Anda di halaman 1dari 16

IBU HAMIL DENGAN RHD

DEFINISI
Kehamilan akan menimbulkan perubahan pada sistem kardiovaskuler. Wanita
dengan penyakit kardiovaskuler dan menjadi hamil, akan terjadi pengaruh timbal
balik yang dapat merugikan kesempatan hidup wanita tersebut.
Pada kehamilan dengan jantung normal, wanita dapat menyesuaikan kerjanya
terhadap perubahan-perubahan secara fisiologis. Perubahan tersebut disebabkan
karena hipervolemia yaitu dimulai sejak kehamilan 8 minggu dan mencapai
puncaknya pada 28-32 minggu lalu menetap. Jantung dan diafragma terdorong ke atas
oleh karena pembesaran rahim. Saat masa hamil kondisi denyut jantung, nadi,
pukulan jantung akan meningkat dan tekanan darah menurun sedikit. Maka dapat
dipahami bahwa kehamilan dapat memperbesar penyakit jantung bahkan dapat
menyebabkan payah jantung (dekompensasi kordis). Frekuensi penyakit jantung
dalam kehamilan berkisar antara 1-4%. Salah satu penyakit jantung yang dapat
muncul yaitu Penyakit jantung rematik (PJR) atau dalam bahasa medisnya Rheumatic
Heart Disease (RHD).
Penyakit jantung reumatik adalah penyakit peradangan sistemik akut atau
kronik yang merupakan suatu reaksi autoimun oleh infeksi Beta Streptococcus
Hemolyticus Grup A yang mekanisme perjalanannya belum diketahui, dengansatu
atau lebih gejala mayor yaitu Poliarthritis migrans akut, Karditis, Koreaminor, Nodul
subkutan dan Eritema marginatum (Lawrence M. Tierney, 2002).
Penyakit jantung rematik (RHD) adalah suatu proses peradangan yang mengenai
jaringan-jaringan penyokong tubuh, terutama persendian, jantung dan pembuluh
darah oleh organisme streptococcus hemolitic-β grup A (Sunoto Pratanu, 2000).
Penyakit jantung rematik (PJR) atau dalam bahasa medisnya rheumatic heart
disease (RHD) adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup jantung
yang bisa berupa penyempitan atau kebocoran, terutama katup mitral sebagai akibat
adanya gejala sisa dari demam rematik.

ETIOLOGI
Penyebab terjadinya penyakit jantung reumatik diperkirakan adalah reaksi
autoimun (kekebalan tubuh) yang disebabkan oleh demam reumatik. Infeksi
streptococcus β hemolitikus grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya
demam reumatik baik demam reumatik serangan pertama maupun demam reumatik
serangan ulang.
Infeksi Streptococcus beta-hemolyticus grup A pada tenggorok selalu mendahului
terjadinya demam rematik, baik pada serangan pertama maupun serangan ulang.
Telah diketahui bahwa dalam hal terjadi demam rematik terdapat beberapa
predisposisi antara lain :

Faktor-faktor pada individu :


1. Faktor genetik
Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap demam rematik
menunjkan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal dengan antibodi
monoklonal dengan status reumatikus.
2. Jenis kelamin
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan dengan anak laki-
laki. Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin,
meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu jenis
kelamin.
3. Golongan etnik dan ras
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam
reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibanding dengan orang kulit
putih. Tetapi data ini harus dinilai hati-hati, sebab mungkin berbagai faktor
lingkungan yang berbeda pada kedua golongan tersebut ikut berperan atau bahkan
merupakan sebab yang sebenarnya.
4. Umur
Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam
reumatik / penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak umur
antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada
anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau
setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi
streptococcus pada anak usia sekolah. Tetapi Markowitz menemukan bahwa penderita
infeksi streptococcus adalah mereka yang berumur 2-6 tahun.
5. Keadaan gizi dan lain-lain
Keadaan gizi serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan apakah
merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya demam reumatik.
6. Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian dinding sel
streptokokus beta hemolitikus group A dengan glikoprotein dalam katub mungkin ini
mendukung terjadinya miokarditis dan valvulitis pada reumatik fever.
7. Serangan demam rematik sebelumnya.
Serangan ulang demam rematik sesudah adanya reinfeksi dengan Streptococcus beta-
hemolyticus grup A adalah sering pada anak yang sebelumnya pernah mendapat
demam rematik.

Faktor-faktor lingkungan :
1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk
Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk
terjadinya demam reumatik. Insidens demam reumatik di negara-negara yang sudah
maju, jelas menurun sebelum era antibiotik termasuk dalam keadaan sosial ekonomi
yang buruk sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat,
rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang
menderita sakit sangat kurang; pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk
perawatan kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal ini merupakan faktor-faktor
yang memudahkan timbulnya demam reumatik.
2. Iklim dan geografi
Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak didapatkan
didaerah yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah
tropis pun mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga semula.
Didaerah yang letaknya agak tinggi agaknya insidens demam reumatik lebih tinggi
daripada didataran rendah.
3. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas
bagian atas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat.

MANIFESTASI KLINIS
Perjalanan klinis penyakit demam reumatik / penyakit jantung reumatik dapat
dibagi dalam 4 stadium. yaitu :
Stadium I
Berupa infeksi saluran nafas atas oleh kuman Beta Streptococcus Hemolyticus Grup
A.
Keluhan :

1. Demam
2. Batuk
3. Rasa sakit waktu menelan
4. Muntah
5. Peradangan pada tonsil yang disertai eksudat.

Stadium II

Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi streptococcus dengan
permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode ini berlangsung 1 – 3 minggu,
kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.

Stadium III

Yang dimaksud dengan stadium III ini ialah fase akut demam reumatik, saat ini
timbulnya berbagai manifestasi klinis demam reumatik /penyakit jantung reumatik.
Manifestasi klinis tersebut dapat digolongkan dalam gejala peradangan umum dan
menifesrasi spesifik demam reumatik /penyakit jantung reumatik.
Gejala peradangan umum :

1. Demam yang tinggi


2. Lesu
3. Anoreksia
4. Berat badan menurun
5. Kelihatan pucat
6. Epistaksis
7. Athralgia
8. Rasa sakit disekitar sendi
9. Sakit perut
Stadium IV

Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa
kelainan jantung / penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak
menunjukkan gejala apa-apa.

Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup
jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pasa fase ini
baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu
dapat mengalami reaktivasi penyakitnya.

Beberapa indikator klinik dari penyakit jantung dalam kehamilan

Gejala
Dyspnea yang progresif atau orthopnea
Batuk pada malam hari
Hemoptisis
Sinkop
Nyeri dada
Tanda-tanda klinik
Sianosis
Clubbing pada jari-jari
Distensi vena di daerah leher yang menetap
Bising sistolik derajat 3/6 atau lebih
Bising diastolik
Kardiomegali
Aritmia persisten
Terpisahnya bunyi jantung dua yang persisten
Adanya kriteria hipertensi pulmonal
KOMPLIKASI

Komplikasi yang sering terjadi pada Penyakit Jantung Reumatik (PJR) diantaranya
adalah gagal jantung, pankarditis (infeksi dan peradangan di seluruh bagian jantung),
pneumonitis reumatik (infeksi paru), emboli atau sumbatan pada paru, kelainan katup
jantung, dan infark (kematian sel jantung).

1. Dekompensasi Cordis

Peristiwa dekompensasi cordis pada bayi dan anak menggambarkan terdapatnya


sindroma klinik akibat myocardium tidak mampu memenuhi keperluan metabolic
termasuk pertumbuhan. Keadaan ini timbul karena kerja otot jantung yang berlebihan,
biasanya karena kelainan struktur jantung, kelainan otot jantung sendiri seperti proses
inflamasi atau gabungan kedua faktor tersebut.

Pada umumnya payah jantung pada anak diobati secara klasik yaitu dengan
digitalis dan obat-obat diuretika. Tujuan pengobatan ialah menghilangkan gejala
(simptomatik) dan yang paling penting mengobati penyakit primer.

2. Pericarditis

Peradangan pada pericard visceralis dan parietalis yang bervariasi dari reaksi
radang yang ringan sampai tertimbunnnya cairan dalam cavum pericard.

PENATALAKSANAAN

ANTEPARTUM

Wanita dengan penyakit jantung sebelum memutuskan untuk hamil, sebaiknya


terlebih dahulu dikonsultasikan dengan dokter. Mortalitas maternal umumnya
bervariasi sesuai dengan status fungsional jantung selama onset kehamilan, namun
dapat bertambah tinggi seiring dengan bertambahya umur kehamilan. Penanganan
penyakit jantung pada kehamilan ditentukan oleh kapasitas fungsional jantung. Pada
semua wanita hamil, tetapi khususnya pada penderita penyakit jantung, pertambahan
berat badan yang berlebihan, dan retensi cairan yang abnormal harus dicegah.1
Memburuknya kondisi jantung dalam kehamilan sering terjadi secara samar
namun membahayakan. Pada kunjungan rutin harus dilakukan pemeriksaan denyut
jantung, pertambahan berat badan dan saturasi oksigen. Pertambahan berat badan
yang berlebihan menandakan perlunya penanganan yang agresif. Penurunan saturasi
oksigen biasanya akan mendahului gambaran radiologi (foto toraks) yang abnormal.
Evaluasi resiko kehamilan pada wanita dengan penyakit jantung direkomendasikan
menggunakan klasifikasi resiko modifikasi dari WHO ( World Health Organization ).
Klasifikasi resiko ini mencakup semua faktor resiko kardiovaskular maternal
termasuk penyakit jantung sebelumnya dan komorbiditas lainnya.

Pada wanita dengan resiko WHO kelas I, Resiko mortalitas maternal sangat
rendah, wanita dengan resiko WHO kelas II mempunyai resiko mortalitas maternal
yang rendah sampai sedang, dan direkomendasikan follow up kehamilannya tiap
trisemester. Pada wanita dengan resiko WHO kelas III, ada resiko tinggi akan
komplikasi pada maternal, dan sangat direkomendasikan membutuhkan advis dari
dokter spesialis jantung dan kandungan, sedangkan pada wanita dengan resiko WHO
kelas IV, kehamilan dikontraindikasikan, tetapi bila wanita tersebut hamil dan tidak
mau melakukan terminasi, maka control tiap bulan yang ketat harus dilakukan.

Beberapa kelainan jantung dengan risiko kematian ibu yang tinggi antara lain :
sindroma Eisenmenger, hipertensi pulmonal dengan disfungsi ventrikel kanan dan
sindroma Marfan dengan dilatasi aorta yang signifikan.

American College of Obstetricians and Gynecologists (1992) menekankan empat


konsep yang mempengaruhi penanganan wanita dengan penyakit jantung, yaitu :

1. Peningkatan curah jantung dan volume plasma sebesar 50% terjadi pada awal
trimester ketiga.
2. Fluktuasi volume plasma dan curah jantung terjadi pada masa peripartum.
3. Penurunan tahanan vaskuler sistemik mencapai titik terendah pada trimester kedua
dan meningkat lagi sampai 20% di bawah normal pada akhir kehamilan.
4. Hiperkoagubilitas. Perhatian khusus diberikan pada wanita yang membutuhkan
antikoagulan derivat koumarin sebelum kehamilan.

Penanganan antepartum termasuk kunjungan ke klinik jantung-kebidanan, istirahat


yang cukup, diet tinggi protein, rendah garam dan pembatasan cairan pada trimester II
dan III, perbaikan keadaan umum ( roboransia dan anti anemia ), pencegahan infeksi,
evaluasi pemberian digitalis, evaluasi terminasi kehamilan dan pembedahan jantung.
Pasien diharuskan segera melapor ke dokter bila ditemukan gejala infeksi saluran
pernafasan bagian atas, khususnya bila ada demam.

Prinsip umum manajemen kehamilan pada wanita dengan penyakit kardiovaskular

STAGE PRINSIP PENANGANAN


Sebelum Konsepsi Identifikasi kondisi kardiovaskular dan kelas fungsional. Mendapatkan
evaluasi dari kardiologist
Disarankan untuk melakukan koreksi bedah bila dibutuhkan
Konseling tentang prognosis dari keberhasilan persalinan, termasuk
keselamatan ibu dan kelainan janin
Mengevaluasi kehamilan kedepannya
Mengevaluasi medikasi dan mendiskusikan resiko dan keuntungan tiap
medikasi dengan kardiologis dan pasien
Memberikan konseling kontrol kehamilan agar mencegah kehamilan yang
tidak diinginkan
Trimester I Melakukan evaluasi yang multidisiplin dengan kardiologis dan
perinatologis
Konseling tentang resiko mortalitas dan morbiditas ibu, dan juga
prognosis keberhasilan kehamilan
Mengevaluasi ulang medikasi dengan kardiologis, untuk meninimalkan
resiko kelainan fetus tanpa menganggu status kardiovaskular ibu
Menghindari terapi intervensi yang dapat ditunda hingga trimester ke II
( Contoh : Fluoroskopi )
Mengevaluasi opsi terminasi kehamilan jika terdapar resiko mortalitas dan
morbiditas yang tinggi terhadap ibu
Mendiskusikan untuk rujukan ke tempat dengan fasilitas yang lebih baik
Trimester II Melanjutkan evaluasi multidisiplin pada pasien
Mengevaluasi akan adanya penyakit jantung bawaan pada fetus dengan
fetal ultrasound lvl II
Mengevaluasi perkembangan janin dengan serial fetal ultrasound
Mengatur dosis medikasi untuk mempertahankan level terapeutik
Membatasi aktivitas maternal untuk mempertahankan stabilitas
kardiovaskular
Trimester III Melanjutkan evaluasi multidisiplin pada pasien
Mengevaluasi perkembangan janin dengan serial fetal ultrasound
Menkonsultasikan dengan ahli anestesi mengenai persalinan
Melakukan pertemuan dengan ahli lain selama kehamilan dan persalinan
untuk merencanakan manajemen persalinan
Mengevaluasi resiko dan keuntungan induksi persalinan, persalinan
spontan dan sektio sesaria elektif
Jika diberikan antikoagulan, ganti dengan unfractionated heparin
Selama Persalinan Monitoring yang ketat oleh ahli multidisiplin tim
Penanganan nyeri yang adekuat
Monitoring kondisi kardiovaskular maternal dan status cairan pada
keadaan seperti di ICU
Post Partum Monitoring hemodinamik dalam keadaan seperti di ICU

INTRAPARTUM

Persalinan untuk penderita kelainan jantung idealnya adalah singkat dan bebas nyeri.
Induksi persalinan dilakukan bila serviks sudah matang. Kadang kala penderita
penyakit jantung yang berat memerlukan pemantauan hemodinamik yang invasif
dengan pemasangan kateter arteri dan arteri pulmonalis.1,9

Selama persalinan penderita harus ditopang dengan bantal yang cukup untuk
membantu pernapasan, usahakan tersedianya oksigen yang dapat diberikan secara
intermitten atau terus menerus bila terdapat sesak napas atau sianosis. Kalau perlu ahli
jantung mendampingi proses partus. Sedasi dan analgesia yang cukup dengan morfin
sangat diperlukan. Metode persalinan bila sudah aterm dapat dipercepat dengan
pemecahan ketuban atau pada persalinan pervaginam dengan mempercepat kala II,
forsep atau episiotomi. Cara anastesi dapat dipilih antara regional, spinal, kaudal, atau
pudendal maupun umum.9

Pada kala II, mengedan dengan menafan nafas harus dilarang, karena bertambahnya
curah jantung selanjutnya harus dihindari. Pemakaian forsep sedini mungkin
sebaliknya sangat diperlukan. Pemakaian suntik ergometrin harus dihindarkan karena
bila diberikan secara IV akan menyebabkan kontraksi uterus yang tonik dan
meningkatkan aliran darah balik.9

Pada relaksasi uterus dan perdarahan yang besar lebih aman memberikan oksitosin.
Setelah kala III, harus diperhatikan tanda-tanda dekompensasi atau edema paru karena
saat inilah yang paling rawan pada proses persalinan. Tata laksana gagal jantung akut
berupa : posisi ½ duduk, anastesi kaudal terus menerus, oksigen, digitalis ( sebaiknya
setelah ada indikasi tegas dari kardiologis ) , lakukan observasi yang ketat (
perhatikan tekanan darah, nadi, pernapasan, balans cairan, elektrolit, anemia dan
sebagainya )

Standar penanganan penderita kelainan jantung dalam masa persalinan adalah :

1. Diagnosis yang akurat

2. Jenis persalinan berdasarkan pada indikasi obstetri

3. Penanganan medis dimulai pada awal persalinan

a. Hindari partus lama

b. Induksi dilakukan bila serviks sudah matang

4. Pertahankan stabilitas hemodinamik

a. Pemantauan hemodinamik invasif bila diperlukan

b. Mulai dengan keadaan hemodinamik yang sudah terkompensasi

c. Penanganan yang spesifik tergantung pada kondisi jantung.

5. Cegah nyeri dan respons hemodinamik dengan pemberian analgesia epidural


dengan narkotik dan teknik dosis rendah lokal.

6. Antibiotik profilaksis diberikan bila ada risiko endokarditis.

7. Ibu tidak boleh mengedan. Persalinan dengan vakum atau forcep rendah.

8. Hindari perdarahan dengan melakukan managemen aktif kala III dan


penggantian cairan yang dini dan sesuai.

9. Managemen cairan pada postpartum dini : sering diperlukan pemberian


diuresis yang agresif namun pelu hati-hati.
PUERPERALIS

Persalinan dan masa puerperium merupakan periode dengan risiko maksimum


untuk pasien dengan kelainan jantung. Selama periode ini, pasien harus dipantau
untuk mengetahui ada tidaknya tanda-tanda gagal jantung, hipotensi dan aritmia.
Perdarahan postpartum, anemia, infeksi dan tromboemboli merupakan komplikasi
yang menjadi lebih serius bila ada kelainan jantung.

Sangat penting untuk mencegah kehilangan darah yang berlebihan pada kala III.
Oksitosin sebaiknya diberikan secara infus kontinu untuk menghindari penurunan
tekanan darah yang mendadak. Alkaloid ergot seperti metil ergometrin tidak boleh
dipakai karena obat ini dapat mengakibatkan peningkatan tekanan vena sentral dan
hipertensi sementara.

Dalam masa post partum diperlukan pengawasan yang cermat terhadap


keseimbangan cairan. Dalam 24-72 jam terjadi perpindahan cairan ke sirkulasi sentral
dan dapat menyebabkan kegagalan jantung. Perhatian harus diberikan kepada
penderita yang tidak mengalami diuresis spontan. Pada keadaan ini, bila ada
penurunan saturasi oksigen yang dipantau dengan pulse oxymetri, biasanya
menandakan adanya edema paru.

Penderita harus mendapat istirahat yang cukup dan diberikan pencegahan


dengan antibiotik terhadap kemungkinan infeksi, termasuk endokarditis. Penderita
dengan kelas fungsional NYHA I dan II diusahakan untuk mobilisasi dini, pemberian
obat-obat kardiovaskular dievaluasi lagi, selanjutnya ditentukan follow up dan
prognosis untuk kehamilan selanjutnya. Harus dicegah terjadinya dekompensasi
kordis, dan perhatikan pula cara perawatan bayi, termasuk rawat rumah pada saat
penderita dipulangkan.

PENGGUNAAN OBAT KARDIOVASKULAR

1. Diuretik

Diuretik dapat digunakan untuk pengobatan gagal jantung kongestif yang tidak dapat
dikontrol dengan retriksi natrium dan merupakan obat lini terdepan untuk pengobatan
hipertensi. Tidak satu diuretik pun merupakan kontra indikasi dan yang paling sering
digunakan adalah golongan diuretik tiazid dan forosemid. Diuretik tidak boleh
digunakan untuk profilaksis terhadap toksemia atau pengobatan terhadap edema
pedis.

Diuretik diberikan untuk mengurangi gejala-gejala dispnea nokturnal paroksismal dan


exertional dan edema perifer yang nyata dalam kehamilan. Komplikasi ibu terhadap
terapi diuretik mirip dengan pasien yang tidak hamil seperti alkalosis metabolik,
penurunan toleransi karbohidrat, hipokalemia, hiponatremia, hiperurisemia, dan
pankreatitis.

2. Obat Inotropik

Digoksin bermanfaat untuk efek baik pada kontraktilitas ventrikel dan pada kontrol di
tingkat atrial fibrilasi. Indikasi penggunaan digitalis tidak berubah pada kehamilan.
Digoksin dan digitoksin dapat melalui plasenta, dan kadar serum pada janin lebih
kurang sama dengan ibu. Digoksin dengan dosis yang sama bila diberikan pada ibu
hamil, akan menghasilkan kadar serum yang lebih rendah bila dibanding diberikan
pada wanita yang tidak hamil. Jika efek yang diinginkan tidak tercapai, maka perlu
diukur kadarnya dalam serum. Digitalis dapat memperpendek masa gestasi dan
kelahiran, karena efeknya pada miometrium sama dengan efek inotropiknya pada
miokardium. Digoxin juga disekresi dalam ASI.

Bila inotropik intravena atau vasopressor diperlukan, obat-obat standar seperti


dopamin, dobutamin, atau norepinefrin dapat digunakan, tetapi efeknya
membahayakan janin karena akan menurunkan aliran darah ke uterus dan mestimulasi
kontraksi uterus. Efedrin adalah obat awal yang baik pada percobaan binatang dan
tidak mempengaruhi aliran darah ke uterus.

3. Vasodilator

Bila diperlukan pada krisis hipertensi atau untuk mengurangi afterload dan preload
emergensi, nitropruside merupakan obat vasodilator pilihan. Rekomendasi yang
kontroversi telah dibuat karena obat ini sangat efektif, bekerja segera, dan mudah
ditoleransi. Juga efeknya segera menghilang bila penggunaan obat tersebut segera
dihentikan. Namun, nitroprusside natrium harus digunakan hanya ketika semua
intervensi lain telah gagal dan ketika itu sangat penting untuk kesejahteraan ibu.
Bahkan di bawah kondisi, dosis dan durasi terapi harus diminimalkan karena
metabolisme agen ini untuk tiosianat dan sianida, yang dapat mengakibatkan
keracunan sianida janin pada model binatang, akan tetapi tidak menjadi problem yang
signifikan pada manusia.

Hidralazin, nitrogliserin, dan labetalol intravena adalah pilihan lain untuk obat
parenteral. Reduksi afterload kronik untuk pengobatan hipertensi, regurgitasi aotral
atau mitral, atau disfungsi ventrikel selama kehamilan telah didapat dengan calcium
chanel blocker, hidralazin, dan metildopa. Efek yang membahayakan terhadap janin
tidak dilaporkan. ACE inhibitor merupakan kontra indikasi pada kehamilan karena
obat ini menambah risiko untuk terjadinya kelainan pada perkembangan ginjal janin.
Hingga kini, tidak ada data yang melaporkan mengenai penggunaan losartin,
valsartin, dan penghambat angiotensi

4. Obat Penghambat Reseptor Adrenergik

Dalam observasi terlihat bahwa penggunaan obat penghambat beta dapat menurunkan
darah ke umbilikus, memulai kelahiran prematur, dan mengakibatkan plasenta yang
kecil serta infark plasenta dan mempunyai potensi untuk menimbulkan bayi berat
badan lahir rendah, sehingga penggunaannya memerlukan perhatian. Sebagian besar
penelitian tidak mendukung hal ini dan obat penghambat beta telah banyak digunakan
pada wanita hamil tanpa efek yang merugikan. Sehingga penggunaannya untuk
indikasi klinis sangat beralasan.

Beta blockers umumnya aman dan efektif selama kehamilan, walaupun mungkin ada
tingkat peningkatan pembatasan pertumbuhan janin ketika mereka diberikan. Sesekali
kasus apnea neonatus, hipotensi, bradikardia, dan hipoglikemia juga telah dilaporkan,
terutama setelah penggunaan jangka panjang dari propanolol. Beta blocker tidak
berhubungan dengan peningkatan risiko kelainan kongenital. Propranolol, labetalol,
atenolol, nadolol, dan metoprolol diekskresikan dalam ASI. Meskipun efek samping
belum dilaporkan, adalah tepat untuk memantau bayi yang baru lahir untuk gejala
blokade beta ketika obat tersebut pernah digunakan.
5. Obat Anti Aritmia

Penghambatan nodus atrioventrikuler (AV node) kadang-kadang diperlukan semasa


kehamilan. Untuk itu dapat digunakan digoksin, penyekat beta, dan penyekat kalsium.
Laporan awal menyokong, penggunaan adenosin yang dapat digunakan secara aman
sebagai obat penyekat nodus. Obat ini umumnya lebih disukai untuk menghindarkan
penggunaan obat anti aritmia standar pada pasien semasa kehamilan. Bila diperlukan
untuk aritmia berulang atau untuk keselamatan ibu, maka dapat digunakan.

Lidokain merupakan obat lini pertama yang diberikan. Depresi neonatus transien telah
terbukti terjadi bila kadar lidokain darah janin melebihi 2,5 mikrogram/liter. Untuk
itu, direkomendasikan untuk memelihara kadar lidokain darah pada ibu 4
mikrogram/liter, karena kadar pada janin 60% dari kadar pada ibu.

Jika diperlukan obat anti aritmia oral, dapat dimulai dengan kuinidin karena
mempunyai availabilitas jangka panjang. Dan obat ini paling sering digunakan karena
tidak jelas efek yang membahayan pada bayi. Informasi awal mengenai amiodaron
mendukung kemungkinan meningkatnya angka kehilangan janin dan deformitas janin.

6. Anti Koagulan

Fenomena tromboembolik tidak jarang merupakan komplikasi CHF. Lebih lanjut,


pasien hamil bahkan tanpa penyakit jantung akan mengalami peningkatan risiko
untuk terjadinya thromboemboli. Sebagai contoh, kejadian tromboemboli vena
mungkin sebanyak5 kasus dalam 1.000 kelahiran dan selanjutnya meningkat setelah
melahirkan.

Bila diperlukan antikoagulan, sebagian penulis menganjurkan menggunakan heparin


untuk trimester pertama dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian warfarin pada
lima bulan berikutnya, dan kembali lagi menggunakan heparin sebelum melahirkan.
Walaupun kehamilan yang sukses dapat dicapai dengan cara ini, penulis memilih
untuk menghindarkan penggunaan warfarin selama kehamilan. Obat anti platelet
ternyata meningkatkan kesempatan untuk terjadinya perdarahn maternal dan dapt
melewati plasenta. Selain itu, warfarin juga memberikan efek teratogenik pada janin,
termasuk warfarin embryopathy dan kelainan sistem saraf yang terdiri dari displasia
garis tengah punggung dan perut serta perdarahan ketika digunakan selama trimester
pertama.

Meskipun heparin memiliki sejumlah efek samping, termasuk menipisnya antitrombin


III, trombositopenia, dan dini osteoporosis ibu, itu tetap merupakan agen yang aman
pada kehamilan. Suatu studi dengan melakukanevaluasi pada 100 kehamilan terkait
dengan terapi heparin memperoleh hasil yaitu terdapat 17 janin yang dilahirkan
dengan efek samping heparin.Sembilan adalah kelahiran prematur, yang memiliki
hasil akhir normal dan lima dikaitkan dengan kondisi komorbiditas yang dirasakan
menjadi faktor risiko komplikasi lainnya. Baik heparin atau warfarin tidak
disekresikan ke dalam ASI dan karena itu tidak menimbulkan efek antikoagulan pada
bayi yang menkonsumsi ASI. Akibatnya, kedua obat tersebut dapat digunakan pada
periode postpartum.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

a. Elektrokardiografi

Pemeriksaan EKG sangat aman dan dapat membantu menjawab pertanyaan


rang spesifik. Kehamilan dapat menyebabkan interpretasi dari variasi gelombang ST-
T lebih sulit dari yang biasa, Depresi segmen ST inferior sering didapati pada wanita
hamil normal. Pergeseran aksis QRS kekiri sering didapati, tetapi deviasi aksis kekiri
yang nyata (-30°) menyatakan adanya kelainan jantung.
b) Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi, termasuk Doppler sangat aman dan tanpa risiko
terhadap ibu dan janin. Pemeriksaan tranesofageal ekokardiografi pada wanita hamil
tidak dianjurkan karena risiko anestesi selama prosedur pemeriksaan radiografi.
Semua pemeriksaan radiografi harus dihindarkan terutama pada awal kehamilan.
Pemeriksaan radiografi mempunyai risiko terhadap organogenesis abnormal pada
janin, atau malignancy pada masa kanak-kanak terutama leukemia. Jika pemeriksaan
sangat diperlukan sebaiknya dilakukan pada kehamilan lanjut, dosis radiasi seminimal
mungkin dan perlindungan terhadap janin seoptimal mungkin.
c) Radionuklide
Beberapa pemeriksaan radionuklide akan mengikat albumin dan tidak akan mencapai
fetus, pemisahan akan terjadi dan eksposure terhadap janin mungkin terjadi.
Sebaiknya pemeriksaan ini dihindarkan. Adakalanya pemeriksaan ventilasi
pulmonal/perfusi scan atau scan perfusi miokard thallium diperlukan saat kehamilan.
Diperkirakan eksposur terhadap fetua rendah.
d) Magnetic Resonance Imaging
Meskipun tidak tersedia informasi mengenai keamanan prosedur MRI pada evaluasi
wanita hamil dengan kehamilan, dilaporkan tidak didapati efek fetal yang merugikan
bila digunakan pada tujuan yang lain. Pemeriksaan ini mesti dihindarkan pada wanita
dengan implantasi pacu jantung atau defibrillator.

e) Pemeriksaan darah

 LED tinggi sekali


 Lekositosis
 Nilai hemoglobin dapat rendah

Anda mungkin juga menyukai