Disusun oleh:
dr. Lulu Arivista Raharjo
Pendamping:
dr. Rundy Hardianto
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn K Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 49 tahun Suku Bangsa : Jawa
Status Perkawinan : Kawin No. CM : 279XXX
Alamat : Tegal Tgl Masuk RS : 11 Februari 2022
Hematokrit 40.8 % 33 – 42
B. Pemeriksaan Radiologi
X FOTO THORAX PROYEKSI PA
V. RESUME
Pasien pada tanggal 11 Februari 2022 datang ke IGD RSMS pada pukul 14.00
WIB dengan penurunan kesadaran. Pasien sedang mengendarai motor dan ditabrak
oleh sepeda motor lain sekitar 1 jam SMRS. Saat ditabrak oleh motor, pasien tidak
menggunakan helm dan kepala terbentur. Selama perjalanan ke IGD, pasien masih
dapat diajak komunikasi, muntah sebanyak 5x tanpa didahului oleh mual, serta
pingsan 1x. Saat tiba di IGD pasien sudah tidak bisa diajak komunikasi dan tidak
muntah. Keluhan seperti nyeri dada, sesak nafas, dan nyeri perut disangkal pasien.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan GCS E2V2M2 dengan keadaan umum
somnolen. TD 141/73 mmHg, HR 66 kali/menit, RR 25 kali/menit, suhu 36.6 C, dan
SpO2 99%. Pada pemeriksaan kepala hematom (-), jejas (-), racoon eyes (-), battle
sign (-), rhinorea (-), dan otorhea (-). Pada pemeriksaan anggota tubuh lainnya tidak
ditemukan adanya jejas maupun deformitas.
. Hasil pemeriksaan penunjang laboratorium pasien pada tanggal 11 Februari
2022 menunjukkan adanya peningkatan leukosit. Hasil pemeriksaan rontgen thorax
tidak ditemukan adanya kelainan, sedangkan pada pemeriksaan CT scan kepala non
kontras ditemukan adanya perdarahan epidural regio parietal sinistra.
VII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.2 EPIDEMIOLOGI
Trauma kapitis merupakan penyebab utama angka kesakitan dan angka kematian
pada pasien di kelompok usia 18-45 tahun. Penyebab utama traumat kapitis sebagian
besarnya adalah karena kecelakaan lalu lintas. Prevalensi pasien trauma kapitis akibat
kecelakaan lalu lintas jalan berkisar 25% dari semua pasien dengan trauma kapitis, dan
trauma kapitis merupakan hal yang paling serius. Sebanyak 60% kematian akibat trauma
kapitis meninggal di rumah sakit, sisanya 30% pasien meninggal sebelum mencapai
rumah sakit (Dash HH, Chavali S, 2018).
Sebagian besar pasien dengan trauma kapitis dapat bertahan hidup namun dengan
kecacatan. Diperkirakan jumlah kasus cedera kepala berkisar 109.462 insiden dengan
insiden tahunan berjumlah 236 / 100.000 orang, dengan angka kejadian lebih tinggi pada
pria dibandingkan wanita (Dash HH, Chavali S, 2018).
II.1.3 KLASIFIKASI
Penilaian GCS atau Glasgow Coma Scale digunakan dalam pemeriksaan objektif
untuk menilai keparahan trauma otak. Berikut merupakan klasifikasi trauma otak
berdasarkan skor GCS (ATLS, 2018):
1. Skor GCS ≤ 8 dikategorikan sebagai cedera berat atau koma
2. Skor GCS 9-12 dikategorikan sebagai cedera sedang
3. Skor GCS 13-15 dikategorikan sebagai cedera ringan.
Trauma kepala dapat diklasifikasikan berupa fraktur tengkorak, lesi intrakranial
seperti kontusio, hematoma, cedera difus, dan pembengkakan yang terjadi
(edema/hiperemia):
A. Fraktur Tengkorak
Fraktur tengkorak dapat terjadi di rongga tengkorak atau dasar tengkorak.
Kejadian fraktur mungkin berupa linier atau stellate serta terbuka atau tertutup.
Fraktur tengkorak dasar atau basis cranii biasanya memerlukan CT scan untuk
identifikasi. (ATLS, 2018).
• Fraktur temporal: merupakan bagian yang paling sering, berhubungan dengan
cedera karotis, saraf kranial VII atau VIII, serta kebocoran CSF mastoid. Fraktur
yang melibatkan petrous ridge dari tulang temporal akan menyebabkan darah
mengumpul di belakang membran timpani yang menyebabkannya tampak ungu.
Gejala ini biasanya muncul dalam beberapa jam setelah cedera dan mungkin
merupakan klinis paling awal.
• Fraktur anterior: berhubungan dengan cedera orbital, kebocoran CSF hidung, dan
cedera saraf kranial I. Penggumpalan darah yang mengelilingi mata atau ekiorosis
periorbital (Racoon eyes) paling sering dikaitkan dengan fraktur fossa kranial
anterior. Temuan ini biasanya tertunda 1-3 hari.
• Fraktur sentral: berhubungan dengan cedera saraf kranial III, IV, V or VI dan
karotid. Darah yang terkumpul di belakang telinga atau sekitar mastoid
(mastoid/retroauricular ekimosis or Battle sign) berhubungan dengan fraktur pada
fossa kranial tengah. Seperti mata Raccoon, temuan ini sering tertunda 1-3 hari.
• Fraktur posterior: berhubungan dengan trauma cedera tulang belakang, cedera
arteri vertebral, serta cedera saraf kranial bagian bawah. Fraktur pada tulang ini
biasanya serius dan berhubungan dengan hemiplegia atau paraplegia.
• Rhinorrhea atau otorrhea CSF: Tanda "Halo" adalah pola cincin ganda yang terjadi
ketika cairan berdarah dari telinga atau hidung yang mengandung CSF diteteskan
ke kertas. Tanda ini tidak spesifik untuk keberadaan CSF, karena saline, air mata
atau cairan lain juga akan menghasilkan pola cincin ketika dicampur dengan darah.
Kebocoran CSF mungkin tertunda beberapa jam hingga beberapa hari setelah
trauma awal.
Fraktur tengkorak terbuka atau gabungan memberikan komunikasi langsung
antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak ketika lapisan durameter robek.
Jangan meremehkan signifikansi fraktur tengkorak, karena dibutuhkan kekuatan yang
cukup besar untuk mematahkan tengkorak. Fraktur linear pada pasien sadar
meningkatkan kemungkinan hematoma intrakranial sekitar 400 kali (ATLS, 2018).
B. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial diklasifikasikan sebagai difus atau fokal, meskipun kedua
bentuk ini sering hidup berdampingan.
1. Cedera Otak Difus
Cidera otak difus, Commusio cerebri, atau gegar otak ringan, digambarkan
dengan CT kepala normal, hingga hipoksia berat. Commusio cerebri merupakan
keadaan pingsan yang berlangsung kurang dari 10 menit setelah trauma kepala,
yang tidak disertai kerusakan jaringan otak. Dengan gegar otak, pasien memiliki
gangguan neurologis sementara, gangguan neruologis nonfokal yang sering
meliputi kehilangan kesadaran. Cedera difus berat sering terjadi akibat hipoksia,
iskemik akibat syok berkepanjangan atau apnea yang terjadi segera setelah trauma.
Dalam kasus-kasus seperti itu, CT mungkin awalnya tampak normal, atau otak
mungkin tampak bengkak, dan tidak ada perbedaan gray-white matter.
2. Cedera Otak Fokal
Lesi fokal meliputi hematoma epidural, hematoma subdural, kontusio, dan
hematoma intraserebral.
a) Epidural Hematoma
Hematoma epidural relatif jarang terjadi, terjadi pada sekitar 0,5%
pasien dengan cedera otak dan 9% pasien dengan cedera otak dengan koma.
Hematoma ini biasanya menjadi bikonveks/lentikular karena mendorong
durameter yang melekat dari lapisan dalam tengkorak. Hematoma ini paling
sering terletak di daerah temporal atau temporoparietal dan sering terjadi
karena robekan arteri meningeal tengah karena fraktur. Gumpalan ini dapat
berasal dari arteri; namun, dapat juga terjadi akibat gangguan sinus vena mayor
atau perdarahan dari fraktur tengkorak.
Presentasi klasik hematoma epidural adalah lucid interval antara waktu
cedera dan kerusakan neurologis. Lucid interval adalah kesadaran mula-mula
baik lalu seiring dengan bertambahnya volume darah maka kesadaran
penderita menurun. Lucid interval juga dapat menyebabkan late hemiparesis,
pupil anisokor, reflex Babinski (+) satu sisi. Fraktur di daerah temporal, pada
saat pasien sadar dapat ditemukan gejala defisit fokal (deserebrasi, kejang,
afasia), nyeri kepala yang progresif, kadang ditemukan bradikardi, dan
kenaikan tekanan darah sistolik.
b) Subdrual Hematoma (SDH)
Hematoma subdural lebih umum daripada hematoma epidural, terjadi
pada sekitar 30% pasien dengan cedera otak berat. Hematoma ini sering
berkembang dari gesekan permukaan pembuluh darah korteks serebral.
Berbeda dengan bentuk lentiular hematoma epidural pada CT scan, hematoma
subdural sering tampak sesuai dengan kontur otak. Brust lobe adalah istilah
yang digunakan untuk mendeskripsikan adanya intraserebral hematoma yang
secara bersamaan disertai dengan nekrosis jaringan otak dan perdarahan di
ruang subdural.
Kerusakan yang mendasari hematoma subdural akut biasanya jauh lebih
parah daripada yang terkait dengan hematoma epidural karena adanya cedera
parenkim bersamaan. Gejala klinis hematoma subdural adalah nyeri kepala dan
dapat terjadi penurunan kesadaran dan defisit neurologis.
c) Subarachnoid hematoma (SAH)
Perdarahan subaraknoid non-traumatik sering terjadi pada malformasi
arteri-vena. Namun pendarahan subaraknoid traumatik teradi pada sekitar 26-
53 % pasien dengan cedera kepala. Pendarahan traumatik subaraknoid
biasanya terjadi bersamaan dengan pendarahan intracranial lainnya. Pada CT
Scan, perdarahan subarachnoid tampak sebagai lesi hiperdens pada daerah
sulkus serebri serta sisterna subarachnoid. Lesi hiperdens pada fossa
interpeduncular merupakan tanda perdarahan subarachnoid. Perdarahan
subarahnoid dapat menyebabkan gangguan absorpsi CSF menyebabkan
hidrocefalus kommunikan. Perdarahan di ruang subarakhnoid biasanya
ditandai dengan kaku kuduk, hilangnya kesadaran, nyeri kepala berat, dan
perubahan status mental yang berlangsung cepat. (Atmadja, AS 2016).
d) Kontusio dan Hematoma Intraserebral
Kontusio otak cukup umum; terjadi pada sekitar 20-30% pasien dengan
cedera otak berat. Sebagian besar kontusio berada di lobus frontal dan
temporal, meskipun mungkin ada di bagian otak mana pun. Dalam periode jam
atau hari, kontusio dapat berubah menjadi hematoma intraserebral atau dengan
efek massa yang cukup sehingga memerlukan evakuasi bedah segera. Untuk
alasan ini, pasien dengan kontusio umumnya menjalani pemindaian CT ulang
untuk mengevaluasi perubahan dalam pola cedera dalam waktu 24 jam dari
pemindaian awal. Kontusio serebri merupakan perdarahan dengan diameter < 1
cm. Pada gambaran CT Scan tampak sebagai lesi hiperdens dengan edema
minimal atau tanpa edema di sekeliling lesi.
II.2.5 PATOFISIOLOGI
Tahap awal setelah terjadinya TBI dihasilkan dari kerusakan jaringan langsung dan
gangguan autoregulasi aliran darah otak (CBF, cerebral blood flow) bersama dengan
metabolisme yang tidak teratur. Keadaan ini, mirip dengan iskemia, dapat menyebabkan
akumulasi asam laktat, peningkatan permeabilitas membran sel dan edema. Karena
metabolisme anaerob tidak dapat menopang permintaan otak, simpanan Adenosine
triphosphate (ATP) berkurang, yang pada akhirnya menyebabkan kegagalan pompa ion
membran dependen ATP, yang sangat penting untuk mempertahankan homeostasis yang
adekuat (Dash HH, Chavali S, 2018).
Tahap kedua dari kaskade ini ditandai dengan depolarisasi membran yang
berkelanjutan, bersama dengan eksitotoksisitas (yaitu, pelepasan neurotransmitter yang
berlebihan seperti glutamat dan aspartat) serta aktivasi saluran Ca ++ dan Na+. Masuknya
kalsium dan natrium menghasilkan aktivasi peroksidase lipid, protease, dan fosfolipase,
yang memicu kaskade apoptosis dan akhirnya menyebabkan degradasi membran dan
kematian sel (Dash HH, Chavali S, 2018).
Disfungsi organ ekstraserebral dapat dipicu dan dirangsang oleh peradangan
sistemik setelah TBI. Telah banyak dijelaskan bahwa lonjakan katekolamin setelah TBI
terlibat langsung dalam peningkatan kadar sitokin, dan dapat berkontribusi pada disfungsi
organ sistemik. Disfungsi endokrin, pernapasan, dan jantung (mis., perubahan segmen ST-
T) banyak terjadi, sedangkan manifestasi ginjal dan hati jarang terjadi. Bagian terpenting
dari kaskade disfungsi organ ini adalah edema paru neurogenik (NPE). NPE dapat
berkembang segera atau selama 14 hari setelah TBI. Kejadian ini menyebabkan
peningkatan cairan ekstravaskular di paru-paru yang menyebabkan hipoksia dan
penurunan kompliansi. Tonus pembuluh darah paru-paru diperkirakan meningkat akibat
peningkatan katekolamin yang terjadi setelah TBI dan menghasilkan peningkatan tekanan
intravaskular dan edema hidrostatik (Dash HH, Chavali S, 2018).
II.1.6 DIAGNOSIS
A. Anamnesis
Pemeriksaan awal pasien pada pasien cedera kepala berat meliputi:
1) Tanyakan keluhan seperti: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, kejang, vertigo
2) Mekanisme, waktu dan perjalanan trauma
3) Tanyakan riwayat pingsan atau sadar setelah trauma
4) Dapat ditemukan amnesia retrograde atau antegrade
5) Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, post operasi kepala
6) Penyakit penyerta: epilepsy, jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi dan
gangguan pembekuan darah (Lindsay et al¸2010).
TBI didefinisikan sebagai cedera struktural akibat cedera traumatis/gangguan
fisiologis fungsi otak sebagai akibat dari kekuatan eksternal. TBI dapat ditandai oleh
onset baru atau memburuknya setidaknya satu dari tanda-tanda klinis berikut yang
muncul setelah trauma: periode kehilangan atau penurunan kesadaran, hilangnya
memori untuk kejadian segera sebelum atau setelah cedera (amnesia pasca-trauma),
setiap perubahan kondisi mental pada saat cedera (kebingungan, disorientasi, lambat)
berpikir, dll.), defisit neurologis (kelemahan, kehilangan keseimbangan, perubahan
penglihatan, praksis, paresis / plegia, kehilangan sensoris, afasia, dll.) yang mungkin
sementara atau dapat bertahan lama (McKee & Daneshvar, 2015).
Pasien yang mengalami peningkatan tekanan intrakranial (TIK) akibat cedera
otak traumatis (TBI) menunjukkan gejala yang sangat mirip dengan pasien yang hanya
mengalami peningkatan TIK karena faktor lain. Pasien TBI, tergantung pada tingkat
keparahannya, akan memiliki serangkaian gejala seperti ketidaksadaran/koma, sakit
kepala, muntah, mual, gangguan fungsi motorik, penglihatan kabur, persepsi
kebisingan yang tidak ada (suara dering), serta kesulitan menjaga keseimbangan
(Ordookhanian et al, 2018)
II.1.7 PENATALAKSANAAN
II.1.7.1 ALGORITMA MANEJEMEN CEDERA KEPALA
A. Cedera Kepala Ringan (GCS 13-15)
Seringkali pasien dengan cedera kepala ringan mengalami gegar otak, yang
merupakan hilangnya fungsi neurologis sementara setelah cedera kepala. Seorang
pasien yang sadar dan berbicara dapat menceritakan riwayat disorientasi, amnesia,
atau kehilangan kesadaran sementara. Riwayat hilangnya kesadaran singkat bisa sulit
untuk dikonfirmasi, dan gambaran klinis sering dikacaukan oleh alkohol atau
minuman keras lainnya. Jangan pernah menganggap perubahan status mental sebagai
faktor pembaur sampai cedera otak dapat dikecualikan secara definitif. Manajemen
pasien dengan cedera otak ringan dijelaskan dalam Bagan 1.
Sebagian besar pasien dengan cedera otak ringan dapat pulih dengan cepat.
Sekitar 3% tiba-tiba memburuk, berpotensi mengakibatkan disfungsi neurologis yang
parah kecuali penurunan status mental terdeteksi dini. Secondary survey sangat
penting dalam mengevaluasi pasien dengan cedera kepala ringan. Catat mekanisme
cedera dan berikan perhatian khusus pada hilangnya kesadaran, termasuk lamanya
waktu pasien tidak responsif, aktivitas kejang, dan tingkat kewaspadaan lainnya.
Tentukan durasi amnesia traumatis retrograde dan antegrade. Pemeriksaan serial skor
GCS penting pada semua pasien. CT scan adalah metode radiologi yang lebih banyak
digunakan (ATLS, 2018).
Lakukan CT scan pada pasien cedera otak yang memiliki dugaan fraktur
tengkorak, tanda-tanda fraktur basis cranii, dan lebih dari dua episode muntah. CT
scan juga dilakukan pada pasien yang lebih tua dari 65 dan pada pasien kehilangan
kesadaran selama lebih dari 5 menit, amnesia retrograde selama lebih dari 30 menit,
mekanisme cedera yang berbahaya, sakit kepala parah, kejang, defisit memori jangka
pendek, keracunan alkohol atau obat, dan defisit neurologis fokal (ATLS, 2018).
Jika pasien asimptomatik, sepenuhnya terjaga, dan tidak memiliki kelainan
neurologis, pasien dapat diamati selama beberapa jam, diperiksa ulang, dan jika
normal, diperbolehkan untuk pulang. Idealnya, pasien dipulangkan ke perawatan
pendamping yang dapat mengamati pasien terus menerus selama 24 jam berikutnya.
Berikan informasi pada pasien dan meminta kembali ke IGD jika pasien mengalami
sakit kepala, mengalami penurunan status mental, atau defisit neurologis fokal.
C. Pemeriksaan Neurologis
Segera setelah status kardiopulmoner pasien dikelola, lakukan pemeriksaan
neurologis yang cepat dan terfokus. Pemerikaan ini terutama terdiri dari menentukan
skor GCS pasien, respons cahaya pupil, dan defisit neurologis fokal. Penting untuk
mengenali masalah yang membingungkan dalam evaluasi TBI, termasuk keberadaan
obat-obatan, alkohol / minuman keras lainnya, dan cedera lainnya (ATLS, 2018).
Keadaan postictal setelah kejang traumatis biasanya akan memperburuk respons
pasien selama beberapa menit atau jam. Pada pasien koma, respons motorik dapat
ditimbulkan dengan mencubit otot trapezius atau dengan bedeng kuku. Ketika seorang
pasien menunjukkan respons yang berbeda terhadap stimulasi, respons motorik yang
timbul adalah indikator prognostik yang lebih akurat daripada respons terburuk.
Pemeriksaan Doll’s eye (oculocephalic), tes kalori dengan air es (oculovestibular), dan
pemeriksaan respon kornea dilakukan oleh ahli bedah saraf. Jangan pernah mencoba
tes Doll’s eyes sampai cedera tulang belakang leher telah terbukti tidak ada (ATLS,
2018).
Penting untuk menilai skor GCS dan melakukan pemeriksaan pupil sebelum
memberikan efek sedatif dan paralisis pada pasien, karena pengetahuan tentang
kondisi klinis pasien saat ini penting untuk menentukan perawatan selanjutnya. Ketika
seorang pasien memerlukan intubasi karena gangguan jalan nafas, lakukan dan
dokumentasikan pemeriksaan neurologis singkat sebelum memberikan obat penenang
atau paralitik (ATLS, 2018).
Anestesi, sedasi, dan agen analgesik harus digunakan dengan hati-hati pada
pasien yang diduga atau dikonfirmasi cedera otak. Terlalu sering menggunakan agen-
agen ini dapat menyebabkan keterlambatan dalam mengenali perkembangan cedera
otak yang serius, mengganggu pernapasan, atau mengakibatkan perawatan yang tidak
perlu (mis., Intubasi endotrakeal). Sebagai gantinya, gunakan obat-obatan aksi pendek,
mudah reversibel pada dosis terendah yang diperlukan untuk efek penghilang rasa
sakit dan sedasi ringan. Dosis rendah narkotika IV dapat diberikan untuk analgesia dan
dibalikkan dengan nalokson jika diperlukan. Benzodiazapines kerja cepat, seperti
midazolam (Versed), dapat digunakan untuk sedasi dan dikembalikan (reversed)
dengan flumazenil (ATLS, 2018).
C. Hiperventilasi
Hiperventilasi bekerja dengan mengurangi PaCO2 dan menyebabkan
vasokonstriksi serebral. Hiperventilasi yang agresif dan berkepanjangan dapat
menyebabkan iskemia serebral. Risiko ini sangat tinggi jika PaCO2 dibiarkan turun di
bawah 30 mm Hg. Hypercarbia (PCO2> 45 mm Hg) akan meningkatkan vasodilatasi
dan meningkatkan TIK sehingga harus dihindari (ATLS, 2018).
Hiperventilasi akan menurunkan ICP pada pasien yang memburuk dengan
peningkatan hematoma intrakranial sampai dokter dapat melakukan kraniotomi
darurat. Gunakan hiperventilasi hanya untuk periode terbatas mungkin. Secara umum,
lebih disukai untuk menjaga PaCO2 sekitar 35 mmHg (ATLS, 2018).
D. Manitol
Mannitol digunakan untuk mengurangi peningkatan TIK. Sediaan yang paling
umum adalah larutan 20% (20 g mannitol/100 ml larutan). Jangan berikan manitol
kepada pasien hipotensi, karena manitol tidak menurunkan TIK pada pasien dengan
hipovolemia. Kerusakan neurologis akut adalah indikasi kuat untuk pemberian manitol
pada pasien euvolemik. Dalam hal ini, berikan pasien manusol (1 g/kg) bolus dengan
cepat (lebih dari 5 menit) dan segera bawa pasien ke pemindai CT — atau langsung ke
ruang operasi, jika lesi sudah diidentifikasi. Jika layanan bedah tidak tersedia,
pindahkan pasien ke perawatan definitive (ATLS, 2018).
E. Cairan hipertonik
Saline hipertonik juga digunakan untuk mengurangi peningkatan ICP, dalam
konsentrasi 3-23,4%; dan mungkin agen yang disukai untuk pasien dengan hipotensi,
karena tidak bertindak sebagai diuretik. Namun, tidak ada perbedaan antara manitol
dan salin hipertonik dalam menurunkan ICP, dan tidak ada yang cukup menurunkan
ICP pada pasien hipovolemik (ATLS, 2018).
F. Sedasi dan Analgetik
Indikasi umum sedasi pada pasien dengan TBI adalah kontrol kecemasan, nyeri,
ketidaknyamanan, agitasi, dan fasilitasi ventilasi mekanis. Bahkan pasien TBI yang
tidak sadar mungkin mengalami peningkatan tekanan darah dan TIK akibat respons
stres ini. Obat penenang dapat mengurangi stres metabolik pada jaringan otak yang
mengalami cedera akut dengan mengurangi metabolisme otak dan konsumsi oksigen
dengan cara yang tergantung pada dosis yang, pada gilirannya, menurunkan CBF dan
mengarah pada pengurangan TIK (Dash HH, Chavali S, 2018).
Agen yang menyebabkan vasokonstriksi serebral adalah benzodiazepin, etomidat,
propofol, lidokain, dan barbiturat (dari efek terkecil ke efek terbesar). Obat-obatan
berikut memiliki efek (a) mengurangi cairan serebrospinal: fentanyl, pentobarbital,
nitrous oxide; (B) meningkatkan cairan serebrospinal: ketamin; (c) mengurangi TIK:
thiopental, etomidate, lidocaine, benzodiazepine, dan narkotika; dan (d) meningkatkan
TIK: halotan, enfluran, suksinilkolin, dan isofluran.
Penggunaan infus midazolam dengan dosis 0,01-0,06 mg/kg/jam sebagai obat
penenang bersama dengan infus agen analgesik seperti remifentanil (0,05 μg/kg/mnt)
atau fentanyl (2,0 μg/kg/jam) akan memfasilitasi untuk mencapai target TIK yang
optimal tanpa mengorbankan MAP. Sedasi propofol lebih disukai dalam pengaturan
elevasi TIK, yang refraktori terhadap sedasi ringan. Propofol menurunkan permintaan
metabolisme otak dan memiliki durasi kerja yang pendek, memungkinkan penilaian
neurologis klinis berkala.
G. Antibiotik
Insiden kebocoran CSF adalah 1 hingga 3% dari semua TBI, 9 hingga 11%
dengan cedera kepala tembus, dan 10 hingga 30% dengan fraktur dasar tengkorak.
Rhinorhea dan otorrhea meningkatkan kejadian meningitis. Insidensi meningitis
adalah 10% pada pasien dengan fraktur penetrasi, 0,8 hingga 1,5% setelah kraniotomi,
dan 4 hingga 17% setelah drainase ventrikel eksternal (Bharadwaj & Naik, 2019)
Profilaksis antibiotik yang mencakup patogen meningitis yang paling umum
seperti Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae harus dimulai pada
pasien berisiko tinggi. Durasi antibiotik harus 1 minggu setelah kebocoran CSF. Jika
dicurigai meningitis, kultur CSF harus diperoleh dan pengobatan empiris dengan
vankomisin dan sefalosporin generasi kedua harus dimulai sampai laporan kultur
diperoleh. Antibiotik spektrum luas diindikasikan pada pasien dengan cedera kepala
tembus atau cedera tubuh. Pada pasien dengan TBI, penting untuk mencegah resistensi
antibiotik dengan pilihan antibiotik yang tepat setelah mengevaluasi laporan kultur dan
sensitivitas (Bharadwaj & Naik, 2019).
II.1.8 Prognosis
Semua pasien harus dirawat secara agresif sambil menunggu konsultasi dengan ahli
bedah saraf. Prognosis dipengaruhi oleh usia, status neurologis awal, jarak antara trauma
dan tindakan bedah, edema cerebri, kelainan intracranial seperti hematoma intracranial
dan faktor ekstrakranial (ATLS, 2018).
DAFTAR PUSTAKA