DEFINISI
Kehamilan akan menimbulkan perubahan pada sistem kardiovaskuler. Wanita
dengan penyakit kardiovaskuler dan menjadi hamil, akan terjadi pengaruh timbal
balik yang dapat merugikan kesempatan hidup wanita tersebut.
Pada kehamilan dengan jantung normal, wanita dapat menyesuaikan kerjanya
terhadap perubahan-perubahan secara fisiologis. Perubahan tersebut disebabkan
karena hipervolemia yaitu dimulai sejak kehamilan 8 minggu dan mencapai
puncaknya pada 28-32 minggu lalu menetap. Jantung dan diafragma terdorong ke atas
oleh karena pembesaran rahim. Saat masa hamil kondisi denyut jantung, nadi,
pukulan jantung akan meningkat dan tekanan darah menurun sedikit. Maka dapat
dipahami bahwa kehamilan dapat memperbesar penyakit jantung bahkan dapat
menyebabkan payah jantung (dekompensasi kordis). Frekuensi penyakit jantung
dalam kehamilan berkisar antara 1-4%. Salah satu penyakit jantung yang dapat
muncul yaitu Penyakit jantung rematik (PJR) atau dalam bahasa medisnya Rheumatic
Heart Disease (RHD).
Penyakit jantung reumatik adalah penyakit peradangan sistemik akut atau
kronik yang merupakan suatu reaksi autoimun oleh infeksi Beta Streptococcus
Hemolyticus Grup A yang mekanisme perjalanannya belum diketahui, dengansatu
atau lebih gejala mayor yaitu Poliarthritis migrans akut, Karditis, Koreaminor, Nodul
subkutan dan Eritema marginatum (Lawrence M. Tierney, 2002).
Penyakit jantung rematik (RHD) adalah suatu proses peradangan yang mengenai
jaringan-jaringan penyokong tubuh, terutama persendian, jantung dan pembuluh
darah oleh organisme streptococcus hemolitic-β grup A (Sunoto Pratanu, 2000).
Penyakit jantung rematik (PJR) atau dalam bahasa medisnya rheumatic heart
disease (RHD) adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup jantung
yang bisa berupa penyempitan atau kebocoran, terutama katup mitral sebagai akibat
adanya gejala sisa dari demam rematik.
ETIOLOGI
Penyebab terjadinya penyakit jantung reumatik diperkirakan adalah reaksi
autoimun (kekebalan tubuh) yang disebabkan oleh demam reumatik. Infeksi
streptococcus β hemolitikus grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya
demam reumatik baik demam reumatik serangan pertama maupun demam reumatik
serangan ulang.
Infeksi Streptococcus beta-hemolyticus grup A pada tenggorok selalu mendahului
terjadinya demam rematik, baik pada serangan pertama maupun serangan ulang.
Telah diketahui bahwa dalam hal terjadi demam rematik terdapat beberapa
predisposisi antara lain :
Faktor-faktor lingkungan :
1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk
Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk
terjadinya demam reumatik. Insidens demam reumatik di negara-negara yang sudah
maju, jelas menurun sebelum era antibiotik termasuk dalam keadaan sosial ekonomi
yang buruk sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat,
rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang
menderita sakit sangat kurang; pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk
perawatan kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal ini merupakan faktor-faktor
yang memudahkan timbulnya demam reumatik.
2. Iklim dan geografi
Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak didapatkan
didaerah yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah
tropis pun mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga semula.
Didaerah yang letaknya agak tinggi agaknya insidens demam reumatik lebih tinggi
daripada didataran rendah.
3. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas
bagian atas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat.
MANIFESTASI KLINIS
Perjalanan klinis penyakit demam reumatik / penyakit jantung reumatik dapat
dibagi dalam 4 stadium. yaitu :
Stadium I
Berupa infeksi saluran nafas atas oleh kuman Beta Streptococcus Hemolyticus Grup
A.
Keluhan :
1. Demam
2. Batuk
3. Rasa sakit waktu menelan
4. Muntah
5. Peradangan pada tonsil yang disertai eksudat.
Stadium II
Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi streptococcus dengan
permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode ini berlangsung 1 – 3 minggu,
kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.
Stadium III
Yang dimaksud dengan stadium III ini ialah fase akut demam reumatik, saat ini
timbulnya berbagai manifestasi klinis demam reumatik /penyakit jantung reumatik.
Manifestasi klinis tersebut dapat digolongkan dalam gejala peradangan umum dan
menifesrasi spesifik demam reumatik /penyakit jantung reumatik.
Gejala peradangan umum :
Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa
kelainan jantung / penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak
menunjukkan gejala apa-apa.
Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup
jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pasa fase ini
baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu
dapat mengalami reaktivasi penyakitnya.
Gejala
Dyspnea yang progresif atau orthopnea
Batuk pada malam hari
Hemoptisis
Sinkop
Nyeri dada
Tanda-tanda klinik
Sianosis
Clubbing pada jari-jari
Distensi vena di daerah leher yang menetap
Bising sistolik derajat 3/6 atau lebih
Bising diastolik
Kardiomegali
Aritmia persisten
Terpisahnya bunyi jantung dua yang persisten
Adanya kriteria hipertensi pulmonal
KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada Penyakit Jantung Reumatik (PJR) diantaranya
adalah gagal jantung, pankarditis (infeksi dan peradangan di seluruh bagian jantung),
pneumonitis reumatik (infeksi paru), emboli atau sumbatan pada paru, kelainan katup
jantung, dan infark (kematian sel jantung).
1. Dekompensasi Cordis
Pada umumnya payah jantung pada anak diobati secara klasik yaitu dengan
digitalis dan obat-obat diuretika. Tujuan pengobatan ialah menghilangkan gejala
(simptomatik) dan yang paling penting mengobati penyakit primer.
2. Pericarditis
Peradangan pada pericard visceralis dan parietalis yang bervariasi dari reaksi
radang yang ringan sampai tertimbunnnya cairan dalam cavum pericard.
PENATALAKSANAAN
ANTEPARTUM
Pada wanita dengan resiko WHO kelas I, Resiko mortalitas maternal sangat
rendah, wanita dengan resiko WHO kelas II mempunyai resiko mortalitas maternal
yang rendah sampai sedang, dan direkomendasikan follow up kehamilannya tiap
trisemester. Pada wanita dengan resiko WHO kelas III, ada resiko tinggi akan
komplikasi pada maternal, dan sangat direkomendasikan membutuhkan advis dari
dokter spesialis jantung dan kandungan, sedangkan pada wanita dengan resiko WHO
kelas IV, kehamilan dikontraindikasikan, tetapi bila wanita tersebut hamil dan tidak
mau melakukan terminasi, maka control tiap bulan yang ketat harus dilakukan.
Beberapa kelainan jantung dengan risiko kematian ibu yang tinggi antara lain :
sindroma Eisenmenger, hipertensi pulmonal dengan disfungsi ventrikel kanan dan
sindroma Marfan dengan dilatasi aorta yang signifikan.
1. Peningkatan curah jantung dan volume plasma sebesar 50% terjadi pada awal
trimester ketiga.
2. Fluktuasi volume plasma dan curah jantung terjadi pada masa peripartum.
3. Penurunan tahanan vaskuler sistemik mencapai titik terendah pada trimester kedua
dan meningkat lagi sampai 20% di bawah normal pada akhir kehamilan.
4. Hiperkoagubilitas. Perhatian khusus diberikan pada wanita yang membutuhkan
antikoagulan derivat koumarin sebelum kehamilan.
INTRAPARTUM
Persalinan untuk penderita kelainan jantung idealnya adalah singkat dan bebas nyeri.
Induksi persalinan dilakukan bila serviks sudah matang. Kadang kala penderita
penyakit jantung yang berat memerlukan pemantauan hemodinamik yang invasif
dengan pemasangan kateter arteri dan arteri pulmonalis.1,9
Selama persalinan penderita harus ditopang dengan bantal yang cukup untuk
membantu pernapasan, usahakan tersedianya oksigen yang dapat diberikan secara
intermitten atau terus menerus bila terdapat sesak napas atau sianosis. Kalau perlu ahli
jantung mendampingi proses partus. Sedasi dan analgesia yang cukup dengan morfin
sangat diperlukan. Metode persalinan bila sudah aterm dapat dipercepat dengan
pemecahan ketuban atau pada persalinan pervaginam dengan mempercepat kala II,
forsep atau episiotomi. Cara anastesi dapat dipilih antara regional, spinal, kaudal, atau
pudendal maupun umum.9
Pada kala II, mengedan dengan menafan nafas harus dilarang, karena bertambahnya
curah jantung selanjutnya harus dihindari. Pemakaian forsep sedini mungkin
sebaliknya sangat diperlukan. Pemakaian suntik ergometrin harus dihindarkan karena
bila diberikan secara IV akan menyebabkan kontraksi uterus yang tonik dan
meningkatkan aliran darah balik.9
Pada relaksasi uterus dan perdarahan yang besar lebih aman memberikan oksitosin.
Setelah kala III, harus diperhatikan tanda-tanda dekompensasi atau edema paru karena
saat inilah yang paling rawan pada proses persalinan. Tata laksana gagal jantung akut
berupa : posisi ½ duduk, anastesi kaudal terus menerus, oksigen, digitalis ( sebaiknya
setelah ada indikasi tegas dari kardiologis ) , lakukan observasi yang ketat (
perhatikan tekanan darah, nadi, pernapasan, balans cairan, elektrolit, anemia dan
sebagainya )
7. Ibu tidak boleh mengedan. Persalinan dengan vakum atau forcep rendah.
Sangat penting untuk mencegah kehilangan darah yang berlebihan pada kala III.
Oksitosin sebaiknya diberikan secara infus kontinu untuk menghindari penurunan
tekanan darah yang mendadak. Alkaloid ergot seperti metil ergometrin tidak boleh
dipakai karena obat ini dapat mengakibatkan peningkatan tekanan vena sentral dan
hipertensi sementara.
1. Diuretik
Diuretik dapat digunakan untuk pengobatan gagal jantung kongestif yang tidak dapat
dikontrol dengan retriksi natrium dan merupakan obat lini terdepan untuk pengobatan
hipertensi. Tidak satu diuretik pun merupakan kontra indikasi dan yang paling sering
digunakan adalah golongan diuretik tiazid dan forosemid. Diuretik tidak boleh
digunakan untuk profilaksis terhadap toksemia atau pengobatan terhadap edema
pedis.
2. Obat Inotropik
Digoksin bermanfaat untuk efek baik pada kontraktilitas ventrikel dan pada kontrol di
tingkat atrial fibrilasi. Indikasi penggunaan digitalis tidak berubah pada kehamilan.
Digoksin dan digitoksin dapat melalui plasenta, dan kadar serum pada janin lebih
kurang sama dengan ibu. Digoksin dengan dosis yang sama bila diberikan pada ibu
hamil, akan menghasilkan kadar serum yang lebih rendah bila dibanding diberikan
pada wanita yang tidak hamil. Jika efek yang diinginkan tidak tercapai, maka perlu
diukur kadarnya dalam serum. Digitalis dapat memperpendek masa gestasi dan
kelahiran, karena efeknya pada miometrium sama dengan efek inotropiknya pada
miokardium. Digoxin juga disekresi dalam ASI.
3. Vasodilator
Bila diperlukan pada krisis hipertensi atau untuk mengurangi afterload dan preload
emergensi, nitropruside merupakan obat vasodilator pilihan. Rekomendasi yang
kontroversi telah dibuat karena obat ini sangat efektif, bekerja segera, dan mudah
ditoleransi. Juga efeknya segera menghilang bila penggunaan obat tersebut segera
dihentikan. Namun, nitroprusside natrium harus digunakan hanya ketika semua
intervensi lain telah gagal dan ketika itu sangat penting untuk kesejahteraan ibu.
Bahkan di bawah kondisi, dosis dan durasi terapi harus diminimalkan karena
metabolisme agen ini untuk tiosianat dan sianida, yang dapat mengakibatkan
keracunan sianida janin pada model binatang, akan tetapi tidak menjadi problem yang
signifikan pada manusia.
Hidralazin, nitrogliserin, dan labetalol intravena adalah pilihan lain untuk obat
parenteral. Reduksi afterload kronik untuk pengobatan hipertensi, regurgitasi aotral
atau mitral, atau disfungsi ventrikel selama kehamilan telah didapat dengan calcium
chanel blocker, hidralazin, dan metildopa. Efek yang membahayakan terhadap janin
tidak dilaporkan. ACE inhibitor merupakan kontra indikasi pada kehamilan karena
obat ini menambah risiko untuk terjadinya kelainan pada perkembangan ginjal janin.
Hingga kini, tidak ada data yang melaporkan mengenai penggunaan losartin,
valsartin, dan penghambat angiotensi
Dalam observasi terlihat bahwa penggunaan obat penghambat beta dapat menurunkan
darah ke umbilikus, memulai kelahiran prematur, dan mengakibatkan plasenta yang
kecil serta infark plasenta dan mempunyai potensi untuk menimbulkan bayi berat
badan lahir rendah, sehingga penggunaannya memerlukan perhatian. Sebagian besar
penelitian tidak mendukung hal ini dan obat penghambat beta telah banyak digunakan
pada wanita hamil tanpa efek yang merugikan. Sehingga penggunaannya untuk
indikasi klinis sangat beralasan.
Beta blockers umumnya aman dan efektif selama kehamilan, walaupun mungkin ada
tingkat peningkatan pembatasan pertumbuhan janin ketika mereka diberikan. Sesekali
kasus apnea neonatus, hipotensi, bradikardia, dan hipoglikemia juga telah dilaporkan,
terutama setelah penggunaan jangka panjang dari propanolol. Beta blocker tidak
berhubungan dengan peningkatan risiko kelainan kongenital. Propranolol, labetalol,
atenolol, nadolol, dan metoprolol diekskresikan dalam ASI. Meskipun efek samping
belum dilaporkan, adalah tepat untuk memantau bayi yang baru lahir untuk gejala
blokade beta ketika obat tersebut pernah digunakan.
5. Obat Anti Aritmia
Lidokain merupakan obat lini pertama yang diberikan. Depresi neonatus transien telah
terbukti terjadi bila kadar lidokain darah janin melebihi 2,5 mikrogram/liter. Untuk
itu, direkomendasikan untuk memelihara kadar lidokain darah pada ibu 4
mikrogram/liter, karena kadar pada janin 60% dari kadar pada ibu.
Jika diperlukan obat anti aritmia oral, dapat dimulai dengan kuinidin karena
mempunyai availabilitas jangka panjang. Dan obat ini paling sering digunakan karena
tidak jelas efek yang membahayan pada bayi. Informasi awal mengenai amiodaron
mendukung kemungkinan meningkatnya angka kehilangan janin dan deformitas janin.
6. Anti Koagulan
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Elektrokardiografi
e) Pemeriksaan darah