Anda di halaman 1dari 53

PRESENTASI KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RHEUMATOID ARTHRITIS

Disusun oleh:

Febrian Halim (01073210005)

Pembimbing :

dr. Ian Huang, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE OKTOBER – DESEMBER 2023

TANGERANG
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1
BAB I ILUSTRASI KASUS 3
1.1 Identitas Pasien 3
1.2 Anamnesis 3
1.2.1 Keluhan Utama 3
1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang 3
1.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu 5
1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga 5
1.2.5 Riwayat Pengobatan dan Operasi 5
1.2.6 Riwayat Alergi 5
1.2.7 Riwayat Sosial dan Kebiasaan 5
1.3 Pemeriksaan Fisik 5
1.3.1 Pemeriksaan Umum 5
1.3.2 Status Generalis 6
1.4 Pemeriksaan Penunjang 9
1.5 Diagnosis 14
1.6 Tatalaksana 14
1.6.2 Medikamentosa 15
1.8 Resume 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 19
2.1 Definisi 19
2.2 Epidemiologi 19
2.3 Etiologi 20
2.4 Patogenesis 21
2.5 Patofisiologi 22
2.6 Manifestasi Klinis 24
2.7 Manifestasi Klinis Ekstra-artikular 27
2.8 Perjalanan Klinis 30
2.9 Pendekatan Diagnosis Nyeri Sendi 31
2.10 Diagnosis RA 34
2.11 Pemeriksaan Penunjang 35
2.11.1 Pemeriksaan Lab 35
2.11.2 Analisis Cairan Sinovial 36
2.11.3 Pemeriksaan Radiologis 36
2.12 Tatalaksana 37

1
2.13 Tatalaksana Medikamentosa 39
2.13.1 OAINS 39
2.13.2 Glukokortikoid 39
2.13.3 DMARD 40
2.14 Tatalaksana Non-medikamentosa 43
2.15 Prognosis 43
2.16 Komplikasi 44
BAB III PEMBAHASAN KASUS 45
BAB IV DAFTAR PUSTAKA 50

2
BAB I

ILUSTRASI KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. Helina
Usia : 58 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 12 November 2023

Tanggal Pemeriksaan : 15 November 2023


Nomor MR : 27-72-44

1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada hari Rabu,
15 November 2023 pukul 18.00 WIB di Bangsal Lt. 5 RSUS Siloam Lippo
Village.

1.2.1 Keluhan Utama


Pasien datang dengan keluhan nyeri tulang belakang yang memberat
sejak 6 hari SMRS

1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri pada tulang belakang yang
memberat sejak 6 hari SMRS setelah pasien melakukan gerakan
memutar untuk duduk dan duduk lebih rendah dari kursi roda. Nyeri
dirasakan terus-menerus yang dirasa seperti ditusuk-tusuk dengan
skala nyeri 10/10. Pasien juga mengaku nyeri menjalar kearah
panggul dan kedua kaki. Pasien juga mengeluhkan bahwa pasien
tidak dapat merasakan atau mengejan saat pasien buang air besar
dan buang air kecil. Pasien menyangkal adanya demam, batuk,

3
pilek, sesak, penurunan kesadaran, kejang, penurunan penglihatan,
mual, muntah, nyeri kepala, dan trauma.

Sebelumnya, 2010 (13 tahun SMRS) pasien mengalami


kesulitan dalam mengangkat kedua kaki serta nyeri pada tulang
belakang. Pasien sudah berobat ke dokter penyakit saraf dan
terdiagnosis mengalami HNP. Lalu pasien menjalani pengobatan
tradisional dan mengakui mengalami perbaikan setelah 4 kali
pengobatan.

Pada tahun 2021 (2 tahun SMRS) pasien mengaku nyeri pada


tulang belakang semakin berat lalu pasien berobat ke dokter
penyakit saraf dan dikatakan bahwa pasien mengalami keretakan
pada tulang belakang yang terdiagnosa melalui X-Ray. Lalu pasien
diberikan terapi berupa fisioterapi dan pereda nyeri serta disarankan
menggunakan korset. Setelah pengobatan tersebut pasien tirah
baring hingga sekarang.

Pada tahun 2015 (8 tahun SMRS), pasien mengalami kesulitan


saat berlutut dan bengkak pada lutut kanan. Pasien lalu berobat ke
dokter penyakit tulang dan terdiagnosa adanya robekan pada
ligamen dan meniskus lutut kanan sehingga direncanakan untuk
dilakukan tindakan artroskopi pada tahun 2018 atau 2019. Sebelum
dilakukan tindakan, pasien diberikan suntikan steroid pada sendi
dan dirasa keluhan membaik, sehingga dokter penyakit tulang
mencurigai akan adanya kondisi autoimun dan dirujuk ke dokter
penyakit dalam. Pada tahun 2020, pasien berobat ke dokter penyakit
dalam diberikan terapi berupa steroid dan golongan DMARD dan
dikatakan oleh pasien keluhan semakin membaik.

Pada tahun 2017 (6 tahun SMRS), pasien mengaku keluhan


serupa muncul pada ibu jari kiri, lutut kiri, dan seluruh jari pada
tangan kanan. Keluhan disertai adanya kaku dan nyeri terutama
pada pagi hari setelah pasien bangun dari tidur. Pasien mengaku

4
melanjutkan pengobatan sebelumnya dan keluhan semakin
membaik. Pasien juga mengaku menjalani tindakan pada ibu jari
tangan kiri dan keluhan membaik.
1.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menderita trauma kecelakaan lalu lintas 2004, batu ginjal
2013, Histerektomi 2012. Pasien memiliki riwayat hipertensi dan
konsumsi diltiazem HCL 1x200mg secara rutin.
1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyangkal adanya keluhan serupa pada keluarga

1.2.5 Riwayat Pengobatan dan Operasi


Pasien mengkonsumsi obat Diltiazem HCL 1x200 mg,
Methotrexate 1x15 mg (1x/minggu), Asam folat 1x5 mg,
Hydroxychloroquine 2x1, Amitriptyline 1x25 mg Multivitamin
(Vitamin K, B12, Vitamin C, Zinc, D3) 1x1

1.2.6 Riwayat Alergi


Pasien alergi amlodipine dan penicilin

1.2.7 Riwayat Sosial dan Kebiasaan


Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga yang tinggal
bersama suami dan anak, pasien mengaku telah tirah baring selama
2 tahun.

1.3 Pemeriksaan Fisik


1.3.1 Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : Compos Mentis


GCS : E4M6V5
Tanda-Tanda Vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg

5
Frekuensi nadi : 92 x/menit regular, isi cukup
Frekuensi napas : 20 x/menit regular
Suhu tubuh : 36,1oC
Saturasi oksigen : 98% on RA

1.3.2 Status Generalis

Kepala Normosefali, bekas luka (-)

Mata Palpebra: Edema (-/-)


Kornea: Jernih
Sklera: Ikterik (-/-)
Konjungtiva: Anemis (-/-)
Mata tidak cekung
Pupil bulat, isokor 2mm/2mm
RCL/RCTL (+/+)/(+/+)

Hidung Bentuk simetris


Perdarahan (-)
Sekret (-)
Deviasi septum (-)

Pernapasan cuping hidung (-)

Telinga Bentuk simetris, normotia


Bekas luka (-/-)
Deformitas (-/-)
Perdarahan (-/-)
Sekret (-/-)

Mulut Bibir : Simetris, sianosis (-)


Mukosa normal, lembab

6
Faring : Hiperemis (-)
Uvula : Ditengah, Simetris, Hiperemis (-)

Tonsil : T1/T1

Leher Bekas luka (-) Massa


(-) Deviasi trakea (-)
Pembesaran kelenjar tiroid (-)

Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Toraks

Jantung Inspeksi Iktus kordis (-)

Palpasi Iktus kordis (-), thrill (-), heave (-), JVP 5+2 cm (tidak
meningkat)
Perkusi Batas jantung kanan ICS 2 parasternal kanan, ICS 2
parasternal kiri, pinggang jantung ICS 3 midclavicula
kiri

Auskultasi Bunyi jantung S1 dan S2 normal

Suara tambahan S3, S4 (-), murmur (-), gallop (-)

Paru Inspeksi Pengembangan dada pada saat statis dan dinamis simetris,
pectus excavatum (-), pectus carinatum (-), retraksi
dinding dada (-)

Palpasi Pengembangan dada normal, simetris kanan dan kiri


Tactile fremitus simetris

Perkusi Sonor pada seluruh lapang paru

Auskultasi Vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonchi -/-

Abdomen

7
Inspeksi Bentuk abdomen datar
Massa (-)
Bekas luka (-)

Distensi abdomen (-)

Auskultasi Bising usus (+) 12 x/menit

Perkusi Timpani (+) pada seluruh regio abdomen


Shifting dullness (-)

Palpasi Turgor normal

Nyeri tekan (-)

Defans muskular (-)

Massa (-)
Pembesaran hati dan lien (-)
Ekstremitas

Inspeksi Sianosis (-)


Digiti II-III manus dextra → Swan neck deformity
Digiti IV-V manus sinistra → Boutonniere deformity
Luka bekas operasi Digiti I Manus Sinistra

Palpasi Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-), Kekuatan Motorik Ekstremitas
bawah 4/4 (saat masuk IGD) → 5/5 (rawat inap), Lateralisasi (-), tonus
(normal/normal)
Punggung

Inspeksi Deformitas (-), ROM terbatas karena nyeri (+)

Palpasi Nyeri tekan (-)

8
Gambar 1.1 Foto tangan kanan pasien

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium (15/07/2023)

Reference
Hematology Result Unit
Range
Immunology/Serology

Rheumatoid Factor Negative IU/mL Negative

CRP 44 mg/L 0-5

9
Pemeriksaan Laboratorium (12/11/2023)

Reference Range
Hematology Result Unit

Full Blood Count

Hemoglobin 12.00 g/dL 12.00 – 14.00

Hematocrit 38.60 % 37 – 43

Erythrocyte (RBC) 6.09 106/µL 4.00 – 5.00


White Blood Cell
8.610 103/µL 5.00 – 10.00
(WBC)

Platelet 455.000 103/ µL 150 - 440

MCV 63.40

MCH 19.70

MCHC 31.10

Basofil 0 % 0-1

Eosinofil 0 % 2–4

Neutrofil Batang 3 % 0–5

Neutrofil Segmen 83 % 50 – 70

Limfosit 9 % 25 – 40

Monosit 5 % 2–6

Na 135 mmol/L 135 – 145

K 4.3 mmol/L 3.1 – 6.1

Cl 102 mmol/L 95 – 109

10
Ur 26 mg/dl 10 - 50

Cr 0.57 mg/dL 0.6 - 1.1

eGFR 105.3 mg/dL > 90

GDS 98 mg/dL < 200

CRP 51 mg/L 0-5

Feses lengkap (13/11/23)


Reference Range
Stool Result Unit

Macroscopic

Color Brown

Consistency Smooth

Mucus Negative Negative


Blood
Negative Negative

Microscopic

Erytrocyte 2-3 /HPF 0-1

Leukocyte 5-6 /HPF 1-5

Amoeba Not Found

Egg Worm Negative % Negative

Yeast Negative Negative

Digestive

Amylum Negative %

11
Fat Negative %

Fibers Possitive %

Stool occult Blood Possitive % Negative

Pemeriksaan EKG (01/11/23)

Sinus Rhythm

Reguler, 93x/min

Normoaxis I(+) aVF (+)

P waves: 0.08 s

Pr interval : 0.16 s

QRS complex : 0.06 s

ST segment: 0.08 s ST depresi (-)

12
T waves: 0.16 s T inverted V1-3

Kesan: Sinus rhythm, 93x/min, T inverted V1-3

X-Ray Manus Bilateral (07/06/22)

Kesan:
Densitas tulang, Juxtaarticular osteoporotik manus bilateral, Suspek RA Manus bilateral

X-Ray Pelvis Vert. Lumbosacral AP+LAT (15/06/23)

13
Kesan:
Fraktur kompresi corpus vertebra L1, Degenerative vertebra lumbalis, Straight lumbalis,
Osteoporotik

X-Ray Pelvis Thoracolumbalis (12/11/23)

Kesan:
Fraktur kompresi corpus vertebra Th7 dan Th12-L1, Degenerative vertebra thoracolumbalis,
Straight thoracolumbalis, Osteoporotik.

1.5 Diagnosis
1. Seronegative RA
2. Fracture Kompresi Lumbalis
3. Osteoporosis
4. Hipertensi

1.6 Tatalaksana
1.6.1 Non-Medikamentosa
● Monitor tanda-tanda vital dan keadaan umum
● O2 Room Air
● IV NaCl 0.9% 500 ml/ 12 jam

14
● Diet Biasa
● Bed Rest
● Rawat bersama Sp.OT, Sp. S, dan Sp.PD

1.6.2 Medikamentosa
● Asam folat 1x5 mg (1x seminggu) PO

● Diltiazem HCl 1x200 mg PO

● Amitriptiline 1x25 mg PO

● Paracetamol 1000 mg IV PRN

● Ondansetron 3x4 mg IV

● Methotrexate 15 mg (1x seminggu) PO

● Hydroxychloroquine 1x200 mg PO

● Omeprazole 2x40 mg IV

● Ceftriaxone 2x2000 mg IV

● Ketorolac 3x30 mg IV

● Risedronate 1x70 mg PO

● Methylprednisone 2x62.5 mg IV

● Sucralfat syr 3x15 ml PO

● Gabapentin 2x100 mg PO

● Furosemide 40 mg 2x1 IM
● Spironolakton 25 mg 1x1 PO
● Lansoprazole 40 mg 2x1 IV
● Ondansetron 4 mg 2x1 IV

1.7 Prognosis
Ad Vitam : Dubia

15
Ad Functionam : Malam

Ad Sanationam : Malam

1.8 Resume
Pasien Ny. H usia 58 tahun datang dengan keluhan nyeri pada
tulang belakang yang memberat sejak 6 hari SMRS setelah pasien
melakukan gerakan memutar untuk duduk dan duduk lebih rendah dari
kursi roda. Nyeri dirasakan terus-menerus yang dirasa seperti ditusuk-tusuk
dengan skala nyeri 10/10. Pasien juga mengaku nyeri menjalar kearah
panggul dan kedua kaki. Pasien juga mengeluhkan bahwa pasien tidak
dapat merasakan atau mengejan saat pasien buang air besar dan buang air
kecil. Sebelumnya, 2010 (13 tahun SMRS) pasien mengalami kesulitan
dalam mengangkat kedua kaki serta nyeri pada tulang belakang. Pasien
sudah berobat ke dokter penyakit saraf dan terdiagnosis mengalami HNP.
Lalu pasien menjalani pengobatan tradisional dan mengakui mengalami
perbaikan setelah 4 kali pengobatan.

Pada tahun 2021 (2 tahun SMRS) pasien mengaku nyeri pada


tulang belakang semakin berat lalu pasien berobat ke dokter penyakit saraf
dan dikatakan bahwa pasien mengalami keretakan pada tulang belakang
yang terdiagnosa melalui X-Ray. Lalu pasien diberikan terapi berupa
fisioterapi dan pereda nyeri serta disarankan menggunakan korset. Setelah
pengobatan tersebut pasien mengaku dapat melakukan aktivitas sehari-hari
meskipun menggunakan tongkat untuk jalan.

Pada tahun 2015 (8 tahun SMRS), pasien mengalami kesulitan


saat berlutut dan bengkak pada lutut kanan. Pasien lalu berobat ke dokter
penyakit tulang dan terdiagnosa adanya robekan pada ligamen dan
meniskus lutut kanan sehingga direncanakan untuk dilakukan tindakan
artroskopi pada tahun 2018 atau 2019. Sebelum dilakukan tindakan, pasien
diberikan suntikan steroid pada sendi dan dirasa keluhan membaik,
sehingga dokter penyakit tulang mencurigai akan adanya kondisi autoimun

16
dan dirujuk ke dokter penyakit dalam. Oleh dokter penyakit dalam
diberikan terapi berupa steroid dan golongan DMARD dan dikatakan oleh
pasien keluhan semakin membaik.

Pada tahun 2017 (6 tahun SMRS), pasien mengaku keluhan


serupa muncul pada ibu jari tangan kiri, lutut kiri, dan seluruh jari pada
tangan kanan. Keluhan dirasakan kaku dan nyeri terutama pada pagi hari
setelah pasien bangun dari tidur. Pasien mengaku melanjutkan pengobatan
sebelumnya dan keluhan semakin membaik. Pasien juga mengaku
menjalani tindakan pada ibu jari tangan kiri dan keluhan membaik.

Pasien Riwayat Trauma kecelakaan lalu lintas 2004, Batu ginjal


2013, Histerektomi 2012. Pasien mengatakan obat rutin, Diltiazem HCL
1x200 mg, Methotrexate 1x15 mg (1x/minggu), Asam folat 1x5 mg,
Hydroxychloroquine 2x1, Amitriptyline 1x25 mg Multivitamin (Vitamin K,
B12, Vitamin C, Zinc, D3) 1x1, Pasien alergi penisilin dan amlodipine.
Pasien telah tirah baring selama 2 tahun.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan digiti II-III manus dextra


ditemukan swan neck deformity, digiti III-IV manus dextra ditemukan
Boutonniere deformity, dan digiti I manus sinistra ditemukan luka bekas
operasi. Pada pemeriksaan penunjang 15/07/23 ditemukan rhematoid factor
negative, CRP meningkat 44 mg/dL. Pada 12/11/23 Trombositosis 455.000,
MCV 63.40, MCH 19.70, MCHC 31.10, Neutrofilia 83, limfopenia 9, CRP
51. Pada pemeriksaan feses lengkap 13/11/23 ditemukan adanya Stool
occult blood pada feses.

Pada X-Ray Manus bilateral 07/06/22 ditemukan densitas


tulang, Juxtaarticular osteoporotik manus bilateral, Suspek RA Manus
bilateral. X-Ray Pelvis Vert. Lumbosacralis AP+LAT 15/06/23 ditemukan
Fraktur kompresi corpus vertebra L1, Degenerative vertebra lumbalis,
Straight lumbalis, Osteoporotik. X-Ray Pelvis Thoracolumbalis 12/11/23
ditemukan fraktur kompresi corpus vertebra Th7 dan Th12-L1,
Degenerative vertebra thoracolumbalis, Straight thoracolumbalis,

17
Osteoporotik.

18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan peradangan
artikular dan keterlibatan ekstra-artikular. RA merupakan penyakit peradangan kronis yang
disebabkan oleh interaksi antara gen dan faktor lingkungan yang terutama melibatkan sendi
sinovial.1,2

Rheumatoid arthritis pada umumnya berawal pada sendi perifer kecil, simetris, dan berkembang
hingga melibatkan sendi proksimal jika tidak ditangani. Peradangan sendi yang kronis dapat
memburuk dan menyebabkan kerusakan sendi permanen dengan hilangnya tulang rawan dan
erosi tulang. RA dengan durasi gejala kurang dari enam bulan didefinisikan sebagai RA dini, dan
bila gejala sudah muncul lebih dari enam bulan, maka didefinisikan sebagai RA laten.1,2

2.2 Epidemiologi

RA mempengaruhi sekitar 0,5-1% populasi orang dewasa di seluruh dunia. Penelitian


menunjukan kejadian RA secara keseluruhan telah menurun dalam beberapa dekade terakhir,
sedangkan prevalensinya tetap sama karena penderita RA hidup lebih lama. Insiden dan
prevalensi RA bervariasi berdasarkan lokasi geografis. Contohnya adalah suku asli Amerika
Yakima, Pima, dan Chippewa di Amerika Utara telah melaporkan tingkat prevalensi dalam
beberapa penelitian hampir 7%. Sebaliknya, banyak penelitian populasi di Afrika dan Asia
menunjukkan tingkat prevalensi RA yang lebih rendah, yaitu berkisar 0,2-0,4%.1,3

Seperti banyak penyakit autoimun lainnya, RA lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan
pria, dengan rasio 2–3:1. Selain itu, prevalensi RA di beberapa negara Amerika Latin dan Afrika
menunjukkan prevalensi penyakit yang lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki,
dengan rasio 6–8:1. Beberapa teori diajukan mengenai peran estrogen dalam patogenesis
penyakit, terutama pada peran estrogen dalam meningkatkan respon imun. Misalnya, beberapa
penelitian eksperimental menunjukkan bahwa estrogen dapat merangsang produksi faktor
nekrosis tumor a (TNF-α), suatu sitokin utama dalam patogenesis RA.3,4

19
2.3 Etiologi

Etiologi dari RA dipengaruhi secara signifikan oleh genetika, terutama interaksi antara genotipe
pasien dan faktor lingkungan. Heritabilitas arthritis rematoid adalah sekitar 40% hingga 65%
untuk arthritis rematoid seropositif dan 20% untuk arthritis rematoid seronegatif. Risiko
mengembangkan arthritis rematoid telah dikaitkan dengan alel HLA-DRB1: HLA-DRB104,
HLA-DRB101, dan HLA-DRB1*10. Alel HLA-DRB1 ini mengandung "shared epitope" (SE) di
wilayah hipervariabel ketiga rantai DRB1 mereka, yang telah dikaitkan dengan risiko
mengembangkan RA.1,5

Polimorfisme dalam gen lain terkait dengan RA, termasuk PAD14, PTPN22, CTLA4, IL-2RA,
STAT4, TRAF1, CCR6, dan IRF5. Polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) dalam gen
PSORS1C1, PTPN22, dan MIR146A terkait dengan penyakit dengan severitas yang tinggi.
Beberapa polimorfisme genetik terkait dengan RA dalam kelompok etnis yang berbeda.1,5,6

Epigenetika adalah perubahan genetik yang dapat diwariskan tanpa mengubah urutan DNA.
Perubahan ini dapat hadir dalam kromatin atau DNA. Contoh epigenetika adalah metilasi DNA,
modifikasi histon, dan regulasi yang dimediasi RNA non-coding. RA-FLS (fibroblast-like
synoviocytes) mengekspresikan tirozin fosfatase SHP-2 yang lebih banyak dibandingkan dengan
sinoviosit dari pasien osteoartritis (OA), sehingga mempromosikan sifat invasif RA-FLS.
Wilayah enhancer intron PTPN11 mengandung dua situs hipermetilasi, menyebabkan regulasi
epigenetik yang abnormal pada gen dan perubahan fungsi RA-FLS. 1,5,6

Merokok merupakan faktor risiko lingkungan paling kuat yang terkait dengan RA. Penelitian
menunjukkan individu dengan hasil antibodi protein anti-sitrulinasi (anti-CCP) yang positif,
terjadi interaksi antara shared epitope (SE) dan merokok yang meningkatkan risiko RA.1,5,6

Pemicu lingkungan lainnya adalah silika, asbestos, debu tekstil, dan P gingivalis. Hal ini
menunjukkan paparan eksternal antigen pada organ yang jauh dari sendi dapat memicu respons
inflamasi autoimun di sendi. Contohnya adalah paparan antigen pada paru-paru, orofaring, dan
saluran pencernaan. Perubahan dalam komposisi dan fungsi mikrobioma usus telah terkait
dengan RA. Komposisi mikrobioma usus menjadi terganggu pada pasien dengan RA (dysbiosis),

20
dimana pasien RA memiliki keragaman mikrobioma usus yang lebih rendah dibandingkan
dengan individu sehat. Ada peningkatan dalam genera ini: Actinobacteria, Collinsella,
Eggerthalla, dan Faecalibacterium. Collinsella mengubah permeabilitas mukosa usus dan telah
dikaitkan dengan peningkatan keparahan RA.1,5,6

2.4 Patogenesis

Artritis Reumatoid (RA) memiliki dua subtipe utama berdasarkan keberadaan anti-citrullinated
protein antibodies (ACPAs). RA ACPA-positif cenderung memiliki fenotipe klinis yang lebih
agresif, ditandai dengan peningkatan kerusakan sendi dan disabilitas dibandingkan dengan RA
ACPA-negatif. ACPA dapat ditemukan pada 67% pasien RA dan membantu mendiagnosa RA
pada pasien dengan arthritis yang belum terdiferensiasi. Penelitian menunjukkan asosiasi genetik
dan respons pengobatan yang berbeda antara dua subset tersebut. RA ACPA-negatif
menunjukkan pola asosiasi genetik yang berbeda, menunjukkan adanya patofisiologi yang
beragam. Pengobatan dengan metotreksat (MTX) atau rituksimab kurang efektif pada subset
ACPA-negatif. 1,2,7

ACPA memainkan peran sentral dalam mendiagnosis dan memprediksi RA, dengan kekhususan
tinggi (>97%) dalam praktik klinis. Antibodi ini menargetkan berbagai protein yang
tercitrullinasi di seluruh tubuh, termasuk fibrin, vimentin, fibronectin, dan histon. Faktor-faktor
genetik yang terkait dengan RA ACPA-positif, terutama HLA-DR1 dan HLA-DR4, diakui
sebagai "shared epitopes" (SEs), dan menjadi tanda signifikan pada produksi ACPA. Selain itu,
polimorfisme dalam gen protein tirosin fosfatase non-reseptor tipe 22 (PTPN22) dan
α1-antitripsin terlibat dalam RA ACPA-positif di berbagai etnis. Interaksi antara faktor genetik,
lingkungan, dan faktor familial membentuk risiko dan progresi RA ACPA-positif, menunjukkan
etiologi yang kompleks yang melampaui predisposisi genetik. 7-9

Faktor lingkungan berperan sebagai pemicu produksi ACPA pada RA. Paparan agen berbahaya,
seperti asap dan debu silika, mengaktifkan toll-like receptors (TLRs) di paru-paru menginduksi
sitrulinasi, dan berkontribusi pada patogenesis RA. Infeksi mikroba, terutama Porphyromonas
gingivalis, Aggregatibacter actinomycetemcomitans (Aa), dan virus Epstein-Barr (EBV),

21
terbukti dapat memicu proses patologis RA. Penelitian juga menunjukkan mikrobiota usus, diet
seperti asam lemak omega‑3, dan pengaruh hormonal berperan dalam patogenesis RA. 6-8

Gambar 2.1 Patogenesis RA

2.5 Patofisiologi

Setelah proses RA terpicu, terdapat tiga tahap dalam patofisiologi RA: tahap maturasi, tahap
targeting, dan tahap fulminant.

Tahap maturasi terjadi di jaringan limfoid sekunder atau sumsum tulang. Epitope spreading
adalah mekanisme penting yang mendahului onset gejala sendi. Hal ini terjadi ketika respons
imun pada epitope yang dilepaskan oleh self-antigens. Epitope spreading dan peningkatan
gradual titer ACPA dapat berlangsung bertahun-tahun sebelum onset gejala sendi. ACPA dapat
memicu nyeri, penurunan densitas tulang, dan peradangan pada RA. Identifikasi autoantigen RA
tertentu, seperti N-acetylglucosamine-6-sulfatase (GNS) dan filamin A (FLNA), berperan dalam
respons autoimun di sendi.2,9

Tahap targeting ditandai dengan sinovitis pada sendi kecil bilateral dan simetris. Tahap targeting
melibatkan interaksi rumit antara sistem kekebalan bawaan dan adaptif. Fibroblast-like

22
synoviocytes (FLS), monosit/makrofag, sel T dan B, sel dendritik, dan sel mast berinteraksi
untuk memicu inflammatory cascade. Disfungsi imunitas akan menyebabkan sinovitis kronis
dimana infiltrasi monosit/makrofag akan produksi sitokin inflamatorik (NF-kB dan produksi
TNF-a). ACPA dapat memicu pelepasan sitokin yang lebih banyak dari monosit/makrofag. Sel T
CD4 juga memperburuk peradangan dengan mempertahankan sinovitis kronis dan mendukung
produksi autoantibodi. Sel B juga berperan dalam presentasi antigen, pembentukan dan
pelepasan antibodi, dan pelepasan sitokin ke sendi. Sel endotelial dapat menyebabkan
angiogenesis. 2,8,9

Gambar 2.2 Patofisiologi Tahap Targeting dan Tahap Fulminan RA

Tahap Fulminan melibatkan hiperplasia sinovium, kerusakan kartilago, kehilangan tulang, dan
gejala sistemik pada tubuh. Hiperplasia sinovium yang ditandai oleh fibroblast-like synoviocytes
(FLS) yang disfungsional, proliferasi abnormal, dan memiliki resistensi apoptosis. Disfungsi

23
FLS akan menyebabkan lingkungan sendi yang mempertahankan kehidupan sel T dan sel B serta
akumulasi neutrofil. Hiperplasia sinovium juga melibatkan abnormalitas fungsi protein tumor
p53 dan overekspresi heat shock protein. 2,8,9

Hiperplasia sinovium menyebabkan kerusakan signifikan pada kartilago melalui adhesi dan
invasi. Sitokin proinflamasi, seperti IL-1 dan IL-17A, merangsang aktivitas FLS dan memicu
pelepasan enzim degradasi kartilago seperti MMPs. Sitokin pro-inflamasi mempromosikan
apoptosis kondrosit sehingga mengakibatkan degradasi kartilago. 2,8,9

Kehilangan tulang merupakan ciri patologis RA yang ditandai dengan kehilangan tulang yang
terlokalisasi, periartikular (subchondral bone marrow), dan sistemik. Kehilangan tulang
melibatkan diferensiasi osteoklas dan penekanan osteoblas. Faktor inflamasi, seperti TNF-α,
IL-6, dan IL-17, memicu diferensiasi osteoklas dan merusak pembentukan tulang. Terdapat dua
mekanisme autoimunitas yang bertindak sebagai pemicu kerusakan struktural tulang. Mekanisme
pertama berkaitan dengan pembentukan kompleks imun dan diferensiasi osteoklas yang
diperantarai reseptor Fc. Mekanisme kedua adalah pembentukan antibodi vimentin
anti-sitrullinasi terhadap protein yang paling tersitrullinasi, menjadikan osteoklas sebagai target
untuk antibodi protein anti-sitrullinasi (ACPA).Ikatan ACPA dengan prekursor osteoklas
menginduksi osteoklastogenesis, resorpsi tulang, dan pengeroposan tulang. Resorpsi tulang
menciptakan sebuah lubang dengan predileksi di lokasi dimana membran sinovial berinsersi ke
dalam periosteum. Tulang subkondral memainkan peran penting dalam menjaga homeostatis
sendi penahan beban, dan kerusakan tulang subkondral mengakibatkan degenerasi tulang rawan
artikular. Pada tahap awal RA, edema sumsum tulang ditemukan pada tulang subkondral dan
faktor pertumbuhan transformasi-β (TGF-β) pada tulang subkondral adalah permulaan kerusakan
sendi. RA memiliki dampak sistemik yang signifikan, termasuk peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular, pengaruh pada otak, paru-paru, kelenjar eksokrin, otot rangka, dan tulang. Pasien
RA juga memiliki risiko lebih tinggi untuk kanker, terutama hematologi dan ginjal. 2,8,9

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala dari RA terjadi karena proses peradangan pada sendi, tendon, dan bursae. Pasien sering
merasakan rasa kaku pada sendi setelah bangun tidur yang berlangsung lebih dari 1 jam yang

24
membaik dengan beraktivitas fisik. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi-sendi kecil
pada tangan dan kaki. Pola awal keterlibatan sendi pada RA adalah monoartikular, oligoartikular
(≤4 sendi), atau poliartikular (>5 sendi), biasanya dengan distribusi simetris. Beberapa pasien
dengan radang sendi akan muncul dengan terlalu sedikit sendi yang terkena untuk
diklasifikasikan sebagai penderita RA sehingga terdiagnosa sebagai arthritis tidak
berdiferensiasi. RA mempunyai jumlah sendi yang nyeri dan bengkak lebih banyak, hasil tesnya
positif untuk serum faktor rheumatoid (RF) atau antibodi anti-CCP, dan memiliki skor yang lebih
tinggi untuk cacat fisik. 1,2

Setelah proses penyakit RA sudah terjadi, sendi yang paling sering terkena adalah sendi
pergelangan tangan, metacarpophalangeal (MCP), dan sendi proksimal interphalangeal (PIP).
Keterlibatan sendi interfalang distal (DIP) dapat terjadi pada RA, namun biasanya manifestasi
osteoartritis. Tenosinovitis tendon fleksor merupakan ciri khas RA yang ditandai dengan
penurunan range of motion, berkurangnya kekuatan genggaman, dan trigger finger. 1,2

Kehancuran progresif sendi dan jaringan lunak dapat menyebabkan kelainan bentuk kronis yang
bersifat ireversibel. Contoh kelainan sendi tersebut adalah deviasi ulnaris terjadi akibat
subluksasi sendi MCP, dengan subluksasi phalanx proksimal ke sisi volar tangan. Hiperekstensi
sendi PIP dengan fleksi sendi DIP (“swan neck deformity”), fleksi sendi PIP dengan
hiperekstensi sendi DIP (“deformitas boutonnière”), dan subluksasi MCP pertama sendi dengan
hiperekstensi sendi interphalangeal (IP) pertama (“ Z-line deformity”) semua dapat terjadi akibat
kerusakan pada tendon, sendi dan jaringan lunak lainnya. 1,2

Peradangan pada styloid ulnaris dan tenosynovitis ekstensor carpi ulnaris dapat menyebabkan
subluksasi ulna distal sehingga terjadi “piano-key movement” pada ulnar styloid. Keterlibatan
sendi metatarsophalangeal (MTP) di kaki jika terjadi peradangan kronis dapat menyebabkan pes
planovalgus (“flat foot”). Sendi-sendi besar, termasuk lutut dan bahu, sering terkena penyakit
yang sudah ada meskipun sendi-sendi ini mungkin tidak menunjukkan gejala selama
bertahun-tahun setelah timbulnya penyakit.1,2

25
Keterlibatan tulang belakang servikal (terutama atlantoaxial) berpotensi menyebabkan mielopati
kompresif dan disfungsi neurologis. Manifestasi neurologis jarang merupakan tanda atau gejala
penyakit atlantoaksial, namun dapat berkembang seiring waktu dengan ketidakstabilan progresif
C1 pada C2. RA jarang menyerang tulang belakang dada dan pinggang. Kelainan radiografi
sendi temporomandibular umumnya terjadi pada pasien RA, namun umumnya tidak
berhubungan dengan gejala signifikan atau gangguan fungsional. 1,2

26
Gambar 2.3 Manifestasi Klinis RA

2.7 Manifestasi Klinis Ekstra-artikular

Manifestasi ekstra-artikular dapat terjadi dalam perjalanan penyakit RA, bahkan sebelum onset
arthritis. Faktor risiko terjadinya penyakit ekstra-artikular adalah merokok, onset awal disabilitas

27
fisik, dan pemeriksaan RF yang positif. Gejala ekstra-artikular yang paling sering ditemukan
adalah gejala konstitusional, nodul subkutan, sindrom Sjogren, nodul paru, anemia, perikarditis,
dan limfoma. 1,2,11

Gejala konstitusional RA adalah penurunan berat badan, demam, fatigue, malaise, depresi, dan
cachexia. Gejala tersebut menunjukkan tingkat peradangan yang tinggi pada tubuh. Demam
dengan suhu >38,3 C mengarah pada vaskulitis sistemik atau infeksi. Nodul subkutan terjadi
pada 30-40% pasien, terutama pasien dengan severitas penyakit yang tinggi, serum RF positif,
dan erosi sendi pada pemeriksaan radiografis. Palpasi nodul subkutan teraba keras, tidak ada
nyeri tekan, dan melekat pada periosteum, tendon, atau bursae. Nodul subkutan memiliki
predileksi pada daerah yang mengalami trauma atau iritasi berulang seperti pada lengan bawah,
daerah sakral, dan tendon Achilles. Nodul juga dapat berkembang pada parenkim paru, pleura,
perikardium, dan peritoneum. Sindrom Sjogren sekunder sering terjadi pada RA. Sindrom
Sjogren ditandai dengan keratokonjungtivitis sicca (“dry eye”) atau xerostomia (“dry mouth”)
dengan penyakit connective tissue (seperti RA). Sekitar 10% pasien RA menderita sindrom
Sjogren. 1,2,11

Pleuritis adalah manifestasi klinis paru-paru yang paling umum dari RA. Pleuritis dapat
menyebabkan pleuritic chest pain, sesak nafas, pleural friction rub, dan efusi. Efusi pleura
cenderung bersifat eksudatif dengan peningkatan monosit dan neutrofil. Interstitial Lung Disease
(ILD) juga dapat terjadi pada pasien RA yang ditandai oleh gejala batuk kering dan sesak napas
yang progresif. ILD dapat terkait dengan merokok dan umumnya ditemukan pada pasien dengan
aktivitas penyakit yang lebih tinggi. Diagnosis dapat dengan mudah dilakukan dengan tomografi
komputer dada beresolusi tinggi (CT). Pengujian fungsi paru menunjukkan pola restriktif
(misalnya, kapasitas paru total yang berkurang) dengan kapasitas difusi karbon monoksida yang
berkurang (DLCO). Keberadaan ILD memberikan prognosis yang buruk. Prognosis ini tidak
seburuk idiopatik fibrosis paru (misalnya, pneumonitis interstisial biasa) karena ILD sekunder
pada RA memberikan respons yang lebih menguntungkan daripada ILD idiopatik terhadap terapi
imunosupresif (Bab 315). Nodul paru dapat bersifat tunggal atau multipel. Sindrom Caplan
adalah subset langka dari nodulosis paru yang ditandai oleh perkembangan nodul dan

28
pneumokoniosis setelah paparan silika. Temuan paru yang kurang umum lainnya termasuk
bronkiolitis respiratoris dan bronkiektasis.1,2,11

Manifestasi klinis jantung dalam RA yang paling sering terjadi adalah pada perikardium. Namun,
perikarditis hanya terjadi pada <10% pasien RA. Keterlibatan perikardial dapat terdeteksi pada
hampir 50% pasien RA melalui echocardiogram atau studi otopsi. Kardiomiopati dapat
disebabkan oleh miokarditis nekrotik atau granulomatosis, penyakit arteri koroner, atau disfungsi
diastolik. Kardiomiopati juga dapat bersifat subklinis dan hanya teridentifikasi melalui EKG atau
MRI jantung. Otot jantung dapat mengandung nodul reumatoid atau terinfiltrasi dengan amiloid,
namun hal tersebut jarang terjadi. Regurgitasi mitral adalah kelainan katup paling umum pada
RA dan memiliki prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Selain itu,
gagal jantung kongestif terjadi dua kali lipat lebih tinggi pada pasien RA dibandingkan pada
populasi umum.1,2,11

Vaskulitis reumatoid umumnya terjadi pada pasien dengan penyakit RA kronis, uji positif untuk
RF serum, dan hipokomplementemia. Insiden keseluruhan telah menurun secara signifikan
dalam dekade terakhir menjadi kurang dari 1% dari pasien. Manifestasi klinis dermatologis
diantara lain adalah petikia, purpura, infark digital, gangren, livido retikularis, dan ulserasi besar
yang menyakitkan pada ekstremitas bawah. Ulserasi vaskulitik, yang mungkin sulit dibedakan
dari yang disebabkan oleh venous insufficiency, dapat diobati dengan agen imunosupresif dan
cangkok kulit (“skin grafting”). 1,2,11

Kelainan hematologi paling umum yang terjadi pada RA adalah anemia normokromik,
normositik. Derajat anemia sejalan dengan derajat peradangan dan berkorelasi dengan tingkat
protein C-reactive (CRP) dan laju sedimentasi eritrosit (ESR) serum.Trombositosis juga dapat
terjadi pada RA sebagai reaktan fase akut. Immune-mediated thrombocytopenia jarang terjadi
dalam penyakit ini. Sindrom Felty didefinisikan oleh triad klinis neutropenia, splenomegali, dan
RA nodular dan terlihat pada kurang dari 1% pasien. Sindrom Felty biasanya terjadi pada tahap
akhir RA yang parah dan lebih umum terjadi pada orang kulit putih dibandingkan dengan
kelompok ras lainnya. Leukemia limfosit granular besar sel T (T-LGL) dapat memiliki presentasi
klinis yang serupa dan sering terjadi bersamaan dengan RA. T-LGL ditandai oleh pertumbuhan

29
kronissel LGL yang menyebabkan neutropenia dan splenomegali. T-LGL dapat berkembang
pada awal perkembangan RA. Leukopenia selain dari kedua gangguan ini jarang terjadi dan
paling sering disebabkan oleh pengobatan obat.1,2,11

Penelitian menunjukkan peningkatan risiko 2-4x lipat terkena limfoma pada pasien RA
dibandingkan dengan populasi umum. Tipe histopatologis limfoma yang paling umum adalah
limfoma sel B besar difus. Risiko mengembangkan limfoma meningkat jika pasien memiliki
tingkat aktivitas penyakit tinggi atau sindrom Felty.1,2,11

Osteoporosis lebih umum terjadi pada pasien dengan RA daripada pada populasi umum, dengan
tingkat prevalensi sekitar 20-30%. Peradangan pada sendi kemungkinan menyebar ke bagian
tulang sekitarnya sehingga mengaktifkan osteoklas. Peningkatan aktivitas osteoklas akan
menyebabkan kehilangan tulang secara umum. Penggunaan kronis glukokortikoid dan
immobility juga berkontribusi pada osteoporosis. Patah tulang pinggul lebih mungkin terjadi pada
RA dan menjadi prediktor signifikan dalam morbiditas dan mortalitas. 1,2,11

Pria dan wanita pasca menopause dengan RA memiliki tingkat testosteron, hormon luteinizing
(LH), dan dehidroepiandrosteron (DHEA) yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi
umum. Oleh karena itu, hypoandrogenism dipikirkan memainkan peran dalam patogenesis RA
atau muncul sebagai konsekuensi dari respons inflamasi kronis. Namun, penggunaan terapi
glukokortikoid kronis dapat menyebabkan hyperandrogenism akibat inhibisi LH dan sekresi
hormon folikel-stimulasi (FSH) dari kelenjar pituitari. Tingkat testosteron yang rendah juga
dapat menyebabkan osteoporosis. Oleh karena itu, pasien RA yang pria dengan
hypoandrogenism sebaiknya dipertimbangkan untuk terapi penggantian androgen.1,2,11

2.8 Perjalanan Klinis

Perjalanan klinis RA bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh usia, onset, jenis kelamin, genotipe,
fenotipe (yaitu manifestasi ekstraartikular atau variasi RA), dan kondisi komorbid. Tidak ada
cara sederhana untuk memprediksi perjalanan klinis. Sebanyak 10% pasien dengan arthritis
inflamasi memenuhi kriteria klasifikasi ACR untuk RA akan mengalami remisi spontan dalam 6
bulan (terutama pasien seronegatif). Sebagian besar pasien akan menunjukkan pola aktivitas

30
penyakit yang persisten dan progresif yang naik turun dalam intensitas. Sebagian kecil pasien
akan menunjukkan serangan arthritis inflamasi yang intermittent dan berulang-ulang yang
berselang dengan periode quiescence. Terakhir, terdapat pola RA yang agresif dengan progresi
penyakit sendi yang parah. Namun, pola severitas berat ini menjadi langka dalam era pengobatan
modern. 1,11

Disabilitas dapat diukur dengan Health Assessment Questionnaire (HAQ). Hasil HAQ dapat
menunjukkan perburukan kecacatan dan progresi penyakit. Kecacatan dapat disebabkan oleh
kerusakan sendi kumulatif dimana kerusakan kartilago dan tulang bersifat irreversibel. Pada awal
penyakit, luas peradangan sendi adalah penentu utama kecacatan. Pada tahap penyakit lanjut,
jumlah kerusakan sendi menjadi faktor kontribusi yang dominan. Penelitian menunjukkan >50%
penderita RA tidak dapat bekerja 10 tahun setelah onset penyakit mereka. Namun, angka ini
menurun karena penggunaan terapi baru dan intervensi pengobatan yang lebih awal. 7,10

Angka mortalitas keseluruhan pada RA dua kali lebih tinggi daripada populasi umum. Penyebab
kematian paling tinggi adalah penyakit jantung iskemik dan infeksi. Median life expectancy
diperpendek sekitar 7 tahun untuk pria dan 3 tahun untuk wanita dibandingkan dengan populasi
kontrol. Pasien dengan risiko lebih tinggi untuk kelangsungan hidup yang dipersingkat adalah
mereka dengan keterlibatan ekstraartikular sistemik, kapasitas fungsional rendah, status
sosioekonomi rendah, pendidikan rendah, dan penggunaan prednison kronis.1,10

2.9 Pendekatan Diagnosis Nyeri Sendi

Pendekatan diagnosis untuk keluhan nyeri pada sistem muskuloskeletal pertama-tama harus
dibedakan terlebih dahulu kondisi “red flag” (seperti fraktur, artritis septik, dan gout”. Jika tidak,
pendekatan dilanjutkan untuk membedakan kondisi (1) artikular atau non-artikular, (2)
inflamatorik atau non-inflamatorik, (3) akut atau kronis, dan (4) monoartikular atau
poliartikular.1

Evaluasi muskuloskeletal perlu mengidentifikasi anatomi keluhan pasien. Nyeri artikular


melibatkan struktur dalam sendi (synovium, cairan sinovial, kartilago, ligamen intraartikular,
kapsul sendi, dan tulang juxta-articular). Karakteristik nyeri artikular adalah nyeri dalam (deep

31
pain) atau merata, range of motion (ROM) terbatas, pembengkakan (proliferasi sinovial, efusi,
atau pembesaran tulang), krepitasi, ketidakstabilan, dan deformitas. Nyeri non-artikular
melibatkan struktur diluar sendi (ligamen ekstra-artikular, tendon, bursa, otot, fascia, tulang,
saraf, kulit). Karakteristik nyeri non-artikular adalah nyeri saat gerakan aktif (namun tidak saat
gerakan pasif), nyeri pada titik dekat struktur artikular, dipicu oleh gerakan atau posisi tertentu,
temuan pemeriksaan fisik yang jauh dari kapsul sendi, dan jarang menunjukkan pembengkakan,
krepitasi, ketidakstabilan, atau deformitas sendi.1

Proses patologis pada nyeri muskuloskeletal dapat dibagi menjadi inflamatorik dan
non-inflamatorik. Etiologi gangguan inflamasi adalah infeksi, kristal (gout, pseudogout),
gangguan sistem imun (artritis rheumatoid [RA], lupus eritematosus sistemik [SLE]), reaktif
(demam rematik, arthritis reaktif), atau idiopatik. Anamnesis yang mendukung gangguan
inflamasi adalah kekakuan sendi yang berlangsung >1 jam yang membaik dengan aktivitas,
Pemeriksaan fisik yang mendukung gangguan inflamasi adalah empat tanda kardinal inflamasi
(eritema, kehangatan, nyeri, atau pembengkakan) dan gejala sistemik (kelelahan, demam, ruam,
penurunan berat badan). Pemeriksaan penunjang yang mendukung gangguan inflamasi adalah
laju sedimentasi eritrosit (ESR), C-reactive protein (CRP), trombositosis, anemia penyakit
kronis, atau hipoalbuminemia.1

Etiologi gangguan non-inflamasi adalah trauma (robekan rotator cuff), penggunaan berulang
(bursitis, tendinitis), degenerasi atau perbaikan yang tidak efektif (OA), neoplasma (sinovitis
villonodular pigmen), atau amplifikasi nyeri (fibromialgia). Anamnesis yang mendukung
gangguan inflamasi adalah kekakuan intermittent (juga dikenal sebagai gel phenomenon) yang
durasinya singkat (<60 menit) dan memburuk dengan aktivitas. Gel phenomenon umumnya
terjadi pada siang hari. Pemeriksaan fisik yang mendukung gangguan non-inflamasi adalah tidak
ditemukan empat tanda kardinal inflamasi. Pemeriksaan penunjang yang mendukung gangguan
non-inflamasi adalah tidak ditemukan peningkatan lab yang umumnya meningkatkan pada
gangguan inflamasi seperti laju sedimentasi eritrosit (ESR), C-reactive protein (CRP),
trombositosis, anemia penyakit kronis, atau hipoalbuminemia.1

32
Pendekatan diagnosis juga dipertimbangkan antara populasi muda dan lansia. Trauma, fraktur,
sindrom penggunaan berlebihan, dan fibromialgia termasuk penyebab nyeri sendi yang paling
umum dan perlu dipertimbangkan selama pertemuan awal. Pasien berusia kurang dari 60 tahun
umumnya terkena gangguan penggunaan berulang/tekanan, gout (pria saja), RA,
spondyloarthritis, dan arthritis infeksi (jarang). Pasien berusia di atas 60 tahun umumnya terkena
OA, arthritis kristal (gout dan pseudogout), polimialgia rheumatika, patah tulang karena
osteoporosis, dan arthritis septik (jarang). Kondisi-kondisi ini antara 10-100 kali lebih umum
daripada kondisi autoimun serius lainnya, seperti SLE, skleroderma, polimiositis, dan vaskulitis.1

Perbedaan etiologi keluhan juga dapat dibedakan berdasarkan profil pasien. Diagnosis tertentu
lebih sering terjadi pada kelompok usia yang berbeda. SLE dan arthritis reaktif lebih sering
terjadi pada usia muda, sementara fibromialgia dan RA umum pada usia pertengahan, dan OA
dan polimialgia rheumatika lebih umum di antara lanjut usia. Gout, spondyloarthritis, dan
ankylosing spondylitis lebih umum pada pria, sedangkan RA, fibromialgia, dan lupus lebih
sering terjadi pada wanita.1

Fitur diagnostik penting yang dapat dibagi menjadi onset, evolusi, dan durasi. Gangguan
muskuloskeletal biasanya diklasifikasikan sebagai akut atau kronis berdasarkan durasi gejala
yang kurang dari atau lebih dari 6 minggu. Onset gangguan akut terjadi pada arthritis septik atau
gout, sementara OA, RA, dan fibromialgia mungkin memiliki presentasi lebih lambat. Keluhan
pasien dapat berkembang dengan cara yang berbeda dan diklasifikasikan sebagai kronis (OA),
intermittent (artritis kristal atau Lyme), migran (demam rematik, arthritis gonokokal atau viral),
atau aditif (RA, psoriatik arthritis). Arthropati akut cenderung bersifat infeksi, kristal, atau
reaktif. Kondisi kronis melibatkan artritis noninflamasi atau imunologis (seperti OA, RA) dan
gangguan nonartikular (seperti fibromialgia).1

Gangguan artikular diklasifikasikan berdasarkan jumlah sendi yang terlibat, sebagai monartikular
(satu sendi), oligoartikular atau pauciartikular (dua atau tiga sendi), atau poliartikular (empat atau
lebih sendi). Artritis kristal dan infeksi sering kali bersifat mono- atau oligoartikular, namun OA
dan RA adalah gangguan poliartikular. Gangguan nonartikular dapat diklasifikasikan sebagai
fokal atau luas. Keluhan sekunder terhadap tendinitis atau sindrom terowongan karpal biasanya

33
bersifat fokal, sedangkan kelemahan dan mialgia yang disebabkan oleh polimiositis atau
fibromialgia terjadi pada banyak tempat. Keterlibatan sendi dalam RA cenderung simetris dan
poliartikular. Spondyloarthritis, arthritis reaktif, gout, dan sarkoid umumnya bersifat asimetris
dan oligoartikular. OA dan psoriatik arthritis dapat bersifat simetris atau asimetris dan oligo- atau
poliartikular. Ekstremitas atas sering terlibat pada RA dan OA, sementara arthritis ekstremitas
bawah merupakan karakteristik dari arthritis reaktif dan gout awal. Keterlibatan tulang belakang
aksial umum pada OA dan ankylosing spondylitis. Keterlibatan tulang belakang jarang
ditemukan pada RA, dengan pengecualian pada tulang belakang serviks.1

Mekanisme terjadinya keluhan berperan dalam pendekatan diagnosis seperti trauma


(osteonekrosis, robekan meniskus), pemberian obat, infeksi sebelumnya atau bersamaan (demam
rematik, arthritis reaktif, hepatitis), atau penyakit komorbid. Beberapa penyakit penyerta dapat
memiliki konsekuensi muskuloskeletal, terutama untuk diabetes mellitus (sindrom terowongan
karpal), kegagalan ginjal (gout), depresi atau insomnia (fibromialgia), mieloma (nyeri punggung
bawah), kanker (miositis), dan osteoporosis (patah tulang) atau ketika menggunakan obat-obatan
tertentu seperti glukokortikoid (osteonekrosis, arthritis septik) dan diuretik atau kemoterapi
(gout).1

2.10 Diagnosis RA

Diagnosis klinis RA didasarkan pada manifestasi klinis arthritis inflamasi kronis, hasil
laboratorium dan hasil pemeriksaan radiografis. Pada tahun 2010, American College of
Rheumatology (ACR) dan European League Against Rheumatism (EULAR) merevisi kriteria
klasifikasi RA ACR tahun 1987. Penerapan kriteria yang baru direvisi menghasilkan skor 0–10,
dengan skor ≥ 6 memenuhi diagnosis RA yang pasti. Kriteria klasifikasi baru ini mencakup uji
positif untuk antibodi anti-CCP serum (juga disebut ACPA, anti-citrullinated peptide antibodies)
karena memiliki spesifisitas lebih besar dibandingkan dengan uji positif untuk RF. Kriteria
klasifikasi baru tidak mempertimbangkan adanya nodul reumatoid atau kerusakan sendi
radiografis karena temuan ini jarang terjadi pada RA awal.. Keberadaan erosi sendi radiografis
atau nodul subkutan dapat memberikan informasi pada tahap lebih lanjut RA. 1,12

34
Gambar 2.4 Kriteria Klasifikasi untuk RA

2.11 Pemeriksaan Penunjang

2.11.1 Pemeriksaan Lab

Pasien dengan penyakit inflamasi sistemik seperti RA seringkali akan menunjukkan peningkatan
penanda inflamasi seperti ESR atau CRP. Deteksi RF dan antibodi anti-CCP serum penting
dalam membedakan RA dari penyakit poliartikular lain. Namun, RF kurang spesifik secara
diagnostik dan dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit inflamasi kronis lainnya. 12,13

35
Isotipe IgM, IgG, dan IgA dari RF terjadi dalam serum pasien dengan RA, meskipun isotipe IgM
adalah yang paling sering diukur oleh laboratorium komersial. RF IgM serum telah ditemukan
pada 75–80% pasien dengan RA. Oleh karena itu, hasil negatif RF IgM tidak mengecualikan
keberadaan penyakit ini. Selain itu, RF IgM juga ditemukan dalam penyakit jaringan ikat
lainnya, seperti sindrom Sjögren primer, lupus eritematosus sistemik, dan krioglobulinemia
esensial campuran tipe II, dan penyakit infeksi kronis seperti endokarditis bakteri subakut dan
hepatitis B & C. Serum RF juga dapat terdeteksi pada 1–5% populasi sehat.12,13

Antibodi anti-CCP serum memiliki sensitivitas sekitar sama dengan RF serum dan spesifisitas
diagnostik RA lebih tinggi tinggi dengan RF, mendekati 95%. Oleh karena itu, uji positif untuk
antibodi anti-CCP pada artritis inflamasi dini bermanfaat untuk membedakan RA dari arthritis
lainnya. Keberadaan RF atau antibodi anti-CCP juga memiliki signifikansi prognostik, dengan
antibodi anti-CCP menunjukkan nilai terbesar untuk memprediksi hasil yang lebih buruk.12,13

2.11.2 Analisis Cairan Sinovial

Analisis cairan sinovial dari pasien RA menunjukkan keadaan inflamasi. Jumlah leukosit dalam
cairan sinovial dapat bervariasi, tetapi umumnya berkisar antara 5000-50.000 WBC/μL
dibandingkan dengan <2000 WBC/μL untuk penyakit noninflamasi seperti osteoarthritis.
Leukosit yang dominan dalam cairan sinovial adalah neutrofil. Secara klinis, analisis cairan
sinovial paling berguna untuk mengkonfirmasi arthritis inflamasi dan menyingkirkan infeksi atau
arthritis yang disebabkan oleh kristal seperti gout dan pseudogout.1

2.11.3 Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiografis sendi adalah modalitas untuk mendiagnosis RA dan melacak


perkembangan kerusakan sendi. Rontgen biasa adalah modalitas imaji paling umum, tetapi
terbatas pada visualisasi struktur tulang dan keadaan kartilago artikular. Pemeriksaan MRI dan
ultrasonografi menawarkan nilai tambah dalam mendeteksi perubahan pada jaringan lunak
seperti sinovitis, tenosinovitis, dan efusi, serta sensitivitas yang lebih besar untuk
mengidentifikasi kelainan tulang. Oleh karena itu, radiografi biasa diandalkan dalam praktek
klinis untuk tujuan diagnosis dan pemantauan sendi yang terkena. MRI dan ultrasonografi dapat

36
memberikan informasi diagnostik tambahan yang dapat membimbing pengambilan keputusan
klinis. Ultrasonografi muskuloskeletal dengan power Doppler semakin banyak digunakan dalam
praktek klinis reumatologi untuk mendeteksi sinovitis dan erosi tulang.1,12,13

Temuan rontgen klasik pada RA awal adalah osteopenia periartikular. Namun, temuan ini sulit
dikenali pada film rontgen biasa, terutama pada sinar-X terdigitalisasi yang lebih baru. Temuan
lain pada rontgen biasa melibatkan pembengkakan jaringan lunak, kehilangan ruang sendi
simetris, dan erosi subkondral. Hal ini paling sering ditemukan pada pergelangan tangan dan
tangan (MCP dan PIP) serta kaki (MTP). Pada kaki, lateral MTP kelima sering kali menjadi
target pertama, tetapi sendi MTP lainnya juga dapat terlibat pada saat yang sama. Hasil rontgen
biasa pada RA lanjut dapat mengungkapkan tanda-tanda kerusakan yang parah, termasuk
subluksasi dan runtuhnya sendi.1,12,13

MRI memiliki sensitivitas terbesar untuk mendeteksi sinovitis dan efusi sendi, serta perubahan
dini pada tulang dan sumsum tulang. MRI dapat deteksi abnormalitas jaringan lunak sebelum
perubahan tulang tercatat pada rontgen. Edema sumsum tulang merupakan tanda awal artritis
inflamasi dan dapat memprediksi perkembangan erosi tulang.. Biaya dan ketersediaan MRI
adalah faktor utama yang membatasi penggunaan klinis rutinnya.1,12,13

Ultrasonografi, termasuk power color Doppler, memiliki kemampuan untuk mendeteksi lebih
banyak erosi daripada rontgen biasa, terutama pada sendi yang mudah diakses. USG juga
mendeteksi sinovitis dan peningkatan vaskularitas sendi. Keterbatasan menggunakan
ultrasonografi adalah tergantung pada keahlian sonografer. Keuntungan USG adalah portabilitas,
tanpa radiasi, dan biaya rendah dibandingkan dengan MRI.1,12,13

2.12 Tatalaksana

Tujuan tatalaksana RA dapat dibagi menjadi empat yaitu terapi agresif pada awal penyakit untuk
mencegah terjadinya deformitas, modifikasi terapi menggunakan terapi kombinasi,
individualisasi terapi untuk memaksimalkan respons dan meminimalisir efek samping, dan
mencapai remisi. Terapi pada umumnya berawal dengan penggunaan methotrexate dan

37
bertransisi menggunakan terapi kombinasi seperti methotrexate, sulfasalazine dan
hydroxychloroquine. 1,2,14

Panduan pengobatan ACR-EULAR 2012 membedakan RA awal (durasi penyakit <6 bulan) dan
RA kronis. Guideline memberikan rekomendasi menambahkan terapi DMARD setelah 3 bulan
jika aktivitas penyakit moderat/tinggi dan persisten. Jika penyakit masih persisten setelah 3 bulan
terapi DMARD intensif, penambahan agen biologis diperlukan. Pengobatan dengan agen
biologis atau terapi DMARD kombinasi agresif juga direkomendasikan sebagai terapi awal pada
beberapa pasien dengan aktivitas penyakit tinggi dan prognosis buruk. Beberapa pasien mungkin
tidak merespons terhadap obat anti-TNF atau mungkin tidak toleran terhadap efek sampingnya.
Responden awal terhadap agen anti-TNF yang kemudian memburuk direkomendasikan untuk
beralih ke agen anti-TNF lainnya. Guideline merekomendasikan untuk mengalih ke anti-TNF
atau agen biologis non-TNF jika anti-TNF yang sekarang diberikan tidak efektif setelah 3
bulan.1,2,14

Tujuan optimal dari terapi adalah remisi atau aktivitas penyakit rendah, namun sebagian besar
pasien tidak pernah mencapai remisi. I. Remisi lengkap telah didefinisikan dengan ketat sebagai
total absennya semua peradangan artikular dan ekstraartikular serta aktivitas imunologis yang
terkait dengan RA. Namun, bukti untuk keadaan ini dapat sulit ditunjukkan dalam praktek klinis.
Dalam upaya untuk menstandarisasi dan menyederhanakan definisi remisi untuk uji klinis, ACR
dan EULAR mengembangkan dua definisi operasional sementara remisi dalam RA: (1) jumlah
sendi yang nyeri ≤ 1, sendi bengkak ≤ 1, CRP ≤ 1mg/dL, dan penilaian global pasien ≤ 1 (skala
0-10) atau (2) memiliki skor SDAI komposit <3.3. SDAI dihitung dengan menjumlahkan angka
sendi yang sensitif dan bengkak (menggunakan 28 sendi), penilaian global pasien (skala 0–10),
penilaian global dokter (skala 0–10), dan CRP (dalam mg/dL). Definisi remisi ini tidak
mempertimbangkan kemungkinan sinovitis subklinis atau bahwa kerusakan sendiri dapat
menghasilkan sendi yang sensitif atau bengkak. Kriteria remisi tetap bermanfaat untuk
menetapkan tingkat pengendalian penyakit yang kemungkinan akan menghasilkan kemajuan
kerusakan struktural dan cacat minimal atau tidak ada.1,2,14

38
2.13 Tatalaksana Medikamentosa

Metotreksat adalah obat disease-modifying antirheumatic drug (DMARD) pilihan pertama untuk
pengobatan RA awal. Kedua, pengembangan agen biologis yang sangat efektif yang dapat
digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan metotreksat. Ketiga, penelitian menunjukan
regimen DMARD kombinasi memiliki efikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
metotreksat saja. 14,15

Obat-obatan yang digunakan untuk pengobatan RA dapat dibagi menjadi: obat antiinflamasi
nonsteroid (OAINS); glukokortikoid, seperti prednison dan metilprednisolon; DMARD
konvensional; dan DMARD biologis. Meskipun beberapa pasien RA dapat ditangani
menggunakan satu jenis DMARD, kebanyakan kasus memerlukan penggunaan regimen
DMARD kombinasi yang bervariasi selama perjalanan pengobatan. Penggunaan jenis obat
tergantung pada fluktuasi aktivitas penyakit dan munculnya toksisitas terkait obat dan
komorbiditas.14,15

2.13.1 OAINS

OAINS sebelumnya dipakai sebagai obat wajib semua terapi RA, tetapi sekarang dianggap
sebagai terapi tambahan untuk pengelolaan gejala yang tidak terkendali oleh obat lain. OAINS
memiliki sifat analgesik dan anti-inflamasi. Efek antiinflamasi OAINS berasal dari
kemampuannya untuk menghambat secara nonselektif siklooksigenase (COX)-1 dan COX-2.
Meskipun hasil uji klinis menunjukkan OAINS kurang lebih setara dalam efikasitasnya,
pengalaman menunjukkan bahwa beberapa individu mungkin merespons preferensial terhadap
OAINS tertentu. Efek samping penggunaan kronis adalah gastritis, ulkus peptikum, dan
penurunan fungsi ginjal.14,15

2.13.2 Glukokortikoid

Glukokortikoid berperan dalam beberapa cara untuk mengendalikan aktivitas penyakit pada RA.
Glukokortikoid dapat diberikan dalam dosis rendah-sedang untuk mencapai pengendalian
penyakit yang cepat sebelum terapi DMARD yang efektif sepenuhnya berlaku (beberapa
minggu-bulan). 1,14,15

39
Dosis singkat glukokortikoid (1-2 minggu) dapat diresepkan untuk terapi flare akut, dengan dosis
dan durasi yang dipandu oleh keparahan eksaserbasi. Pemberian kronis dosis rendah (5–10
mg/hari) prednison juga dapat diberikan untuk mengendalikan penyakit pada pasien dengan
respons yang tidak baik terhadap terapi DMARD. Terapi prednison dosis rendah dapat
memperlambat progresi radiografis penyakit sendi. Praktik terbaik meminimalkan penggunaan
kronis terapi prednison dosis rendah karena risiko osteoporosis dan komplikasi jangka panjang
lainnya. Namun, penggunaan terapi prednison kronis tidak dapat dihindari dalam banyak
kasus.1,14,15

Dosis tinggi glukokortikoid mungkin diperlukan untuk pengobatan manifestasi ekstraartikular


yang parah pada RA, seperti ILD. Selain itu, pasien dengan satu atau beberapa sendi yang
meradang dapat dipertimbangkan pemberian suntikan glukokortikoid seperti triamcinolone
acetonide. Suntikan glukokortikoid menyebabkan pengendalian cepat peradangan dalam
pengaturan jumlah sendi yang terbatas. Risiko suntikan tersebut adalah infeksi sendi yang
seringkali menyerupai flare RA.1,14,15

Osteoporosis dapat menjadi komplikasi jangka panjang dari penggunaan glukokortikoid kronis
dan merupakan penyebab osteoporosis tersering. Fraktur terjadi pada 30-50% pasien dengan
riwayat penggunaan glukokortikoid kronis. Glukokortikoid menyebabkan osteoporosis dengan
penurunan proliferasi dan diferensiasi osteoblas, meningkatkan jumlah dan diferensiasi
osteoklas, muscle wasting, penurunan absorpsi kalsium di sistem gastrointestinal, dan gangguan
growth factors dan sitokin pada tulang. ACR merekomendasikan pencegahan utama osteoporosis
menggunakan bifosfonat pada pasien yang menggunakan prednisone >5 mg/hari selama >3
bulan. Pemberian suplemen kalsium dan vitamin D juga membantu dalam mencegah dan terapi
untuk osteoporosis. Meskipun penggunaan prednison dan OAINS meningkatkan risiko penyakit
ulkus peptikum, belum ada pedoman berbasis bukti yang diterbitkan mengenai penggunaan
profilaksis ulkus gastrointestinal.1,14,15

40
2.13.3 DMARD

Disease-modifying antirheumatic drug (DMARD) memiliki kemampuan untuk melambat atau


mencegah progresi struktural RA. DMARD konvensional meliputi hidroksiklorokuin,
sulfasalazin, metotreksat, dan leflunomide. DMARD konvensional memiliki onset of action yang
tertunda sekitar 6-12 minggu. Metotreksat adalah DMARD pilihan untuk pengobatan RA dan
menjadi obat dasar untuk sebagian besar terapi kombinasi. Metotreksat telah terbukti
merangsang pelepasan adenosin dari sel, menghasilkan efek antiinflamasi. Efikasi klinis
leflunomide, seorang inhibitor sintesis pirimidin, telah terbukti dalam uji klinis efektif dalam
pengobatan RA sebagai monoterapi atau dalam kombinasi dengan metotreksat dan DMARD
lainnya.1,14,15

Hidroksiklorokuin tidak terbukti memperlambat progresi radiografis penyakit dan oleh karena itu
tidak dianggap sebagai DMARD sejati. Dalam praktek klinis, hidroksiklorokuin umumnya
digunakan untuk pengobatan penyakit awal dan ringan atau sebagai terapi tambahan dalam
kombinasi dengan DMARD lainnya. Sulfasalazin digunakan dengan cara yang sama dan telah
terbukti dalam uji klinis terkontrol secara acak dapat mengurangi progresi radiografis penyakit.
Minosiklin, garam emas, penisilamin, azatioprin, dan siklosporin semuanya telah digunakan
untuk pengobatan RA dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi. Selain itu, efikasi klinis yang
tidak konsisten dan/atau toksisitas menyebabkan senyawa tersebut jarang dipakai dalam terapi
RA.

DMARD biologis adalah terapi protein yang dirancang untuk menargetkan sitokin dan molekul
permukaan sel. Inhibitor TNF adalah DMARD biologis pertama yang disetujui untuk pengobatan
RA. Anakinra, antagonis reseptor IL-1, abatacept, rituximab, dan tocilizumab adalah jenis lain
DMARD biologis. 1,14,15

Agen Anti-TNF sekarang terdapat lima agen yang menghambat TNF-α disetujui untuk
pengobatan RA yaitu infliximab, adalimumab, golimumab, certolizumab pegol, dan etanercept.
Semua inhibitor TNF telah terbukti dalam penelitian untuk mengurangi tanda dan gejala RA,
memperlambat progresi radiografis kerusakan sendi, dan meningkatkan fungsi fisik dan kualitas
hidup. Obat Anti-TNF biasanya digunakan dalam kombinasi dengan metotreksat. Regimen

41
kombinasi ini, yang memberikan manfaat maksimal dalam banyak kasus. Etanercept,
adalimumab, certolizumab pegol, dan golimumab juga telah disetujui untuk digunakan sebagai
monoterapi. Agen Anti-TNF memiliki kontraindikasi infeksi aktif, riwayat hipersensitivitas,
infeksi hepatitis B kronis atau gagal jantung kongestif kelas III/IV. Penggunaan agen anti-TNF
dapat meningkatan risiko infeksi, seperti infeksi bakteri berat, infeksi jamur oportunistik, dan
reaktivasi tuberkulosis laten. Oleh karena itu, semua pasien diuji untuk tuberkulosis laten
sebelum memulai terapi anti-TNF. Anakinra adalah bentuk rekombinan dari antagonis reseptor
IL-1 yang terjadi secara alami. Anakinra sebaiknya tidak dikombinasikan dengan obat anti-TNF
karena tingginya tingkat infeksi berat yang diamati dengan rejimen ini dalam uji klinis.1,14,15

Abatacept adalah protein fusi larut yang terdiri dari domain ekstraseluler CTLA-4 manusia yang
terhubung ke bagian termodifikasi IgG manusia. Abatacept menghambat kostimulasi sel T
dengan memblokir interaksi CD28-CD80/86 dan juga dapat menghambat fungsi
antigen-presenting cells. Abatacept telah terbukti dalam uji klinis untuk mengurangi aktivitas
penyakit, memperlambat progresi radiografis kerusakan, dan meningkatkan kecacatan
fungsional. Abatacept pada umumnya diberikan dalam kombinasi dengan metotreksat atau
DMARD lain seperti leflunomide. Terapi abatacept telah dikaitkan dengan peningkatan risiko
infeksi.1,14,15

Rituximab adalah antibodi monoklonal kimia yang ditujukan melawan CD20, molekul
permukaan sel yang diekspresikan oleh sebagian besar limfosit B matang. Rituximab bekerja
dengan menurunkan jumlah limfosit B sehingga menyebabkan penurunan respons peradangan.
Mekanisme anti-inflamasi dipikirkan melalui penurunan autoantibodi, inhibisi aktivasi sel T, dan
perubahan produksi sitokin. Rituximab dalam kombinasi dengan metotreksat terbukti lebih
efektif untuk pasien dengan penyakit seropositif daripada seronegatif. Terapi rituximab telah
dikaitkan dengan reaksi infus yang ringan-sedang serta peningkatan risiko infeksi. Efek samping
berat penggunaan rituximab adalah leukoensefalopati multifokal progresif (PML), meskipun
risiko absolut komplikasi ini sangat rendah pada pasien dengan RA. 1,14,15

Tocilizumab adalah antibodi monoklonal manusia yang ditujukan melawan bentuk reseptor IL-6.
IL-6 adalah sitokin proinflamasi yang terlibat dalam patogenesis RA, dengan efek peradangan

42
dan kerusakan sendi. IL-6 yang berikatan dengan reseptornya mengaktifkan jalur sinyal
intraseluler yang mempengaruhi respons fase akut, produksi sitokin, dan aktivasi osteoklas. Uji
klinis menunjukkan efikasi klinis terapi tocilizumab untuk RA dalam monoterapi maupun dalam
kombinasi dengan metotreksat dan DMARD lainnya. Efek samping tocilizumab telah dikaitkan
dengan peningkatan risiko infeksi, neutropenia, dan trombositopenia. Abnormalitas hematologis
ini dapat diatasi dengan menghentikan penggunaan obat. 1,14,15

2.14 Tatalaksana Non-medikamentosa

Terapi fisik wajib diberikan pada semua pasien RA. Latihan kekuatan dinamis, terapi fisik
komprehensif berbasis komunitas, dan pelatihan aktivitas fisik ( 30 menit aktivitas intensitas
sedang setiap hari) telah terbukti meningkatkan kekuatan otot dan status kesehatan yang
dirasakan. Ortotik kaki untuk deformitas valgus yang menyakitkan mengurangi nyeri kaki dan
keterbatasan fungsi yang dihasilkan. Penggunaan penyangga pergelangan tangan juga dapat
mengurangi nyeri dan memiliki efek samping penurunan deksteritas tangan dan penurunan
kekuatan cengkeram (hand grip strentgh). 1,2

Prosedur bedah dapat meningkatkan nyeri dan cacat pada RA, terutama tangan, pergelangan
tangan, dan kaki. Operasi direkomendasikan ketika terjadi kegagalan terapi medis. Operasi
memiliki tingkat keberhasilan jangka panjang yang bervariasi. Untuk sendi besar, seperti lutut,
pinggul, bahu, atau siku, artroplasti sendi total adalah pilihan untuk penyakit sendi lanjut.
Beberapa operasi opsi ada untuk menangani sendi tangan yang lebih kecil.1,2

Implan silikon adalah prostetik paling umum untuk artroplasti MCP dan umumnya dilakukan
pada pasien dengan penurunan besar ROM (range of motion), deformitas berat, nyeri sendi MCP
dengan kelainan radiografis, dan drift ulnar yang parah. Artrodesis dan artroplasti total
pergelangan tangan dipesan untuk pasien dengan penyakit berat yang mengalami nyeri dan
gangguan fungsional yang signifikan. Koreksi hallux valgus di bagian depan kaki dapat
dilakukan artrodesis dan artroplasti.Artrodesis dan artroplasti total memiliki efikasi yang sama
dalam pengendalian nyeri. 1,2

43
2.15 Prognosis

Rheumatoid arthritis belum ada obatnya dan merupakan penyakit progresif yang berhubungan
dengan morbiditas dan peningkatan mortalitas. Semua individu akan mengalami eksaserbasi
multipel. Eksaserbasi RA tanpa pengobatan cenderung memiliki prognosis yang buruk yang
bermanifestasi sebagai kecacatan dan peningkatan angka mortalitas. Pengobatan dini (dalam
waktu enam bulan semenjak onset) terbukti dapat meningkatkan kapasitas fungsional sendi dan
menurunkan jumlah sendi yang bengkak dan jumlah sendi yang nyeri. Namun, angka kematian
serupa pada pasien yang menerima pengobatan dini dan pengobatan terlambat (setelah enam
bulan gejala), dan keduanya meningkat secara signifikan dibandingkan tanpa pengobatan. Sekitar
40% pasien RA akan mengalami kecacatan fungsional yang mempengaruhi kemampuan untuk
bekerja dan menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari dalam waktu sepuluh tahun setelah
diagnosis. 11,16

Pasien RA juga dapat mengalami komplikasi medis kronis lainnya yang secara drastis
mempengaruhi hasil pengobatannya. Contohnya adalah RA dan penyakit kardiovaskular
aterosklerotik, dimana RA menyebabkan percepatan penyakit arteri koroner. RA meningkatkan
risiko penyakit kardiovaskular, penyakit paru-paru, dan keganasan, yang berujung dengan
peningkatan risiko kematian dini pada pasien tersebut.11,16

2.16 Komplikasi

Peradangan sendi adalah pendorong utama kerusakan sendi dan merupakan penyebab paling
penting dari cacat fungsional pada tahap awal penyakit. Beberapa indeks gabungan telah
dikembangkan untuk menilai aktivitas penyakit klinis. Kriteria perbaikan ACR 20, 50, dan 70
(yang sesuai dengan perbaikan masing-masing sebesar 20%, 50%, dan 70% dalam penghitungan
sendi, penilaian beratnya penyakit oleh dokter/pasien, skala nyeri, tingkat serum reaktan fase
akut [ESR atau CRP], dan penilaian fungsional kecacatan menggunakan kuesioner pasien yang
diadministrasikan sendiri) adalah indeks gabungan dengan variabel respons dikotomis. Kriteria
perbaikan ACR umumnya digunakan dalam uji klinis sebagai titik akhir untuk membandingkan
proporsi responden antara kelompok pengobatan. Sebaliknya, Skor Aktivitas Penyakit (DAS),
Indeks Aktivitas Penyakit Simplifikasi (SDAI), dan Indeks Aktivitas Penyakit Klinis (CDAI)
adalah ukuran berkelanjutan dari aktivitas penyakit. Skala-skala ini semakin banyak digunakan

44
dalam praktek klinis untuk memantau status penyakit dan, khususnya, untuk
mendokumentasikan respons terhadap pengobatan. 1,16

45
BAB III
PEMBAHASAN KASUS

Pasien Ny. H usia 58 tahun datang dengan keluhan nyeri pada


tulang belakang yang memberat sejak 6 hari SMRS. Onset nyeri diawali
ketika pasien melakukan gerakan memutar untuk duduk dan duduk lebih
rendah dari kursi roda. Nyeri dirasakan terus-menerus yang dirasa seperti
ditusuk-tusuk dengan skala nyeri 10/10. Pasien juga mengaku nyeri
menjalar kearah panggul dan kedua kaki. Pasien memiliki keluhan serupa
sejak 13 tahun SMRS (2010), berobat pada dokter spesialis saraf,
terdiagnosa HNP, dan memilih untuk melakukan pengobatan tradisional.
Keluhan tulang belakang nyeri juga dirasakan 2 tahun SMRS dan berobat
pada dokter spesialis saraf. Pasien melakukan X-ray, terdiagnosa fraktur
pada tulang belakang, dan melakukan fisioterapi, memakai korset, dan
terapi medikamentosa. Setelah itu pasien mengalami disabilitas sehingga
tirah baring dan memerlukan tongkat/kursi roda untuk beraktivitas.

Pasien memiliki riwayat seronegative Rheumatoid Arthritis


sejak 3 tahun SMRS dan mengalami keluhan nyeri dan kaku pada sendi
lutut kiri, ibu jari tangan kiri, dan seluruh jari tangan kanan yang
memburuk saat pagi hari. Pasien konsumsi obat rutin Diltiazem HCL
1x200 mg, Methotrexate 1x15 mg (1x/minggu), Asam folat 1x5 mg,
Hydroxychloroquine 2x1, Amitriptyline 1x25 mg Multivitamin (Vitamin K,
B12, Vitamin C, Zinc, D3) 1x1.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan digiti II-III manus dextra


ditemukan swan neck deformity, digiti IV-V manus dextra ditemukan
Boutonniere deformity, digiti I manus sinistra ditemukan luka bekas
operasi. Pada pemeriksaan penunjang 15/07/23 ditemukan rheumatoid
factor negative, CRP meningkat 44 mg/dL. Pada 12/11/23 Trombositosis
455.000, MCV 63.40, MCH 19.70, MCHC 31.10, Neutrofilia 83,
limfopenia 9, CRP 51. Pada pemeriksaan feses lengkap 13/11/23 ditemukan

46
adanya Stool occult blood pada feses. Pemeriksaan radiologis yang telah
dilakukan adalah X-Ray Manus bilateral 07/06/22 ditemukan penurunan
densitas tulang, Juxtaarticular osteoporotik manus bilateral, Suspek RA
Manus bilateral. X-Ray Pelvis Vert. Lumbosacralis AP+LAT 15/06/23
ditemukan Fraktur kompresi corpus vertebra L1, Degenerative vertebra
lumbalus, Straight lumbalis, Osteoporotik. X-Ray Pelvis Thoracolumbalis
12/11/23 ditemukan fraktur kompresi corpus vertebra Th7 dan Th12-L1,
Degenerative vertebra thoracolumbalis, Straight thoracolumbalis,
Osteoporotik.

Pasien dipikirkan mengalami RA karena memenuhi kriteria


klasifikasi RA yaitu keluhan nyeri dan kaku pada >10 sendi (5 score), RF
negative (0 score), peningkatan CRP/ESR (1 score), dan durasi gejala ≥6
minggu (1 score). Nilai total scoring RA adalah 7 dan RA definitive
terdiagnosa ketika scoring ≥6. Pasien dipikirkan mengalami seronegative
RA karena pemeriksaan RF/ACPA/anti-CCP negatif. Pemeriksaan fisik
dengan swan neck deformity membantu menegakkan diagnosis RA karena
sinovitis kronis akibat RA menyebabkan kehancuran progresif sendi yang
berujung pada deformitas irreversibel. Pemeriksaan X-Ray Manus bilateral
(07/06/22) ditemukan penurunan densitas tulang dan juxtaarticular
osteoporotik manus bilateral. Hal ini sesuai dengan patofisiologi RA
dimana peradangan pada sendi menyebar kebagian tulang sekitarnya dan
menginduksi aktivitas osteoklas. Hal tersebut akan meningkatkan bone
turnover sehingga tulang menjadi osteoporotik. Penggunaan obat DMARD
kombinasi yang meringankan gejala juga membantu menegakkan diagnosa
RA karena merupakan terapi yang spesifik untuk RA.

Pasien dipikirkan mengalami fraktur lumbalis terdapat nyeri


pada tulang belakang yang memberat sejak 6 hari SMRS yang dipicu oleh
gerakan memutar. Nyeri pasien dengan skala 10/10 sesuai dengan fraktur
karena periosteum memiliki saraf yang banyak sehingga nyeri yang
dirasakan akan berat. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan ROM terbatas
karena nyeri. Hal ini membantu menegakkan diagnosa fraktur karena

47
instabilitas tulang belakang saat bergerak akan memperburuk nyeri. Selain
itu, nyeri dirasakan menjalar pada kedua kaki dan pada pemeriksaan fisik
saat masuk IGD, terdapat penurunan kekuatan motorik pada ekstremitas
bawah menjadi 4/4. Pasien juga mengeluhkan tidak dapat merasakan
mengejan saat BAB dan BAK. Nyeri menjalar dan inkontinensia
menunjukkan fraktur menyebabkan kompresi pada saraf lumbalis akibat
fraktur/edema pasca trauma. Diagnosa fraktur lumbalis ditegakkan melalui
pemeriksaan X-Ray Pelvis Thoracolumbalis 12/11/23 ditemukan fraktur
kompresi corpus vertebra Th7 dan Th12-L1, Degenerative vertebrae
thoracolumbalis, Straight thoracolumbalis, Osteoporotik.

Pasien juga dipikirkan untuk mengalami osteoporosis atas dasar


pemeriksaan X-Ray Pelvis Thoracolumbalis ditemukan tulang yang
osteoporotik. Daftar masalah pasien dengan fraktur kompresi membantu
menegakkan diagnosa osteoporosis. Osteoporosis menyebabkan penurunan
densitas tulang sehingga ketika pasien melakukan gerakan memutar, hal
tersebut menyebabkan trauma kompresi. Selain itu, usia pasien 58 tahun
dan menopause akan menurunkan kadar estrogen. Hal tersebut akan
menurunkan aktivitas osteoblas sehingga terjadi kehilangan tulang.
Riwayat RA pada pasien merupakan manifestasi klinis ektra-artikular yang
terjadi pada 20-30% pasien. Selain itu, penggunakan kronis glukokortikoid
pada pasien juga berkontribusi pada penurunan densitas tulang. Pasien
juga memiliki riwayat hipertensi dan konsumsi diltiazem HCL 1x200mg
secara rutin. Hipertensi dipikirkan terkontrol dengan baik karena pada
pemeriksaan fisik tekanan darah 130/80 mmHg.

Tujuan terapi pasien ini untuk RA adalah remisi total atau


penurunan aktivitas penyakit semaksimal mungkin dengan efek samping
minimal. Tatalaksana awal IGD yang diberikan adalah ketorolac 30 mg IV,
ranitidine 50mg IV, paracetamol 1gr IV, dan methylprednisolone 62,5mg
IV. Terapi awal pada IGD tersebut diberikan untuk memberikan analgesik
awal dan cepat untuk menangani rasa nyeri pasien. Pemberian
methylprednisolone diberikan dengan tujuan menurunkan peradangan

48
autoimun secara cepat. Berdasarkan guideline ACR-EULAR 2012, pasien
terklasifikasi RA kronis (durasi penyakit >6 bulan). Oleh karena itu,
pemberian terapi kombinasi methotrexate dan hydroxychloroquine sesuai
dengan panduan. Seperti yang dijelaskan di guideline tersebut, pemberiaan
obat kombinasi DMARD perlu diindividualisasikan atau cocokan dengan
pasien. Penggunaan kombinasi tersebut sebelumnya tanpa efek samping
signifikan memberikan terapi ideal pada pasien. Hal ini ditunjukan dengan
pasien memiliki gejala nyeri minimal pada sendi tangan dan lutut
sebelumnya. Deformitas swan neck telah terjadi pada tangan kiri pasien dan
merupakan deformitas irreversible pada RA. Hal ini dipikirkan bahwa
individualisasi terapi sebelumnya belum maksimal. Peningkatan CRP
pasien (51 mg/L) menunjukkan kriteria remisi RA belum terpenuhi total.
Namun, remisi total sangat jarang ditemukan pada penderita RA, meskipun
sudah melakukan terapi optimal.

Keluhan utama pasien adalah nyeri punggung yang terbukti


akibat fraktur kompresi corpus vertebra Th7 dan Th12-L1. Osteoporosis
yang terjadi akibat komplikasi RA dan sequalue dari penurunan estrogen
akibat menopause. Oleh karena itu, tatalaksana jangka panjang yang perlu
diberikan untuk fraktur kompresi adalah pencegahan osteoporosis. Oleh
karena itu, pasien diberikan asam folat dan multivitamin (vit K, vit B12, Vit
C, zinc, D3). Rawat bersama dengan SpOT juga perlu dilakukan untuk
konsiderasi melakukan pembedahan. Pembedahan fraktur kompresi
vertebra masih kontroversial, namun dapat di konsiderasi pada fraktur
vertebra “unstable” terutama dengan gangguan neurologis seperti yang
dikeluhkan pada pasien. Pembedahan pada pasien tidak dilakukan
dipikirkan karena risiko komplikasi yang terjadi lebih besar dibandingkan
manfaat terapeutis yang didapatkan dengan operasi. Gejala neuropati
pasien diberikan tatalaksana medikamentosa berupa analgesik (Gabapentin
2x100mg PO, Paracetamol 1x1gr IV PRN, Amitriptyline 1x25mg PO) dan
steroid (methylprednisolone 2x62,5mg IV). Pasien juga diberikan berbagai
obat simptomatis mual dan muntah (Ondansetron 3x8mg IV, Sucralfat

49
3x15mL PO, Omeprazole 2x40mg IV) yang dapat dipicu oleh efek
samping obat-obat sebelumnya yang diberikan.

50
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Jameson, J., Fauci, A. S., Kasper, D. L., Hauser, S. L., Longo, D. L., & Loscalzo,
J. (Eds.). (2018). Harrison's Principles of Internal Medicine, 20e. McGraw Hill.
https://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?bookid=2129&sectionid=15
92137470
2. Chauhan, K., Jandu, J. S., Brent, L. H., et al. (2023, May 25). Rheumatoid
Arthritis. In StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441999/
3. Venetsanopoulou, A. I., Alamanos, Y., Voulgari, P. V., & Drosos, A. A. (2022).
Epidemiology of rheumatoid arthritis: genetic and environmental influences.
Expert Review of Clinical Immunology, 18(9), 923–931.
https://doi.org/10.1080/1744666X.2022.210697
4. Maranini, B., Bortoluzzi, A., Silvagni, E., & Govoni, M. (2022). Focus on Sex and
Gender: What We Need to Know in the Management of Rheumatoid Arthritis.
Journal of Personalized Medicine, 12(3), 499. MDPI AG. Retrieved from
http://dx.doi.org/10.3390/jpm12030499
5. Deane, K. D., Demoruelle, M. K., Kelmenson, L. B., Kuhn, K. A., Norris, J. M.,
& Holers, V. M. (2017). Genetic and environmental risk factors for rheumatoid
arthritis. Best Pract Res Clin Rheumatol, 31(1), 3-18. doi:
10.1016/j.berh.2017.08.003
6. Arleevskaya, M., Takha, E., Petrov, S., Kazarian, G., Renaudineau, Y., Brooks, W.,
Novikov, A. (2022). Interplay of Environmental, Individual and Genetic Factors in
Rheumatoid Arthritis Provocation. Int J Mol Sci, 23(15), 8140. doi:
10.3390/ijms23158140
7. Deane, K. D., & Holers, V. M. (2021). Rheumatoid Arthritis Pathogenesis,
Prediction, and Prevention: An Emerging Paradigm Shift. Arthritis Rheumatol,
73(2), 181-193. doi: 10.1002/art.41417
8. Petrelli, F., Mariani, F. M., Alunno, A., & Puxeddu, I. (2022). Pathogenesis of
rheumatoid arthritis: one year in review 2022. Clin Exp Rheumatol, 40(3),

51
475-482. doi: 10.55563/clinexprheumatol/l9lyen
9. Mueller, A. L., Payandeh, Z., Mohammadkhani, N., Shakibaei, M. (2021). Recent
Advances in Understanding the Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis: New
Treatment Strategies. Cells, 10(11), 3017. doi: 10.3390/cells10113017
10. Yap, H. Y., Tee, S. Z., Wong, M. M., Teow, S. Y. (2018). Pathogenic Role of
Immune Cells in Rheumatoid Arthritis: Implications in Clinical Treatment and
Biomarker Development. Cells, 7(10), 161. doi: 10.3390/cells7100161
11. Bonfiglioli, K. R., de Medeiros Ribeiro, A. C.,da Rocha Castelar-Pinheiro, G.
(2023, Jul 26). Extra-articular manifestations of rheumatoid arthritis remain a
major challenge: data from a large, multi-centric cohort. Adv Rheumatol, 63(1),
34. doi: 10.1186/s42358-023-00318-y
12. Wasserman, A. M. (2011, Dec 1). Diagnosis and management of rheumatoid
arthritis. Am Fam Physician, 84(11), 1245-1252. PMID: 22150658
13. Taylor, P. C. (2020, Nov). Update on the diagnosis and management of early
rheumatoid arthritis. Clin Med (Lond), 20(6), 561-564. doi:
10.7861/clinmed.2020-0727
14. Smolen, J. S., Landewé, R. B. M., van der Heijde, D. (2023, Jan). EULAR
recommendations for the management of rheumatoid arthritis with synthetic and
biological disease-modifying antirheumatic drugs: 2022 update. Ann Rheum Dis,
82(1), 3-18. doi: 10.1136/ard-2022-223356
15. Bullock, J., Rizvi, S. A. A., Ahmed, J. (2018). Rheumatoid Arthritis: A Brief
Overview of the Treatment. Med Princ Pract, 27(6), 501-507. doi:
10.1159/000493390
16. Løppenthin, K., Esbensen, B. A., Østergaard, M.,Jennum, P. (2019, Jun 3).
Morbidity and mortality in patients with rheumatoid arthritis compared with an
age- and sex-matched control population: A nationwide register study. J Comorb,
9, 2235042X19853484. doi: 10.1177/2235042X19853484

52

Anda mungkin juga menyukai