Anda di halaman 1dari 19

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN RHEUMATIC HEART DISEASE

(RHD) / DEMAM REUMATIK AKUT DI RUANG TRIAGE / INSTALASI GAWAT


DARURAT RSUP SANGLAH
DENPASAR BALI

oleh:
Nita Ratna Dewi, S.Kep
NIM 182311101013

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
Maret, 2019
KONSEP DASAR PENYAKIT

I. Definisi
Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit
jantung didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik
merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam reumatik akut
sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai
katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung
1
reumatik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya.

II. Epidemiologi
Penyakit jantung rematik menyebabkan setidaknya 200.000-250.000 kematian
bayi premature setiap tahun dan penyebab umum kematian akibat penyakit jantung
2
pada anak-anak dan remaja di negara berkembang.
Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober–1 November
2001 yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000
penduduk di Negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara berkembang di
daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk. Diperkirakan sekitar
3
2.000-332.000 penduduk yang meninggal diseluruh dunia akibat penyakit tersebut.
Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti,
meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi
3
penyakit jantung rematik berkisar antara 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah.

III. Etiologi
Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam reumatik.
Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi
setelah infeksi Streptococcus grup A pada individu yang mempunyai faktor

1
predisposisi. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi
endokardium dan miokardium melalui suatu proses ’autoimunne’ yang menyebabkan
kerusakan jaringan. Inflamasi yang berat dapat melibatkan perikardium. Valvulitis
merupakan tanda utama reumatik karditis yang paling banyak mengenai katup mitral
(76%), katup aorta (13%) dan katup mitral dan katup aorta (97%). Insidens tertinggi
1
ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun.

IV. Patogenesis
Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit supuratif
misalnya faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis nifas dan penyakit
non supuratif misalnya demam rematik, glomerulonefritis akut. Setelah inkubasi 2-4
hari, invasi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring menghasilkan respon
inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari ditandai dengan demam, nyeri tenggorok,
malaise, pusing dan leukositosis.4 Pasien masih tetap terinfeksi selama berminggu-
minggu setelah gejala faringitis menghilang, sehingga menjadi reservoir infeksi bagi
orang lain. Kontak langsung per oral atau melalui sekret pernafasan dapat menjadi
media trasnmisi penyakit. Hanya faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A
4,5
saja yang dapat mengakibatkan atau mengaktifkan kembali demam rematik.
Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik
berkelanjutan yang melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih dari
5
60% penyakit rheumatic fever akan berkembang menjadi rheumatic heart disease.
Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease yakni kerusakan
katup jantung akan menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang sering dan
berulang penyakit ini akan menyebabkan penebalan pada katup, pembentukan skar
5
(jaringan parut), kalsifikasi dan dapat berkembang menjadi valvular stenosis.
Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever dalam
patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor yang
berperan dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain faktor organisme,
faktor host dan faktor sistem imun.

2
Bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sebagai organisme penginfeksi
memiliki peran penting dalam patogenesis rheumatic fever. Bakteri ini sering
berkolonisasi dan berproliferasi di daerah tenggorokan, dimana bakteri ini memiliki
supra-antigen yang dapat berikatan dengan major histocompatibility complex kelas 2
(MHC kelas 2) yang akan berikatan dengan reseptor sel T yang apabila teraktivasi
akan melepaskan sitokin dan menjadi sitotosik. Supra-antigen bakteri Streptococcus
beta hemolyticus grup A yang terlibat pada patogenesis rheumatic fever tersebut
adalah protein M yang merupakan eksotoksin pirogenik Streptococcus. Selain itu,
bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A juga menghasilkan produk
ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNA-ase, dan hialuronidase yang
6
mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif. Antibodi yang paling sering
adalah antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya untuk menetralisir toksin bakteri
tersebut. Namun secara simultan upaya proteksi tubuh ini juga menyebabkan
kerusakan patologis jaringan tubuh sendiri. Tubuh memiliki struktur yang mirip
dengan antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sehingga terjadi
reaktivitas silang antara epitop organisme dengan host yang akan mengarahkan pada
7
kerusakan jaringan tubuh.
Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus
grup A dengan jaringan tubuh yang dikenali oleh antibodi adalah: 1) Urutan asam amino
yang identik, 2) Urutan asam amino yang homolog namun tidak identik, 3) Epitop pada
molekul yang berbeda seperti peptida dan karbohidrat atau antara DNA dan peptida.
Afinitas antibodi reaksi silang dapat berbeda dan cukup kuat untuk dapat menyebabkan
7
sitotoksik dan menginduksi sel–sel antibodi reseptor permukaan.

Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari
streptococcus beta hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang sama
dengan protein miosin, tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan N-
asetilglukosamin pada tubuh manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar dari
reaksi autoimun yang mengarah pada terjadinya rheumatic fever. Hubungan lainnya
dari laminin yang merupakan protein yang mirip miosin dan protein M yang terdapat
pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T anti miosin dan anti protein M.

3
Disamping antibodi terhadap N-asetilglukosamin dari karbohidrat, Streptococcus
beta hemolyticus grup A mengalami reaksi silang dengan jaringan katup jantung yang
5,8
menyebabkan kerusakan valvular.
Disamping faktor organisme penginfeksi, faktor host sendiri juga memainkan
peranan dalam perjalanan penyakit rheumatic fever. Sekitar 3-6% populasi memiliki
potensi terinfeksi rheumatic fever. Penelitian tentang genetik marker menunjukan
bahwa gen human leukocyte-associated antigen (HLA) kelas II berpotensi dalam
perkembangan penyakit rheumatic fever dan rheumatic heart disease. Gen HLA kelas
II yang terletak pada kromosom 6 berperan dalam kontrol imun respon. Molekul
HLA kelas II berperan dalam presentasi antigen pada reseptor T sel yang nantinya
akan memicu respon sistem imun selular dan humoral. Dari alel gen HLA kelas II,
HLA-DR7 yang paling berhubungan dengan rheumatic heart disease pada lesi-lesi
7
valvular.
Lesi valvular pada rheumatic fever akan dimulai dengan pembentukan
verrucae yang disusun fibrin dan sel darah yang terkumpul di katup jantung. Setelah
proses inflamasi mereda, verurucae akan menghilang dan meninggalkan jaringan
parut. Jika serangan terus berulang veruccae baru akan terbentuk didekat veruccae
yang lama dan bagian mural dari endokardium dan korda tendinea akan ikut
9
mengalami kerusakan.
Kelainan pada valvular yang tersering adalah regurgitasi katup mitral (65-
4
70% kasus). Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan penebalan
korda tendinea menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral. Karena
peningkatan volume yang masuk dan proses inflamasi ventrikel kiri akan membesar
akibatnya atrium kiri akan berdilatasi akibat regurgitasi darah. Peningkatan tekanan
atrium kiri ini akan menyebabkan kongesti paru diikuti dengan gagal jantung kiri.
Apabila kelainan pada mitral berat dan berlangsung lama, gangguan jantung kanan
9
juga dapat terjadi.
Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi katup aorta
akibat dari sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke ventrikel kiri
11
diikuti dengan dilatasi dan hipertropi dari ventrikel kiri. Di sisi lain, dapat terjadi

4
stenosis dari katup mitral. Stenosis ini terjadi akibat fibrosis yang terjadi pada cincin
katup mitral, kontraktur dari daun katup, corda dan otot papilari. Stenosis dari katup
mitral ini akan menyebabkan peningkatan tekanan dan hipertropi dari atrium kiri,
menyebabkan hipertensi vena pulmonal yang selanjutnya dapat menimbulkan
9
kelainan jantung kanan.

V. Diagnosis
Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien rheumatic fever
menunjukan keluhan yang bervariasi. Gambaran klinis pada rheumatic fever
bergantung pada sistem organ yang terlibat dan manifestasi yang muncul dapat
tunggal atau merupakan gabungan beberapa sistem organ yang terlibat.

a. Anamnesis
Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit tenggorok
1-5 minggu sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-anak menyatakan
pernah mengalami sakit tenggorokan. Keluhan mungkin tidak spesifik, seperti
demam, tidak enak badan, sakit kepala, penurunan berat badan, epistaksis, kelelahan,
malaise, diaforesis dan pucat. Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri dada,
4
ortopnea atau sakit perut dan muntah.
Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di bawah
kulit, peningkatan iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan kepribadian seperti
gangguan neuropsikiatri autoimun terkait dengan infeksi Streptococcus, difungsi
4
motorik, dan riwayat rheumatic fever sebelumnya.

b. Manifestasi Klinis
Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi beberapa kali. Kriteria
4
ini membagi gambaran klinis menjadi dua, yaitu manifestasi mayor dan minor.

10
Tabel 1. Kriteria Jones Sebagai Pedoman Dalam Diagnosis Rheumatic Fever

5
Manifestasi mayor Manifestasi minor

Karditis Klinis :
Poliartritis migrans - artralgia: nyeri sendi tanpa merah dan bengkak
0
- demam tinggi (>39 C)
Chorea sydenham Laboratorium:
Eritema marginatum - peningkatan penanda peradangan yaitu erythrocyte
Nodul subkutan sedimentation rate (ESR) atau C Reactive Protein (CRP)
- pemanjangan interval PR pada EKG
Ditambah
Bukti infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A sebelumnya (45 hari terakhir)
- Kultur hapusan tenggorok atau rapid test antigen streptococcus beta
hemolyticus grup A hasilnya positif
4,11
- Peningkatan titer serologi antibodi streptococcus beta hemolyticus grup A.

- Kriteria
Mayor Karditis
Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering terjadi setelah
poli artritis. Pankarditis meliputi endokarditis, miokarditis dan perikarditis. Pada
stadium lanjut, pasien mungkin mengalami dipsnea ringan-sedang, rasa tak nyaman
di dada atau nyeri pada dada pleuritik, edema, batuk dan ortopnea. Pada pemeriksaan
fisik, karditis paling sering ditandai dengan murmur dan takikardia yang tidak sesuai
dengan tingginya demam. Gambaran klinis yang dapat ditemukan dari gangguan
12
katup jantung dapat dilihat pada tabel 2.

12
Tabel 2. Manifestasi Klinis Sesuai Gangguan Katup Jantung yang Timbul
Gangguan Manifestasi
- Aktivitas ventrikel kiri meningkat
 Regurgitasi Mitral
- Bising pansistolik di apeks, menyebar ke aksila
bahkan ke punggung

6
- Murmurmid-diastolik (carrey coombs
murmur) di apeks
- Aktivitas ventrikel kiri meningkat
- Bising diastolik di ICS II kanan/kiri, menyebar
 Regurgitasi aorta ke apeks
- Tekanan nadi sangat lebar (sistolik tinggi,
sedangkan diastolik sangat rendah bahkan
hingga 0 mmHg)
- Aktivitas ventrikel kiri negatif
 Stenosis mitral
- Bising diastolik di daerah apeks, dengan S1
mengeras
Gagal jantung kongestif bisa terjadi sekunder akibat insufisieni katup yang
parah atau miokarditis, yang ditandai dengan adanya takipnea, ortopnea, distensi vena
12
jugularis, ronki, hepatomegali, irama gallop, dan edema perifer.
Friction rub pericardial menandai perikarditis. Perkusi jantung yang redup,
suara jantung melemah, dan pulsus paradoksus adalah tanda khas efusi perikardium
12
dan tamponade perikardium yang mengancam.

Poliartritis Migrans
Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic fever, terjadi pada
sekitar 70% pasien rheumatic fever. Gejala ini muncul 30 hari setelah infeksi
Streptococcus yakni saat antibodi mencapai puncak. Radang sendi aktif ditandai
dengan nyeri hebat, bengkak, eritema pada beberapa sendi. Nyeri saat istirahat yang
semakin hebat pada gerakan aktif dan pasif merupakan tanda khas. Sendi yang paling
sering terkena adalah sendi-sendi besar seperti sendi lutut, pergelangan kaki, siku,
dan pergelangan tangan. Gejala ini bersifat asimetris dan berpindah-pindah
(poliartritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan beberapa jam
sesudah serangan namun muncul pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien
dapat sembuh dalam satu minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari dua atau tiga
12
minggu.

7
Chorea Sydenham/Vt. Vitus’ Dance
Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic fever dan dua kali
lebih sering pada perempuan. Gejala ini muncul pada fase laten yakni beberapa bulan
setelah infeksi Streptococcus (mungkin 6 bulan). Manifestasi ini mencerminkan
keterlibatan proses radang pada susunan saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus
kaudatus otak. Periode laten dari chorea ini cukup lama, sekitar tiga minggu sampai
tiga bulan dari terjadinya rheumatic fever. Gejala awal biasanya emosi yang lebih
labil dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan gerakan yang tidak disengaja, tidak
bertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian otot dapat terkena, namun otot
ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok. Gejala ini semakin diperberat
12
dengan adanya stress dan kelelahan, namun menghilang saat beristirahat.
Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic fever yang terjadi
12
kurang dari 10% kasus. Ruam berbentuk anular berwarna kemerahan yang
kemudian ditengahnya memudar pucat, dan tepinya berwarna merah berkelok-kelok
4
seperti ular. Umumnya ditemukan di tubuh (dada atau punggung) dan ekstremitas.
Nodulus Subkutan
Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus. Nodulus terletak
pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut, dan persendian
kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala bagian oksipital dan di atas kolumna
vertebralis. Nodul berupa benjolan berwarna terang keras, tidak nyeri, tidak gatal,
mobile, dengan diameter 0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya terjadi beberapa minggu
setelah rheumatic fever muncul dan menghilang dalam waktu sebulan. Nodul ini
13
selalu menyertai karditis rematik yang berat.

- Kriteria Minor
o
Demam biasanya tinggi sekitar 39 C dan biasa kembali normal dalam waktu
2-3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai
tanda-tanda objektif (misalnya bengkak, merah, hangat) juga sering dijumpai.
Artralgia biasa melibatkan sendi-sendi yang besar. Penanda peradangan akut pada

8
pemeriksaan darah umumnya tidak spesifik, yaitu LED dan CRP umumnya
meningkat pada rheumatic fever. Pemeriksaan dapat digunakan untuk menilai
12
perkembangan penyakit.
c. Pemeriksaan Penunjang
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
mendukung diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart disease adalah :
a. Pemeriksaan Laboratorium
- Reaktan Fase Akut
Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan. Pada
pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama pada fase
akut/aktif, namun sifatnya tidak spesifik. Marker inflamasi akut berupa C-
reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED). Peningkatan laju endap
darah merupakan bukti non spesifik untuk penyakit yang aktif. Pada
rheumatic fever terjadi peningkatan LED, namun normal pada pasien dengan
congestive failure atau meningkat pada anemia. CRP merupakan indikator
dalam menetukan adanya jaringan radang dan tingkat aktivitas penyakit. CRP
8
yang abnormal digunakan dalam diagnosis rheumatic fever aktif.
- Rapid Test Antigen Streptococcus
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri Streptococcus grup A secara
4
tepat dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90 %.
- Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus
Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala klinis
rheumatic fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang biasa digunakan
adalah antistreptolisin O/ASTO dan antideoxyribonuklease B/anti DNase B.
Pemeriksaan ASTO dilakukan terlebih dahulu, jika tidak terjadi peningkatan
akan dilakukan pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO biasanya mulai
meningkat pada minggu 1, dan mencapai puncak minggu ke 3-6 setelah
infeksi. Titer ASO naik > 333 unit pada anak-anak, dan > 250 unit pada
dewasa. Sedangkan anti-DNase B mulai meningkat minggu 1-2 dan mencapai

9
puncak minggu ke 6-8. Nilai normal titer anti-DNase B= 1: 60 unit pada anak
4
prasekolah dan 1 : 480 unit anak usia sekolah.
- Kultur tenggorok
Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya
streptococcus beta hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan
sebelum pemberian antibiotik. Kultur ini umumnya negatif bila gejala
4
rheumatic fever atau rheumatic heart disease mulai muncul.
b. Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi
Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali dan
kongesti pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada karditis.
Sedangkan pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya pemanjangan interval PR
yang bersifat tidak spesifik. Nilai normal batas atas interval PR uuntuk usia 3-12
4
tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18 detik , dan > 17 tahun = 0,20 detik.
c. Pemeriksaan Ekokardiografi
Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi
perikardium, dan disfungsi ventrikel. Pada pasien rheumatic fever dengan karditis
ringan, regurgitasi mitral akan menghilang beberapa bulan. Sedangkan pada
rheumatic fever dengan karditis sedang dan berat memiliki regurgitasi
mitral/aorta yang menetap. Gambaran ekokardiografi terpenting adalah dilatasi
annulus, elongasi chordae mitral, dan semburan regurgitasi mitral ke postero-
4
lateral.

d. Dasar Diagnosis
11
Tabel 3. Kriteria WHO 2002-2003 dalam Mendiagnosis Rheumatic Fever dan RHD
Kategori diagnosis Kriteria
- Dua mayor
 Rheumatic Fever serangan
- Atau satu mayor dan dua minor
pertama
- Ditambah bukti infeksi SBHGA sebelumnya

10
- Dua mayor
 Rheumatic Fever serangan
- Atau satu mayor dan dua minor
ulang tanpa RHD
- Ditambah bukti infeksi SBHGA sebelumnya
- Dua minor
 Rheumatic Fever serangan
- ditambah dengan bukti infeksi SBHGA
ulang dengan RHD
sebelumnya
 Chorea reumatik - Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya atau
 Karditis reumatik bukti infeksi SBHGA
insidious
- Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk
 RHD
mendiagnosis sebagai RHD

VI. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar
bertujuan untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A,
menekan inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk gagal
jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan untuk mencegah
rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan memantau komplikasi serta
gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis pada saat dewasa. Selain terapi
medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien harus dikontrol. Selain itu, ada
juga pilihan terapi operatif sebagai penanganan kasus-kasus parah.

a. Terapi Antibiotik
Profilaksis Primer
Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang sangat
penting untuk mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen Streptococcus
beta hemolyticus grup A. Eradikasi dari bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup
A pada faring seharusnya diikuti dengan profilaksis sekunder jangka panjang sebagai
perlindungan terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring yang
6
berulang.

11
Pemilihan regimen terapi sebaiknya mempertimbangkan aspek bakteriologi
dan efektifitas antibiotik, kemudahan pasien untuk mematuhi regimen yang
ditentukan (frekuensi, durasi, dan kemampuan pasien meminum obat), harga, dan
14
juga efek samping.
Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan amoxicilin oral
adalah obat pilihan untuk terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring pada
pasien tanpa riwayat alergi terhadap penisilin. Setelah terapi antibiotik selama 24
jam, pasien tidak lagi dianggap dapat menularkan bakteri Streptococcus beta
hemolyticus group A. Penisilin V pottasium lebih dipilih dibanding dengan penisilin
G benzathine karena lebih resisten terhadap asam lambung. Namun terapi dengan
penisilin G benzathine lebih dipilih pada pasien yang tidak dapat menyelesaikan
terapi oral 10 hari, pasien dengan riwayat rheumatic fever atau gagal jantung rematik,
dan pada mereka yang tinggal di lingkungan dengan faktor risiko terkena rheumatic
14
fever (lingkungan padat penduduk, status sosio-ekonomi rendah).

14
Tabel 4. Obat-obatan Profilaksis Primer untuk Rheumatic Fever
Agen Dosis Evidence
rating
Penisilin
Amoxicillin 50 mg/kgBB (maksimal, 1 g) oral 1B
satu kali sehari selama 10 hari
Penicillin G benzathine Pasien berat < 27 kg (60 lb): 1B
600,000 unit IM sekali
Pasien dengan BB > 27 kg:
1,200,000 unit IM sekali
Penicillin V potassium Pasien dengan BB < 27 kg 1B
diberikan 250 mg oral 2-3x sehari
selama 10 hari
Pasien dengan BB > 27 kg: 500

12
mg oral 2-3x sehari selama 10 hari
Untuk pasien alergi penisilin
Narrow-spectrum cephalosporin Bervariasi 1B
(cephalexin [Keflex], cefadroxil
[formerly Duricef])
Azithromycin (Zithromax) 12 mg/kgBB/hari (maksimal, 500 2aB
mg) oral 1x sehari selama 5 hari
Clarithromycin (Biaxin) 15 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi 2aB
2 dosis (maksimal, 250 mg 2x
sehari), selama 10 hari
Clindamycin (Cleocin) 20 mg/kgBB/hari oral (maksimal, 2aB
1.8 g/hari), dibagi menjadi 3 dosis,
untuk 10 hari

Profilaksis Sekunder
Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan atau munculnya
rheumatic heart disease. Pencegahan terhadap infeksi Streptococcus beta
hemolyticus grup A pada faring yang berulang adalah metode yang paing efektif
14
untuk mencegah rheumatic heart disease yang parah.
14
Tabel 5. Obat-obatan Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever
Agen Dosis Evidence
rating
Penicillin G benzathine Pasien berat < 27 kg (60 lb) 1A
600,000 unit IM setiap 4
minggu sekali
Pasien berat > 27 kg:
1,200,000 unit IM setiap 4
minggu sekali
Penicillin V potassium 250 mg oral 2x sehari 1B

13
Sulfadiazine Pasien berat < 27 kg (60 lb): 1B
0.5 g oral 1x sehari
Pasien berat > 27 kg (60 lb)
kg: 1 g oral 1x sehari
Macrolide atau antibiotik azalide Bervariasi 1C
(untuk pasien alergi penicillin dan
sulfadiazine)

Tabel 6. Durasi Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever


Tipe Durasi setelah serangan Evidence
rating
Rheumatic Fever dengan karditis 10 tahun atau sampai usia 40 tahun 1C
dan penyakit jantung residu (pilih yang terlama) ; profilaksis
(penyakit katup persisten) seumur hidup mungkin diperlukan
Rheumatic Fever dengan karditis 10 tahun atau sampai usia 21 tahun 1C
tapi tanpa penyakit jantung residu (pilih yang terlama)
(tanpa penyakit katup persisten)
Rheumatic Fever tanpa karditis 5 tahun atau sampai usia 40 tahun 1C
(pilih yang terlama)

b. Terapi Anti Inflamasi


Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis) biasanya merespon cepat
terhadap terapi anti inflamasi. Anti inflamasi yang menjadi lini utama adalah aspirin.
Untuk pasien dengan karditis yang buruk atau dengan gagal jantung dan
kardiomegali, obat yang dipilih adalah kortikosteroid. Kortikosteroid juga menjadi
pilihan terapi pada pasien yang tidak membaik dengan aspirin dan terus mengalami
6,15
perburukan.
Penggunaan kortikosteroid dan aspirin sebaiknya menunggu sampai diagnosis
rheumatic fever ditegakan. Pada anak-anak dosis aspirin adalah 100-125 mg/kg/hari,
setelah mencapai konsentrasi stabil selama 2 minggu, dosis dapat diturunkan menjadi

14
60-70 mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang alergi terhadap aspirin bisa
6,15
digunakan naproxen 10-20 mg/kg/hari.
Obat kortikosteroid yang menjadi pilihan utama adalah prednisone dengan
dosis 2 mg/kg/hari, maksimal 80 mg/hari selama 2 minggu, diberikan 1 kali sehari.
Setelah terapi 2-3 minggu dosis diturunkan 20-25% setiap minggu. Pada kondisi yang
mengancam nyawa, terapi IV methylprednisolone dengan dosis 30 mg/kg/hari.
4,6,15
Durasi terapi dari anti inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap terapi.

c. Terapi Gagal Jantung


Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap tirah
baring, restriksi cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada beberapa pasien
dengan gejala yang berat, terapi diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin bisa digunakan.
Awalnya, pasien harus melakukan diet restriksi garam ditambah dengan diuretik.
4,6,15
Apabila hal ini tidak efektif, bisa ditambahkan ACE Inhibitor dan atau digoxin.
Tabel 7. Obat-obatan untuk Mengatasi Gagal Jantung pada Rheumatic Fever
Obat Dosis
Digoxin 30 mcg/kg dosis total digitalisasi, 7,5 mcg/kg/hari dosis
pemeliharaan
Diuretik:
 Furosemide 0,5 – 2 mg/kg/hari,
 Metolazone 0,2 – 0,4 mg/kg/hari
Vasodilator:
 Captopril Dimulai 0,25 mg/kg dosis percobaan, dinaikkan 1,5 – 3
mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis.
 Sodium 0,5 – 10 mcg/kg/min infus, digunakan bila gagal jantung sulit
nitroprusside dikontrol. Monitor kadar sianida.
Inotropik:
 Dobutamine 2 – 20 mcg/kg/menit per-infus
 Dopamine 2 – 20 mcg/kg/menit per-infus

15
 Milrinone 0,5 – 1 mcg/kg/menit per-infus

d. Diet dan Aktivitas


Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa restriksi
kecuali pada pasien gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan natrium harus
dikurangi. Suplemen kalium diperlukan apabila pasien diberikan kortikosteroid atau
16, 17
diuretik.
Tirah baring sebagai terapi rheumatic fever pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1940, namun belum diteliti lebih lanjut sejak saat itu. Pada praktek klinis
sehari-hari, kegiatan fisik harus direstriksi sampai tanda-tanda fase akut terlewati,
17
baru kemudian aktivitas bisa dimulai secara bertahap. Sesuai dengan anjuran
Taranta dan Marcowitz tirah baring yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
Tabel 8. Tirah Baring yang Dianjurkan pada Rheumatic Fever
Tanpa karditis Tirah baring selama 2 minggu, mobilisasi
bertahap selama 2 minggu
Karditis, tanpa kardiomegali Tirah baring selama 4 minggu, mobilisasi
bertahap selama 4 minggu
Karditis dengan kardiomegali Tirah baring selama 6 minggu, mobilisasi
bertahap selama 6 minggu
Karditis dengan kardiomegali dan gagal Tirah baring selama gagal jantung,
jantung mobilisasi bertahap selama 3 bulan

e. Terapi Operatif
Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus mengalami
perburukan meskipun telah mendapat terapi medis yang agresif untuk penanganan
rheumatic heart disease, operasi untuk mengurangi defisiensi katup mungkin bisa
16, 17
menjadi pilihan untuk menyelamatkan nyawa pasien. Pasien yang simptomatik,

16
dengan disfungsi ventrikel atau mengalami gangguan katup yang berat, juga
4
memerlukan tindakan intervensi.
a. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal, dapat
dilakukan ballon mitral valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak memungkinkan,
4
perlu dilakukan operasi.
b. Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral akut (mungkin
akibat ruptur khordae)/kronik yang berat dengan rheumatic heart disease
yang tak teratasi dengan obat, perlu segera dioperasi untuk reparasi atau
4
penggantian katup.
c. Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat langka.
Intervensi dengan balon biasanya kurang berhasil, sehingga operasi lebih
4
banyak dikerjakan.
d. Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri atau kombinasi
4
dengan lesi lain, biasanya ditangani dengan penggantian katup.

VII. Prognosis
Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi mengalami
kekambuhan. Resiko kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejak episode
awal. Semakin muda rheumatic fever terjadi, kecenderungan kambuh semakin besar.
Kekambuhan rheumatic fever secara umum mirip dengan serangan awal, namun
4
risiko karditis dan kerusakan katup lebih besar.
Manifestasi rheumatic fever pada 80% kasus mereda dalam 12 minggu.
Insiden RHD setelah 10 tahun adalah sebesar 34% pada pasien dengan tanpa
serangan rheumatic fever berulang, tetapi pada pasien dengan serangan rheumatic
fever yang berulang kejadian RHD meningkat menjadi 60%.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW,
O’Rourke et al. Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill : New York,
2001; p. 1657 – 65.
2. Marijon E, Mirabel M, ,et al. Rheumatic fever. Paris: Lancet 2012; 379: 953–64
3. World Health Organization. Rheumatic fever and rheumatic heart disease WHO
Technical report series 923. Report of a WHO Expert Consultation Geneva, 29
October–1 November 2001.
4. Rilantono, LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2013;331-335.
5. Majid Abdul. Anatomi Jantung dan pembuluh darah, Sistem Kardiovaskuler
secara Umum, Denyut Jantung dan Aktifitas Listrik Jantung, dan Jantung sebagai
Pompa. Fisiologi Kardiovaskular. Medan: Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran
USU. 2005; 7 -16.
6. WHO. Rhematic fever and Rheumatic Heart Disease. Report of a WHO expert
Consultation. 2004. [Online]. Melalui:
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/resources/en/cvd_trs923.pdf
[diunduh 1 Mei 2016].
7. Luiza Guilherm, dkk. Molecular Mimicry in The Autoimmune Pathogenesis of
Rheumatic Heart Disease. Autoimmunity 2006; 39(1): 31 –39.
8. Kumar, Vinay dkk. Valvular Heart. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease. Philadelpia: Elsevier Inc. 2010.
9. Kliegman, Robert M, dkk. Rheumatic Heart Disease. Nelson Textbook of
Pediatrics, Edisi 18. Elsevier. 2007: 438.
10. Mishra T.K., Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease: current
scenario. JIACM. 2007;8(4):324-30.
11. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis, Ed. 2. Jakarta:Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011:41-42.
12. Essop, M.R & Omar, T. Valvular Heart Disease: Rheumatic Fever. Philadelphia:

13. Carapetis, J., dkk. Acute Rheumatic Fever. Harrison’s Cardiovascular Medicine.
United States: The McGraw-Hill. 2010;17: 290-296.
14. Armstrong, C. AHA Guidelines on Prevention of Rheumatic Fever and Diagnosis
and Treatment of Acute Streptococcal Pharyngitis. Am Fam Physician. 2010
1;81(3):346-359.
15. Kumar, R.K., Tandon R. Rheumatic Fever & Rheumatic Heart Disease: The last
50 years. Indian J Med Res. 2013:137; 643-658.
16. Chin TK. 2014. Pediatric Rheumatic Heart disease. Medscape. [Online] Melalui:
http://emedicine.medscape.com/article/891897-overview#a0199 [diakses pada 1
Mei 2016].
17. Ciliers, A.M. Rheumatic Fever and Its Management. BMJ. 2006;333(7579):
1153-1156

18

Anda mungkin juga menyukai