Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PENYAKIT JANTUNG REMATIK

Kelompok 4

1. Meili Hayatunnupus (2114201109)


2. Patmawati (2114201110)
3. Ricky Fauzi Ginanjar (2114201113)
4. Yogi Wibowo (2114201118)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MOHAMMADYAH TANGERAN

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rakhmatnya maka Laporan
Tinjauan Kepustakaan yang berjudul ” Penyakit Jantung Rematik” ini dapat selesai pada waktunya. Pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian laporan ini. Laporan Tinjauan Kepustakaan ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti
Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar.
Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada: 1. dr. Ketut Suardamana, Sp.PD-KAI selaku dosen
pembimbing. 2. Pasien dan keluarga pasien yang telah memberikan informasi dan data-data yang sangat
penulis perlukan untuk penyelesaian laporan ini. 3. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat
penulis sebutkan satupersatu. Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk
kesempurnaan tulisan ini. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, Maret 2018


Penulis

TINJAUAN PUSTAKA PENYAKIT JANTUNG REMATIK


1. Definisi
Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit jantung didapat
yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik merupakan kelainan katup
jantung yang menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya, terutama mengenai
katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah
menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung reumatik dapat menimbulkan stenosis atau
insufisiensi atau keduanya.

2. Epidemiologi
Penyakit jantung rematik menyebabkan setidaknya 200.000-250.000 kematian bayi
premature setiap tahun dan penyebab umum kematian akibat penyakit jantung pada anak-
anak dan remaja di negara berkembang.2 Dalam laporan WHO Expert Consultation
Geneva, 29 Oktober–1 November 2001 yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas
untuk PJR 0,5 per 100.000 penduduk di Negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di
negara berkembang di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk.
Diperkirakan sekitar 2.000-332.000 penduduk yang meninggal diseluruh dunia akibat
penyakit tersebut.3 Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti,
meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi
penyakit jantung rematik berkisar antara 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah.

3. Etiologi
Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam reumatik. Demam
reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi setelah infeksi
Streptococcus grup A pada individu yang mempunyai faktor 2 predisposisi. Keterlibatan
kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi endokardium dan miokardium
melalui suatu proses ’autoimunne’ yang menyebabkan kerusakan jaringan. Inflamasi yang
berat dapat melibatkan perikardium. Valvulitis merupakan tanda utama reumatik karditis
yang paling banyak mengenai katup mitral (76%), katup aorta (13%) dan katup mitral dan
katup aorta (97%). Insidens tertinggi ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun.

4. Patogenesis
Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit supuratif misalnya
faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis nifas dan penyakit non supuratif
misalnya demam rematik, glomerulonefritis akut. Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi Streptococcus
beta hemolyticus grup A pada faring menghasilkan respon inflamasi akut yang berlangsung 3-5
hari ditandai dengan demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan leukositosis.4 Pasien masih
tetap terinfeksi selama bermingguminggu setelah gejala faringitis menghilang, sehingga menjadi
reservoir infeksi bagi orang lain. Kontak langsung per oral atau melalui sekret pernafasan dapat
menjadi media trasnmisi penyakit. Hanya faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A saja
yang dapat mengakibatkan atau mengaktifkan kembali demam rematik.
Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik berkelanjutan
yang melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih dari 60% penyakit
rheumatic fever akan berkembang menjadi rheumatic heart disease. Adapun kerusakan
yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease yakni kerusakan katup jantung akan
menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang sering dan berulang penyakit ini akan
menyebabkan penebalan pada katup, pembentukan skar (jaringan parut), kalsifikasi dan
dapat berkembang menjadi valvular stenosis.
Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever dalam
patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor yang berperan
dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain faktor organisme, faktor host dan
faktor sistem imun.
Bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sebagai organisme penginfeksi
memiliki peran penting dalam patogenesis rheumatic fever. Bakteri ini sering berkolonisasi
dan berproliferasi di daerah tenggorokan, dimana bakteri ini memiliki supra-antigen yang
dapat berikatan dengan major histocompatibility complex kelas 2 (MHC kelas 2) yang
akan berikatan dengan reseptor sel T yang apabila teraktivasi akan melepaskan sitokin dan
menjadi sitotosik. Supra-antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A yang
terlibat pada patogenesis rheumatic fever tersebut adalah protein M yang merupakan
eksotoksin pirogenik Streptococcus. Selain itu, bakteri Streptococcus beta hemolyticus
grup A juga menghasilkan produk ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNA-
ase, dan hialuronidase yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif. 6
Antibodi yang paling sering adalah antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya untuk
menetralisir toksin bakteri tersebut. Namun secara simultan upaya proteksi tubuh ini juga
menyebabkan kerusakan patologis jaringan tubuh sendiri. Tubuh memiliki struktur yang
mirip dengan antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sehingga terjadi
reaktivitas silang antara epitop organisme dengan host yang akan mengarahkan pada
kerusakan jaringan tubuh.
Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A
dengan jaringan tubuh yang dikenali oleh antibodi adalah: 1) Urutan asam amino yang
identik, 2) Urutan asam amino yang homolog namun tidak identik, 3) Epitop pada molekul
yang berbeda seperti peptida dan karbohidrat atau antara DNA dan peptida. Afinitas
antibodi reaksi silang dapat berbeda dan cukup kuat untuk dapat menyebabkan sitotoksik
dan menginduksi sel–sel antibodi reseptor permukaan.
Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari streptococcus beta
hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang sama dengan protein miosin,
tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan Nasetilglukosamin pada tubuh manusia.
Molekul yang mirip ini menjadi dasar dari reaksi autoimun yang mengarah pada terjadinya
rheumatic fever. Hubungan lainnya dari laminin yang merupakan protein yang mirip miosin dan
protein M yang terdapat pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T anti miosin dan anti
protein M.
Disamping antibodi terhadap N-asetilglukosamin dari karbohidrat, Streptococcus beta
hemolyticus grup A mengalami reaksi silang dengan jaringan katup jantung yang
menyebabkan kerusakan valvular.
Disamping faktor organisme penginfeksi, faktor host sendiri juga memainkan peranan dalam
perjalanan penyakit rheumatic fever. Sekitar 3-6% populasi memiliki potensi terinfeksi
rheumatic fever. Penelitian tentang genetik marker menunjukan bahwa gen human
leukocyte-associated antigen (HLA) kelas II berpotensi dalam perkembangan penyakit
rheumatic fever dan rheumatic heart disease. Gen HLA kelas II yang terletak pada
kromosom 6 berperan dalam kontrol imun respon. Molekul HLA kelas II berperan dalam
presentasi antigen pada reseptor T sel yang nantinya akan memicu respon sistem imun
selular dan humoral. Dari alel gen HLA kelas II, HLA-DR7 yang paling berhubungan
dengan rheumatic heart disease pada lesi-lesi valvular.
Lesi valvular pada rheumatic fever akan dimulai dengan pembentukan verrucae yang disusun
fibrin dan sel darah yang terkumpul di katup jantung. Setelah proses inflamasi mereda,
verurucae akan menghilang dan meninggalkan jaringan parut. Jika serangan terus berulang
veruccae baru akan terbentuk didekat veruccae yang lama dan bagian mural dari
endokardium dan korda tendinea akan ikut mengalami kerusaka.
Kelainan pada valvular yang tersering adalah regurgitasi katup mitral (65- 70% kasus).
Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan penebalan korda tendinea
menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral. Karena peningkatan volume yang masuk dan
proses inflamasi ventrikel kiri akan membesar akibatnya atrium kiri akan berdilatasi akibat
regurgitasi darah. Peningkatan tekanan atrium kiri ini akan menyebabkan kongesti paru diikuti
dengan gagal jantung kiri. Apabila kelainan pada mitral berat dan berlangsung lama, gangguan
jantung kanan juga dapat terjadi.
Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi katup aorta akibat dari
sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke ventrikel kiri diikuti dengan dilatasi
dan hipertropi dari ventrikel kiri.11 Di sisi lain, dapat terjadi 5 stenosis dari katup mitral. Stenosis
ini terjadi akibat fibrosis yang terjadi pada cincin katup mitral, kontraktur dari daun katup, corda
dan otot papilari. Stenosis dari katup mitral ini akan menyebabkan peningkatan tekanan dan
hipertropi dari atrium kiri, menyebabkan hipertensi vena pulmonal yang selanjutnya dapat
menimbulkan kelainan jantung kanan.

5. Diagnosis
Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien rheumatic fever menunjukan keluhan yang
bervariasi. Gambaran klinis pada rheumatic fever bergantung pada sistem organ yang terlibat dan
manifestasi yang muncul dapat tunggal atau merupakan gabungan beberapa sistem organ yang
terlibat.

a. Anamnesis Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit tenggorok
1-5 minggu sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-anak menyatakan
pernah mengalami sakit tenggorokan. Keluhan mungkin tidak spesifik, seperti demam,
tidak enak badan, sakit kepala, penurunan berat badan, epistaksis, kelelahan, malaise,
diaforesis dan pucat. Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri dada, ortopnea atau
sakit perut dan muntah.
Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di bawah kulit,
peningkatan iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan kepribadian seperti gangguan
neuropsikiatri autoimun terkait dengan infeksi Streptococcus, difungsi motorik, dan
riwayat rheumatic fever sebelumnya.
b. Manifestasi Klinis
Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi beberapa kali. Kriteria ini
membagi gambaran klinis menjadi dua, yaitu manifestasi mayor dan minor.

Manifestasi mayor Manifestasi minor


Karditis Klinis:

Poliaritis migrans - Atralgia: nyeri sendi tanpa merah dan bengkak


- demam tinggi ( >39 C)
Chrea sydenham Laboratorium :
Eritema marginatum -Penigkatan penanda peradangan yaitu erythrocyte sedimentation
Nodul subkutan raye ( ESR) atau C Reactive Protein ( CRP)
-pemanjangan interval PR pada EKG
Ditambah
Bukti infeksi streptococcus beta hemolictycus group A sebelumnya ( 45 hari terakhir )
- Kultur hapusan tenggorok atau rapid test antigen streptococus betahemolycticus grup A
hasilnya positif
- Peningkatan titer serologi antibodi streptococus betahemolycticus grup A

Kriteria mayor
Karditis

Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering terjadi setelah poli artritis. Pankarditis meliputi
endokarditis, miokarditis dan perikarditis. Pada stadium lanjut, pasien mungkin mengalami dipsnea ringan-sedang,
rasa tak nyaman di dada atau nyeri pada dada pleuritik, edema, batuk dan ortopnea. Pada pemeriksaan fisik,
karditis paling sering ditandai dengan murmur dan takikardia yang tidak sesuai dengan tingginya demam.
Gambaran klinis yang dapat ditemukan dari gangguan katup jantung dapat dilihat pada tabel.

Gangguan Manifestasi
Regurgitasi Mitral - Aktivitas ventrikel kiri meningkat
- Bising pansistolik di apeks, menyebar
ke aksila bahkan ke punggung
- Murmur diastolik di apeks
Regurgitasi Aorta - Aktivitas ventrikel kiri meningkat
- Bising diastolik di ICS II kanan / kiri,
menyebar ke apeks
- Tekanan nadi sangat lebar ( sistolik
tinggi, sedangkan diastolik sangat
rendah bahkan hingga 0 mmhg)
Stenosis Mitral - Aktivitas ventrikel kiri negatif
- Bising diastolik di daerah apeks ,
dengan S1 mengeras

Gagal jantung kongestif bisa terjadi sekunder akibat insufisieni katup yang parah atau miokarditis, yang
ditandai dengan adanya takipnea, ortopnea, distensi vena jugularis, ronki, hepatomegali, irama gallop, dan edema
perifer.

Friction rub pericardial menandai perikarditis. Perkusi jantung yang redup, suara jantung melemah, dan
pulsus paradoksus adalah tanda khas efusi perikardium dan tamponade perikardium yang mengancam.

Poliartritis

Migrans Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic fever, terjadi pada sekitar 70% pasien
rheumatic fever. Gejala ini muncul 30 hari setelah infeksi Streptococcus yakni saat antibodi mencapai puncak.
Radang sendi aktif ditandai dengan nyeri hebat, bengkak, eritema pada beberapa sendi. Nyeri saat istirahat yang
semakin hebat pada gerakan aktif dan pasif merupakan tanda khas. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi-
sendi besar seperti sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Gejala ini bersifat asimetris dan
berpindah-pindah (poliartritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan beberapa jam sesudah
serangan namun muncul pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien dapat sembuh dalam satu minggu dan
biasanya tidak menetap lebih dari dua atau tiga minggu.

Chorea Sydenham/Vt. Vitus’ Dance

Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic fever dan dua kali lebih sering pada perempuan.
Gejala ini muncul pada fase laten yakni beberapa bulan setelah infeksi Streptococcus (mungkin 6 bulan).
Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan proses radang pada susunan saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus
kaudatus otak. Periode laten dari chorea ini cukup lama, sekitar tiga minggu sampai tiga bulan dari terjadinya
rheumatic fever. Gejala awal biasanya emosi yang lebih labil dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan gerakan
yang tidak disengaja, tidak bertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian otot dapat terkena, namun otot
ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok. Gejala ini semakin diperberat dengan adanya stress dan
kelelahan, namun menghilang saat beristirahat.

Eritema Marginatum

Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic fever yang terjadi kurang dari 10% kasus. 12
Ruam berbentuk anular berwarna kemerahan yang kemudian ditengahnya memudar pucat, dan tepinya berwarna
merah berkelok-kelok seperti ular. Umumnya ditemukan di tubuh (dada atau punggung) dan ekstremitas.

Nodulus Subkutan

Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus. Nodulus terletak pada permukaan ekstensor
sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut, dan persendian kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala bagian
oksipital dan di atas kolumna vertebralis. Nodul berupa benjolan berwarna terang keras, tidak nyeri, tidak gatal,
mobile, dengan diameter 0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya terjadi beberapa minggu setelah rheumatic fever
muncul dan menghilang dalam waktu sebulan. Nodul ini selalu menyertai karditis rematik yang berat.

Kriteria Minor

Demam biasanya tinggi sekitar 39oC dan biasa kembali normal dalam waktu 2-3 minggu, walau tanpa
pengobatan. Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai tanda-tanda objektif (misalnya bengkak, merah, hangat)
juga sering dijumpai. Artralgia biasa melibatkan sendi-sendi yang besar. Penanda peradangan akut pada 9
pemeriksaan darah umumnya tidak spesifik, yaitu LED dan CRP umumnya meningkat pada rheumatic fever.
Pemeriksaan dapat digunakan untuk menilai perkembangan penyakit.

C. Pemeriksaan Penunjang

Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendukung diagnosis dari rheumatic
fever dan rheumatic heart disease adalah :

a. Pemeriksaan Laboratorium
- Reaktan Fase Akut
Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan. Pada pemeriksaan darah lengkap,
dapat ditemukan leukosistosis terutama pada fase akut/aktif, namun sifatnya tidak spesifik. Marker
inflamasi akut berupa Creactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED). Peningkatan laju endap
darah merupakan bukti non spesifik untuk penyakit yang aktif. Pada rheumatic fever terjadi
peningkatan LED, namun normal pada pasien dengan congestive failure atau meningkat pada anemia.
CRP merupakan indikator dalam menetukan adanya jaringan radang dan tingkat aktivitas penyakit.
CRP yang abnormal digunakan dalam diagnosis rheumatic fever aktif.
- Rapid Test Antigen
Streptococcus Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri Streptococcus grup A secara
tepat dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90 %.4 - Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus
Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala klinis rheumatic fever muncul.
Tes antibodi antistreptokokus yang biasa digunakan adalah antistreptolisin O/ASTO dan
antideoxyribonuklease B/anti DNase B. Pemeriksaan ASTO dilakukan terlebih dahulu, jika tidak terjadi
peningkatan akan dilakukan pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO biasanya mulai meningkat pada
minggu 1, dan mencapai puncak minggu ke 3-6 setelah infeksi. Titer ASO naik > 333 unit pada anak-
anak, dan > 250 unit pada dewasa. Sedangkan anti-DNase B mulai meningkat minggu 1-2 dan
mencapai 10 puncak minggu ke 6-8. Nilai normal titer anti-DNase B= 1: 60 unit pada anak prasekolah
dan 1 : 480 unit anak usia sekolah.
- Kultur tenggorok
Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya streptococcus beta hemolitikus
grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Kultur ini umumnya
negatif bila gejala rheumatic fever atau rheumatic heart disease mulai muncul.
b. Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi
Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali dan kongesti pulmonal
sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada karditis. Sedangkan pada pemeriksaan EKG
ditunjukkan adanya pemanjangan interval PR yang bersifat tidak spesifik. Nilai normal batas atas
interval PR uuntuk usia 3-12 tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18 detik , dan > 17 tahun = 0,20 detik.

C. Pemeriksaan Ekokardiografi

Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk mengidentifikasi dan menilai
derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi perikardium, dan disfungsi ventrikel. Pada pasien rheumatic
fever dengan karditis ringan, regurgitasi mitral akan menghilang beberapa bulan. Sedangkan pada
rheumatic fever dengan karditis sedang dan berat memiliki regurgitasi mitral/aorta yang menetap.
Gambaran ekokardiografi terpenting adalah dilatasi annulus, elongasi chordae mitral, dan semburan
regurgitasi mitral ke posterolateral.

VI. Penatalaksanaan Penatalaksanaan

pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar bertujuan untuk mengeradikasi bakteri
Streptococcus beta hemolyticus grup A, menekan inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan
terapi suportif untuk gagal jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan untuk
mencegah rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan memantau komplikasi serta gejala
sisa dari rheumatic heart disease kronis pada saat dewasa. Selain terapi medikamentosa, aspek diet
dan juga aktivitas pasien harus dikontrol. Selain itu, ada juga pilihan terapi operatif sebagai
penanganan kasus-kasus parah.

a. Terapi Antibiotik Profilaksis


Primer Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang sangat penting untuk
mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen Streptococcus beta hemolyticus grup A.
Eradikasi dari bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring seharusnya diikuti
dengan profilaksis sekunder jangka panjang sebagai perlindungan terhadap infeksi Streptococcus
beta hemolyticus grup A faring yang berulang.

Profilaksis Sekunder
Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan atau munculnya rheumatic heart
disease. Pencegahan terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring yang
berulang adalah metode yang paing efektif untuk mencegah rheumatic heart disease yang parah.

b. Terapi Anti Inflamasi Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis) biasanya merespon
cepat terhadap terapi anti inflamasi. Anti inflamasi yang menjadi lini utama adalah aspirin. Untuk
pasien dengan karditis yang buruk atau dengan gagal jantung dan kardiomegali, obat yang dipilih
adalah kortikosteroid. Kortikosteroid juga menjadi pilihan terapi pada pasien yang tidak membaik
dengan aspirin dan terus mengalami perburukan.
c. Terapi Gagal Jantung
Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap tirah baring, restriksi
cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada beberapa pasien dengan gejala yang berat, terapi
diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin bisa digunakan. Awalnya, pasien harus melakukan diet
restriksi garam ditambah dengan diuretik. Apabila hal ini tidak efektif, bisa ditambahkan ACE
Inhibitor dan atau digoxin.

c. Diet dan Aktivitas


Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa restriksi kecuali pada pasien gagal
jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan natrium harus dikurangi. Suplemen kalium diperlukan
apabila pasien diberikan kortikosteroid atau diuretik.

d. Terapi Operatif
Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus mengalami perburukan meskipun telah
mendapat terapi medis yang agresif untuk penanganan rheumatic heart disease, operasi untuk
mengurangi defisiensi katup mungkin bisa menjadi pilihan untuk menyelamatkan nyawa pasien.

I. Prognosis
Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi mengalami kekambuhan. Resiko
kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejak episode awal. Semakin muda
rheumatic fever terjadi, kecenderungan kambuh semakin besar. Kekambuhan rheumatic fever
secara umum mirip dengan serangan awal, namun risiko karditis dan kerusakan katup lebih
besar. 4 Manifestasi rheumatic fever pada 80% kasus mereda dalam 12 minggu. Insiden RHD
setelah 10 tahun adalah sebesar 34% pada pasien dengan tanpa serangan rheumatic fever
berulang, tetapi pada pasien dengan serangan rheumatic fever yang berulang kejadian RHD
meningkat menjadi 60%
A. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Penyakit jantung rematik kebanyakan menyerang pada anak dengan
usia 5-15 hal ini lebih dikarenakan bakteri streptococcus sering berada
di lingkungan yang tidak bersih seperti tempat bermain anak di luar
ruangan. Penyakit ini lebih sering terkena pada anak perempuan.
(Suhadi, 2018)

1) Identitas klien
Nama, umur, alamat, pendidikan

2) Riwayat kesehatan
Demam, nyeri dan pembengkakkan sendi
3) Riwayat penyakit dahulu
Tidak pernah mengalami penyakit yang sama, hanya demam biasa
4) Riwayat penyakit sekarang
Kardiomegali, bunyi jantung muffled dan perubahan EKG
5) Riwayat kesehatan keluarga
6) Riwayat kesehatan lingkungan
a) Keadaan sosial ekonomi yang buruk
b) Iklim dan geografi
c) Cuaca
7) Imunisasi
8) Riwayat nutrisi
Adanya penurunan nafsu makan selama sakit sehingga dapat
mempengaruhi status nutrisi berubah
Pemeriksaan fisik Head to Toe:
1) Kepala
Ada gerakan yang tidak disadari pada wajah, sclera anemis,
terdapat napas cuping hidung, membran mukosa mulut pucat.
2) Kulit
Turgor kulit kembali setelah 3 detik, peningkatan suhu tubuh
sampai 39ᴼC, arthritis, nodulus subkutan, chorea.
3) Dada
a) Inspeksi: terdapat edema, petekie
b) Palpasi: vocal fremitus tidak sama
c) Perkusi redup
d) Auskultasi terdapat pericardial friction rub, ronchi, crackles,
bising mitral regurgitasi, carey coombs, bising aorta
regurgitasi.
4) Jantung
a) Inspeksi, iktus kordis tampak
b) Palpasi dapat terjadi kardiomegali

c) Perkusi redup. Batas jantung : batas kanan ruang ICS ke 3-5


pada linea parasternal kanan. Batas kiri ruang ICS ke 3 linea
parasternal kiri sampai dengan ruang ICS ke-5 linea
axillaris anterior kiri.Batas atas ruang ICS ke-3 linea
paraternal kanan sampai dengan ICS ke-3 linea parasternal
kiri.Batas bawah ruang ICS ke-5 linea axillaris anterior kiri.
d) Auskultasi terdapat murmur, gallop
Murmur di sebabkan oleh pembukaan katup yang tidak
sempurna atau stenosis yang memaksa darah melewati
bukaan sempit atau oleh regurgitasi yang disebabkan oleh
penutupan katup yang tidak sempurna dan mengakibatkan
aliran balik darah.
5) Abdomen
a) Inspeksi perut simetris
b) Palpasi kadang-kadang dapat terjadi hepatomigali
c) Perkusi tympani
d) Auskultasi bising usus normal
6) Genetalia
Tidak ada kelainan
7) Ekstermitas
Pada inspeksi terdapat arthritis, sendi terlihat bengkak dan
merah, ada gerakan yang tidak disadari, pergerakan ireguler
pada ekstremitas, dan cepat, kelemahan otot, pada palpasi
teraba hangat dan terjadi kelemahan otot.
8) Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium : Dari pemeriksaan
laboratorium darah didapatkan anti steptolisin (ASTO)
positif, kenaikan laju endap darah (LED), terjadi
leukositosis, dan dapat terjadi penurunan hemoglobin.
b) Radiologi : Pada pemeriksaan foto toraks menunjukkan
adanya corakan bronkovaskuler pada paru bertambah dan
terjadinya pembesaran pada jantung/ kardiomegali.

c) Pemeriksaan elektrokardiogram : Menunjukkan interval


PR memanjang.
(Shiba & Rukmi, 2017)
d) Pemeriksaan ekokardiogram : Menunjukan pembesaran
pada jantung dan terdapat lesi.
e) Apus tenggorokan Ditemukan streptokokus
beta hemolitikus grup A
(Kana, 2019)
9) Data fokus yang didapat antara lain:
a) Peningkatan suhu tubuh tidak terlalu tinggi kurang dari
39 derajat celcius namun tidak terpola.
b) Adanya riwayat infeksi saluran napas.
c) Tekanan darah menurun, denyut nadi meningkat, dada
berdebar-debar.
d)Nyeri abdomen, mual, anoreksia, dan penurunan hemoglobin.
e) Arthralgia, gangguan fungsi sendi.
f) Kelemahan otot.
g) Akral dingin.
h) Mungkin adanya sesak.
10) Pengkajian data khusus:
a) Karditis : takikardi terutama saat tidur, kardiomegali, suara
sistolik, perubahansuarah jantung, perubahan EKG
(interval PR memanjang), nyeri prekornial, leokositosis,
peningkatan LED, peningkatan ASTO.
b) Poliatritis : nyeri dan nyeri tekan disekitar sendi,
menyebar pada sendi lutut, siku, bahu, dan lengan
(gangguan fungsi sendi).
c) Nodul subkutan : timbul benjolan di bawah kulit, teraba
lunak dan bergerakbebas. Biasanya muncul sesaat dan
umumnya langsung diserap. Terdapat padapermukaan
ekstensor persendian

d) Khorea : pergerakan ireguler pada ekstremitas, infolunter


dan cepat, emosilabil, kelemahan otot.
e) Eritema marginatum : bercak kemerahan umum pada
batang tubuh dan telapaktangan, bercak merah dapat
berpindah lokasi, tidak parmanen, eritema bersifat non-
pruritus.
(Suhadi, 2018)

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul (SDKI, 2016)
1) Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraksi otot jantung. Ditandai dengan wajah pasien pucat, dada
terasa berdebar debar, suara jantung abnormal yaitu murmur,
takikardi, hipotensi.
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis. Ditandai
dengan pasien mengeluh nyeri dada.
3) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit. Ditandai
dengan peningkatan suhu tubuh yaitu 38 derajat celcius.
4) Defisit nutrisi berhubungan dengan anoreksia ditandai dengan
pasien mengeluh tidak ada nafsu makan.
5) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik ditandai
dengan pasien cepat lelah saat melakukan aktivitas berlebihan.
3. Rencana Keperawatan

Tabel 2.1
Rencana Keperawatan Pada Anak Dengan Penyakit Jantung Rematik
Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI
Penurunan curah Tujuan: Perawatan jantung
jantung berhubungan Setelah dilakukan Observasi:
dengan perubahan intervensi, maka 1. Identifikasi tanda/gejala
kontraksi otot jantung. kontraksi otot jantung primer penurunan curah
Ditandai dengan wajah membaik jantung (meliputi
pasien pucat, dada terasa Kriteria hasil: dispnea, kelehan ,
berdebar debar, suara 1. Kekuatan nadi perifer edema, ortopnea)

jantung abnormal yaitu meningkat 2. Identifikasi tanda/gejala


murmur, takikardi, 2. Takikardia menurun sekunder penurunan
hipotensi. 3. Bradikardi menurun curah jantung(meliputi,
4. Edema mnurun hepatomegali, distensi
5. Dispnea menurun vena jugularis, ronkhi
6. Oliguria menurun basah,batuk, kulit
7. Ortopnea menurun pucat)
8. Lelah menurun 3. Monitor tekanan darah
9. Murmur jantung 4. Monitor intake output
menurun cairan
10. Tekanan darah 5. Monitor saturasi
membaik oksigen
11. CRT membaik 6. Monitor keluhan nyeri
dada
7. Periksa tekanan darah
dan frekuensi nadi
sebelum dan sesudah
aktivitas
Terapeutik:
1. Posisikan pasien semi-
fowler atau fowler
dengan kaki kebawah
atau posisi nyaman
2. Berikan diet jantung
yang sesuai
3. Fasilitasi pesien dan
keluarga untuk
modifkasi gaya hidup
sehat
4. Berikan terapi relaksasi
untuk mengurangi stres,
jika perlu
5. Berikan oksigen untuk
mempertahankan
saturasi oksigen > 94%
Edukasi:
1. Anjurkan beraktifitas
fisik sesuai toleransi
2. Anjurkan beraktifitas
fisik secara bertahap
3. Anjurkan berhenti
merokok
4. Ajarkan pasien dan
keluarga mengukur
intake dan output cairan
harian
Nyeri akut Tujuan: Manajemen nyeri :
berhubungan dengan Setelah dilakukan 1. Identifikasi lokasi,
agen cedera biologis. intervensi karakteristik, durasi,
Ditandai dengan pasien , maka nyeri diharapkan frek, kualitas, intensitas
mengeluh nyeri dada, menurun, dengan kriteria nyeri
nyeri sendi dan nyeri hasil 2. Identifikasi lokasi nyeri
abdomen. Kriteria hasil: 3. Identifikasi factor yg
memperberat dan
1. Keluhan nyeri meringankan nyeri
menurun 4. Fasilitasi istirahat dan
2. Meringis menurun tidur
3. Gelisah menurun 5. Jelaskan strategi
4. Kesulitan tidur meredakan nyeri
menurun 6. Anjurkan menggunakan
5. Frekuensi nadi analgetik secara tepat
membaik
6. Pola tidur membaik
Hipertermia Tujuan: Manajemen hipertermia
berhubungan dengan Setelah dilakukan Observasi :
proses penyakit di tandai intervensi 1. Identifikasi penyebab
dengan suhu tubuh di , maka termogulasi hipertermia
atas nilai normal, kulit membaik, dengan kriteria 2. Monitor suhu tubuh
merah, kejang, takikardi, hasil 3. Monitor kadar elektrolit
takipnea dan kulit terasa Kriteria hasil: 4. Monitor haluaran urine
hangat 1. Suhu tubuh membaik 5. Monitor komplikasi
2. Suhu kulit membaik akibat hipertermia
3. Pengisian kapiler Terapeutik
membaik 1. Sediakan lingkungan
4. Ventilasi membaik yang dingin
5. Tekanan darah 2. Longgarkan atau
membaik lepaskan pakaian
3. Basahi dan kipas
permukaan tubuh
4. Berikan cairan oral
5. Ganti linen setiap hari
jika mengalami
hiperhidrosis
6. Lakukan pendinginan
eksternal
7. Hindari pemberian
antipiretik atau aspirin
8. Berikan oksigen jika
perlu
Edukasi
1.Ajarkan tirah baring
Kolaborasi
1.Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena jika perlu.

Defisit nutrisi Tujuan : Manajemen nutrisi


berhubungan dengan Setelah dilakukan Observasi :
anoreksia ditandai tindakan 1.Identifikasi status
dengan pasien mengeluh keperawatan di harapkan nutrisi
tidak ada nafsu makan. status nutrisi pasien 2.Identifikasi alergi dan
membaik. intoleransi makanan
Kriteria Hasil : 3.Identifikasi kebutuhan
1. Porsi makanan yang di kalori dan jenis nutrient
habiskan meningkat 4.Monitor asupan
2. Pengetahuan tentang makanan
standar asupan nutrisi 5. Monitor berat badan
yang tepat meningkat Terapeutik :
3. Berat badan membaik 1.Berikan makanan yang
4. Indeks massa tubuh tinggi serat untuk
(IMT) membaik mencegah konstipasi
5. Frekuensi makan 2.Berikan makakan
membaik tinggi kalori dan tinggi
6. Nafsu makan membaik protein
7. Bising usus membaik 3.Berikan suplemen
8. Membrane mukosa makanan, jika perlu
membaik Edukasi :
1. Anjurkan duduk, jika
mampu
Kolaborasi :
1. Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrien
yang butuhkan, jika
perlu
Intoleransi aktivitas Tujuan : Manajemen Energi
berhubungan dengan Setelah dilakukan Observasi :
kelemahan fisik ditandai tindakan 1. Identifikasi gangguan
dengan pasien cepat keperawatan di harapkan fungsi tubuh yang
lelah saat melakukan pasien dapat beraktivitas mengakibatkan
aktivitas berlebihan. dengan baik. kelelahan
Kriteria Hasil : 2. Monitor kelelahan fisik
1. Frekuensi nadi dan emosional
meningkat 3. Monitor pola dan jam
2. Saturasi oksigen tidur
meningkat 4. Monitor lokasi dan
3. Kemudahan dalam ketidaknyamanan
melakukan aktifitas selama melakukan
sehari-hari meningkat aktivitas
4. Kecepatan berjalan Terapeutik :
meningkat 1. Sediakan lingkungan
5. Jarak berjalan nyaman dan rendah
meningkat stimulus
6. Kekuatan tubuh bagian 2. Lakukan latihan
atas meningkat rentang gerak pasif
7. Kekuatan tubuh bagian dan/atau aktif
bawah meningkat 3. Berikan aktivitas
8. Keluhan lelah menurun distraksi yang
9. Dispnea saat menenangkan
beraktivitas menurun 4. Fasilitasi duduk di sisi
10. Perasaan lemah tempat tidur, jika tidak
menurun dapat berpindah atau
11. Aritmia setelah berjalan
aktivitas menurun Edukasi :
12. Sianosis menurun 1. Anjurkan tirah baring
13. Tekanan darah 2. Anjurkan melakukan
membaik aktivitas secara
14. Frekuensi napas bertahap
membaik 3. Anjurkan menghubungi
15. EKG iskemia perawat jika tanda dan
membaik gejala kelelahan tidak
berkurang
4. Ajarkan strategi koping
untuk mengurangi
kelelahan
Kolaborasi :
1. Kolaborasi
dengan ahli gizi
tentang cara
meningkatkan
asupan makanan
(SDKI, 2016 & SLKI-SIKI, 2018)

5. Implementasi
Implementasi disesuaikan dengan intervensi yang telah ditetapkan
berdasarkan diagnosa keperawatan yang sudah ditegakkan.
(Suhadi, 2018)

6. Evaluasi
Evaluasi dilakukan untuk menilai apakah tindakan yang telah dilakukan
berhasil untuk mengatasi masalah pasien dan dilihat juga berdasarkan
tujuan yang telah ditetapkan.
(Suhadi, 2018)
DAFTAR PUSTAKA

1. Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander


RW, O’Rourke et al. Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill :
New York, 2001; p. 1657 – 65.
2. Marijon E, Mirabel M, ,et al. Rheumatic fever. Paris: Lancet 2012; 379:
953–64 3. World Health Organization. Rheumatic fever and rheumatic
heart disease WHO Technical report series 923. Report of a WHO Expert
Consultation Geneva, 29 October–1 November 2001.
4. Rilantono, LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2013;331-335.
5. Majid Abdul. Anatomi Jantung dan pembuluh darah, Sistem
Kardiovaskuler secara Umum, Denyut Jantung dan Aktifitas Listrik
Jantung, dan Jantung sebagai Pompa. Fisiologi Kardiovaskular. Medan:
Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran USU. 2005; 7 -16.
6. WHO. Rhematic fever and Rheumatic Heart Disease. Report of a WHO
expert Consultation. 2004. [Online]. Melalui:
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/resources/en/cvd_trs923.pdf
[diunduh 1 Mei 2016].
7. Luiza Guilherm, dkk. Molecular Mimicry in The Autoimmune
Pathogenesis of Rheumatic Heart Disease. Autoimmunity 2006; 39(1): 31
–39.
8. Kumar, Vinay dkk. Valvular Heart. Robbins and Cotran Pathologic
Basis of Disease. Philadelpia: Elsevier Inc. 2010.
9. Kliegman, Robert M, dkk. Rheumatic Heart Disease. Nelson Textbook
of Pediatrics, Edisi 18. Elsevier. 2007: 438.
10. Mishra T.K., Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease:
current scenario. JIACM. 2007;8(4):324-30. 11. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis, Ed. 2. Jakarta:Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011:41-42.
12. Essop, M.R & Omar, T. Valvular Heart Disease: Rheumatic Fever.
Philadelphia: Crawford. 2010;3:1215-1223
13. Carapetis, J., dkk. Acute Rheumatic Fever. Harrison’s Cardiovascular
Medicine. United States: The McGraw-Hill. 2010;17: 290-296.
14. Armstrong, C. AHA Guidelines on Prevention of Rheumatic Fever and
Diagnosis and Treatment of Acute Streptococcal Pharyngitis. Am Fam
Physician. 2010 1;81(3):346-359.
15. Kumar, R.K., Tandon R. Rheumatic Fever & Rheumatic Heart
Disease: The last 50 years. Indian J Med Res. 2013:137; 643-658.
16. Chin TK. 2014. Pediatric Rheumatic Heart disease. Medscape.
[Online] Melalui: http://emedicine.medscape.com/article/891897-
overview#a0199 [diakses pada 1 Mei 2016].
17. Ciliers, A.M. Rheumatic Fever and Its Management. BMJ.
2006;333(7579): 1153-115

Anda mungkin juga menyukai