Anda di halaman 1dari 59

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri akut abdomen adalah suatu kegawatan abdomen yang sering dikeluhkan
dan menjadi alasan utama pasien datang ke dokter. Tetapi, nyeri abdomen yang
dijadikan sebagai keluhan utama masih memberikan banyak kemungkinan
diagnosis karena nyeri dapat berasal baik dari organ dalam abdomen (nyeri viseral)
maupun dari lapisan dinding abdomennya (nyeri somatik). Nyeri akut abdomen
yang timbul bisa tiba-tiba atau sudah berlangsung lama. Namun, penentuan lokasi
dari nyeri abdomen mampu membantu dokter untuk mengarahkan lokasi pada
organ yang menyebabkan nyeri tersebut, walaupun nyeri yang dirasakan mungkin
akibat dari penjalaran organ lain. Salah satu lokasi nyeri abdomen yang paling
sering terjadi yaitu pada titik Mc Burney.1
Nyeri pada titik ini mengarah pada infeksi di apendiks (apendisitis). Apendisitis
adalah penyakit pada bedah mayor yang paling sering terjadi dan biasanya sebagian
besar dialami oleh para remaja dan dewasa muda. Dalam kasus ringan,
apendisitis dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan
laparotomi atau laparoskopi dengan penyingkiran apendiks yang terinfeksi.1,2
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Bersama-sama
cabang kedokteran lain serta anggota masyarakat ikut aktif mengelola bidang
kedokteran gawat darurat.3
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif atau darurat)
harus dipersiapkan dengan baik. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi
pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang herus dilaksanakan yaitu
praanestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan
anestesi,menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Tahap
penatalaksanaan anestesi yang terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan
pemeliharaan. Serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.

1
Apendisitis merupakan peradangan pada appendiks. Bila diagnosis sudah pasti,
maka terapi yang paling tepat dengan tindakan operatif, yang disebut apendekomi.
Penundaan operasi dapat menimbulkan bahaya, antara lain abses atau perforasi.
Berdasarkan latar belakang diatas menjadi dasar penulis untuk mengulas lebih
dalam mengenai general anestesi pada tindakan laparoskopi appendiktomi pada
pasien appendisitis akut apendisitis.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Laporan Pra Anestesi


a. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 20 Tahun
NO RM : 924133
Alamat : Jambi
Ruangan : Kelas II
Diagnosis : Appendisitis akut
Tindakan : Laparoskopi apendiktomi
Masuk RS : 07 Agustus 2019

b. Anamnesis
Keluhan utama :
Nyeri perut kanan bawah sejak ± 4 hari SMRS

Riwayat penyakit sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD Raden Mattaher dengan keluhan nyeri perut
kanan bawah sejak ± 4 hari SMRS.
± 4 hari SMRS, pasien merasakan nyeri di ulu hati, kemudian berpindah
diperut kanan bawah. Nyeri dirasakan terus-menerus dan tidak menjalar, nyeri
dirasakan seperti tertusuk-tusuk dan dirasakan makin lama semakin memberat.
Nyeri dirasakan memberat saat perut ditekan dan pasien bergerak, sehingga
pasien susah beraktivitas.
± 2 hari SMRS, pasien mengeluh tidak nafsu makan, mual, muntah
sebanyak tiga kali, berisi apa yang dimakan, darah (-), lendir (-) selain itu
pasien juga merasa perut terasa kembung, demam (+).
± 1 hari SMRS nyeri perut kanan semakin memberat, nyeri dirasakan
hilang timbul kemudian menjadi terus menerus, keluhan membaik jika pasien
membungkuk dan memburuk jika pasien banyak melakukan aktivitas. Keluhan

3
disertai demam yang semakin meningkat, mual dan muntah. Pasien tidak BAB
selama 2 hari , tidak flatus, BAK normal. Pola makan pasien tidak teratur dan
jarang mengkonsumsi serat.
Pasien direncanakan dilakukan tindakan laparoskopi apendiktomi pada
tanggal 9 Agustus 2019 di OKA sentral RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi.

Riwayat penyakit dahulu:


- Riwayat Hipertensi : (-)
- Riwayat Gastritis : (-)
- Riwayat Asma : (-)
- Riwayat Operasi : (-)
- Riwayat Sakit jantung : (-)

Riwayat penyakit keluarga:


- Riwayat dengan keluhan yang sama (-)

Riwayat Kebiasaan:
- Merokok : (-)
- Minum Alkohol : (-)
- Pemakaian Gigi palsu : (-)

c. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 GCS : E4V5M6
 Vital Sign :
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 83 x/menit
RR : 17 x/menit
Suhu : 36,5 ºC
 Kepala : Normocephal
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek
cahaya (-/), pupil isokor

4
 THT : Perdarahan (-), gigi komplit, mallampati I
 Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
 Thorax
Paru-paru
 Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris,skar (-)
 Palpasi : Nyeri tekan (-), krepitasi (-)
 Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler (+),ronkhi (-), wheezing (-)

Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicularis
sinistra
 Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula
sinistra
 Perkusi : Batas jantung dbn
 Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen
 Inspeksi : Datar, skar (-)
 Auskultasi : Bising usus (+), 14 x/menit
 Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), nyeri tekan kanan
bawah (+), mc. Burney’s (+), blumbeg’s sign (+), rovsing sign (+),
obturator sign (+).
 Perkusi : Timpani

 Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2 detik, edema (-)

d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hematologi Lengkap
Hemoglobin 13,3 g/dL 11-16
Trombosit 191 10^9/L 100-300

5
Leukosit 12,74 10^9/L 4-10
CT 2 menit 1-6
BT 5 menit 5-15
Faal Ginjal
Ureum 20 mg/dl 15-39
L 0,9-1,3
0,6 mg/dl
Kreatinin P 0,6-1,1
Elektrolit
Na 138,79 mmol/L 135-148
K 4,34 mmol/L 3,5-5,3
Cl 96,42 mmol/L 98-110
Ca 1,20 mmol/L 1,19-1,23

Radiologi
Rontgen Thorak

Ekspertise
Trakea ditengah, clavicula simetris, inspirasi cukup, corakan bronkovesikuler pada
lapangan paru, aorta elongasi (-), sudut costofrenicus lancip
Kesan : Pulmo dan cor dalam batas normal

e. Diagnosis : Appendisitis akut

f. Penentuan Status Fisik ASA : I / II / III / IV / V

6
g. Persiapan Pra Anestesi :
- IVFD dipasang dari ruang rawat inap dengan abocath no. 18
- Siapkan Informed Consent dan SIO
- Puasa 6 jam sebelum operasi

2.2 Laporan Tindakan Anestesi


- Metode : Anestesi umum
- Premedikasi : Ondansetron 4 mg
Ranitidin 50 mg
Dexametason 10 mg
- Medikasi : Analgetik : Fentanyl 100 mcg
Induksi : Propofol 130 mg
Relaksan : Atracurium 30 mg
- Persiapan alat :
STATICS
Scope : Stetoskop dan Laringoskop dewasa
Tube : ETT Non Kinking no 7,5
Airway : Goodle No 3
Tape : Plaster Panjang 2 buah dan pendek 2 buah
Intorducer : Mandrain
Connector : Penyambung Pipa
Suction : Suction No 12
- Intubasi : Insersi ETT no.7,5
- Maintenance : Sevoflurans + N2O : O2

Terapi cairan
 Maintenance (M)
M = 2 cc/KgBB/jam
M = 2 x 50  100 cc/jam
 Pengganti Puasa (PP)
P = puasa x maintenance
P = 7x 100  700 cc
 Stres operasi (O)

7
O = 6cc/kgBB (Operasi Sedang)
O = 6 x 50  300 cc
 EBV : 70 x BB
EBV : 70 x 50  3500 cc
 EBL : 20% x EBV
EBL : 20% x 3500 cc  700 cc

Kebutuhan cairan selama operasi (1 jam) :


 Jam I :1/2 (700 cc) + 300 cc + 100 cc = 750 cc
 Total cairan  750 cc

MONITORING
Jam TD Nadi RR SpO2 Keterangan
 Pasien masuk ke kamar operasi, dan dipindahkan ke
meja operasi
 Pemasangan alat monitoring, tekanan darah, saturasi,
10.10 120/80 80 18 100%
nadi, oksigen 2L
 Diberikan cairan RL dan obat premedikasi (ranitidin 50
mg, ondansentron 4 mg, dan dexamethason 5 mg)
 Pasien dipersiapkan untuk induksi
 Pasien di berikan analgesik fentanil 100 mcg, induksi
dengan propofol 130 mg, cek refleks bulu mata.
10 : 15 120/80 77 18 100% Kemudian pasien dipasangkan sungkup dan mulai di
bagging, lalu diberikan relaksan yaitu atracurium 30
mg.

 Setelah di bagging selama 5 menit pasien di intubasi


dengan ETT no. 7,5.
 Dilakukan auskultasi di kedua lapang paru untuk
10 : 20 110/75 68 16 100%
mengetahui apakah ETT terpasang dengan benar.
 ETT di hubungkan dengan ventilator.
 ETT difiksasi dengan plester.

8
 Diberikan maintenance yaitu sevoflurans 2% dan N2O
2L

 Pasien dipasangkan kateter urine


 Urine bag dikosongkan
10 : 25 110/70 66 17 100%
 Pasien diposisikan supine
 Operasi dimulai
 Kondisi terkontrol
10. 30 121/85 68 18 100%
 Diberikan cairan RL kolf ke II
 Appendix berhasil di potong dan dikeluarkan
 Dilakukan penjahitan untuk menutup luka bekas
10.50 130/80 70 18 100%
insisi
 Operasi Selesai
 Pasien diberikan reversal blokade atracurium yaitu
neostigmin dan sulfas atropin
11.05 120/80 70 18 100%  Pasien napas spontan
 Dilakukan suction
 Refleks batuk ada
 Pasien di ekstubasi
11.10 120/75 72 18 100%  Diberikan oksigen kemudian cek saturasi.

11.15 110/80 68 18 100%  Pasien sadar

 Pelepasan alat monitoring


11.20 125/70 72 18 100%  Pasien di pindahkan keruang pemulihan

2.3 Keadaan Intra Anestesi


- Letak penderita : Supine
- Airway : Single lumen ETT ukuran 7,5 dengan balon
- Lama anestesi : 1 jam
- Lama operasi : 1 jam
- Total asupan cairan :
- Kristaloid : 1000 cc

9
- Koloid :-
- Darah :-
- Komponen darah : -
- Total keluaran cairan
- Pedarahan : 50 cc
- Diuresis : 200 cc
- Perubahan teknik anestesi selama operasi : -

2.4 Keadaan Pasca Anestesi di Ruang Pemulihan


Masuk jam : 11.30 WIB
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4V5M6
Vital sign : TD : 120/80 mmHg
Nadi : 78x/menit
RR : 18x/menit
SpO2 : 99 %

Monitoring :

Jam TD Nadi RR SpO2 Keterangan


 Pasien masuk ruang pemulihan
 Dilakukan pemasangan monitoring
11.30 120/80 78 18 99%
dan dilakukan skoring dengan
menggunakan skor aldrete
11.45 120/80 80 18 99 %  Pasien keluar ruang pemulihan

Skoring Aldrete : Aktifitas (0-2) :2


Pernafasan (0-2) :2
Warna Kulit (0-2) :2
Sirkulasi (0-2) :2
Kesadaran (0-2) :2
Jumlah : 10

10
Jam keluar ruang pemulihan : 11.50 WIB

2.5 Instruksi Pasca Anestesi


1. Observasi tanda - tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit
2. Posisi tidur tanpa bantal sampai sadar penuh
3. Puasa sampai sadar penuh dan BU (+)
4. Terapi lainnya sesuai dokter operator : dr. Anton Trihartanto, Sp. B

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Appendisitis
3.1.1 Anatomi dan Fisiologi
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm dan
berpangkal di sekum. Lumennya menyempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Namun demikian pada bayi apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Apendiks terletak di ileosekum dan
merupakan pertemuan ketiga tinea koli.4
3.1.2 Etiologi dan Epidemiologi
Apendisitis merupakan infeksi bakteri. Faktor-faktor yang dapat menjadi
pencetus apendisitis:5
1. Obsruksi lumen apendiks : Obstruksi ini akan menyebabkan distensi pada
apendiks karena terkumpulnya cairan intraluminal. Obstruksi ini dapat
disebabkan oleh :
- Masuknya fekalit
- Kerusakan mukosa dan adanya tumor
- Terdapat bekuan darah
- Sumbatan oleh cacing ascaris
- Pengendapan barium di pemeriksaan x-ray sebelumnya..
2. Konstipasi dan pemakaian laksatif
Flora usus normal apatogen menjadi patogen.
3. Fokal infeksi dari tempat lain yang manjalar secara hematogen.
Insiden appendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang, namun dalam dekade tiga-empat dasawarsa terakhir menurun secara
bermakna. Kejadian ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan
makanan berserat dalam menu sehari-hari. Pria lebih banyak daripada wanita,
sedang bayi dan anak sampai berumur 2 tahun terdapat 1% atau kurang.5

12
3.1.3 Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.6
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
appendiks yang distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan mucus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan intralumen. Kapasitas lumen appendiks normal hanya sekitar 0,1 ml.
Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH2O.
Manusia merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat
mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi
gangrene atau terjadi perforasi.6,7
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.
Infeksi menyebabkan pembengkakan appendiks bertambah (edema) dan semakin
iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding appendiks).
Pada saat inilah terjadi appendiks akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat
berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor. 6,7
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendiks
supuratif akut. 6,7
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks yang
diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendiks gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendiks perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut

13
infiltrate apendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi appendiks yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-48
jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses
radang dengan menutup appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa
sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
appendiks akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. 6,7
Proses inflamasi lambat laun melibatkan serosa appendiks dan peritoneum
parietale pada regio tersebut sehingga nyeri dirasa berpindah ke kanan bawah. Pada
distensi yang hebat, daerah dengan suplai darah terburuk akan lebih menderita
sehingga akan terjadi infark. Distensi, invasi bakteri, kelainan vaksular dan infark
dapat menyebabkan terjadinya perforasi. Akan tetapi, proses tersebut tidak selalu
terjadi, pada beberapa kasus dapat sembuh spontan.1
3.1.4 Diagnosis
a. Anamnesis
Gejala klasik dari appendisitis adalah nyeri samar-samar atau tumpul yang
merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan
sering disertai dengan mual muntah, penurunan nafsu makan. Dalam beberapa jam
nyeri akan berpindah ke kanan bawah titik McBurney.5
b. Pemeriksaan Fisik
Tanda vital tidak berubah terlalu mencolok pada appendisitis. Kenaikan suhu
jarang lebih dari 1°C, tetapi perbedaan suhu rektal dan aksilar lebih dari 1°C, nadi
normal atau naik sedikit. Perubahan tanda vital yang mencolok menunjukkan
terjadinya komplikasi atau diagnosa lain.5
Pasien lebih memilih tidur terlentang atau miring ke kanan, dan pergerakan
sangat minim karena dapat mencetuskan nyeri. Kadang sudah terlihat waktu
penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut kanan bawah. Penderita
tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik.

14
Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan
perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.5
Pada palpasi didapatkan nyeri terbatas pada iliaka kanan, bisa disertai nyeri
lepas. Defence muscular menunjukan adanya tanda rangsangan peritoneum
parietal, hal ini berarti proses peradangan sudah mengenai peritoneum. Palpasi
dimulai dari kuadran kiri bawah yang dilanjutkan ke kuadran kiri atas, kuadran
kanan atau dan diakhiri dengan pemeriksaan kuadran kanan bawah.6,7
Beberapa test yang dapat dilakukan untuk pasien yang dicurigai appendisitis,
tetapi perlu diingat bahwa uji-uji tersebut tidak selalu positif pada semua kasus
karena seringkali tergantung dari letak appendiks.
a. Mc. Burney’s Sign
Dengan penekanan ujung jari pada regio iliaka kanan didapatkan nyeri tekan
positif, maksimum pada titik Mc. Burney.
b. Blumbeg’s Sign
Dengan menekan pelan-pelan sisi kiri abdomen kemudian dilepaskan secara
tiba-tiba, penderita merasa nyeri di daerah appendiks.
c. Rovsing’s Sign
Nyeri dijalarkan ke bagian kuadran kanan bawah sewaktu dilakukan penekanan
di daerah kuadran kiri bawah. 5,6
d. Tenhorn Sign
Pada penderita laki-laki bila testis ditarik pelan-pelan maka akan timbul nyeri
sebab testis ada hubungan dengan peritoneum. 5,6
e. Psoas Sign (untuk appendisitis retroperitoneal)
Bila appendiks berdekatan dengan M. psoas, gerakan M. psoas akan
menimbulkan nyeri. Tes dilakukan dengan rangsangan M. psoas lewat
hiperekstensi atau fleksi aktif.5,6
f. Obturator Sign
Biasanya positif pada appendisistis dengan appendiks letak pelvika dilakukan
dengan cara penderita tidur terlentang, tungkai kanan difleksi ke atas,
pemeriksa mamutar sendi panggul ke dalam (endorotasi) untuk meregangkan
M. obturator internus, jika terasa nyeri daerah apendiks berarti positif. 5,6

15
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Sistem skoring digunakan untuk
meningkatkan akurasi dari diagnostik appendicitis akut. Sistem scoring yang
banyak dilakukan adalah sistem Alvarado score. Berikut ini adalah beberapa
kriteria dalam Alvarado score untuk menegakkan diagnosis Appendicitis:5
Yang dinilai Skor
Gejala Nyeri fossa iliaca dextra 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1

Tanda Nyeri tekan iliaca dextra 2


Nyeri lepas iliaca dextra 1
Kenaikan suhu 1

Laboratorium Leukositosis 2
Neutrofil bergeser ke kiri 1

Interpretasi:
Skor 1-4 : Tidak dipertimbangkan mengalami apendisitis akut
Skor 5-6 : Dipertimbangkan apendisitis akut, tapi tidak perlu operasi segera
Skor 7-8 : Dipertimbangkan mengalami apendistis akut
Skor 9-10 : Hampir definitif mengalami apendisitis akut dan dibutuhkan
tindakan bedah

3.1.5 Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-
satunya pilihan yang baik adalah appendektomi. Pada appendisitis tanpa
komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada appendisitis
gangrenosa atau appendisitis perforata. Apendektomi bisa dilakukan seacra terbuka
atau laparoskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih
oleh ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan
observasi terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi dapat
dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop,
tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan
akan dilakukan operasi atau tidak.5,6,7

16
3.2 Anestesi
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum
ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua
sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran
juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang
heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir
sama dan dapat dikontrol. Obat anestesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan
secara intravena.8

3.2.1 Keuntungan dan Kerugian Anestesi Umum


Keuntungan Anestesi Umum8
1. Mengurangi kesadaran pasien intraoperatif
2. Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama
3. Memfasilitasi kontrol saluran napas, pernapasan, dan sirkulasi
4. Dapat digunakan dalam kasus-kasus sensitivitas terhadap agen anestesi lokal
5. Dapat diberikan tanpa menggerakkan pasien dari posisi terlentang
6. Dapat menyesuaikan untuk prosedur operasi dengan durasi tak terduga
7. Dapat diberikan dengan cepat dan reversibel

Kerugian Anestesia Umum8


1. Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi tumpul
dibawah anestesia umum.
2. Memerlukan pemantauan yang lebih holistik dan rumit.
3. Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya perubahan
kesadaran.
4. Risiko komplikasi pasca bedah lebih besar.
5. Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama.

3.2.2 Stadium-stadium Anestesi


Stadium anestesi dibuat berdasar efek eter. Eter merupakan zat anestetik volatil
yang poten dan digunakan luas pada zamannya. Selama masa penggunaan eter yang
cukup lama, dilakukan observasi dan pencatatan lengkap mengenai anestesi yang

17
terjadi. Klasifikasi Guedel dibuat oleh Arthur Emest Guedel pada tahun 1937,
meliputi:9
- Stadium 1 : disebut juga stadium induksi. Ini adalah periode sejak masuknya
obat induksi hingga hilangnya kesadaran, yang antar lain ditandai dengan
hilangnya refleks bulu mata. 9
- Stadium 2 : disebut stadium eksitasi. Setelah kesadaran hilang, timbul
eksitasi dan delirium. Pernafasan menjadi ireguler, dapat terjadi pasien
menahan nafas. Tejadi REM. Timbul gerakan-gerakan involuntari,
seringkali spastik. Pasien juga dapat muntah dan ini dapat membahayakan
jalan nafas. Pada stadium ini aritmia jantung pun dapat terjadi. Pupil dilatasi
sebagai tanda peningkatan tonus simpatis. Stadium ini adalah stadium yang
beresiko tinggi. 9
- Stadium 3 : disebut juga stadium pembedahan, dibagi atas empat plana,
yaitu :
Plana 1 : Mata berputar, kemudian terfiksasi
Plana 2 : Refleks kornea dan refleks laring hilang
Plana 3 : Dilatasi pupil, refleks cahaya hilang
Plana 4 : Kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi abdominal dan
dangkal. Pada stadium ini otot-otot skeletal akan relaks,
pernafasan menjadi teratur. Pembedahan dapat dimulai.
-
Stadium 4 merupakan stadium overdosis obat anestesi. Anestesi menjadi
terlalu dalam. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh, termasuk batang
otak. Stadium ini letal. Potensi bahaya yang begitu besar mendorong usaha-
usaha untuk memperbaiki teknik anestesia. Anestesia modern kini
berkembang menjadi prosedur yang mengutamakan keselamatan pasien.
Obat induksi masa kini bekerja cepat dan melampaui stadium 2, sekarang
hanya dikenal tiga stadium dalam anestesia umum, yaitu induksi, rumatan
dan emergensi. 8,9

3.2.3 Penilaian Pra Anestesi11


Anamnesis
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.

18
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit
anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma
bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan
penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat
yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat
anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik,
golongan aminoglikosid, dan lain lain.
5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi
seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
7. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi,
endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.11

Pemeriksaan Fisik12
1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan,keadaan gizi : malnutrisi atau
obesitas.
2. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan
yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
3. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu
tubuh.
4. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya
trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi
leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan
mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan mulut maksimal dan
posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati sangat penting untuk
menentukan kesulitan atau tidaknya dalam melakukan intubasi.
Penilaiannya yaitu:
Mallampati I : Palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla pharingeal

19
Mallampati II : Palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior
uvula
Mallampati III : Palatum molle, dasar uvula
Mallampati IV : Palatum durum saja
5. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
6. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
7. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau
tanda regurgitasi.
8. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi
vena atau daerah blok saraf regional

Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain12


 Pemeriksaan lab. Darah
 Urine : protein, sedimen, reduksi
 Foto rongten ( thoraks )
 EKG

Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :


1. EKG pada anak
2. Spirometri pada tumor paru
3. Tes fungsi hati pada ikterus
4. Fungsi ginjal pada hipertensi
5. AGD, elektrolit.

Klasifikasi Status Fisik


Untuk menentukan status fisik seseorang digunakan klasifikasi The
American Society of Anesthesiologists (ASA) yaitu:13
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka
mortalitas 2%.

20
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal :
insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup
dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan)
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan
otak, jantung, paru, ibu dan anak.
Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko utama
pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia
harus dipantangkan dari masukan oral selama periode tertentu sebelum induksi
anestesi.14
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi
3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anestesia. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi anestesi.14

3.2.4 Premedikasi
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia, diantaranya:

21
a. Meredakan kecemasan
b. Memperlancar induksi anestesi
c. Mengurangi seksresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat-obat anestetik
e. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
h. Mengurangi refleks yang berlebihan
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang
ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka
pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan
mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan,
riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya,
riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi,
perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan
digunakan14

3.2.5 Persiapan Induksi Anestesi


Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita ingat kata STATICS:3,8
S : Scope, Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringoskop. Pilih bilah atau dan yang sesuai dengan usia pasien. Lampu
harus cukuop terang.
T : Tube, pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed)
dan >5 tahun dengan balon (cuffed)
A : Airway, pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung
faring (naso tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien
tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape, plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I : Introducer, Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C : Connector, penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.
S : Suction, penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

22
3.2.6 Jenis Jenis Anestesi Umum42,15
3.2.6.1 Anestesi Inhalasi
Anestesi inhalasi merupakan suatu anestesi yang menggunakan inhalan berupa
gas.Obat anestesi inhalasi yang sering digunakan saat ini adalah N2O, halotan,
enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran. Agen ini dapat diberikan dan diserap
secara terkontrol dan cepat, karena diserap serta dikeluarkan melalui paru-paru
(alveoli). Mekanisme kerja obat inhalasi ditentukan oleh ambilan paru, difusi gas
dari paru ke darah dan distribusi ke organ. Sedangkan konsentrasi uap obat anestetik
dalam alveoli ditentukan oleh konsentrasi inspirasi, ventilasi alveolar, koefisien gas
darah, curah jantung, dan perfusi.15
a. N2O. Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak
bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi
yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena
gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot,
oleh karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat
relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas
terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak
oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan
pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen.
Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2
adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.15
b. Halotan: Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada nafas
kendali sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis
pasien. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah
otak yang sulit dikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga
tidak disukai untuk bedah otak. Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya
lemah, anestesinya kuat, sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak
ada kontraindikasi.12
c. Enfluran: Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan halotan.Efek
depresi nafas lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat, dan lebih

23
iritatif dibandingkan halotan, tetapi jarang menimbulkan aritmia.Efek
relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibandingkan halotan.
d. Isofluran: Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen,
tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal
ini dapat dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga banyak
digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah
jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan
banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner. 15
e. Sevofluran: Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi
lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia
inhalasi di samping halotan.Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil,
jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti
isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian
dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.Belum ada laporan
yang membahayakan terhadap tubuh manusia. 15

3.2.6.2 Induksi Intravena


Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya
dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi
bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesia,
pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan
oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.8,16
a. Barbiturate: Contohnya pentothal atau sodium thiopenthon ialah obat
anestesi intravena yang bekerja cepat (short acting). Bekerja
menghilangkan kesadaran dengan blockade sistem sirkulasi (perangsangan)
di formasio retikularis. Barbiturate menghambat pusat pernafasan di medula
oblongata. Tidal volume menurun dan kecepatan nafas meninggi dihambat
oleh barbiturate tetapi tonus vascular meninggi dan kebutuhan oksigen
badan berkurang, curah jantung sedikit menurun. Barbiturate tidak
menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin.2,16

24
b. Propofol: Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat
dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur
dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi
tanpa premedikasi7. Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan
barbiturat intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien
dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara
subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol
mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai
induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan
untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam
menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis.
Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis)
dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi
pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara
cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang
disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus
propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik
inhalasi lain. 18
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup
berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer
dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira
80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada
penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan
intubasi trakea.
Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan
dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol
tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak
dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena
bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai

25
akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler
sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik. Dibandingkan dengan
tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan
muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek antiemetik.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.
Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga saat
pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).
c. Ketamin: Derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang
menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan
nistagmus lambat. Pada saat yang sama pasien tidak dapat berkomunikasi,
terjadi amnesia dan analgesia yang sangat baik. Ketamin meningkatkan
tekanan darah sistolik 23% dari baseline, denyut jantung meningkat,
kadang-kadang timbul aritmia, serta menimbulkan hipersekresi. Mula kerja
30 detik pada IV, 2-4 menit pada IM. Lama kerja pada IV 10-20 menit,
tetapi memerlukan waktu 60-90 menit untuk berorientasi penuh. Waktu
paruh 7-11 menit. Kadar plasma tertinggi pada IV 1 menit, pada IM 5
menit.6 Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk
intramuscular 3-10 mg. Efek analgesik dicapai dengan dosis sub anestetik
0,2-0,5 mg/kg IV. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1
ml= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml = 100 mg).16
d. Opioid: Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi
diberikan dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga
banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk
anestesia opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan
dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
e. Benzodiazepin: yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam,
lorazepam, dan midazolam. Benzodiazepine juga digunakan untuk medikasi
pra-anestetik (sebagai neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi konvulsi
yang disebabkan oleh anestetik lokal dalam anestetik regional. Digunakan

26
untuk induksi anesthesia, kelompok obat ini menyebabkan tidur,
mengurangi, cemas, dan menimbulkan amnesia anterograd (setelah
pemberian midazolam IM, IV), tetapi tidak berefek analgesic. Efek pada
SSP ini dapat diatasi dengan antagonisnya, flumazenil.
1.) Midazolam: Obat induksi jangka pendek atau premedikasi,
pemeliharaan anestesi, bekerja cepat dan karena transformasi
metaboliknya cepat dan lama kerjanya singkat, bekerja kuat
menimbulkan sedasi dan induksi tidur. Kemasan suntik 1 mg/ml, 5
mg/ml. Mula kerja 30 detik-1 menit IV, 15 menit IM. Efek puncak pada
IV 3-5 menit, IM 15-30 menit. Lama kerja 15-80 menit IV/IM.
Konsentrasi plasma maksimum dicapai dalam 30 menit. Midazolam
menyebabkan tekanan darah menurun, lebih rendah dari diazepam,
penurunan sistolik maksimal 15%, yang disebabkan oleh vasodilatasi
perifer.Efek depresi pernafasan minimal.Juga menurunkan
metabolisme O2 di otak dan aliran darah ke otak. Dosis pre medikasi
0,03-0,04 mg/kg IV, sedasi 0,5-5 mg/kg IV, induksi 0,1-0,4 mg/kgbb
IV.17
2.) Diazepam: obat yang berkhasiat ansiolitik, sedatif, relaksasi otot,
antikonvulsi dan amnesia..Waktu paruh 20-50 jam, tergantung fungsi
liver. Dibandingkan dengan barbiturate, efek anestesi diazepam kurang
memuaskan karena mula kerjanya lambat dan masa pemulihannya lama.
Diazepam digunakan untuk berbagai macam intervensi (menimbulkan
sedasi basal sebelum dilakukan pengobatan utama), meringankan
kecemasan, anxietas atau stress akut, dan prosedur seperti berkurangnya
ingatan, juga untuk induksi anestesia terutama pada penderita dengan
penyakit kardiovaskular.Diazepam juga digunakan untuk medikasi
preanestetik dan untuk mengatasi konvulsi. Menyebabkan tidur dan
penurunan kesadaran yang disertai nistagmus dan bicara lambat, tetapi
tidak berefek analgesik.9 Dosis premedikasi 10-20 mg IM, induksi 0,3-
0,6 mg/kgBB IV. Anak-anak 0,1-0,2 mg/kgBB 1 jam sebelum induksi.
Dewasa dan remaja 2-20 mg/kg IM/IV tergantung indikasi dan beratnya

27
gejala. Kemasan suntik 5 mg/ml. Injeksi dilakukan secara lambat ± 0,5-
1 ml/menit, karena pemberian terlalu cepat dapat menimbulkan apnoe. 18

3.2.7 Macam-Macam Obat Keseimbangan Anestesi


a. Efek Analgesia
Metoda penghilang nyeri, biasanya digunakan golongan opioid untuk nyeri
hebat dan golongan anti inflamasi non steroid (NSAID, nonsteroidal anti
inflammatory drugs) untuk nyeri sedang atau ringan. Metoda menghilangkan nyeri
dapat dengan cara sistemis (oral, rectal, transdermal, sublingual, subkutan,
intramuscular, intravena atau perinfus). 18
1. Opioid
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengann
reseptor morfin.Mekanisme kerja opioid yakni, reseptor opioid sebenarnya tersebar
luas di seluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah
yaitu di sistem limbic, thalamus, hipotalamus, korpus striatum, sistem aktivasi
reticular dan di korda spinalis yaitu di substansia gelatinosa dan dijumpai pula di
pleksus saraf usus. Dalam klinik opioid digolongkan menjadi lemah (kodein) dan
kuat (morfin), tetapi penggolongan ini kurang popular.Penggolongan lain menjadi
natural (morfin, kodein, papaverin, dan tebain), semisintetik (heroin,
dihidromorfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil,
sufentanil dan remifentanil).
a. Morfin: Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain
dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).
b. Petidin: Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat
berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang
mendekati sama. Perbedaannya dengan morfin sebagai berikut:
1. Petidin lebih larut dalam lemak, morfin lebih larut dalam air.
2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang
masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek
analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli
ditemukan dalam urin.

28
3. Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan dan takikardia.
4. Seperti morfin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter Oddi
lebih ringan.
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tak
ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa,
Morfin tidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin. Dosis petidin
intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4
jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan
karena iritasi.Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat digunakan
untuk analgesia spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kg BB.
c. Fentanil: Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin.
Lebih larut dalam lemak dibandingkan petidin dan menembus sawar jaringan
dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara
kualitatif hamper sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika
pertama melewatinya. Dimetabolisiir oleh hati dengan N-dealkilasi dan
hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Efek depresi
napasnya lebih lama disbanding efek analgesinya. Dosis 1-3 ug/kgBB
analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya
dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis
besar 50-15- ug/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia dan pemeliharaan
anesthesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik kekakuan otot
punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot.18,19
d. Sufentanil: Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih
cepat dari fentanil.Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil. Dosisnya
0,1-0,3 mg/kgBB.
e. Alfentanil: Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil. Insiden mual-muntahnya
sangat besar.Mula kerjanya cepat.Dosis analegesinya 10-20 ug/kgBB.
f. Tramadol: Analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu dan
kelamahan analgesinya 10-20% dibanding morfin. Tramadol dapat diberikan
dengan dosis maksimal 400 mg per hari.

29
b. Efek Relaksasi Otot
Relaksan otot adalah obat yang mengurangi ketegangan otot dengan bekerja
pada saraf yang menuju otot (misalnya kurare, suksinilkolin). Berdasarkan
perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya' obat-obat pelumpuh otot dapat
dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat
pelumpuh otot nondepolarisasi (mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh
otot nondepolarisasi dibagi menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama' sedang' dan
singkat. Obat-obat pelumpuh otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau
aminosteroid. Obat- obat pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot fase I
depolarisasi' blokade saraf-otot fase II depolarisasi atau nondepolarisasi.20
A. Muscle Relaxant Golongan Depolarizing
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps
tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama
menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang
diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin
(diasetil-kolin) dan dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin
dimetabolisme oleh kolinesterase plasma,pseudokolinesterase menjadi
suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan
karena menghambat kerja pseudokolinesterase. 20
1. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini
memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek
(kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian
besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin.
Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang
dinjeksikan yang mencapai neuromuscular junction. Duration of action akan
memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti
hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase. Rendahnya level
pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan, penyakit hati, gagal
ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa orang juga ditemukan gen
pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang
memanjang. 20

30
2. Muscle Relaxant Golongan Non Depolarizing
Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa menyebabkan
depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga
asetilkolin tidak dapat bekerja. Farmakokinetik obat pelumpuh otot
nondepolarisasi dihitung setelah pemberian cepat intravena. Rerata obat
pelumpuh otot yang hilang dari plasma dicirikan dengan penurunan inisial
cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan yang lebih lambat (klirens).
Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam aliran darah' anestesi inhalasi
memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada farmakokinetik obat
pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi volatil mencerminkan
aksi farmakodinamik' seperti dimanifestasikan oleh penurunan konsentrasi
plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat
blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatile. Bila volume distribusi
menurun akibat peningkatan ikatan protein' dehidrasi' atau perdarahan akut'
dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih tinggi dan
potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak
dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat diberikan sebagai
injeksi cepat intravena. 20
Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non depolarisasi
digolongkan menjadi:
1. Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium, atrakurium, doksakurium,
mivakurium.
2. Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium, rokuronium.
3. Eter-fenolik : gallamin.
4. Nortoksiferin : alkuronium.

Penawar Pelumpuh Otot


Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga
asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah
neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan
edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang hanya untuk penggunaan
oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik sehingga
menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas

31
usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik seperti
atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg sampai
0,2-0,3 mg pada dewasa).

3.2.8 Rumatan Anestesia


Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan cara
mengatur konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi obat
tinggi maka akan dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya jika konsentrasi obat
rendah, maka akan didapat anestesi yang dangkal. Anestesi yang ideal adalah
anestesi yang adekuat.Untuk itu diperlukan pemantauan secara ketat terhadap
indikator-indikator kedalaman anestesi.21
Rumatan anesthesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara intravena
(anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena
inhalasi. Rumatan anesthesia biasanya mengacu pada trias anesthesia yaitu tidur
ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien
selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang
cukup.Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 ug/kgBB. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis
biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah
lama dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan
ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara+O2 atau
N20+O2.21
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah
halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol% atau sovofluran
2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted) atau
dikendalikan (controlled).2,4

3.2.11 Indikasi, Kontraindikasi dan Penyulit Intubasi Trakea21


Intubasi
Indikasi intubasi trakea, meliputi:
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.

32
Misalnya akibat kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus,
pembersihan sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi.
Misalnya saat resusitasi dan ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
Kontraindikasi intubasi trakea, meliputi:
1. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

Penyulit intubasi trakea, meliputi:


1. Leher pendek dan berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tidak terlihat (Mallampati 3 atau 4)
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak verteba servikal terbatas.

Komplikasi intubasi
Selama intubasi, meliputi:
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi , laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus

Selama Ekstubasi, meliputi:


a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glotis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, dan trakea

33
Ekstubasi
1. Ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika :
- Intubasi kembali menimbulkan kesulitan
- Adanya resiko aspirasi
2. Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anestesia sudah ringan
dengan catatan tidak terjadi spasme laring
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring, dari sekret dan
cairan lainnya.

3.2.10 Terapi Cairan


Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah
dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk.8
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.

Pemberian cairan operasi dibagi :


a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan
isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif,
perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam
adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang = 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 %
EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan lebih
dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.
c. Setelah operasi

34
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

3.2.11 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan
untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu
loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan
intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar
dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.15
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan.
Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete
dan Steward, dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak,
tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa.
Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.15
3.3 Laparoskopi
3.3.1 Definisi
Laparoskopi adalah sebuah prosedur pembedahan minimally invasive dengan
memasukkan gas CO2 ke dalam rongga peritoneum untuk membuat ruang antara
dinding depan perut dan organ viscera, sehingga memberikan akses endoskopi ke
dalam rongga peritoneum tersebut.22
3.3.2 Penggunan CO2 pada Laparoskopi
CO2 adalah gas pilihan untuk insuflasi karena tidak mudah terbakar, tidak
membantu pembakaran, mudah berdifusi melewati membran, mudah keluar dari
paru-paru, mudah larut dalam darah dan risiko embolisasi CO2 kecil. Level CO2
dalam darah mudah diukur, dan pengeluarannya dapat ditambah dengan
memperbanyak ventilasi. Selama persediaan O2 cukup,konsentrasi CO2 darah
dapat ditolelir. Kerugian utamanya CO2 ini menyebabkan iritasi peritoneal
langsung dan rasa sakit selama laparoskopi karena CO2 membentuk asam karbonat
saat kontak dengan permukaan peritoneum. CO2 tidak terlalu larut pada darah bila
terjadi kekurangan sel darah merah, oleh karena itu CO2 bisa tersisa di

35
intraperitoneum dalam bentuk gas setelah laparoskopi, sehingga menyebabkan
sakit pada bahu. Hiperkarbia dan respiratory acidosis terjadi saat kapasitas CO2
dalam darah melampaui batas. Selain itu, CO2 dapat menimbulkan efek lokal
maupun sistemik, sehingga dapat terjadi hipertensi, takikardi, vasodilatasi
pembuluh darah serebral, peningkatan CO, hiperkarbi, dan respiratory acidosis.23
3.3.3 Efek Fisiologis
Dampak fisiologi laparoskopi berkaitan dengan kombinasi beberapa efek
meliputi insuflasi karbon dioksida (CO2) intra peritoneum yang menimbulkan
pneumoperitonium, perubahan posisi pasien, efek absorpsi sistemik CO2 dan juga
pengaruh refleks peningkatan tonus vagus yang dapat berkembang menjadi aritmia.
Efek fisiologi dari laparoskopi ini meliputi:
a. Efek Kardiovaskular
Prinsip terjadinya respon fisiologis ini adalah peningkatan resistensi vaskular
sistemik (SVR), tekanan pengisian miokardium, bersama – sama dengan penurunan
awal cardiac index (CI), dengan perubahan yang kecil dari frekuensi denyut jantung
(HR). Karakteristik respons hemodinamik dijelaskan sebagai berikut : diawali
dengan terjadinya penurunan cardiac index setelah insuflasi gas CO2 intra
peritoneum dan selanjutnya diikuti dengan pemulihan. Joris dkk. menemukan
penurunan yang signifikan dari cardiac index (30 – 40%) setelah induksi anestesi
dan kebalikan posisi trendelenburg (head-up position), selanjutnya terjadinya
penurunan cardiac index sampai 50% setelah insuflasi intra peritoneum.
Kembalinya cardiac index secara bertahap setelah terjadinya penurunan SVR.
Fraksi ventrikel kiri menurun sesaat setelah insuflasi intraperitoneum dan kembali
ke nilai awal setelah 30 menit pneumoperitoneum. Respon hemodinamik terhadap
insuflasi intraperitoneum tergantung pada interaksi beberapa faktor 24 :
1. Faktor penderita 24
Faktor yang berasal dari penderita yang mempengaruhi hemodinamik adalah
ststus kardiorespirasi pasien yang ada dan kondisi intravaskular sebelum
dimulainya prosedur laparoskopi. Pada pasien penyakit jantung yang menjalani
laparoskopi, pneumoperitoneum menyebabkan perubahan hemodinamik yang lebih
besar karena meningkatnya SVR sehingga meningkatkan afterload, akhirnya akan
menurunkan cardiac output yang lebih besar. Pada pasien dengan penyakit paru

36
berat terjadi gangguan ventilasi – difusi, dengan adanya pneumoperitoneum
CO2 akan menyebabkan penurunan cardiac output. Pasien ini juga membutuhkan
ventilasi semenit yang lebih besar dan peak airway pressure yang lebih tinggi untuk
mencapai normokarbia sehingga akan menyebabkan penurunan cardiac output yang
lebih besar. Pada pasien dengan volume intravaskular yang kurang (hipovolemik)
sebelum pneumoperitoneum memiliki cardiac output yang sudah kecil dan SVR
yang tinggi serta tekanan arteri rata – rata (MAP) yang tinggi. Dengan
pneumoperitoneum akan terjadi peningkatan SVR dan penurunan cardiac output
yang lebih besar.
2. Tekanan intra abdomen (pneumoperitoneum) 24
Insuflasi ruang intra peritoneum dengan dengan gas CO2 menghasilkan
pneumoperitoneum, efek sistemik dari absorbsi CO2 dan peningkatan refleks tonus
vagal yang bisa berkembang menjadi aritmia. Peningkatan tekanan intra abdomen
berhubungan dengan penekanan pembuluh darah vena yang awalnya menyebabkan
peningkatan preload sesaat diikuti secara perlahan dengan penurunan preload.
Penekanan pembuluh darah arteri meningkatkan afterload dan biasanya secara
nyata mengakibatkan peningkatan SVR. Cardiac Index biasanya menurun dan
besarnya penurunan ini sebanding dengan besarnya tekanan intraabdominal. Pada
pasien sehat yang akan menjalani laparoskopi kolesistektomi, Dexter dkk. dengan
menggunakan Doppler transesophagus menemukan bahwa cardiac output menurun
maksimal yaitu 28% saat tekanan insuflasi peritoneum 15 mmHg tetapi dapat
dipelihara pada tekanan insuflasi 7 mmHg. Sebagian besar peneliti mendapatkan
terjadinya penurunan cardiac output sebesar 10 – 30% selama insuflasi peritoneum
baik pada posisi head down atau head up. Ishizaki dkk. merekomendasikan batas
tekanan intraabdomen selama insuflasi oleh CO2 dengan efek hemodinamik yang
minimal adalah ≤ 12 mmHg. Pada tekanan insuflasi sedang biasanya frekuensi
denyut jantung, tekanan vena sentral, dan cardiac output tidak berubah atau hanya
meningkat ringan. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan pengisian jantung, karena
darah cenderung dipaksa keluar dari abdomen masuk kedalam thoraks. 24
Tekanan insuflasi yang lebih tinggi (>25 cmH2O/18 mmHg) cenderung
membuat kolaps vena besar abdomen (khususnya vena cava inferior) yang akan
menurunkan aliran darah balik vena dan menyebabkan penurunan cepat preload dan

37
cardiac output pada beberapa pasien. Penurunan venous return dan cardiac output
dapat dikurangi dengan cara meningkatkan volume sirkulasi sebelum dilakukan
pneumoperitoneum. Peningkatan tekanan pengisian dapat dicapai dengan
pemberian cairan atau memposisikan pasien sedikit head down sebelum insuflasi
peritoneum, dengan mencegah pengumpulan darah dengan pneumatic compression
device, atau dengan pembalutan kaki dengan elastic bandages. Fraksi ejeksi
ventrikel kiri tidak mengalami penurunan yang signifikan ketika tekanan
intraabdomen meningkat sampai 15 mmHg. Peningkatan SVR bisa dikoreksi
dengan pemakaian obat anestesi yang menyebabkan vasodilatasi seperti isofluran
atau obat vasodilatasi langsung seperti nitrogliserin atau nikardipin. Penggunaan
agonis α2-adrenergik seperti klonidin dan deksmedetomidin dan obat penghambat
β mengurangi perubahan hemodinamik dan kebutuhan obat anestesi secara
signifikan. Pengunaan dosis tinggi remifentanil hampir secara komplit bisa
mencegah perubahan hemodinamik.
3. Efek dari posisi pasien
Insuflasi intra peritoneum dengan gas CO2 pada laparoskopi apendiktomi
dilakukan dengan pasien pada posisi horizontal atau 15 - 20º trendelenburg. Posisi
pasien kemudian berubah keposisi kebalikan posisi trendelenburg (head up
position) dengan ditekan kelateral kiri untuk memfasilitasi retraksi fundus kandung
empedu dan meminimalkan disfungsi diafragma. Perubahan posisi pada pasien
dengan pneumoperitonium menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.
Pada posisi anti trendelenburg (head up position) terjadi penurunan tekanan
akhir diastolic ventrikel kiri, hal ini menunjukkan adanya penurunan aliran darah
balik vena (venous return) atau preload, cardiac output, dan tekanan arteri rata –
rata. Fraksi ejeksi ventrikel kiri tetap terpelihara pada pasien sehat. Pola perubahan
cardiac output dan tekanan arteri pada pasien dengan penyakit jantung ringan
sampai berat mirip dengan pasien sehat. Namun secara kuantitatif perubahan ini
tampak lebih jelas. Peningkatan tekanan intraabdomen dan posisi head-up
mengakibatkan penurunan aliran darah vena femoralis, stasis pada vena – vena
tungkai bawah, diperburuk dengan posisi litotomi dengan fleksi pada lutut
merupakan predisposisi terjadinya tromboemboli. 24

38
Walaupun posisi trendelenburg meningkatkan tekanan vena sentral (preload),
namun MAP dan cardiac output tidak berubah atau menurun. Hal ini merupakan
respon paradoksikal yang dijelaskan dengan mediasi refleks karotis dan
baroreseptor aortic yang menyebabkan vasodilatasi sistemik dan bradikardia.
Perubahan volume vena sentral dan perubahan tekanan yang lebih besar pada pasien
dengan penyakit arteri koroner (CAD), khususnya yang disertai dengan fungsi
ventrikel yang jelek menyebabkan perburukan secara potensial dan meningkatkan
kebutuhan oksigen miokardium. Posisi trendelenburg ini juga mempengaruhi
sirkulasi serebral, khususnya pada pasien dengan komplians intrakranial yang
rendah dan mengakibatkan peningkatan tekanan intraokular yang bisa
menyebabkan perburukan pada pasien dengan glaucoma akut.
4. Efek Absorbsi Sistemik gas CO2
Hiperkapni dan asidosis yang terjadi selama laparoskopi karena absorbs CO2.
Hiperkapni menyebabkan penurunan kontraktilitas miokardium dan menurunkan
nilai ambang aritmia. Efek antisipasi langsung vaskular terhadap hiperkapni adalah
terjadinya dilatasi arterioler dan penurunan SVR, yang dimodulasi oleh respon
mekanik dan neuro humoral dengan pengeluaran katekolamin. Hiperkarbia akan
menstimulasi system syaraf simpatis yang akan menyebabkan peningkatan tekanan
darah, frekuensi denyut jantung, dan resiko aritmia. Usaha untuk mengkompensasi
dengan meningkatkan volume tidal atau frekuensi nafas akan meningkatkan
tekanan intrathoraks, selanjutnya menurunkan aliran darah balik vena dan
peningkatan tekanan rata – rata arteri pulmonalis. Efek ini merupakan kendala pada
pasien dengan penyakit restriktif paru,gangguan fungsi jantung dan kurangnya
volume intravaskular.25,26
5. Respon neurohumoral
Mediator – mediator potensial yang dapat meningkatkan SVR selama
pneumoperitoneum adalah vassopresin dan katekolamin. Hiperkapnea dan
pneumoperitoneum dapat menyebabkan stimulasi system syaraf simpatis dan
menstimulasi pengeluaran katekolamin. Beberapa penelitian melaporkan adanya
aktivasi system renin angiotensin dengan produksi vasopressin. Joris dkk.
menemukan menemukan peningkatan vassopresin plasma segera setelah insuflasi
peritoneum. Peningkatan 4 kali lipat pada konsentrasi rennin dan aldosteron

39
berhubungan dengan peningkatan MAP. Katekolamin, system renin angiotensin
dan khususnya vasopressin semua dikeluarkan selama pneumoperitoneum dan
mempunyai andil dalam meningkatkan afterload. Stimulasi mekanik reseptor
peritoneum juga mengakibatkan peningkatan pengeluaran vasopressin.25,26

Efek Respirasi 25,26


1. Efek Mekanik
Insuflasi intraperitoneum oleh CO2 untuk membuat pneumoperitoneum pada
laparoskopi, mengakibatkan perubahan pada ventilasi dan respirasi yang dapat
menyebabkan 4 komplikasi respirasi : empisema subkutis CO2, pneumothoraks,
intubasi endobronkial, dan emboli gas. Perubahan fungsi paru selama insuflasi
abdomen meliputi penurunan volume paru, penurunan komplian paru, dan
peningkatan tekanan puncak jalan nafas (peak airway pressure). Komplian paru
menurun 30 – 50% pada pasien sehat, obesitas, dan ASA III – IV. Penurunan
kapasitas residu fungsional (FRC) dan koplian paru yang berhubungan dengan
posisi terlentang dan induksi anestesi yang selanjutnya diperberat oleh insuflasi
CO2 dan perpindahan ke sefalad diafragma selama posisi trendelenberg dan
perubahan distribusi ventilasi dan perfusi paru yang disebabkan oleh peningkatan
tekanan jalan nafas (airway pressure). Hipoksemia oleh karena penurunan FRC
pada pasien yang sehat sangat jarang selama laparoskopi. Penurunan oksigenasi
arteri (hipoksemia) disebabkan penurunan FRC, atelektasis, gangguan ventilasi
perfusi, dan pintasan intrapulmoner pada pasien obesitas dengan riwayat merokok
yang lama atau pasien dengan penyakit paru.
Posisi trendelenburg menyebabkan perpindahan organ visceral dan diafragma.
FRC, volume total paru, dan komplians paru akan menurun, bahkan bisa
berkembang menjadi atelektasis. Perubahan ini biasanya dapat ditoleransi dengan
baik oleh pasien sehat, namun pada pasien obesitas, pasien tua, dan pasien dengan
penyakit paru meningkatkan resiko hipoksemia. Posisi trendelenburg cenderung
menyebabkan pergeseran trakea ke atas, sehingga pipa endotrakea yang terfiksasi
dimulut bisa bermigrasi kedalam bronkus utama kanan. Pergeseran trakeobronkial
ini diperbesar oleh insuflasi abdomen.

40
2. Efek Pertukaran Gas – Absorbsi CO2 2,4
CO2 adalah pilihan gas untuk insuflasi pada bedah laparoskopi. CO2 tidak
mudah terbakarseperti N2O, sehingga dapat digunakan secara aman untuk diatermi.
Dibandingkan dengan helium, kelarutan CO2 darah lebih tinggi dan ekskresinya
lewat paru menurunkan resiko efek samping emboli gas,CO2juga mudah di
eliminasi, dan dosis letal lima kali dari udara. Insuflasi CO2 kedalam ruang
peritonem meningkatkan CO2 arteri (PaCO2), yang akan dikompensasi dengan
peningkatan ventilasi semenit. Absorbsi gas dari ruang peritoneum tergantung pada
kemampuan difusinya, luas daerah absorbsinya, dan vaskularisasi atau perfusi
dinding insuflasi. Karena difusi CO2 tinggi, maka terjadi absorbsi CO2 dalam
jumlah besar kedalam darah yang ditandai dengan peningkatan PaCO2. Absorbsi
gas CO2 lebih besar pada insuflasi ekstraperitoneum (pelvis) daripada innsuflasi
intraperitoneum. Dampak dari peningkatan PaCO2 tidak dapat diprediksi,
khususnya pada pasien dengan penyakit paru berat. Wittgen dkk. meneliti
terjadinya penurunan pH darah dan peningkatan PaCO2 pada pasien ASA III selama
pneumoperitoneum dan pasien ini membutuhkan ventilasi semenit yang lebih tinggi
dan airway pressure yang juga lebih tinggi. Nilai ETCO2 tidak berkorelasi dengan
konsentrasi CO2 arteri pada pasien ini. Gradient PETCO2 masih stabil selama
laparoskopi pasien ASA III. ETCO2 merupakan nilai yang tidak dapat dipercaya
untuk mengetahui PaCO2 selama insuflasi CO2 pada pasien dengan penyakit paru
berat.25,26
Kelarutan CO2 yang tinggi meningkatkan absorbsi sistemik oleh pembuluh
darah peritoneum, ditambah dengan volume tidal yang lebih rendah karena
rendahnya komplian paru menyebabkan peningkatan kadar CO2 arteri dan
penurunan pH. Peningkatan PaCO2 yang progresif mencapai kondisi konstan 15 –
30 menit setelah mulainya insuflasi CO2 pada pasien dengan kontrol ventilasi
mekanik selama laparoskopi ginekologi dengan posisi trendelenburg atau
laparoskopi kolesistektomi pada posisi head up. Peningkatan PaCO2 tergantung
pada tekanan intra abdomen. Selama laparoskopi dengan anestesi lokal,
PaCO2 tetap tidak berubah namun ventilasi semenit meningkat. Pada anestesi
umum dengan nafas spontan kompensasi hiperventilasi tidak mencukupi untuk
menghindari hiperkapnea karena anestesi menginduksi depresi ventilasi dan

41
peningkatan kerja pernafasan yang disebabkan oleh penurunan komplian
torakopulmonal. Oleh karena hal ini terjadi dalam waktu 15 – 30 menit untuk
mencapai PaCO2 konstan, teknik anestesi dengan menggunakan nafas spontan
harus dibatasi untuk prosedur operasi yang pendek pada tekanan intraabdomen
yang rendah. Penyebab peningkatan PaCO2 saat pneumoperitoneum adalah
multifaktorial yaitu :
 Absorbsi CO2 dari ruang peritoneum.
 Gangguan ventilasi dan perfusi oleh faktor – faktor mekanik seperti distensi
abdomen, posisi pasien, dan kontrol ventilasi mekanik, penurunan cardiac
output.
 Depresi ventilasi yang disebabkan oleh obat – obat premedikasi dan anestesi
yang terjadi pada pasien dengan nafas spontan.
 Peningkatan metabolisme (anestesi yang kurang dalam).
 Kejadian yang tidak diinginkan, seperti emfisema CO2 subkutis atau dalam
ruang tubuh, kapnothorak, emboli CO2, intubasi bronkus.
Mekanisme utama peningkatan PaCO2 pada pasien sehat selama
pneumoperitoneum CO2 lebih disebabkan oleh absorbsi CO2 daripada efek ventilasi
mekanik akibat peningkatan tekanan intraabdomen. Tetapi pada pasien dengan
masalah kardiorespirasi, perubahan ventilasi juga bertanggung jawab
meningkatkan PaCO2. PaCO2 harus dipertahankan dalam rentang fisiologis dengan
menyesuaikan kontrol ventilasi mekanik, kecuali pada kondisi khusus seperti
emfisema subkutis CO2, koreksi peningkatan PaCO2 bisa dengan mudah dicapai
dengan peningkatan 10 – 25% ventilasi alveolar

Efek Pada Sistem Lain


1. Sistem Gastrointestinal
Pasien-pasien yang menjalani laparoskopi biasanya dianggap beresiko tinggi
untuk terjadinya sindrom aspirasi asam lambung karena regurgitasi gaster akibat
peningkatan tekanan intragastrik karena peningkatan IAP. Namun, selama
pneumoperitoneum, tonus sfinkter esophagus inferior jauh lebih kuat daripada
tekanan intragastrik dan peningkatan tekanan ini membatasi insidensi regurgitasi.

42
2. Sirkulasi Mesenterik
Pembuluh darah visceral adalah yang pertama-tama mengalami kompresi pada
peningkatan IAP, sehingga mengakibatkan disfungsi organ karena kolapsnya
pembuluh darah kapiler dan vena-vena kecil. Hiperkapnia akibat simpatotonia,
kompresi mekanis organ-organ abdominal, posisi reverse Trendelenberg, dan
pelepasan vasopressin adalah beberapa faktor yang turut mengakibatkan
menurunnya sirkulasi mesenterik.24
3. Sirkulasi Hepatoportal
Peningkatan IAP (>20 mmHg) mengakibatkan peningkatan tahanan dan aliran
balik pada pembuluh darah abdominal. Pelepasan hormon (katekolamin,
angiotensin, dan vasopressin) selama pneumoperitoneum akan semakin
meningkatkan tahanan vaskuler mesenteric sehingga mengakibatkan penurunan
yang berarti pada volume darah hepatic dan splanknik. IAP > 20 mmHg
menyebabkan penurunan 60% pada aliran darah vena porta sehingga
mengakibatkan disfungsi hepar, yang akan menetap lebih lama pada periode
postoperative. Terdapat penurunan suplai darah secara menyeluruh ke semua organ,
kecuali glandula adrenal.
4. Fungsi Ginjal
Peningkatan IAP mempengaruhi hemodinamik ginjal melalui perubahan pada
curah jantung dan efek langsung aliran darah ginjal. Obstruksi mekanis aliran darah
vena renalis yang disertai peningkatan aktivitas simpatis, peningkatan ADH plasma
dan peningkatan aktivitas rennin-angiotensin plasma akan meningkatkan resistensi
vaskuler ginjal sehingga mengakibatkan penurunan tekanan filtrasi dan produksi
urine.
3.4 Anestesi pada Laparoskopi
Manajemen anestesi pada pasien yang menjalani pembedahan laparoskopi
harus mengakomodasi kebutuhan pembedahan dan sesuai dengan perubahan
fisologis yang terjadi selama pembedahan. Peralatan pemantauan disediakan untuk
deteksi dini komplikasi. Pemulihan anestesi harus cepat dengan efek residual yang
minimal, dan antisipasi kemungkinan prosedur laparoskopi berubah menjadi
laparotomi.25

43
3.4.1 Evaluasi Pasien Preoperasi Dan Premedikasi
Kontraindikasi medis pembedahan laparoskopi adalah relatif. Pembedahan
laparoskopi telah berhasil dilakukan pada pasien yang mendapat antikoagulan,
wanita hamil, dan obesitas morbid. Pneumoperitoneum tidak dikehendaki pada
pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial (tumor, hydrocephalus, trauma
kepala), hipovolumia, ventrikuloperitoneal shunt, dan peritoneojugular shunt.
Pneumoperitoneum dapat dilakukan secara aman pada pasien dengan shunt ini,
dengan melakukan klem pada shunt sebelum insuflasi peritoneum. Efek terhadap
tekanan intraokuler secara klinis tidak signifikan pada pasien glaucoma.
Laparoskopi tanpa gas dapat menjadi alternatif laparoskopi yang aman untuk semua
kasus ini.27,28
Oleh karena efek samping peningkatan tekanan intraabdominal pada fungsi
ginjal, pasien dengan gagal ginjal harus mendapat perhatian khusus untuk
mengoptimalkan hemodinamik selama pneumoperitoneum, dan menghindari
penggunaan obat – obat nefrotoksik. Pada pasien dengan penyakit respirasi,
laparoskopi lebih dipilih dibandingkan dengan laparotomi oleh karena disfungsi
respirasi pasca operasi lebih ringan. Efek positif ini harus dipertimbangkan dengan
resiko terjadinya pneumothorak selama pneumoperitoneum dan resiko
ketidakadekuatan pertukaran gas yang disebabkan oleh gangguan ventilasi perfusi.
Tes fungsi paru preoperasi seperti volume ekspirasi paksa dan kapasitas vital dan
tingginya status ASA mungkin bisa memprediksi resiko pasien akan mengalami
hiperkapnea dan asidosis selama laparoskopi kolesistektomi. Hiperkapnea dan
asidosis yang persisten mungkin memerlukan penghilangan insuflasi dari
pneumopertoneum, penurunan tekanan insuflasi ataukonversikan ke prosedur
terbuka. Karena kemungkinan terjadinya stasis vena pada tungkai bawah selama
laparoskopi, profilaksis untuk thrombosis vena dalam (DVT) dengan memberikan
tromboprofilaksis low-molecular-weight heparin (LMWH) seperti fragmin heparin
sodium 2500 – 5000 IU atau Clexane enoxaparin sodium 20 – 40 mg subkutan
preoperasi dan pasca operasi, knee-length graduated compression elastic stocking
selama perawatan di rumah sakit, dan intermiten pneumatic calf compression
intraoperasi. LMWH diberikan sekali malam hari sebelum pembedahan dan
diteruskan sampai pasien keluar dari rumah sakit.27,28

44
Premedikasi harus disesuaikan dengan durasi laparoskopi dan keperluan untuk
pemulihan cepat pada pasien rawat jalan. Pemberian NSAID dan opioid dapat
bermanfaat mengurangi nyeri pasca operasi. Penggunaan klonidin dan
deksmedetomidin menurunkan respon stress intraoperasi dan mempertahankan
stabilitas hemodinamik. Premedikasi anxiolitik (benzodazepin) biasanya tidak
perlu kecuali pasien dengan kecemasan tinggi.
Pada pasien dengan penyakit jantung, fungsi jantung harus dievaluasi saat terjadi
perubahan hemodinamik yang ringan oleh karena pneumoperitoneum dan posisi
pasien, khususnya pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel. Pasien dengan
gagal jantung kongestif yang berat dan insufisiensi katup yang terminal lebih
cenderung mengalami komplikasi kardiak daripada pasien denganpenyakit jantung
iskemik selama laparoskopi. Untuk pasien seperti ini keuntungan laparoskopi pasca
operasi harus dipertimbangkan dengan resiko intraoperasi dalam menentukan
pilihan apakah laparotomi atau laparoskopi.

3.4.2 Teknik Anestesi


Pendekatan anestesi untuk operasi laparoskopi meliputi : infiltrasi anestesi lokal
dengan sedatif intravena, anestesi epidural dan spinal, dan anestesi umum.
Pemilihan teknik anestesi tidak merupakan penentu dalam outcome pasien. Tidak
ada teknik anestesi yang secara klinis lebih superior dari pada teknik lain, anestesi
umum dengan ventilasi terkontrol tampaknya merupakan teknik yang paling aman
untuk operasi laparoskopi.28
Anestesi lokal dibatasi untuk prosedur laparoskopi ginekologi singkat (sterilisasi
tuba perlaparoskopi, transfer intrafallopi) pada orang muda, sehat dan punya
motivasi. Walaupun pemulihan pasca operasi cepat, namun perasaan tidak
enak/nyaman pada pasien, dan visualisasi organ – organ intraabdomen yang tidak
optimal merupakan pengecualian penggunaan teknik anestesi lokal ini untuk
laparoskopi apendiktomi.
Alternatif anestesi regional untuk operasi laparoskopi adalah anestesi epidural
dan spinal. Anestesi regional ini tidak dianjurkan sebagai teknik anestesi tunggal
karena pada operasi laparoskopi membutuhkan level blok yang tinggi, perubahan
posisi yang ekstrem, dan adanya pneumoperitoneum yang bisa menyebabkan

45
gangguan mekanik respirasi. Laparoskopi ini membutuhkan blok pada level yang
tinggi untuk mendapat relaksasi otot yang lengkap dan untuk mencegah iritasi
diafragma yang disebabkan oleh insuflasi gas dan manipulasi pembedahan.
Pada anestesi umum dengan intubasi endotrakea dan pemberian pelumpuh otot
disertai pemberian ventilasi tekanan positif lebih disukai karenan beberapa alasan
: adanya resiko regurgitasi yang disebabkan peningkatan tekanan intraabdominal
saat insuflasi; perlunya ventilasi terkontrol untuk mencegah hiperkapnea,
dibutuhkan tekanan inspirsi yang tinggi secara relatif karena pneumoperitoneum;
kebutuhan relaksasi otot selama pembedahan karena tekanan insuflasi yang rendah,
menyediakan visualisasi yang lebih baik, mencegah pergerakan pasien yang tidak
diinginkan.28
Pada saat induksi anestesi penting untuk menghindari inflasi lambung selama
ventilasi karena hal ini akan meningkatkan resiko trauma lambung saat insersi
trokars. Pemasangan pipa nasogastrik dan dekompresi lambung untuk
meminimalkan resiko perforasi organ visceral saat insersi trokar dan
mengoptimalkan visualisasi. Intubasi memberikan keuntungan pada pasien obesitas
untuk mengurangi hipoksemia, hiperkarbia, dan aspirasi. Penggunaan teknik
ventilasi spontan tidak dianjurkan dalam perspektif adanya pneumoperitoneum
intraoperasi dan posisi pasien.28
Selama pneumoperitoneum kontrol ventilasi disesuaikan untuk
mempertahankan PETCO2kira – kira 35 mmHg, untuk ini membutuhkan tak lebih
dari 15 – 25% peningkatan ventilasi semenit, kecuali bila terjadi emfisema subcutis.
Peningkatan frekuensi nafas lebih dpilih daripada peningkatan volume tidal pada
pasien dengan PPOK dan pada pasie dengan pneumothorak spontan atau emfisema
bulosa untuk menghindari peningkatan inflasi alveolar dan menurunkan resiko
pneumothorak. Pemberian obat – obatan vasodilator seperti nikardipin, agonis α2-
adrenergik dan remifentanil mengurangi dampak hemodinamik pneumoperitoneum
dan dapat memfasilitasi manajemen anestesi pada pasien dengan penyakit jantung.
Tekanan intraabdomen harus dimonitor, dipertahankan serendah mungkin untuk
mengurangi perubahan hemodinamik dan respirasi, dan tidak boleh lebih dari 20
mmHg. Peningkatan tekanan intraabdomen dapat dihindari dengan menjaga

46
kedalaman anestesi. Karena kecenderungan terjadi refleks peningkatan tonus vagus
selama laparoskopi, atropine harus disediakan untuk injeksi jika diperlukan.
Teknik anestesi untuk prosedur laparoskopi pembedahan umum intraabdomen
dan ginekologi sering dilakukan dengan anestesi umum. Beberapa prosedur pendek
seperti sterilisasi perlaparoskopi bisa dilakukan tanpa pelumpuh otot tergantung
dari ketrampilan ahli bedah dan pasiennya tidak obesitas.
3.4.3 Manajemen Jalan Nafas
Teknik anestesi dilakukan dengan intubasi endotrakeal dan kontrol ventilasi
mekanik untuk mengurangi peningkatan PaCO2 dan menghindari gangguan
ventilasi akibat pneumoperitoneum dan posisi trendelenburg saat awal operasi.
Laryngeal mask airway (LMA) telah digunakan dalam laparoskopi pelvis secara
luas. LMA, khususnya LMA pro seal berhasil digunakan untuk insersi ETT, pada
prosedur yang pendek untuk pasien one day care (ODC). Pemantauan kontinyu
terhadap pH esophagus dan kondisi klinis gagal mendeteksi refluk esophageal pada
pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi dengan menggunakan LMA. Untuk
laparoskopi abdomen atas dan laparoskopi kolesistektomi dengan dengan tekanan
intraabdomen yang tinggi, refluk esophageal tidak bisa diperkirakan dan
meningkatkan resiko regurgitasi pasif isi lambung. Penggunaan ballon pipa
endotrakeal mengurangi resiko aspirasi asam lambung karena refluk isi lambung.
3.4.4 Pelumpuh Otot
Pemilihan obat – obat pelumpuh otot tergantung pada lamanya operasi dan profil
efek samping obat secara individual. Reverse terhadap obat pelumpuh otot dengan
neostigmin meningkatkan terjadinya mual muntah pasca operasi (PONV) setelah
laparoskopi dibandingkan dengan pemulihan secara spontan, dan beberapa klinisi
menghindari reverse ini. Namun penelitian yang lain menemukan tidak ada efek
pada insiden PONV berkaitan dengan penggunaan neostigmin, khususnya pasien
yang menjalani laparoskopi ginekologi yang direncanakan rawat jalan, penggunaan
neostigmin dan glikopirolat tidak meningkatkan insiden atau beratnya PONV.
Bahkan adanya residu pelumpuh otot yang sedikit menyebabkan gejala dan tanda
distress yang harus dihindari. Selanjutnya keuntungan tidak memakai neostigmin
harus diseimbangkan dengan resiko ketidakadekuatan reverse pelumpuh otot.2,23

47
3.4.5 Nitrous Oxide (N2O)
Penggunaan N2O selama prosedur laparoskopi masih kontroversi karena
kemampuan N2O untuk berdifusi kedalam lumen usus yang menyebabkan distensi,
gangguan lapangan pembedahan, dan meningkatkan mual muntah pasca operasi,
namun secara klinis tidak signifikan pada prosedur pendek dan sedang. N 2O lebih
mudah larut (30X) dari pada Nitrogen (N2), ruang udara tertutup akan
mengakumulasi N2O lebih cepat dari eliminasi N2. Edger dkk. mendapatkan adanya
peningkatan lebih dari 200% ukuran lumen usus setelah 4 jam pernafasan dengan
N2O. keamanan dan efikasi N2O khususnya selama laparoskopi kolesistektomi
diteliti oleh tailor dkk. mendapatkan bahwa N 2O berdifusi kedalam
CO2 pneumoperitoneum dan fraksi N2O lebih dari 29%, level seperti ini dapat
menyebabkan luka bakar pada operasi lebih dari 2 jam.24
N2O biasanya memberikan kontribusi terhadap PONV. Lomie dan Harper dalam
studi randomized prospective pada 87 pasien yang menjalani prosedur laparoskopi
ginekologi, mendapatkan penurunan mual muntah pasca operasi dari 49% menjadi
17% bila tidak menggunakan N2O.
3.4.6 Obat Induksi
Propofol merupakan obat induksi pilihan karena non emetogenik dan
pemulihannya yang baik. Propofol memberikan efek samping pasca operasi yang
lebih kecil.27
3.4.7 Obat Anestesi Inhalasi
Halotan meningkatkan insiden aritmia pada prosedur laparoskopi, khususnya
bila terjadi hiperkarbia penggunaan halotan sudah digantikan oleh obat – obat
inhalasi yang baru seperti isofluran, desfluran, dan sevofluran yang mempunyai
efek depresi miokardium lebih rendah dan kurang aritmogenik. 24
3.4.8 Analgesia
Opioid masih merupakan komponen penting untuk teknik balans anestesi umum
untuk prosedur laparoskopi. Opioid kerja pendek seperti fentanyl, alfentanyl dan
remifentanyl bisa digunakan intraoperatif untuk mencegah stimulus pembedahan
yang hebat. Kesalahan interpretasi hasil kolangiografi intraoperasi selama
laparoskopi kolesistektomi dapat terjadi karena penggunaan opioid dapat

48
menyebabkan spasme spinkter oddi. Spasme spinkter oddi yang disebabkan oleh
opioid bisa dilawan dengan beberapa obat seperti glucagon dan nalokson. 24
3.4.9 Mual dan Muntah Pasca Operasi (PONV)
PONV merupakan salah satu keluhan utama yang umum terjadi juga merupakan
gejala yang sangat mencemaskan setelah prosedur laparoskopi (40 – 75% pasien)
dan merupakan faktor yang paling penting yang menyebabkan lamanya perawatan
rumah sakit setelah anestesi. Penggunaan opioid intraoperasi secara signifikan
meningkatkan insiden PONV masih kontroversial. Drainase isi lambung juga
mengurangi insiden PONV. Pengurangan dosis opioid dengan obat – obatan
analgesia multimodal bisa menurunkan insiden PONV. Selektif reseptor antagonis
5 HT, ondansetron dengan dosis 4 mg efektif sebagai profilaksis terhadap emesis
pasca operasi laparoskopi. Penelitian yang lain mendapatkan tidak ada perbedaan
antara ondansetron 4 mg dan siklizin 50 mg sebagai antiemesis pada pasien yang
menjalani laparoskopi rawat jalan. Waktu yang tepat pemberian ondansetron
ditemukan lebih signifikan sebagai antiemesis pada akhir pembedahan
dibandingkan pemberian saat preinduksi. Pendekatan multimodal untuk mencegah
PONV bisa dilakukan dengan menggunakan obat kombinasi droperidol 0,625 – 1
mg, antagonis 5 HT3 (ondansetron 4 mg atau dolasetron 2.5 – 5 mg), dan
deksamethason 4 – 8 mg, disertai dengan hidrasi yang cukup, penggunaan dosis
minimal opioid.21,22
3.4.10 Monitoring
Pemantauan intraoperasi standar dianjurkan untuk semua pasien yang menjalani
prosedur dengan akses yang minimal. Monitor standar yang digunakan : pulse rate,
kontnyu ECG, Intermiten NIBP, Pulse oximetry (SpO2), Capnography (EtCO2),
suhu, tekanan intraabdominal, pulmonary airway pressure. Pemantauan
hemodinamik invasif sesuai pada pasien ASA III – IV untuk memonitor respon
kardiovaskular terhadap pneumoperitoneum, perubahan posisi dan untuk
memberikan terapi. Kapnografi dan pulse oximetri merupakan monitor PaCO2 dan
saturasi oksigen arteri yang dapat dipercaya pada pasien sehat tanpa gangguan
intraoperasi akut. PaCO2 dan Δa-ETCO2 meningkat lebih besar pada pasien ASA
II – III daripada pasien ASA I. Hal ini juga terjadi pada pasien dengan penyakit
paru obstruksi kronis (PPOK) dan pada anak dengan penyakit jantung bawaan

49
sianotik. Pemeriksaan analisis gas arteri danjurkan bila secara klinis diduga adanya
hiperkapnea bahkan pada pasien tanpa adanya PETCO2 abnormal. Pemantauan
ETCO2 pasca operasi paling sering digunakan sebagai indikator non invasif dari
PaCO2 dalam menilai dan memberikan petunjuk keadekuatan ventilasi semenit
untuk mempertahankan normokarbia selama prosedur laparoskopi. Penurunan
perfusi paru terjadi jika cardiac output menurun dengan cepat oleh karena tekanan
inflasi yang tinggi, perubahan posisi yang berlawanan dengan posisi trendelenburg,
atau terjadi emboli gas. Selanjutnya distensi abdomen menurunkan komplian
paru.23,24
Volume tidal yang besar dihindari karena akan meningkatkan tekanan puncak
inspirasi dan menyebabkan pergerakan/perpindahan lapangan operasi. Pilihan
untuk menghindari hal ini menggunakan volume tidal yang lebih rendah dan
frekuensi nafas yang lebih cepat namun bisa menyebabkan sampel gas alveolar
yang buruk dan kesalahan pengukuran ETCO2. Nilai ETCO2 tidak bisa dipercaya
khususnya pada pasien dengan penyakit jantung dan paru yang menjalani
laparoskopi. Pemasangan kateter arteri seharusnya dilakukan dan analisa gas darah
penting untuk mendeteksi hiperkarbia. Monitor PETCO2 juga bermanfaat untuk
deteksi dini emboli gas vena (VGE) pada pasien dengan penyakit kardiopulmoner.
Terjadi peningkatan yang proporsional dari ETCO2 dan PaCO2 setelah Insuflasi
CO2 pada pasien sehat. Sebaliknya pasien dengan penyakit kardiopulmoner
PaCO2 meningkat secara bertahap selama insuflasi CO2 dan hal ini tidak
mencerminkan paningkatan ETCO2. Monitor tekanan jalan nafas adalah mutlak
pada pasien yang teranestesi yang diberikan IPPV. Alarm tingginya tekanan jalan
nafas dapat membantu mendeteksi peningkatan berlebihan tekanan intraabdomen,
juga mencegah pergerakan pasien tiba – tiba selama pembedahan yang dapat
menyebabkan trauma organ intraabdomen oleh peralatan laparoskopi.
3.4.11 Pemulihan dan Pemantauan Pasca Operasi
Keuntungan pasca operasi laparoskopi meliputi berkurangnya trauma
pembedahan, ukuran luka kecil, berkurangnya nyeri, berkurangnya disfungsi paru,
penyembuhan lebih cepat, dan perawatan rumah sakit lebih pendek. Pembedahan
laparoskopi dapat mengurangi komplikasi pasca operasi oleh karena tidak adanya
pola nafas restriktif yang biasanya terjadi setelah operasi abdomen bagian atas.

50
Prosedur laparoskopi adalah prosedur dengan trauma otot dan nyeri insisional yang
kurang dibandingkan dengan pembedahan terbuka. Disfungsi paru dan diafragma
masih tetap terjadi setelah paling tidak dalam 24 jam pasca operasi laparoskopi
kolesistektomi sehingga PaO2 masih rendah setelah laparoskopi kolesistektomi.
Peningkatan kebutuhan oksigen terjadi setelah operasi laparoskopi, untuk itu harus
diberikan oksigen pasca operasi bahkan pada pasien sehat. Penyebab disfungsi ini
adalah peregangan diafragma selama pneumoperitoneum. Disfungsi diafragma oleh
karena aferen yang berasal dari kandung empedu atau aferen somatic yang berasal
dari dinding abdomen mendesak aksi inhibisi dari nervus prenikus. Pada
pengukuran spirometri paru, fungsi paru seperti FRC, FEV1 dan kapasitas vital
parumenurun setelah prosedur laparoskopi sekitar 30 – 38%. Force vital capacity
menurun 27% setelah pembedahan laparoskopi dan menurun 48% setelah
pembedahan terbuka. Selama periode awal pasca operasi laparoskopi, frekuensi
nafas dan PETCO2 dari pasien yang bernafas spontan lebih tinggi dibandinkan
pasca operasi terbuka.23,24

51
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien Ny. A usia 20 tahun dengan rencana operasi laparoskopi apendiktomi


pada tanggal 09 Agustus 2019 dengan diagnosis operatif appendisitis akut.
Persiapan operasi dilakukan pada tanggal 07 Agustus 2019. Dari anamnesis
terdapat keluhan nyeri pada perut kanan bawah, riwayat hipertensi (-), DM (-),
stroke (-), sakit jantung (-), asma (-), operasi sebelumnya (-) Pemeriksaan fisik dari
tanda vital didapatkan tekanan darah 120/80 Nadi 80x/menit; respirasi 18x/menit;
suhu 36,5OC. Dari pemeriksaan laboratorium hematologi, hasil: Hb 13,3 g/dl,
leukosit 12,74 /uL, trombosit 191 ribu/u. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA II.
Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang karena penyakit bedah, tanpa
pembatasan aktivitas.
Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu
2cc/kgbBB/jam, sehingga kebutuhan per jam dari penderita adalah 100 cc/jam.
Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan mulai pukul 03.00 WIB. Tujuan
puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau
muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-
obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama
anestesia. Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 7 x
maintenance. Sehingga kebutuhan cairan untuk mengganti puasa yaitu 700 cc.
Operasi dilakukan pada tanggal 09 Agustus 2019. Pasien dikirim dari bangsal
ke ruang IBS. Pasien masuk keruang OK 6 pada pukul 09.00 WIB dilakukan
pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil; Nadi 80x/menit, dan SpO2 100%.
Dilakukan injeksi Ondansetron 4 mg, Ranitidin 50 mg, Dexametason 10 mg.
Penggunaan premedikasi pada pasien ini bertujuan untuk menimbulkan rasa
nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia dan mempermudah induksi
dengan menghilangkan rasa khawatir.
Pada kasus ini, dilakukan tindakan laparoskopi appendiktomi dengan anestesi
umum (anestesi general). Anestesi umum dipilih untuk laparoskopi dengan
pertimbangan bahwa tindakan laparoskopi ini akan menimbulkan ketidaknyaman

52
(sesak napas dan nyeri pundak yang berasal dari iritasi diafragma) bagi pasien jika
pasien sadar (anestesi regional) dan mencegah gerakan pasien yang tiba-tiba.
Sebelum tindakan laparoskopi, ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk
mencegah efek-efek insuflasi CO2 yang tidak diinginkan ke organ-organ sekitarnya,
seperti penekanan ke gas ke arah cephalad menekan diafragma, ke kaudal menekan
vesika urinaria, ke anterior menekan peritoneum, dan ke posterior menekan vena
cava inferior dan aorta abdominalis. Efek penekanan yang dapat dicegah adalah
kolaps vena cava inferior yang dapat menyebabkan penurunan venous return dan
curah jantung. Untuk mencegahnya, maka pembuluh-pembuluh darah tersebut
harus diisi terlebih dahulu dengan infus cairan sehingga pembuluh darah memiliki
tahanan (tidak obstruksi karena penekanan). Pada pasien ini diberikan infus RL
Tindakan laparoskopi dilakukan dengan cara memasukkan gas ke dalam rongga
abdomen (pneumoperitoneum) untuk mengembangkan rongga abdomen sehingga
area kerja di dalam rongga abdomen menjadi lebih luas. Gas yang digunakan adalah
CO2 (insuflasi CO2) karena tidak mengganggu sistemik, mudah diserap, mudah
dikeluarkan oleh tubuh (difusi atau pertukaran gas), dan tidak mengendap (sehingga
resiko terjadinya emboli udara sangat kecil sebab tinggi derajat kelarutannya).
Pneumoperitoneum meningkatkan tekanan intra-abdomen yang akan menekan
diafragma ke arah cephalad, pengembangan paru menjadi terhambat sehingga
difusi CO2 ke luar terhambat pula. Bila dibiarkan terus-menerus, kondisi ini akan
menyebabkan hiperkarbia dan hipoksia. Hiperkarbia akan merangsang sistem saraf
simpatis, yang akan meningkatkan tekanan darah, denyut jantung, dan
kemungkinan disritmia. Kondisi ini harus dicegah dengan cara menjaga
keseimbangan antara O2 dan CO2, yaitu dengan memberikan O2 tinggi, respiratory
rate tinggi (hiperventilasi), dan volume tidal yang tidak terlalu besar (karena jika
volume tidal besar namun tidak disertai dengan kemampuan pengembangan paru
yang cukup maka dapat terjadi pneumotoraks). Jika hiperkarbia sudah terjadi,
kondisi ini dapat dikompensasi dengan meningkatkan volume tidal atau respiratory
rate sehingga terjadi peningkatan tekanan intra-thoracic, yang akan diikuti dengan
peningkatan tekanan rata-rata arteri pulmonal.
Tekanan insuflasi CO2 yang tidak terlalu tinggi biasanya menyebabkan sedikit
peningkatan atau tidak sama sekali dari denyut jantung, tekanan vena sentral, atau

53
curah jantung. Tekanan insuflasi yang tinggi cenderung menyebabkan penekanan
organ-organ di sekitarnya, antara lain kolaps vena utama abdomen (inferior vena
cava) dan aorta abdominalis, yang akan menyebabkan penurunan venous return,
yang akan diikuti dengan penurunan curah jantung pada beberapa pasien.3 Karena
itu, sebelum penekanan oleh CO2 berlangsung, vaskuler harus terisi penuh sehingga
menjaga aliran darah balik agar adekuat. Caranya adalah dengan pemberian infus
cairan.
Pada saat laparoskopi, biasanya pasien diposisikan pada posisi Trendelenburg
(head-down position), posisi ini menyebabkan organ-organ di rongga abdomen dan
diafragma berpindah ke arah cephalad yang akan menyebabkan pasien sesak napas
jika pasien sadar pada anestesi regional
Pada pasien ini dilakukan intubasi disebabkan karena posisi pasien selama
operasi adalah posisi trrendelenburg, jika tidak dilakukan anestesi umum maka
pasien akan merasa tidak nyaman, menjadi tidak kooperatif, dan oksigenasi bisa
terganggu. Sehingga tujuan dari dilakukannya intubasi pada pasien ini adalah untuk
menjaga potensi jalan napas, mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi, resiko
aspirasi minimal, dan mencegah terjadinya muntah. Pada pasien ini tidak terdapat
penyulit untuk dilakukan intubasi.
Selanjutnya memulai intubasi, pasien ini diberikan fentanyl 100 mcg, propofol
200 mg dan atracurium 30 mg untuk merelaksasikan otot-otot pernapasan.
Dilakukan intubasi endotrakeal supaya pasien tetap dianestesi dan dapat bernafas
dengan adekuat. Induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat pasien dari
sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya operasi. Obat-
obatan yang sering digunakan untuk induksi anatra lain thiopental dan propofol.
Pada pasien ini diberi propofol. Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat dan
bekerja pada reseptor GABA, yang didistribusikan dan dieliminasikan dengan
cepat. Propofol diberikan dengan dosis bolus untuk induksi 2-3 mg/kg. Efek
samping propofol yaitu depresi pernapasan, bronkospasme, mual, munatha,
euphoria hingga epistotonus.
Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada mesin
anestesi yang menghantarkan gas (sevoflurane) dengan ukuran 2 vol% dengan
oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil melakukan bagging selama kurang

54
lebih 5 menit untuk menekan pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari
pelemas otot sehingga mempermudah dilakukannya pemasangan endotrakheal
tube. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena sevofluran mempunyai efek
induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan baunya
pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi
anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun relatif stabil
dan jarang menyebabkan aritmia.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube (ET), maka
dialirkan sevofluran 2 vol%, oksigen sekitar 2 L/menit, dan N2O 2 L/menit sebagai
anestesi rumatan. Oksigen diberikan untuk memenuhi oksigenasi jaringan.
Pemberian N2O harus disertai O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik
lemah namun poten ntuk menjadi analgetik. Sesaat setelah operasi selesai gas
anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk
membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas
spontan saat operasi selesai.
Operasi selesai tepat jam. Lalu mesin anestesi diubah ke manual supaya pasien
dapat melakukan nafas spontan. Gas sevofluran dihentikan karena pasien sudah
nafas spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan ekstubasi endotracheal secara
cepat untuk menghindari penurunan saturasi lebih lanjut.
Total cairan yang diberikan pada pasien ini sejumlah 1000 cc Ringer Laktat.
Perdarahan pada operasi ini kurang lebih 50 cc. Pada pukul 11.10 WIB, sebelum
selesai pembedahan dilakukan pemberian analgetik, injeksi ketorolac diindikasikan
untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat
setelah prosedur pembedahan.
Pada pukul 11.15 WIB, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan
akhir; TD 110/80 mmHg, Nadi 80x/menit, dan SpO2 100%. Pembedahan dilakukan
selama 2 jam dengan perdarahan ± 50 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang
pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam
keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran compos mentis, dan
dinilai menggunakan steward score. Pasien post-laparaskopi harus diamati
perubahan hemodinamiknya, karena perubahan hemodinamik sangat mungkin
terjadi akibat pneumoperitoneum. Pasien post-laparoskopi biasanya akan

55
mengalami mual dan muntah karena distensi dari rongga peritoneum dan untuk
mengatasinya pasien dapat diberikan anti-mual dan anti-muntah. Pasien juga akan
merasakan nyeri pada bahu akibat iritasi diafragma, nyeri ini dapat berlangsung
selama 4 hari, hal ini dapat diatasi dengan pemberian analgesik. Untuk mencegah
terjadinya infeksi, dapat pula diberikan antibiotik profilaksis.

56
BAB V
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui
kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Pada laporan kasus ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada
operasi laparoskopi appendiktomi pada pasien laki-laki, umur 20 tahun, status fisik
ASA II dengan diagnosis appendicitis akut dan menggunakan teknik anestesi umum
dengan ET no.7,5. Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya
permasalahan yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan
timbulnya komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal mungkin.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung, tidak ada hambatan yang berarti
baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang
pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara
umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik
meskipun ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian

57
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu


Bedah. Jakarta: EGC; 2007.
2. Sabiston, et al. Sabiston texbook of surgery the biological basis of modern
surgical practice. Edisi ke 18; 2007.
3. Morgan GE., Michail MS., Muray MJ. Clinical anesthesiology. 5th ed. New
York: Lange; 2013.
4. Chris tanto, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV. Jakarta : Media
Aeskulapius; 2014
5. Saunders, An Imprint of Elsevier Price, S. A. dan Wilson, L. M. Patofisiologi
: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC;
2006.
6. Guyton A.C. and J.E. Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 13.
Jakarta: EGC; 2016.
7. Bhangu, A., Søreide, K., Di Saverio, S., Assarsson, J. H., & Drake, F. T.
Acute appendicitis: modern understanding of pathogenesis, diagnosis, and
management. The Lancet; 2015.
8. Soenarto, R.F. Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care FKUI. Jakarta; 2012. Hal : 197-205.
9. Yu, H., & Wu, D. Effects of different methods of general anesthesia on
intraoperative awareness in surgical patients. Medicine; 2017.
10. Adam, C. General Anesthesia. Medscape; 2018
11. Staff. General anesthesia. NHS (serial online) ; 2019.
12. Mangku Gde, Senapathi Tjokorda Gde Agung Senapathi. Buku Ajar Ilmu
Anestesia dan Reaminasi. Bagian Obat Anestetika. Macanan Jaya
Cemerlang. Jakarta; 2010. Hal 24-36
13. Daniel, J. Emily, H. American Society of Anesthesiologists Classification
(ASA Class). NCBI; 2019.
14. Palmer, J. Premedication. Anaesthesia & Intensive Care Medicine, 16(11);
2015. Hal. 548–50.
15. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
ke-2. Jakarta: FKUI; 2002. Hal 29-69
16. Brash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., Cahalan, M.K., Stock, M.C.
Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA : Lippincott Williams &
Wilkins; 2009.
17. Mahmoud, M., & Mason, K. P. Recent advances in intravenous anesthesia
and anesthetics; 2018.
18. International Journal of Anesthesiology & Pain Medicine. MedPub; 2015.
19. Serreira, J. P., Dzikit, T. B., Zeiler, G. E., Buck, R., Nevill, B., Gummow, B.,
& Bester, L. Anaesthetic induction and recovery characteristics of a
diazepam-ketamine combination compared with propofol in dogs. Journal of
the South African Veterinary Association; 2015.
20. Bellini, L., & De Benedictis, G. M. Neuromuscular blockade of atracurium
in permissive hypercapnic versus normocapnic swine undergoing
laparoscopy; 2018.

58
21. Tsim, P. Howatson, A. Basic science breathing systems in anesthesia. World
Federation of Society of Anaesthesiologists; 2016.
22. Ramachandra. Anaesthesia for Laparoscopy. IAGES journal; 2015.
23. Sood J, Kumra VP. Anaesthesia for Laparoscopy. Indian Journal Surgery
2003;65;232 – 40
24. Adnyana IGN, Pryambodo. Anestesia pada Prosedur Laparoskopi. Majalah
Anestesi dan Critical Care 2008; 26; 2; 225 – 39.
25. Morgan GE, et al. Laparoscopic Surgery. Lange Clinical Anesthesia third
Edition 2002;23;522 – 24
26. Boddy AP., Mehta S., Rhodes M. The effect of Intraperitoneal Lokal
Anaesthesia in Laparoscopic Cholecystectomy: A Systematic Review and
Meta – Analysis. International Anesthesia Research Society 2006;103;3;682
- 87
27. Thangavelu, R. Laparoscopy and anesthesia: A clinical review. Department
of Anaesthesiology, Pondicherry Institute of Medical Sciences, Puducherry,
India; 2018.
28. Kulshrestha, K. Anaesthesia for laparoscopic surgery: General vs regional
anaesthesia. Department of Anaesthesiology and Intensive Care, Gian Sagar
Medical College and Hospital, Patiala, Punjab, India; 2016.

59

Anda mungkin juga menyukai