(RHD)
DI RUANG RAWAT INAP DEWASA RUMAH SAKIT JANTUNG JAKARTA
Disusun oleh:
Semuel Djadjawa, S.Kep, Ners
Lintang Puspa Anggraeni, A.Md.Kep
Ns. Detta Rahmatien, S.Kep
2022
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Manfaat Penulisan
BAB IV : PEMBAHASAN
BAB V : PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rheumatic Heart Disease (RHD) atau Penyakit Jantung Rematik masih tetap
menjadi masalah penyakit jantung terutama di negara industri dan negara
berkembang hingga permulaan abad ke-21 dengan efek yang buruk mengenai
anak-anak dan dewasa muda pada usia produktif (Hasnul,Najirman&Yanwirasti,
2015). Penyakit jantung reumatik merupakan kelainan katup jantung akibat demam
reumatik akut sebelumnya. Penyakit ini terutama mengenai katup mitral (75%),
aorta (25%), jarang mengenai katup trikuspid dan tidak pernah menyerang katup
pulmonal. Setiap tahunnya rata-rata ditemukan 55 kasus dengan demam reumatik
akut (DRA) dan PJR (Julius, 2016).
Penyakit jantung rematik merupakan penyebab kecacatan pada jantung yang
terbanyak. Kecacatan pada katup jantung tidak dapat terlihat secara kasat mata
seperti cacat fisik lainnya, tetapi menyebabkan gangguan kardiovaskular mulai dari
bentuk ringan sampai berat sehingga mengurangi produktivitas dan kualitas hidup.
DRA merupakan penyebab utama penyakit jantung rematik, didapat pada anak
usia
5 tahun sampai dewasa muda di negara berkembang dengan keadaan sosio-
ekonomi rendah dan lingkungan buruk. Keterlibatan jantung menjadi komplikasi
terberat dari DRA dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Dengan 60% dari 470.000 kasus DRA pertahun akan menambah jumlah kejadian
PJR. Penderita PJR akan berisiko untuk terjadi kerusakan jantung akibat infeksi
berulang dari DRA sehingga memerlukan tindakan pencegahan (Julius, 2016).
Prevalensi panyakit jantung semua umur di Indonesia 1,5%, berdasakan
tingkatan umur kejadian terbanyak terjadi pada usia >75 tahun yaitu sebanyak
4,7%, dan paling sedikit terjadi pada usia <1 tahun sekitar 0,1%. Berdasarkan jenis
kelamin lebih banyak terjadi pada perempuan yaitu sebanyak 1,6% dan pada laki-
laki sebanyak 1,3%. Penyakit jantung reumatik merupakan bentuk penyakit yang
jarang ditemukan tetapi jika sudah terdiagnosa sangat susah untuk ditangani
(Riskesdas, 2018).
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam asuhan keperawatan pasien dengan
Rheumatic Heart Disease ini yaitu :
1.2.1 Apa pengertian dari Rheumatic Heart Disease?
1.2.2 Apa Etiologi dari Rheumatic Heart Disease?
1.2.3 Bagaimana Patofisiologi Rheumatic Heart Disease?
1.2.4 Apa yg menjadi Pemeriksaan Diagnostic pasien dengan Rheumatic
Heart Disease?
1.2.5 Bagaimana Penatalaksanaan Medic Pada pasien dengan Rheumatic
Heart Disease?
1.2.6 Bagaimana Asuhan Keperawatan pasien dengan Rheumatic Heart
Disease?
2.1.3 Patofisiologi
Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit
supuratif misalnya faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis nifas
dan penyakit non supuratif misalnya demam rematik, glomerulonefritis akut.
Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada
faring menghasilkan respon inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari ditandai
dengan demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan leukositosis. Pasien
masih tetap terinfeksi selama berminggu-minggu setelah gejala faringitis
menghilang, sehingga menjadi reservoir infeksi bagi orang lain. Kontak
langsung per oral atau melalui sekret pernafasan dapat menjadi media
trasnmisi penyakit. Hanya faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A saja
yang dapat mengakibatkan atau mengaktifkan kembali demam rematik.
Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik
berkelanjutan yang melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih
dari 60% penyakit rheumatic fever akan berkembang menjadi rheumatic heart
disease. Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease
yakni kerusakan katup jantung akan menyebabkan timbulnya regurgitasi.
Episode yang sering dan berulang penyakit ini akan menyebabkan penebalan
pada katup, pembentukan skar (jaringan parut), kalsifikasi dan dapat
berkembang menjadi valvular stenosis (Pande, Made, I, 2018)
Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever
dalam patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa
faktor yang berperan dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain
faktor organisme, faktor host dan faktor sistem imun.
Hubungan antara infeksi infeksi Streptokokus β hemolitik grup A dengan
terjadinya DR telah lama diketahui. Demam rematik merupakan respons auto
immune terhadap infeksi Streptokokus β hemolitik grup A pada tenggorokan.
Respons manifestasi klinis dan derajat penyakit yang timbul ditentukan oleh
kepekaaan genetic host, keganasan organisme dan lingkungan yang kondusif.
Mekanisme patogenesis yang pasti sampai saat ini tidak diketahui, tetapi peran
antigen histokompatibility mayor, antigen jaringan spesifik potensial dan
antibody yang berkembang segera setelah infeksi streptokokkus telah diteliti
sebagai faktor resiko yang potensial dalam patogenesis penyakit ini.
Terbukti sel limfosit T memegang peranan dalam patogenesis penyakit
ini dan ternyata tipe M dari Streptokkokus grup A mempunyai potensi
rheumatogenik. Beberapa serotype biasanya mempunyai kapsul, berbentuk
besar, koloni mukoid yang kaya dengan M-protein. M-protein adalah salah satu
determinan virulensi bakteri, strukturnya homolog dengan myosin kardiak dan
molecul alpha-helical coiled coil, seperti tropomyosin, keratin dan laminin.
Laminin adalah matriks protein ekstraseluler yang disekresikan oleh sel
endothelial katup jantung dan bagian integral dari struktur katup jantung. Lebih
dari 130 M protein sudah teridentifikasi dan tipe 1, 3, 5, 6, 14, 18, 19 dan 24
berhubungan dengan terjadinya DR.
Superantigen streptokokal adalah glikoprotein unik yang disintesa oleh
bakteri dan virus yang dapat berikatan dengan major histocompatibility complex
molecules dengan nonpolymorphic V b-chains dari T-cell receptors. Pada kasus
streptokokus banyak penelitian yang difokuskan pada peranan superantigen-
like activity dari fragmen M protein dan juga streptococcal pyrogenic exotoxin,
dalam patogenesis DR. Terdapat bukti kuat bahwa respons autoimmune
terhadap antigen streptokokkus memegang peranan dalam terjadinya DR dan
PJR pada orang yang rentan. Sekitar 0,3 – 3 persen individu yang rentan
terhadap infeksi faringitis streptokokkus berlanjut menjadi DR. Data terakhir
menunjukkan bahwa gen yang mengontrol low level respons antigen
streptokokkus berhubungan dengan Class II human leukocyte antigen, HLA.
Infeksi streptokokkus dimulai dengan ikatan permukaan bakteri dengan reseptor
spesifik sel host dan melibatkan proses spesifik seperti pelekatan, kolonisasi
dan invasi. Ikatan permukaan bakteri dengan permukaan reseptor host adalah
kejadian yang penting dalam kolonisasi dan dimulai oleh fibronektin dan oleh
streptococcal fibronectin-binding proteins. Faktor lingkungan seperti kondisi
kehidupan yang jelek, kondisi tinggal yang berdesakan dan akses kesehatan
yang kurang
merupakan determinan yang signifikan dalam distribusi penyakit ini. Variasi
cuaca juga mempunyai peran yang besar dalam terjadinya infeksi
streptokokkus untuk terjadi DR. Pada gambar di bawah ini dapat dilihat skema
patogenesis DR dan PJR (Fitriany & Annisa, 2019).
2.1.4 memanjPathway RHD
2.1.5 Manifestasi Klinis
Menurut Fitriany & Annisa, (2019) perjalanan klinis penyakit demam
reumatik/penyakit jantung reumatik dapat dibagi dalam 4 stadium:
a. Stadium I
Stadium ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman beta-
Streptococcus hemolyticus grup A. Keluhan biasanya berupa demam,
batuk, rasa sakit waktu menelan, tidak jarang disertai muntah danbahkan
pada anak kecil dapat terjadi diare. Pada pemeriksaan fisik sering
didapatkan eksudat di tonsil yang menyertai tanda-tanda peradangan
lainnya.Kelenjar getah bening submandibular seringkali membesar.Infeksi
ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan dapat sembuh sendiri tanpa
pengobatan. Para peneliti mencatat 50-90% riwayat infeksi saluran napas
bagian atas pada penderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik,
yang biasanya terjadi 10-14 hari sebelum manifestasi pertama demam
reumatik/penyakit jantung reumatik
b. Stadium II
Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi
Streptococcus dengan permulaan gejala demam reumatik, biasanyaperiode
ini berlangsung 1-3 minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6minggu atau
bahkan berbulan-bulan kemudian
c. Stadium III
Merupakan fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai
manifestasi klinik demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Manifestasi
klinik tersebut dapat digolongkan dalam gejala peradanganumum (gejala
minor) dan manifestasi spesifik (gejala mayor) demam reumatik/penyakit
jantung reumatik.
d. Stadium IV
Disebut juga stadium inaktif.Pada stadium ini penderita demam
reumatik tanpa kelainan jantung atau penderita penyakit jantung reumatik
tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala apa- apa. Pada penderita
penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung,
gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase
ini baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik
sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya
Manifestasi Klinis Mayor (Jones)
a. Karditis
Frekuensi karditis 30-60% pada serangan pertama, dan sering pada
anak anak.Karditis adalah satu satunya komplikasi.Demam reumatik yang
bisa menimbulkan efek jangka panjang.Kelainannya berupa pankarditis,
yaitu mengenai perikardium, epikardium, miokardium dan
endokardium.Pada Demam reumatik sering terjadipankarditis yang ditandai
dengan perikarditis, myokarditis dan endokarditis. Perikarditis ditandai
dengan pericardial friction rub. Pada efusi perikard bisa didengar adanya
muffled sound, dan pulsus paradoks (penurunan tekanan sistolik yang
besar di saat inspirasi). Karakterisitik miokarditis adalah infiltrasi sel
mononuklear, vaskulitis dan perubahan degeneratif pada interstisial
conective tissue.Bentuk endokarditis tersering adalah insufisiensi katub
mitral.Katub yang sering terkena adalah katub mitral (65- 70%) dan katub
aorta (25%).Katub trikuspid hanya terganggu pada 10% dan hampir selalu
berhubungan lesi pada katub mitral dan aorta.Sedangkan katub pulmonal
sangat jarang terlibat.Insufisiensi katub yang berat pada fase akut dapat
menyebabkan gagal jantung dan kematian (pada 1% penderita).
Perlengketan pada jaringan penunjang katub akan menghasilkan stenosis
atau kombinasi antara stenosis dan insufisiensi yang muncul dalam 2-10
tahun setelah episode demam reumatik akut. Perlengketan bisa terjadi
pada tingkatan ujung bilah katub, bilah katub dan chorda atau kombinasi
dari ketiga tingkatan tersebut.
Bising jantung yang sering pada demam rematik:
1. Bising mitral regurgitasi berupa bising pansistolik, high pitch, yang
radiasi ke axilla. Tidak dipengaruhi oleh posisi dan respirasi.
2. Carey coombs bising : bising diastolik di apeks pada karditis yang aktif
dan menyertai mitral insufisiensi berat. Mekanismenya berupa relatif
mitral stenosis yang diakibatkan dari volume yang besar yang melalui
katub mitral saat pengisian ventrikel.
3. Bising aorta regurgitasi : bising awal diastolik yang terdapat dibasal,
dan terbaikdidengar pada sisi atas kanan dan kiri sternum saat
penderita duduk miring kedepan.
b. Artritis
Artritis ARF paling sering menyerang sendi-sendi besar, terutama
lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Banyak sendi yang
sering terlibat, dengan timbulnya artritis pada sendi yang berbeda baik
dipisahkan dalam waktu atau tumpang tindih, sehingga memunculkan
deskripsi "polyratritis" migrasi "atau" aditif " . Setiap sendi terpengaruh
selama beberapa hari hingga satuminggu, dengan seluruh episode sembuh
tanpa pengobatan dalam waktu satu bulan. Nyeri sendi bisa sangat parah,
terutama pada anak-anak yang lebih tua dan remaja, dan sering tidak
sesuai dengan tanda-tanda klinis peradangan Atralgia yang merupakan
suatu kriteria minor, juga sering menyebabkan seorang dokter
mendiagnosa sebagai Demam reumatik terutama jika terdapat kriteria
minor yang lain, seperti febris dan bukti adanya infeksi streptokukkus
seperti ASTO.
c. Chorea Sydenham
Insidensi sydenham chorea muncul dalam 1-6 bulan setelah infeksi
streptokokus, progresif secara perlahan dan memberat dalam 1-2
bulan.Kelainan neurologis berupa gerakan involunter yang tidak
terkoordinasi (choreiform), pada muka, leher, tangan dan kaki. Disertai
dengan gangguan kontraksi tetanik dimana penderita tidak bisa
menggenggam tangan pemeriksa secara kuat terus menerus (milk sign).
Chorea dapat muncul dengan sendirinya, tanpa ciri-ciri ARF lainnya dan
tanpa bukti infeksi streptokokus, karena chorea dapat terjadi berbulan-
bulan setelah infeksi streptokokus. Jika chorea memiliki presentasi yang
terisolasi, penting untuk mengecualikan penyebab lain dari chorea, seperti
systemic lupus erythematosus, penyakit Wilson, dan reaksi. Dalam semua
kasus yang dicurigai chorea reumatik, pemeriksaan jantung dan
ekokardiogram harus dilakukan, karena chorea sangat terkait dengan
carditis
d. Eritema Marginatum
Muncul dalam 10% serangan pertama Demam reumatik biasanya
pada anak anak, jarang pada dewasa.Lesi berwarna merah, tidak nyeri dan
tidak gatal dan biasanya pada batang tubuh, lesi berupa cincin yang
meluas secara sentrifugal sementara bagian tengahcincin akan kembali
normal.
e. Nodulus Subkutan
Nodul subkutan muncul beberapa minggu setelah onset demam
rematik, dan biasanya tidak disadari penderita karena tidak nyeri.Biasanya
berkaitan dengan karditis berat, lokasinya dipermukaan tulang dan tendon,
serta menghilang setelah 1-2 minggu.
Manifestasi Minor
a. Demam
Demam hampir selalu ada pada poliartritis reumatik, ia sering ada
pada karditis yang tersendiri (murni) tetapi pada korea murni. Jenis
demamnya adalah remiten, tanpa variasi diurnal yang lebar, gejala khas
biasanya kembali normal atau hampir normal dalam waktu 2/3 minggu,
walau tanpa pengobatan.Artralgia adalah nyeri sendi tanpa tanda objektif
pada sendi.Artralgia biasanya melibatkan sendi besar. Kadang nyerinya
terasa sangat berat sehingga pasien tidak mampu lagi menggerakkan
tungkainya.Termasuk kriteria minor adalah beberpa uji laboratorium.
Reaktan fase akut seperti LED atau C-reactive protein mungkin naik. Uji ini
dapat tetap naik untuk masa waktu yang lama (berbulan-
bulan).Pemanjangan interval PR pada elektrokardiogram juga termasuk
kriteria minor.
b. Nyeri
Nyeri abdomen dapat terjadi pada demam reumatik akut dengan gagal
jantung oleh karena distensi hati. Nyeri abdomen jarang ada pada demam
reumatik tanpa gagal jantung dan ada sebelum manifestasi spesifik yang lain
muncul. Pada kasus ini nyeri mungkin terasa berat sekali pada daerah
sekitar umbilikus, dan kadang dapat disalahtafsirkan sebagai apendistis
sehingga dilakukan operasi.
c. Anoreksia, nausea, dan muntah
Seringkali ada, tetapi kebanyakan akibat gagal jantung kongestif atau
keracunan salisilat. Epitaksis berat mungkin dapat terjadi
d. Kelelahan
Merupakan gejala yang tidak jelas dan jarang, kecuali pada gagal
jantung.Nyeri abdomen dan epitaksis, meskipun sering ditemukan pada
demam reumatik, tidak dianggap sebagai kriteria diagnosis. (Fitriany &
Annisa, 2019).
2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium : Dari pemeriksaan laboratorium darah
didapatkan anti steptolisin (ASTO) positif, kenaikan laju endap darah
(LED), terjadi leukositosis.
b. Radiologi : Pada pemeriksaan foto toraks menunjukkan adanya
corakan bronkovaskuler pada paru bertambah dan terjadinya
pembesaran pada jantung/ kardiomegali.
c. Pemeriksaan elektrokardiogram : Menunjukkan interval PR
memanjang (Shiba & Rukmi, 2017).
d. Pemeriksaan ekokardiogram : Menunjukan pembesaran padajantung
dan terdapat lesi, mengidentifikasi dan menilai derajat
insufisiensi/stenosis katup, efusi perikardium, dan disfungsi ventrikel.
Pada pasien rheumatic fever dengan karditis ringan, regurgitasi mitral
akan menghilang beberapa bulan. Sedangkan pada rheumatic fever
dengan karditis sedang dan berat memiliki regurgitasi mitral/aorta
yang menetap. Gambaran ekokardiografi terpenting adalah dilatasi
annulus, elongasi chordae mitral, dan semburan regurgitasi mitral ke
postero- lateral.
e. Apus tenggorokan ditemukan streptokokus beta hemolitikus grup A
(Kana, 2019)
Terapeutik
Lakukan oral hygiene sebelum makan,
jika perlu
Fasilitasi menentukan pedoman diet
(mis. Piramida makanan)
Sajikan makanan secara menarik dan
suhu yang sesuai
Berikan makan tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi
protein
Berikan suplemen makanan, jika perlu
Hentikan pemberian makan melalui
selang nasigastrik jika asupan oral dapat
ditoleransi
Edukasi
Anjurkan posisi duduk, jika mampu
Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian medikasi sebelum
makan (mis. Pereda nyeri, antiemetik),
jika perlu
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan, jika perlu
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Pasien
Nama Ny. A
Tanggal Lahir 15 April 1974 (48 Tahun)
No. RM 06.04.54
Jenis Kelamin Perempuan
Alamat Kp. Sukapura, RT/RW: 001/004, Cilincing, Jak-Ut
Diagnosa Medis AF Rapid, MR Severe, TR Mild e.c RHD, PH Mod
Tanggal masuk RS 18 Februari 2022
Tanggal Pengkajian 18 Februari 2022
Keterangan :
: Perempuan
: Laki-laki
: Klien
b. Mata
Inspeksi
Sclera putih
Reflex mata baik
Pupil isokor
Konjungtiva tampak sedikit anemis
c. Hidung
Inspeksi
Tidak ada secret
Tidak terdapat pernapasan cuping hidung
d. Telinga
Inspeksi
Simetris
Tidak ada serumen
f. Leher
Inspeksi
Terdapat distensi pada vena jugularis (8 cm)
Palpasi
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
Iktus cordis teraba
3.3.2 Echocardiography
a. Interpretasi EKG :
Rhythm : Irreguler
Gel. P : Ada beberapa gel P yg muncul
PR int : tidak dapat di hitung
Komp. QRS: 3x0.04= 0.12 detik (normal)
Rate : 80x/menit (R-R dalam 6 detik)
3.4 Terapi
Simarc 1x2 mg Furosemid 1x40 mg
Digoxin 1x0.25 mg Spironolactone 1x25 mg
Concor 1x2.5 mg PMP 2x250 mg
Ramipril 1x2.5 mg
DO:
- Klien tampak sesak saat datang ke
ruang rawat inap
A:
- Masalah belum
teratasi
P:
- Lanjutkan
intervensi
2. Resiko penurunan Perawatan jantung (I.02075) S:
curah jantung (D.0011) Observasi: - Klien
berhubungan dengan - Mengidentifikasi tanda/gejala primer mengatakan
perubahan preload penurunan curah jantung merasa lemas
- Mengidentifikasi tanda/gejala - Klien
sekunder penurunan curah jantung mengatakan
- Memonitor tekanan darah merasa sedikit
- Memonitor intake dan output cairan sesak jika terlalu
sering ke toilet
Kolaborasi:
- Memberikan antiaritmia, jika perlu O:
- Memberikan diet jantung yang sesuai - TTV
- Memberikan obat diuretic sesuai T : 108/60
anjuran dokter mmHg
N : 60x/menit
Edukasi: P : 24x/menit
- Menganjurkan beraktivitas fisik sesuai S : 36.6 C
toleransi SpO2 96 %
- Menganjurkan beraktivitas fisik secara
bertahap - Intake 450cc/5
- Batasi cairan harian (<1.5 – 2 L/24 jam
jam) - Output 300cc/5
- Menganjurkan menggunakan pispot jam
untuk BAK/BAB jika sesak terasa berat BC 150cc/5 jam
UO 1.5cc/kg/jam
A:
- Masalah belum
teratasi
P:
- Lanjutkan
intervensi
3. Intoleransi aktivitas Manajemen energy (I.05178) S:
(D.0056) berhubungan Observasi - klien mengeluh
dengan - Mengidentifikasi gangguan masih sesak
ketidakseimbangan fungsitubuh yang apabila
antara suplai dan mengakibatkan kelelahan melakukan
kebutuhan oksigen - Memonitor kelelahan fisik aktivitas
danemosional
- Memonitor lokasi dan O:
ketidaknyamananselama melakukan - TTV
aktivitas T : 108/60
mmHg
Terapeutik N : 60x/menit
- Menyediakan lingkungan yang P : 24x/menit
nyamandan rendah stimulus S : 36.6 C
- Melakukan latihan rentang gerak SpO2 96 %
pasifdan/atau aktif CRT >2 detik
- Memberikan kegiatan distraksi yang
menenangkan - Klien tampak
lemah
Edukasi - Aktivitas dibantu
- Menganjurkan melakukan oleh keluarga
aktivitassecara
bertahap A:
- Masalah belum
Kolaborasi teratasi
- Memberikan informasi tentang aktifitas P:
yg bisa dilakukan oleh tim rehabilitasi - Lanjutkan
medik intervensi
4. Defisit pengetahuan Edukasi Kesehatan S:
(D.0111) berhubungan - klien bertanya
dengan kekeliruan Observasi: tentang penyakitnya
mengikuti anjuran
- Mengidentifikasi kesiapan - klien dan keluarga
dan kemampuan menerima bertanya tentang
informasi tindakan yg akan di
- Mengidentifikasi faktor-faktor lakukan
yang dapat meningkatkan dan O:
menurunkan motivasi perilaku - TTV
perilaku hidup bersih dan sehat T : 108/60 mmHg
Terapeutik: N : 60x/menit
P : 24x/menit
S : 36.6 C
- Memberikan edukasi tentang
SpO2 96 %
pola hidup sehat
A:
- Masalah belum teratasi
P:
- Lanjutkan intervensi
2. Resiko penurunan Perawatan jantung (I.02075) S:
curah jantung (D.0011) Observasi: - Klien mengatakan masih
berhubungan dengan - Mengidentifikasi tanda/gejala primer merasa lemas
perubahan preload penurunan curah jantung - Klien mengatakan merasa
- Mengidentifikasi tanda/gejala sedikit sesak jika terlalu
sekunder penurunan curah jantung sering ke toilet
- Memonitor tekanan darah O:
- Memonitor intake dan output cairan - TTV
T : 100/80 mmHg
Kolaborasi: N : 87x/menit
- Memberikan antiaritmia, jika perlu P : 22x/menit
- Memberikan diet jantung yang sesuai S : 36.8 C
- Memberikan obat diuretik sesuai SpO2 97 %
anjuran dokter
- Intake 60cc/3 jam
Edukasi: - Output 140cc/3 jam
- Menganjurkan beraktivitas fisik sesuai BC -80cc/3 jam
toleransi UO 1.2cc/kg/jam
- Menganjurkan beraktivitas fisik secara
bertahap - Klien puasa untuk
- Batasi cairan harian (<1.5 – 2 L/24 tindakan CAG sejak jam
jam) 04.00 WIB
- Menganjurkan menggunakan pispot
untuk BAK/BAB jika sesak terasa - CRT >2 detik
berat - Echo : MR severe, MS
mod, LA-LV dilatasi
A:
- Masalah belum teratasi
P:
- Lanjutkan intervensi
3. Intoleransi aktivitas Manajemen energy (I.05178) S:
(D.0056) Observasi - klien mengeluh masih
berhubungandengan - Mengidentifikasi gangguan fungsi sesak apabila melakukan
ketidakseimbangan tubuh yang mengakibatkan kelelahan aktivitas
antara suplai - Memonitor kelelahan fisik dan
dan emosional O:
kebutuhan oksigen - Memonitor lokasi dan - TTV
ketidaknyamanan selama melakukan T : 100/80 mmHg
aktivitas N : 87x/menit
P : 22x/menit
Terapeutik S : 36.8 C
- Menyediakan lingkungan yang SpO2 97 %
nyamandan rendah stimulus CRT >2 detik
- Melakukan latihan rentang gerak
pasifdan/atau aktif - Klien tampak lemah
- Memberikan kegiatan distraksi yang - Aktivitas dibantu oleh
menenangkan keluarga
A:
Edukasi - Masalah belum teratasi
- Menganjurkan melakukan aktivitas P:
secara bertahap - Lanjutkan intervensi
Kolaborasi
- Memberikan informasi tentang aktifitas
yg bisa dilakukan oleh tim rehabilitasi
medik
4. Defisit pengetahuan Edukasi Kesehatan S:
(D.0111) berhubungan - Klien mengatkan
dengan kekeliruan Observasi: sudah memahami
mengikuti anjuran penjelasan perawat
- Mengidentifikasi kesiapan dan dan dokter.
kemampuan menerima informasi
- Klien mngatakan siap
- Mengidentifikasi faktor-faktor yang menjalani tindakan
dapat meningkatkan dan menurunkan yg sudah di
motivasi perilaku perilaku hidup rencanakan.
bersih dan sehat
Terapeutik: O:
- TTV
- Memberikan edukasi tentang pola hidup T : 100/80 mmHg
sehat N : 87x/menit
P : 22x/menit
- Memberikan kesempatan kepada S : 36.8 C
pasien untuk bertanya SpO2 97 %
A:
- Masalah teratasi sebagian
P:
- Pasien di rencanakan
pulang
- Hentikan intervensi
2. Resiko penurunan Perawatan jantung (I.02075) S:
curah jantung (D.0011) Observasi: - Klien mengatakan sudah
berhubungan dengan - Mengidentifikasi tanda/gejala primer tidak terlalu lemas
perubahan preload penurunan curah jantung
- Mengidentifikasi tanda/gejala - Klien mengatakan masih
sekunder penurunan curah jantung merasa sedikit sesak jika
- Memonitor tekanan darah terlalu sering ke toilet
- Memonitor intake dan output cairan O:
- TTV
Kolaborasi: T : 120/58 mmHg
- Memberikan antiaritmia, jika perlu N : 65x/menit
- Memberikan diet jantung yang sesuai P : 20 x/menit
- Memberikan obat diuretik sesuai S : 36,4 C
anjuran dokter SpO2 99 %
CRT < 2 detik
Edukasi:
- Menganjurkan beraktivitas fisik sesuai - Intake 60cc/3 jam
toleransi - Output 140cc/3 jam
- Menganjurkan beraktivitas fisik secara BC -80cc/3 jam
bertahap UO 1.2cc/kg/jam
Batasi cairan harian (<1.5 – 2 L/24
jam) - Klien tampak lebih segar
- Menganjurkan menggunakan pispot
untuk BAK/BAB jika sesak terasa A:
berat - Masalah teratasi sebagian
P:
- Pasien di rencanakan
pulang
- Hentikan intervensi
3. Intoleransi aktivitas Manajemen energy (I.05178) S:
(D.0056) Observasi - klien mengatakan sudah
berhubungandengan - Mengidentifikasi gangguan fungsi dapat melakukan aktivitas
ketidakseimbangan tubuh yang mengakibatkan kelelahan ringan
antara suplai - Memonitor kelelahan fisik
dan danemosional O:
kebutuhan oksigen - Memonitor lokasi dan - TTV
ketidaknyamanan selama melakukan T : 120/58 mmHg
aktivitas N : 65x/menit
Terapeutik P : 20 x/menit
- Menyediakan lingkungan yang S : 36.4 C
nyamandan rendah stimulus SpO2 99 %
- Memfasilitasi duduk di sisi tempat tidur, CRT < 2 detik
jika tidak dapat berjalan atau berpindah
Edukasi - Klien tampak aktivitas
- Menganjurkan melakukan aktivitas secara mandiri
secara bertahap - klien tampak segar
A:
- Masalah teratasi
sebagian
P:
- Pasien di rencanakan
pulang
- Hentikan intervensi
4 Resiko Infeksi Pencegahan Infeksi (I.14539) S:
(D.0142) behubungan Observasi - Klien mengatakan sudah
dengan efek tindakan - Memonitor tanda dan gejala infeksi local memahami cara mencuci
invasif tangan yg di ajarkan
dan sistemik
- Klien dan keluarga
Terapeutik mengatakan sudah
memahami tanda infeksi
- Memberikan perawatan kulit pada areaO :
luka - TTV
- Mencuci tangan sebelum dan sesudah T : 120/58 mmHg
kontak dengan pasien dan lingkungan N : 65x/menit
pasien P : 20 x/menit
S : 36.4 C
Edukasi SpO2 99 %
PEMBAHASAN
4.3 IntervensiKeperawatan
Dalam melakukan intervensi, dari hasil kajian ada 5 diagnosa. Intervensi yang dilakukan
disesuaikan dengan kondisi klien tetapi pada prinsipnya dalam pemberian intervensi
keperawatan berpatokan pada tinjauan teoritis. Intervensi yangdiambil adalah tindakan
yang dapat dilakukan langsung kepada pasien, intervensi dari 1 diagnosa prioritas
adalah pemantauan respirasi yang diantaranya monitor pola nafas, monitor saturasi
oksigen, monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas, monitor adanya
sumbatan jalan nafas.
4.4 ImplementasiKeperawatan
Dalam melakukan implementasi dari 5 diagnosa, tidak semua intervensi dapat di lakukan.
Untuk pemantauan respirasi, tim mengobservasi frekuensi, irama, kedalaman, dan
upaya napas. Memonitor pola napas, memonitor adanya sumbatan jalan nafas,
melakukan palpasi kesimetrisan ekspansi paru, asukultasi bunyi nafas, memonitor
saturasi oksigen, mengatur posisi pasien semifowler serta mengajarkan keluarga
cara latihan nafas dalam.
Untuk perawatan jantung tim mengidentifikasi tanda/gejala primer penurunan curah
jantung (meliputi dispnea, kelelahan, edema, ortopnea, paroxysmal nocturnal
dyspnea, peningkatan CVP), mengidentifikasi tanda/gejala sekunder penurunan
curah jantung (meliputi peningkatan berat badan, hepatomegali, distensi vena
jugularis, palpitasi, ronkhi basah, oliguria, batuk, kulit pucat), memonitor intake dan
output cairan. Selanjutnya adalah manajemen energypenulis melakukan latihan
rentang gerak pasif atau aktif, menganjurkan melakukan aktivitas secara bertahap.
Implementasi tersebut dilakukan secara bertahap dengan bantuan perawat
rehabilitas medik RS JHC dan keluarga klien. Untuk implementasi edukasi
Kesehatan, tim lebih mengarah kepada diskusi terbuka bersama klien dan
keluarga. Terutama tentang kecemasan yg di rasakan maupun informasi tentang
prosedur yg akan di jalani. Terakhir untuk pencegahan infeksi setelah prosedur
CAG, tim mengedukasi klien dan keluarga untuk mengenali tanda dan gejala
infeksi, serta bagaimana cara merawat luka post puncture.
4.5 EvaluasiKeperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang berguna untuk menilai
keberhasilan asuhan keperawatan yang telah dilakukan. Waktu pencapaian keberhasilan
asuhan keperawatan disesuaikandenganberatringannyadiagnosakeperawatan.Berdasarkan
asuhan keperawatan yangtelah dilakukan masalah belum teratasi secara penuh, penulis
menjadikan sumber SLKI menjadi kriteria ketercapaiannya masalah. Dalam asuhan
keperawatan ini, masalah belum teratasi dikarenakan keterbatasan waktu untuk
memberikan intervensi kepada pasien serta perlunya tindakan kolaborasi dalam
pemberian intervensi medis untuk mengatasi komplikasi RHD pada pasien.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Hasil studi kasus ini dapat disimpulkan bahwa Rheumatic Heart Disease
adalah penyakit yang diakibatkan oleh respons imunologis lambat yang terjadi setelah
infeksi kuman Streptococus β hemolyticus grup A. Dimana biasanya sering ditemukan
pada anak dan jika tidak ditangani secara menyeluruh dapat menyebabkan kelainan
katup jantung yang menetap.
Klien yaitu Ny. A berusia 48 tahun, klien di diagnosis terkena penyakit jantung
pada saat duduk di kelas 5 SD. Namun tidak menjalani pengobatan di karenakan tidak
ada biaya dan mendapat info dari tetangga bahwa sakitnya akan sembuh seiring
bertambah usia. Tatalaksana asuhan keperawatan yang dilakukan pada studi kasus
ini diutamakan meliputi manajemen napas, perawatan jantung dan manajemen energi
karena keluhan pasien akan berdampak kepada hemodinamik dan gangguan rasa
nyaman klien. Tedapat keterbatasan pelaksanaan intervensi pada asuhan
keperawatan, dikarenakan keterbatasan waktu sehingga masalah belum teratasi
sepenuhnya.
5.2 Saran
5.2.1 Bagi klien
Bagi klien dan keluarga harus mampu mengenali tanda dan gejala penyakit
infeksi jantung.
5.2.2 Bagi perawat
Sebagai tenaga kesehatan diharapkan selalu mengupgrade ilmu-ilmu terbaru
mengenaiperawatan penyakit infeksi jantung.
5.2.3 Bagi Rumah Sakit
Rumah sakit sebagai sarana fasilitas kesehatan bagi masyarakat agar selalu
mempertahankan kualitas pelayanan.
DAFTAR PUSTAKA
Fitriany, J., & Annisa, I. (2019). Demam Reumatik Akut. AVERROUS: Jurnal Kedokteran Dan
Kesehatan Malikussaleh, 5(2), 11. https://doi.org/10.29103/averrous.v5i2.2078.
Hasnul M, Najirman & Yanwirasti. (2015). Karakteristik pasien penyakit jantung rematik yang
dirawat inap di RSUP Dr.M.Djamil.Jurnal Kesehatan Andalas Vol 4 No 3, 894-900.
Julius W. (2016). Penyakit jantung reumatik. Jurnal Medula Unila Vol 3 No 4,138-144
dari:https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/1601.
Kana, Ina Erni Putri Bungsu. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Nn. N Dengan Penyakit
jantung reumatik di Ruangan Cempaka RSUD PROF. DR.W.Z Johannes Kupang.
Kupang: Poltekkes Kemenkes Kupang.
Kardiovaskular Dalam Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Sahrudi dan Akhyarul Anam.
2021. Jakarta. Trans Info Media.
NK, R., Iskandar, B., Albar, H., & Daud, D. (2016). Faktor Risiko Serangan Berulang Demam
Rematik/Penyakit Jantung Rematik. Sari Pediatri, 14(3), 179.
https://doi.org/10.14238/sp14.3.2012.179-84.
Shiba & Rukmi.(2017). Penyakit Jantung Rematik Pada Anak Laki-laki Usia 8 Tahun. Jurnal
Medula Unila Vol 7 No 2. 13-21.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI). Edisi
1. Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI). Edisi 1.
Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi 1.
Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia.