Anda di halaman 1dari 39

Laporan Kasus

Laki-laki 49th dengan STEMI anteroinferior, AKI, Iskemik


Hepatitis, DM tipe 2

Disusun Oleh : dr. Gabriele Leona Novianti Singgih


Pembimbing : dr. Bambang Rahadi, Sp. JP
dr. Haikal Mufid, Sp. PD

RS TENTARA TK. II DR. R. HARDJANTO


BALIKPAPAN- KALIMANTAN TIMUR
2018
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Y
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 49 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal MRS : 17 Mei 2018
No. RM :

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama : nyeri dada kiri


Riwayat Penyakit Sekarang :
Os datang dengan keluhan nyeri dada kiri. Nyeri dada dirasakan sejak 1 hari
SMRS jam 02.00 WITA. Nyeri dada dirasakan berat seperti ditindih,
menembus ke belakang dan menjalar hingga ke bahu kiri dirasakan
mendadak, hilang timbul, setiap muncul dirasakan ±15menit. Keluhan
tidak disertai mual, muntah, sesak, bengkak pada kedua kaki.
Os diketahui menderita DM tipe 2 namun tidak melakukan pengobatan secara
rutin. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan. Os tidak
minum alkohol namun Os merokok 1 bungkus perhari sejak 20 tahun
lalu. Os tidak pernah olahraga.

Riwayat Penyakit Dahulu :


● Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal.
● Riwayat kencing manis diakui.
● Riwayat sakit jantung, stroke disangkal.
● Riwayat asma disangkal.

2
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada dengan keluhan yang sama. Riwayat sakit jantung,
hipertensi, diabetes mellitus di keluarga disangkal.

C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum
Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4M6V5
Tanda Vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 104x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36,7oC
SpO2 : 94%
Skala nyeri (VAS) :5
BB : 75kg
TB : 170cm
IMT : 25,95kg/m2

Status Generalis
Pemeriksaan Kepala dan Leher
Mata : Anemis (-), ikterus (-)
Bibir : Sianosis (-)
Leher : JVP 5+2 cmH2O

Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor pada kedua hemithorax
Auskultasi : Suara nafas vesikuler

3
Ronkhi basah halus +/+ minimal di basal, wheezing -/-

Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak
Batas atas jantung ICS III, sinistra
Batas kanan jantung ICS IV, linea parasternalis dextra
Batas kiri jantung ICS V, 2 jari lateral dari linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi : BJ : S I/II regular, murmur (-), gallop S3 (-) S4 (-)

Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-),
Hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani (+) di seluruh kuadran

Pemeriksaan Ekstremitas
Akral hangat, edema tungkai -/-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

TES HASIL NILAI RUJUKAN

Hb 14,2 g/dl 13,2 – 17,3 g/dl

Hct 44 % 40,0 - 52,0 %

Plt 223 x 103 /mm3 150 - 440 x 103 /mm3

WBC 17,8 x 103 /mm3 3,8 - 10,06 x 103 /mm3

4
Basofil
0% 1-1 %
Eosinofil
0% 1-3 %
Batang
0% 3-5 %
Segmen 69 % 50-70 %
22 % 25-40 %
Limfosit
9% 2-8%
Monosit

RBC 5 x 106 /mm3 4,4 – 5,9 x 106 /mm3


MCV 89 fL 80-100 fL

MCH 28 pg 26-34 pg
31 g/dL 32-36 g/dL
MCHC
Ureum 52 mg/dL 10 - 50 mg/dL

Kreatinin 1,5 mg/dL L(<1,3); P(<1,1) mg/dL

GDS 305 mg/dL <200 mg/dL

SGOT 492 U/L < 38 U/L


SGPT 115 mg/dL < 41 U/L

5
EKG
IGD, 17 Mei 2018, pukul 14.44 WITA

Interpretasi
Irama : sinus
HR : 113 kali/menit
Aksis : normoaksis
Regularitas : reguler
Gel. P : normal
Interval PR : normal
Kompleks QRS : R wave progression baik
Segmen ST : ST elevasi pada lead III, aVR, V1-V4
Gel. T : normal
Kesan : Sinus takikardi, normoaksis, ST elevasi anteroinferior

6
E. RESUME

Telah diperiksa seorang pasien, laki-laki usia 49 tahun dengan nyeri dada
iskemik, sudah dirasakan beberapa kali dan lebih dari 12 jam sebelum
masuk RS. Os memiliki riwayat diabetes mellitus tidak terkontrol
sebelum masuk RS. Os tidak pernah berolahraga dan memiliki
kebiasaan merokok 1 bungkus perhari sejak 20 tahun lalu.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit sedang, tekanan darah
110/80 mmHg, nadi 104 kali/menit, Sp O2 94%, skala nyeri 5. Pada
pemeriksaan thorax auskultasi ronkhi basah halus minimal pada
bagian basal kedua lapang paru.
Pada pemeriksaan laboratorium leukosit 17.800/mm3, SGOT 492 U/L, SGPT
115 U/L, creatinin 1,5 mg%, ureum 52 mg%, GDS 305 mg%. Pada
pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan sinus takikardi dengan ST
elevasi pada anteroinferior. Skor resiko KILLIP menunjukkan kelas II
dengan angka mortalitas 17%.

F. DIAGNOSA KERJA

ST-segmen Elevation Myocardial Infarction (STEMI)


Acute Kidney Injury (I)
Ischemic Hepatitis
DM Tipe 2

G. DIAGNOSA BANDING
-

H. TERAPI

● O2 3 lpm via nasal kanul


● IVFD NaCl 0,9 % 20tpm
● Morphine 2g diencerkan 10cc tiap nyeri dada IV
● Arixtra 1x2,5mg SC

7
● Novorapid 3x10iu SC
● Levemir 1x10iu SC
● Bisoprolol 1x2,5mg PO
● Clopidogrel 4x75mg PO → 1x75mg PO
● Aspilet 2x80mg kunyah →1x80mg PO
● ISDN 5mg SL tiap nyeri dada
● Simvastatin 1x10mg PO
● Diazepam 1x5mg PO
● Observasi di ICU
● Observasi TTV
● EKG ulang/hari
● Pemasangan urine catheter
● Diet rendah garam
o Total Kalori : 66+(13,7x75)+(5x170)-(6,8x49) = 1610kkal
o Protein : 0,8g/kgBB = 39,2g = 156,8kkal → 160kkal
o Non-protein 1450kkal
▪ Karbohidrat : 60% dari 1450 = 870kkal
▪ Lemak : 40% dari 1450 = 580kkal

I. PROGNOSIS

● Quo ad vitam : dubia ad malam

● Quo ad sanam : dubia ad malam

● Quo ad fungsionam : dubia ad malam

BAB II

8
TINJAUAN PUSTAKA
SINDROM KORONER AKUT

I. PENDAHULUAN

Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu keadaan gawat darurat


jantung dengan manifestasi klinis berupa perasaan tidak enak di dada atau
gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard. Sindrom ini
menggambarkan suatu penyakit yang berat dengan mortalitas tinggi.
Mortalitas tidak bergantung pada besarnya persentase stenosis (plak) koroner,
namun lebih sering ditemukan pada penderita dengan plak kurang dari 50-
70% yang tidak stabil, yaitu fibrous cap ‘dinding (punggung) plak’ yang tipis
dan mudah erosi atau ruptur.
Sindrom koroner akut mencakup :
1. Angina pektoris tak stabil (APTS)
2. Non ST-segmen elevation myocard infark (NSTEMI)
3. ST-segmen elevation myocard infark (STEMI)

II. FAKTOR RESIKO

Faktor resiko SKA dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu faktor

resiko konvensional dan faktor resiko yang baru diketahui berhubungan

dengan proses aterotrombosis (Braunwald, 2007 dalam Hanum, 2010).

Faktor risiko yang sudah kita kenal antara lain merokok, hipertensi,
hiperlipidemia, diabetes melitus, aktifitas fisik, dan obesitas. Termasuk di
dalamnya bukti keterlibatan tekanan mental, depresi. Sedangkan beberapa
faktor yang baru antara lain CRP, Homocystein dan Lipoprotein(a) (Santoso,
2005).
Di antara faktor risiko konvensional, ada empat faktor risiko biologis
yang tak dapat diubah, yaitu: usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga.
Hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan

9
lebih panjangnya lama paparan terhadap faktor-faktor aterogenik (Valenti,
2007).
Wanita relatif lebih sulit mengidap penyakit jantung koroner sampai
masa menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal ini
diduga oleh karena adanya efek perlindungan estrogen (Verheugt, 2008).
Faktor-faktor risiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat
memperlambat proses aterogenik. Faktor-faktor tersebut adalah peningkatan
kadar lipid serum, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa dan diet
tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori .
SKA umumnya terjadi pada pasien dengan usia diatas 40 tahun.
Walaupun begitu, usia yang lebih muda dari 40 tahun dapat juga menderita
penyakit tersebut. Banyak penelitian yang telah menggunakan batasan usia
40-45 tahun untuk mendefenisikan “pasien usia muda” dengan penyakit
jantung koroner atau infark miokard akut (IMA). IMA mempunyai insidensi
yang rendah pada usia muda (Wiliam, 2007).

III. ETIOLOGI

Faktor – faktor yang menyebabkan SKA, khususnya IMA, antara lain


suplai oksigen ke miokard berkurang (aterosklerosis, spasme, artritis, stenosis
aorta, insuffisiensi jantung, anemia), curah jantung yang meningkat (emosi,
aktivitas berlebihan, hipertiroidisme), dan kebutuhan oksigen miokard
meningkat (kerusakan miokard, hipertrofi miokard, hipertensi diastolik).
Penyebab yang paling sering adalah terjadinya sumbatan pembuluh darah
koroner sehingga terjadi gangguan aliran darah. Sumbatan tersebut terjadi
karena ruptur plak yang menginduksi terjadinya agregasi trombosit,
pembentukan trombus, dan spasme koroner. Penyebab infark miokard yang
jarang adalah penyakit vaskuler inflamasi, emboli (endokarditis, katup
buatan), spasme koroner yang berat (misal setelah menggunakan kokain),
peningkatan viskositas darah serta peningkatan kebutuhan oksigen yang
bermakna saat istirahat.

10
IV. PATOGENESIS ATEROSKLEROSIS

Tahap 1: Akumulasi partikel lipoprotein ke intima. Partikel yang berwarna lebih


gelap. Ini adalah partikel yang termodifikasi, yaitu dengan teroksidasi atau
terglikasi.
Tahap 2 : terjadi suatu stress oksidatif, dimana LDL yang termodifikasi meng-induce
elaborasi sitokin lokal.
Tahap 3: sitokin-sitokin ini meng-induce peningkatan ekspresi molekul-molekul
adhesi yang hinggap di leukosit dan molekul-molekul khemo-attractant seperti
MCP-1 [Monocyte Chemoattractant Protein] yang menyebabkan migrasi
leukosit ke intima.
Tahap 4: Makrofag (monosit darah) masuk ke dinding arteri sebagai respon terhadap
kemoatractant. Mengalami perangsangan dari M-CSF (Makrofag Colony
Stimulating Factor) yang meningkatkan ekspresi mereka terhadap reseptor
scavenger.
Tahap 5 : Reseptor scavenger ini memediasi pengambilan dari partikel lipoprotein
yang termodifikasi, dan membentuk foam cells. Foam sel makrofag ini
merupakan sarana penambahan dari kedatangan sitokin dan molekul efektor
seperti anion superoksida dan MMP.
Tahap 6 : SMC (Sel otot polos) kemudian bermigrasi ke intima dari tunica media.
Hal inilah yang menyebabhkan penebalan tunika intima.

11
Tahap 7: SMC di intima akan membelah dan berproliferasi , menyusun memperluas
akumulasi matriks ekstraselular, menyebabkan akumulasi matriks sehingga
plak atherosklerotik membesar. Dalam tahap ini, fatty streak dapat menjadi
lesi fibrofatty.
Tahap 8: Akhirnya terjadi kalsifikasi, proses fibrosis terus berlangsung, diikuti
kematian SMC lewat proses apoptosis, menghasilkan suatu kapsul fibrosa
aseluler yang menaungi lapisan kaya lipid yang juga mengandung sel mati.

V. PATOFISIOLOGI SINDROM KORONER AKUT


o Ruptur plak
Ruptur plak sering terjadi pada bagian pinggir dari plak dimana
bagian tersebut menempel di dinding pembuluh darah. Pada area tersebut
plak terinfiltrasi dengan sel-sel inflamasi dan memiliki tekanan yang tinggi
untuk ruptur. Plak yang cenderung untuk ruptur memiliki struktur fibrous
cap yang tipis dan massa lemak yang besar. Struktur ini dipengaruhi faktor
biomekanik dari plak tersebut dan meningkatkan kemungkinan untuk ruptur
(Fuster et al, 2008).
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi, agregasi platelet,
dan menyebabkan terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh
darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila
trombus tidak menyumbat 100% akan menyebabkan angina pektoris tak
stabil (Trisnohadi, 2006).
o Erosi pada plak tanpa ruptur
Terjadinya penyempitan pada pembuluh darah juga disebabkan oleh
proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi dari kerusakan endotel.
Adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat
menimbulkan penyempitan pembuluh darah dengan cepat (Trisnohadi,
2006).
o Vasospasme
Terjadinya vasospasme juga mempunyai peran penting pada angina
tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang

12
diproduksi oleh platelet, berperan dalam perubahan tonus pembuluh darah
dan menyebabkan spasme (Trisnohadi, 2006).
Vasokonstriksi atau kurangnya vasodilatasi yang sesuai
berkontribusi dalam perkembangan episode iskemia pada pasien angina
pektoris tak stabil dan merupakan target dalam pemberian terapi (Fuster et
al, 2008).
o Trombosis
Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena
interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag, dan kolagen.
Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang
kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa(foam cell) yang ada
dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak
stabil (Trisnohadi, 2006).
Faktor jaringan menginisiasi kaskade koagulasi ekstrinsik,
menghasilkan aktivasi faktor X menjadi faktor Xa dimana hal ini akan
mengubah protrombin menjadi trombin. Trombin mengkatalisasi perubahan
fibrinogen menjadi fibrin, membentuk pembekuan platelet-fibrin yang
membuat obstruksi aliran darah koroner (Fuster et al, 2008).

VI. GEJALA SINDROM KORONER AKUT


Rasa tidak nyaman atau nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau
kadang kala di epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat,
perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi
persentasi gejala yang sering di temukan pada penderita SKA. Rasa tidak
nyaman atau nyeri dapat menyebar hingga ke lengan kiri, leher atau rahang
yang dapat terjadi secara hilang timbul atau menetap. Keluhan pasien umumnya
berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang bertambah dari
biasa. Nyeri dada pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin
timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri
dada dapat disertai keluhan sesak nafas, mual sampai muntah, kadang-kadang
disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan fisik sering kali tidak ada yang khas.

13
VII. TATALAKSANA SINDROM KORONER AKUT

Tujuan utama terapi SKA yaitu :

- Mengurangi nekrosis miokardial yang terjadi pada pasien miokard infark


akut, menjaga fungsi ventrikel kiri, mencegah gagal jantung, dan
mengurangi komplikasi kardiovaskular lainnya.
- Mencegah kejadian jantung yang merugikan, seperti : kematian, miokard
infark nonfatal, dan kebutuhan revaskularisasi segera.
- Mengatasi komplikasi akut dan mengancam nyawa dari SKA, seperti
ventrikel fibrilasi, ventrikel takikardi tanpa nadi, takikardi tidak stabil,
bradikardi simtomatik, edem pulmo, syok kardiogenik, dan komplikasi
mekanik dari miokard infark akut.
- Berikut adalah algoritma SKA (Sindroma Koroner Akut)

14
15
PENATALAKSANAAN PREHOSPITAL

Pengenalan Sindrom Koroner Akut oleh Pasien dan Tenaga Kesehatan


Diagnosis dan terapi dini memegang peranan terpenting dalam
menentukan prognosis pasien SKA. Kondisi yang dapat memperlambat terapi
pada pasien SKA adalah saat timbulnya gejala hingga gejala itu dikenali, waktu
transport ke rumah sakit, dan waktu yang dihabiskan selama evaluasi di IGD.
Gejala, faktor resiko, biomarker, EKG, dan alat diagnostik lain digunakan
untuk menentukan triase dan beberapa terapi pada SKA. Gejala miokard infark
akut lebih berat dan lebih lama daripada angina (lebih dari 15-20 menit). Gejala
klasik SKA adalah nyeri dada, sesak nafas, keringat dingin, mual, muntah, dan
pusing. Sebagian besar pasien mengeluh rasa tidak nyaman di bagian tubuh
bagian atas, dan sesak nafas, disertai dengan keringat dingin, mual, muntah, atau
pusing. Gejala tidak klasik seperti hanya berupa keringat dingin, mual, muntah,
atau pusing, biasanya terjadi pada wanita, orang tua, dan pasien diabetes.
Pemeriksaan fisik pada pasien SKA biasanya normal.

Tatalaksana Awal pada Sistem Emergensi

Tenaga kesehatan yang bekerja di kegawatdaruratan harus sudah terlatih


dalam merespon kegawatdaruratan kardiovaskular, termasuk SKA dan komplikasi
akutnya. Aspirin harus segera diberikan, dengan cara meminta pasien untuk
mengunyahnya, segera setelah gejala SKA pada pasien (tanpa riwayat alergi
terhadap aspirin dan tanpa tanda perdarahan saluran cerna aktif) diketahui.

Tenaga kesehatan tersebut harus mampu mengenali SKA dan terlatih


dalam mengenali waktu onset gejala. Disamping itu, perlu memonitor tanda-tanda
vital dan irama jantung, serta mempersiapkan resusitasi jantung paru (RJP) dan
defibrilasi. Pasien SKA perlu diberikan oksigen, aspirin dikunyah (160-325mg),
nitrogliserin tablet atau spray, atau morfin, dengan memperhatikan indikasi dan
kontraindikasi dari masing-masing obat (akan dijelaskan di bagian terapi SKA).

16
EKG (elektrokardiogram) 12 lead pada semua pasien dengan tanda dan
gejala SKA dilakukan sedini mungkin sehingga dapat membantu mengurangi
waktu reperfusi.

Pasien yang sudah dapat dipastikan STEMI atau dengan LBBB (left
bundle branch block) baru, dapat dilakukan terapi fibrinolitik sesegera mungkin,
dalam 30 menit setelah kontak pertama kali dengan tenaga medis (Class I, LOE
A). Sebelum menggunakan fibrinolitik, protokol yang harus dilakukan pada saat
di prehospital, antara lain pengisian daftar (checklist) fibrinolitik, mampu
melakukan dan menginterpretasikan EKG 12 lead, advanced life support (ACLS),
menginformasikan kepada RS yang akan menerima pasien tersebut, perlunya
tenaga medis yang sudah terlatih dalah manajemen STEMI, dan usaha
meningkatkan kualitas hidup (Class I, LOE C).

17
Evaluasi di Intalasi Gawat Darurat dan Stratifikasi Resiko

Seorang tenaga kesehatan harus cepat dalam menilai kemungkinan suatu


SKA, idealnya dalam 10 menit mulai dari anamnesa hingga menilai EKG 12 lead
(apabila belum dikerjakan di prehospital). Evaluasi awal harus seefisien mungkin,
karena apabila STEMI, terapi reperfusi berupa fibrinolitik harus diberikan dalam
30 menit setelah tiba di IGD (door-to-drug) atau PCI dalam 90 menit setelah
kedatangan (door –to-balloon) (Class I, LOE A).

Apabila pasien memiliki gejala dan tanda yang mengarah SKA, dokter
harus menggunakan EKG 12 lead untuk mengklasifikasikan pasien satu diantara 3
grup berikut ini :

1. Elevasi segmen ST atau LBBB baru, dikarakteristikan dengan elevasi


segmen ST di 2 atau lebih pada lead yang berkaitan (diklasifikasikan
sebagai ST-segment elevation MI (STEMI)). Nilai threshold suatu
segmen ST dikatakan elevasi apabila terdapat elevasi J-point secara
konsisten 0.2 mV (2 mm) pada lead V2 dan V3 dan 0.1 mV
(1 mm) pada lead lain (laki-laki ≥40 tahun); elevasi J-
point 0.25 mV (2.5 mm) pada lead V2 dan V3 dan 0.1 mV (1 mm) pada
lead lain (laki-laki <40 tahun); elevasi J-point 0.15 mV (1.5 mm) pada lead
V2 dan V3 dan 0.1 mV (1 mm) pada lead lain (perempuan).
2. Depresi iskemik segmen ST >0.5 mm (0.05 mV) atau inversi gelombang T
yang dinamis, disertai dengan keluhan nyeri atau tidak nyaman pada dada,
diklasifikasikan sebagai UA (Unstable Angina) / NSTEMI (Non ST-
Segment Elevation MI). Elevasi segmen ST yang tidak
persisten atau transien ≥0.5 mm dalam <20 menit,
juga masuk dalam kategori ini. Nilai threshold untuk depresi
segmen ST sesuai dengan iskemia adalah depresi J-point 0.05 mV (-0.5
mm) pada lead V2 dan V3 dan -0.1 mV (-1 mm) pada lead lain (laki-laki
dan perempuan).

18
3. EKG yang normal atau abnormal minimal (perubahan
segmen ST atau gelombang T yang nonspesifik), yang
mana tidak dapat didiagnosa dan tidak dapat
disimpulkan sebagai iskemia, memerlukan
stratifikasi resiko. Yang termasuk dalam kategori ini
yaitu pasien dengan normal EKG dan deviasi segmen ST
<0.5 mm (0.05 mV) atau inversi gelombang T ≤0.2 mV.
Kategori EKG ini dikatakan nondiagnostik.

Biomarker Jantung (Cardiac Biomarkers)

Biomarker jantung serial digunakan pada pasien dengan kecurigaan SKA.


Troponin merupakan biomarker pilihan dan lebih sensitif daripada creatine kinase
isoenzyme (CK-MB). Troponin digunakan sebgai alat diagnosis, stratifikasi
resiko, dan menentukan prognosis. Trponin yang meningkat berkorelasi dengan
peningkatan resiko kematian, semakin tinggi peningkatannya, maka semakin
besar pula resiko nya.

Pada pasien STEMI, hasil biomarker tidak boleh menyebabkan


keterlambatan dalam pemberian terapi reperfusi. Kekurangan pada pemeriksaan
ini adalah pemeriksaan ini tidak sensitif pada 4-6 jam setelah muncul gejala. Oleh
karena itu biomarker jantung tidak berguna pada fase prehospital. Apabila
biomarker dalam 6 jam pertama setelah onset gejala tersebut hasilnya negative,
maka direkomendasikan untuk mengecek ulang pada 6-12 jam setelah onset gejala
(Class I, LOE A).

Diagnosis infark miokard dapat ditegakkan apabila terdapat gejala atau


abnormal EKG yang mengarah pada suatu iskemia disertai peningkatan salah satu
biomarker jantung.

STEMI

19
Pasien dengan STEMI biasanya mengalami oklusi total arteri koroner
epikardial. Terapi awalnya yaitu terapi reperfusi dini berupa pemberian
fibrinolitik (reperfusi farmakologis) atau PPCI (reperfusi mekanik). Pasien yang
tidak bisa mendapatkan terapi fibrinolitik, harus ditransfer untuk PPCI.

Terapi fibrinolitik diberikan <30 menit setelah pasien datang (door-to-


needle time) (Class I, LOE A). Konsultasi ke kardiologis atau dokter lain tidak
direkomendasikan, kecuali pada kasus-kasus yang meragukan, sebab konsultasi
menyebabkan terapi terhambat dan meningkatkan mortalitas di rumah sakit (Class
III, LOE B).

UA dan NSTEMI

Angina Tidak Stabil dan Non ST Elevasi Miokard Infark pada awalnya
sulit dibedakan. Pada pasien ini biasanya mengalami oklusi thrombus parsial atau
intermiten. Pada EKG 12 lead dapat ditemukan deviasi segmen ST yang
bervariasi, seperti EKG yang normal, perubahan minimal segmen ST atau
gelombang T, atau depresi ST segmen dan inversi gelombang T yang signifikan.

Peningkatan biomarker membedakan NSTEMI dari UA. Penigkatan


troponin mengindikasikan suatu resiko komplikasi kardiak yang mayor dan
memerlukan strategi invasive. Troponin menunjukkan adanya nekrosis miokard,
walaupun terdapat beberapa kondisi lain selain SKA yang dapat menyebabkan
peningkatan biomarker (seperti miokarditis, gagal jantung, dan emboli paru).

Strategi terapi pada UA / NSTEMI adalah antiplatelet, antitrombin, dan


antiangina, serta tergantung dari stratifikasi resiko. Fibrinolitik
dikontraindikasikan pada sejumlah pasien dan dapat membahayakan ; strategi
invasive diindikasikan pada pasien dengan biomarker yang positif dan kondisi
yang tidak stabil.

Indikator untuk Strategi Invasif Dini

20
Stratifikasi resiko (TIMI, GRACE, Braunwald, dan lain sebagainya) dapat
membantu dokter untuk menentukan pasien dengan non–ST-elevation ACS apakah
perlu diterapi dengan terapi invasif dini atau terapi invasif selektif lainnya.
Angiografi koroner dini dapat membantu menentukan pasien yang berkandidat
untuk direvaskularisasi dengan PCI atau dengan coronary artery bypass grafting
(CABG). Menurut The 2007 Focused Update of the ACC/AHA/SCAI 2005
Guideline mengenai Update for Percutaneous Coronary Intervention, berisi
rekomendasi terkait pemilihan invasi dini dengan PCI atau strategi konservatif.

1. Strategi invasif PCI diindikasikan pada pasien non–ST-elevation ACS


dengan komorbid rendah dan lesi koroner tersebut dapat ditoleransi
dengan PCI (Class I, LOE A).
2. Strategi invasif dini (angiografi diagnostik dengan maksud melakukan
revaskularisasi) diindikasikan pada pasien non–ST-elevation ACS dengan
angina refrakter atau instabilitas hemodinamik atau instabilitas irama
jantung (tanpa komorbid yang serius atau kontraindikasi pada prosedur
tersebut) (Class I, LOE B).
3. Pada pasien stabil, strategi konservatif (strategi invasif selektif) dini dapat
dipertimbangkan pada pasien non–ST-elevation ACS (tanpa komorbid
yang serius atau kontraindikasi pada prosedur tersebut), yang memiliki
reiko tinggi, seperti peningkatan troponin (Class IIb, LOE B).
4. Keputusan memilih strategi konservatif dini atau strategi invasive dini
untuk pasien, dapat dipertimbangkan sesuai kebutuhan dokter dan pasien
(Class IIb, LOE C).

EKG Normal atau Nondiagnostik

Pasien pada kategori ini dikategorikan sebagai resiko rendah atau sedang.
Dokter perlu melakukan stratifikasi resiko untuk menentukan strategi diagnostik
dan terapi berikutnya. Strategi pada pasien yang memiliki resiko rendah atau
minimal ini, mendapatkan keuntungan sambil menghindari resiko (misalnya
akibat terapi antikoagulan dan kateter jantung invasif).

21
Terapi Umum Awal pada SKA

1. Oksigenasi

● Untuk meningkatkan suplai oksigen pada miokard yang mengalami


cedera (iskemik)
● Diberikan sampai pasien stabil dengan kadar oksigen 2-4 liter per
menit
2. Aspirin
Aspirin memiliki efek menghambat COX-1 dan mencegah
pembentukan tromboksan (TXA2) yang merupakan mediator dalam
aktivasi platelet sehingga mencegah agregasi platelet dan konstriksi
arterial. Aspirin dapat mencegah reoklusi koroner dan iskemik rekuren
setelah terapi fibrinolitik. Dosis rekomendasi awal 160-325 mg,
dikunyah lebih cepat diabsorbsi daripada yang ditelan. Aspirin
diberikan segera pada semua pasien SKA, kecuali terdapat
kontraindikasi (alergi, perdarahan aktif gastrointestinal). Aspirin
suppositoria (300mg) aman dan dapat digunakan untuk pasien dengan
mual muntah hebat atau kelainan saluran cerna bagian atas. NSAID
lain tidak boleh diberikan dan harus dihentukan pada pasien yang
sedang mengonsumsinya, karena dapat meningkatkan resiko
mortalitas, reinfark, hipertensi, gagal jantung, dan ruptur miokard
(Class III, LOE C).
3. Nitrat
Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol
perifer, dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat
mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen. Nitrat
juga meningkatkan suplai oksigen dengan
vasodilatasi pembuluh koroner dan memperbaiki
aliran darah kolateral. Untuk mengatasi nyeri
dada akut, preparat nitrat kerja cepat yang

22
biasanya diberikan adalah ISDN (Isosorbid
Dinitrat) secara sublingual atau aerosol dengan
dosis 5 mg, dapat diulang maksimal sebanyak 3
kali dengan interval waktu 3-5 menit. Jika nyeri
dada belum teratasi, dapat diberikan nitrogliserin
intravena dengan dosis awal 5 ug/menit dan
ditingkatkan (5-10 ug/menit) setiap 5 menit
sampai nyeri dada menghilang. Dosis maksimal 200
ug/menit. Pemberian nitrat dikontraindikasikan
pada pasien dengan hipotensi (sistolik <90 mmHg
atau ≥30 mmHg dibawah standar tekanan darah
pasien), bradikardia ekstrim (<50 kali/menit), atau
takikardia tanpa gagal jantung (>100 kali/menit)
dan pada pasien infark ventrikel kanan (Class III, LOE
C). Hati-hati pada pasien dengan STEMI inferior dan curiga infark
ventrikel kanan (lakukan EKG sebelah kanan), karena pada pasien ini
memerlukan preload ventrikel kanan yang adekuat. Nitrogliserin tidak
boleh diberikan pada pasien yang sedang menggunakan obat disfungsi
ereksi, yaitu penghambat phosphodiesterase, seperti sildenafil dalam
24 jam, atau tadalafil dalam 48 jam.
4. Jika nitrat intravena belum berhasil menghilangkan nyeri dada, dapat
diberikan morfin intravena dengan dosis 2,5-5 mg atau pethidin
dengan dosis 12,5-25 mg secara intravena.

Terapi Reperfusi
Terapi reperfusi akut dengan menggunakan PPCI (Primary Percutaneous
Coronary Intervention) atau terapi fibrinolitik pada pasien STEMI
mengembalikan aliran darah arteri yang menyebabkan infark, mencegah
meluasnya infark, dan menurunkan mortalitas dan reinfark. Fibrinolitik dapat
mengembalikan aliran koroner normal (TIMI 3) pada 50-60% subyek, sedangkan
PPCI pada lebih dari 90% subyek. PPCI juga memiliki keuntungan lebih daripada

23
fibrinolitik terkait menurunkan mortalitas dan kejadian reinfark, serta menurunkan
resiko perdarahan intrakranial dan stroke, sehingga menjadi pilihan pada pasien
lanjut usia dan memiliki resiko perdarahan.
● Fibrinolitik
Terapi diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala < 12 jam,
tidak ada kontraindikasi dalam pemberian fibrinolitik, serta apabila PCI
tidak tersedia dalam waktu 90 menit setelah kontak medis pertama kali.
Terapi fibrinolitik tidak direkomendasikan pada pasien dengan onset
gejala 12-24 jam (berdasarkan LATE and EMERAS trials), kecuali nyeri
dada iskemik yang menetap disertai elevasi segmen ST yang menetap
(Class IIb, LOE B). Terapi fibrinolitik seharusnya tidak diberikan (Class
III, LOE B) pada pasien dengan onset gejala lebih dari 24 jam.
Pasien dengan onset gejala dini dengan perubahan EKG yang luas
(AMI luas) dan resiko rendah terjadinya perdarahan intrakranial, memiliki
keuntungan terbesar untuk mendapatkan terapi fibrinolitik. Pasien dengan
gejala yang curiga SKA dan EKG yang menunjukkan gambaran LBBB
juga merupakan kandidat baik untuk mendapatkan intervensi karena
mereka memiliki mortalitas tertinggi, yang mana LBBB disebabkan oleh
AMI yang luas. STEMI inferior dengan atau tanpa keterlibatan RV,
memiliki keuntungan yang besar pada pemberian fibrinolitik.
Semakin tinggi regimen fibrinolitik yang
diberikan dengan pemberian rtPA (alteplase) dan
heparin memiliki resiko lebih tinggi daripada
pemberian streptokinase dan aspirin. Faktor-faktor
yang berperan pada resiko perdarahan intrakranial
adalah usia (≥65 tahun), berat badan rendah (<70 kg),
hipertensi (>180/110 mmHg), dan penggunaan rtPA.

● Percutaneous Coronary Intervention


Angioplasti koroner dengan atau tanpa stent adalah terapi pilihan
pada STEMI, dengan door-to-balloon time <90 menit oleh tenaga medis

24
terlatih (melakukan >75 PCI per tahun) di RS yang difasilitasi PCI terlatih
(melakukan >200 PCI per tahun, yang mana sedikitnya 36 adalah primary
PCI untuk STEMI) (Class I, LOE A). PPCI juga dapat dilakukan di non-
PCI centers ketika diperkirakan door-to-balloon time nya dapat <90 menit.
Pasien AMI yang sebelumnya sudah mendapatkan fibrinolitik di non-PCI
center, dan kemudian ditransfer ke PCI center masih dalam 6 jam setelah
onset gejala, dapat diberikan PCI dini secara rutin dalam 45 – 120 menit
kemudian (bervariasi tergantung usia, lokasi infark, dan durasi infarknya).
Pada pasien yang tidak dapat mendapatkan PCI <90 menit dan memiliki
kontraindikasi pemberian fibrinolitik, PCI tetap direkomendasikan, lebih
baik sempat tertunda (Class I, LOE A). Pasien STEMI dengan syok, PCI
atau CABG merupakan pilihan terapi reperfusi. Pemberian fibrinolitik
dapat dipertimbangkan untuk konsultasi dengan kardiologis, hanya apabila
terdapat keadaan yang menyebabkan keterlambatan untuk dilakukan PCI.

Miokard Infark Akut Komplikata


● Syok Kardiogenik, Gagal Jantung Ventrikel Kiri, dan Gagal Jantung
Kongestif
Infark ventrikel kiri ≥40% biasanya
menyebabkan syok kardiogenik dan memiliki angka
mortalitas yang tinggi. Pasien dengan elevasi segmen
segmen ST lebih cepat menyebabkan syok daripada
yang tanpa elevasi segmen ST. PCI lebih diutamakan
pada kasus syok kardiogenik dan gagal jantung
kongestif, yang mana menurut SHOCK trial ACC/AHA
guidelines PPCI pada syok diberikan dalam 36 jam setelah onset gejala,
sedangkan bagi yang berkandidat untuk dilakukan revaskularisasi,
dilakukan dalam 18 jam setelah onset gejala syok. Guidelines juga
mendukung dalam penggunaan Intra-Aortic Balloon Counterpulsation
(IABP) sebagai penunjang hemodinamik pada pemberian terapi agresif.
Pada kasus seperti itu, IABP bekerja secara sinergis dengan agen

25
fibrinolitik, beserta dengan strategi revaskularisasi dini pada SHOCK trial.
ACC/AHA STEMI guidelines merekomendasikan door-to-departure time
≤30 menit untuk mentransfer ke PCI-center.

● Infark Ventrikel Kanan (RV-Right Ventricular)


Infark atau iskemia RV dapat terjadi pada >50% pasien dengan
miokard infark dinding inferior. Dokter harus mencurigai adanya infark
RV pada pasien dengan infark dinding inferior, hipotensi, dengan paru-
paru yang bersih, maka perlu dilakukan EKG lead kanan. Elevasi segmen
ST (>1 mm) pada lead V4R memiliki sensitivitas 88% dan spesifisitas
78%, dengan akurasi diagnostik 83% untuk infark RV, dan merupakan
prediktor kuat untuk menilai komplikasi dan mortalitas di rumah sakit.
Mortalitas disfungsi RV di rumah sakit adalah 25-30%, dan pasien
ini dipertimbangkan untuk terapi reperfusi. Pasien syok karena gagal
jantung RV memiliki mortalitas yang sama dengan pasien syok karena
gagal jantung LV. Pasien disfungsi dan infark akut RV berhubungan
dengan tekanan pengisian RV (RV end-diastolic pressure) untuk menjaga
curah jantung. Nitrat, diuretic, dan vasodilator (ACE inhibitors) harus
dihindari karena dapat menyebabkan hipotensi berat. Jika terjadi hipotensi,
berikan bolus cairan intravena.

Terapi Tambahan pada Sindrom Koroner Akut dan Infark Miokard Akut

1. Thienopyridines
● Clopidogrel
Clopidogrel adalah obat oral derivate thienopyridine yang memiliki
efek menghambat reseptor Adenosine Diphosphate (ADP) yang ada
pada platelet, secara ireversibel, sehingga mengurangi agregasi
platelet dengan cara yang berbeda dengan aspirin. Pemberian
clopidogrel efektif pada pasien-pasein yang alergi terhadap aspirin.
Dosis loading : 300 mg, kemudian dilanjutkan 75 mg/hari.

26
Terjadi penurunan angka mortalitas dengan efek perdarahan yang
sedikit ketika clopidogrel diberikan pada pasien NSTEMI. Kejadian
stroke dan komplikasi jantung berat pada pasien SKA dengan
peningkatan biomarker jantung atau dengan EKG yang menunjukkan
iskemia menjadi berkurang dalam 4 jam di rumah sakit, apabila
clopidogrel diberikan beserta aspirin dan heparin. Clopidogrel yang
diberikan 6 jam atau lebih sebelum dilakukan PCI elektif pada pasien
SKA tanpa elevasi segmen ST, mengurangi kejadian komplikasi
akibat iskemik dalam 28 hari.
Pada pasien yang akan dilakukan CABG dalam 5-7 hari pemberian
clopidogrel memiliki resiko perdarahan yang rendah (menurut The
Clopidogrel in Unstable angina to prevent Recurrent ischemic Events
(CURE) trial). Pemberian clopidogrel pada pasien SKA yang
membutuhkan CABG, memerlukan faktor pemberat lain untuk
mengakibatkan resiko perdarahan. Guidelines terkini ACC/AHA
merekomendasikan untuk mengantisipasi penghentian clopidogrel
selama 5-7 hari pada pasien yang akan dilakukan CABG.
Pemberian clopidogrel sebelum atau selama di rumah sakit pada
pasien STEMI yang diterapi dengan PPCI, dapat mengurangi angka
mortalitas dengan komplikasi perdarahan yang sedikit.
Kesimpulannya, perlu dilakukan pemberian clopidogrel loading
dose ditambah dengan terapi dasar (aspirin, antikoagulan, dan
reperfusi) pada pasien dengan resiko sedang hingga tinggi pada
NTEMI dan STEMI (Class I, LOE A).
Pada pasien usia <75 tahun direkomendasikan untuk diberikan
loading dose 300-600mg pada non-STE ACS (NTEMI/UA) dan
STEMI, terlepas dari pendekatan manajemen. Pada pasien curiga SKA
(tanpa perubahan EKG maupun marker jantung) yang tidak dapat
diberikan aspirin (alergi atau intoleransi gastrointestinal berat), dapat
diberikan clopidogrel 300mg oral (Class IIa, LOE B).

27
Pada pasien <75 tahun dengan STEMI yang mendapatkan aspirin,
heparin, dan fibrinolitik, harus diberikan clopidogrel 300mg oral
(Class I, LOE B). Pemberian clopidogrel loading dose 300mg
ditambah dengan aspirin dan heparin (LMWH atau UFH) pada pasien
usia >75 tahun dengan STEMI yang diterapi fibrinolitik, dengan
peningkatan resiko mortalitas, dengan resiko perdarahan yang kecil,
perlu diobservasi (dilanjutkan pemberian 75mg/hari sampai dengan 8
hari di rumah sakit).

● Prasugrel
Prasugrel adalah obat oral derivate
thienopyridine yang bekerja menghambat reseptor
ADP untuk menghambat agregasi platelet.
Prasugrel memiliki efek menurunkan kejadian
kombinasi (mortalitas kardiovaskular, infark
nonfatal, dan stroke nonfatal), namun tidak
memiliki keuntungan dalam hal mortalitas
(dibandingkan dengan clopidogrel), serta dapat
meningkatkan kejadian perdarahan ketika akan
dilakukan angiografi pada pasien NSTEMI maupun
STEMI yang akan direncanakan PCI. Faktor resiko
yang dapat meningkatkan komplikasi perdarahan
pada pemberian prasugrel adalah usia ≥75 tahun,
pernah mengalami stroke atau TIA, dan berat badan
<60 kg. Dosis pemberian prasugrel adalah 60-mg oral loading dose.
Prasugrel tidak direkomendasikan pada pasien STEMI yang diterapi
dengan fibrinolitik atau pasien NSTEMI yang akan dilakukan
angiografi.

28
2. Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitors
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah
ikatan terakhir pada proses agregasi platelet. Karena antagonis GP
IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet dengan
fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi. Contoh :
abciximab, eptifibatide, tirofiban.
Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak stabil
maupun untuk obat tambahan dalam tindakan PCI terutama pada
kasus-kasus angina tak stabil. Untuk saat ini belum ada penelitian
yang mendukung adanya penggunaan antagonis GP IIb/IIIa pada
pasien STEMI.

3. β-Adrenergic Receptor Blockers


β-blocker memiliki efek inotropik dan kronotropik negatif
sehingga dapat meningkatkan suplai oksigen dan menurunkan
kebutuhan oksigen jantung melalui efek penurunan denyut jantung
dan daya kontraksi miokardium. Pemberian β-blocker pada jam-jam
pertama IMA dapat membatasi perluasan infark, mengurasi risiko
reinfark, dan memperpanjang harapan hidup. Jika tidak terdapat
kontraindikasi (bradikardi – nadi <60 kali/menit, bronkospasme,
hipotensi- sistolik <100mmHg, tanda-tanda hipoperfusi perifer, atau
AV blok derajat II atau III), β-blocker dapat diberikan dalam 24 jam
pertama onset nyeri dengan tujuan untuk mencapai denyut jantung
sekitar 60x/menit. β-blocker yang diberikan sebaiknya yang
merupakan kardioselektif, seperti atenolol, acebutolol, bisoprolol,
esmolol, atau metoprolol.
Pemberian β-blocker IV secara dini dapat mencegah aritmia yang
berbahaya dan mengurangi infark. Guidelines ACC/AHA terkini
merekomendasikan pemberian β-blocker oral dalam 24 jam pertama
perawatan di rumah sakit pada pasien-pasien SKA (Class 1, LOE A).

29
β-blockers oral dimulai dengan dosis rendah pada pasien yang sudah
stabil dan akan dipulangkan (Class IIa, LOE B).

4. Heparin

Heparin bekerja dengan berikatan dengan antithrombin sehingga


menghambat pembentukan thrombin, dan banyak digunakan sebagai
terapi tambahan untuk fibrinolitik dan sebagai obat kombinasi dengan
aspirin dan obat antiplatelet lainnya pada terapi NSTEMI. UFH
(Unfractionated Heparin) memiliki beberapa kerugian, seperti (1)
pemberiannya melalui intravena; (2) memerlukan monitor activated
partial thromboplastin time (aPTT) secara rutin; (3) respon
antikoagulan yang tidak dapat diprediksi tergantung individu
pasiennya; dan (4) heparin dapat menstimulasi aktivasi platelet,
sehingga menyebabkan trombositopenia. Karena banyaknya
keterbatasan tersebut, dikembangkan preparat lebih baru pada
heparin, yaitu LMWH (Low Molecular Weight Heparin).

Low Molecular Weight Heparin (LMWH)


LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai
polisakarida heparin. Dibandingkan dengan unfractionated heparin
(UFH), LMWH mempunyai ikatan terhadap protein plasma yang
kurang, bioavaibilitas lebih besar. LMWH yang ada di Indonesia ialah
enoksaparin, bivalirudin, dan fondaparinux. Keuntungan pemberian
LMWH karena cara pemberian mudah, yaitu dapat disuntikkan secara
subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium.

Pemberian LMWH versus UFH pada NSTEMI


Enoksaparin dan fondaparinux merupakan alternatif dari
penggunaan UFH pada pasien NSTEMI, baik yang akan dilakukan
pendekatan konservatif maupun invasif (Class IIa, LOE A). Pada

30
pasien NSTEMI dengan insufisiensi renal, bivalirudin atau UFH lebih
dipertimbangkan (Class IIb, LOE A). Pada pasien NSTEMI dengan
resiko perdarahan, dimana terapi antikoagulan tidak
dikontraindikasikan, maka fondaparinux (Class IIa, LOE B) atau
bivalirudin (Class IIa, LOE A) merupakan pilihan dan UFH dapat
dipertimbangkan (Class IIb, LOE C).

Pemberian LMWH versus UFH pada Pasien STEMI yang di Terapi


dengan Fibrinolitik
● Enoksaparin
Pada pasien STEMI yang akan di fibrinolitik, enoksaparin lebih
dipilih daripada UFH (Class IIa, LOE A). Pasien yang mendapatkan
terapi awal enoksaparin tidak boleh diganti menjadi UFH, begitu pula
sebaliknya, karena meningkatkan resiko perdarahan (Class III, LOE
C).
Pasien usia <75 tahun, dosis awal enoksaparin
adalah 30 mg bolus IV dilanjutkan 1 mg/kgBB SC
setiap 12 jam (subkutan yang pertama diberikan
langsung setelah pemberian bolus IV) (Class IIb,
LOE A). Pasien ≥75 tahun diberikan 0.75 mg/kgBB SC
enoksaparin setiap 12 jam tanpa bolus IV
sebelumnya (Class IIb, LOE B). Pasien dengan fungsi
renal terganggu, (creatinine clearance <30 mL/menit) dapat
diberikan 1 mg/kgBB enoksaparin SC satu kali per hari (Class IIb,
LOE B), atau dapat diberikan UFH (Class IIb, LOE B).
● Fondaparinux
Fondaparinux (dosis awal 2.5 mg IV dilanjutkan dengan 2.5 mg SC
satu kali per hari) dipertimbangkan pada pasien dengan pemberian
trombolitik (streptokinase), dengan kreatinin <3 mg/dL (Class IIb,
LOE B).

31
● Tidak ada data yang cukup yang merekomendasikan penggunaan
LMWH lain atau bivalirudin daripada UFH pada pasien STEMI yang
diterapi dengan fibrinolitik.

Pemberian LMWH versus UFH pada Pasien STEMI yang di Terapi


dengan PPCI
Penelitian menunjukkan adanya peningkatan outcome yang sama
pada penggunaan enoksaparin maupun UFH pada pasien yang akan
dilakukan PPCI kombinasi dengan penghambat GP IIb/IIIa dan
thienopyridine. Pasien yang mendapatkan terapi awal enoksaparin
tidak boleh diganti menjadi UFH, begitu pula sebaliknya, karena
meningkatkan resiko perdarahan.
Satu penelitian menunjukkan adanya outcome yang lebih baik pada
kejadian kardiak akut dan perdarahan, dengan penggunaan
fondaparinux dan PPCI. Adanya thrombus pada kateter PCI pasien
yang diberikan fondaparinux, memerlukan terapi tambahan UFH (50 -
100 U/kg bolus) (Class IIb, LOE B). Untuk pasien dengan gangguan
ginjal, dosis fondaparinux dan enoksaparin perlu penyesuaian.
Terdapat juga penelitian yang menunjukkan perdarahan yang lebih
sedikit dan mengurangi kejadian kardiak dan menurunkan mortalitas
pada pemberian bivalirudin dibandingkan dengan UFH dan
penghambat glikoprotein pada pasien STEMI yang di PPCI.

5. Calcium Channel Blockers (CCB)


Dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan tekanan darah.
Ada 2 golongan besar pada antagonis kalsium :
● Golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat dan
penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit dan efek
inotropik negatif juga kecil (Contoh : nifedipin)
● Golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki survival
dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan

32
fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan
afterload memberikan keuntungan pada golongan nondihidropiridin
pada sindrom koroner akut dengan faal jantung normal (Contoh :
verapamil dan diltiazem).

Sampai saat ini terdapat sedikit penelitian mengenai obat CCB


sebagai terapi alternatif atau terapi tambahan untuk β-blockers. CCB tidak
terbukti dapat menurunkan mortalitas setelah kejadian akut miokard
infark, namun juga tidak ada data bahwa CCB membahayakan. β-blocker
lebih lazim dipergunakan karena aman dan merupakan pilihan pada pasien
infark miokard jika dibandingkan dengan CCB.

6. ACE Inhibitor dan ARB

Terapi dengan ACE inhibitor dini setelah perawatan di rumah sakit,


menunjukkan peningkatan angka kesembuhan pada pasien infark miokard
akut. Pemberian ACE inhibitor oral direkomendasikan dalam
24 jam pertama setelah onset gejala pada pasien
STEMI dengan kongesti paru atau fraksi ejeksi
ventrikel kiri <40%, tanpa hipotensi (tekanan darah
sistolik <100 mmHg atau ≥30 mmHg dibawah biasanya)
(Class I, LOE A). ACE inhibitor oral juga berguna pada pasien infark
miokard akut dengan atau tanpa terapi reperfusi dini (Class IIa, LOE B).
Pemberian ACE inhibitor IV dikontraindikasikan pada 24 jam pertama,
karena beresiko menyebabkan hipotensi (Class III, LOE C). Namun belum
ada penelitian yang cukup untuk mendukung pemberian ACE inhibitor dan
ARB pada fase prehospital (Class IIb, LOE C).

7. HMG Coenzyme A Reductase Inhibitors (Statins)


Dengan menghambat biosintesis kolesterol serta meningkatkan
ekspresi reseptor LDL di hepar, statin memiliki efek menurunkan LDL-
kolesterol dan prekursornya dari sirkulasi. Statin juga memiliki efek

33
pleiotropik, yaitu perbaikan fungsi endotel, anti-inflamasi, anti-proliferasi
otot polos, anti-oksidan, anti-trombosis, dan stabilisasi plak, sehingga
pemberian statin dianjurkan pada pasien SKA dengan target kadar LDL <
70 mg/dl.
Statin diberikan dalam 24 jam pertama setelah onset gejala pada
pasien SKA atau IMA (Class I, LOE C), kemudian terapi tetap dteruskan
(Class IIb, LOE C). Belum ada laporan mengenai resiko maupun perhatian
khusus dalam penggunaan statin pada SKA.

VIII. KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling terjadi adalah pada pasien IMA adalah


aritmia dan gagal jantung kongestif. Komplikasi lainnya, seperti syok
kardiogenik, ruptur septum atau dinding ventrikel, perikarditis, myocardial
stunning, dan tromboemboli.

IX. PROGNOSIS

Klasifikasi Killip adalah sistem yang digunakan pada individu dengan


infark miokard akut, untuk stratifikasi risiko mereka. Individu dengan kelas
Killip rendah kurang mungkin untuk meninggal dalam 30 hari pertama
setelah infark miokard daripada individu dengan kelas Killip tinggi.

Klasifikasi Killip dibuat sebagai berikut :


Tahap 1:
Tidak ada gagal jantung. Tidak ada tanda klinis dekompensasi jantung.

Tahap 2
Gagal jantung. Kriteria diagnostik termasuk krepitasi, gallop S3 dan hipertensi vena.
Kongesti paru dengan ronki basah halus di bagian basal paru.

Tahap 3

34
Gagal jantung parah. Edema paru Frank di semua bidang paru.

Tahap 4
Syok cardiogenik. Tanda-tanda meliputi hipertensi (SBP ≤ 90
mmHg), dan bukti vasokonstriksi perifer seperti
oligouria, sianosis, dan diaforesis.

ISKEMIK HEPATITIS

Iskemik Hepatitis adalah kerusakan hati yang meluas akibat


hipoperfusi akut. Iskemik hepatitis menyebabkan nekrosis sel hati
sentrilobular dan peningkatan tajam serum aminotransferase pada pasien
gagal jantung, gagal sirkulasi atau gagal napas. Saat ini iskemik hepatitis
adalah penyebab tersering kerusakan hati akut di ICU dengan prevalensi
mencapai 10%. Iskemik hepatitis lebih disebabkan karena forward failure

35
yaitu menurunnya cardiac output yang mengakibatkan hipoperfusi. Segala
kondisi yang menyebabkan hipotensi dan instabilitas hemodinamik dapat
mengakibatkan ischemic hepatitis. Kondisi-kondisi tersebut antara lain:
Kolaps kardiopulmonal setelah infark miokard, eksaserbasi gagal jantung,
emboli paru, syok kardiogenik, syok hipovolemik, dehidrasi berat, tamponade
perikardium, pembedahan jantung terbuka, asfiksia, kejang lama, heat stroke.

ACUTE KIDNEY INJURY

Acute kidney injury atau gagal ginjal akut adalah suatu sindrom akibat
kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang mendadak dalam waktu beberapa hari atau
beberapa minggu dengan atau tanpa oliguria sehingga mengakibatkan
hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeotasis tubuh.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Trisnohadi H. Angina Pektoris Tak Stabil dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi V. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.p1728-17

37
2. Alwi Idrus. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.p 1741-1754
3. O'Connor RE, Brady W, Brooks SC, Diercks D, Egan J, Ghaemmaghami C,
Menon V, O'Neil BJ, Travers AH, Yannopoulos D. Part 10: acute coronary
syndromes: 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
Circulation. 2010;122(suppl 3):S787–S817.
4. Antman EM, dkk. ACC/AHA guidelines for the management of patients with
ST-elevation myocardial infarction: a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines
(Committee to Revise the 1999 Guidelines for the Management of Patients
with Acute Myocardial Infarction). Circulation. 2004;110:e82-e292.
5. O'Connor RE, Al Ali AS, Brady WJ, Ghaemmaghami CA, Menon V,
Welsford M, Shuster M. Part 9 : Acute Coronary Syndromes : 2015 American
Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardivascular Care. Circulation. 2015;132(suppl 2):S483–S500.
6. Morrow DA, dkk. TIMI Risk Score for ST-Elevation Myocardial Infarction: A
Convenient, Bedside, Clinical Score for Risk Assessment at Presentation.
Diunduh dari : http://circ.ahajournals.org/content/102/17/2031. 16 Januari
2017.

http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/viewFile/7/5

http://repository.unimus.ac.id/231/1/Itsnaeni.pdf

http://www.itamar-medical.com/atherosclerosis-a-symptom-of-endothelial-
dysfunction/

38
39

Anda mungkin juga menyukai