Anda di halaman 1dari 24

(Skenario Penyakit Jantung Rematik)

LO.1 MM Penyakit Jantung Rematik

1.1 Definisi
Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit jantung didapat yang
sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik merupakan kelainan katup jantung yang menetap
akibat demam reumatik akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang
mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung reumatik dapat
menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya.

1.2 Epidemiologi
Penyakit jantung rematik menyebabkan setidaknya 200.000-250.000 kematian bayi premature
setiap tahun dan penyebab umum kematian akibat penyakit jantung pada anak-anak dan remaja di negara
berkembang.
Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober–1 November 2001 yang diterbitkan
tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000 penduduk di Negara maju hingga 8,2 per 100.000
penduduk di negara berkembang di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk.
Diperkirakan sekitar 2.000-332.000 penduduk yang meninggal diseluruh dunia akibat penyakit tersebut.3
Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun beberapa
penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi penyakit jantung rematik berkisar
antara 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah.

1.3 Etiologi
Etiologi

Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam reumatik. Demam reumatik
merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi setelah infeksi Streptococcus grup A
pada individu yang mempunyai faktor predisposisi. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini
ditandai oleh inflamasi endokardium dan miokardium melalui suatu proses ’autoimunne’ yang
menyebabkan kerusakan jaringan. Inflamasi yang berat dapat melibatkan perikardium. Valvulitis
merupakan tanda utama reumatik karditis yang paling banyak mengenai katup mitral (76%), katup aorta
(13%) dan katup mitral dan katup aorta (97%). Insidens tertinggi ditemukan pada anak berumur 5-15
tahun.

Streptococcus Hemoliticus-B Grup A

Streptococcus β hemolyticus Grup A atau yang disebut juga Streptococcus pyogenes merupakan salah
satu bakteri patogen yang banyak menginfeksi manusia.

Streptococcus adalah salah satu genus dari bakteri nonmotil yang mengandung sel gram positif ,
berbentuk bulat, oval dan membentuk rantai pendek, panjang atau berpasangan, bakteri ini tidak
membentuk spora, bakteri ini dapat ditemukan di bagian mulut, usus manusia dan hewan (Andre Tjie
Wijaya, 2014).

1
Streptococcus dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu:

 Grup A, banyak ditemukan pada permukaan tubuh, seperti kulit, dan tenggorokan
 Grup B, ditemukan pada saluran pencernaan dan vagina, umumnya tidak berbahaya dan lebih
sering menyerang pada bayi.

Perkembangbiakan bakteri streptococcus Sp dapat hidup pada kadar Ph 7,4-7,6, suhu pertumbuhan
berada di 37 C, dan media isolasi primer adalah agar darah dengan oksigen yang rendah karena oksidasi
intraseluler dapat menghasilkan hidrogen peroksida yang bersifat toksik bagi bakteri (Ika Putri Sinaga,
2015).

B-Hemolitik menandakan bahwa bakteri ini membentuk zona terang bila ditumbuhkan dalam media
agar darah (Cunningham, 2000).

Beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi streptococcus antara lain:

 Usia dibawah 6 bulan, atau usia diatas 75 tahun


 Pasien dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, seperti HIV, kanker, dan kencing manis
 Wanita hamil
 Pengguna obat-obat terlarang atau narkoba dan alkohol
 Pasien yang mendapat pengobatan yang melemahkan sistem kekebalan tubuh, misal
kemoterapi, obat kortikosteroid

Faktor resiko

Faktor-faktor pada individu

1. Faktor genetik
Adanya antigen limfosit manusia (HLA) yang tinggi. HLA terhadap demam rematik menunjukkan
hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal dengan antibodi monoklonal dengan status
reumatikus.
2. Jenis kelamin
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan dengan anak laki-laki.
Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun
manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu jenis kelamin.
3. Golongan etnik dan ras
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam reumatik
lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibanding dengan orang kulit putih.
4. Umur
Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya penyakit jantung
reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak umur antara 5-15 tahun dengan puncak
sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat
jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan
sesuai dengan insidens infeksi streptococcus pada anak usia sekolah. Tetapi Markowitz
menemukan bahwa penderita infeksi streptococcus adalah mereka yang berumur 2-6 tahun.
5. Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian dinding sel streptokokus
beta hemolitikus group A dengan glikoprotein dalam katub mungkin ini mendukung terjadinya
miokarditis dan valvulitis pada reumatik fever.

2
Faktor-faktor lingkungan :

1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk


Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk terjadinya
demam reumatik. Insidens demam reumatik di negara-negara yang sudah maju, jelas menurun
sebelum era antibiotik termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk sanitasi lingkungan
yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian
untuk segera mengobati anak yang menderita sakit sangat kurang; pendapatan yang rendah
sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal ini merupakan
faktor-faktor yang memudahkan timbulnya demam reumatik.
2. Iklim dan geografi
Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak didapatkan didaerah
yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun
mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga semula. Didaerah yang letaknya
agak tinggi agaknya insidens demam reumatik lebih tinggi daripada didataran rendah.
3. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas bagian
atas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat.

1.4 Klasifikasi
Menurut perjalanan penyakit

 Stadium I

Stadium ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman beta-Streptococcus hemolyticus
grup A. Keluhan biasanya berupa demam, batuk, rasa sakit waktu menelan, tidak jarang disertai muntah
dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi diare. Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan eksudat di tonsil
yang menyertai tanda-tanda peradangan lainnya. Kelenjar getah bening submandibular seringkali
membesar. Infeksi ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Para
peneliti mencatat 50-90% riwayat infeksi saluran napas bagian atas pada penderita demam
reumatik/penyakit jantung reumatik, yang biasanya terjadi 10-14 hari sebelum manifestasi pertama
demam reumatik/penyakit jantung reumatik.

 Stadium II

Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi Streptococcus dengan permulaan
gejala demam reumatik, biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6
minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.

 Stadium III

Merupakan fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai manifestasi klinik demam
reumatik/penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinik tersebut dapat digolongkan dalam gejala
peradangan umum (gejala minor) dan manifestasi spesifik (gejala mayor) demam reumatik/penyakit
jantung reumatik.

3
 Stadium IV

Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa kelainan jantung atau
penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala. Pada penderita
penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung, gejala yang timbul sesuai dengan
jenis serta beratnya kelainan. Pada fase ini baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung
reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya.

Menurut Jenis Penyakit

 Insufisiensi Mitral (Regurgitasi Mitral)


Insufisiensi mitral merupakan lesi yang paling sering ditemukan pada masa anak-anak dan remaja
dengan PJR kronik. Pada keadaan ini bisa juga terjadi pemendekan katup, sehingga daun katup tidak dapat
tertutup dengan sempurna. Penutupan katup mitral yang tidak sempurna menyebabkan terjadinya
regurgitasi darah dari ventrikel kiri ke atrium kiri selama fase sistol. Pada kelainan ringan tidak terdapat
kardiomegali, karena beban volume maupun kerja jantung kiri tidak bertambah secara bermakna. Hal ini
bisa dikatakan bahwa insufisiensi mitral merupakan klasifikasi ringan, karena tidak terdapat kardiomegali
yang merupakan salah satu gejala gagal jantung.Tanda-tanda fisik insufisiensi mitral utama tergantung
pada keparahannya. Pada penyakit ringan,tanda-tanda gagal jantung tidak akan ada. Pada insufisiensi
berat, terdapat tanda-tanda gagal jantung kongestif kronis, meliputi kelelahan, lemah, berat badan turun,
pucat.
 Stenosis Mitral
Stenosis mitral merupakan kelainan katup yang paling sering diakibatkan oleh PJR. Perlekatan
antar daun-daun katup, selain dapat menimbulkan insufisiensi mitral (tidak dapat menutup sempurna)
juga dapat menyebabkan stenosis mitral (tidak dapat membuka sempurna). Ini akan menyebabkan beban
jantung kanan akan bertambah, sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kanan yang dapat menyebabkan
gagal jantung kanan. Dengan terjadinya gagal jantung kanan, stenosis mitral termasuk ke dalam kondisi
yang berat
 Insufisiensi Aorta (Regurgitasi Aorta)
PJR menyebabkan sekitar 50% kasus regurgitasi aorta. Pada sebagian besar kasus ini terdapat
penyakit katup mitralis serta stenosis aorta. Regurgitasi aorta dapat disebabkan oleh dilatasi aorta,yaitu
penyakit pangkal aorta. Kelainan ini dapat terjadi sejak awal perjalanan penyakit akibat perubahan-
perubahan yang terjadi setelah proses radang rematik pada katup aorta. Insufisiensi aorta ringan bersifat
asimtomatik. Oleh karena itu, insufisiensi aorta juga bisa dikatakan sebagai klasifikasi PJR yang ringan.
Tetapi apabila penderita PJR memiliki insufisiensi mitral dan insufisiensi aorta, maka klasifikasi tersebut
dapat dikatakan sebagai klasifikasi PJR yang sedang. Hal ini dapat dikaitkan bahwa insufisiensi mitral dan
insufisiensi aorta memiliki peluang untuk menjadi klasifikasi berat, karena dapat menyebabkan gagal
jantung.
 Stenosis aorta
Stenosis aorta adalah obstruksi aliran darah dari ventrikel kiri ke aorta dimana lokasi obstruksi
dapat terjadi di valvuler, supravalvuler, dan subvalvuler. Gejala-gejala stenosis aorta akan dirasakan
penderita setelah penyakit berjalan lanjut termasuk gagal jantung dan kematian mendadak. Pemeriksaan

4
fisik pada stenosis aorta yang berat didapatkan tekanan nadi menyempit dan lonjakan denyut arteri
melambat.

1.5 Patofisiologi
Demam rematik adalah akhir inflamasi, komplikasi non supuratif faringitis yang disebabkan oleh
kelompok A- beta hemolitik streptokokus. hasil Demam rematik dari respon imun humoral dan seluler
dimediasi terjadi 1-3 minggu setelah timbulnya faringitis streptokokus. Protein streptokokus
menampilkan mimikri molekuler diakui oleh sistem kekebalan tubuh, terutama bakteri M-protein dan
antigen jantung manusia seperti myosin dan katup endothelium. Antibodi Antimyosin mengakui laminin,
sebuah protein melingkar ekstraseluler matriks alpha-helix, yang merupakan bagian dari struktur
membran katup basement.

Katup yang paling terpengaruh oleh demam rematik, dalam rangka, adalah mitral, aorta,
trikuspid, dan katup paru. Dalam kebanyakan kasus, katup mitral terlibat dengan 1 atau lebih dari yang
lain 3. Pada penyakit akut, bentuk trombus kecil sepanjang garis penutupan katup. Pada penyakit kronis,
ada penebalan dan fibrosis katup mengakibatkan stenosis, atau kurang umum, regurgitasi.

T-sel yang responsif terhadap streptokokus M-protein menyusup katup melalui endotelium katup,
diaktifkan oleh mengikat karbohidrat antistreptococcal dengan rilis atau tumor necrosis factor (TNF) dan
interleukin. Keterlibatan akut jantung di rematik demam menimbulkan pancarditis, dengan peradangan
miokardium, perikardium, dan endocardium. Karditis terjadi pada sekitar 40-50% dari pasien serangan
pertama; . Namun, tingkat keparahan karditis akut telah dipertanyakan. Perikarditis terjadi pada 5-10%
pasien dengan demam rematik; miokarditis terisolasi jarang.

Patogenesis

Patogenesis Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit supuratif misalnya
faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis nifas dan penyakit non supuratif misalnya
demam rematik, glomerulonefritis akut. Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi Streptococcus beta hemolyticus
grup A pada faring menghasilkan respon inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari ditandai dengan
demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan leukositosis.4 Pasien masih tetap terinfeksi selama
bermingguminggu setelah gejala faringitis menghilang, sehingga menjadi reservoir infeksi bagi orang
lain. Kontak langsung per oral atau melalui sekret pernafasan dapat menjadi media trasnmisi penyakit.
Hanya faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A saja yang dapat mengakibatkan atau
mengaktifkan kembali demam rematik.

Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik berkelanjutan yang melibatkan
kelainan pada katup dan endokardium. Lebih dari 60% penyakit rheumatic fever akan berkembang
menjadi rheumatic heart disease.5 Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease
yakni kerusakan katup jantung akan menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang sering dan
berulang penyakit ini akan menyebabkan penebalan pada katup, pembentukan skar (jaringan parut),
kalsifikasi dan dapat berkembang menjadi valvular stenosis. 5

5
Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever dalam patogenesisnya dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor yang berperan dalam patogenesis penyakit rheumatic
fever antara lain faktor organisme, faktor host dan faktor sistem imun.

Bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sebagai organisme penginfeksi memiliki peran penting
dalam patogenesis rheumatic fever. Bakteri ini sering berkolonisasi dan berproliferasi di daerah
tenggorokan, dimana bakteri ini memiliki supra-antigen yang dapat berikatan dengan major
histocompatibility complex kelas 2 (MHC kelas 2) yang akan berikatan dengan reseptor sel T yang
apabila teraktivasi akan melepaskan sitokin dan menjadi sitotosik. Supra-antigen bakteri Streptococcus
beta hemolyticus grup A yang terlibat pada patogenesis rheumatic fever tersebut adalah protein M yang
merupakan eksotoksin pirogenik Streptococcus. Selain itu, bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup
A juga menghasilkan produk ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNA-ase, dan hialuronidase
yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif.6 Antibodi yang paling sering adalah
antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya untuk menetralisir toksin bakteri tersebut. Namun secara
simultan upaya proteksi tubuh ini juga menyebabkan kerusakan patologis jaringan tubuh sendiri. Tubuh
memiliki struktur yang mirip dengan antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sehingga
terjadi reaktivitas silang antara epitop organisme dengan host yang akan mengarahkan pada kerusakan
jaringan tubuh.

Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A dengan jaringan
tubuh yang dikenali oleh antibodi adalah: 1) Urutan asam amino yang identik, 2) Urutan asam amino
yang homolog namun tidak identik, 3) Epitop pada molekul yang berbeda seperti peptida dan
karbohidrat atau antara DNA dan peptida. Afinitas antibodi reaksi silang dapat berbeda dan cukup kuat
untuk dapat menyebabkan sitotoksik dan menginduksi sel–sel antibodi reseptor permukaan.

Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari streptococcus beta hemolyticus
grup A memiliki struktur imunologi yang sama dengan protein miosin, tropomiosin, keratin, aktin,
laminin, vimentin, dan Nasetilglukosamin pada tubuh manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar
dari reaksi autoimun yang mengarah pada terjadinya rheumatic fever. Hubungan lainnya dari laminin
yang merupakan protein yang mirip miosin dan protein M yang terdapat pada endotelium jantung dan
dikenali oleh sel T anti miosin dan anti protein M.

Disamping antibodi terhadap N-asetilglukosamin dari karbohidrat, Streptococcus beta hemolyticus grup
A mengalami reaksi silang dengan jaringan katup jantung yang menyebabkan kerusakan valvular.

Disamping faktor organisme penginfeksi, faktor host sendiri juga memainkan peranan dalam perjalanan
penyakit rheumatic fever. Sekitar 3-6% populasi memiliki potensi terinfeksi rheumatic fever. Penelitian
tentang genetik marker menunjukan bahwa gen human leukocyte-associated antigen (HLA) kelas II
berpotensi dalam perkembangan penyakit rheumatic fever dan rheumatic heart disease. Gen HLA kelas
II yang terletak pada kromosom 6 berperan dalam kontrol imun respon. Molekul HLA kelas II berperan
dalam presentasi antigen pada reseptor T sel yang nantinya akan memicu respon sistem imun selular
dan humoral. Dari alel gen HLA kelas II, HLA-DR7 yang paling berhubungan dengan rheumatic heart
disease pada lesi-lesi valvular.

Lesi valvular pada rheumatic fever akan dimulai dengan pembentukan verrucae yang disusun fibrin dan
sel darah yang terkumpul di katup jantung. Setelah proses inflamasi mereda, verurucae akan
menghilang dan meninggalkan jaringan parut. Jika serangan terus berulang veruccae baru akan

6
terbentuk didekat veruccae yang lama dan bagian mural dari endokardium dan korda tendinea akan ikut
mengalami kerusakan.

Kelainan pada valvular yang tersering adalah regurgitasi katup mitral (6570% kasus).4 Perubahan
struktur katup diikuti dengan pemendekan dan penebalan korda tendinea menyebabkan terjadinya
insufesiensi katup mitral. Karena peningkatan volume yang masuk dan proses inflamasi ventrikel kiri
akan membesar akibatnya atrium kiri akan berdilatasi akibat regurgitasi darah. Peningkatan tekanan
atrium kiri ini akan menyebabkan kongesti paru diikuti dengan gagal jantung kiri. Apabila kelainan pada
mitral berat dan berlangsung lama, gangguan jantung kanan juga dapat terjadi.9

Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi katup aorta akibat dari sklerosis katup
aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke ventrikel kiri diikuti dengan dilatasi dan hipertropi dari
ventrikel kiri.11 Di sisi lain, dapat terjadi stenosis dari katup mitral. Stenosis ini terjadi akibat fibrosis
yang terjadi pada cincin katup mitral, kontraktur dari daun katup, corda dan otot papilari. Stenosis dari
katup mitral ini akan menyebabkan peningkatan tekanan dan hipertropi dari atrium kiri, menyebabkan
hipertensi vena pulmonal yang selanjutnya dapat menimbulkan kelainan jantung kanan.

7
8
1.6 Manifestasi klinis
DR/PJR yang kita kenal merupakan kumpulan gejala terpisah-pisah dan kemudian menjadi suatu
penyakit DR/PJR. Adapun gejala-gejala itu adalah:
 Artritis
Artritis adalah gejala major yang sering ditemukan pada demam rematik akut. Sendi yang dikenai
berpindah-pindah tanpa cacat yang biasanya adalah sendi besar seperti lutut, pergelangan kaki, paha,
lengan, panggul, siku, dan bahu. Munculnya tiba-tiba dengan rasa nyeri yang meningkat 12-24 jam yang
diikuti dengan reaksi radang. Nyeri ini akan menghilang secara perlahan-lahan.
Radang sendi ini jarang yang menetap lebih dari satu minggu sehingga terlihat sembuh sempurna.
Proses migrasi arthritis ini membutuhkan 3-6 minggu. Sendi-sendi kecil jari tangan dan kaki juga dapat
dikenai. Pengobatan dengan aspirin dapat merupakan diagnosis terpetik. Bila artritis tidak membaik
dalam 24-72 jam maka diagnosis akan diragukan.
 Karditis
Insiden karditis 40-50% atau berlanjut ke gejala yang lebih berat yaitu gagal jantung. Kadang-kadang
karditis asimtomatik dan terdeteksi saat adanya nyeri sendi. Endokarditis terdeteksi saat adanya bising
jantung. Katup mitrallah yang terbanyak dikenai dan dapat bersamaan dengan katup aorta. Katop aorta
sendiri jarang dikenai. Adanya regrugitasi mitral ditemukan dengan bising sistolik yang menjalar ke
axilla, dan kadang-kang juga disertai bising diastolic. Dengan EKG dua dimensi dapat mengevaluasi
kelainan anatomi jantung sedangkan dengan Dopper dapat menentukan fungsi jantung. Miokarditis
dapat bersamaan dengan endokarditis sehingga terdapat kardiomegali atau gagal jantung. Perikarditis
tidak berdiri sendiri, biasanya pankarditis.
 Chorea
Didapatkan 10% dari kasus demam rematik. Dapat berupa manifestasi klinis sendiri atau bersama
dengan kardits. Masa laten infeksi SGA dengan chorea cukup lama yaitu 2-6 bulan atau lebih. Lebih
sering dikenai pada perempuan umur 8-12 tahun. Dan gejala ini muncul selama 3-4 bulan. Dapat juga
ditemukan pada anak ini suatu emosi yang labil dimana anak ini suka menyendiri dan kurang perhatian
terhadap lingkunganya sendiri. Gerakan-gerakan tanpa disadari akan ditemukan pada kasus ini dan
anggota gerak tubuh ini biasanya unilateral dan menghilang saat tidur.
 Eritema marginatum
Ditemukan 5% dari pasien demam rematik. Dan berlangsung berminggu-minggu sampai berbulan-bulan.
Tidak nyeri dan tidak gatal
 Nodul subkutanius
Besarnya kira-kira 0,5-2 cm, bundar, terbatas, dan tidak nyeri tekan. Demam pada demam rematik tidak
khas, dan jarang menjadi keluhan utama pada pasien.

9
1.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding
Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien rheumatic fever menunjukan keluhan yang
bervariasi. Gambaran klinis pada rheumatic fever bergantung pada sistem organ yang terlibat dan
manifestasi yang muncul dapat tunggal atau merupakan gabungan beberapa sistem organ yang terlibat.

Anamnesis
Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit tenggorok 1-5 minggu sebelum
muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-anak menyatakan pernah mengalami sakit tenggorokan.
Keluhan mungkin tidak spesifik, seperti demam, tidak enak badan, sakit kepala, penurunan berat badan,
epistaksis, kelelahan, malaise, diaforesis dan pucat. Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri dada,
ortopnea atau sakit perut dan muntah.4 Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul
di bawah kulit, peningkatan iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan kepribadian seperti gangguan
neuropsikiatri autoimun terkait dengan infeksi Streptococcus, difungsi motorik, dan riwayat rheumatic
fever sebelumnya.

Pemeriksaan fisik

1. Pemeriksaan tanda vital

Pemeriksaan tanda vital seperti tekanan darah,frekuensi pernapasan,denyut nadi,berat


badan,tinggi badan. Pemeriksaan tanda vital pada pasien ini berfungsi untuk mengetahui kondisi umum
dari pasien. Pada penderita demam jantung rematik dengan komplikasi yang parah seperti insufisiensi
mitral akan didapatkan tanda-tanda gagal jantung yaitu dispneadan mungkin juga terjadi denyut nadi yang
cepat untuk mengkompesasi kekurangan aliran darah yang masuk ke aorta. Beberapa kelainan dari tanda
vital juga akan diketemukan pada penyakit jantung rematik dengan komplikasi yang lain. Berat badan dan
tinggi badan juga merupakan suatu pertanda penting untuk membedakan suatu penyakit jantung bawaan
maupun didapat. Sebagian besar penyakit jantung bawaan akan menunjukkan keterlambatan tumbuh
kembang dari anak terserbut.

2. Inspeksi

- Memperhatikan gerakan-gerakan lain pada dinding dada

Pada pemeriksaan inspeksi perlu diperhatikan adanya sesak napas,pernapasan cuping


hidung,sianosis,pembengkakan pada sendi,melihat apakah denyut jantung terlihat di permukaan kulit
atau tidak. Adanya pernapasan cuping hidung,sianosis merupakan pertanada adanya gejala dari gagal
jantung ataupun kelainan dari pada jantung. Pembengkakan sendi merupakan salah satu kriteria major
jones sehingga patut menjadi perhatian utama untuk mendiagnosis penyakit jantung rematik. Denyut
jantung yang terlihat juga dapat terjadi karena beberapa sebab, mungkin terjadi karena terjadi
kardiomegali yang cukup besar atau anak tersebut sangat kurus.

3. Palpasi

-Meraba denyut jantung

Palpasi berguna untuk menekan sendi, dimana pada arthritis yang disebabkan oleh demam
rematik akan terjadi sakit. Palpasi juga penting untuk memeriksa nodul subkutan, nodul subkutan pada
demam jantung rematik dapat digerakan dan tidak sakit. Pemeriksaan palpasi yang tidak kalah penting

10
adalah menentukan ukuran dari hati. Ukuran dari hati akan membesar apabila terjadi gagal jantung kanan
yang merupakan salah satu komplikasi lanjut dari penyakit jantung rematik.

4. Perkusi

- Mengetahui batas-batas jantung

Perkusi berguna untuk memeriksa apakah adanya perbesaran dari jantung. Pada penderita kronis
akan terjadi perbesaran jantung karena efek kompensasi.

5. Auskultasi

-Mendengarkan bunyi-bunyi jantung

Pada pemerikssaan auskultasi berguna untuk mencari suara patologis dari jantung. Pada
penderita jantung rematik biasanya ditemukan murmur holosistolik yang merupakan akibat dari
insufisiensi katup mitral dan mungkin pada penderita yang lebih lanjut disebabkan oleh insufisiensi katup
trikuspidalis. Pada pemeriksaan auskultasi juga mungkin ditemukan suara jantung ketiga yang disebabkan
keterlambatan penutupan atau percepatan penutupan dari katup-katup jantung. Yang paling sering
adalah kecepatan penutupan dari katup aorta yang disebabkan oleh insufisiensi dari katup mitral.

11
Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium
a. Kultur tenggorokan
Temuan kultur tenggorokan untuk Streptococcus β hemolitic grup A biasanya negatif dengan
gejala saat demam rematik atau penyakit jantung rematik muncul. Upaya harus dilakukan
untuk mengisolasi organisme sebelum memulai terapi antibiotik untuk membantu
mengkonfirmasi diagnosis dari faringitis streptokokus.
b. Rapid antigen detection test
Tes ini memungkinkan deteksi cepat antigen Streptococcus β hemolitic grup A dan
memungkinkan diagnosis faringitis streptokokus dan inisiasi terapi antibiotik. Karena tes
deteksi antigen cepat memiliki spesifisitas lebih dari 95 % tetapi sensitivitas hanya 60-90 %,
kultur tenggorokan harus diperoleh dalam hubungannya dengan tes ini.
c. Antibodi Antistreptococcal
Gambaran klinis demam rematik dimulai pada saat kadar antibodi antistreptococcal berada
di puncak demam. Dengan demikian, tes antibodi antistreptococcal berguna untuk
mengkonfirmasikan Streptococcus β hemolitic grup A. Tingkat tinggi dari antibodi
antistreptococcal berguna, terutama pada pasien yang hadir dengan chorea sebagai satu-
satunya kriteria diagnostik. Sensitivitas untuk infeksi baru-baru ini dapat ditingkatkan dengan
menguji beberapa antibodi. Titer antibodi harus diperiksa pada interval 2 minggu untuk
mendeteksi titer meningkat.
Antibodi antistreptococcal ekstraseluler yang paling umum diuji meliputi antistreptolysin titer
O (ASTO), antideoxyribonuclease (DNAse) B, antihyaluronidase, antistreptokinase, esterase
antistreptococcal, dan anti-DNA. Tes antibodi untuk komponen seluler Streptococcus β
hemolitic grup A termasuk polisakarida antistreptococcal, antibodi asam antiteichoic, dan
protein antibodi anti-M.
Ketika puncak titer antistreptolysin O (2-3 minggu setelah timbulnya demam rematik),
sensitivitas tes ini adalah 80-85 %. Anti-DNAse B memiliki sensitivitas yang sedikit lebih tinggi
(90 %) untuk mendeteksi demam rematik atau glomerulonefritis akut. Hasil Antihyaluronidase
sering abnormal pada pasien demam rematik dengan tingkat titer O antistreptolysin normal
dan akan naik lebih awal dan bertahan lebih lama dari peningkatan titer O antistreptolysin
selama demam rematik.
d. Fase akut reaktan
Protein dan laju endap C-reaktif meningkat pada demam rematik karena sifat inflamasi dari
penyakit. Kedua tes memiliki sensitivitas yang tinggi tetapi spesifisitas rendah untuk demam
rematik. Mereka dapat digunakan untuk memantau resolusi peradangan, mendeteksi
kekambuhan saat mengonsumsi aspirin, atau mengidentifikasi kekambuhan penyakit.
e. Antibodi reaktif jantung
Tropomyosin meningkat pada demam rematik akut.
f. Uji deteksi cepat untuk D8/17
Teknik immunofluorescence ini untuk mengidentifikasi penanda sel B D8/17 positif pada 90%
pasien dengan demam rematik. Ini mungkin berguna untuk mengidentifikasi pasien yang
berisiko untuk terkena demam rematik.

2. Pemeriksaan radiologi
a. Roentgenografi dada

12
Kardiomegali, kongesti paru, dan temuan lain yang sesuai dengan gagal jantung dapat terlihat
pada radiografi dada. Bila pasien mengalami demam dan gangguan pernapasan, radiografi
dada membantu membedakan gagal jantung akibat pneumonia rematik.

b. Doppler–echocardiogram
Dalam penyakit jantung rematik akut, Doppler-echokardiografi mengidentifikasi dan
menghitung insufisiensi katup dan disfungsi ventrikel. Dengan karditis ringan, regurgitasi
mitral dapat hadir selama penyakit fase akut tetapi sembuh dalam beberapa minggu atau
bulan. Sebaliknya, pasien dengan karditis sedang hingga parah memiliki mitral persisten
dan/atau regurgitasi aorta.
Fitur echocardiographic yang paling penting dari regurgitasi mitral dari valvulitis rematik akut
adalah dilatasi annulus, pemanjangan korda ke anterior leaflet, dan regurgitasi mitral
mengarah ke posterolateral.
Selama demam rematik akut, ventrikel kiri sering melebar. Dengan demikian, beberapa ahli
jantung percaya bahwa insufisiensi katup (dari endokarditis), disfungsi miokard (dari
miokarditis), adalah penyebab dominan gagal jantung pada demam rematik akut.
Pada penyakit jantung rematik kronis, echocardiography dapat digunakan untuk melacak
perkembangan stenosis katup dan dapat membantu menentukan waktu untuk intervensi
bedah. Cuspis dari katup yang terkena menjadi difus menebal, dengan fusi komisura dan
korda tendinea. Peningkatan echodensity katup mitral dapat menandakan kalsifikasi.

13
Gambar 3. Sistolik Insufisiensi Mitral http://emedicine.medscape.com/article/891897-
workup#a0720

Tampilan parasternal long-axis menunjukkan insufisiensi sistolik mitral dengan pancaran khas
dengan penyakit jantung rematik (pancaran biru membentang dari ventrikel kiri ke atrium
kiri). Pancaran ini biasanya diarahkan ke dinding lateral dan posterior. (LV : ventrikel kiri, LA :
atrium kiri, Ao : aorta, RV : ventrikel kanan).

Gambar 4. Diastolik Insufisiensi Aortahttp://emedicine.medscape.com/article/891897-


workup#a0720

Tampilan parasternal long-axis menunjukkan diastolik insufisiensi aorta memiliki pancaran


khas diamati dengan penyakit jantung rematik (pancaran merah membentang dari aorta ke
ventrikel kiri). (LV: ventrikel kiri, LA: atrium kiri, Ao: aorta, RV: ventrikel kanan).
The World Heart Federation telah menerbitkan pedoman untuk mengidentifikasi individu
dengan penyakit rematik tanpa riwayat yang jelas dari demam rematik akut. Berdasarkan
gambaran 2 dimensi (2D) dan pulsasi dan warna Doppler, pasien dibagi menjadi 3 kategori:
penyakit jantung rematik yang pasti, penyakit jantung rematik, dan normal. Untuk pasien
anak-anak (didefinisikan pada usia<20 tahun).

c. Jantung kateterisasi

14
Pada penyakit jantung rematik akut, prosedur ini tidak diindikasikan. Pada penyakit kronis,
kateterisasi jantung telah dilakukan untuk mengevaluasi penyakit katup mitral dan aorta.
Gejala postkaterisasi termasuk perdarahan, nyeri, mual dan muntah, dan obstruksi arteri atau
vena dari trombosis atau spasme. Komplikasi mungkin termasuk insufisiensi mitral setelah
dilatasi balon katup mitral, takiaritmia, bradiaritmia, dan oklusi pembuluh darah.
d. EKG
Pada EKG, takikardia sinus paling sering menyertai penyakit jantung rematik akut. Tidak ada
korelasi antara bradikardi dan tingkat keparahan karditis.
Tingkat pertama atrioventrikular (AV) block (perpanjangan interval PR) diamati pada
beberapa pasien dengan penyakit jantung rematik. Kelainan ini mungkin terkait dengan
peradangan miokard lokal yang melibatkan AV node atau vaskulitis yang melibatkan arteri
nodal AV. Blok AV tingkat pertama adalah penemuan yang spesifik dan tidak boleh digunakan
sebagai kriteria untuk diagnosis penyakit jantung rematik. Keberadaannya tidak berkorelasi
dengan perkembangan penyakit jantung rematik kronis.
Tingkat dua (intermittent) dan tingkat tiga (lengkap) AV blok dengan perkembangan ventrikel
berhenti telah dijelaskan. Blok jantung dalam pengaturan demam rematik, bagaimanapun,
biasanya sembuh dengan sisa proses penyakit.
Ketika demam rematik akut dikaitkan dengan perikarditis, elevasi segmen ST dapat hadir dan
kebanyakan pada lead II, III, aVF, dan V4-V6.

3. Pemeriksaan histology
Badan Aschoff (titik perivaskular kolagen eosinophilic dikelilingi oleh limfosit, sel plasma,
dan makrofag) ditemukan dalam perikardium, daerah perivaskular miokardium, dan
endokardium. Badan Aschoff memiliki gambaran granulomatous dengan titik fibrinoid dan
akhirnya digantikan oleh nodul jaringan parut. Sel-sel makrofag Anitschkow yang padan dalam
badan Aschoff.
Dalam perikardium, eksudat fibrin dan serofibrinous dapat menghasilkan penampilan "roti dan
mentega" perikarditis.

Gambar 5. Badan Aschoff http://emedicine.medscape.com/article/1962779-


overview#aw2aab6b6
Badan aschoff menandai fase akut dari penyakit jantung rematik, atau karditis rematik,
yang merupakan agregat interstitial makrofag dan limfosit, dengan kolagen nekrotik, di daerah
fibrosis interstitial

15
Gambar 6. Sel Anitschkow http://emedicine.medscape.com/article/1962779-
overview#aw2aab6b6
Anitschkow atau sel ulat berada di tengah badan Aschoff. Sel-sel ini tidak spesifik untuk
demam rematik tetapi terlihat dalam berbagai kondisi. Dalam Aschoff nodul, sel-sel Anitschkow
adalah makrofag, meskipun perubahan nuklear yang sama dapat terjadi pada miosit dan sel-sel
jaringan ikat lainnya.

Diagnosis banding
 Appendisitis
Usus buntu adalah akhir dari struktur tubular dari sekum. Apendisitis merupakan hasil
dari peradangan akut usus buntu dengan gejala sakit perut yang hebat seperti yang dialami pada
penyakit jantung koroner. Pada penyakit jantung rematik terjadi peradangan mikrovaskuler
mesenterika akut sedangkan pada appendicitis peradangan pada appendix.
 Dilatasi kardiomiopati
Penyakit progresif otot jantung yang ditandai dengan pembesaran ruang ventrikel dan
disfungsi kontraktil dengan penebalan dinding ventrikel kiri (LV). Ventrikel kanan juga dapat
melebar dan disfungsional. Dilatasi Cardiomyopathy adalah penyebab paling umum ketiga gagal
jantung dan alasan yang paling sering untuk transplantasi jantung. Gejala yang sering timbul yaitu
kelelahan, Dyspnea saat aktivitas, sesak napas, Ortopnea hampir sama dengan penyakit jantung
rematik.
 Coccidioidomycosis
Disebabkan oleh Coccidioides immitis, jamur asli tanah di San Joaquin Valley of California,
dan dengan C.posadasii. Gejala yang timbul seperti demam, batuk, nyeri dada, sesak napas,
eritema.
 Kawasaki disease
Penyakit Kawasaki (KD) adalah sindrom vaskulitis demam akut anak usia dini, meskipun
memiliki prognosis yang baik dengan pengobatan, dapat menyebabkan kematian karena adanya
aneurisma arteri koroner (CAA) dalam persentase pasien yang sangat kecil. Gejalanya berupa
miokarditis dan perikarditis, sama dengan penyakit jantung rematik. Namun penyakit jantung
rematik tidak diderita anak usia dini seperti kawasaki disease.
 Arthritis Rheumatoid
Poliartritis pada anak-anak dibawah 3 tahun atau lebih sering pada artritis reumatoid,
biasanya terjadi secara bersamaan pada sendi-sendi, simetris,tidak bermigrasi, kurang berespon

16
terhadap preparat salisil dibandingkan dengan artritis pada DR. Apabila sakit bertahan lebih dari
1 minggu meskipun sudah diberi salisil + reumatoid faktor (+) diagnosis ke arah artritis reumatoid.
 Sickel cell Anemia/ leukemia
Terjadi pada anak dibawah 6 bulan. Adanya penurunan Hb yang signifikan (< 7 g/dL).
Leukositosis tanpa adanya tanda-tanda radang. Peradangan pada metatarsal dan metakarpal.
Splenomegali. Pada perjalanan yang kronis - kardiomegali. Diperlukan pemeriksaan pada sumsum
tulang.
 Artritis et causa infeksi
Memerlukan kultur dan gram dari cairan sendi.
 Karditis et causa virus
Terutama disebabkan oleh coxakie B dengan arbovirus dapatmenyebabkan miokarditis dengan
tanda-tanda kardiomegali, aritmia dan gagal jantung. Kardiomegali - bising sistolik (MI). Tidak
terdapat murmur.Perikarditis akibat virus harus dibedakan dengan DR karena pada virusdisertai
dengan valvulitis.
 Keadaan mirip chorea :
o Multiple tics: merupakan kebiasaan, berupa gerakan-gerakan repetitif.
o Cerbral palsy: gerakannya lebih pelan dan lebih ritmik. Anamnesa:kelumpuhan motorik
yang sudah dapat terlihat semenjak awal bulan.Keterlambatan perkembangan.
o Post ensefalitis: perlu pemeriksaan lab lebih lanjut, etiologi yangbermacam-macam.
Gejala klinis berupa: kaku kuduk, letargi, sakit kepala,muntah-muntah, photofobia,
gangguan bicara, kejang, dll.
 Kelainan kongenital
Kelaninan kongenital yang tersering pada anak-anak ialah VSD (ventrikelseptum defect) dan ASD
(atrium septum defect).
Adanya kesamaan pada pemeriksaan fisik dimana didapatkan bisingpansistolik murmur dengan
punctum maksimum disela iga III-IVparasternal kiri.

1.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar bertujuan untuk
mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A, menekan inflamasi dari respon autoimun,
dan memberikan terapi suportif untuk gagal jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan
untuk mencegah rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan memantau komplikasi serta
gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis pada saat dewasa. Selain terapi medikamentosa, aspek
diet dan juga aktivitas pasien harus dikontrol. Selain itu, ada juga pilihan terapi operatif sebagai
penanganan kasus-kasus parah.
A. Terapi Antibiotik
 Profilaksis Primer
Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang sangat penting untuk mengindari
paparan berulang kronis terhadap antigen Streptococcus beta hemolyticus grup A. Eradikasi dari bakteri
Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring seharusnya diikuti dengan profilaksis sekunder
jangka panjang sebagai perlindungan terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring
yang berulang.

17
Pemilihan regimen terapi sebaiknya mempertimbangkan aspek bakteriologi dan efektifitas antibiotik,
kemudahan pasien untuk mematuhi regimen yang ditentukan (frekuensi, durasi, dan kemampuan
pasien meminum obat), harga, dan juga efek samping.
Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan amoxicilin oral adalah obat pilihan untuk
terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring pada pasien tanpa riwayat alergi terhadap penisilin.
Setelah terapi antibiotik selama 24 jam, pasien tidak lagi dianggap dapat menularkan bakteri
Streptococcus beta hemolyticus group A. Penisilin V pottasium lebih dipilih dibanding dengan penisilin G
benzathine karena lebih resisten terhadap asam lambung. Namun terapi dengan penisilin G benzathine
lebih dipilih pada pasien yang tidak dapat menyelesaikan terapi oral 10 hari, pasien dengan riwayat
rheumatic fever atau gagal jantung rematik, dan pada mereka yang tinggal di lingkungan dengan faktor
risiko terkena rheumatic fever (lingkungan padat penduduk, status sosio-ekonomi rendah).

 Profilaksis Sekunder

18
Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan atau munculnya rheumatic heart disease.
Pencegahan terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring yang berulang adalah
metode yang paing efektif untuk mencegah rheumatic heart disease yang parah.

B. Terapi Anti Inflamasi


Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis) biasanya merespon cepat terhadap terapi anti
inflamasi. Anti inflamasi yang menjadi lini utama adalah aspirin. Untuk pasien dengan karditis yang
buruk atau dengan gagal jantung dan kardiomegali, obat yang dipilih adalah kortikosteroid.
Kortikosteroid juga menjadi pilihan terapi pada pasien yang tidak membaik dengan aspirin dan terus
mengalami perburukan.
Penggunaan kortikosteroid dan aspirin sebaiknya menunggu sampai diagnosis rheumatic fever
ditegakan. Pada anak-anak dosis aspirin adalah 100-125 mg/kg/hari, setelah mencapai konsentrasi stabil
selama 2 minggu, dosis dapat diturunkan menjadi 60-70 mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang
alergi terhadap aspirin bisa digunakan naproxen 10-20 mg/kg/hari.
Obat kortikosteroid yang menjadi pilihan utama adalah prednisone dengan dosis 2 mg/kg/hari,
maksimal 80 mg/hari selama 2 minggu, diberikan 1 kali sehari. Setelah terapi 2-3 minggu dosis
diturunkan 20-25% setiap minggu. Pada kondisi yang mengancam nyawa, terapi IV methylprednisolone
dengan dosis 30 mg/kg/hari. Durasi terapi dari anti inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap terapi.
C. Terapi Gagal Jantung
Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap tirah baring, restriksi cairan, dan
terapi kortikosteroid, namun pada beberapa pasien dengan gejala yang berat, terapi diuterik, ACE-
inhibitor, dan digoxin bisa digunakan. Awalnya, pasien harus melakukan diet restriksi garam ditambah
dengan diuretik. Apabila hal ini tidak efektif, bisa ditambahkan ACE Inhibitor dan atau digoxin.

19
D. Diet dan Aktivitas Diet
Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa restriksi kecuali pada pasien gagal
jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan natrium harus dikurangi. Suplemen kalium diperlukan apabila
pasien diberikan kortikosteroid atau diuretik.
Tirah baring sebagai terapi rheumatic fever pertama kali diperkenalkan pada tahun 1940, namun belum
diteliti lebih lanjut sejak saat itu. Pada praktek klinis sehari-hari, kegiatan fisik harus direstriksi sampai
tanda-tanda fase akut terlewati, baru kemudian aktivitas bisa dimulai secara bertahap.17 Sesuai dengan
anjuran Taranta dan Marcowitz tirah baring yang dianjurkan adalah sebagai berikut :

E. Terapi Operatif
Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus mengalami perburukan meskipun telah
mendapat terapi medis yang agresif untuk penanganan rheumatic heart disease, operasi untuk

20
mengurangi defisiensi katup mungkin bisa menjadi pilihan untuk menyelamatkan nyawa pasien.16, 17
Pasien yang simptomatik,
dengan disfungsi ventrikel atau mengalami gangguan katup yang berat, juga memerlukan tindakan
intervensi.
a. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal, dapat dilakukan ballon mitral
valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak memungkinkan, perlu dilakukan operasi.
b. Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral akut (mungkin akibat ruptur
khordae)/kronik yang berat dengan rheumatic heart disease yang tak teratasi dengan obat,
perlu segera dioperasi untuk reparasi atau penggantian katup.
c. Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat langka. Intervensi dengan balon
biasanya kurang berhasil, sehingga operasi lebih banyak dikerjakan.
d. Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri atau kombinasi dengan lesi lain,
biasanya ditangani dengan penggantian katup.
Tatalaksana komprehensif pada pasien dengan demam rematik (Menurut ICHCR) meliputi:

 Pengobatan manifestasi akut, pencegahan kekambuhan dan pencegahan endokarditis pada pasien
dengan kelainan katup.
 Pemeriksaan ASTO, CRP, LED, tenggorok dan darah tepi lengkap. Ekokardiografi untuk evaluasi jantung.
 Antibiotik: penisilin, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 10 hari bagi pasien dengan alergi penisilin.
 Tirah baring bervariasi tergantung berat ringannya penyakit.
 Anti inflamasi: dimulai setelah diagnosis ditegakkan:
o Bila hanya ditemukan artritis diberikan asetosal 100 mg/kgBB/hari sampai 2 minggu, kemudian
diturunkan selama 2-3 minggu berikutnya.
o Pada karditis ringan-sedang diberikan asetosal 90-100 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4-6 dosis
selama 4-8 minggu bergantung pada respons klinis. Bila ada perbaikan, dosis diturunkan
bertahap selama 4-6 minggu berikutnya.
o Pada karditis berat dengan gagal jantung ditambahkan prednison 2 mg/kgBB/hari diberikan
selama 2-6 minggu.

21
1.9 Pencegahan

Pedoman istirahat dan mobilisasi penderita demam rematik/penyakti jantung rematik akut
(Markowitz dan Gordis, 1972)
Artritis Karditis minimal Karditis tanpa Karditis +
kardiomegali kardiomegali
Tirah baring 2 minggu 3 minggu 6 minggu 3-6 bulan
Mobilisasi bertahap 2 minggu 3 minggu 6 minggu 3 bulan
di ruangan
Mobilisasi bertahap 3 minggu 4 minggu 3 bulan 3 bulan atau
di luar ruangan lebih
Semua kegiatan Sesudah 6-8 Sesudah 10 Sesudah 6 bulan Bervariasi
minggu minggu

Pencegahan yang dapat dilakukan adalah


a. Pencegahan primer : upaya pencegahan infeksi Streptokokus beta hemolitik grup A sehingga
tercegah dari penyakit demam reumatik.
b. Pencegahan sekunder : upaya mencegah menetapnya infesi Streptokokkus beta hemolitik grup A
pada pasien bekas reumatik.
Cara pengobatan pencegahan sekunder (Penicillin long acting), (Majeed H.A. dkk, 1998) :
- Bila DR dengan karditis atau PJR dilaksanakan pencegahan sekunder tersebut selama 10
tahun sesudah serangan akut sampai umur 40 tahun dan kadang-kadang diperlukan selama
hidup.
- DR dengan karditis tanpa PJR dilakukan pengobatan pencegahan sekunder selama 10
tahun.
- DR saja tanpa karditis dilakukan pengobatan pencegahan selama 5 tahun sampai umur 21
tahun.

Profilaksis primer (kursus awal antibiotik diberikan untuk membasmi infeksi streptokokus) juga
berfungsi sebagai kursus pertama profilaksis sekunder (pencegahan demam rematik berulang dan
penyakit jantung rematik).
Suntikan, 6-1200000 unit penisilin benzatin G intramuskuler setiap 4 minggu adalah rejimen
direkomendasikan untuk profilaksis sekunder untuk sebagian besar pasien AS. Mengelola dosis yang sama
setiap 3 minggu di daerah di mana demam rematik endemik, pada pasien dengan sisa karditis, dan pada
pasien berisiko tinggi.
Pasien dengan penyakit jantung rematik dan kerusakan katup memerlukan dosis tunggal
antibiotik 1 jam sebelum prosedur bedah dan gigi untuk membantu mencegah endokarditis bakteri.
Pasien yang memiliki demam rematik tanpa kerusakan katup tidak perlu profilaksis endokarditis. Jangan
gunakan penisilin, ampisilin, atau amoksisilin untuk profilaksis endokarditis pada pasien yang sudah
menerima penisilin untuk profilaksis demam rematik sekunder (resistensi relatif PO streptokokus
terhadap penisilin dan aminopenicillins).

22
1.10 Komplikasi
PJR merupakan kerusakan permanen pada jantung akibat dari inflamasi pada demam. Paling sering
menyerang pada katup mitral jantung, namun katup lain juga dapat terkena.

Kerusakan pada jantung dapat menyebabkan:

 Stenosis Katup. Menyempitkan rongga jantung, menyebabkan berkurangnya aliran darah.


 Regurgitasi Jantung. Kondisi ini terjadi kebocoran pada katup, yang menyebabkan aliran darah
yang abnormal tidak sesuai dengan yang semestinya.
 Kerusakan pada otot jantung (miokardium) Inflamasi yang berhubungan dengan demam rematik
dapat memperlemah otot jantung, menyebabkan fungsi pompa menjadi berkurang.

Kerusakan pada katup atau jaringan jantung lainnya dapat menyebabkan keadaan seperti:

 Atrial fibrillation, denyut irregular dan kacau pada atrium


 Gagal Jantung, ketidak mampuan jantung untuk memompakan darah yang cukup ke seluruh
tubuh

Komplikasi Jangka Panjang


Komplikasi jangka panjang dari penggantian katup termasuk :
 Struktural valve kerusakan (ini hanya menjadi perhatian bagi biologis dan katup bioprosthetic dan
kerusakan adalah waktu tergantung);
 Trombosis katup (0,01-0,5% per tahun);
 Tromboemboli (2-5% per tahun);
 Endokarditis prostetik (0,2-1,2% per tahun);
 Pendarahan besar (konvensional dikaitkan dengan antikoagulan), 1-4% per tahun;
 Paravalvular kebocoran (0,1-1,5% per tahun).
Banyak dari komplikasi ini, terutama katup trombosis, tromboemboli, endokarditis dan perdarahan,
terkait lebih kepada pasien dan faktor manajemen daripada prostesis sendiri. Kebutuhan untuk mengganti
katup prostetik cenderung lebih tinggi di negara-negara berkembang karena kesulitan dalam pengelolaan
pasca-operasi, dan karena katup prostetik perlu diganti dalam pertumbuhan anak-anak.

1.11 Prognosis
Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi mengalami kekambuhan. Resiko kekambuhan
tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejak episode awal. Semakin muda rheumatic fever terjadi,
kecenderungan kambuh semakin besar. Kekambuhan rheumatic fever secara umum mirip dengan
serangan awal, namun risiko karditis dan kerusakan katup lebih besar.
Manifestasi rheumatic fever pada 80% kasus mereda dalam 12 minggu. Insiden RHD setelah 10 tahun
adalah sebesar 34% pada pasien dengan tanpa serangan rheumatic fever berulang, tetapi pada pasien
dengan serangan rheumatic fever yang berulang kejadian RHD meningkat menjadi 60%
Demam rematik tidak akan kambuh bila infeksi streptococcus diatasi. Prognosis sangat baik bila karditis
sembuh pada saat permulaan serangan akut demam rematik. Selama 5 tahun perjalanan penyakit DR dan
PJR tidak membaik bila bising organic katup tidak menghilang. Prognosis akan memburuk bila gejala
karditisnya lebih berat, dan ternyata DR akut dan payah jantung akan sembuh 30% pada tahun pertama
dan 40% setelah 10 tahun. Penyembuhan akan bertambah bila pencegahan sekunder dilakuka secara baik.

23
Stenosis mitral tergantung pada beratnya karditis, sehingga kerusakan katup mitral selama 5 tahun
pertama mempengaruhi angka kematian.

Daftar Pustaka

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/0e73a5a1848daa8a0350ca46705ffa17.pdf

spesialis1.ika.fk.unair.ac.id

http://repository.unpas.ac.id/12552/5/BAB%20II.pdf

http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/459

http://www.ichrc.org/610-demam-reumatik-akut

24

Anda mungkin juga menyukai