEG dikarenakan
tidak tersedianya alat pemeriksaan penunjang EEG di Rumah Sakit
Umum Daerah Abepura.Oleh karena itu tidak dilakukan
pemeriksaan EEG pada kasus ini. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada kasus ini hanyalah pemeriksaan laboratorium.

3.7. Diagnosa Banding5


 Syncope
 PNES
 Gerakan movement disorders
 Kejang Demam Sederhana

Pada kasus ini, dapat didiagnosa banding dengan syncope karena


syncope didefinisikan sebagai hilangnya kesadaran sementara, dengan
kehilangan postur (yaitu jatuh). Biasanya digambarkan sebagai “
pingsan”.
Kasus ini juga didiagnosa banding dengan PNES (Psychogenic non-
epileptic seizures ) adalah kejang paroksismal, keterbatasan gerak,
sensorik, otonom, tanda dan gejala kognitif dan atau tidak disertai
aktivitas epileptiform iktal.
Gerakan movemnet disorder atau (Periodic Limb Movement
Disorder) adalah suatu kondisi yang sebelumnya disebut tidur mioklonus
dan mioklonus nokturnal. Hal ini ditandai dengan pergerakan pada
ekstremitas bawah (dapat terjadi pada ekstremitas atas juga) berupa
pergerakan berulang selama tidur.

29
Pada kasus ini, penulis memilih diagnosa banding dengan kejang
demam sederhana karena kejang demam sederhana merupakan
bangkitan kejang yang terjadi disertai peningkatan suhu badan ≥380C.
Namun perbedaannya dengan kejang demam kompleks yaitu kejang
demam sederhana berlangsung < 15 menit, tidak berulang dalam waktu
24 jam, sifat kejang sentral, biasa terjadi pada usia 1-1/2 tahun. Di bawah
ini adalah tabel perbedaan kejang demam sederhana dan kejang demam
kompleks.
KDS KDK
Lama kejang <15 menit >15
Refrakter Tidak ada dalam 24 Ada dalam 24 jam
jam
Sifat kejang Sentral Komples
Usia 1 – 1,5 tahun 2 tahun

3.8. Penatalaksanaan
 Prinsip:
1. Stabilisasi pasien dengan prinsip kegawatdaruratan umum (ABC)
2. Menghentikan bangkitan dan mencari etiologi simultan
3. Mecegah bangkitan ulang atau mengatasi penyulit
4. Mengatasi factor pencetus
 Bila setelah menit ke 60 belum teratasi (refrakter), sebaiknya perawatan
dilakukan di ICU

Kombinasi OAE yang dapat digunakan pada epilepsy refrakter


Kombinasi OAE Indikasi
Sodium valproate + etosuksimid Bangkitan Lena
Karbamazepin + sodium valproate Bangkitan Parsial Kompleks
Sodium valproate + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum
Topiramat + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum

30
Keterangan:
Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit,kecepatan 2
mg/menit. Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perludihabiskan.
Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan
kecepatan yang sama1
Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambilsesuai
dosis yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telahdibuang
jarumnya, dan teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosismidazolam
buccal berdasarkan kelompok usia;1
• 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
• 5 mg (usia 1 – 5 tahun)
• 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
• 10 mg (usia ≥ 10 tahun)
Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24
jamsetelah pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat

31
diturunkansecara bertahap dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan
setelah 48 jam bebas kejang.1
Medazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU,namun
disesuaikan dengan kondisi rumah sakit.1
Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang
dalamkeadaan tidak kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital
10mg/kg IV dilanjutkan dengan pemberian rumatan bila diperlukan.1

Pada kasus ini pengobatan yang diberikan adalah phenitoin 2x100


mg. Phenitoin adalah golongan obat antikonvulsan yang diindikasikan
untuk mengatasi kejang tonik-klonik (grandmall), kejang pasial kompleks,
mencegah kejang setelah dilakukan operasi bedah saraf, dll.
Pengobatan status epileptikus dapat diberikan dengan pemberian diazepam
per rectal dengan dosis 5 mg untuk BB <12 kg dan 10mg untuk BB > 12 kg.
Bila kejang berhenti sebelum obat habis, maka obat tidak perlu dihabiskan.1
Midazolam juga dapat digunakan, bila bebas kejang selama 24 jam setelah
pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan
secara bertahap dengan kecepatan 0,1mg/ jam dan dapat dihentikan setelah
48 jam bebas kejang. Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun
saat datang dalam keadaan tidak kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau
fenobarbital 10 mg/kgBB IV dilanjutkan dengan pemberian rumata bila
diperlukan. Terapi status epileptikus diberikan dalam jangka waktu 2 tahun
bebas kejang, bukan 2 tahun minum obat. Angka kekambuhan kejang akan
semakin kecil jika anak minum obat sampai 2 tahun bebas kejang
dibandingkan hanya minum obat sampai 1 tahun bebas kejang. 3
Pemberhentian terapi antikonvulsan harus dilakukan secara bertahap dalam
3-4 bulan, karena bila dilakukan tiba-tiba dapat memicu episode kejang
lainnya. Pada pengobata epilepsy jika terjadi putus pengobatan maka
pengobatan dimulai kembali dari awal dengan jangka waktu pengobatan 2
tahun, tidak menghitung waktu pengobatan yang telah dilakukan sebelum
kejang ulangan.

32
3.9. Komplikasi
Komplikasi primer akibat langsung dari status epileptikus
Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron
danmemicu reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik,
perubahanreseptor glutamat dan GABA, serta perubahan lingkungan sel
neuronlainnya. Perubahan pada sistem jaringan neuron, keseimbangan
metabolik,sistem saraf otonom, serta kejang berulang dapat menyebabkan
komplikasisistemik.Proses kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada SE
konvulsifdapat menyebabkan kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan
gagal ginjal. Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan metabolisme
anaerobdan memicu asidosis.1 Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi
sarafotonom dan fungsi jantung (hipertensi, hipotensi, gagal jantung,
atauaritmia). Metabolisme otak pun terpengaruh; mulanya terjadi
hiperglikemiaakibat pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit kemudian
kadar glukosaakan turun. Seiring dengan berlangsungnya kejang, kebutuhan
otak akanoksigen tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi akan memperberat
kerusakanotak. Edema otak pun dapat terjadi akibat proses inflamasi,
peningkatanvaskularitas, atau gangguan sawar darah-otak.1

Komplikasi sekunder1
Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan adalah
depresi napas serta hipotensi, terutama golongan benzodiazepin dan
fenobarbital.Efek samping propofol yang harus diwaspadai adalah propofol
infusion syndrome yang ditandai dengan rabdomiolisis, hiperkalemia, gagal
ginjal,gagal hati, gagal jantung, serta asidosis metabolik.Pada sebagian anak,
asamvalproat dapat memicu ensefalopati hepatik dan hiperamonia.Selain
efeksamping akibat obat antikonvulsan, efek samping terkait perawatan
intensifdan imobilisasi seperti emboli paru, trombosis vena dalam,
pneumonia, sertagangguan hemodinamik dan pernapasan harus diperhatikan.

33
3.10. Prognosis
Prognosis status epileptikus adalah tergantung pada penyebab yang
mendasari status epileptikus.Pasien dengan status epileptikus akibat
penggunaan antikolvusan atau akibat alkohol biasanya prognosisnya lebih
baik bilapenatalaksanaan dilakukan dengan cepat dan dilakukan pencegahan
terjadi komplikasi.Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis; 37%
menderita deficit neurologis permanen, 48% disabilitas intelektual. Sekitar
3-56% pasienyang mengalami SE akan mengalami kembali kejang yang
lama atau statusepileptikus yang terjadi dalam 2 tahun pertama. Faktor risiko
SE berulangadalah; usia muda, ensefalopati progresif, etiologi simtomatis
remote,sindrom epilepsi.1

3.11. Pencegahan
Pada kasus ini belum ada pencegahan secara maksimal untuk
menghindari penyakit ini malainkan di edukasi.

Edukasi
Edukasi mengenai penyakit dan pengobatannya, termasuk kepatuhan
minum obat dan efek samping obat.
Edukasi mengenai fungsi dalam kehidupan sehari-hari :
 Pasien dapat beraktivitas normal seperti anak-anak lain seusianya,
termasuk berolahraga
 Pada aktivitas fisik tertentu, seperti berenang sebaiknya pasien ditemani
orang lain.

Aktivitas fisik yang ekstrem, kurang tidur, stress psikis sebaiknya dihindari.

Pemantauan

Pemantauan dilakukan untuk mengetahui kepatuhan minum obat, respon


terhadap obat dan timbulnya efek samping obat (bila perlu dilakukan
pemeriksaan darah tepi dan fungsi hati) juga perlu dilakukan evaluasi
neurologik ulang secara berkala.

34
BAB IV
KESIMPULAN

1. Pada kasus ini anamnesa yang didapatkan kejang yang dialami pasien disertai
keluar busa dari mulut.Kejang diawali dengan pandangan kosong seperti melamun
lalu diikuti kejang kelojotan seluruh badan dengan mata melotot.Setelah kejang,
pasien membutuhkan waktu  15 menit untuk kembali sadar sepenuhnya. Kejang
sudah dialami pasien sejak kurang lebih 4 tahun yang lalu.Kejang dapat terjadi
jika pasien sedang lelah atau sebelumnya melakukan aktivitas yang cukup
berat., pada riwayat penyakit dahulu terdapat riwayat kejang pada tahun 2015
dan pasien memiliki riwayat pengobatan depaken. Pada riwayat keluarga tidak
ditemukan adanya keluarga yang memiliki riwayat kejang seperti pasien.
Menurut anamnesis dan pemeriksaan fisik pada kasus ini didapatkan tanda dan
gejala yang sesuai dengan kejang demam kompleks.
2. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan penunjang berupa laboratorium dengan
tujuan untuk mengetahui ada tidaknya infeksi yang terjadi di dalam tubuh.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin,
DDR, elektrolit serum dan kadar glukosa sewaktu dalam darah. Pemeriksaan
yang harus dilakukan adalah pemeriksaan EEG, namun pada pasien ini tidak
dilakukan karena alat EEG di RSUD Abepura belum dapat digunakan.
3. Pengobatan epilepsy dilakukan selama 2 tahun dengan syarat bebas kejang.
Namun jika terjadi kejang dalam periode pengobatan, maka pengobatan di
ulang kembali dari awal dan waktu pengobatan sebelumnya tidak dihitung.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Ismael.S,et all,. 2016. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus,.


Jakarta. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
2. Stredny.M,et.all,. 2018. Towards Acute Pediatric Status Epilepticus
Intervention team : Do We need “Seizure Codes”?
3. 2016,. Kenya National Guidelines For The Management Of Epilepsy A
Practical Guide For Healthcare Workers. Nairobi. Ministry of Health.
4. Minardi, C, et all,. 2018. Epilepsy in Children: From Diagnosis to Treatment
with Focus on Emergency. Journal of Clinical Medicine.
5. Saad K,. 2014. Childhood Epilepsy: An Update on Diagnosis and
Management. American Journal of Neuroscience.
6. Perucca P,. 2018. The Management of Epilepsy in Children and Adults.
Narrative Review.
7. Stafsrom, C,. 2015. Seizures and Epilepsy: An Overview for Neuroscientists.
Cold Spring Harbor Perspective in Medicine.

36

Anda mungkin juga menyukai