Anda di halaman 1dari 26

PRESENTASI KASUS

KARSINOMA NASOFARING

Oleh:

Febri Diotama 41191396100043


Khanissa Aghnia Afwa 41191396100076
Regina Stefani Anwar 41201396100012
Amaliya Mata'ul Hayah 41201396100028
Adelia Salsabila Dhiya F 41201396100034
Ghinaa Aliyya Fathinnahda 41201396100045

Pembimbing:
dr. Satria, Sp.THT-KL,

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN THT DAN


KEPALA-LEHER
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. CHASBULLAH
ABDULMADJID KOTA BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
PERIODE 03 - 22 JANUARI 2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah subhanahu wata’ala,
karena atas seluruh berkah, rahmat, dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
penulisan makalah presentasi kasus ini yang berjudul “Otitis Media Efusi”. Shalawat
serta Salam senantiasa tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Beserta
dengan keluarga, sahabat, dan para pengikutnya.
Makalah presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan THT dan Kepala-Leher di RSUD dr.
Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi. Kami menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini tidak luput dari adanya bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, kami
ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih saya kepada:
1. dr. Satria, Sp.THT-KL, selaku pembimbing kami yang senantiasa berkenan
untuk meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, ilmu, dan arahan
dalam penyusunan makalah ini.
2. Seluruh konsulen dan staf SMF atas segala bimbingan, petunjuk, dan limpahan
ilmu pengetahuan yang diberikan kepada kami.
3. Rekan dokter muda UIN-UKI kepaniteraan klinik THT yang senantiasa
berdiskusi dan saling berbagi ilmu selama kepaniteraan ini berlangsung.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan tidak luput
dari banyak kesalahan. Kami selaku penulis memohon maaf apabila terdapat banyak
kesalahan yang ditemukan pada makalah ini dan kami menerima segala kritik dan
saran yang dapat membuat makalah presentasi kasus ini lebih baik kedepannya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga isi dari makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Bekasi, 10 Januari 2022

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
BAB II ILUSTRASI KASUS 2
2.1 Identitas Pasien 2
2.2 Anamnesis 2
2.1 Keluhan Utama 2
2.2 Riwayat Penyakit Sekarang 2
2.3 Riwayat Penyakit Dahulu 3
2.4 Riwayat Penyakit Keluarga 3
2.5 Riwayat Personal dan Sosial 3
2.3 Pemeriksaan Fisik 3
2.4 Pemeriksaan Penunjang 5
2.5 Resume 6
2.6 Diagnosa Kerja 6
2.7 Rencana Pengobatan 6
2.8 Prognosis 7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 8
3.1 Anatomi dan Fisiologi Telinga 8
3.2 Otitis Media 9
3.3 Karsinoma Nasofaring 10
a. Epidemiologi 11
b. Etiologi 11
c. Faktor Risiko 11
d. Patogenesis dan Patofisiologi `11
e. Penegakan Diagnosa 11
f. Diagnosis Banding 11
g. Tatalaksana dan Prognosis
BAB IV PEMBAHASAN 16
4.1 Analisis Masalah 16
BAB V PENUTUP 18
5.1 Simpulan 18
DAFTAR PUSTAKA 36
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang muncul pada daerah


nasofaring tepatnya pada area di atas tenggorok dan di belakang hidung. Angka keganasan
karsinoma nasofaring menduduki peringkat ke-4 di Indonesia setelah kanker payudara, kanker
leher rahim, dan kanker paru. Keganasan ini terjadi pada pria usia produktif (25-60 tahun) dan
seringkali dijumpai pada pria dengan faktor risiko merokok dan makanan yang diawetkan.
Penyakit ini ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
mulai dari pemeriksaan hematologi hingga patologi anatomik.1
Pemberian terapi untuk karsinoma nasofaring dipilih berdasarkan kondisi stadium
penderita, kemudian terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, ataupun kombinasi keduanya
dan diberikan terapi simtomatik sesuai gejalanya, serta rehabilitasi medik yang bertujuan
untuk mengoptimalkan pengembalian fungsi dan aktivitas kehidupan sehari-hari serta
meningkatkan kualitas hidup pasien dengan kemampuan yang ada. Pemantauan kondisi
keganasan dilakukan follow-up pada siklus pertengahan terapi untuk melihat respon
kemoterapi terhadap tumor. Prognosis karsinoma nasofaring dinilai kesintasan 5 tahun dengan
makin rendah stadium maka kesintasan 5 tahunnya bisa mencapai 72% sedangkan stadium IV
kesintasan 5 tahunnya 38%. Oleh karena itu diperlukan pembahasan mengenai karsinoma
nasofaring untuk menegakan diagnosa dini sehingga keluaran prognosis akan lebih baik pula.1
BAB II

ILUSTRASI KASUS

2. 1. Identitas Pasien

Nama : Tn. RIJ

Usia : 47 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan : Wiraswasta (Percetakan)

2. 2. Anamnesis

Anamnesis dilakukan dengan auto anamnesa di Ruangan Rawat


Inap pada tanggal 08 Januari 2022 pukul 17.30 WIB

2.2.1. Keluhan Utama


Pasien dikonsultasikan dari bedah umum post BE tumor submandibula dengan
hasil PA Metastasis Carcinoma; Telinga terasa tersumbat dan tenggorokan
nyeri sejak Desember 2021

2.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang


Telinga terasa tersumbat dan tenggorokan nyeri sudah dirasakan
sejak bulan Desember 2021. Keluhan hidung tersumbat, keluar ingus
kental disertai darah, dan mengorok sejak 1 bulan yang lalu, namun
pasien masih dapat menghidu. Keluhan juga disertai dengan benjolan
pada leher sebelah kanan membuat pasien sulit untuk menoleh sejak
November 2021. Terkadang pasien mengeluhkan telinga kanan
berdenging hilang timbul, nyeri kepala sebelah kanan juga dirasakan.
Mimisan sedikit-sedikit dan kenyal, pasien juga mengeluhkan adanya
dahak kental bercampur darah. Pasien mengeluhkan suaranya sengau
sejak 1 bulan yang lalu.
Pasien mengatakan berat badannya sedikit turun, pasien
mengeluhkan sulit untuk membuka mulut dan merasa nyeri serta sulit
untuk menelan sehingga hanya mengonsumsi bubur saring sejak 1
januari, dan bila minum suka tersedak, pasien juga mengeluhkan
matanya merah, silau, dan sering berair sejak 4 hari yll. BAB keras
2x/minggu tidak disertai darah. Pasien mengeluhkan lemas. Kadang
pasien mengeluhkan demam. Pasien juga mengeluhkan rasa panas pada
wajah bagian kanan.

Keluhan pandangan ganda (-), gangguan pendengaran (-), nyeri


telinga (-), cairan telinga (-), sesak napas (-), batuk lama (-),
kecelakaan/trauma (-), mual-muntah (-), keluhan keringat malam hari (-),
keluhan batuk lama (-)

2.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien telah berobat ke dokter di puskesmas dinyatakan sebagai


Limfadenopati sehingga dirujuk ke RSUD Bekasi bagian Bedah Umum,
dilakukan pemeriksaan dan didiagnosa sebagai Tumor Submandibula.
Dilakukan BE pada 16/12/21 dan pemeriksaan PA dengan hasil sel
jaringan KGB dengan metastasis karsinoma disertai abses
Hipertensi (-), DM (-), Asma (-), Alergi (-), Stroke (-), pengobatan TBC
(-)

2.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada yang memiliki keluhan serupa. Riwayat keganasan di keluarga
(-)
2.2.5. Riwayat Personal dan Sosial
Pasien merokok sejak usia 17 tahun hingga Desember 2021, 6
batang/hari. Pasien seorang wiraswasta di bidang percetakan

2.3. Pemeriksaan Fisik

A. Status Generalis
1. Keadaan Umum : Tampak sakit berat
2. Kesadaran : Compos mentis
3. GCS : 15
4. Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Denyut nadi : 95 x/menit
Laju Pernapasan : 24 x/menit
Suhu : 36,4 oC
SpO2 : 97 % RA
5. Antropometri
Berat badan : 73 kg
Tinggi badan : 177 cm
IMT : 23,5 kg/m2
Kepala: normosefal, rambut hitam,
Mata: konjungtiva anemis (-/-), perdarahan konjungtiva (-/-), sklera ikterik (-/-),
injeksi siliar (+/+)
Mulut: gusi berdarah (-), mukosa kering (+), sisa darah (+)
Leher: pembesaran KGB supra servikal dextra 6x8 cm & sinistra 2x2 cm, sewarna
kulit, perabaan keras, tidak hangat, immobile, nyeri tekan (-/-), scar post op dextra (+),
pembesaran tiroid (-), deviasi trakea (-), ruam (-)
Paru:
Inspeksi: pergerakan dinding dada simetris saat statis dan dinamis, benjolan (-), ruam
kulit (-), luka operasi (-), penggunaan otot napas tambahan (-)
Palpasi: ekspansi dada normal, vocal fremitus normal, massa (-), nyeri tekan (-),
pelebaran sela iga (-)
Perkusi: sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi: vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung:
Inspeksi: iktus cordis tidak terlihat
Palpasi: iktus cordis teraba di ICS 5 linea midklavikularis sinistra, thrill (-)
Perkusi: batas jantung kiri di ICS 5 linea midklavikularis sinistra, batas jantung kanan
di ICS 4 line parasternalis dextra, batas pinggang jantung di ICS 2-3 linea parasternalis
sinistra.
Auskultasi: BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
Inspeksi: datar, pelebaran vena (-), ruam kulit (-) caput medusa (-), striae (-)
Auskultasi: bising usus 10x/menit. Perkusi: timpani pada seluruh lapang abdomen,
asites (-). Palpasi: supel, nyeri tekan (-), lien hepar tidak teraba, turgor cukup, nyeri
ketok CVA (-/-), ballottement (-/-)
Ekstremitas: akral hangat (+/+), CRT < 2s, pitting edema (-/-), sianosis (-/-)

B. Status Lokalis THT


Aurikula dextra : normotia, eritema (-), fistula retroaurikula (-/-), liang telinga
lapang, sekret (-), serumen (-), membran timpani intak, Refleks cahaya (+), Nyeri
tekan tragus (-).
Aurikula sinistra : normotia, eritema (-), fistula retroaurikula (-/-), liang telinga
lapang, sekret (-), serumen (-), membran timpani intak, Refleks cahaya (+), Nyeri
tekan tragus (-).
Nasal dextra : deformitas nasal (-), eritema (-), deviasi septum (-), cavum nasi
lapang, sekret kental bercampur darah, Konka eutrofi
Nasal sinistra : deformitas nasal (-), eritema (-), deviasi septum (-), cavum nasi
lapang, sekret kental bercampur darah, Konka eutrofi
Tenggorokan : sulit dinilai

2.4. Pemeriksaan Penunjang


A. Endoskopi :
Auricula dextra : Tidak dilakukan
Auricula sinistra : Tidak dilakukan
Nasal dextra : lapang, konka eutrofi, sekret kental bercampur darah,
Massa nasofaring (+)
Nasal Sinistra : lapang, konka eutrofi, sekret kental bercampur darah
B. Laboratorium 05/01/2022:
DPR: 15.8/46.6/11.1 (H)/220
PT/APTT: 14.9/33.1
HbSAg: Non Reaktif
GDS: 109
C. Laboratorium 07/01/2022:
DPR: 15.5/44.2/247/5.8
GDS: 122 (H)
D. RO Thorax PA: Normal
E. Patologi Anatomi 24/12/21:
Jaringan kelenjar getah bening dengan metastasis karsinoma disertai abses

2.5. Resume
Tn.RIJ 47 thn, mengeluhkan telinga terasa tersumbat dan tenggorokan
nyeri sejak Desember 2021, disertai dengan keluar ingus kental seperti darah,
mengorok saat tidur, sulit menoleh karena ada benjolan di leher sebelah kanan,
telinga kanan berdenging hilang timbul, nyeri kepala sebelah kanan, mimisan
sedikit-sedikit, dahak kental bercampur darah, suara sengau, penurunan berat
badan, sulit membuka mulut, nyeri menelan, bila makan dan minum suka
tersedak, kadang ada demam & lemas, keluhan mata berair, merah, dan silau.
Riwayat merokok sejak usia 17 thn & Riwayat pengobatan TBC disangkal
Dari hasil pemeriksaan fisik dijumpai mukosa mulut pasien kering dengan
sisa darah (+), leher nampak pembesaran KGB supra servikal dextra 6x8 cm &
sinistra 2x2 cm, sewarna kulit, perabaan keras, tidak hangat, immobile, dengan
pemeriksaan endoskopi hidung kanan nampak massa nasofaring dan di kedua
hidung tampak sekret kental bercampur darah. Hasil pemeriksaan radiologi thorax
tidak dijumpai kelainan. Hasil PA sampel jaringan KGB Submandibula
menunjukan jaringan kelenjar getah bening dengan metastasis karsinoma disertai
abses.

2.6. Diagnosa Kerja


Massa Nasofaring Dextra Susp. Karsinoma Nasofaring

2.7. Rencana Tatalaksana

Biopsi forcep

2.8. Prognosis

Ad Vitam : Dubia

Ad Functionam : Dubia

Ad Sanationam : Dubia
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi Hidung
Nasofaring merupakan suatu ruang atau rongga berbentuk kubus dengan ukuran yang
sangat bervariasi, terletak dibelakang rongga hidung langsung di bawah dasar tengkorak.
Ukuran melintang dan tinggi nasofaring pada orang dewasa sekitar 4 cm, sedangkan ukuran
anteroposterior sekitar 2 – 4 cm. Ke depan berhubungan dengan rongga hidung melalui
koanae serta tepi belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang
sering timbul. Ke arah belakang dinding nasofaring melengkung ke superior anterior dan
terletak di bawah os sfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang
retrofaring, fasia pre vertebra servikalis I, II dan otot dinding faring. Pada dinding lateral
nasofaring terdapat ostium tuba eustachius dengan tonjolan tulang rawan di bagian
superoposterior yang disebut torus tubarius, sehingga penyebaran tumor ke arah lateral akan
menyebabkan sumbatan ostium tuba eustachius sehingga mengganggu pendengaran. Ke arah
postero superior dari torus tubarius terdapat fossa rosenmuller yang merupakan lokasi
tersering karsinoma nasofaring.2

Atap nasofaring merupakan beberapa lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan
lunak sub mukosa dan pada usia muda, dinding supero posterior nasofaring umumnya tidak
rata. Hal tersebut disebabkan oleh karena adanya jaringan limfoid sekunder yaitu adenoid atau
tonsila faringea, yang biasanya rudimenter pada orang dewasa. Jaringan limfoid di mukosa
nasofaring dan adenoid bersama tonsila palatina, tonsila lingualis dan bilateral pharyngeal
lymphoid bands membentuk suatu lingkaran yang disebut ring of waldeyer. Foramen lacerum,
yang terbuka langsung kedalam pertengahan fossa cranial, terletak dalam perbatasan
nasofaring dan merupakan rute penting untuk penyebaran KNF sampai kedalam pertengahan
fossa cranial.2

3.2 Definisi
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang terdapat di daerah kepala dan
leher, yang berasal dari epitel nasofaring. Karsinoma nasofaring (KNF) disebut juga sebagai
Lymphoepithelioma yang diklasifikasikan menjadi 3 yaitu : nonkeratinizing carcinoma,
keratinizing squamous cell carcinoma, basaloid squamous cell carcinoma.3
3.3 Epidemiologi
Kejadian karsinoma nasofaring terjadi hampir 60 % tumor ganas terbanyak di kepala
dan leher. Angka kejadian karsinoma nasofaring di Indonesia mencapai 6.2/100.000 kasus
dengan 13.0000 kasus tiap tahunnya, namun tidak semua kasus terdokumentasikan dengan
baik.4 Karsinoma nasofaring biasanya lebih sering ditemukan pada ras mongoloid seperti di
daerah China selatan, Malaysia, Vietnam, Thailand dan Indonesia. Pada daerah Afrika bagian
utara, orang eskimo di Alaska juga melaporkan kasus yang cukup tinggi dikarenakan banyak
penduduknya yang diduga memakan makanan yang diawetkan dalam musim dingin dengan
bahan pengawet nitrosamin.3

3.4 Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab kasus karsinoma nasofaring ialah virus Epstein-Barr, karena pada semua
pasien ditemukan adanya titer anti virus yang cukup tinggi. Beberapa faktor yang turut
berperan dalam timbulnya kejadian karsinoma nasofaring antara lain dipengaruhi oleh letak
geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan,
sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit. Letak geografis seperti pada epidemiologi, kasus
banyak ditemukan di dataran china selatan, dan asia tenggara. Ras yang banyak ialah ras
mongoloid di asia dan afrika utara. Berdasarkan jenis kelamin, kasus sering terjadi pada
laki-laki (namun penyebab pastinya belum diketahui). Kanker nasofaring dapat terjadi pada
semua usia, tetapi paling sering didiagnosis pada orang dewasa antara usia 30 tahun dan 50
tahun. Faktor lingkungan yang berpengaruh ialah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu
tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, kebiasaan makan
masakan yang terlalu pana, makanan yang diawetkan bahan kimia yang dilepaskan dalam uap
saat memasak makanan, seperti ikan dan sayuran diawetkan, dapat masuk ke rongga hidung,
meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Secara genetik, bila memiliki anggota keluarga
dengan karsinoma nasofaring meningkatkan risiko penyakit. Pengaruh genetik masih terus
dipelajari dalam cell mediated immunity dari virus EB dan tumor associated antigens pada
karsinoma nasofaring. Pengaruh sosial ekonomi dapat mempengaruhi keadaan lingkungan dan
kebiasaan hidup orang.5

3.5 Patogenesis dan Patofisiologi


Tumor ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa rosenmuller) dan dapat
menyebar ke dalam atau keluar nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior, dasar
tengkorak, palatum, kavum nasi dan orofaring serta metastasis ke kelenjar limfe. Secara
umum, tumor dapat dilihat dalam 3 bentuk, yaitu (1) proliferative , ketika tumor polipoid
mengisi nasofaring yang mengakibatkan gejala obstruksi nasal (2) Ulcerative, epistaksis
merupakan gejala yang umum (3) Infiltrative, pertumbuhan hingga ke submukosa. Karsinoma
dapat menyebar secara lokal, limfa, dan penyebaran jauh. Penyebaran lokal secara anterior
dapat menutup koana dan kavitas nasal, sedangkan penyebaran inferior melalui orofaring dan
hipofaring, penyebaran lateral melibatkan ruang parafaring dna fossa infratemporal melalui
sinus Morgagni, penyebaran ke superior melalui struktur intrakranial. Foramen lacerum dan
foramen ovale sebagai jalan penyebaran ke bagian fossa kranial bagian tengah yang dapat
menyebabkan diplopia atau oftalmoplegia. Penyebaran jauh dapat mengenai paru, tulang, dan
hati sebagai organ terbanyak mengalami metastasis.6,7

Gambar 3.1 Mekanisme EBV memicu terjadinya KNF


(Sumber: INTERNATIONAL JOURNAL OF NASOPHARYNG CARSINOMA, 2021)
Gambar 3.2 Patofisiologi KNF
(Sumber: Dhingra ENT, 2018)

3.6 Penegakan Diagnosis


a. Anamnesis
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala
telinga, gejala nasofaring, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau gejala di leher.
Gejala pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat
dengan muara tuba eustachius (fossa rosenmuller), sehingga gangguan dapat berupa
tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga, sampai rasa nyeri (otalgia). Gejala nasofaring
dapat berupa epistaksis ringan maupun sumbatan pada hidung sehingga perlu diperiksa
dengan cermat, jika perlu menggunakan nasofaringoskop karena sering kali gejala
belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih
terdapat di bawah mukosa (creeping tumor).1
Nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa
lubang sehingga gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut
karsinoma. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai otak ke N III, IV, VI
dan V sehingga gejala yang muncul dapat berupa diplopia dan neuralgia trigeminal.
Proses karsinoma yang lanjut dengan penjalaran melalui foramen jugulare akan
mengenai N IX, X, XI dan XII. Metastasis atau gejala di leher dapat berupa benjolan di
leher yang dapat mendorong pasien untuk berobat.1
Setiap gejala tersebut memiliki nilai dalam mendiagnosis KNF yang
dirumuskan dalam digby score. Jika total skor yang didapat lebih atau sama dengan 50,
maka dapat dicurigai adanya KNF.

Gambar 3.3 Digby Score


(Sumber: Digby, 1951)

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan nasofaring dapat menggunakan rinoskopi posterior,
nasofaringoskop (fiber atau rigid), laringoskopi, maupun pemeriksaan nasoendoskopi
dengan NBI (Narrow Band Imaging) yang digunakan untuk skrining, melihat mukosa
dengan kecurigaan kanker nasofaring, panduan lokasi biopsi, serta follow up terapi
pada kasus-kasus dengan dugaan residu dan residif. Hal yang dapat ditemukan pada
pemeriksaan fisik dapat berupa :
a. Gejala telinga : sebanyak 17% berupa tuli konduktif unilateral, tinnitus, otalgia
dan otore.
b. Gejala hidung : sebanyak 30% berupa sekret bercampur darah (blood stained
discharge), sumbatan hidung unilateral dan bilateral serta epistaksis.
c. Benjolan di leher/ neck mass : sebanyak 43% kasus metastasis ke kelenjar getah
bening leher.
d. Gejala lain : terkenanya saraf kranial sebanyak 10% kasus berupa sakit kepala
hebat, diplopia, parestesia wajah, kelumpuhan otot fasial, serak, disfagia,
kelumpuhan otot lidah, kelemahan otot bahu, trismus, vertigo, dan kebutaan.1,7

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus EB
telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Sensitivitas
IgA VCA adalah 97,5% dan spesifisitasnya 91,8%, IgA anti EA sensitivitas-nya 100%
tetapi spesifisitasnya hanya 30% sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk
menentukan prognosis pengobatan. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
dapat berupa pemeriksaan hematologi (darah perifer lengkap, LED, hitung jenis),
alkali fosfatase, LDH, SGOT dan SGPT.5
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan berupa, pemeriksaan CT-scan
daerah kepala dan leher untuk melihat tumor primer dan penyebaran ke jaringan
sekitarnya, USG abdomen untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen, foto
toraks untuk melihat adanya nodul di paru, serta bone scan untuk melihat metastasis
tulang. 3,5
Diagnosis pasti pada KNF ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring.
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi dari
hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (Blind biopsy). Cunam biopsi
dimasukkan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian
diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut dengan memakai
bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang
berada dalam mulut ditarik keluar dan di klem bersama ujung kateter yang di hidung,
begitu juga dengan kateter dari hidung sebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke
atas. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca laring atau memakai
nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut sehingga massa tumor akan terlihat
lebih jelas. Klasifikasi histopatologi berdasarkan kriteria WHO dibagi menjadi 3
bentuk, yaitu karsinoma berkeratinisasi (keratinizing carcinoma), karsinoma tidak
berkeratin berdiferensiasi (non-keratinizing differentiated carcinoma), serta karsinoma
tidak berkeratin dan tidak berdiferensiasi (non-keratinizing undifferentiated
carcinoma).3,6
3.7 Klasifikasi TNM
Prosedur rutin untuk menentukan staging yaitu dilakukan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik (termasuk pemeriksaan nervus kranialis), pemeriksaan darah
lengkap, pemeriksaaan kimia darah (uji fungsi hati, uji fungsi ginjal, dan laktat
dehidrogenase), nasopharyngoscopy, CT scan atau MRI nasofaring dan basis kranii,
leher, hingga klavikula, dan FDG-PET/CT Scan. penggunaan MRI dinilai sangat
akurat untuk menentukan staging tumor lokal dan sangat sensitif untuk melihat adanya
penebalan kecil mukosa, keterlibatan ruang parafaring dan ruang masticatory serta
basis kranii, dan infiltrasi nervus kranialis. Keterlibatan kelenjar getah bening lebih
baik dilihat dari MRI dibandingkan CT scan, sedangkan untuk staging KGB lebih
akurat dengan FDG-PET. Selain itu FDG-PET juga direkomendasikan untuk melihat
adanya metastasis jauh dan pada beberapa penelitian dapat memprediksi survival
outcomes pada pasien KNF.3,5
Staging karsinoma nasofaring (KNF) menggunakan klasifikasi dari American
Joint Committee on Cancer (AJCC) edisi 8. Staging KNF berdasarkan klasifikasi TNM
(tumor, nodul, dan metastasis).3

Tabel 3.1. Klasifikasi TNM

Kategori Keterangan

T T0: tidak terbukti adanya tumor primer


T1: adanya tumor primer di nasofaring, orofaring, atau kavitas nasal
tanpa perluasan ke parafaring
T2: adanya perluasan tumor primer ke parafaring, adanya keterlibatan
jaringan lunak sekitar (otot medial pterygoid, otot lateral pterygoid, otot
prevertebral)
T3: adanya keterlibatan struktur tulang (basis kranii, vertebra servikal)
dan/atau sinus paranasal
T4: perluasan intrakranial, nervus kranialis, hipofaring, orbita, dan
keterlibatan jaringan lunak yang luas (permukaan lateral dari otor
lateral pterygoid, kelenjar parotis)

N N0: tidak ada metastasis KGB


N1: keterlibatan KGB retrofaring, servikal: unilateral, ≤6 cm, di atas
perbatasan kaudal kartilago cricoid
N2: servikal bilateral, ≤6 cm, di atas perbatasan kaudal kartilago cricoid
N3: >6cm, dan/atau di bawah perbatasan kaudal kartilago cricoid

M M0: tidak ada metastasis ke organ lain


M1: adanya metastasis ke organ lain

Tabel 3.2. Interpretasi Stadium Kanker Nasofaring Berdasarkan Klasifikasi TNM

Stadium

I T1 N0 M0

II T2 N0-1 M0; T1 N1 M0

III T3 N0-2 M0, T1-2 N2 M0

IVa T3 atau N3 M0

IVb Berapapun T, berapapun N, M1

3.8 Tatalaksana
Terapi pada KNF mencakup terapi radiasi, kemoterapi, kombinasi
radiasi-kemoterapi, dan didukung terapi simtomatik sesuai dengan gejala pada pasien.
Gambar 3.4. Algoritma tatalaksana KNF stadium I-IVa
(Sumber: NPC ESMO-Neuracan, 2020)

Terapi radioterapi dilakukan pada pasien dengan stadium I. Terapi IMRT


(intensity-modulated radiotherapy) dirasakan lebih baik dibandingkan radioterapi
biasa. Penggunaan IMRT juga dapat meningkatkan angka ketahanan hidup 5 tahun
selain itu juga secara signifikan dapat mengurangi xerostomia, trismus, dan injuri
lobus temporal. Sehingga IMRT ini dirasakan dapat meningkatkan kualitas hidup
untuk jangka panjang dibandingkan dengan teknik radioterapi yang sebelumnya. Total
dosis yang diberikan pada IMRT yaitu 70 Gy untuk eradikasi tumor makroskopik dan
50-60 Gy untuk terapi pada bagian yang berpotensial atau berisiko (daerah leher).7
Terapi ICT (induction chemotherapy) bertujuan untuk menurunkan ukuran
tumor, bersama dengan IMRT untuk mengurangi volume tumor primer. Harus
diperhatikan risiko toksisitas seperti osteoradionekrosis, pseudoanerisma karotis, dan
toksik neurologi. Pasien dengan stadium II mendapatkan terapi kemoradioterapi
dengan cisplatin 30mg/m2/minggu, stadium III dan IVA dengan menggunakan
cisplatin 100 mg/m2/3 minggu dengan bersamaan dengan radioterapi. Kemoradiasi
dilakukan sebanyak 3 siklus. Regimen kemoterapi lain seperti nedaplatin dan
carboplatin tidak lebih superior daripada cisplatin. Namun penggunaan carboplatin
dapat dipertimbangkan walaupun belum ada penelitian yang merekomendasikannya.7

Gambar 3.5. Algoritma tatalaksana KNF kambuh dan metastasis


(Sumber: NPC ESMO-Neuracan, 2020)

Pasien KNF kambuh dan metastasis dilakukan terapi paliatif. Pasien dengan
kekambuhan tumor lokal yang kecil dan berpotensi dapat disembuhkan dapat
dilakukan nasofaringektomi, brachytherapy, radiosurgery, IMRT, atau kombinasi
pembedahan dan radioterapi dengan/tanpa kemoterapi. Pasien dengan kekambuhan
tumor lokal dan tidak ditemukan adanya invasi arteri karotis serta tidak adanya bukti
metastasis intrakranial dapat dilakukan nasofaringektomi. Kekambuhan pada kelenjar
getah bening dapat dilakukan diseksi.7
Pada pasien yang menolak dilakukan terapi pembedahan maka dilakukan terapi
paliatif berupa kemoterapi dan dukungan psikologi. Regimen pilihan pertama
kemoterapi yaitu cisplatin dan gemcitabine. Penggunaan regimen agen aktif lain
seperti paclitaxel, doxetaxel, 5-FU, capecitabine, irinotecan, vinorelbine, ifosfamide,
doxorubicin, oxaliplatin, dan cetuximab juga dapat dipertimbangkan dengan
pemberian tunggal atau kombinasi. Imunoterapi juga memberikan luaran yang baik
untuk pasien KNF dengan etiologi EBV dengan cara memberikan respon untuk
melawan antigen EBV. imunoterapi pilihan seperti nivolumab, pembrolizumab, dan
camrelizumab terbukti aman dan dapat diberikan sebagai monoterapi untuk KNF
kambuh/metastasis.7
Terapi simtomatik pada pasien berupa penanganan nyeri menggunakan
algoritma stepladder WHO, adanya kesulitan makan atau asupan nutrisi kurang maka
dilakukan pemasangan NGT/gastrostomy. Pada pasien dengan tanda infeksi saluran
napas atas atau telinga tengah dapat diberikan antibiotik sistemik atau topikal tetes
telinga. Pada pasien dengan obstruksi jalan napas atas maka ditangani dengan protokol
obstruksi jalan napas atas (pertimbangkan intubasi endotrakeal, trakeostomi, atau
krikotiroidotomi). Rehabilitasi medik pasien KNF bertujuan untuk mengoptimalkan
pengembalian kemampuan fungsi dan aktivitas sehari-hari dan meningkatkan kualitas
hidup pasien. Pendekatan rehabilitasi medik diberikan sedini mungkin dan dilakukan
dengan bertahap.
Selain diberikan terapi medikamentosa, pasien dan keluarga juga penting untuk
diberikan edukasi mengenai stadium tumor, rencana terapi serta efek samping selama
dan setelah terapi. Efek samping yang dapat dirasakan pada terapi radioterapi dapat
berupa xerostomia, gangguan menelan, nyeri saat menelan, dan mulut kering.
Sedangkan efek samping dari kemoterapi seperti mual dan muntah. Pasien juga
dianjurkan untuk selalu menjaga kebersihan mulut dan perawatan kulit area radiasi
selama terapi radioterapi. Pada pasien dengan metastasis tulang yang mengenai weight
bearing bone harus ditunjang dengan korset.10
Penting juga untuk mengevaluasi psikologi pasien. Pasien dengan keganasan
cenderung iritabel bahkan depresi. Pendekatan persuasif, serta peranan keluarga sangat
penting untuk mensupport keadaan pasien. Jika diperlukan maka pasien
dikonsultasikan ke dokter kesehatan jiwa untuk mendapatkan terapi terkait.

3.9 Follow Up
Follow up pada pasien post terapi KNF dilakukan secara periodik, yaitu setiap
3 bulan di tahun pertama, setiap 6 bulan di tahun kedua dan ketiga, serta setiap tahun
hingga tahun kelima. Pemeriksaan fisik nasofaring, leher, nervus kranialis, dan
evaluasi kecurigaan metastasis penting dilakukan saat pasien kontrol. MRI disarankan
dilakukan 3 bulan setelah radioterapi, dan setiap 6 bulan pada pasien dengan T2-T4.
MRI dilakukan untuk mengevaluasi nasofaring dan basis kranii. Penggunaan PET
Scan juga dapat dipertimbangkan mengingat spesifisitas yang tinggi untuk melihat
perubahan post-iradiasi dan tumor rekuren. Selain pemeriksaan pencitraan,
pemeriksaan plasma EBV DNA juga dapat menjadi penanda untuk diagnosis
kekambuhan dan harus dievaluasi setidaknya setiap tahun. Evaluasi fungsi tiroid pada
pasien yang menerima radioterapi leher juga direkomendasikan serta evaluasi adanya
perubahan fungsi hipofisis harus dilakukan secara periodik.7

3.10 Prognosis
Prognosis pada pasien keganasan paling sering dinyatakan sebagai kesintasan 5
tahun. Menurut AJCC tahun 2010, kesintasan relatif 5-tahun pada pasien dengan KNF
Stadium I hingga IV secara berurutan sebesar 72%, 64%, 62%, dan 38%.
Angka kesintasan 5 tahun penderita KNF dengan kemoradiasi lebih besar
kemoterapi. Didapatkan angka kesintasan 5 tahun penderita KNF yang mendapat
kemoradiasi sebesar 44%. Sedangkan angka kesintasan 5 tahun penderita KNF yang
mendapat kemoterapi sebesar 28%.3
BAB IV

ANALISA KASUS

Pasien Tn. RIJ berusia 47 tahun dengan profesi wiraswasta dikonsultasikan dari poli
bedah umum setelah tindakan BE tumor submandibula dengan hasil pemeriksaan patologi
anatomis metastasis karsinoma. Pasien juga memiliki keluhan telinga tersumbat dan
tenggorokan nyeri sejak bulan Desember 2021. Keluhan ini disertai keluhan hidung tersumbat,
bloody discharge, benjolan pada leher yang menyebabkan pasien sulit menoleh. Pasien juga
mengeluhkan telinga berdenging yang hilang timbul, nyeri kepala sebelah kanan, mimisan
sedikit-sedikit dengan konsistensi kental serta suara sengau. Pada pemeriksaan fisik injeksi
siliar mata kanan dan kiri, mukosa mulut kering dengan sisa darah, pembesaran KGB
supraservikal dextra dan sinistra. Pemeriksaan THT didapatkan sekret kental bercampur darah
pada rongga hidung, pemeriksaan tenggorokan tidak dapat dilakukan karena pasien kesulitan
membuka mulut.

Gejala dan tanda yang terdapat pada pasien mengarah pada adanya massa nasofaring
dengan kecurigaan kanker nasofaring. Massa nasofaring dikonfirmasi oleh hasil pemeriksaan
nasoendoskopi yaitu terdapat massa pada nasal dextra pasien.

Berdasarkan epidemiologinya, kanker nasofaring merupakan tumor ganas terbanyak


di kepala dan leher dengan kejadian di Indonesia mencapai 6.2/100.000 kejadian dengan
13.000 kejadian tiap tahunnya dengan faktor risiko jenis kelamin laki-laki memiliki prevalensi
kejadian yang lebih tinggi faktor resiko lain yang terdapat pada pasien diantaranya pasien
merupakan perokok aktif sejak usia 17 tahun dengan Indeks Brinkmann = 180 (Perokok
ringan).

Keluhan pada pasien merupakan manifestasi klinis yang timbul akibat adanya massa
infiltratif pada area nasofaring. Telinga yang terasa tersumbat diakibatkan oleh penyumbatan
muara tuba eustachius oleh massa nasofaring, hal ini akan menyebabkan oklusi pada tuba
eustachius dan menimbulkan tekanan negatif di kavum timpani dan menimbulkan sensasi
telinga penuh. Tinnitus juga dapat timbul karena gangguan fungsi tuba eustachius akibat
ekstensi lateroposterior tumor ke ruang paranasopharyngeal.9

Keluhan yang berkaitan dengan hidung yang timbul pada pasien adalah hidung
tersumbat. Hal ini dikarenakan obstruksi saluran napas pada hidung akibat massa di area
nasofaring. Epistaksis minimal yang terdapat pada pasien mengarahkan ke kanker nasofaring,
tumor ganas memiliki kemampuan membentuk neovaskularisasi yang baru sebagai suplai
nutrisi. Sel tumor akan melepaskan VEGF (Vascular endothelial growth factor) dan
membentuk neovaskularisasi yang sifatnya rapuh sehingga mudah ruptur, menyebabkan
epistaksis minimal dan bloody discharge pada pasien, hal ini dapat dinilai dari adanya sekret
kental bercampur darah di cavum nasi dextra dan sinistra pasien. Kesulitan bernapas pada
pasien menyebabkan pasien bernafas melalui rongga mulut yang menyebabkan pada
pemeriksaan fisik, mukosa mulut pasien kering. Obstruksi pada area nasofaring juga
menimbulkan suara sengau (rhinolalia) yang ada pada pasien.9

Pasien mengeluhkan sakit saat membuka mulut, nyeri kepala unilateral dextra, sulit
menelan yang dapat terjadi akibat kompresi saraf kranial akibat kanker nasofaring. Massa
nasofaring yang tumbuh ke arah superior dapat menyebabkan erosi pada basis kranii
kemudian mengompresi saraf kranial. Kompresi pada nervus trigeminus cabang submandibula
(v3) dapat menyebabkan kesulitan membuka mulut karena parese otot masseter, otot pterygoid
lateral dan medial, otot buccal, otot temporalis. Kesulitan menelan pada pasien dapat
disebabkan oleh kompresi nervus hipoglossus pada area foramen jugularis oleh kanker
nasofaring. Gejala ini dapat menjadi pertanda ekstensi tumor yang meluas. Sensasi panas dan
nyeri pada wajah pasien merupakan tanda awal dari gejala neuralgia trigeminal yang juga
dapat timbul akibat kompresi saraf trigeminal. Keluhan terkait indra mata pada pasien adalah
sulit membuka mata, mata berair, mata merah, dan fotofobia. Gejala ini juga timbul dapat
disebabkan akibat kompresi nervus kranialis mata yang keluar dari foramen laserum,
walaupun pada pasien tidak dapatkan keluhan diplopia.9

Pasien merupakan kasus konsultasi dari departemen bedah umum setelah tindakan
eksisi luas tumor submandibula dengan hasil pemeriksaan patologi anatomi menunjukkan
dextra metastasis karsinoma. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran KGB
supraservikal dextra dengan ukuran 6 x 8 cm dan KGB sinistra 2 x cm dengan konsistensi
keras, immobile dan tidak nyeri. Pada kanker nasofaring, metastasis ke kelenjar leher dapat
berbentuk benjolan leher yang menunjukkan metastasis regional. Kanker nasofaring juga
dapat menyebar ke organ seluruh tubuh (metastasis jauh) seperti paru, tulang belakang, liver.

Penegakan diagnosis kanker nasofaring perlu dilakukan dengan pemeriksaan


penunjang yaitu biopsi untuk menegakkan diagnosis sitologi dari massa nasofaring.
Pemeriksaan lain yang dianjurkan adalah CT-scan kepala dan leher, USG Abdomen, Bone
scan, pemeriksaan darah untuk menegakkan staging sebagai dasar pertimbangan pengobatan.
Penatalaksanaan pada kanker nasofaring dibagi sesuai dengan stadium pasien, pilihan terapi
yang dapat diberikan adalah radioterapi dan kemoradiasi maupun terapi kombinasi.

Prognosis pasien ad vitam dubia, ad functionam dubia, ad sanationam dubia, menilai


angka kesintasan hidup pasien dengan kanker nasofaring stadium I adalah 78%.
BAB V

KESIMPULAN

Pasien dengan keluhan gejala kanker nasofaring yang terdiri dari gejala telinga, gejala hidung,
gejala nervus kranialis, gejala mata, gejala servikal yang didukung dengan pemeriksaan
nasoendoskopi didapatkan massa nasofaring dextra. Pemeriksaan lainnya ialah hasil patologi
anatomi biopsi KGB submandibula metastasis karsinoma. Diagnosis kerja pasien suspek
kanker nasofaring dengan saran pemeriksaan biopsi massa nasofaring sebagai golden
standard, CT-Scan kepala dan leher, USG abdomen, Bone scan, dan pemeriksaan darah
lengkap untuk mengetahui staging kanker. Pilihan tatalaksana yang diberikan adalah
radioterapi, kemoradiasi, dan kemoterapi sesuai dengan penegakan stadium.
DAFTAR PUSTAKA

1. PERHATI-KL. Panduan Praktik Klinis THT-KL. J Chem Inf Model.


2016;53(9):1689–99.1.
2. Widiastuti. Karsinoma Nasofaring: Kadar Bcl-2, CD44 dan VEGF. UNS Press. 2019
3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan: Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 7th ed. Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.
4. Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B, Gondhowiardjo S, et
al. Nasopharyngeal carcinoma in indonesia: Epidemiology, incidence, signs, and
symptoms at presentation. Chin J Cancer. 2012;31(4):185–96.
5. RI KEMENKES. KANKER NASOFARING. 2017.
6. Dhingra P, Dhingra S. Diseases of Ear, Nose, and Throat & Head and Neck Surgery.
7th ed. Elsevier; 2018.
7. Prof. Dr. dr. Farhat, M.Ked(ORL-HNS) STHTKL (editor). INTERNATIONAL
JOURNAL OF NASOPHARYNGEAL CARCINOMA (IJNPC). IJNPC. 2016;
8. Bossi P, Chan AT, Licitra L, Trama A, Orlandi E, Hui EP, et al. Nasopharyngeal
carcinoma: ESMO-EURACAN Clinical Practice Guidelines for diagnosis, treatment
and follow-up. Ann Oncol [Internet]. 2021;32(4):452–65. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.annonc.2020.12.007
9. Tobing, I. EARLY-STAGE NASOPHARYNGEAL CARCINOMA: A CASE
REPORT. INTERNATIONAL JOURNAL OF NASOPHARYNGEAL CARCINOMA
(IJNPC) 2019.. 1. 75-77. 10.32734/ijnpc.v1i2.1133.

Anda mungkin juga menyukai