Pembimbing:
dr. Rio Herdyanto, Sp.JP(K), FIHA
dr. Syafri Syarfini
Penyusun:
dr. Fitri Setyani Rokim
STEMI
Portofolio Sindroma Koroner Akut STEMI diperiksa dan disetujui sebagai salah satu
tugas dalam rangka menyelesaikan program internsip di bagian Ilmu Penyakit Jantung
Pembuluh Darah di RSUD Dr.R.Sosodoro Djatikoesoemo, Bojonegoro.
Mengetahui:
1
Onset dirasakan sehari sebelumnya dan tidak mereda setelah istirahat ataupun diberi obat
penghilang nyeri dari puskesmas. Sebelum serangan ini, pasien sering mengalami rasa tidak
nyaman di dada setiap selesai beraktivitas tetapi membaik setelah beristirahat. Saat ini nyeri
dirasakan menetap lebih berat dari episode sebelumnya. Selama serangan nyeri disertai jantung
berdebar, keringat dingin dan dada terasa sesak. Demam dan batuk disangkal.
4. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Keadaan umum : baik
Derajat kesadaran : kompos mentis
Status gizi : kesan gizi baik
BB : 65 kg
TB : 162 cm
Tanda vital
TD : 129/81 mmHg
Nadi : 94 x/menit, reguler, isi tegangan cukup
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 35,6º C (per frontal)
Kulit : Warna sawo matang, kelembaban cukup, kelainan kulit (-)
Kepala : Bentuk mesocephal, rambut hitam
Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-),sklera ikterik (-/-), pupil bulat
2
isokor (+/+)
Hidung : Bentuk normal, nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa basah (+)
Telinga : Bentuk normal, sekret(-).
Tenggorok : Uvula ditengah, tonsil hiperemis (-), T1-T1 , faring hiperemis (-)
Leher : Trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak membesar
Lymphonodi : Retroaurikuler : tidak membesar
Submandibuler : tidak membesar
Thorax : normochest, retraksi (-), gerakan simetris kanan kiri
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak membesar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor / Sonor di semua lapang paru
Batas paru-hepar : SIC V kanan
Batas paru-lambung : SIC VI kiri
Redup relatif di : SIC V kanan
Redup absolut : SIC VI kanan (hepar)
Auskultasi : SD vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), Rhonki (-/-)
Abdomen
Inspeksi : dinding dada setinggi dinding perut
Auskultasi : peristaltik (+) dbn
Perkusi : tympani
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba, turgor kembali cepat.
Urogenital : dalam batas normal
Ekstremitas :
Akral dingin Sianosis
3
Oedem
CRT <2”
5. Pemeriksaan penunjang :
Elektrokardiografi 12 lead (29 Mei 2020)
Irama sinus; laju jantung 76x/menit; interval PR 0,15 detik; STEMI anterior (ST elevasi
pada V1-V3)
4
IVSd 1.0 cm LVPWd 1.1 cm ESV 89 ml SV 69 ml
LVIDd 5.7 cm ↑ EDV 158 ml EF 44% ↓ TAPSE 1.9 cm ↓
IVSd, intraventricular septal end diastolic; LVIDd, left ventricular internal diameter end diastole; LVPWd, left ventricle posterior
wall thickness at end-diastole; EDV, end diastolic volume; ESV, end systolic volume; EF, ejection fraction; FS, fractional
shortening; SV, stroke volume; TAPSE, tricuspid annular plane systolic excursion.
Komentar Echo: MR trivial, fungsi sistolik menurun, relaksasi diastilik abnormal, fungsi
ventrikel kanan dan kiri menurun, dimensi keempat ruang jantung normal.
Diagnosis: ischemic heart diseasel trivial MR
Hasil pembelajaran:
1.Definisi penyakit jantung iskemik
2.Etiologi penyakit jantung iskemik
3. Gejala klinis penyakit jantung iskemik
4. Diagnosis penyakit jantung iskemik
5. Penatalaksanaan penyakit jantung iskemik
5
6. Komplikasi penyakit jantung iskemik
1 “Subyektif”
Tn. SKR berusia 63 tahun, melakukan kunjungan pertama ke poli jantung tanggal
29/05/2020 dengan keluhan nyeri dada yang dirasakan 1 hari yang lalu. Kualitas nyeri
seperti rasa terbakar dan tertindih. Nyeri dirasakan hingga tembus ke punggung. Durasi
serangan lebih dari 15 menit. Onset dirasakan sehari sebelumnya dan tidak mereda setelah
istirahat ataupun diberi obat penghilang nyeri dari puskesmas. Sebelum serangan ini, pasien
sering mengalami rasa tidak nyaman di dada setiap selesai beraktivitas tetapi membaik
setelah beristirahat. Saat ini nyeri dirasakan menetap lebih berat dari episode sebelumnya.
Selama serangan nyeri disertai jantung berdebar, keringat dingin dan dada terasa sesak.
Demam dan batuk disangkal.
2 “Objektif” Hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik yang mendukung diagnosis ke arah
sindroma koroner akut dengan ST-elevasi:
Gejala klinis nyeri dada (rasa tidak nyaman pada dada ditunjukkan pasien dengan
meletakkan genggaman tangan kanan di dada kiri) yang tidak mereda setelah beristirahat
ataupun dengan pemberian obat anti nyeri. Keluhan dirasakan hingga ke punggung, disertai
keringat dingin, jantung berdebar dan sesak. Keluhan berdurasi lebih dari 15 menit. Pada
pemeriksaan fisik keadaan umum baik, BB 63 Kg, nadi 94 x/menit, reguler, pernafasan 20
x/menit, tipe thorako-abdominal, suhu 35,6º C (per frontal), dengan keadaan compos mentis
GCS E4V5M6, kesan gizi baik. Hasil pemeriksaan EKG menunjukkan daerah infark (ST-
elevasi) anterior dan ekokardiografi adanya penurunan fungsi sistolik pada ventrikel kiri dan
kanan serta regurgitasi katup mitral trivial.
3 “Assessment” Sindroma koroner akut dengan ST-elevasi.
4 “Plan”
Pengobatan:
1. Loading aspilet 325 mg 1x1 (4 hari)
2. Loading clopidogrel 75 mg 1x1 (4 hari)
3. Atorvastatin 40 mg 1x1
4. Infus RL 500 ml/24 jam
6
5. Inj. Arixtra 1x2 mg
6. Inj. Actrapid 3x6 iu SC
7. Reperfusi
a. Medikamentrosa (trombolitik)
b. Tindakan invasif (percutaneous coronary intervention)
Edukasi:
Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya bahwa pasien perlu diobservasi di ruang ICCU
untuk dilakukan monitoring rutin dan berkala khusus terhadap kondisi pasien baik vital sign
serta keluhan-keluhannya
7
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit jantung iskemik merupakan penyebab kematian terbanyak hampir di seluruh dunia.
Pada tahun 2016, World Health Organization (WHO) mencatat mortalitas akibat penyakit
jantung iskemik lebih dari sembilan juta jiwa. Di beberapa negara maju, angka mortalitas ini
dapat diturunkan dengan adanya fokus pemerintah yang sangat besar dalam upaya preventif dan
diagnosis serta pengobatan penyakit jantung iskemik (Nowbar and Howard, 2019). Di Indonesia,
penyakit jantung merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang mengakibatkan kematian
terbanyak. Angka kematian yang diakibatkan penyakit jantung mencapai 3.299 per 100.000 jiwa
per tahunnya (Maharani et al., 2019).
Studi yang dilakukan oleh The George Institute tahun 2017 di Indonesia menunjukkan
perbedaan prevalensi faktor risiko penyakit kardiovaskular antara laki-laki dan perempuan. Pada
laki-laki ditemukan faktor risiko sebagai berikut perokok (65%), riwayat kolestrol tinggi (30%),
tekanan darah tinggi (23%), obesitas (20%) dan diabetes melitus (6%). Sementara itu, pada
wanita diperoleh angka prevalensi faktor risiko perokok (2%), riwayat kolestrol tinggi (40%),
tekanan darah tinggi (29%), obesitas (33%) dan diabetes melitus (8%).
Jantung memiliki otot yang lebih tahan lelah dibandingkan dengan jaringan otot lainnya,
Otot jantung mempu berkontraksi terus menerus tanpa istirahat hingga 4 miliar kali. Hal ini
disebabkan karena miokard memiliki mitokondria yang banyak yaitu 40% dari total volume otot
jantung (otot rangka hanya memiliki 2 % dari total volume sel). Otot jantung memiliki resistensi
yang rendah, artinya arus listrik dapat lewat dan menyebab secara cepat dan simultan ke dalam
otot jantung tanpa mengalami tetani. Jantung memiliki pacemaker utama yaitu Sinoatrial (SA)
node dan beberapa pacemaker cadangan. Apabila nodus SA tidak berfungsi, Atrioventrikularis
(AV) node akan mengambul alih tugas pacemaker utama dan mengeluarkan impuls agar jantung
dapat tetap berkontraksi. Keunikan lainnya dari jantung adalah memiliki saluran pembuluh darah
anastomisis atau kolateral (Kabo, 2014).
Konsekuensi dari jaringan yang mengalami iskemik adalah ketidakcukupan oksigenasi
miokard dan akumulasi produk sisa metabolik. Beberapa studi menjelaskan bahwa miokardium
yang iskemik dapat mengalami dua keadaan, yaitu stunned miokard dan hibernating miokard.
Stunned miokard yang bersifat reversibel merupakan keadaan disfungsi sistolik yang memanjang
1
akibat beban dari iskemik akut yang berat tanpa disertai nekrosis. Abnormalitas dari fungsi dan
struktur miokard akibat kelebihan ion calcium intraseluler dan akumulasi radikal bebas akan
mengalami perbaikan secara perlahan. Sebaliknya, hibernating miokard menjelaskan keadaan
disfungsi ventrikel yang ireversibel akibat suplai oksigen yang berkurang secara permanen.
Kondisi ini hanya bisa diperbaiki dengan melakukan prosedur infasif untuk membuat aliran
darah koroner kembali normal baik secara percutaneous maupun bedah pintas arteri koroner
(Lilly, Sabatine & Wilder. 2016) .
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Penyakit jantung iskemik merupakan komdisi yang menggambarkan ketdakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen pada miokardium sehingga menghasilkan hipoksia dan
akumulasi sisa produk metabolisme. Penyebab terbanyak adalah adanya penyakit aterosklerotik
dari arteri koroner sehingga sering disebut penyakit jantung koroner. Sindroma koroner akut
(SKA) adalah gangguan aliran darah koroner parsial hingga total ke miokardium secara akut.
Gejala yang timbul dapat diakibatkan oleh plak yang tidak stabil sehingga dapat terlepas dan
menyumbat aliran darah koroner. Sumbatan ini menyebabkan nekrosis yang bersifat ireversibel
pada miokardium.
SKA muncul akibat ruptur plak aterosklerotik yang memicu agregasi dan pembentukan
trombus intrakoroner. Terbentuknya trombus pada SKA merupakan hasil interaksi yang
abnormal antara plak eterosklerotik di endotel koroner, platelet dalam sirkulasi dan tonus
vasomotor. Trombus yang terbentuk memberikan konsekuensi terhadap penyempitan hingga
oklusi total lumen koroner sehingga mengganggu aliran darah. Terganggunya aliran darah
koroner menyebabkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokardium.
Tipe SKA dibedakan menjadi tiga kelompok tergantung pada derajat obstruksi dan iskemik.
Oklusi trombus parsial merupakan klinis dari sindroma unstable angina (UA) dan non ST-
elevasi myocard infarction (NSTEMI). Spektrum terakhir dari SKA yaitu obstruksi total arteri
koroner menyebabkan iskemik yang lebih parah dan area nekrosis yang lebih banyak merupakan
manifestasi dari ST-elevation myocardial infarction (STEMI) (Lilly, Sebatine & Wilder. 2016)..
3
wall stress, laju jantung dan kontraktilitas.
Arteri koroner terdiri dari bagian yang besar yang terletak pada proksimal segmen
epikardium dan bagian yang kecil pada distal (arteriol). Bagian proksimal sangat rentan
terbentuk aterosklerosis sehingga menyebabkan plak stenotik. Sementara itu, bagian distal lebih
resisten terhadap pembentukan plak dan lebih fleksibel menyesuaikan tonus vasomotor sebagai
respon metabolik. Diameter arteri koroner bagian distam dapat meningkat atau berdilatasi saat
kebutuhan oksigen tinggi ataupun terjadi stenosis arteri koroner proksimal yang berat.
Derajat penyempitan arteri koroner bagian proksimal dan jumlah vasodilatasi arteri koroner
bagian distal sebagai bentuk kompensasi merupakan komponen penting untuk mencapai
stabilitas hemodinamik. Apabila penyemputan lumen terjadi kurang dari 60%, aliran maksimal
darah arteri tidak mengalami gangguan selama kompensasi masih baik. Namun, penyempitan
lumen lebih dari atau sama 70% akan mengganggu aliran maksimal arteri. Apabila stenosis
mencapai 90%, meskipun dengan dilatasi pembuluh darah distal, aliran darah tidak akan
mencukupi kebutuhan basal dan iskemia dapat terjadi saat keadaan istirahat.
Disfungsi sel endotel memberikan kontrubusi terhadap berkurangnya suplai oksigen
miokard oleh karena ketidakmampuan sel endotel menghasilkan agen vasodilator seperti nitrid
oxyde (NO) dan hilangnya fungsi antitrombotik. NO dihasilkan sebagai respon terhadap aktivasi
4
sistem saraf simpatis untuk menekan efek katekolamin pada reseptor α-adrenergik otot polos
arteri. Faktor risiko terjadinya disfungsi endotel adalah hiperkolestrolemia, diabetes melitus,
hipertensi dan perokok.
5
Gambar 2. Mekanisme pembentukan trombus koroner
Infark diinisiasi oleh iskemik yang reversibel hingga kematian sel yang ireversibel. Secara
patologis, infark didefinisikan sebagai nekrosis dinding miokardium yang luas. Oklusi total arteri
koroner epickardium menyebabkan infark transmural yaitu nekrosis yang menjangkau seluruh
ketebalan dinding miokardium. Sebalikna, infark subendokardium hanya mengenai lapisan
dalam miokardium. Lapisan subendokardium rentan terhadap iskemik karena merupakan zona
yang mendapat tekanan tinggi dari ruang ventrikel, memiliki sedikit sirkulasi kolateral yang
menyuplai dan diperfusi oleh pembuluh darah yang harus mampu menembus ventrikel yang
berkontraksi.
6
Tabel 1. Aktivitas patologik infark transmural
Onset Event
Early changes
1 – 2 menit ATP ↓, kontraktilitas berhenti
10 menit ATP ↓ hingga 50%, edema seluler, potensial membran ↓, rawan terjadi aritmia
20 – 24 menit Jejas sel yang ireversibel
Wavy myof bers: terpisahnya sel miokard yang edema dari sel sekitarnya yang
1 – 3 jam
masih viabel
4 – 12 jam Hemoragik, edema, infiltrasi PMN
18 – 24 jam Nekrosis koagulasi, edema
2 – 4 hari Nekrosisi koagulasi total. Infiltrasi monosit dan PMN
Late changes
5 – 7 hari Resorbsi jaringan mati oleh makrofag (yellow softening)
7+ hari Pembentukan jarngan granulasi, remodeling ventrikel
7 minggu Terbentuk jaringan fibrosis dan parut
7
pertama yang berat tanpa gejala penyakit jantung koroner sebelumnya. Pasien dengan UA bila
tidak terdiagnosis dan diobati secara tepat dapat berkembang menjadi kondisi nekrosis yang
bermanifestasi sebagai NSTEMI atau STEMI.
Gejala NSTEMI dan STEMI dapat berupa rasa tidak nyaman di dada yang mirip dengan
angina pektoris tetapi keluhan dirasakan lebih berat, lama dan terdapat persebaran yang luas.
Faktor risiko yang perlu ditanyakan antara lain riwayat merokok, gislipidemia, hipertensi,
diabetes dan riwayat penyakit jantung koroner pada keluarga. Beberapa kondisi dengan keluhan
menyerupai rasa tidak nyaman pada dada dapat berasal dari jantung, gangguan gastrointestinal
dan muskuloskeletal.
Iskemik miokard : Sensasi tekanan atau sesak di retrosternal, tipikal bila menjalar
ke lengan, rahang atau pundak dan lengan kiri
Durasi < 10 menit
Pencetus olahraga, mereda dengan istirahat atau nitroglisering
EKG: ST depresi/elevasi, T inflasi/datar
Perikarditis : Nyeri tajam, pleuritik, dipengaruhi posisi. Pada auskultasi
ditemukan friction rub
Dapat bertahan dalam jam atau hari
EKG: ST elevasi difus dan depresi PR
Refluks : Sensasi terbakar pada retrosternal
gastroesofagus Dicetuskan oleh makanan tertentu, memberat dengan posisi
8
supinasi, tidak dipengaruhi oleh aktivitas, mereda dengan antasid
Ulkus peptik : Nyeri atau sensasi terbakar pada epigastik
Terjadi setelah makan, tidak dipengaruhi aktivitas
Reda dengan antasid
Spasme esofagus : Nyeriretrosternal disertai disfagia
Dipicu oleh makanan, tidak
Kolik bilier : Nyeri konstan di area kuadran kanan atas, durasi dalam jam
Dipicu oleh makanan berlemak
Tidak mereda denganpemberian nitrogliserin ataupun antasida
Sindroma : Nyeri sternal memberat dengan pergerakan dada
kostokondral Costochondrial junction teraba nyeri
Mereda dengan obat anti inflamasi
Radikulitis cervikalis : Nyeri konstan sesuai dermatom
Memebrat dengan pergerakan leher
9
Abnormalitas EKG hanya dapat dilihat selama episode angina tidak stabil berlangsung atau
dapat menetap pada pasien NSTEMI. STEMI memiliki perubahan pola EKG. Awalnya
didapatkan elevasi segmen ST, diikuti inversi gelombang T dan munculnya gelombang Q.
Adanya segmen ST yang elevasi menandakan iskemik miokard yang parah hingga mencapai
transmural. EKG pada riwayat infark miokard lama dapat ditemukan adanya gelombang Q
patologis.
10
Gambar 7. Stress test menggunakan treadmill
Pemeriksaan EKG selama uji treadmill memberikan sensitivitas 65-70% dan spesifitas 75-
80% untuk mendeteksi kelainan anatomis pada penyakit jantung koroner. Hasil stress test yang
positif bila: (1) EKG menunjukkan gambaran iskemik pada 3 menit pertama atau menetap 5
menit setelah pemeriksaan dihentikan; (2) depresi segment ST lebih dari 2 mm; (3) tekanan
darah sistolik selama pemeriksaan menurun secara abnormal; (4) aritmia ventrikel; (5) tidak bisa
melanjutkan pemeriksaan minimal 2 menit karena masalah kardiovaskular.
Stress test dapat dipengaruhi oleh pengobatan pasien. Misalnya pasien yang mengonsumsi β-
blocker atau calcium channel blocker (verapamil, diltilazem). Bila stress test ditujukan untuk
mencari ada tidaknya penyakit jantung iskemik maka pengobatan harus ditunda selama 24-48
jam sebelum tes. Apabila ditujukan untuk mengetahui efikasi pengobatan maka tidak perlu
ditunda.
11
Gambar 8. Radionuklire imaging
Zat radionuklit diinjeksikan pada saat puncak pemeriksaan, setelah itu dilakukan
pemeriksaan imaging. Zat radionuklit akan terakumulasi di area sel miokardium yang viabel.
Pada area dengan perfusi rendah (iskemik dan infark) akan tampak sebagai ‘area dingin’
disebabkan oleh zat radionuklir yang tidak mampu mencapainya. Apabila ‘area dingin’ tidak
berubah setelah pasien beristirahat maka dapat diartika sebagai area yang telah infark.
Oleh karena pemeriksaan nulear mahal, maka hanya diindikasikan untuk pasien dengan
EKG basal yang abnormal atau perbaikan dalam sensitivitas tes ketika hasil stress test standard
tidak sesuai dengan klinis penyakit jantung koroner.
12
2.3.2.4 Stress test farmakologi
Pemeriksaan ini diindikasikan untuk pasien yang tidak mampu melakukan aktifitas fisik
(misal pasien dengan riwayat cedera) dan sering dikombinasikan dengan pemeriksaan
radionuklir. Farmakologi yang digunakan adalah jenis vasodilator atau inotrops. Jenis vasodilator
koroner yang digunakan adalah adenosin, regadenoson atau dipyridamol. Bagian koroner yang
normal akan mengalami vasodilatasi sehingga meningkatkan perfusi segmen koroner yang sehat
dan mengalihkan aliran dari segmen koroner yang sakit. Dobutamin dapat meningkatkan laju
jantung dan kontraksi sehingga kebutuhan oksigen miokardium juga meningkat. Oleh karena itu
dapat memberikan efek seperti uji treadmill.
Penggunaan vasodilator ini memiliki kelemahan yaitu hasilnya dapat negatif palsu apabila
pasien telah mengkonsumsi zat yang mengandung methylanthines (misal kopi atau bronkodilator
theophylin) dan dikontraindikasikan untuk pasien dengan riwayat asma.
Pemeriksaan ini diindikasikan untuk pasien denan gejala angina yang tidak memberikan
respon adekuat dengan terapi farmakologi, pasien dengan klinis unstable, atau dengan
pemeriksaan non-invasif memberikan hasil abnormal dan memerlukan revaskularisasi segera.
Angiografi koroner merupakan gold standard´untuk mendiagnosis penyakit jantung koroner
secara anatomis.
13
2.4. Penatalaksanaan
Tatalaksana penyakit jantung koroner harus berdasarkan klinis dan hasil pemeriksaan
penunjang yang didapat. Pemeriksaan tidak hanya menentukan letak anatomis pembuluh koroner
yang abnormal tetapi juga menentukan efek fungsionalnya, viabilitas miokardium yang
divaskularisasi dan derajat disfungsi kontraktilitas ventrikel.
2.4.1. Farmakologis
2.4.1.1 Antiangina
Tujuan terapi penyakit jantung iskemik kronis adalah untuk menurunkan frekuensi serangan
angina, mencegah sindroma koroner akut dan memperpanjang harapan hidup.
Pengobatan untuk episode angina akut menggunakan nitrogliserin sublingual 0,6 mg (dapat
diulang hingga 3x. Golongan nitrat dapat meredakan angina melalui relaksasi otot volos vena
(venodilatasi), menurunkan aliran balik vena ke jantung dan volume ventrikel kiri sehingga
menurunkan kebutuhan oksigen miokardium dan membantu mengembalikan keseimbangan
oksigen pada jantung yang iskemik. Mekanisme kerja kedua melalui dilatasi arteri koroner yang
mengalami vasospasm.
Tujuan pencegahan serangan angina berulang adalah dengan menurunkan beban kerja
jantung dan meningkatkan perfusi miokardium. Terdapat tiga golonga obat yang paling banyak
digunakan adalah β-blocker, nitrat organik dan calcium channel blocker.
14
Tabel 4. Farmakologi untuk pencegahan dan pengobatan angina
2.4.1.2 Antiplatelets
Agregasi platelet dan trombosis merupakan elemen penting patofisiologi infark miokard
akut dan angina unstable. Terapi antiplatelet menurunkan risiko sindroma koroner akut pada
pasien angina kronik dan merupakan standard pengobatan penyakit jantung koroner.
Aspirin memiliki efek sebagai antitromotik dengan menginhibisi sintesis tromboksan A2
yang merupakan mediator aktivasi dan agregasi platelet serta dapat menstabilkan plak
atheromatus. Pemberian aspirin dosis 80-160 mg perhari hars diberikan pada pasien angina
pektori stabil (kecuali bila ada kontraindikasi digantikan dengan cilostazol 100 mg 2x/hari).
Clopidogrel dosis 75 mg dapat digunakan pada pasien angina stabil yang alergi terhadap
aspirin dosis rendah. Kombinasi aspirin dan clopidogrel hanya direkomendasikan untuk pasien
pasca prosedur percutaneous coronary intervention (PCI).
15
Ticargelor (Brilinta) diindikasikan untuk sindrom koroner akut (UA, NSTEMI atau STEMI).
Dosis awal yang diberikan peroral (loading dose) adalah 1 x 180 mg. Dosis rumatan yang
digunakan pada satu tahun pertama setelah episode SKA adalah 2 x 90 mg, dilanjutkan pada
tahun kedua menjadi 2 x 60 mg. Ticargelor dinyatakan aman untuk pasiend engan gangguan
fungsi ginjal dan hepar.
2.4.1.3 Antikolestrol
Terapi kolestrol merupakan terapi tambahan untuk menurunkan gejala kardiovaskular pada
pasien PJK. Golongan yang dipakau adalah HMG-CoA reductase inhibitor (statins). Tujuan
pemberian statin pada pasien PJK hingga tercapainya penurunan kadar LDL hingga minimal
50%. Obat golongan statin dikelompokkan menjadi tiga: intensitas rendah, sedang, tinggi.
PCI CABG
Minimal invasif dibanding Lebih efektif untuk bebas gejala
16
Durasi rawat inap di rumah sakit dan angina jangka panjang
penyembuhan lebih singkat Revaskularisasi komplit
Terapi farmakologi untuk meredakan Lebih menguntungkan untuk pasien
angina lebih baik dengan stenosis >50% pada left main
arteri koroner, multi pembuluh darah
koroner, disfungsi kontraktilitas
ventrikel kiri
2.5 Edukasi
Pasien perlu diinformasikan mengenai faktor risiko, keteraturan pengobatan dan monitoring
serta komplikasi yang dapat terjadi.
Menyarankan pasien untuk berhenti merokok
Mengontrol kadar kolestrol
Mengontrol tekanan darah
Mengontrol gula darah
Mengontrol berat badan agar tidak obesitas
Melakukan aktivitas fisik atau berolahraga rutin
DAFTAR PUSTAKA
Kabo, P. (2014) ‘Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskular secara rasional’. Badan
Penerbit FKUI.
Lilly, Sabatine & Wilder. 2016 ‘Ischemic heart disease’ in Pathophysiology of heart disease. 6th
ed, Lippincott Williams & Wilkins, pp. 134-161
Maharani, A. et al. (2019) ‘Cardiovascular disease risk factor prevalence and estimated 10-year
cardiovascular risk scores in Indonesia : The SMARThealth Extend study’, pp. 1–13.
Nowbar, A. N. and Howard, J. P. (2019) ‘Mortality From Ischemic Heart Disease’, (June), pp.
17
1–11. doi: 10.1161/CIRCOUTCOMES.118.005375.
The George Institute for Global Healt, (2017) ‘Reducing the curden cardiovascular disease in
Indonesia’, pp. 21-22.
18