A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Y
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 49 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal MRS : 17 Mei 2018
No. RM :
B. ANAMNESIS
2
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada dengan keluhan yang sama. Riwayat sakit jantung,
hipertensi, diabetes mellitus di keluarga disangkal.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4M6V5
Tanda Vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 104x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36,7oC
SpO2 : 94%
Skala nyeri (VAS) :5
BB : 75kg
TB : 170cm
IMT : 25,95kg/m2
Status Generalis
Pemeriksaan Kepala dan Leher
Mata : Anemis (-), ikterus (-)
Bibir : Sianosis (-)
Leher : JVP 5+2 cmH2O
Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor pada kedua hemithorax
Auskultasi : Suara nafas vesikuler
3
Ronkhi basah halus +/+ minimal di basal, wheezing -/-
Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak
Batas atas jantung ICS III, sinistra
Batas kanan jantung ICS IV, linea parasternalis dextra
Batas kiri jantung ICS V, 2 jari lateral dari linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi : BJ : S I/II regular, murmur (-), gallop S3 (-) S4 (-)
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-),
Hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani (+) di seluruh kuadran
Pemeriksaan Ekstremitas
Akral hangat, edema tungkai -/-
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
4
Basofil
0% 1-1 %
Eosinofil
0% 1-3 %
Batang
0% 3-5 %
Segmen 69 % 50-70 %
22 % 25-40 %
Limfosit
9% 2-8%
Monosit
MCH 28 pg 26-34 pg
31 g/dL 32-36 g/dL
MCHC
Ureum 52 mg/dL 10 - 50 mg/dL
5
EKG
IGD, 17 Mei 2018, pukul 14.44 WITA
Interpretasi
Irama : sinus
HR : 113 kali/menit
Aksis : normoaksis
Regularitas : reguler
Gel. P : normal
Interval PR : normal
Kompleks QRS : R wave progression baik
Segmen ST : ST elevasi pada lead III, aVR, V1-V4
Gel. T : normal
Kesan : Sinus takikardi, normoaksis, ST elevasi anteroinferior
6
E. RESUME
Telah diperiksa seorang pasien, laki-laki usia 49 tahun dengan nyeri dada
iskemik, sudah dirasakan beberapa kali dan lebih dari 12 jam sebelum
masuk RS. Os memiliki riwayat diabetes mellitus tidak terkontrol
sebelum masuk RS. Os tidak pernah berolahraga dan memiliki
kebiasaan merokok 1 bungkus perhari sejak 20 tahun lalu.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit sedang, tekanan darah
110/80 mmHg, nadi 104 kali/menit, Sp O2 94%, skala nyeri 5. Pada
pemeriksaan thorax auskultasi ronkhi basah halus minimal pada
bagian basal kedua lapang paru.
Pada pemeriksaan laboratorium leukosit 17.800/mm3, SGOT 492 U/L, SGPT
115 U/L, creatinin 1,5 mg%, ureum 52 mg%, GDS 305 mg%. Pada
pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan sinus takikardi dengan ST
elevasi pada anteroinferior. Skor resiko KILLIP menunjukkan kelas II
dengan angka mortalitas 17%.
F. DIAGNOSA KERJA
G. DIAGNOSA BANDING
-
H. TERAPI
7
● Novorapid 3x10iu SC
● Levemir 1x10iu SC
● Bisoprolol 1x2,5mg PO
● Clopidogrel 4x75mg PO → 1x75mg PO
● Aspilet 2x80mg kunyah →1x80mg PO
● ISDN 5mg SL tiap nyeri dada
● Simvastatin 1x10mg PO
● Diazepam 1x5mg PO
● Observasi di ICU
● Observasi TTV
● EKG ulang/hari
● Pemasangan urine catheter
● Diet rendah garam
o Total Kalori : 66+(13,7x75)+(5x170)-(6,8x49) = 1610kkal
o Protein : 0,8g/kgBB = 39,2g = 156,8kkal → 160kkal
o Non-protein 1450kkal
▪ Karbohidrat : 60% dari 1450 = 870kkal
▪ Lemak : 40% dari 1450 = 580kkal
I. PROGNOSIS
BAB II
8
TINJAUAN PUSTAKA
SINDROM KORONER AKUT
I. PENDAHULUAN
Faktor resiko SKA dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu faktor
Faktor risiko yang sudah kita kenal antara lain merokok, hipertensi,
hiperlipidemia, diabetes melitus, aktifitas fisik, dan obesitas. Termasuk di
dalamnya bukti keterlibatan tekanan mental, depresi. Sedangkan beberapa
faktor yang baru antara lain CRP, Homocystein dan Lipoprotein(a) (Santoso,
2005).
Di antara faktor risiko konvensional, ada empat faktor risiko biologis
yang tak dapat diubah, yaitu: usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga.
Hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan
9
lebih panjangnya lama paparan terhadap faktor-faktor aterogenik (Valenti,
2007).
Wanita relatif lebih sulit mengidap penyakit jantung koroner sampai
masa menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal ini
diduga oleh karena adanya efek perlindungan estrogen (Verheugt, 2008).
Faktor-faktor risiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat
memperlambat proses aterogenik. Faktor-faktor tersebut adalah peningkatan
kadar lipid serum, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa dan diet
tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori .
SKA umumnya terjadi pada pasien dengan usia diatas 40 tahun.
Walaupun begitu, usia yang lebih muda dari 40 tahun dapat juga menderita
penyakit tersebut. Banyak penelitian yang telah menggunakan batasan usia
40-45 tahun untuk mendefenisikan “pasien usia muda” dengan penyakit
jantung koroner atau infark miokard akut (IMA). IMA mempunyai insidensi
yang rendah pada usia muda (Wiliam, 2007).
III. ETIOLOGI
10
IV. PATOGENESIS ATEROSKLEROSIS
11
Tahap 7: SMC di intima akan membelah dan berproliferasi , menyusun memperluas
akumulasi matriks ekstraselular, menyebabkan akumulasi matriks sehingga
plak atherosklerotik membesar. Dalam tahap ini, fatty streak dapat menjadi
lesi fibrofatty.
Tahap 8: Akhirnya terjadi kalsifikasi, proses fibrosis terus berlangsung, diikuti
kematian SMC lewat proses apoptosis, menghasilkan suatu kapsul fibrosa
aseluler yang menaungi lapisan kaya lipid yang juga mengandung sel mati.
12
diproduksi oleh platelet, berperan dalam perubahan tonus pembuluh darah
dan menyebabkan spasme (Trisnohadi, 2006).
Vasokonstriksi atau kurangnya vasodilatasi yang sesuai
berkontribusi dalam perkembangan episode iskemia pada pasien angina
pektoris tak stabil dan merupakan target dalam pemberian terapi (Fuster et
al, 2008).
o Trombosis
Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena
interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag, dan kolagen.
Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang
kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa(foam cell) yang ada
dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak
stabil (Trisnohadi, 2006).
Faktor jaringan menginisiasi kaskade koagulasi ekstrinsik,
menghasilkan aktivasi faktor X menjadi faktor Xa dimana hal ini akan
mengubah protrombin menjadi trombin. Trombin mengkatalisasi perubahan
fibrinogen menjadi fibrin, membentuk pembekuan platelet-fibrin yang
membuat obstruksi aliran darah koroner (Fuster et al, 2008).
13
VII. TATALAKSANA SINDROM KORONER AKUT
14
15
PENATALAKSANAAN PREHOSPITAL
16
EKG (elektrokardiogram) 12 lead pada semua pasien dengan tanda dan
gejala SKA dilakukan sedini mungkin sehingga dapat membantu mengurangi
waktu reperfusi.
Pasien yang sudah dapat dipastikan STEMI atau dengan LBBB (left
bundle branch block) baru, dapat dilakukan terapi fibrinolitik sesegera mungkin,
dalam 30 menit setelah kontak pertama kali dengan tenaga medis (Class I, LOE
A). Sebelum menggunakan fibrinolitik, protokol yang harus dilakukan pada saat
di prehospital, antara lain pengisian daftar (checklist) fibrinolitik, mampu
melakukan dan menginterpretasikan EKG 12 lead, advanced life support (ACLS),
menginformasikan kepada RS yang akan menerima pasien tersebut, perlunya
tenaga medis yang sudah terlatih dalah manajemen STEMI, dan usaha
meningkatkan kualitas hidup (Class I, LOE C).
17
Evaluasi di Intalasi Gawat Darurat dan Stratifikasi Resiko
Apabila pasien memiliki gejala dan tanda yang mengarah SKA, dokter
harus menggunakan EKG 12 lead untuk mengklasifikasikan pasien satu diantara 3
grup berikut ini :
18
3. EKG yang normal atau abnormal minimal (perubahan
segmen ST atau gelombang T yang nonspesifik), yang
mana tidak dapat didiagnosa dan tidak dapat
disimpulkan sebagai iskemia, memerlukan
stratifikasi resiko. Yang termasuk dalam kategori ini
yaitu pasien dengan normal EKG dan deviasi segmen ST
<0.5 mm (0.05 mV) atau inversi gelombang T ≤0.2 mV.
Kategori EKG ini dikatakan nondiagnostik.
STEMI
19
Pasien dengan STEMI biasanya mengalami oklusi total arteri koroner
epikardial. Terapi awalnya yaitu terapi reperfusi dini berupa pemberian
fibrinolitik (reperfusi farmakologis) atau PPCI (reperfusi mekanik). Pasien yang
tidak bisa mendapatkan terapi fibrinolitik, harus ditransfer untuk PPCI.
UA dan NSTEMI
Angina Tidak Stabil dan Non ST Elevasi Miokard Infark pada awalnya
sulit dibedakan. Pada pasien ini biasanya mengalami oklusi thrombus parsial atau
intermiten. Pada EKG 12 lead dapat ditemukan deviasi segmen ST yang
bervariasi, seperti EKG yang normal, perubahan minimal segmen ST atau
gelombang T, atau depresi ST segmen dan inversi gelombang T yang signifikan.
20
Stratifikasi resiko (TIMI, GRACE, Braunwald, dan lain sebagainya) dapat
membantu dokter untuk menentukan pasien dengan non–ST-elevation ACS apakah
perlu diterapi dengan terapi invasif dini atau terapi invasif selektif lainnya.
Angiografi koroner dini dapat membantu menentukan pasien yang berkandidat
untuk direvaskularisasi dengan PCI atau dengan coronary artery bypass grafting
(CABG). Menurut The 2007 Focused Update of the ACC/AHA/SCAI 2005
Guideline mengenai Update for Percutaneous Coronary Intervention, berisi
rekomendasi terkait pemilihan invasi dini dengan PCI atau strategi konservatif.
Pasien pada kategori ini dikategorikan sebagai resiko rendah atau sedang.
Dokter perlu melakukan stratifikasi resiko untuk menentukan strategi diagnostik
dan terapi berikutnya. Strategi pada pasien yang memiliki resiko rendah atau
minimal ini, mendapatkan keuntungan sambil menghindari resiko (misalnya
akibat terapi antikoagulan dan kateter jantung invasif).
21
Terapi Umum Awal pada SKA
1. Oksigenasi
22
biasanya diberikan adalah ISDN (Isosorbid
Dinitrat) secara sublingual atau aerosol dengan
dosis 5 mg, dapat diulang maksimal sebanyak 3
kali dengan interval waktu 3-5 menit. Jika nyeri
dada belum teratasi, dapat diberikan nitrogliserin
intravena dengan dosis awal 5 ug/menit dan
ditingkatkan (5-10 ug/menit) setiap 5 menit
sampai nyeri dada menghilang. Dosis maksimal 200
ug/menit. Pemberian nitrat dikontraindikasikan
pada pasien dengan hipotensi (sistolik <90 mmHg
atau ≥30 mmHg dibawah standar tekanan darah
pasien), bradikardia ekstrim (<50 kali/menit), atau
takikardia tanpa gagal jantung (>100 kali/menit)
dan pada pasien infark ventrikel kanan (Class III, LOE
C). Hati-hati pada pasien dengan STEMI inferior dan curiga infark
ventrikel kanan (lakukan EKG sebelah kanan), karena pada pasien ini
memerlukan preload ventrikel kanan yang adekuat. Nitrogliserin tidak
boleh diberikan pada pasien yang sedang menggunakan obat disfungsi
ereksi, yaitu penghambat phosphodiesterase, seperti sildenafil dalam
24 jam, atau tadalafil dalam 48 jam.
4. Jika nitrat intravena belum berhasil menghilangkan nyeri dada, dapat
diberikan morfin intravena dengan dosis 2,5-5 mg atau pethidin
dengan dosis 12,5-25 mg secara intravena.
Terapi Reperfusi
Terapi reperfusi akut dengan menggunakan PPCI (Primary Percutaneous
Coronary Intervention) atau terapi fibrinolitik pada pasien STEMI
mengembalikan aliran darah arteri yang menyebabkan infark, mencegah
meluasnya infark, dan menurunkan mortalitas dan reinfark. Fibrinolitik dapat
mengembalikan aliran koroner normal (TIMI 3) pada 50-60% subyek, sedangkan
PPCI pada lebih dari 90% subyek. PPCI juga memiliki keuntungan lebih daripada
23
fibrinolitik terkait menurunkan mortalitas dan kejadian reinfark, serta menurunkan
resiko perdarahan intrakranial dan stroke, sehingga menjadi pilihan pada pasien
lanjut usia dan memiliki resiko perdarahan.
● Fibrinolitik
Terapi diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala < 12 jam,
tidak ada kontraindikasi dalam pemberian fibrinolitik, serta apabila PCI
tidak tersedia dalam waktu 90 menit setelah kontak medis pertama kali.
Terapi fibrinolitik tidak direkomendasikan pada pasien dengan onset
gejala 12-24 jam (berdasarkan LATE and EMERAS trials), kecuali nyeri
dada iskemik yang menetap disertai elevasi segmen ST yang menetap
(Class IIb, LOE B). Terapi fibrinolitik seharusnya tidak diberikan (Class
III, LOE B) pada pasien dengan onset gejala lebih dari 24 jam.
Pasien dengan onset gejala dini dengan perubahan EKG yang luas
(AMI luas) dan resiko rendah terjadinya perdarahan intrakranial, memiliki
keuntungan terbesar untuk mendapatkan terapi fibrinolitik. Pasien dengan
gejala yang curiga SKA dan EKG yang menunjukkan gambaran LBBB
juga merupakan kandidat baik untuk mendapatkan intervensi karena
mereka memiliki mortalitas tertinggi, yang mana LBBB disebabkan oleh
AMI yang luas. STEMI inferior dengan atau tanpa keterlibatan RV,
memiliki keuntungan yang besar pada pemberian fibrinolitik.
Semakin tinggi regimen fibrinolitik yang
diberikan dengan pemberian rtPA (alteplase) dan
heparin memiliki resiko lebih tinggi daripada
pemberian streptokinase dan aspirin. Faktor-faktor
yang berperan pada resiko perdarahan intrakranial
adalah usia (≥65 tahun), berat badan rendah (<70 kg),
hipertensi (>180/110 mmHg), dan penggunaan rtPA.
24
terlatih (melakukan >75 PCI per tahun) di RS yang difasilitasi PCI terlatih
(melakukan >200 PCI per tahun, yang mana sedikitnya 36 adalah primary
PCI untuk STEMI) (Class I, LOE A). PPCI juga dapat dilakukan di non-
PCI centers ketika diperkirakan door-to-balloon time nya dapat <90 menit.
Pasien AMI yang sebelumnya sudah mendapatkan fibrinolitik di non-PCI
center, dan kemudian ditransfer ke PCI center masih dalam 6 jam setelah
onset gejala, dapat diberikan PCI dini secara rutin dalam 45 – 120 menit
kemudian (bervariasi tergantung usia, lokasi infark, dan durasi infarknya).
Pada pasien yang tidak dapat mendapatkan PCI <90 menit dan memiliki
kontraindikasi pemberian fibrinolitik, PCI tetap direkomendasikan, lebih
baik sempat tertunda (Class I, LOE A). Pasien STEMI dengan syok, PCI
atau CABG merupakan pilihan terapi reperfusi. Pemberian fibrinolitik
dapat dipertimbangkan untuk konsultasi dengan kardiologis, hanya apabila
terdapat keadaan yang menyebabkan keterlambatan untuk dilakukan PCI.
25
fibrinolitik, beserta dengan strategi revaskularisasi dini pada SHOCK trial.
ACC/AHA STEMI guidelines merekomendasikan door-to-departure time
≤30 menit untuk mentransfer ke PCI-center.
Terapi Tambahan pada Sindrom Koroner Akut dan Infark Miokard Akut
1. Thienopyridines
● Clopidogrel
Clopidogrel adalah obat oral derivate thienopyridine yang memiliki
efek menghambat reseptor Adenosine Diphosphate (ADP) yang ada
pada platelet, secara ireversibel, sehingga mengurangi agregasi
platelet dengan cara yang berbeda dengan aspirin. Pemberian
clopidogrel efektif pada pasien-pasein yang alergi terhadap aspirin.
Dosis loading : 300 mg, kemudian dilanjutkan 75 mg/hari.
26
Terjadi penurunan angka mortalitas dengan efek perdarahan yang
sedikit ketika clopidogrel diberikan pada pasien NSTEMI. Kejadian
stroke dan komplikasi jantung berat pada pasien SKA dengan
peningkatan biomarker jantung atau dengan EKG yang menunjukkan
iskemia menjadi berkurang dalam 4 jam di rumah sakit, apabila
clopidogrel diberikan beserta aspirin dan heparin. Clopidogrel yang
diberikan 6 jam atau lebih sebelum dilakukan PCI elektif pada pasien
SKA tanpa elevasi segmen ST, mengurangi kejadian komplikasi
akibat iskemik dalam 28 hari.
Pada pasien yang akan dilakukan CABG dalam 5-7 hari pemberian
clopidogrel memiliki resiko perdarahan yang rendah (menurut The
Clopidogrel in Unstable angina to prevent Recurrent ischemic Events
(CURE) trial). Pemberian clopidogrel pada pasien SKA yang
membutuhkan CABG, memerlukan faktor pemberat lain untuk
mengakibatkan resiko perdarahan. Guidelines terkini ACC/AHA
merekomendasikan untuk mengantisipasi penghentian clopidogrel
selama 5-7 hari pada pasien yang akan dilakukan CABG.
Pemberian clopidogrel sebelum atau selama di rumah sakit pada
pasien STEMI yang diterapi dengan PPCI, dapat mengurangi angka
mortalitas dengan komplikasi perdarahan yang sedikit.
Kesimpulannya, perlu dilakukan pemberian clopidogrel loading
dose ditambah dengan terapi dasar (aspirin, antikoagulan, dan
reperfusi) pada pasien dengan resiko sedang hingga tinggi pada
NTEMI dan STEMI (Class I, LOE A).
Pada pasien usia <75 tahun direkomendasikan untuk diberikan
loading dose 300-600mg pada non-STE ACS (NTEMI/UA) dan
STEMI, terlepas dari pendekatan manajemen. Pada pasien curiga SKA
(tanpa perubahan EKG maupun marker jantung) yang tidak dapat
diberikan aspirin (alergi atau intoleransi gastrointestinal berat), dapat
diberikan clopidogrel 300mg oral (Class IIa, LOE B).
27
Pada pasien <75 tahun dengan STEMI yang mendapatkan aspirin,
heparin, dan fibrinolitik, harus diberikan clopidogrel 300mg oral
(Class I, LOE B). Pemberian clopidogrel loading dose 300mg
ditambah dengan aspirin dan heparin (LMWH atau UFH) pada pasien
usia >75 tahun dengan STEMI yang diterapi fibrinolitik, dengan
peningkatan resiko mortalitas, dengan resiko perdarahan yang kecil,
perlu diobservasi (dilanjutkan pemberian 75mg/hari sampai dengan 8
hari di rumah sakit).
● Prasugrel
Prasugrel adalah obat oral derivate
thienopyridine yang bekerja menghambat reseptor
ADP untuk menghambat agregasi platelet.
Prasugrel memiliki efek menurunkan kejadian
kombinasi (mortalitas kardiovaskular, infark
nonfatal, dan stroke nonfatal), namun tidak
memiliki keuntungan dalam hal mortalitas
(dibandingkan dengan clopidogrel), serta dapat
meningkatkan kejadian perdarahan ketika akan
dilakukan angiografi pada pasien NSTEMI maupun
STEMI yang akan direncanakan PCI. Faktor resiko
yang dapat meningkatkan komplikasi perdarahan
pada pemberian prasugrel adalah usia ≥75 tahun,
pernah mengalami stroke atau TIA, dan berat badan
<60 kg. Dosis pemberian prasugrel adalah 60-mg oral loading dose.
Prasugrel tidak direkomendasikan pada pasien STEMI yang diterapi
dengan fibrinolitik atau pasien NSTEMI yang akan dilakukan
angiografi.
28
2. Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitors
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah
ikatan terakhir pada proses agregasi platelet. Karena antagonis GP
IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet dengan
fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi. Contoh :
abciximab, eptifibatide, tirofiban.
Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak stabil
maupun untuk obat tambahan dalam tindakan PCI terutama pada
kasus-kasus angina tak stabil. Untuk saat ini belum ada penelitian
yang mendukung adanya penggunaan antagonis GP IIb/IIIa pada
pasien STEMI.
29
β-blockers oral dimulai dengan dosis rendah pada pasien yang sudah
stabil dan akan dipulangkan (Class IIa, LOE B).
4. Heparin
30
pasien NSTEMI dengan insufisiensi renal, bivalirudin atau UFH lebih
dipertimbangkan (Class IIb, LOE A). Pada pasien NSTEMI dengan
resiko perdarahan, dimana terapi antikoagulan tidak
dikontraindikasikan, maka fondaparinux (Class IIa, LOE B) atau
bivalirudin (Class IIa, LOE A) merupakan pilihan dan UFH dapat
dipertimbangkan (Class IIb, LOE C).
31
● Tidak ada data yang cukup yang merekomendasikan penggunaan
LMWH lain atau bivalirudin daripada UFH pada pasien STEMI yang
diterapi dengan fibrinolitik.
32
fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan
afterload memberikan keuntungan pada golongan nondihidropiridin
pada sindrom koroner akut dengan faal jantung normal (Contoh :
verapamil dan diltiazem).
33
pleiotropik, yaitu perbaikan fungsi endotel, anti-inflamasi, anti-proliferasi
otot polos, anti-oksidan, anti-trombosis, dan stabilisasi plak, sehingga
pemberian statin dianjurkan pada pasien SKA dengan target kadar LDL <
70 mg/dl.
Statin diberikan dalam 24 jam pertama setelah onset gejala pada
pasien SKA atau IMA (Class I, LOE C), kemudian terapi tetap dteruskan
(Class IIb, LOE C). Belum ada laporan mengenai resiko maupun perhatian
khusus dalam penggunaan statin pada SKA.
VIII. KOMPLIKASI
IX. PROGNOSIS
Tahap 2
Gagal jantung. Kriteria diagnostik termasuk krepitasi, gallop S3 dan hipertensi vena.
Kongesti paru dengan ronki basah halus di bagian basal paru.
Tahap 3
34
Gagal jantung parah. Edema paru Frank di semua bidang paru.
Tahap 4
Syok cardiogenik. Tanda-tanda meliputi hipertensi (SBP ≤ 90
mmHg), dan bukti vasokonstriksi perifer seperti
oligouria, sianosis, dan diaforesis.
ISKEMIK HEPATITIS
35
yaitu menurunnya cardiac output yang mengakibatkan hipoperfusi. Segala
kondisi yang menyebabkan hipotensi dan instabilitas hemodinamik dapat
mengakibatkan ischemic hepatitis. Kondisi-kondisi tersebut antara lain:
Kolaps kardiopulmonal setelah infark miokard, eksaserbasi gagal jantung,
emboli paru, syok kardiogenik, syok hipovolemik, dehidrasi berat, tamponade
perikardium, pembedahan jantung terbuka, asfiksia, kejang lama, heat stroke.
Acute kidney injury atau gagal ginjal akut adalah suatu sindrom akibat
kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang mendadak dalam waktu beberapa hari atau
beberapa minggu dengan atau tanpa oliguria sehingga mengakibatkan
hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeotasis tubuh.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Trisnohadi H. Angina Pektoris Tak Stabil dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi V. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.p1728-17
37
2. Alwi Idrus. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.p 1741-1754
3. O'Connor RE, Brady W, Brooks SC, Diercks D, Egan J, Ghaemmaghami C,
Menon V, O'Neil BJ, Travers AH, Yannopoulos D. Part 10: acute coronary
syndromes: 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
Circulation. 2010;122(suppl 3):S787–S817.
4. Antman EM, dkk. ACC/AHA guidelines for the management of patients with
ST-elevation myocardial infarction: a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines
(Committee to Revise the 1999 Guidelines for the Management of Patients
with Acute Myocardial Infarction). Circulation. 2004;110:e82-e292.
5. O'Connor RE, Al Ali AS, Brady WJ, Ghaemmaghami CA, Menon V,
Welsford M, Shuster M. Part 9 : Acute Coronary Syndromes : 2015 American
Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardivascular Care. Circulation. 2015;132(suppl 2):S483–S500.
6. Morrow DA, dkk. TIMI Risk Score for ST-Elevation Myocardial Infarction: A
Convenient, Bedside, Clinical Score for Risk Assessment at Presentation.
Diunduh dari : http://circ.ahajournals.org/content/102/17/2031. 16 Januari
2017.
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/viewFile/7/5
http://repository.unimus.ac.id/231/1/Itsnaeni.pdf
http://www.itamar-medical.com/atherosclerosis-a-symptom-of-endothelial-
dysfunction/
38
39