Anda di halaman 1dari 19

Terminologi Asing

1. Antipiretik : Meredakan atau menurunkan demam.


(Kamus dorland edisi 30 hal 51) (ika)
2. Splenomegali : Pembesaran limpa.
(Kamus dorland edisi 30 hal 702 ) (yeza)
3. Intravena : Intravenous : Di dalam satu vena atau vena vena.
(Kamus dorland edisi 30 hal 403)
4. Leukositosis : Peningkatan sementara jumlah leukosit dalam darah, akibat
berbagai penyebab (Dorland edisi 30 hal 430) (anggi)
5. Tes serologi : Kamus dorland edisi 30 hal 680 (Hilda)
6. Kardiologis : KBBI = dr ahli penyakit jantung (gardha)
7. Parenteral : Bukan melalui saluran pencernaan tetapi dengan penyuntikan
lewat jalur lain,seperti subkutan,intramuskular,dan lain-lain.
(Kamus dorland edisi 30 hal 566 (fidelis)
8. Widal : Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan
antibodi. Pemeriksaan ini dilakukan di laboratorium untuk mengetahui hasil dari
aglutinasi, dan mengetahui penyebab dari demam tifoid dari bakteri Salmonella typhi.
(Jurnal Universitas Udayana)
9. Konjungtiva Anemis : Jurnal Universitas Muhammadiyah Jember (Hilda)

Rumusan Masalah
1. Apakah penyebab demam yang berkepanjangan pada pasien diatas? (gilang)
2. Apa efek samping dari penggunaan obat intravena? (hana)
3. Berapa nilai normal pada pemeriksaan tes widal? (fadil)
4. Apa saja kemungkinan penyakit yang diderita oleh pasien tersebut? (fadil)
5. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital pasien apa saja yang tidak normal? (Fidelis)

Hipotesis
1. Disebabkan oleh adanya infeksi yang belum diketahui penyebabnya
2. Efek samping dari penggunaan obat intravena :
● Peradangan vena
● Memar
● Bekuan darah
● Keseimbangan elektrolit
3. Nilai normal tes widal dibawah 1/40 semakin ke 0 maka mengindikasikan
pemeriksaan normal
4. Penyakit Jantung Rematik
5. Pemeriksaan Tanda vital yang tidak normal pada pasien :
● Terdapat splenomegali
● Terdapat bising sistolik di ICS 2
● Denyut nadi tidak normal (lebih tinggi)
● Ditemukan leukositosis
● Terdapat konjungtiva anemis
Skema
Learning Objective 1
Definisi dan Jenis-Jenis Penyakit Jantung Rheumatik

Demam Rheumatik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non supuratif


( Supurasi adalah pembentukan nanah sebagai proses radang karena infeksi bakteri) yang
digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan ikat (jaringan yang
menghubungkan semua jenis jaringan dalam tubuh untuk sinkronisasi, melindungi,
dan memelihara seluruh jaringan dan organ tubuh. Jaringan ini mencakup jaringan
fibrosa, serat, jaringan lemak, ligamen, tendon, tulang rawan, sel-sel, serat protein, )
(Stollerman, 1972). Proses reumatik ini merupakan reaksi peradangan yang dapat mengenai
banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan sistem saraf pusat. Demam reumatik
disebabkan oleh kuman Streptokokus Grup-A (SGA) beta hemolitik pada tonsilofaringitis
dengan masa laten 1-3 minggu (Morehead, 1965). Sedangkan yang dimaksud dengan
Penyakit jantung Rheumatik adalah kelainan jantung yang terjadi akibat demam rheumatik,
atau kelainan karditis reumatik (Tranta A dan Markowitz, 1981).
Penyakit jantung rematik merupakan komplikasi dari penyakit demam rematik dan
menyebabkan keruskan katup jantung. Demam rematik disebabkan oleh infeksi bakteri
streptokokus beta hemolitikus grup A yang banyak dijumpai terutama di negara berkembang
seperti Indonesia. Infeksi seperti radang tenggorokan yang disebabkan oleh kuman ini
menyebabkan kondisi peradangan dalam tubuh yang dapat mengakibatkan kerusakan katup
jantung. Penyakit ini utamanya mempengaruhi populasi dengan tingkat ekonomi menengah
ke bawah. Pada kondisi jantung rematik, katup-katup jantung menjadi kaku dan mengalami
perubahan bentuk, sehingga terjadi penurunan fungsi katup jantung.

Sumber :

Sudoyo, Aru W dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Demam Rheumatik
Dan Pemyakit Jantung Rheumatik Jilid II Edisi V. Jakarta : InternaPublishing
Kementrian Kesehatan. (2023). Penyakit Jantung Rheumatik. Diakses pada 19 Juli
2023 dari Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan (kemkes.go.id)
Learning Objective 2
Etiologi dan Faktor Resiko Penyakit Jantung Rheumatik

Penyakit jantung reumatik adalah demam reumatik. Demam rematik akut (ARF), juga
dikenal sebagai demam scarlet, disebabkan oleh reaksi autoimun terhadap faringitis
streptokokus grup A β-hemolitik, yang disebabkan oleh infeksi faringitis streptokokus bakteri
pada masa kanak-kanak, juga dikenal sebagai "radang tenggorokan". Ini biasanya
mempengaruhi anak-anak antara usia 5 dan 15 tahun. Streptococcus Grup A adalah bakteri
yang hidup di flora mulut dan menyebar melalui kontak dengan tetesan dari orang yang
terinfeksi dengan batuk, bersin, atau sentuhan. ARF disebabkan oleh respons autoimun
setelah terpapar infeksi tenggorokan streptococcus grup A. Meskipun tidak sepenuhnya
dipahami, patogenesis respon autoimun tampaknya terkait dengan reaksi imun inang terhadap
protein permukaan bakteri. Bakteri streptokokus memiliki protein permukaan, M, T, dan R,
yang dikenali oleh molekul antigen leukosit manusia (HLA) kelas II inang. Molekul HLA
menghasilkan antibodi yang mengikat protein permukaan bakteri, tetapi antibodi juga
mengikat protein inang melalui mimikri molekuler, yang menyebabkan reaksi autoimun.
Autoantibodi ini menyebabkan reaksi autoimun sistemik yang dapat berinteraksi dengan
sendi, kulit, otak, dan jantung. Mimikri antigenik autoimun menyebabkan penghancuran
protein jantung jantung manusia yang melibatkan endokardium katup jantung. Selama ARF,
karditis dan valvulitis dapat terjadi tetapi biasanya sembuh sendiri. Serangan ARF yang
berulang atau parah kemudian menyebabkan kerusakan katup jantung permanen, yang
menyebabkan penyakit jantung rematik kronis (RHD). Valvulitis merupakan tanda utama
reumatik karditis yang paling banyak mengenai katup mitral (76%), katup aorta (13%) dan
katup mitral dan katup aorta (97%).

Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit demam rematik akut dan penyakit
jantung rematik adalah usia, jenis kelamin, lingkungan, dan genetik.
● Usia
Demam rematik akut paling sering terjadi pada rentang usia 5‒15 tahun, jarang terjadi
di atas usia 30 tahun. Pasien yang mengalami demam rematik akut saat kecil berisiko
untuk terkena penyakit jantung rematik di kemudian hari, insidensinya mencapai 60%.

● Jenis kelamin
Insidensi demam rematik akut hampir sama antara wanita dan pria. Namun, insidensi
penyakit jantung rematik akut 1,6‒2,0 kali lebih banyak terdeteksi pada wanita. Hal
ini disebabkan karena perburukan kondisi penyakit yang umum terjadi pada saat
kehamilan, dan faktor hormonal.

● Lingkungan
Prevalensi penyakit jantung rematik lebih banyak terjadi pada negara berkembang
dibandingkan dengan Negara maju. Hal ini dikaitkan dengan air yang tidak bersih,
populasi yang padat, sanitasi yang buruk, minimnya akses ke fasilitas kesehatan, serta
kondisi sosial ekonomi rendah yang menjadi faktor risiko eksternal penyakit
ini.Kurangnya akses ke fasilitas kesehatan juga menjadi faktor risiko. Faringitis akibat
Streptococcus grup A yang tidak terdeteksi dan ditangani dengan baik dapat berlanjut
menjadi demam rematik akut dan menyebabkan sekuel penyakit jantung rematik.
Pasien yang tidak mendapat antibiotik profilaksis demam rematik akut berulang, lebih
berisiko terkena penyakit jantung rematik.

● Faktor Genetik
Penyakit jantung rematik dikaitkan juga dengan faktor predisposisi genetik, yaitu pada
gen HLA DR2, DR4, DR1, and DRw6. Sebuah metaanalisis juga mengaitkan risiko
penyakit jantung rematik terjadi pada 44% kembar monozigot dibandingkan 12%
pada kembar dizigot.

Sumber :
Baumgartner H, Falk V, Bax JJ, et al. 2017 ESC/EACTS Guidelines for the management of
valvular heart disease. Eur Heart J. 2017;38:2739–2791. European guidelines for the
management of patients with valvular heart disease.
Hakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW, O’Rourke et al.
Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill : New York, 2001; p. 1657 – 65.

Learning Objective 3
Epidemiologi Penyakit Jantung Rheumatik

Penyakit jantung rematik menyebabkan setidaknya 200.000-250.000 kematian bayi


premature setiap tahun dan penyebab umum kematian akibat penyakit jantung pada anak-
anak dan remaja di negara berkembang.
Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober–1 November 2001 yang
diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000 penduduk di Negara maju
hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara berkembang di daerah Asia Tenggara
diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk. Diperkirakan sekitar 2.000-332.000 penduduk yang
meninggal di seluruh dunia akibat penyakit tersebut.
Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun beberapa
penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi penyakit jantung rematik
berkisar antara 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah.
Indonesia menempati urutan ke-4 menurut The Global Burden of Disease sebagai negara
dengan kasus PJR terbanyak setelah India, China, dan Pakistan, dengan jumlah kasus 1,18
juta kasus. Menurut data pada tahun 1973-1977 di bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. M. Djamil terdapat 31,4% pasien DR/PJR pada usia 10-40 tahun sebagai
etiologi penyakit jantung yang dirawat dengan mortalitas 12,4%. Penelitian di Bandung
didapatkan 108 pasien ( 2,3%) dengan PJR dari 4682 orang yang dilakukan ekokardiografi.
Penelitian yang dilakukan di Papua pada pekerja pertambangan, dari 15.608 orang
pekerja, yang mengalami PJR sebanyak 83 orang. Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit
Umum Pusat H.Adam Malik Medan pada tahun 2009 didapatkan data pada tahun 2004-2008
terdapat 105 pasien penderita PJR yang dirawat inap. Hasnul pada tahun 2015 melakukan
penelitian tentang PJR di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang di bagian Ilmu
Penyakit Dalam mendapatkan 54 pasien PJR.
Learning Objective 4
Patofisiologi Penyakit Jantung Rheumatik
Learning Objective 5
Manifestasi Klinis Penyakit Jantung Rheumatik

Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1944. Kriteria ini membagi gambaran klinis menjadi dua, yaitu
manifestasi mayor dan minor.

Tabel 1. Kriteria Jones Sebagai Pedoman Dalam Diagnosis Rheumatic Fever

1. Kriteria Mayor

Poliartritis Migrans

Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic fever, terjadi pada sekitar
70% pasien rheumatic fever. Gejala ini muncul 30 hari setelah infeksi Streptococcus yakni
saat antibodi mencapai puncak. Radang sendi aktif ditandai dengan nyeri hebat, bengkak,
eritema pada beberapa sendi. Nyeri saat istirahat yang semakin hebat pada gerakan aktif dan
pasif merupakan tanda khas. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi-sendi besar
seperti sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Gejala ini bersifat
asimetris dan berpindah-pindah (poliartritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh
spontan beberapa jam sesudah serangan namun muncul pada sendi yang lain. Pada sebagian
besar pasien dapat sembuh dalam 1 minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari 2 atau 3
minggu.

Karditis

Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering terjadi setelah poli
artritis. Pada pemeriksaan fisik, karditis paling sering ditandai dengan murmur dan takikardia
yang tidak sesuai dengan tingginya demam.

Chorea Sydenham/Vt. Vitus’ Dance

Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic fever dan dua kali lebih
sering pada perempuan. Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan proses radang pada
susunan saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus kaudatus otak. Gejala awal biasanya emosi
yang lebih labil dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan gerakan yang tidak disengaja, tidak
bertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian otot dapat terkena, namun otot
ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok. Gejala ini semakin diperberat dengan
adanya stress dan kelelahan, namun menghilang saat beristirahat.

Eritema Marginatum

Ruam berbentuk anular berwarna kemerahan yang kemudian ditengahnya memudar


pucat, dan tepinya berwarna merah berkelok-kelok seperti ular. Umumnya ditemukan di
tubuh (dada atau punggung) dan ekstremitas.

Nodulus Subkutan

Nodulus terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut,
dan persendian kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala bagian oksipital dan di atas
kolumna vertebralis. Nodul berupa benjolan berwarna terang keras, tidak nyeri, tidak gatal,
mobile, dengan diameter 0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya terjadi beberapa minggu setelah
rheumatic fever muncul dan menghilang dalam waktu sebulan. Nodul ini selalu menyertai
karditis rematik yang berat.

2. Kriteria Minor

Demam biasanya tinggi sekitar 39 C dan biasa kembali normal dalam waktu 2-3
minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai tanda-tanda
objektif (misalnya bengkak, merah, hangat) juga sering dijumpai. Artralgia biasa melibatkan
sendi-sendi yang besar. Penanda peradangan akut pada pemeriksaan darah umumnya tidak
spesifik, yaitu LED dan CRP umumnya meningkat pada rheumatic fever. Pemeriksaan dapat
digunakan untuk menilai perkembangan penyakit.

Sumber :
Made Indra Premana, Pande. 2018. PENYAKIT JANTUNG REMATIK.
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA.
http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/20536/1/0e73a5a1848daa8a0350ca46705ffa17.pdf
Learning objective 6
Penegakan Diagnosis Penyakit Jantung Reumatik

A. Anamnesis

Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit tenggorok 1-5
minggu sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-anak menyatakan pernah
mengalami sakit tenggorokan. Keluhan mungkin tidak spesifik, seperti demam, tidak enak
badan, sakit kepala, penurunan berat badan, epistaksis, kelelahan, malaise, diaforesis dan
pucat. Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri dada, ortopnea atau sakit perut dan muntah.

Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di bawah kulit,
peningkatan iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan kepribadian seperti gangguan
neuropsikiatri autoimun terkait dengan infeksi Streptococcus, difungsi motorik, dan riwayat
rheumatic fever sebelumny

● Kriteria Mayor

Karditis

Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering terjadi setelah poli
artritis. Pankarditis meliputi endokarditis, miokarditis dan perikarditis. Pada stadium lanjut,
pasien mungkin mengalami dipsnea ringan-sedang, rasa tak nyaman di dada atau nyeri pada
dada pleuritik, edema, batuk dan ortopnea. Pada pemeriksaan fisik, karditis paling sering
ditandai dengan murmur dan takikardia yang tidak sesuai dengan tingginya demam.

Gambaran klinis yang dapat ditemukan dari gangguan katup jantung dapat dilihat pada table.

Gangguan Manifestasi

· Regurgitasi Mitral - Aktivitas ventrikel kiri meningkat

- Bising pansistolik di apeks, menyebar ke aksila bahkan


ke punggung
- Murmur mid-diastolik (carrey coombs murmur) di
apeks

· Regurgitasi aorta - Aktivitas ventrikel kiri meningkat - Bising diastolik di


ICS II kanan/kiri, menyebar ke apeks - Tekanan nadi
sangat lebar (sistolik tinggi, sedangkan diastolik sangat
rendah bahkan hingga 0 mmHg)

· Stenosis mitral - Aktivitas ventrikel kiri negatif

- Bising diastolik di daerah apeks, dengan S1 mengeras

● Kriteria Minor

Demam biasanya tinggi sekitar 39oC dan biasa kembali normal dalam waktu 2-3
minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai tanda-tanda
objektif (misalnya bengkak, merah, hangat) juga sering dijumpai. Artralgia biasa melibatkan
sendi-sendi yang besar. Penanda peradangan akut pada 9 pemeriksaan darah umumnya tidak
spesifik, yaitu LED dan CRP umumnya meningkat pada rheumatic fever. Pemeriksaan dapat
digunakan untuk menilai perkembangan penyaki

C. Pemeriksaan Penunjang

Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendukung


diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart disease adalah :

a. Pemeriksaan Laboratorium

- Reaktan Fase Akut Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan.
Pada pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama pada fase
akut/aktif, namun sifatnya tidak spesifik. Marker inflamasi akut berupa Creactive protein
(CRP) dan laju endap darah (LED). Peningkatan laju endap darah merupakan bukti non
spesifik untuk penyakit yang aktif. Pada rheumatic fever terjadi peningkatan LED, namun
normal pada pasien dengan congestive failure atau meningkat pada anemia. CRP merupakan
indikator dalam menetukan adanya jaringan radang dan tingkat aktivitas penyakit. CRP yang
abnormal digunakan dalam diagnosis rheumatic fever aktif.

- Rapid Test Antigen Streptococcus Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri
Streptococcus grup A secara tepat dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90 %.

- Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai


puncak ketika gejala klinis rheumatic fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang biasa
digunakan adalah antistreptolisin O/ASTO dan antideoxyribonuklease B/anti DNase B.
Pemeriksaan ASTO dilakukan terlebih dahulu, jika tidak terjadi peningkatan akan dilakukan
pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO biasanya mulai meningkat pada minggu 1, dan
mencapai puncak minggu ke 3-6 setelah infeksi. Titer ASO naik > 333 unit pada anak-anak,
dan > 250 unit pada dewasa. Sedangkan anti-DNase B mulai meningkat minggu 1-2 dan
mencapai puncak minggu ke 6-8. Nilai normal titer anti-DNase B= 1: 60 unit pada anak
prasekolah dan 1 : 480 unit anak usia sekolah. 4

- Kultur tenggorok Pemeriksaan

kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya streptococcus beta hemolitikus


grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Kultur ini
umumnya negatif bila gejala rheumatic fever atau rheumatic heart disease mulai muncul.

b.Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi

Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali dan kongesti


pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada karditis. Sedangkan pada
pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya pemanjangan interval PR yang bersifat tidak spesifik.
Nilai normal batas atas interval PR uuntuk usia 3-12 tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18
detik , dan > 17 tahun = 0,20 detik.

c. Pemeriksaan Ekokardiografi

Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk mengidentifikasi dan


menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi perikardium, dan disfungsi ventrikel. Pada
pasien rheumatic fever dengan karditis ringan, regurgitasi mitral akan menghilang beberapa
bulan. Sedangkan pada rheumatic fever dengan karditis sedang dan berat memiliki regurgitasi
mitral/aorta yang menetap. Gambaran ekokardiografi terpenting adalah dilatasi annulus,
elongasi chordae mitral, dan semburan regurgitasi mitral ke posterolateral.

D. Dasar Diagnosis

Tabel 3. Kriteria WHO 2002-2003 dalam Mendiagnosis Rheumatic Fever dan RHD

Kategori diagnosis Kriteria

· Rheumatic Fever serangan - Dua mayor


pertama
- Atau satu mayor dan dua minor

- Ditambah bukti infeksi SBHGA sebelumnya

· Rheumatic Fever serangan - Dua mayor


ulang tanpa RHD
- Atau satu mayor dan dua minor

- Ditambah bukti infeksi SBHGA sebelumnya

· Chorea reumatik - Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya atau


bukti infeksi SBHGA
· Karditis reumatik insidious

· RHD Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk


mendiagnosis sebagai RHD

Learning Objecctive 7
Diagnosis Banding Penyakit Jantung Rheumatik
Diagnosis Banding
Penyakit jantung rematik dan demam rematik akut memiliki spektrum klinis yang luas,
sehingga gejala klinis pada penyakit ini dapat menimbulkan banyak diagnosis banding.
Karena itu, penegakkan diagnosis harus dilihat secara komprehensif dan sesuai dengan
kriteria.
 Endokarditis Infektif
Endokarditis infektif dapat didiagnosis dengan kriteria Duke. Peradangan pada endokardium
paling banyak disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus dan Enterococcus, oleh
karena itu pemeriksaan kultur darah menjadi kriteria mayor penegakan diagnosis.

 Kardiomiopati
Pada kardiomiopati, dapat terjadi dilatasi annulus katup akibat pembesaran ventrikel jantung
sehingga dapat menyebabkan regurgitasi katup. Pada ekokardiografi, dapat ditemukan
hipertrofi atau dilatasi ventrikel.[24]

 Mitral Regurgitasi Fisiologis


Mitral regurgitasi fisiologis dapat terjadi pada infeksi virus seperti pada miokarditis yang
disebabkan oleh virus. Penggunaan ekokardiografi dengan mode continuous wave Doppler
dapat membantu membedakan regurgitasi fisiologis dengan patologis. Pada regurgitasi
patologis, jet regurgitasi dengan kecepatan puncak <3,0 m/s dan tidak holosistolik lebih
mengarah pada regurgitasi fisiologis.[18,25]

 Prolaps Katup Mitral


Prolaps katup mitral dapat ditemukan pada penyakit myxoma degenerative dan sindrom
Barlow. Pada myxoma degenerative, prolapse mitral terjadi akibat perpanjangan atau ruptur
dari chordae tendinea.[25]

 Penyakit Katup Aorta Kongenital


Regurgitasi katup aorta akibat kelainan kongenital memiliki struktur yang berbeda pada
katup aorta normal, yaitu dapat berupa katup aorta bikuspid, defek septum ventrikel yang
menutup secara spontan dengan prolaps katup aorta, membran subaorta, dan dilatasi
pangkal aorta.

Learning objective 8
Penatalaksanaan Penyakit Jantung Reumatik
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar bertujuan
untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A, menekan inflamasi dari
respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk gagal jantung kongestif.

a. Terapi Antibiotik
Profilaksis Primer Eradikasi
Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan amoxicilin oral adalah obat
pilihan untuk terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring pada pasien tanpa riwayat
alergi terhadap penisilin. Setelah terapi antibiotik selama 24 jam, pasien tidak lagi dianggap
dapat menularkan bakteri Streptococcus beta hemolyticus group A. Penisilin V pottasium
lebih dipilih dibanding dengan penisilin G benzathine karena lebih resisten terhadap asam
lambung. Namun terapi dengan penisilin G benzathine lebih dipilih pada pasien yang tidak
dapat menyelesaikan terapi oral 10 hari, pasien dengan riwayat rheumatic fever atau gagal
jantung rematik, dan pada mereka yang tinggal di lingkungan dengan faktor risiko terkena
rheumatic fever (lingkungan padat penduduk, status sosio-ekonomi rendah).

b. Terapi Anti Inflamasi


Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis) biasanya merespon cepat
terhadap terapi anti inflamasi. Anti inflamasi yang menjadi lini utama adalah aspirin. Untuk
pasien dengan karditis yang buruk atau dengan gagal jantung dan kardiomegali, obat yang
dipilih adalah kortikosteroid. Kortikosteroid juga menjadi pilihan terapi pada pasien yang
tidak membaik dengan aspirin dan terus mengalami perburukan.
Penggunaan kortikosteroid dan aspirin sebaiknya menunggu sampai diagnosis
rheumatic fever ditegakan. Pada anak-anak dosis aspirin adalah 100-125 mg/kg/hari, setelah
mencapai konsentrasi stabil selama 2 minggu, dosis dapat diturunkan menjadi 60-70
mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang alergi terhadap aspirin bisa digunakan
naproxen 10-20 mg/kg/hari.

c.Terapi Gagal Jantung


Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap tirah baring,
restriksi cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada beberapa pasien dengan gejala yang
berat, terapi diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin bisa digunakan. Awalnya, pasien harus
melakukan diet restriksi garam ditambah dengan diuretik. Apabila hal ini tidak efektif, bisa
ditambahkan ACE Inhibitor dan atau digoxin.

d. Diet dan Aktivitas


Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa restriksi kecuali pada
pasien gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan natrium harus dikurangi. Suplemen
kalium diperlukan apabila pasien diberikan kortikosteroid atau diuretik.
e. Terapi Operatif
Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus mengalami perburukan
meskipun telah mendapat terapi medis yang agresif untuk penanganan rheumatic heart d
isease, operasi untuk mengurangi defisiensi katup mungkin bisa menjadi pilihan untuk
menyelamatkan nyawa pasien.

Learning Objective 9
Komplikasi Penyakit Jantung Rheumatik

Penyakit jantung rematik umumnya laten atau diam sampai komplikasi jantung berkembang
di usia dewasa akhir. Beberapa komplikasi penyakit jantung rematik antara lain:
 Gagal jantung.
Hal ini dapat terjadi baik dari katup jantung yang sangat menyempit atau bocor.
 Endokarditis bakterial.
Ini adalah infeksi pada lapisan dalam jantung, dan dapat terjadi ketika demam rematik telah
merusak katup jantung.
 Komplikasi kehamilan dan persalinan karena kerusakan jantung.
Wanita dengan penyakit jantung rematik harus membicarakan kondisi mereka dengan
penyedia layanan kesehatan mereka sebelum hamil.
 Aritmia (detak jantung tidak normal).
 Fibrilasi atrium (detak jantung abnormal di bagian atas jantung yang mencegah
aliran darah normal).
 Komplikasi lainnya.
Adalah, hipertensi arteri pulmonal, stroke, hingga kematian.

Sumber ;

National Library of medicine Rheumatic Heart Disease Clarissa Dass; Arun


Kanmanthareddy.2022

John Hopkins Medicine Rheumatic Heart Disease


Learning Objective 10
Prognosis Penyakit Jantung Rheumatik
Prognosis Penyakit Jantung Rheumatik Pasien dengan riwayat rheumatic feverbe
risiko tinggi mengalami kekambuhan. Resiko kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5
tahun sejak episode awal. Semakin muda rheumatic fever terjadi,kecenderungan kambuh
semakin besar. Kekambuhan rheumatic fever secara umum mirip dengan serangan awal,
namun risiko karditis dan kerusakan katup lebih besar. 4 Manifestasi rheumatic fever pada
80% kasus mereda dalam 12 minggu. Insiden RHD setelah 10 tahun adalah sebesar 34%
pada pasien dengan tanpa serangan rheumatic fever berulang, tetapi pada pasien dengan
serangan rheumatic fever yang berulang kejadian RHD meningkat menjadi 60%.

Learning Objective 11
Jenis Penyakit Jantung Rheumatik yang memerlukan Rujukan
Pada kasus gangguan katup jantung berat, maka tindakan pembedahan merupakan
pilihan terapi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki fungsi katup jantung. Jika tidak
memungkinkan untuk melakukan perbaikan katup, pasien mungkin memerlukan operasi
penggantian katup. Dokter bedah akan mengganti katup yang rusak dengan katup mekanik
atau katup bioprostetik. Jika sudah terjadi gagal jantung, maka pasien perlu diberi obat-
obatan untuk mengurangi gejala gagal jantung dan mencegah perburukan penyakit.

Sumber :

Kementrian Kesehatan. (2023). Penyakit Jantung Rheumatik. Diakses pada 19 Juli


2023 dari Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan (kemkes.go.id)

Anda mungkin juga menyukai