Anda di halaman 1dari 33

Clinical Science Session

*Kepaniteraan Klinik Senior/Sartika Eka Putri/ G1A218023/ Mei 2019


** Pembimbing/ dr. Taka Mehi Sp.JP, FIHA

PENYAKIT JANTUNG REMATIK


Sartika Eka Putri* dr. Taka Mehi Sp.JP, FIHA**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN/SMF JANTUNG RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Clinical Science Session


“Penyakit Jantung Rematik”

Disusun Oleh

Sartika Eka Putri


G1A218023

Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian/SMF Jantung RSUD Raden Mattaher
Fakultas Kedokteran
Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada Mei 2019

PEMBIMBING

dr. Taka Mehi Sp.JP, FIHA

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul “Penyakit Jantung Rematik” sebagai kelengkapan
persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Jantung RSUD
Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Taka Mehi Sp.JP, FIHA yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis
selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Penyakit Dalam RSUD
Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan guna kesempurnaan referat ini, sehingga dapat bermanfaat bagi
penulis dan para pembaca.

Jambi, Mei 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ........................................................................................... i


Kata Pengantar ...................................................................................................... ii
Daftar Isi .............................................................................................................. iii
BAB I Pendahuluan ............................................................................................. 1
BAB II Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 2
BAB III Kesimpulan ............................................................................................. 22
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 23

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Demam rematik adalah sindrom klinis sebagai akibat infeksi beta-


Streptococcus hemolyticus grup A, dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu
poliartritis migrans akut, karditis, korea minor, nodul subkutan dan eritema
marginatum. Demam rematik akut (DRA) merupakan penyakit reaksi autoimun
lambat terhadap Streptococcus grup A (SGA). Demam rematik akut yang tidak
diterapi dengan baik akan menimbulkan gejala sisa pada jantung yang dikenal
sebagai penyakit jantung rematik (PJR).1
Demam Rematik (DR) dan Penyakit Jantung Rematik (PJR) masih
menjadi penyebab penyakit kardiovaskular yang signifikan di dunia. Dalam
laporan World Health Organization (WHO) Expert Consultation Geneva pada
tahun 2001, pada tahun 1994 diperkirakan 12 juta penduduk dunia menderita DR
dan PJR, dan paling tidak 3 juta diantaranya menderita penyakit jantung
kongestif. Pada tahun 2000, dilaporkan angka kematian akibat PJR bervariasi di
setiap negara, mulai dari 1,8 per 100.000 penduduk di Amerika hingga 7,6 per
100.000 penduduk di Asia Tenggara. Prevalensi DR di Indonesia belum diketahui
secara pasti. Dalam beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan
bahwa prevalensi PJR berkisar antara 0,3 - 0,8 per 1.000 anak sekolah. Dengan
demikian, dapat diperkirakan bahwa prevalensi DR di Indonesia lebih tinggi dari
angka tersebut, mengingat PJR merupakan akibat dari DR.2
Penyakit jantung rematik merupakan penyebab kecacatan pada jantung
yang terbanyak. Kecacatan pada katup jantung tidak dapat terlihat secara kasat
mata seperti cacat fisik lainnya, tetapi menyebabkan gangguan kardiovaskuler
mulai dari bentuk ringan sampai berat sehingga mengurangi produktivitas dan
kualitas hidup.2

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penyakit jantung rematik merupakan kelainan katup jantung yang
merupakan konsekuensi dari demam rematik akut yang disebabkan oleh reaksi
imunologi terhadap infeksi Streptococcus group A. Demam rematik akut dan
penyakit jantung rematik merupakan komplikasi nonsupuratif faringitis
streptococcal grup A. Penyakit jantung rematik merupakan penyakit jantung
didapat yang sering ditemukan. Diantara kelainan yang terjadi pada penyakit
jantung rematik, gangguan pada katup mitral ditemukan pada 75% kasus dan pada
katup aorta ditemukan pada 25% kasus. Stenosis dan regurgitasi pada katup yang
sama sering terjadi, sementara stenosis aorta yang disebabkan oleh penyakit
jantuung rematik tanpa adanya kelainan pada katup mitral jarang terjadi.
Gangguan pada katup trikuspid dan katup pulmonal hampir tidak pernah
ditemukan.3,5

2.2 Epidemiologi
Penyakit jantung rematik dan demam rematik merupakan penyebab
terjadinya penyakit kardiovaskular yang masih signifikan di dunia. Pada tahun
2001 World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa pada tahun 1994
sekitar 12 juta penduduk dunia menderita demam rematik dan penyakit jantung
rematik, 3 juta diantaranya menderita penyakit jantung kongestif. Pada tahun
2000, dilaporkan angka kematian akibat PJR bervariasi di setiap negara, mulai
dari 1,8 per 100.000 penduduk di Amerika hingga 7,6 per 100.000 penduduk di
Asia Tenggara.5
Angka kejadian demam rematik di Indonesia belum diketahui dengan
pasti. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian penyakit
jantung rematik berkisar antara 0,3-0,8 per 1.000 anak sekolah. Diperkirakan
bahwa prevalensi demam rematik lebih tinggi dari pada penyakit jantung rematik.
Faktor sosioekonomi dan lingkungan tampaknya berhubungan secara tidak

6
langsung dengan kejadian demam rematik dan penyakit jantung rematik, oleh
karena itu angka kejadian di negara berkembang lebih besar dan kontras dengan
negara maju. Adapun faktor-faktor yang terkait adalah keterbatasan pelayanan
kesehatan yang berkualitas, kurangnya tenaga ahli yang menangani, kepadatan
penduduk, status nutrisi, keadaan rumah, dan rendahnya kesadaran terhadap
penyakit.5
Telah lama diketahui bahwa demam rematik dan penyakit jantung rematik
mempunyai hubungan dengan infeksi Streptokokus β Hemolitikus Grup A.
Hubungan Streptokokus β Hemolitikus Grup A sebagai penyebab demam rematik
dan penyakit jantung rematik terjadi secara tidak langsung, karena organisme
penyebab tidak dapat diperoleh dari lesi, tetapi berdasarkan rekasi imunologis
yang membuktikan bahwa terdapatnya hubungan. Prevalensi Streptokokus β
Hemolitikus Grup disaluran nafas atas pada anak-anak usia sekolah yang sehat
adalah sebesar 10-35% dan paling tinggi pada anak usia 3-15 tahun. Streptokokus
β Hemolitikus Grup A yang asimtomatik banyak terdapat pada kultur sediaan apus
tenggorok anak-anak usia 5-15 tahun. Angka kejadian demam rematik setelah
infeksi Streptokokus β Hemolitikus Grup A bervariasi berdasakan keparahan
infeksi, mulai dari 0,3% sampai 3%.5,6

2.3 Etiologi
Demam rematik dan penyakit jantung rematik diketahui berhubungan
dengan adanya infeksi bakteri Streptokokus β Hemolitikus Grup A pada saluran
nafas atas dan infeksi pada kulit mempunyai hubungan dengan kejadian
glomerulonefritis akut. Streptokokus β Hemolitikus Grup A merupakan bakteri
gram positif yang berbentuk cocus dan tersusun seperti rantai. Bakteri ini bersifat
fakultatif anaerob, teridiri atas tiga kelompok berdasarkan kemampuan pada lisis
eritrosit, yaitu Streptokokus β jika bakteri melakukan hemolisis lengkap, group
Streptokokus α jika hemolisis parsial, dan group Streptokokus γ jika tidak
menyebabkan hemolisis. Bakteri ini kemudian dikelompokkan lagi menjadi 20
grup serologis yaitu grup A hingga T berdasarkan jenis polisakarida dinding sel
(Lancefield group) atas dasar reaksi presipitin protein M atau reaksi aglutinin

7
protein T dinding sel. Disebut sebagai Streptokokus Group A karena dinding sel
terdiridari polisakarida polimer I-ramnose dan N-asetil-D-glukosamin dengan
rasio 2:1. Polisakarida ini mengadakan ikatan ke peptidoglikan. Streptokokus
group A,B, C, D dan G merupakan grup yang paling sering ditemukan pada
manusia. Streptokokus β Hemolitikus Grup A terdiri atas beberapa serotipe,
beberapa serotipe yang paling sering menyebabkan infeksi pada manusia yaitu
serotipe M 1, 3, 5, 6, 14, 18, 19, dan 24.7
Struktur sel Streptokokus β Hemolitikus Grup A terdiri dari kapsul asam
hialuronidat, dinding sel, fimbriae, dan membran sitoplasma yang menutupi
sitoplasma. Kapsul asam hialuronat bekerja sebagai strain mukoid, resisten
terhadap pagositosis dan berperan dalam terjadinya infeksi. Dinding sel
merupakan struktur kompleks yang mempercepat kolonisasi bakteri serta
mengadakan ikatan ke permukaan sel epitel. Fimbriae yang menonjol pada
permukaan dinding sel disusun dari protein M spesifik dan asam lipoteikoat yang
memediasi adesi bakteri ke fibronektin pada sel epitel pejamu. Protein M
merupakan salah satu protein kelas mayor, disamping terdapat juga jenis protein T
dan protein kelas minor seperti protein F, protein R dan M-liked protein yang
terkandung pada dinding sel bakteri. Membran sitoplasma dibentuk dari
lipoprotein, termasuk penicillin-binding-protein yang berperan dalam sintesis
dinding sel. Secara keseluruhan,Streptokokus β Hemolitikus Grup A diselubungi
oleh kapsul yang terdiri dari asam hialuronat yang berfungsi sebagai antipagositik
dan untuk perlekatan ke sel epitel pejamu.7,8
Streptokokus β Hemolitikus Grup A merupakan bakteri komensal pada
tenggorokan manusia. Demam rematik akut merupakan penyakit sebagai respon
imunologi yang terjadi sebagai sekuele lambat akibat infeksi Streptokokus β
Hemolitikus Grup A pada faring tetapi tidak pada kulit. Sementara itu, penyakit
jantung rematik adalah cacat pada jantung akibat karditis rematik, merupakan
gejala sisa dari demam rematik yang ditandai dengan terjadinya cacat katup
jantung. Demam rematik yang merupakan manifestasi yang tumbul akibat
hipersensitivitas terhadap beberapa produk yang dihasilkan oleh Streptokokus β
Hemolitikus Grup A. Adanya reaksi silang antibodi terhadap Streptokokus β

8
Hemolitikus Grup A dengan struktur jantung yang mempunyai susunan antigen
mirip antigen Streptokokus β Hemolitikus Grup A sehingga menyebabkan kelainan
pada jantung.8,9

2.4 Faktor Predisposisi


Beberapa faktor predisposisi yang terlibat dalam kejadian penyakit jantung
reumatik yaitu sebagai berikut:9,10
a. Riwayat Keluarga dengan Demam Rematik
Menurut WHO, demam rematik adalah sindrom klinis sebagai salah satu
akibat rekasi autoimun terhadap bakteri Streptokokus β Hemolitikus Grup A yang
terjadi secara akut ataupun berulang dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu
poliartritis migrans akut, karditis, korea, nodul subkutan dan eritema marginatum.
Bakteri ini paling sering menyebabkan infeksi saluran nafas atas yaitu faringitis.
Faringitis ditularkan melalui inhalasi atau kontak langsung dengan sputum hasil
sekresi respiratorius. Masa inkubasinya adalah 2-5 hari setelah adanya kontak.
Peranan riwayat keluarga dalam kejadian demam rematik adalah adanya
kerentenan genetik penderita. Adanya faktor genetika disebabkan adanya Human
Leucocyte Antigen tertentu yang diturunkan sehingga demam rematik dapat
mengenai beberapa orang dalam satu keluarga serta sering mengenai saudara
kembar monozigotik.7
b. Jenis Kelamin
Kejadian demam rematik pada laki-laki dan perempuan pada dahulunya
dinyatakan lebih tinggi pada perempuan. Namun, terdapat adanya perbedaan
kejadian berdasarkan jenis kelamin pada manifestasi klinis yang ditimbukan
seperti gejala korea yang lebih sering ditemukan pada perempuan dibanding laki-
laki. Kelainan katup sebagai gejala sisa berupa stenosis mitral lebih sering pada
wanita, sementara insufisiensi aorta lebih sering terjadi pada laki-laki.8
c. Golongan Suku Bangsa atau Etnik
Di negara wilayah Amerika utara didaptkan bahwa demam rematik
serangan pertama maupun ulangan lebih sering terjadi pada ras kulit hitam
dibanding ras kulit putih. Tetapi , pada kedua ras ini terdapat perbedaan faktor

9
lingkungan yang dapat berperan. Di negara-negara barat pada umumnya kejadian
stenosis mitral muncul bertahun-tahun setelah serangan penyakit jantung rematik.
Data dari India menunjukan bahwa stenosis mitral berat sering terjadi dalam
waktu singkat yaitu 6 bulan sampai 3 tahun setelah serangan pertama.8
d. Usia
Usia merupakan salah satu faktor predisposisi terpenting dalam kejadian
demam rematik dan penyakit jantung rematik. Penyakit ini paling sering mengenai
anak berusia antara 5 sampai 15 tahun dengan puncak kejadian pada usia sekitar 8
tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak berusia 3 tahun atau setelah 20 tahun.
Distribusi usia ini dikatakan sesuai dengan isidens infeksi Streptokokus β
Hemolitikus Grup A pada anak usia sekolah.9
e. Keadaan Gizi
Keadaan gizi anak serta adanya penyakit-penyakit lain, belum dapat
ditentukan dalam timbulnya kejadian demam rematik dan penyakit jantung
rematik. Saat ini diketahui bahwa penderita sickle cell anemia jarang menderita
demam rematik dan penyakit jantung rematik.9
f. Keadaan Sosial Ekonomi yang Buruk
Faktor lingkungan juga merupakan faktor predisposisi yang penting dalam
kejadian demam rematik. Termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk
diantaranya adalah sanitasi lingngan yang buruk, rumah dengan penghuni padat,
dan rendahnya pendidikan. Hal ini dapat mengakibatkan kurangnya pengertian
untuk segera mengobati anak, disamping adanya permasalahan biaya pengobatan
dan terbatasanya ketersediaan fasilitas kesehatan.9
g. Keadaan Geografi
Demam rematik merupakan penyakit yang kosmolit, dimana banyak
ditemukan pada daerah beriklim sedang, dengan angka kejadian di iklim tropis
yang tinggi. Di daerah yang datarannya tinggi tampak insiden demam rematik
lebih tinggi dibanding dataran rendah. Adanya perubahan cuaca yang mendadak
juga sering mengakibatkan insiden infeksi saluran nafas bagian atas meningkat
sehingga kesempatan terjadinya demam rematik juga tinggi.9

10
2.5 Patofisiologi
Penyakit jantung rematik diawali dengan terjadinya demam rematik. Pada
demam rematik, reaksi yang terjadi adalah berupa autoimun yang dipicu oleh
terpajannya pejamu yang secara genetis rentan terhadap suatu antigen pada
Streptokokus β Hemolitikus Grup A. Setelah antigen masuk ke dalam tubuh, ia
akan dikenali sebagai benda asing, kemampuan ini dimiliki oleh suatu kelompok
gen di lengan pendek kromosom keenam yaitu kompleks histokompatibilitas
mayor (MHC) yang sering juga disebut sebagai human leukosit antigen (HLA).
Molekul MHC kelas II dapat ditemukan di monosit, makrofag dan sel sistem imun
lainnya dan aktif selama proses fagositosis.9,10
Dengan adanya MHC, suatu antigen akan dikenali sebagai benda asing
yang kemudian akan ditelan oleh makrofag. Makrofag, sel fagosit lain, dan sel B
juga dikenal sebagai sel penyaji antigen (APC) karena sel-sel ini menelan dan
menguraikan imunogen dan menyajikan epitop-epitopnya di permukaan sel untuk
mengaktifkan limfosit T. Sel limfosit T terdapat 2 jenis yaitu sel T CD4+ atau sel
T helper, dan sel T CD8+ atau sel T sitotoksik. Apabila makrofag menelan suatu
antigen kemudian akan diproses menjadi epitope-epitopnya. Sebuah epitope akan
berikatan dengan antigen MHC makrofag (MHC kelas II) dalam arti kata MHC
telah menunjukkan ke sel T CD4 bahwa benda ini adalah antigen sehingga sel T
CD4 akan teraktifasi. Setelah sel APC ( makrofag) dan sel CD4 menyatu maka sel
CD4 akan mengeluarkan interferon ɤ yang menarik makrofag lain ke tempat
antigen tersebut berada. Sel-sel CD4 yang sudah diaktifkan ini akan menghasilkan
limfokin misalnya interleukin 2, 4 dan 5 yang merangsang sel B matang
menghasilkan immunoglobulin. Selain itu, sebagian sel T akan berkembang
menjadi sel T pengingat, yang mampu segera aktif apabila terpajan ke epitope di
kemudian hari. Telah diketahui bahwa pada proses pengenalan antigen, tubuh juga
memproduksi sel T pengingat yang dapat melakukan penyerangan jika ia
menggangap bahwa hal itu adalah antigen yang sama.7
Streptokokus β Hemolitikus Grup A dapat menghasilkan tidak kurang dari
20 produk ekstra sel, beberapa yang terpenting diantaranya ialah streptolisin,
hialuronidase, streptokinase, dapat mensekresi dua jenis hemolisin yaitu

11
streptolisin O (oxygen-labile) dan streptolisin S (serum-soluble). Keduanya dapat
menghancurkan eritrosit, leukosit polimorfonuklear, trombosit, dan organela
dengan cara membuat lubang pada membran sel. Streptolisin O bersifat
imunogenik dan oxygen-labile, sedangkan streptolisin S tidak imunogenik dan
oxygen-stabile. Streptokokus β Hemolitikus Grup A juga menghasilkan
deoksiribonuklease (DNAase) yaitu DNAase A, B, C dan D, tetapi DNAase B
merupakan bentuk yang paling sering dijumpai dan paling imunogenik. Enzim ini
akan menghidrolisis asam nukleat dan berperan penting dalam penyearan faktor
yang mencairkan pus atau eksudat kental. Oleh karenanya, pada pemeriksaan
imunologi dapat dilakukan pemeriksaan antistreptolisin O (ASTO) dan
antideoksiribonukleat B (anti DNAase B) untuk infeksi bakteri Streptokokus β
Hemolitikus Grup A.7,10
Streptokokus β Hemolitikus Grup A,C dan G mempunyai protein M yang
diidentifikasi lebih dari 80 serotipe. Protein M merupakan faktor virulensi utama
Streptokokus β Hemolitikus Grup A. Protein M bersifat tahan panas, resisten
terhadap fagositosis, dan sensitif terhadap tripsin. Protein M terdiri dari 2 rantai
dengan struktur sebagai alpha-helical coiled-coil dimer, yang tampak seperti
rambut pada permukaan bakteri. Protein M ini bermuara dalam membran
sitoplasma melalui dinding sel dan menonjol dari permukaan sel sebagai fibril.
Protein M dibagi menjadi 2 kelas berdasarkan reaktivitas antibodi yaitu kelas I
yang mengandung epitop yang terekspos dengan permukaan dan akan bereaksi
dengan antibodi, sedangkan protein M kelas II tidak mengandung epitop dan tidak
bereaksi dengan antibodi. Kemampuan resistensi bakteri terhadap fagositosis oleh
leukosit polimorfonuklear tergantung pada protein M permukaan sel. Resistensi
infeksi Streptokokus β Hemolitikus Grup A adalah hasil dari sekresi antibodi
terhadap molekul protein M.9
Pada penderita penyakit jantung rematik, sel B, IgG, dan IgE akan
memiliki reaksi silang dengan beberapa protein yang terdapat didalam tubuh. Hal
iini disebabkan M protein dan N-asetil-glukosamin pada bakteri mirip dengan
protein miosin dan tropomiosin pada jantung, laminin pada katup jantung,
vimentin pada sinovial, keratin pada kulit, dan lysogangliosida pada subtalamikus

12
dan caudate nuclei di otak. Reaksi imun ini akan menyebabkan pajanan sel terus
menerus dengan makrofag. Kejadian ini akan meningkatkan sitoplasma dan
organel dari makrofag sehingga mirip seperti sel epitel. Sel epitel tersebut disebut
dengan sel epiteloid, penggabungan dari granuloma ini disebut dengan Aschoff
body. Sedangan jaringan yang lisis karena reaksi autoimun, baik yang disebabkan
oleh karena reaksi komplemen atau fagositosis oleh makrofag akan digantikan
dengan jaringan fibrosa (scar). Terbentuknya jaringan inilah yang dapat
menyebabkan stenosis ataupun insufisiensi dari katup-katup jantung.9

2.6 Manifestasi Klinis


Perjalanan klinis penyakit demam reumatik/ penyakit jantung reumatik
dapat dibagi dalam 4 stadium:9,10
a. Stadium I
Stadium ini berupa infeksi saluran nafas atas oleh kuman beta-
Streptococcus hemolyticus grup A. Seperti infeksi saluran nafas pada
umumnya, keluhan biasanya berupa demam, batuk, rasa sakit waktu menelan,
tidak jarang disertai muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi diare.9
Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan eksudat di tonsil yang menyertai
tanda-tanda peradangan lainnya. Kelenjar getah bening submandibular
seringkali membesar. Infeksi ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan dapat
sembuh sendiri tanpa pengobatan.9
Para peneliti mencatat 50-90% riwayat infeksi saluran nafas bagian atas
pada penderita demam reumatik/ penyakit jantung reumatik, yang biasanya
terjadi 10-14 hari sebelum manifestasi pertama demam reumatik/ penyakit
jantung reumatik.9
b. Stadium II
Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi
Streptococcus dengan permulaan gejala demam reumatik; biasanya periode ini
berlangsung 1-3 minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau
bahkan berbulan-bulan kemudian.9

13
c. Stadium III
Yang dimaksud dengan stadium III ini ialah fase akut demam reumatik,
saat timbulnya berbagai manifestasi klinis demam reumatik/penyakit jantung
reumatik.9
d. Stadium IV
Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik
tanpa kelainan jantung / penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa
katup tidak menunjukkan gejala apa-apa. Pada penderita penyakit jantung
reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung, gejala yang timbul sesuai
dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase ini baik penderita demam
reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami
reaktivasi penyakitnya.9

Penyakit jantung rematik diawali dengan terjadinya demam rematik.


Manifestasi klinis demam rematik dapat digolongkan dalam gejala peradangan
umum dan manifestasi spesifik demam reumatik yaitu sebagai berikut:10
a. Gejala peradangan umum
Biasanya penderita mengalami demam yang tidak tinggi tanpa pola
tertentu. Anak menjadi lesu, anoreksia, lekas tersinggung dan berat badan
tampak menurun. Anak juga mengalami atralgia, yaitu rasa sakit di sekitar
sendi selama beberapa hari/minggu dimana rasa sakit akan bertambah bila anak
melakukan latihan fisis. Gejala klinis lain yang dapat timbul ialah sakit perut,
yang kadang-kadang bisa sangat hebat sehingga menyerupai apendisitis akut.
Sakit perut ini akan memberi respon cepat dengan pemberian salisilat.
Pada pemeriksaan laboratorium akan didapatkan tanda-tanda reaksi
peradangan akut berupa terdapatnya C-reactive protein dan leukositosis serta
meningginya laju endap darah. Titer ASTO meninggi pada kira-kira 80%
kasus. Pada pemeriksaan EKG dapat dijumpai pemanjangan interval P-R (blok
AV derajat I). Sebagian gejala-gejala peradangan umum ini penting untuk
diagnosis dan dikelompokkan sebagai gejala minor.

14
b. Manifestasi spesifik (gejala mayor)
1. Artritis
Khas untuk demam reumatik adalah poliartritis migrans akut. Biasanya
mengenai sendi-sendi besar (lutut, pergelangan kaki, siku, pergelangan tangan),
dapat timbul bersamaan tetapi lebih sering bergantian/pindah-pindah.
Sendi yang terkena menunjukkan gejala-gejala radang yang jelas seperti
bengkak, merah, panas di sekitar sendi, nyeri dan terjadi gangguan fungsi
sendi. Yang menyolok ialah rasa nyerinya, yang keliatan tidak proporsional
dengan kelainan obyektif yang ada. Kelainan pada tiap sendi akan menghilang
sendiri tanpa pengobatan dalam beberapa hari sampai satu minggu dan seluruh
gejala sendi biasanya hilang dalam waktu 5 minggu, tanpa gejala sisa.10
2. Karditis
Karditis merupakan proses peradangan aktif yang mengenai endokardium,
miokardium atau perikardium. Dapat salah satu saja yang terkena atau
kombinasi dari ketiganya. Bila mengenai ketiga lapisan sekaligus disebut
pankarditis. Untuk menentukan adanya karditis, sebaiknya diketahui dahulu
keadaan jantung sebelum sakit.6,10
Karditis merupakan gejala mayor terpenting karena karditislah yang dapat
meninggalkan gejala sisa, terutama kerusakan katup jantung. Angka kejadian
karditis pada demam reumatik tampaknya cenderung menurun dari waktu ke
waktu.6
Karditis ini dapat menyebabkan kematian pada stadium akut (terdapat
kira-kira pada 1% kasus). Penyembuhan sempurna dapat diharapkan, namun
tidak jarang menyebabkan kelainan katup yang menetap. Stenosis mitral yang
sebenarnya terjadi beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah serangan
akut. Yang paling sering ditemukan ialah bising sistolik apikal yang menjalar
ke aksila. Sehingga dapat ditegaskan bahwa penyakit jantung reumatik dapat
terjadi tanpa riwayat demam reumatik. 6
Gejala-gejala karditis ialah rasa lelah, pucat, tidak bergairah dan anak
tampak sakit bisa sampai beberapa minggu meskipun belum ada gejala-gejala

15
spesifik. Seseorang penderita demam reumatik dikatakan menderita karditis
bila ditemukan satu atau lebih tanda-tanda berikut: 6
a. Bunyi jantung melemah dengan irama derap diastolik
b. Terdengar bising yang semula tidak ada, yaitu berupa bising apikal, bising
mid-diastolik apikal atau bising diastolik basal; atau terdapat perubahan
intensitas bising yang semula sudah ada atau bertambahnya bising yang
bermakna pada penderita yang tadinya sudah pernah menderita demam
reumatik/penyakit jantung reumatik.
Kardiomegali, terutama pembesaran ventrikel kiri pada foto
Rontgen dada penderita tanpa demam reumatik sebelumnya atau
bertambahnya pembesaran jantung yang nyata pada penderita yang pernah
mengalami penyakit jantung reumatik sebelumnya.
c. Perikarditis
Biasanya diawali dengan rasa nyeri di sekitar umbilikus akibat
penjalaran nyeri bagian tengah diafragma. Tanda-tanda lainnya ialah
adanya friction rub, efusi perikardial dan kelainan pada EKG. Perikarditis
jarang ditemukan sebagai kelainan tersendiri, biasanya merupakan bagian
dari pankarditis.
d. Gagal jantung kongestif pada anak-anak atau dewasa muda tanpa sebab
lain.
Gambaran EKG pada demam reumatik/penyakit jantung reumatik
dapat menunjukkan berbagai kelainan yang sesuai dengan kelainan
jantungnya, seperti miokarditis, perikarditis, hipertrofi ventrikel dan/atau
hipertrofi atrium. Yang paling sering ditemukan ialah pemanjangan
interval PR, yang dianggap sebagai salah satu gejala minor. Namun tidak
jarang gambaran EKG pada demam reumatik/PJR mula-mula normal dan
baru setelah dilakukan pemeriksaan ulangan didapatkan kelainan yang
menyokong diagnosis karditis reumatik. Bila didapatkan kelainan EKG,
maka hal ini dapat dipakai untuk mengikuti perjalanan penyakit; namun
diperlukan pengalaman untuk dapat melakukan interpretasi yang baik dan
tepat.6,8

16
Pemeriksaan radiologis sangat membantu pada karditis reumatik,
karena itu foto Rontgen dada harus segera dibuat pada setiap kasus yang
diduga menderita demam reumatik. Kardiomegali, terutama pembesaran
ventrikel kiri atau gambaran jantung yang membesar dan bentuk seperti
vas akibat perikarditis dengan efusi perikardium serta denyut jantung yang
melemah pada pemeriksaan fluoroskopi dapat ditemukan pada
pemeriksaan radiologis. Juga dapat dideteksi pneumonia yang lebih tepat
disebabkan infeksi Streptococcus, bukan suatu pneumonia reumatik akibat
suatu superinfeksi atau gagal jantung. 6
3. Korea
Korea ialah gerakan-gerakan cepat, bilateral, tanpa tujuan dan sukar
dikendalikan, seringkali disertai kelemahan otot. Korea dapat terjadi pada
stadium akut maupun stadium inaktif dan pada 5% kasus demam reumatik,
korea merupakan gejala tunggal. Sering terdapat pada anak perempuan sekitar
umur 8 tahun dan jarang setelah masa pubertas. Dapat ditemukan berkali-kali
pada satu anak tanpa manifestasi lainnya. Keadaan ini belum dapat
diterangkan. 6
Gambaran klinis korea: 6,9
a. Gerakan-gerakan tidak terkendali pada ekstremitas, muka dan kerangka
tubuh. Gerakan-gerakan tersebut hanya dapat diatasi sementara saja, dapat
dibangkitkan atau diperhebat dengan emosi dan menghilang pada waktu
tidur. Indikasi pertama mungkin berupa seringnya anak menjatuhkan
barang, tulisan mendadak menjadi buruk atau sulit berhadapan muka dengan
saudara-saudaranya. Gerakan-gerakan khas terasa pada waktu berjabat
tangan. Dapat pula terjadi gangguan bicara. Gerakan-gerakan pada otot
muka dapat menghebat sehingga disebut society smile. Bila lidah dijulurkan
terlihat tremor. Yang khas ialah kelainan pada waktu pemeriksaan refleks
patela, ialah tungkai yang perlahan-lahan kembali ke posisi semula setelah
patela diketuk. Ini terjadi bila gerakan korea terjadi bersamaan dengan
waktu patela dirangsang.

17
b. Hipotonia akibat kelemahan otot. Ini menyebabkan posisi khas, berupa
tangan yang lurus sedangkan pergelangan tangan sedikit fleksi serta sendi
metakarpofalangea dalam hiperekstensi. Bila hipotonia berat, anak tidak
dapat berdiri (korea paralitika).
c. Inkoordinasi gerakan dapat jelas atau samar-samar; bila anak diminta untuk
memungut uang logam di lantai akan terlihat jelas inkoordinasi tersebut.
d. Gangguan emosi hampir selalu ada, bahkan sering merupakan tanda dini.
Anak menjadi murung, mudah tersinggung, kelihatan bingung atau bahkan
menjadi manik (korea insapiens). Pekerjaan sekolah seolah mengalami
kemunduran.
Bila korea merupakan manifestasi tunggal remam reumatik, maka hasil-
hasil pemeriksaan laboratorium biasanya tidak menyokong ke arah demam
reumatik. Laju endap darah maupun C-reaktive protein normal, begitu pula
ASTO biasanya sudah turun menjadi normal, karena masa laten yang lama.
Beberapa ahli menyatakan bahwa anti DNA-ase, antibodi terhadap
Streptococcus yang dapat bertahan lebih lama daripada antibodi lainnya dapat
dipakai sebagai petunjuk adanya infeksi Streptococcus sebelumnya pada
korea.6,9
Korea dapat terjadi pada banyak keadaan klinis lainnya seperti berbagai
tics, cerebral palsy dengan korea-atetosis, penyakit Wilson (degenerasi
hepatolentikular), korea Hutington, lupus eritematosus, hiperparatiroidisme
idiopatik dan polisitemia. Tetapi biasanya tidak sulit untuk menyingkirkan
kelainan-kelainan tersebut karena biasanya terdapat manifestasi klinis lainnya
pada korea non-reumatik. 6,9
4. Eritema marginatum
Eritema marginatum merupakan manifestasi demam reumatik pada kulit,
berupa bercak-bercak merah muda dengan bagian tengahnya pucat sedangkan
tepinya berbatas tegas, berbentuk bulat atau bergelombang, tanpa indurasi dan
tidak gatal. Bila ditekan, lesi akan menjadi pucat. Tempatnya dapat berpindah-
pindah, di kulit dada dan bagian lengan atas atau paha, tetapi tidak pernah
terdapat di kulit muka. Kelainan ini dapat terjadi pada fase akut, tetapi dapat

18
timbul pada fase inaktif. Tidak terpengaruh oleh obat anti-inflamasi. Eritema
marginatum sering menyertai kelainan lainnya terutama karditis. Eritema
marginatum dapat berulang setelah gejala lainnya menghilang. 6,9
5. Nodul subkutan
Nodul ini terletak di bawah kulit, keras, tidak terasa sakit, mudah
digerakkan, berukuran antara 3-10 mm. Biasanya terdapat di bagian ekstensor
persendian terutama sendi siku, lutut, pergelangan tangan dan kaki, daerah
oksipital dan di atas prosesus spinosus vertebra torakalis dan lumbalis. Nodul
ini timbul beberapa minggu setelah serangan akut demam reumatik, karena itu
jarang mempunyai arti diagnostik yang penting, karena biasanya manifestasi
kelainan lainnya sudah nyata. Ditemukannya nodul subkutan menunjukkan
bahwa penyakit sudah berjalan beberapa waktu lamanya. 6,9
Dengan pemberian steroid, nodul subkutan ini cepat hilang. Nodul
subkutan juga dapat ditemukan pada reumatoid artritis dan lupus eritematosus
diseminata. Nodul subkutan sering dianggap sebagai tanda prognosis yang
buruk, sebab seringkali disertai karditis yang berat. 6,9

Kelainan yang timbul pada penyakit jantung rematik adalah :


1. Regurgitasi Mitral
Regurgitasi mitral merupakan lesi yang paling sering ditemukan pada
masa anak-anak dan remaja dengan penyakit jantung rematik kronik.
Penyembuhan valvulitis reumatik akut akan mengakibatkan fibrosis dan
kontraktur daun katup. Fibrosis ini akan menyebabkan pemendekan dan
penebalan korda tendinea menyebabkan terjadinya insufisiensi katup mitral.
Anulus pada katup akan berdilatasi jika ventrikel kiri berdilatasi. Dengan
bertambahnya derajat berat regurgitasi mitral, maka akan bertambah juga dilatasi
dari ventrikel sehingga menimbulkan semakin dilatasinya anulus katup.
Hipertensi pulmonal dapat terjaid pada reguritasi mitral.10
Pada regurgitasi mitral ringan pasien biasanya asimtomatik. Jika
regurgitasi semakin berat, maka dapat dijumpai adanya kelelahan yang
disebabkan oleh berkurangnya cardiac output, dan dapat terjadi palpitasi yang

19
disebabkan oleh munculnya atrial fibrilasi pada regurgitasi mitral. Pada keadaan
regurgitasi mitral yang tidak menimbukan gagal jantung tidak didapatkan adanya
kenaikan tekanan vena jugularis. Pada pasien dengan regurgitasi mitral ringan,
satu-satunya tanda fisik adalah bising pansistolik di apeks. Bunyi jantung I
biasanya normal, karena kerusakan katup yang luas dengan kalsifikasi berat jarang
terjadi pada anak-anak. Bunyi jantung II biasanya juga normal, namun
pembelahan (split) bunyi jantung III pada ekspirasi dapat terjadi pada regurgitasi
mitral yang berat, mungkin akibat pemendekan sistol ventrikel kiri. Penutupan
katup pulmonal keras bila terdapat hipertensi pulmonal. Bunyi jantung III dengan
nada rendah mungkin terdengar dengan jelas akibat pengisian diastolik awal
ventrikel yang besar. Terdapatnya bunyi jantung III (S3) menyingkirkan
kemungkianan diagnossi stenosis mitral berat, karena S3 merupakan suara yang
terjadi pada ventrikel setelah bunyi jantung II pada katup aorta yang menunjukkan
gangguan fungsi ventrikel maupun regurgitasi katup atrioventrikel. Bising klasik
regurgitasi mitral adalah pansistolik dengan intensitas maksimum pada apeks,
menjalar ke aksila dan tepi sternum kiri, dan mengeras bila pasien miring ke kiri,
namun tidak dipengaruhi oleh respirasi. Murmur yang timbul pada regurgitasi
mitral dimulai pada S1 dengan derajat 2 sampai 4/6, dapat terdengar di apex dan
menjalar ke axila sinistra. Posisi terbaik mendengarkan murmur adalah dengan
posisi dekubitus kiri.10
Pada pemeriksaan EKG, regurgitasi mitral ringan dapat ditemukan hasil
yang pemeriksaan yang normal. biasanya pada regurgitasi mitral dapat dijumpai
adanya hipertropi ventrikel kiri atau ventrikel kiri yang dominan. Atrial fibrilasi
jarang ditemukan pada anak-anak dan sering pada dewasa. Sedangkan pada
pemeriksaan echocardiography dapat dijumpai adanya dilatasi dari atrium kiri,
ventrikel kiri, dan derajat dilatasi berhubungan dengan keparahan regurgitasi
mitral. Pemetaan aliran warna menunjukkan adanya arus balik darah ke atrium
kiri.8
Pada pasien dengan regurgitasi mitral, perlu diberikan pengobatan agar
tidak terjadi rekurensi penyakit rematik yang di akibatkan oleh streptococcus beta
hemoliticus group A (SBHGA), sehingga dapat diberikan antibiotik penisilin atau

20
clindamisin bagi karier SBHGA karena sulit diatasi dengan penisilin. Pada kasus-
kasus ringan, aktivitas mungkin tidak perlu dibatasi. Pengobatan yang dapat
mengurangi beban afterload mungkin dapat membantu, serta pemberian
antikongestif dapat mencegah terjadinya CHF. Tindakan operatif patut
dipertimbangkan pada kasus RM akut/kronik yang berat dengan gagal jantung
kongestif yang tidak teratasi dengan obat.15
Indikasi dilakukannya operasi pada regurgitasi mitral berdasarkan
ACC/AHA 2006 adalah sebagai berikut:10
a) Pasien yang simtomatik dengan regurgitasi mitral kongenital yang berat
dengn fungsi NYHA kelas III atau IV
b) Pasien yang asimtomatik dengan regurgitasi mitral kongenital berat dan
disfungsi sistolik ventrikel kiri (fraksi ejeksi ≤0,6)
2. Stenosis Mitral
Stenosis mitral terjadi akibat fibrosis, perlekatan komisura, dan kotraktur
daun katup dan korda tendine. Bila dilihat dari atrium kiri, orifisium katup
menyerupai lubang kancing atau mulut ikan. Obstruksi aliran katup menyebabkan
hipertrofi dan dilatasi atrium kiri serta ruang jantung kanan. Stenosis mitral
derajat ringan dapat ditoleransi dengan baik, namun derajat berat akan berakibat
hipertensi atrium kiri dan hipertensi pulmonal yang berat. Tekanan arteri paru
akan naik untuk mempertahankan aliran paru. Gejala yang ditimbulkan sebanding
dengan derajat obstruksi. Pada stenosis minimal tidak menunjukan gejala. Pada
stenosis yang berat pasien akan mengalami intoleransi saat bekerja disertai dengan
dispnea. Ortopne dan/atau dispnea nokturnal paroksismal dengan atau tanpa
serangan edema paru dapat terjadi. Gejala dapat dipicu dengan keadaan yang
menambah beban jantung seperti infeksi saluran pernapasan, takikardi yang tidak
terkendali, atau bila terjadi fibrilasi atrium. Gagal jantung dapat terjadi pada
pasien dengan stenosis mitral yang berat danhipertensi pulmonal dapat terjadi
pada derajat sedang hingga berat.6
Umumnya keluhan dimulai dari sesak nafas sampai penurunan isi
sekuncup dan curah jantung pada stenosis mitral berat, sehingga tekanan darah
turun terutama pada saat aktivitas. Disamping itu, terjadi pula peningkatan gradien

21
tekanan diastolik antara atruim kiri dengan ventrikel kiri yang menyebabkan sesak
nafas.15
3. Regurgitasi Aorta
Regurgitasi aorta sering dijumpai pada pasien dengan penyakit katup
mitral. Regurgitasi aorta akan menambah beban volume yang sangat besar pada
ventrikel kiri dengan akibat dilatasi ventrikel kiri. Regurgitasi aorta yang progresif
dan dilatasi ventrikel kiri dapat menyebabkan perburukan penyakit yang cepat.
Gagal jantung dapat didahului oleh adanya edema paru yang jelas dengan
regurgitasi aorta yang ringan bersifat asimtomatik. Pada kasus yang berat dapat
timbul lekas lelah, palpitasi, dispnea setelah beraktifitas, dan banyak berkeringat.
Padapemeriksaan mungkin dada kiri akan menonjol akibat dilatasi atau hipertrofi
ventrikel kiri. Padapalpasi tampak aktivitas ventrikel kiri yang meningkat, serta
teraba getaran bising diastolik pada tepi kiri sternum atas. Tanda auskultasi yang
khas adalah bising diastolik dini bernada tinggi di sela iga II tepi kiri sternum
(daerah auskultasi pulmonal) dengan penjalaran ke sepanjang tepi kiri sternum
dan apeks. Kadang terdengar bising paling keras di sela iga II tepi kanan sternum
(daerah auskultasi aorta). Pada umumnya bising diastolik lebih mudah didengar
pada ekspirasi penuh dengan pasien condong ke depan. Kadang bising juga dapat
terdengar jelas pada posisi berbaring. Kadang juga terdengar bising ejeksi sistolik
dengan atau tanpa didahului klik, hal ini akibat isi sekuncup ventrikel kiri dan
tidak menunjukkan stenosis. Gambaran EKG pada lesi ringan dapat normal. Pada
regurgitasi aorta murni biasnaya terdapat hipertrofi ventrikel kiri. Gelombang P
yang berlekuk dapat ditemukan, sesuai dengan hipertrofi ventrikel kiri. Fibrilasi
atrium jarang terjadi ada regurgitasi aorta tanpa regurgitasi mitral. Pada
echocardiography didapatkan adanya pemetaan pancaraan regurgitan ke dalam
ventrikel kiri.6,10
4. Stenosis Aorta
Stenosis aorta merupakan kelainan katup rematik yang paling jarang (9%
pasien). Stenosis terjadi akibat penebalan katup, penyatuan komisura, fibrosis, dan
kalsifikasi. Stenosis aorta rematik tidak pernah terjadi sendiri, kelainan ini pasti
menyertai kelainan katup lainnya. Gejala yang timbul berupa gagal jantung kiri,

22
penurunan kardiak output dan perfusi arteri koroner yang buruk sehingga dapat
menyebabkan angina, pingsan, dan sesak nafas. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan thrill yang dapat dipalpasi pada garis suprasternal kanan.15
Stenosis katup aorta merujuk pada obstruksi aliran pada aras katup aorta,
biasanya didefinisikan dengan adanya pembukaan terbatas daun katup pada masa
sistolik, dengan gradien tekanan transvalvular bermakna (minimal 10 mmHg).
Penyebab stenosis dapat ditegallam lebih lanjut berdasarkan anatomi dan proses
penyakit yang menyerang katup.15
Gambaran EKG sering menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri.
Foto rontgen thorax jarang membantu, meskipun kadang-kadang dapat terlihat
kalsifikasi berat dari katup aorta atau dilatasi aorta descendens.
Echocardiographydua dimensi dan doppler menjadi modalitas pilihan dalam
mengevaluasi pasien yang memiliki kelainan katup.15
2.7 Diagnosis
Demam reumatik ditandai oleh berbagai manifestasi klinis dan
laboratorium. Sampai saat ini tidak ada satu jenis pemeriksaan laboratorium yang
spesifik untuk demam reumatik. Oleh karena itu diagnosis demam reumatik
didasarkan pada gabungan gejala dan tanda klinis serta kelainan laboratorium.10
Kriteria Jones mewakili standar klinis untuk menegakkan diagnosis dan
telah mengalami beberapa revisi selama bertahun-tahun. Baru-baru ini, American
Heart Association/American College of Cardiology (AHA/ACC) (2015) telah
menemukan revisi kriteria Jones yang telah memasukkan modifikasi besar untuk
area dengan prevalensi tinggi untuk meningkatkan hasil diagnostik.11
Tabel 1. Kriteria yang Digunakan untuk Mendefinisikan DRA
Kriteria Kriteria Jones Pedoman Australia untuk AHA/ACC 2015 untuk
populasi berisiko tinggi populasi berisiko tinggi
Manifestasi  Karditis  Karditis (termasuk  Karditis (klinis dan/atau
Mayor  Poliartritis karditis subklinis) subklinis)
 Korea  Poliartritis  Poliartritis
 Eritema Atau Atau

23
marginatum  Monoartritis aseptik  Monoartritis
 Nodul subkutan Atau Atau
 Poliartralgia  Poliartralgia
 Korea  Korea
 Eritema marginatum  Eritema marginatum
 Nodul subkutan  Nodul subkutan
Manifestasi  Demam  Demam  Demam
Minor  Poliartralgia  LED≥30 mm/h atau  LED≥30 mm/h atau
 Meningkatnya CRP≥30mg/L CRP≥30mg/L
reaktan fase akut  Interval PR memanjang  Interval PR memanjang
(LED atau  Monoartralgia  Monoartralgia
meningkatnya
hitung leukosit)
 Interval PR
memanjang
Kriteria  Meningkatnya  Meningkatnya ASO atau  Meningkatnya ASO atau
Esensial ASO atau antibodi Streptococcus antibodi Streptococcus
(mendahului antibodi lainnya lainnya
infeksi Group Streptococcus  Infeksi tenggorokan  Infeksi tenggorokan positif
A lainnya positif  Rapid antigen test
Streptococci)  Infeksi  Rapid antigen test
tenggorokan
positif
 Rapid antigen
test
DRA Dua mayor  Pasti (definite) Dua mayor
Pertama Atau Dua mayor Atau
Satu mayor dan Atau Satu mayor dan dua minor
dua minor Satu mayor dan dua minor Plus
Plus Plus Bukti infeksi Group A

24
Bukti infeksi Bukti infeksi Group A Streptococci sebelumnya
Group A Streptococci sebelumnya
Streptococci  Mungkin (probable)
sebelumnya Tidak memenuhi satu
mayor atau satu minor atau
tidak adanya bukti infeksi
Group A Streptococci
namun DRA dianggap
paling mungkin terjadi
Rekuren  Tanpa PJR Dua mayor Dua mayor
Dua mayor Atau Atau
Atau Satu mayor dan satu minor Satu mayor dan dua minor
Satu mayor dan Atau Atau
dua minor Tiga minor Tiga minor
Plus Plus Plus
Bukti infeksi Bukti infeksi Group A Bukti infeksi Group A
Group A Streptococci sebelumnya Streptococci sebelumnya
Streptococci
sebelumnya
 Dengan PJR
Dua minor
Plus
Bukti infeksi
Group A
Streptococci
sebelumnya

Kriteria Jones dimaksudkan untuk pedoman diagnosis demam reumatik/


penyakit jantung reumatik akut. Perlu ditekankan bahwa kriteria ini tidak dibuat
untuk mengganti clinical judgement dokter, melainkan hanya sebagai petunjuk

25
diagnosis. Pada kasus yang meragukan harus dilakukan observasi dan penelitian
yang cermat, sebab disamping menimbulkan kegelisahan pada penderita atau
orang tuanya, diagnosis demam reumatik mempunyai implikasi diberikannya
kemoprofilaksis yang lama.11
Tabel 2. Kriteria WHO Tahun 2002-2003 untuk diagnosis demam rematik dan
penyakit jantung rematik (berdasarkan revisi kriteria Jones)
Kategori diagnostik Kriteria
Demam rematik serangan pertama Dua mayor atau satu mayor dan dua
minor ditambah dengan bukti infeksi
SGA sebelumnya
Demam rematik serangan rekuren Dua mayor atau satu mayor dan dua
tanpa PJR minor ditambah dengan bukti infeksi
SGA sebelumnya
Demam rematik serangan rekuren Dua minor ditambah dengan bukti
dengan PJR infeksi SGA sebelumnya
Korea rematik Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya
atau bukti infeksi SGA
PJR (stenosis mitral murni atau Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk
kombinasi dengan insufisiensi mitral mendiagnosis sebagai PJR
dan/atau gangguan katup aorta)

2.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan pasien dengan penyakit jantung rematik secara garis
besar bertujuan untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup
A menekan inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk
gagal jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan untuk mencegah
penyakit jantung rematik berulang pada anak-anak dan memantau komplikasi
serta gejala sisa dari penyakit jantung rematik kronis pada saat dewasa. Selain
terapi medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien harus dikontrol. Selain
itu, ada juga pilihan terapi operatif sebagai penanganan kasus-kasus parah.

26
1) Tirah baring
Lama dan tingkat tirah baring tergantung sifat dan keparahan serangan.4
Tabel 3. Panduan aktivitas pada DRA
Aktivitas Artritis Karditis Karditis Karditis berat
minimal sedang
Tirah baring 1-2 minggu 2-4 minggu 4-6 minggu 2-4
bulan/selama
masih terdapat
gagal jantung
kongestif
Aktivitas 1-2 minggu 2-3 minggu 4-6 minggu 2-3 bulan
dalam rumah
Aktivitas di 2 minggu 2-4 minggu 1-3 bulan 2-3 bulan
luar rumah
Aktivitas Setelah 6-10 Setelah 6-10 Setelah 3-6 Bervariasi
penuh minggu minggu bulan

2) Antibiotik
a. Pencegahan primer
Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang sangat
penting untuk mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen Streptococcus
beta hemolyticus grup A. Penisilin oral untuk eradikasi Streptococcus beta
hemolyticus group A selama 10 hari atau benzathine penicillin G 0.6-1.2 juta unit
IM.12
b. Pencegahan sekunder
Demam rematik sekunder berhubungan dengan perburukan atau
munculnya rheumatic heart disease. Pencegahan terhadap infeksi Streptococcus
beta hemolyticus grup A pada faring yang berulang adalah metode yang paling
efektif untuk mencegah rheumatic heart disease yang parah.
Benzantin penisilin G 600.000 U IM untuk berat badan<27 kg (60 pound),
1,2 juta U untuk berat badan >27 kg (60 pound) setiap 4 minggu/28 hari. 12

27
Pilihan lain dapat berupa:
a. Penisilin V p.o.125–250 mg 2 kali sehari
b. Sulfadiazin 1 g p.o. sekali sehari
c. Eritromisin 250 mg p.o. 2 kali sehari
Lama pencegahan adalah sebagai berikut:13
Tabel 8. Durasi Pencegahan berdasarkan Kategori Pasien
Kategori pasien Durasi
Demam rematik tanpa karditis Sedikitnya sampai 5 tahun setelah
serangan terakhir atau hingga usia 18
tahun
Demam rematik dengan karditis tanpa bukti Sedikitnya sampai 10 tahun setelah
adanya penyakit jantung residual/ kelainan serangan terakhir atau hingga usia 25
katup. tahun, dipilih jangka waktu yang terlama
Demam reumatik akut dengan karditis dan Sedikitnya 10 tahun sejak episode terakhir
penyakit jantung residual (kelainan katup atau sedikitnya hingga usia 40 tahun, dan
persisten) kadang-kadang seumur hidup

Setelah operasi katup Seumur hidup

3) Pengobatan anti nyeri dan antiradang


Anti inflamasi asetosal diberikan pada karditis ringan sampai sedang,
sedangkan prednison hanya diberikan pada karditis berat.4
a. Karditis minimal: tidak jelas ditemukan kardiomegali
b. Karditis sedang: kardiomegali
c. Karditis berat: jelas terdapat kardiomegali disertai tanda gagal jantung
Tabel 6. Panduan obat anti inflamasi
Artritis Karditis ringan Karditis sedang Karditis berat
Prednison - - 2-4 minggu 2-6 minggu
Aspirin 1-2 minggu 2-4 minggu 6-8 minggu 2-4 bulan
Dosis: Prednison : 2 mg/kgbb/haridibagi 4 dosis
Aspirin :100 mg/kgbb/hari, dibagi 4-6 dosis

28
Dosis prednison di tappering off pada minggu terakhir pemberian dan
mulai diberikan aspirin. Setelah minggu ke-2 dosis aspirin diturunkan menjadi 60
mg/kgbb/hari.
4) Terapi Operatif
Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus mengalami
perburukan meskipun telah mendapat terapi medis yang agresif untuk penanganan
rheumatic heart disease, operasi untuk mengurangi defisiensi katup mungkin bisa
menjadi pilihan untuk menyelamatkan nyawa pasien. Pasien yang simptomatik,
dengan disfungsi ventrikel atau mengalami gangguan katup yang berat, juga
memerlukan tindakan intervensi.16
a. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal, dapat
dilakukan ballon mitral valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak
memungkinkan, perlu dilakukan operasi.
b. Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral akut
(mungkin akibat ruptur khordae)/kronik yang berat dengan rheumatic heart
disease yang tak teratasi dengan obat, perlu segera dioperasi untuk reparasi
atau penggantian katup.
c. Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat langka.
Intervensi dengan balon biasanya kurang berhasil, sehingga operasi lebih
banyak dikerjakan.
d. Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri atau
kombinasi dengan lesi lain, biasanya ditangani dengan penggantian
katup.16
2.9 Prognosis
Kelainan jantung pada serangan awal dapat menghilang pada 10-25%
pasien. Penyakit katup sering membaik ketika diikuti dengan terapi profilaksis.
Prognosis sangat baik bila karditis sembuh pada permulaan serangan akut demam
rematik. Selama 5 tahun pertama perjalanan penyakit demam rematik dan
penyakit jantung rematik tidak membaik bila bising organik katup tidak
menghilang. Prognosis memburuk bila gejala karditisnya lebih berat, dan ternyata
demam rematik akut dengan payah jantung akan sembuh 30% pada 5 tahun

29
pertama dan 40% setelah 10 tahun. Penyembuhan akan bertambah bila
pengobatan pencegahan sekunder dilakukan secara baik.

30
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit jantung rematik merupakan kelainan katup jantung yang


merupakan konsekuensi dari demam rematik akut yang disebabkan oleh reaksi
imunologi terhadap infeksi Streptococcus group A. Kelainan yang dapat timbul
akibat penyakit ini antara lain stenosis katup mitral, regurgitasi katup mitral,
stenosis katup aorta, regurgitasi katup aorta. Untuk pentalaksanaannya antara lain
tirah barik, anti inflamasi dan anti nyeri, antibiotik. Kelainan jantung pada
serangan awal dapat menghilang pada 10-25% pasien. Penyakit katup sering
membaik ketika diikuti dengan terapi profilaksis. Prognosis memburuk bila gejala
karditisnya lebih berat, dan ternyata demam rematik akut dengan payah jantung
akan sembuh 30% pada 5 tahun pertama dan 40% setelah 10 tahun.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Rheumatic Fever in Hurst’S The Heart Volume II 14th Edition. Manesh R, et


al, Editor : Fuster V, et al. New York :MacGraw Hill Education. 2017.
2. Rheumatic FeverIn Braunwald’s Heart Disease Volume II Eleventh Edition.
Benjamin M, et al. Editor: Zipes DW, et al. Canada : Elsevier. 2019.
3. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Ilmu kesehatan anak
esensial. Elsevier. Singapura: 2011.
4. Pudjiadi AH dkk (editor). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia Edisi II. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
5. Hasnul M dkk. Karakteristik Pasien Penyakit Jantung Rematik yang Dirawat
Inap di RSUP Dr. M. Djamil Padang.Jurnal Kesehatan Andalas. 2015;4(3)
6. Sastroasmoro S, Madiyono B. Kardiologi anak. Binarupa Aksara. Jakarta:
2004.
7. Baratawidjaya KG. Imunologi dasar. Edisi ke-7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2006.
8. Alwi I, Salim S, Hidayat R. Panduan praktik klinis. Edisi ke-3. Jakarta:
InternaPublishing; 2016
9. Heart Foundation of New Zealand. New Zealand Guidelines for Rheumatic
Fever-Diagnosis, Management and Secondary Prevention of Acute Rheumatic
Fever and Rheumatic Heart Disease: 2014 Update; 2014
10. WHO. Rheumatic fever and rheumatic heart disease: report of WHO expert
consultation, Geneva. WHO Technical Report Series No.923;2004:1-65.
11. Kun M. Pediatric cardiology for practitioners. 5th Ed. Elsevier. Texas: San
Antonio. 2008.
12. Kumar D dkk. Evaluation of the American Heart Association 2015 revised
Jones criteria versus existing Guidelines. Heart Asia; 2016
13. WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit; 2009
14. Rahayuningsih SE. Demam Rematik Akut. Bandung: Pendidikan Ilmu
Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) IX; 2011.

32
15. Lily l. Rilantono. Penyakit Kardiovaskular. Edisi Pertama. Jakarta : Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013
16. Majid Abdul. Anatomi Jantung dan pembuluh darah, Sistem Kardiovaskuler
secara Umum, Denyut Jantung dan Aktifitas Listrik Jantung, dan Jantung
sebagai Pompa. Fisiologi Kardiovaskular. Medan: Bagian Fisiologi Fakultas
Kedokteran USU. 2005; 7 -16.

33

Anda mungkin juga menyukai