Anda di halaman 1dari 27

Ujian Kasus Tahap I

Penyakit Jantung Rematik

Nama : dr. Siswanto


NIM : 2150302213
Tanggal Presentasi : 08 Maret 2023
Pembimbing : dr. Dinda Aprilia, Sp.PD-KEMD, FINASIM

Program Studi Penyakit Dalam Program Spesialis


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
RSUP Dr. M. Djamil Padang
2023
Penyakit Jantung Rematik

Abstrak
Pendahuluan: Penyakit jantung reumatik (Rheumatic Heart Disease) merupakan penyakit jantung
didapat yang sering ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Penyakit jantung reumatik (PJR)
merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya, terutama
mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah
menyerang katup pulmonal. Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam
reumatik (DR). Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi
setelah infeksi Streptococcus grup A pada individu yang mempunyai faktor predisposisi. Keterlibatan
kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi endokardium dan miokardium melalui suatu
proses ’autoimmune’ yang menyebabkan kerusakan jaringan. Diagnosis demam rematik dibuat
dengan menggunakan kriteria klinis (kriteria Jones) dan dengan mengeksklusi diagnosis banding
lainnya. Kriteria Jones pertama kali ditetapkan pada tahun 1944 dan sejak itu telah mengalami
banyak modifikasi, revisi, dan pembaruan, terakhir pada tahun 2015. Kriteria dibagi menjadi
manifestasi mayor dan minor. Laporan Kasus: Dilaporkan satu kasus pasien laki-laki usia 18 tahun
dengan diagnosis Demam Rematik Rekuren dengan Penyakit Jantung Rematik dan Scarlet Fever.
Pada pasien didapatkan demam tinggi terus-menerus, nyeri tenggorok, nyeri sendi, dan bercak merah
pada kulit di hampir seluruh tubuh. Nyeri tenggorok sebelumnya sudah pernah dan sering dirasakan
sejak pasien masih anak-anak. Pada pemeriksaan fisik ditemukan suhu 39,5ºC, pada kulit tampak
makulopapular eritema generalisata berukuran milier hingga plakat, pada faring hiperemis, pada lidah
tampak strawberry tongue, dan pada jantung terdengar murmur pansistolik. Hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukkan leukositosis dengan eosinofilia, peningkatan LED, CRP positif, dan
peningkatan titer ASTO. Pada pemeriksaan EKG ditemukan adanya hipertrofi ventrikel kiri (LVH).
Pada pemeriksaan rontgen toraks didapatkan kesan kardiomegali. Pada pemeriksaan ekokardiografi
didapatkan kesan severe mitral regurgitation, mild tricuspid regurgitation, dilatasi atrium kiri, dan
hipertrofi ventrikel kiri, dengan EF 70%. Pada pemeriksaan Jones Criteria 2015 memenuhi kriteria
diagnosis demam rematik rekuren dengan penyakit jantung rematik. Pengobatan diberikan sesuai
penyebab, yaitu dengan pemberian injeksi benzathine penicillin sebagai prevensi primer dan prevensi
sekunder pada pasien. Kesimpulan: Sesuai dengan gejala dan tanda yang didapatkan pada pasien
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien ini mengalami kondisi
penyakit jantung rematik asimtomatis atau disebut juga dengan clinical RHD. Dikatakan sebagai
clinical RHD karena tidak disertai gejala atau tanda kegagalan jantung. Meskipun muncul dengan
tanpa gejala ataupun tanda kegagalan jantung, penyakit jantung rematik pada pasien masih bisa
berkembang menjadi berat, sehingga perlu diberikan pengobatan prevensi primer dan sekunder pada
pasien guna mencegah terjadinya demam rematik rekuren atau berulang dan mencegah progresivitas
kerusakan katup jantung.
Kata Kunci: Penyakit jantung rematik, rheumatic heart disease, demam rematik rekuren, scarlet
fever, kriteria Jones

PENDAHULUAN kejadian PJR yang 15 juta jiwa. Penderita PJR


Penyakit jantung reumatik (PJR) akan berisiko untuk kerusakan jantung akibat
merupakan kelainan katup jantung yang infeksi berulang dari DRA dan memerlukan
menetap akibat demam reumatik akut pencegahan. Morbiditas akibat gagal jantung,
sebelumnya. Penyakit ini terutama mengenai stroke, dan endokarditis sering terjadi pada
katup mitral (75%), aorta (25%), jarang penderita PJR.1
mengenai katup tricuspid dan tidak pernah Di seluruh dunia DRA diperkirakan
menyerang katup pulmonal.1 terjadi pada 5-30 juta anak-anak dan dewasa
Demam rematik akut (DRA) merupakan muda. Sekitar 90.000 akan meninggal setiap
penyebab utama penyakit jantung didapat pada tahunnya. Mortalitas penyakit ini di dunia
anak-anak dan dewasa muda di negara adalah sebesar 1-10%.1
berkembang dengan keadaan sosioekonomi EPIDEMIOLOGI
rendah dan lingkungan buruk. Keterlibatan Semua individu dapat diserang oleh
jantung menjadi komplikasi terberat dari DRA demam rematik akut (DRA), tetapi paling sering
dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas ditemukan pada anak-anak (5-15 tahun) dan
yang signifikan. Dengan 60% dari 470.000 dewasa muda. Pada suatu penelitian didapatkan
kasus DRA per tahun akan menambah jumlah di negara Eropa dan Amerika kasus DRA dan

1
PJR menurun, sedangkan di negara tropis dan yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease
subtropis terlihat adanya peningkatan yang yakni kerusakan katup jantung akan
agresif seperti adanya kegawatan karditis dan menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode
payah jantung yang meningkat.2 yang sering dan berulang penyakit ini akan
Insiden terbanyak terjadi pada dewasa menyebabkan penebalan pada katup,
muda dan terjadinya kelainan katup adalah pembentukan skar (jaringan parut), kalsifikasi
sebagai akibat kekurangmampuan untuk dan dapat berkembang menjadi valvular
melakukan pencegahan sekunder. DRA adalah stenosis.1
penyebab utama terjadinya penyakit jantung Sebagai dasar dari rheumatic heart
untuk usia 5-30 tahun. DRA adalah penyebab disease, penyakit rheumatic fever dalam
utama kematian penyakit jantung untuk usia di patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa
bawah 45 tahun, juga dilaporkan 25-40% faktor. Adapun beberapa faktor yang berperan
penyakit jantung disebabkan oleh PJR untuk dalam patogenesis penyakit rheumatic fever
semua umur.1 antara lain faktor organisme, faktor host dan
Berdasarkan pola etiologi penyakit faktor sistem imun.
jantung yang dirawat di RSUP M. Djamil Bakteri Streptococcus beta hemolyticus
Padang pada tahun 1973-1977, didapatkan grup A sebagai organisme penginfeksi memiliki
31,4% pasien demam rematik/penyakit jantung peran penting dalam patogenesis rheumatic
rematik pada usia 10-40 tahun dengan mortalitas fever. Bakteri ini sering berkolonisasi dan
12,4%. Risiko kekambuhan kembali adalah 50- berproliferasi di daerah tenggorokan, dimana
60%.1 bakteri ini memiliki supra-antigen yang dapat
ETIOLOGI berikatan dengan major histocompatibility
Etiologi terpenting dari penyakit jantung complex kelas 2 (MHC kelas 2) yang akan
reumatik adalah demam reumatik (DR). Demam berikatan dengan reseptor sel T yang apabila
reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen teraktivasi akan melepaskan sitokin dan menjadi
multisistem yang terjadi setelah infeksi sitotosik. Supra-antigen bakteri Streptococcus
Streptococcus grup A pada individu yang beta hemolyticus grup A yang terlibat pada
mempunyai faktor predisposisi. Keterlibatan patogenesis rheumatic fever tersebut adalah
kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh protein M yang merupakan eksotoksin pirogenik
inflamasi endokardium dan miokardium melalui Streptococcus. Selain itu, bakteri Streptococcus
suatu proses ’autoimmune’ yang menyebabkan beta hemolyticus grup A juga menghasilkan
kerusakan jaringan. Inflamasi yang berat dapat produk ekstraseluler seperti streptolisin,
melibatkan perikardium.1 streptokinase, DNA-ase, dan hialuronidase yang
PATOGENESIS mengaktivasi produksi sejumlah antibodi
Streptococcus beta hemolyticus grup A autoreaktif.6 Antibodi yang paling sering adalah
dapat menyebabkan penyakit supuratif misalnya antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya untuk
faringitis, impetigo, selulitis, miositis, menetralisir toksin bakteri tersebut. Namun
pneumonia, sepsis, dan penyakit non supuratif, secara simultan upaya proteksi tubuh ini juga
misalnya demam rematik dan glomerulonefritis menyebabkan kerusakan patologis jaringan
akut. Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi tubuh sendiri. Tubuh memiliki struktur yang
Streptococcus beta hemolyticus grup A pada mirip dengan antigen bakteri Streptococcus beta
faring menghasilkan respon inflamasi akut yang hemolyticus grup A sehingga terjadi reaktivitas
berlangsung 3-5 hari ditandai dengan demam, silang antara epitop organisme dengan host yang
nyeri tenggorok, malaise, pusing, dan akan mengarahkan pada kerusakan jaringan
leukositosis. Pasien masih tetap terinfeksi tubuh.1,2
selama berminggu-minggu setelah gejala Kemiripan atau mimikri antara antigen
faringitis menghilang, sehingga menjadi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A
reservoir infeksi bagi orang lain. Kontak dengan jaringan tubuh yang dikenali oleh
langsung per oral atau melalui sekret pernafasan antibodi adalah: 1) Urutan asam amino yang
dapat menjadi media trasnmisi penyakit. Hanya identik, 2) Urutan asam amino yang homolog
faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A namun tidak identik, 3) Epitop pada molekul
saja yang dapat mengakibatkan atau yang berbeda seperti peptida dan karbohidrat
1
mengaktifkan kembali demam rematik. atau antara DNA dan peptida. Afinitas antibodi
Penyakit jantung rematik merupakan reaksi silang dapat berbeda dan cukup kuat
manifestasi demam rematik berkelanjutan yang untuk dapat menyebabkan sitotoksik dan
melibatkan kelainan pada katup dan menginduksi sel–sel antibodi reseptor
endokardium. Lebih dari 60% penyakit permukaan.1,2
rheumatic fever akan berkembang menjadi Epitop yang berada pada dinding sel,
rheumatic heart disease. Adapun kerusakan membran sel, dan protein M dari

2
streptococcus beta hemolyticus grup A
memiliki struktur imunologi yang sama
dengan protein miosin, tropomiosin, keratin,
aktin, laminin, vimentin, dan N-
asetilglukosamin pada tubuh manusia. Molekul
yang mirip ini menjadi dasar dari reaksi
autoimun yang mengarah pada terjadinya
rheumatic fever. Hubungan lainnya dari laminin
yang merupakan protein yang mirip miosin dan
protein M yang terdapat pada endotelium
jantung dan dikenali oleh sel T anti miosin dan
anti protein M.1
Di samping antibodi terhadap N-
asetilglukosamin dari karbohidrat,
Streptococcus beta hemolyticus grup A
mengalami reaksi silang dengan jaringan katup
jantung yang menyebabkan kerusakan
valvular.1,2
Kelainan pada valvular yang tersering
adalah regurgitasi katup mitral (65-70%
Diagnosis demam rematik episode
kasus). Perubahan struktur katup diikuti dengan
pertama membutuhkan konfirmasi dari 2 kriteria
pemendekan dan penebalan korda tendinea
mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
menyebabkan terjadinya insufesiensi katup
minor, bersama dengan bukti infeksi
mitral. Karena peningkatan volume yang masuk
streptokokus β-hemolitik grup A. Demam
dan proses inflamasi ventrikel kiri akan
rematik juga dapat didiagnosis walaupun kriteria
membesar akibatnya atrium kiri akan berdilatasi
Jones tidak terpenuhi, dalam kasus korea
akibat regurgitasi darah. Peningkatan tekanan
terisolasi atau karditis dengan onset yang
atrium kiri ini akan menyebabkan kongesti paru
berbahaya, perkembangan yang lama, dan
diikuti dengan gagal jantung kiri. Apabila
perkembangan lesi yang tidak mencolok, setelah
kelainan pada mitral berat dan berlangsung
penyebab lain telah disingkirkan.5
lama, gangguan jantung kanan juga dapat
Dalam kriteria Jones 2015 yang direvisi,
terjadi.3
populasi berisiko rendah, sedang, dan tinggi
DIAGNOSIS
diidentifikasi. Populasi risiko rendah adalah
Diagnosis demam rematik dibuat dengan
populasi dengan kejadian demam rematik akut ≤
menggunakan kriteria klinis (kriteria Jones) dan
2/100.000 anak usia sekolah per tahun atau
dengan mengeksklusi diagnosis banding
penyakit jantung rematik didiagnosis pada ≤
lainnya. Kriteria Jones pertama kali ditetapkan
1/1000 orang pada usia berapapun selama satu
pada tahun 1944 dan sejak itu telah mengalami
tahun. Populasi risiko sedang-tinggi adalah
banyak modifikasi, revisi, dan pembaruan,
terakhir pada tahun 2015. Kriteria dibagi populasi dengan kejadian demam rematik akut >
2/100.000 anak usia sekolah per tahun atau
menjadi manifestasi mayor dan minor.4
Revisi Kriteria Jones tahun 2015 prevalensi penyakit jantung rematik pada semua
dilakukan oleh American Heart Association usia > 1/1.000 orang per tahun.5
Diagnosis demam rematik pada seluruh
sebagai tanggapan atas data yang muncul
populasi dengan bukti infeksi Streptokokus b-
mengenai perbedaan presentasi demam rematik
antara kohort risiko rendah dan sedang-tinggi. hemolitik grup A sebelumnya membutuhkan
Risiko sedang-tinggi didefinisikan berasal dari konfirmasi dari dua kriteria mayor atau satu
kriteria mayor dan dua kriteria minor untuk
populasi dengan kejadian demam rematik >2 per
episode pertama dari demam rematik. Diagnosis
100.000 anak usia sekolah per tahun atau
prevalensi penyakit jantung rematik semua usia episode penyakit selanjutnya (berulang) atau
>1 per 1.000 orang per tahun. Pada populasi rekuren membutuhkan konfirmasi dari dua
risiko sedang-tinggi, monoartritis bisa kriteria mayor atau satu mayor dan dua kriteria
menggantikan poliartritis yang lebih klasik minor atau tiga kriteria minor.4,5
dalam memenuhi sebagai salah satu kriteria PENATALAKSANAAN
Pengobatan lini pertama penyakit jantung
mayor. Perubahan ini dimaksudkan untuk
meningkatkan sensitivitas kriteria pada area rematik dan demam rematik adalah dengan
dimana demam rematik tetap endemik dan mengeradikasi agen penyebab, yaitu SBHGA.
mempertahankan spesifisitas tinggi pada area Antibiotik pilihannya adalah penicillin G
benzathine 1,2 juta IU intramuskular untuk
berisiko rendah.4

3
pasien dengan berat badan >20 kg atau 600.000 Pada pemeriksaan Jones Criteria 2015
IU untuk pasien dengan berat badan <20kg. 5,6 memenuhi kriteria diagnosis demam rematik
Adapun beberapa antibiotik yang dapat rekuren dengan penyakit jantung rematik,
digunakan sebagai alternatifnya: dimana pada pasien memenuhi syarat kriteria
 Pasien yang tidak dapat menerima injeksi mayor dan minor, yaitu dua kriteria mayor atau
intramuskular karena penyakit hemoragik, bisa satu kriteria mayor dan dua kriteria minor, atau
diberikan penicillin tiga kriteria minor. Kriteria mayor pada pasien
V/phenoxymethylpenicillin oral 500 mg, dua ini adalah karditis dan poliartralgia. Kriteria
kali sehari selama 10 hari.5,6 minor pada pasien ini adalah poliartralgia,
 Pasien yang alergi terhadap penicillin dan demam, dan peningkatan LED. Bukti infeksi
derivatnya bisa diberikan Cefalexin, Streptococcus grup A sebelumnya pada pasien
Cefadroxyl, Erythromycin, Azithromycin, dan ini adalah adanya peningkatan titer ASTO.
Clarithromycin.5,6 Sesuai dengan gejala dan tanda yang
memenuhi kriteria Jones 2015 melalui
LAPORAN KASUS anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
Seorang pasien laki-laki berusia 18 tahun penunjang, pasien ini didiagnosis dengan demam
datang dengan keluhan utama demam sejak 10 rematik rekuren dengan penyakit jantung
hari sebelum masuk rumah sakit. Demam tinggi, rematik dan scarlet fever.
terus-menerus, disertai menggigil, dan tidak Pasien diterapi dengan pemberian terapi
berkeringat banyak. Nyeri tenggorok sejak 14 simtomatik dan terapi kausatif berupa injeksi
hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri semakin antibiotik benzathine penicillin 1,2 juta IU IM
memberat saat menelan. Nyeri tenggorok single dose, yang merupakan pengobatan utama
sebelumnya sudah pernah dan sering dirasakan untuk mengeradikasi penyebab penyakit ini
sejak pasien masih anak-anak. Nyeri sendi sejak sebagai prevensi primer sekaligus prevensi
10 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri sekunder yang dapat diberikan setiap 4 minggu
terutama dirasakan pada sendi tulang belakang, sekali.
sendi panggul, dan sendi lutut. Penurunan nafsu
makan sejak 10 hari sebelum masuk rumah DISKUSI
sakit, pasien makan 1-2 kali sehari dan hanya Penegakan diagnosis demam rematik
menghabiskan ½ porsi makanan saja. Bercak rekuren dengan penyakit jantung rematik dan
merah pada hampir seluruh tubuh sejak 10 hari scarlet fever berdasarkan anamnesis,
yang lalu. Bercak merah awalnya muncul pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan peninjang.
pertama kali pada perut, kemudian menyebar ke Diagnosis demam rematik akut dengan penyakit
dada, punggung, lengan, dan tungkai. Pasien jantung rematik pada pasien ini menggunakan
memiliki kebiasaan jarang mencuci tangan revisi kriteria Jones 2015 oleh American Heart
sebelum makan ataupun minum. Association (AHA), dimana pada pasien ini
Pada pemeriksaan fisik mata ditemukan memenuhi syarat kriteria mayor dan minor,
ditemukan suhu 39,5ºC, pada kulit tampak yaitu dua kriteria mayor, satu kriteria mayor dan
makulopapular eritema generalisata berukuran dua kriteria minor, dan tiga kriteria minor, serta
milier hingga plakat pada dada, perut, lengan adanya bukti infeksi Streptococcus grup A
dan tungkai, pada faring tampak hiperemis, pada sebelumnya. Kriteria mayor pada kasus ini
lidah tampak strawberry tongue, dan pada adalah karditis dan poliartralgia. Kriteria minor
jantung terdengar murmur pansistolik grade 3-4 pada kasus ini adalah poliartralgia, demam, dan
dengan punctum maksimum di apeks setinggi peningkatan LED. Bukti infeksi Streptococcus
RIV V LMCS, menjalar ke aksila setinggi RIC grup A sebelumnya pada kasus ini adalah
V LMAS. adanya peningkatan titer ASTO. 7,8
Pada pemeriksaan laboratorium Hasil pemeriksaan penunjang
ditemukan leukositosis dengan eosinofilia ekokardiografi pada kasus ini didapatkan
dengan nilai leukosit 15.160/mm3 dan eosinofil kesimpulan severe mitral regurgitation, dilatasi
9%, peningkatan LED (85 mm/jam), CRP atrium kiri, dan mild tricuspid regurgitation,
positif, dan peningkatan titer ASTO (400 dengan EF 70%. Dimana hasil ekokardiografi
IU/ml). ini mendukung diagnosis penyakit jantung
Pada pemeriksaan EKG ditemukan rematik pada pasien ini, yang termasuk ke dalam
adanya hipertrofi ventrikel kiri (LVH). Pada penyakit jantung rematik klinis (clinical RHD).
pemeriksaan USG abdomen ditemukan adanya Berdasarkan AHA 2020, clinical RHD adalah
cholelithiasis. Pada pemeriksaan ekokardiografi semua kasus RHD yang memiliki tanda klinis
didapatkan kesan severe mitral regurgitation, atau gejala termasuk murmur jantung yang
mild tricuspid regurgitation, dilatasi atrium kiri, didiagnosis baik melalui skrining ekokardiografi
dan hipertrofi ventrikel kiri, dengan EF 70%. atau evaluasi klinis.9

4
RHD yang diderita pada kasus ini tidak yang sama setiap 4 minggu sekali selama 10
memiliki gejala (asymptomatic RHD). Gejala tahun atau sampai usia 40 tahun. Prevensi
klinis utama RHD adalah sesak napas saat sekunder ini bertujuan untuk mencegah
beraktivitas, istirahat, atau berbaring, terjadinya kekambuhan atau demam rematik
pembengkakan tubuh, jantung berdebar-debar, berulang, sehingga dapat mencegah kerusakan
dan nyeri dada. Tanda klinis yang dapat katup kumulatif dengan perkembangan dan
ditemukan adalah bising jantung dan perubahan progresivitas RHD.3,4,6,12
pada bunyi jantung, tanda overload cairan, dan Meskipun demikian, pemberian
pembesaran ruang jantung. Akan tetapi, dapat antibiotik penicillin perlu perhatian dan
juga tidak ditemukan gejala, dimana terjadi pengawasan ketat, dimana penicillin merupakan
perubahan hemodinamik yang terkompensasi, antibiotik yang paling sering menimbulkan
sehingga memungkinkan terjadinya periode reaksi hipersensitivitas dari ringan sampai
asimtomatik dalam waktu yang lama, yang berat.13,14
disebut sebagai asymptomatic RHD, yang terdiri Pada kasus ini, penyakit jantung rematik
dari latent RHD, clinical RHD, dan subclinical yang dialami pasien belum terjadi adanya tanda-
RHD.9 tanda kegagalan jantung, sehingga hanya
Selain itu, didiagnosis pada kasus ini diberikan terapi prevensi primer dan prevensi
dengan scarlet fever, yang ditegakkan sekunder, serta pasien memiliki prognosis yang
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan baik, jika didukung dengan prevensi sekunder
pemeriksaan penunjang. Anamnesis yang yang baik. Peran edukasi sangat diperlukan
didapatkan berupa adanya demam disertai karena pengobatan berkelanjutan pada pasien ini
menggigil, nyeri tenggorok, dan bercak merah berupa penjelasan pemberian injeksi obat
pada kulit. Pemeriksaan fisik yang ditemukan penicillin yang akan berlanjut dalam waktu yang
berupa febris dengan suhu 39,5ºC, panjang, yaitu setiap 4 minggu sekali selama
makulopapular eritema pada hampir seluruh minimal 10 tahun dan paling lama sampai
tubuh, faring dan tonsil yang hiperemis, pasien berusia 40 tahun. Tindakan pembedahan
strawberry tongue, dan pembesaran KGB. berupa perbaikan katup jantung ataupun
Pemeriksaan penunjang ditemukan leukositosis, penggantian katup jantung merupakan hal yang
eosinofilia, dan titer ASTO yang meningkat. dapat dilakukan pada kondisi RHD yang
Diagnosis scarlet fever sebagian besar memenuhi kriteria indikasi operasi, dimana pada
didasarkan pada presentasi klinis. Oleh karena pasien ini, belum memiliki kriteria yang
scarlet fever dapat muncul dengan berbagai memenuhi untuk dilakukan tindakan
variasi tingkat keparahan, sulit untuk pembedahan.3,4,6,9,15
mendiagnosis pada tahap awal. Durasi demam
yang lama (>38,5ºC) dan adanya takikardia, DAFTAR PUSTAKA
ditambah dengan penyebaran ruam merah pada 1. Leman S. Demam rematik dan penyakit
kulit, menghasilkan diagnosis scarlet fever yang jantung rematik. Dalam: Sudoyo AW,
sesuai.10 Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
Terjadinya demam rematik rekuren S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th
dengan penyakit jantung rematik dan scarlet Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
fever secara bersamaan pada kasus ini, bisa Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
terjadi, mengingat penyebab dari penyakit- Universitas Indonesia. 2006; 1575-1579.
penyakit ini adalah satu agen penyebab yang 2. Vahanian A, Beyersdorf F, Praz F, et al.
sama, yaitu Streptococcus beta hemolyticus grup ESC/EACTS guidelines for the management
A (SBHGA).11 of valvular heart disease. European Heart
Antibiotik yang diberikan pada pasien ini Journal. 2021; 1-72.
sudah tepat, yaitu diberikan Benzathine 3. Bowen A, Currie B, Katzenellenbogen J, et
Penicillin 1.200.000 IU IM Single Dose. al. The 2020 Australian guidelines for
Pemberian antibiotik ini sebagai pengobatan prevention, diagnosis and management of
pilihan utama untuk mengeradikasi agen acute rheumatic fever and rheumatic heart
penyebab penyakit ini, yaitu Streptococcus beta disease 3rd edition. Menzies School of Health
hemolyticus grup A (SBHGA). Pengobatan ini Research. 2020.
merupakan prevensi primer dalam salah satu 4. Carapetis JR, Beaton A, Cunningham MW,
manajemen penyakit jantung rematik, yang et al. Acute rheumatic fever and rheumatic
bertujuan untuk menghentikan (eradikasi) heart disease. Nat Rev Dis Primers. 2018; 2
infeksi SBHGA yang menyebabkan demam (15084): 1-57.
rematik. Selain itu, pasien juga direncanakan 5. Szczygielska I, Hernik E, Kołodziejczyk B,
untuk dilakukan prevensi sekunder, yaitu et al. Rheumatic fever-new diagnostic
pemberian penicillin profilaksis dengan dosis criteria. Reumatologia. 2018; 56 (1): 37-41.

5
6. Ralph AP, Currie BJ. Therapeutics for
rheumatic fever and rheumatic heart disease.
Aust Prescr. 2022; 45: 104-12.
7. Gewitz MH, Baltimore RS, Tani LY, et al.
Revision of the Jones criteria for the
diagnosis of acute rheumatic fever in the era
of Doppler echocardiography: A scientific
statement from the American Heart
Association. Circulation. 2015; 131: 1806-
1818.
8. Paotonu DS, Beaton A, Raghu A, et al.
Acute rheumatic fever and rheumatic heart
disease. National Library Medicine. 2017; 1-
43.
9. Kumar RK, Antunes MJ, Beaton A, et al.
Contemporary Diagnosis and Management
of rheumatic heart disease: Implications for
closing the gap: A scientific statement from
the American Heart Association. Circulation.
2020; 142: 337-57.
10. Basetti S, Hodgson J, Rawson TM, et al.
Scarlet fever: A guide for general
practitioners. London Journal of Primary
Care. 2017; 9 (5): 77–79.
11. Pardo S, Perera TB. Scarlet fever. National
Library of Medicine. 2022: 1-6.
12. Auala T, Zavale BG, Mbakwem AC, et al.
Acute rheumatic fever and rheumatic heart
disease: Highlighting the role of group A
streptococcus in the global burden of
cardiovascular disease. Pathogens. 2022; 11
(496): 1-12.
13. Felix MM, Aun MV, Menezes UP, et al.
Allergy to penicillin and betalactam
antibiotics. einstein. 2021; 19: 1-13.
14. Estrada AG, Radojicic C. Penicillin allergy:
A practical guide for clinicians. Cleveland
Clinic Journal of Medicine. 2015; 82 (5);
295-300.
15. Heart Foundation of New Zealand. New
Zealand guidelines for rheumatic Fever:
Diagnosis, management, and secondary
prevention of acute rheumatic fever and
rheumatic heart disease. Heart Foundation of
New Zealand. 2014.

6
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Penyakit jantung reumatik (Rheumatic Heart Disease) merupakan penyakit
jantung didapat yang sering ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Penyakit
jantung reumatik (PJR) merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat
demam reumatik akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta
(25%), jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup
pulmonal. Penyakit jantung reumatik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi
atau keduanya.1

1.2 Etiologi
Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam reumatik
(DR). Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang
terjadi setelah infeksi Streptococcus grup A pada individu yang mempunyai faktor
predisposisi. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi
endokardium dan miokardium melalui suatu proses ’autoimmune’ yang
menyebabkan kerusakan jaringan. Inflamasi yang berat dapat melibatkan
perikardium. Valvulitis merupakan tanda utama reumatik karditis yang paling
banyak mengenai katup mitral (76%), katup aorta (13%), dan katup mitral dan
katup aorta (97%). Insidens tertinggi ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun.1

1.3 Epidemiologi
Semua individu dapat diserang oleh demam rematik akut tetapi paling sering
ditemukan pada anak-anak (5-15 tahun) dan dewasa muda. Pada suatu penelitian
didapatkan di negara Eropa dan Amerika kasus DR dan PJR menurun, sedangkan di
negara tropis dan subtropis terlihat adanya peningkatan yang agresif seperti adanya
kegawatan karditis dan payah jantung yang meningkat.2
Insiden terbanyak terjadi pada anak muda dan terjadinya kelainan katup
adalah sebagai akibat kekurang mampuan untuk melakukan pencegahan
sekunder. DR adalah penyebab utama terjadinya penyakit jantung untuk usia 5-30

7
tahun. DR adalah penyebab utama kematian penyakit jantung untuk usia dibawah
45 tahun, juga dilaporkan 25-40 % penyakit jantung disebabkan oleh PJR untuk
semua umur.1
Berdasarkan pola etiologi penyakit jantung yang dirawat di RSUP M. Djamil
padang pada tahun 1973-1977 didapatkan 31,4% pasien demam rematik/penyakit
jantung rematik pada usia 10-40 tahun dengan mortalitas 12,4%. Risiko
kekambuhan kembali adalah 50-60%.1

1.4 Patogenesis
Streptococcus beta hemolyticus grup A (SBHGA) dapat menyebabkan
penyakit supuratif misalnya faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia,
sepsis, dan penyakit non supuratif, misalnya demam rematik dan glomerulonefritis
akut. Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi SBHGA pada faring menghasilkan respon
inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari ditandai dengan demam, nyeri tenggorok,
malaise, pusing, dan leukositosis. Pasien masih tetap terinfeksi selama berminggu-
minggu setelah gejala faringitis menghilang, sehingga menjadi reservoir infeksi
bagi orang lain. Kontak langsung per oral atau melalui sekret pernafasan dapat
menjadi media trasnmisi penyakit. Hanya faringitis SBHGA saja yang dapat
mengakibatkan atau mengaktifkan kembali demam rematik.1
Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik
berkelanjutan yang melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih
dari 60% penyakit rheumatic fever akan berkembang menjadi rheumatic heart
disease (RHD). Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada RHD yakni kerusakan
katup jantung akan menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang sering dan
berulang penyakit ini akan menyebabkan penebalan pada katup, pembentukan skar
(jaringan parut), kalsifikasi dan dapat berkembang menjadi valvular stenosis.1
Sebagai dasar dari RHD, penyakit rheumatic fever dalam patogenesisnya
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor yang berperan dalam
patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain faktor organisme, faktor host dan
faktor sistem imun.

8
Bakteri SBHGA sebagai organisme penginfeksi memiliki peran penting
dalam patogenesis rheumatic fever. Bakteri ini sering berkolonisasi dan
berproliferasi di daerah tenggorokan, dimana bakteri ini memiliki supra-antigen
yang dapat berikatan dengan major histocompatibility complex kelas 2 (MHC kelas
2) yang akan berikatan dengan reseptor sel T yang apabila teraktivasi akan
melepaskan sitokin dan menjadi sitotosik. Supra-antigen bakteri SBHGA yang
terlibat pada patogenesis rheumatic fever tersebut adalah protein M yang
merupakan eksotoksin pirogenik Streptococcus. Selain itu, bakteri SBHGA juga
menghasilkan produk ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNA-ase, dan
hialuronidase yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif. 6 Antibodi
yang paling sering adalah antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya untuk
menetralisir toksin bakteri tersebut. Namun secara simultan upaya proteksi tubuh
ini juga menyebabkan kerusakan patologis jaringan tubuh sendiri. Tubuh memiliki
struktur yang mirip dengan antigen bakteri SBHGA sehingga terjadi reaktivitas
silang antara epitop organisme dengan host yang akan mengarahkan pada
kerusakan jaringan tubuh.1,2
Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri SBHGA dengan jaringan
tubuh yang dikenali oleh antibodi adalah: 1) Urutan asam amino yang identik, 2)
Urutan asam amino yang homolog namun tidak identik, 3) Epitop pada molekul
yang berbeda seperti peptida dan karbohidrat atau antara DNA dan peptida. Afinitas
antibodi reaksi silang dapat berbeda dan cukup kuat untuk dapat menyebabkan
sitotoksik dan menginduksi sel–sel antibodi reseptor permukaan.1,2
Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M
dari SBHGA memiliki struktur imunologi yang sama dengan protein miosin,
tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan N- asetilglukosamin pada tubuh
manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar dari reaksi autoimun yang
mengarah pada terjadinya rheumatic fever. Hubungan lainnya dari laminin yang
merupakan protein yang mirip miosin dan protein M yang terdapat pada endotelium
jantung dan dikenali oleh sel T anti miosin dan anti protein M.1

9
Di samping antibodi terhadap N-asetilglukosamin dari karbohidrat, SBHGA
mengalami reaksi silang dengan jaringan katup jantung yang menyebabkan
kerusakan valvular.1,2
Kelainan pada valvular yang tersering adalah regurgitasi katup mitral
(65-70 % kasus). Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan
penebalan korda tendinea menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral.
Karena peningkatan volume yang masuk dan proses inflamasi ventrikel kiri akan
membesar akibatnya atrium kiri akan berdilatasi akibat regurgitasi darah.
Peningkatan tekanan atrium kiri ini akan menyebabkan kongesti paru diikuti
dengan gagal jantung kiri. Apabila kelainan pada mitral berat dan berlangsung
lama, gangguan jantung kanan juga dapat terjadi.3

1.5 Diagnosis
Diagnosis demam rematik dibuat dengan menggunakan kriteria klinis
(kriteria Jones) dan dengan mengeksklusi diagnosis banding lainnya. Kriteria Jones
pertama kali ditetapkan pada tahun 1944 dan sejak itu telah mengalami banyak
modifikasi, revisi, dan pembaruan, terakhir pada tahun 2015. Kriteria dibagi
menjadi manifestasi mayor dan minor.4
Revisi Kriteria Jones tahun 2015 dilakukan oleh American Heart Association
sebagai tanggapan atas data yang muncul mengenai perbedaan presentasi demam
rematik antara kohort risiko rendah dan sedang-tinggi. Risiko sedang-tinggi
didefinisikan berasal dari populasi dengan kejadian demam rematik >2 per 100.000
anak usia sekolah per tahun atau prevalensi penyakit jantung rematik semua usia >1
per 1.000 orang per tahun. Pada populasi risiko sedang-tinggi, monoartritis bisa
menggantikan poliartritis yang lebih klasik dalam memenuhi sebagai salah satu
kriteria mayor. Perubahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan sensitivitas kriteria
pada area dimana demam rematik tetap endemik dan mempertahankan spesifisitas
tinggi pada area berisiko rendah.4

10
1.6 Pengobatan
Pengobatan lini pertama PJR dan DR adalah dengan mengeradikasi agen
penyebab, yaitu SBHGA. Antibiotik pilihannya adalah penicillin G benzathine
1,2juta IU intramuskular untuk pasien dengan berat badan >20 kg atau 600.000 IU
untuk pasien dengan berat badan <20kg.5,6 Adapun antibioltik alternatifnya:
 Pasien yang tidak dapat menerima injeksi intramuskular karena penyakit
hemoragik, bisa diberikan penicillin V/phenoxymethylpenicillin oral 500 mg,
dua kali sehari selama 10 hari.5,6
 Pasien yang alergi terhadap penicillin dan derivatnya bisa diberikan Cefalexin,
Cefadroxyl, Erythromycin, Azithromycin, dan Clarithromycin.5,6

11
BAB II
ILUSTRASI KASUS

Telah dirawat seorang pasien laki-laki berusia 18 tahun di bangsal Penyakit


Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 23 Januari 2023 pukul 21.00 WIB
dengan:

Anamnesis (Autoanamnesis dan Alloanamnesis)


Keluhan Utama
Demam sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang


 Demam sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam tinggi, terus-menerus,
disertai menggigil, dan tidak berkeringat banyak.
 Nyeri tenggorok sejak 14 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri semakin
memberat saat menelan. Nyeri tenggorok sebelumnya sudah pernah dan sering
dirasakan sejak pasien masih anak-anak.
 Nyeri sendi sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri terutama dirasakan
pada sendi tulang belakang, sendi panggul, dan sendi lutut.
 Penurunan nafsu makan sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien makan
1-2 kali sehari dan hanya menghabiskan ½ porsi makanan saja.
 Bercak merah pada hampir seluruh tubuh sejak 10 hari yang lalu. Bercak merah
awalnya muncul pertama kali pada perut, kemudian menyebar ke dada, punggung,
lengan, dan tungkai.
 Buang air besar (BAB) encer sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Frekuensi
BAB 2-3 kali sehari dengan konsistensi cair, berampas, tidak berlendir, dan tidak
berdarah.
 Mata merah tidak ada.
 Sesak napas tidak ada.
 Batuk tidak ada.
 Nyeri kepala tidak ada.
12
 Nyeri dada tidak ada.
 Mual dan muntah tidak ada.
 Buang air kecil (BAK) dalam batas normal.
 Riwayat perdarahan tidak ada.
 Kejang tidak ada.
 Riwayat penurunan kesadaran tidak ada.
 Riwayat kebiruan pada bibir atau pada ujung-ujung jari tidak ada.
 Riwayat sering kelelahan atau cepat lelah saat beraktivitas tidak ada.
 Riwayat bepergian ke daerah endemis malaria tidak ada.
 Pasien merupakan rujukan dari RS daerah Pasaman, dirujuk untuk tata laksana
lebih lanjut.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat penyakit hipertensi tidak ada.
 Riwayat penyakit jantung tidak ada.
 Riwayat penyakit ginjal tidak ada.

Riwayat Pengobatan
 Riwayat mengkonsumsi obat-obatan secara bebas tidak ada.
 Riwayat alergi obat tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga


 Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan atau penyakit yang sama
seperti pasien.
 Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit hipertensi.
 Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit jantung.
 Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit ginjal.

13
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, dan Kebiasaan
 Pasien merupakan seorang pelajar lulusan SMA. Pasien belum bekerja.
 Pasien tinggal di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat
 Pasien tinggal di lingkungan tidak padat dengan rumah permanen. Sumber air dari
sumur dan PDAM serta MCK di jamban. Ventilasi dan pencahayaan cukup.
 Pasien memiliki kebiasaan jarang mencuci tangan sebelum makan ataupun
minum.
 Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok ataupun mengkonsumsi alkohol.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis cooperative
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Frekuensi nadi : 100 x/menit, irama reguler, pengisian cukup
Frekuensi napas : 20 x/menit
Suhu : 39,50C
BB : 57 kg
TB : 170 cm
BMI : 19,7 kg/cm2 (normoweight)
Ikterus : Tidak ada
Edema : Tidak ada
Anemis : Tidak ada
Kulit : Tampak makulopapular eritema generalisata berukuran
milier hingga plakat pada dada, perut, lengan, dan tungkai,
eritema marginatum (-), nodul subkutan (-), ptekie (-),
sianosis (-), ikterik (-)
Kelenjar getah bening : Terdapat pembesaran KGB pada preaurikular dan servikal,
konsitensi kenyal, dapat digerakkan, nyeri (-), eritema (-)
Kepala : Normocephali
Rambut : Hitam, tidak mudah rontok

14
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), injeksi (-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokor diameter 3mm/3mm
Telinga : Liang telinga lapang, tanda radang (-/-), sekret (-/-)
Hidung : Kavum nasi lapang, deviasi septum (-), sekret (-/-)
Tenggorokan : Faring hiperemis, tonsil T1-T1 hiperemis, debris (-/-)
Gigi dan mulut : Karies (-), stomatitis (-), strawberry tongue (+), coated
tongue (-), koplik spot (-)
Leher : JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
Toraks : Normochest
Paru depan
Inspeksi : Statis: normochest
Dinamis: gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
Palpasi : Taktil fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru, batas pekak hepar RIC V
kanan
Auskultasi : Suara napas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Paru belakang
Inspeksi : Statis: normochest
Dinamis: gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
Palpasi : Taktil fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru, peranjakan paru 2 jari
Auskultasi : Suara napas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus teraba 1 jari lateral LMCS RIC V
Perkusi : Batas jantung kanan: LSD, batas atas: RIC II
Batas jantung kiri: 1 jari lateral LMCS RIC V, pinggang
jantung menghilang
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (+) pansistolik grade 3-4
punctum maksimum di apeks setinggi RIC V LMCS,
menjalar ke aksila setinggi RIC V LMAS

15
Abdomen

Inspeksi : Tidak tampak membuncit


Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Alat kelamin : Tidak ada kelainan
Anus : Tidak ada kelainan
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-/-), CRT >2 detik, refleks fisiologis
(+/+), refleks patologis (-/-)

Laboratorium Darah
Hemoglobin 12,8 gr/dl
Leukosit 15.160/mm3
Trombosit 196.000/mm3
Hematokrit 37%
Hitung Jenis 0/9/0/54/27/10
LED 85 mm/jam
Kesan: Leukositosis dengan eosinofilia, LED meningkat

Urinalisis
Makroskopis Mikroskopis Kimia
Warna Kuning Leukosit 2-3/LPB Protein Negatif
Kekeruhan Positif Eritrosit 0-1/LPB Glukosa Negatif
BJ 1,024 Silinder Negatif Nitrit Negatif
pH 6 Kristal Negatif Bilirubin Negatif
Epitel Positif Urobilinogen Normal
Bakteri Negatif
Kesan: Hasil dalam batas normal

Feses Rutin
Makroskopis Mikroskopis
Warna Coklat Leukosit 0-1/LPB
Konsistensi Lunak Eritrosit 0-1/LPB
Darah Negatif Amuba Negatif
Lendir Negatif Ascaris L Negatif
Protein Negatif Ancylostoma D Negatif
Lemak Negatif Oxyuris V Negatif
Karbohidrat Negatif Trichiuris T Negatif
Sisa Pencernaan Positif
Kesan: Hasil dalam batas normal

16
Elektrokardiografi (EKG)
Irama : Normal QRS Complex : 0,08 detik
HR : 100x/menit ST Segmen : Normal
Axis : Normal Gelombang T : Normal
Gelombang P : Normal SV1 + RV5 : >35 :(53)
< 35
PR interval : 0,12 detik R/S V1 : <1 (-5)
Kesan: Irama sinus, LVH

SpO2 : 98% free air

Daftar Masalah
 Febris
 Odinofagia
 Artralgia
 Makulopapular eritema

Diagnosis Kerja
 Diagnosis Primer
o Demam Rematik Rekuren dengan Penyakit Jantung Rematik
 Diagnosis Sekunder
o Scarlet Fever

Diagnosis Banding
 Endokarditis Infektif
 Typhoid Fever
 Viral Exanthem

Terapi
 Istirahat
 Diet jantung III 2.100 kkal (karbohidrat 1.260 kkal, protein 315 kkal, lemak 525
kkal)
 IVFD NaCl 0,9% 500 ml/12 jam
17
 Paracetamol 3x1.000 mg PO
 Attapulgite 3x1,2 gram PO
 Vitamin B Kompleks 2x1 tab PO

Pemeriksaan Anjuran
● Cek CRP
● Cek faal renal (ureum, kreatinin)
● Cek elektrolit serum (natrium, kalium, clorida)
● Cek ASTO
● Cek Tubex TF
● Kultur darah
● Kultur swab tenggorok
● Rontgen thorax
● Ekokardiografi
● Konsul dermatovenereologi

Follow Up 24 Januari 2023 pukul 07.00 WIB


S/ Demam (+), dada berdebar-debar (+), nyeri tenggorok (+), nyeri sendi (+),
penurunan nafsu makan (+), bercak merah (+), BAB encer (+)
O/
KU Kesadaran TD HR RR T
Berat CMC 120/70 mmHg 94x/min 20x/min 38,3ºC

Keluar Hasil Laboratorium


CRP Positif
ASTO Positif
Tubex TF 1
Ureum 18 mg/dl
Kreatinin 1 mg/dl
Na/K/Cl 136/3,5/101 mmol/l
Kesan: CRP positif, ASTO positif

18
Hasil Rontgen Thorax
Trakea di tengah
Mediastinum superior tidak melebar
Aorta baik
Cor posisi baik, ukuran membesar
Pinggang jantung menghilang, kranialisasi (-)
Kedua hilus tidak menebal/melebar
Corakan bronkovaskular normal
Tidak tampak infiltrat maupun nodul di kedua lapang paru
Diafragma kanan dan kiri licin
Sinus kostofrenikus kanan dan kiri lancip
Skeletal dan jaringan lunak normal
Kesan: Kardiomegali

Konsul Dermatovenereologi
Kesan:
 Scarlet Fever
Advis:
 Antibiotik sesuai dari bagian penyakit dalam
 Mometasone Furoate Cream 0,1% 2xoles sehari pada bercak merah

A/
 Demam Rematik Rekuren dengan Penyakit Jantung Rematik
 Scarlet Fever
Diagnosis Banding:
 Endokarditis Infektif

P/
 Mometasone Furoate Cream 0,1% 2xoles sehari pada bercak merah
 Cek ASTO kuantitatif
 Ekokardiografi
 Menunggu hasil kultur darah dan kultur swab tenggorok

19
Follow Up 25 Januari 2023 pukul 07.00 WIB
S/ Demam (-), dada berdebar-debar (+) berkurang, nyeri tenggorok (+) berkurang,
nyeri sendi (+) berkurang, penurunan nafsu makan (+), bercak merah (+), BAB
encer (+) berkurang
O/
KU Kesadaran TD HR RR T
Sedang CMC 120/80 mmHg 88x/min 20x/min 37ºC

Keluar Hasil Laboratorium


ASTO kuantitatif 400 IU/ml
Kesan: ASTO meningkat

Hasil Ekokardiografi
Dimensi ruang jantung LA dilatasi
LVH (+) Konsentrik hipertrofi
Kontraktilitas LV Baik, EF 70%, simpson 70%
Kontraktilitas RV Baik, Tapse 2,1 cm
Analisis segmental Global normokinetik
K. Aorta 3 Kuspis, kalsifikasi (-)
K. Mitral Ujung-ujung katup tebal, prolapse AML (A1, A2),
restriktif PML, peak E vel 1,3 m/s, VC 0,5 cm, PISA
0,7 cm, EROA 0,3 cm, reg vol 34 ml, jet eksentrik ke
posterior, PV sistolik blunting (+)
K. Trikuspid TR mild, TVG 30 mmHg, TR vel 2,7 m/s
K. Pulmonal Baik
Kesimpulan:
- MR severe ec prolapse AML (A1, A2) dan restriktif PML ec RHD
- TR mild, low probability PH
- LVH konsentrik hipertrofi dengan fungsi sistolik global LV baik, EF 70% (simpson)
- Global normokinetik
- Fungsi diastolik LV tidak bisa dinilai ec MR severe
- Kontraktilitas RV baik
- Efusi pericard (-)

A/
 Demam Rematik Rekuren dengan Penyakit Jantung Rematik
 Scarlet Fever
Diagnosis Banding:
 Endokarditis Infektif

20
P/

 Istirahat
 Diet jantung III 2.100 kkal (karbohidrat 1.260 kkal, protein 315 kkal, lemak 525
kkal)
 IVFD NaCl 0,9% 500 ml/12 jam
 Benzathine Penicillin 1.200.000 IU IM Single Dose
 Paracetamol 3x500 mg PO
 Attapulgite 3x1,2 gram PO
 Vitamin B Kompleks 2x1 tab PO
 Mometasone Furoate Cream 0,1% 2xoles sehari pada bercak merah
 Menunggu hasil kultur darah dan kultur swab tenggorok

Follow Up 26 Januari 2023 pukul 07.00 WIB


S/ Demam (-), dada berdebar-debar (+) berkurang, nyeri tenggorok (+) berkurang,
nyeri sendi (-), penurunan nafsu makan (+), bercak merah (+) berkurang, BAB encer
(+) berkurang
O/
KU Kesadaran TD HR RR T
Sedang CMC 110/70 mmHg 84x/min 18x/min 36,5ºC

Hemoglobin 12,5 gr/dl


Leukosit 13.750/mm3
Trombosit 215.000/mm3
Hematokrit 39%
Kesan: Leukositosis

A/
 Demam Rematik Rekuren dengan Penyakit Jantung Rematik
 Scarlet Fever
Diagnosis Banding:
 Endokarditis Infektif

21
P/

 Terapi lanjut
 Menunggu hasil kultur darah dan kultur swab tenggorok

Follow Up 30 Januari 2023 pukul 07.00 WIB


S/ Demam (-), dada berdebar-debar (-), nyeri tenggorok (-), nyeri sendi (-), nafsu
makan mulai baik, bercak merah (+) berkurang, BAB encer (-)
O/
KU Kesadaran TD HR RR T
Sedang CMC 120/70 mmHg 82x/min 18x/min 36,7ºC

Keluar Hasil Laboratorium


Hemoglobin 12,6 gr/dl
Leukosit 10.370/mm3
Trombosit 265.000/mm3
Hematokrit 38%
Kesan: Leukositosis

Kultur darah No growth


Kultur swab tenggorok No growth
Kesan: No growth

A/
 Demam Rematik Rekuren dengan Penyakit Jantung Rematik
 Scarlet Fever

P/
 Istirahat
 Pemberian injeksi Benzathine Penicillin 1.200.000 IU IM setiap 4 minggu sekali
 Paracetamol 3x500 mg PO
 Vitamin B Kompleks 2x1 tab PO
 Rawat jalan

22
BAB III
DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien laki-laki berusia 18 tahun di bangsal Penyakit


Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 23 Januari 2023 pukul 21.00 WIB
dengan diagnosis:
 Demam Rematik Rekuren dengan Penyakit Jantung Rematik
 Scarlet Fever
Penegakan diagnosis demam rematik rekuren dengan penyakit jantung rematik
dan scarlet fever berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
peninjang. Diagnosis demam rematik akut dengan penyakit jantung rematik pada
pasien ini menggunakan revisi kriteria Jones 2015 oleh American Heart Association
(AHA), dimana pada pasien ini memenuhi syarat kriteri mayor dan minor, yaitu dua
kriteria mayor, satu kriteria mayor dan dua kriteria minor, dan tiga kriteria minor,
serta adanya bukti infeksi Streptococcus grup A sebelumnya. Kriteria mayor pada
kasus ini adalah karditis dan poliartralgia. Kriteria minor pada kasus ini adalah
poliartralgia, demam, dan peningkatan LED. Bukti infeksi Streptococcus grup A
sebelumnya pada kasus ini adalah adanya peningkatan titer ASTO.7,8
Hasil pemeriksaan penunjang ekokardiografi pada kasus ini didapatkan
kesimpulan severe mitral regurgitation, dilatasi atrium kiri, dan mild tricuspid
regurgitation, dengan EF 70%. Dimana hasil ekokardiografi ini mendukung
diagnosis penyakit jantung rematik pada pasien ini, yang termasuk ke dalam penyakit
jantung rematik klinis (clinical RHD). Berdasarkan AHA 2020, clinical RHD adalah
semua kasus RHD yang memiliki tanda klinis atau gejala termasuk murmur jantung
yang didiagnosis baik melalui skrining ekokardiografi atau evaluasi klinis.9
RHD yang diderita pada kasus ini tidak memiliki gejala (asymptomatic RHD).
Gejala klinis utama RHD adalah sesak napas saat beraktivitas, istirahat, atau
berbaring, pembengkakan tubuh, jantung berdebar-debar, dan nyeri dada. Tanda
klinis yang dapat ditemukan adalah bising jantung dan perubahan pada bunyi
jantung, tanda overload cairan, dan pembesaran ruang jantung. Akan tetapi, dapat
juga tidak ditemukan gejala, dimana terjadi perubahan hemodinamik yang
23
terkompensasi, sehingga memungkinkan terjadinya periode asimtomatik dalam
waktu yang lama, yang disebut sebagai asymptomatic RHD, yang terdiri dari latent
RHD, clinical RHD, dan subclinical RHD.9
Selain itu, didiagnosis pada kasus ini dengan scarlet fever, yang ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis
yang didapatkan berupa adanya demam disertai menggigil, nyeri tenggorok, dan
bercak merah pada kulit. Pemeriksaan fisik yang ditemukan berupa febris dengan
suhu 39,5ºC, makulopapular eritema pada hampir seluruh tubuh, faring dan tonsil
yang hiperemis, strawberry tongue, dan pembesaran KGB. Pemeriksaan penunjang
ditemukan leukositosis, eosinofilia, dan titer ASTO yang meningkat. Diagnosis
scarlet fever sebagian besar didasarkan pada presentasi klinis. Oleh karena scarlet
fever dapat muncul dengan berbagai variasi tingkat keparahan, sulit untuk
mendiagnosis pada tahap awal. Durasi demam yang lama (>38,5ºC) dan adanya
takikardia, ditambah dengan penyebaran ruam merah pada kulit, menghasilkan
diagnosis scarlet fever yang sesuai.10
Terjadinya demam rematik rekuren dengan penyakit jantung rematik dan
scarlet fever secara bersamaan pada kasus ini, bisa terjadi, mengingat penyebab dari
penyakit-penyakit ini adalah satu agen penyebab yang sama, yaitu Streptococcus beta
hemolyticus grup A (SBHGA).11
Antibiotik yang diberikan pada pasien ini sudah tepat, yaitu diberikan
Benzathine Penicillin 1.200.000 IU IM Single Dose. Pemberian antibiotik ini sebagai
pengobatan pilihan utama untuk mengeradikasi agen penyebab penyakit ini, yaitu
Streptococcus beta hemolyticus grup A (SBHGA). Pengobatan ini merupakan
prevensi primer dalam salah satu manajemen penyakit jantung rematik, yang
bertujuan untuk menghentikan (eradikasi) infeksi SBHGA yang menyebabkan
demam rematik. Selain itu, pasien juga direncanakan untuk dilakukan prevensi
sekunder, yaitu pemberian penicillin profilaksis dengan dosis yang sama setiap 4
minggu sekali selama 10 tahun atau sampai usia 40 tahun. Prevensi sekunder ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya kekambuhan atau demam rematik berulang,
sehingga dapat mencegah kerusakan katup kumulatif dengan perkembangan dan
progresivitas RHD.3,4,6,12

24
Meskipun demikian, pemberian antibiotik penicillin perlu perhatian dan
pengawasan ketat, dimana penicillin merupakan antibiotik yang paling sering
menimbulkan reaksi hipersensitivitas dari ringan sampai berat. 13,14
Pada kasus ini, penyakit jantung rematik yang dialami pasien belum terjadi
adanya tanda-tanda kegagalan jantung, sehingga hanya diberikan terapi prevensi
primer dan prevensi sekunder, serta pasien memiliki prognosis yang baik, jika
didukung dengan prevensi sekunder yang baik. Peran edukasi sangat diperlukan
karena pengobatan berkelanjutan pada pasien ini berupa penjelasan pemberian
injeksi obat penicillin yang akan berlanjut dalam waktu yang panjang, yaitu setiap 4
minggu sekali selama minimal 10 tahun dan paling lama sampai pasien berusia 40
tahun. Tindakan pembedahan berupa perbaikan katup jantung ataupun penggantian
katup jantung merupakan hal yang dapat dilakukan pada kondisi RHD yang
memenuhi kriteria indikasi operasi, dimana pada pasien ini, belum memiliki kriteria
yang memenuhi untuk dilakukan tindakan pembedahan.3,4,6,9,15

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Leman S. Demam rematik dan penyakit jantung rematik. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. 4th Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; 1575-1579.
2. Vahanian A, Beyersdorf F, Praz F, et al. ESC/EACTS guidelines for the
management of valvular heart disease. European Heart Journal. 2021; 1-72.
3. Bowen A, Currie B, Katzenellenbogen J, et al. The 2020 Australian guidelines
for prevention, diagnosis and management of acute rheumatic fever and
rheumatic heart disease 3rd edition. Menzies School of Health Research. 2020.
4. Carapetis JR, Beaton A, Cunningham MW, et al. Acute rheumatic fever and
rheumatic heart disease. Nat Rev Dis Primers. 2018; 2 (15084): 1-57.
5. Szczygielska I, Hernik E, Kołodziejczyk B, et al. Rheumatic fever-new
diagnostic criteria. Reumatologia. 2018; 56 (1): 37-41.
6. Ralph AP, Currie BJ. Therapeutics for rheumatic fever and rheumatic heart
disease. Aust Prescr. 2022; 45: 104-12.
7. Gewitz MH, Baltimore RS, Tani LY, et al. Revision of the Jones criteria for the
diagnosis of acute rheumatic fever in the era of Doppler echocardiography: A
scientific statement from the American Heart Association. Circulation. 2015;
131: 1806-1818.
8. Paotonu DS, Beaton A, Raghu A, et al. Acute rheumatic fever and rheumatic
heart disease. National Library Medicine. 2017; 1-43.
9. Kumar RK, Antunes MJ, Beaton A, et al. Contemporary Diagnosis and
Management of rheumatic heart disease: Implications for closing the gap: A
scientific statement from the American Heart Association. Circulation. 2020;
142: 337-57.
10. Basetti S, Hodgson J, Rawson TM, et al. Scarlet fever: A guide for general
practitioners. London Journal of Primary Care. 2017; 9 (5): 77–79.
11. Pardo S, Perera TB. Scarlet fever. National Library of Medicine. 2022: 1-6.
12. Auala T, Zavale BG, Mbakwem AC, et al. Acute rheumatic fever and
rheumatic heart disease: Highlighting the role of group A streptococcus in the
global burden of cardiovascular disease. Pathogens. 2022; 11 (496): 1-12.
13. Felix MM, Aun MV, Menezes UP, et al. Allergy to penicillin and betalactam
antibiotics. einstein. 2021; 19: 1-13.
14. Estrada AG, Radojicic C. Penicillin allergy: A practical guide for clinicians.
Cleveland Clinic Journal of Medicine. 2015; 82 (5); 295-300.
15. Heart Foundation of New Zealand. New Zealand guidelines for rheumatic
Fever: Diagnosis, management, and secondary prevention of acute rheumatic
fever and rheumatic heart disease. Heart Foundation of New Zealand. 2014.
26

Anda mungkin juga menyukai