Anda di halaman 1dari 49

DEPARTEMEN ILMU PATOLOGI KLINIK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2021


UNIVERSITAS HASANUDDIN

ASPEK LABORATORIUM PENYAKIT JANTUNG REMATIK

DISUSUN OLEH :

1. Nur Fachraeni Husain C014202144


2. Ainun Rizki Aussiana C014202150
3. Rifdah Amaal Pawennei C014202151
Residen Pembimbing :
dr. Linda Mayliana KN

Supervisor Pembimbing :
Dr. dr. Tenri Esa, Msi, Sp.PK(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

1. Nur Fachraeni Husain C014202144


2. Ainun Rizki Aussiana C014202150
3. Rifdah Amaal Pawennei C014202151

Judul Referat : Aspek Laboratorium Penyakit Jantung Rematik


Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian
Departemen Ilmu Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

iii
Makassar, September 2021
Mengetahui
Supervisor Pembimbing

Residen Pembimbing

dr.Linda Mayliana KN

iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kriteria Jones ……………………………………………………19
Tabel 2.2 Obat-obat Profilaksis Primer untuk Rheumatic Fever...................22
Tabel 2.3 Obat-obat Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever...………23
Tabel 2.4 Tirah Baring yang Dianjurkan pada Rheumatic Fever r...………25

v
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................ii
DAFTAR TABEL .............................................................................................iii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………...3

2.1. Definisi...........................................................................................3
2.2. Epidemiologi...................................................................................3
2.3. Etiologi...........................................................................................4
2.4. Faktor Risiko..................................................................................4
2.5. Patofisiologi....................................................................................7
2.6. Manifestasi Klinis...........................................................................13
2.7. Diagnosis........................................................................................18
2.8. Aspek Laboratorium.......................................................................20
2.9. Tatalaksana.....................................................................................21
2.10. Prognosis.......................................................................................26

BAB III KESIMPULAN...................................................................................27


DAFTAR PUSTAKA........................................................................................28

vi
1

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit jantung rematik (PJR) ditandai dengan kerusakan permanen pada


katup jantung yang berkembang sebagai dampak serius dari episode berulang
demam rematik akut (DRA), reaksi autoimun terhadap infeksi bakteri
Streptokokus beta hemolyticus grup A. Gagal jantung, fibrilasi atrium, dan stroke
adalah komplikasi umum dari penyakit jantung rematik, yang mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas dini yang signifikan.1
Diagnosis penyakit jantung rematik dibuat dengan menggunakan kriteria
klinis (Kriteria Jones) dan dengan menyingkirkan diagnosis banding lainnya.
Kriteria Jones pertama kali ditetapkan pada tahun 1944 dan sejak itu telah
mengalami banyak modifikasi, revisi, dan pembaruan, yang terakhir pada tahun
2015. Kriteria dibagi menjadi manifestasi mayor dan minor. Diagnosis ditegakkan
bila pasien datang dengan dua manifestasi mayor atau satu manifestasi mayor dan
paling sedikit dua manifestasi minor. Aspek laboratorium dari penyakit jantung
rematik adalah reaktan fase akut, rapid test antigen streptococcus, pemeriksaan
antibodi antistreptokokus, dankultur tenggorok. 2
Meski insiden global demam rematik dan penyakit jantung telah menurun,
namun tetap menjadi endemik di daerah yang mengalami hambatan terhadap
perawatan kesehatan dan lingkungan tempat tinggal yang padat. Faktor-faktor ini
memungkinkan penyebaran Streptococcus beta hemolyticus grup A dan
perkembangan penyakit jantung rematik, menyebabkan setengah juta kematian
setiap tahun. Di negara-negara berpenghasilan tinggi, penyakit jantung rematik
lebih sering diidentifikasi di antara penduduk asli dan migran, dengan 87% pasien
2

penyakit jantung rematik di Australia adalah orang Aborigin dan Torres Strait
Islander.3
Secara keseluruhan, diperkirakan ada 38,0 juta 40,8 juta kasus RHD secara
global pada tahun 2017, dengan prevalensi, kecacatan, dan kematian tertinggi di
Oseania, Asia Selatan, dan Afrika sub-Sahara. Prevalensi berkisar dari 3,4 kasus
per 100.000 penduduk di negara-negara nonendemik, hingga >1000 kasus per
100.000 di negara endemik. Diperkirakan ada 266 200 hingga 303.300 kematian
disebabkan oleh penyakit jantung rematik pada tahun 2017. Di daerah
nonendemik, kematian dari penyakit jantung rematik bergeser ke arah mereka dari
latar belakang sosial ekonomi yang buruk.4
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit jantung rematik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit


jantung didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung rematik
merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam rematik
akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%),
jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup
4

pulmonal. Penyakit jantung rematik dapat menimbulkan stenosis atau


insufisiensi atau keduanya.5

2.2 Epidemiologi

Penyakit Jantung Rematik adalah penyebab utama gagal jantung pada


anak-anak dan dewasa muda yang tinggal di negara-negara berpenghasilan
rendah. Secara global, PJR diperkirakan mempengaruhi 15,6 juta orang
yang mengakibatkan 233.000 kematian setiap tahunnya. Rawat inap ulang
dan operasi jantung sebagai akibat dari PJR sangat signifikan dari 5 tahun
hingga 20 tahun setelah diagnosis. Dalam beberapa tahun terakhir, beban
global PJR telah menurun secara dramatis di negara maju. Di sisi lain, PJR
masih menjadi perhatian utama di banyak negara endemik. Sekitar 1% dari
semua anak sekolah menunjukkan tanda-tanda PJR. Afrika, Asia, Teluk
Arab, Pasifik dan penduduk asli Australia dan Selandia Baru adalah daerah
yang paling parah terkena PJR. Data tentang prevalensi PJR di antara
penduduk Saudi terbatas. Namun, persentase anak-anak dengan PJR di Arab
Saudi tetap di atas tingkat global. Selain itu, Persentase pasien PJR yang
datang dengan gagal jantung akut dilaporkan 52%, sedangkan mereka yang
gagal jantung kronis berisiko tinggi adalah 12%. Angka-angka ini
didasarkan pada registri HEARTS untuk gagal jantung kronis akut dan
berisiko tinggi. Selain itu, dua penelitian yang diterbitkan melaporkan
5

tingkat prevalensi yang lebih tinggi pada anak-anak lebih dari 5 tahun.
Selain itu, dua penelitian yang diterbitkan melaporkan tingkat prevalensi
yang lebih tinggi pada anak-anak di atas usia 5 tahun. Menurut studi
pertama, dari 40 pasien, 34 mengalami serangan awal dan 12 kasus
berulang. Studi lain melaporkan 51 serangan awal pada anak-anak dan 22
kekambuhan di antara 67 pasien.6

2.3 Etiologi

Penyakit jantung rematik didahului oleh terjadinya demam rematik akut


yaitu sindroma peradangan yang timbul setelah sakit tenggorokan oleh
Streptococcus beta hemolyticus grup A yang cenderung dapat kambuh.
Dimana demam rematik akut merupakan sekuele faringitis nonsupuratif
yang tertunda akibat Streptococcus pyogenes. Proses penyakit ini belum
diketahui secara pasti, namun penyakit ini sebagian disebabkan oleh respon
autoimun terhadap infeksi S. pyogenes yang melibatkan sistem organ.
Sistem organ yang terlibat biasanya meliputi jantung, persendian, dan sistem
saraf pusat. S. pyogenes adalah kokus gram positif yang tumbuh dalam
6

rantai. Mereka menunjukkan hemolisis ketika ditanam di piring agar darah.


Mereka termasuk dalam grup A dalam sistem klasifikasi Lancefield untuk
Streptococcus β-hemolitik dan juga disebut grup A streptokokus. 7

2.4 Faktor Risiko

1. Usia

Usia Insiden kasus awal demam rematik akut paling tinggi pada
anak-anak berusia 5-14 tahun, meskipun episode pertama memang
terjadi pada anak-anak yang lebih muda, dengan kasus-kasus demam
rematik akut yang dilaporkan pada mereka yang berusia 2-3 tahun.
Episode awal juga dapat terjadi pada remaja dan orang dewasa yang
lebih tua, meskipun kasus pada orang berusia >30 tahun jarang terjadi.8
Sebaliknya, episode berulang sering mempengaruhi anak-anak
yang sedikit lebih tua, remaja dan dewasa muda tetapi jarang diamati di
luar usia 35-40 tahun. Penyakit jantung rematik adalah penyakit kronis
7

yang disebabkan oleh akumulasi kerusakan katup jantung dari satu


episode demam rematik akut yang parah atau berulang. Artinya,
meskipun PJR terjadi pada anak-anak, puncak prevalensinya pada masa
dewasa, biasanya antara usia 25 tahun dan 45 tahun.8

2. Jenis Kelamin

Di sebagian besar populasi, demam rematik akut sama-sama umum


pada pria dan wanita. Namun, penyakit jantung rematik lebih sering
terjadi pada wanita, dengan risiko relatif 1,6 hingga 2,0 dibandingkan
dengan pria. Selain itu, perbedaan jenis kelamin ini mungkin lebih kuat
pada remaja dan orang dewasa daripada pada anak-anak. Alasan untuk
hubungan ini tidak jelas, tetapi faktor intrinsik seperti kerentanan
autoimun yang lebih besar, seperti yang diamati pada lupus eritematosus
sistemik, dan faktor ekstrinsik seperti paparan yang lebih besar terhadap
infeksi Streptococcus Grup A pada wanita dibandingkan pada pria
sebagai akibat dari keterlibatan yang lebih dekat dalam membesarkan
anak mungkin menjelaskan perbedaan ini.8
Selain itu, perempuan dan anak perempuan mungkin mengalami
penurunan akses ke profilaksis demam rematik akut primer dan
sekunder dibandingkan dengan laki-laki dan anak laki-laki, dan ini juga
dapat berkontribusi pada perbedaan tingkat penyakit jantung rematik
8

antara perempuan dan laki-laki. Akhirnya, penyakit jantung rematik


pada kehamilan menjadi semakin dikenal. Memang, data dari Afrika
Selatan dan Senegal menunjukkan bahwa penyakit jantung rematik
adalah penyebab utama kematian obstetrik tidak langsung, yang pada
gilirannya menyumbang 25% dari semua kematian ibu di negara
berkembang. Efek ini berkaitan dengan memburuknya penyakit yang
sudah ada sebelumnya sebagai akibat dari perubahan hemodinamik yang
terjadi selama kehamilan, daripada peningkatan kerentanan terhadap
demam rematik akut atau penyakit jantung rematik karena kehamilan.8

3. Faktor lingkungan

Sebagian besar perbedaan risiko antara populasi di seluruh dunia


dapat dijelaskan oleh faktor lingkungan. Kontribusi relatif dari masing-
masing risiko individu ini sulit dijelaskan mengingat banyak dari risiko
tersebut tumpang tindih dan sebagian besar terkait dengan kemiskinan
dan kerugian ekonomi. Kepadatan rumah tangga mungkin merupakan
faktor risiko yang paling tepat dijelaskan dan pengurangan kepadatan
telah disebut-sebut sebagai salah satu faktor terpenting yang mendasari
penurunan kejadian demam rematik akut di negara-negara kaya selama
abad kedua puluh. Data terakhir dengan jelas menunjukkan hubungan
9

demam rematik akut dan penyakit jantung rematik dengan kepadatan


rumah tangga.8
Dalam kebanyakan penelitian, risiko penyakit jantung rematik
berkembang ditemukan paling tinggi di lokasi pedesaan. Misalnya,
Penduduk Asli Australia yang tinggal di komunitas terpencil 3,3 kali
lebih mungkin berkembangnya penyakit jantung rematik daripada
Penduduk Asli Australia yang tinggal di pusat kota di wilayah yang
sama. Temuan serupa telah dilaporkan dari daerah lain, meskipun dalam
beberapa penelitian risiko tertinggi dari semua di daerah kumuh
perkotaan. Kemungkinan hal tersebut adalah sebagian besar dari faktor
risiko lain seperti kepadatan rumah tangga — yang paling banyak di
daerah kumuh perkotaan tetapi sering tinggi di komunitas pedesaan yang
miskin — dan akses ke layanan medis. Ada beberapa penelitian, yang
dilakukan di Amerika Serikat selama tahun 1960-an dan 1970-an, yang
menunjukkan tingkat demam rematik akut yang lebih rendah di daerah
yang memiliki akses lebih baik ke perawatan medis daripada di
komunitas di mana akses ke perawatan lebih rendah.8
Di beberapa wilayah, termasuk Karibia Prancis dan Kuba,
penurunan tingkat demam rematik akut dikaitkan dengan program medis
komprehensif yang mencakup berbagai promosi pendidikan dan
kesehatan serta strategi medis yang menargetkan demam rematik akut
dan penyakit jantung rematik. Akibatnya, sulit untuk mengisolasi
komponen spesifik dari akses ke perawatan medis yang berkontribusi
terhadap pengurangan demam rematik akut dan penyakit jantung
rematik.8
10

Asosiasi individu lain dari faktor lingkungan dengan demam


rematik akut dan penyakit jantung rematik, seperti kurang gizi, kadang-
kadang ditunjukkan tetapi bukti yang menghubungkannya dengan
penyakit tidak kuat. Sebaliknya, ada sedikit keraguan bahwa asosiasi
utama dengan demam rematik akut dan penyakit jantung rematik
berhubungan dengan kemiskinan dan bahwa ini adalah penyakit klasik
ketidakadilan sosial. Memang, data terbaru dari republik Asia Tengah
menyoroti bagaimana penyakit jantung rematik dapat dengan cepat
muncul dalam pengaturan gangguan sosial, yang menunjukkan bahwa
ketidakstabilan sosial dan perang memainkan peran utama dalam
mendorong demam rematik akut dan penyakit jantung rematik, mungkin
melalui perpindahan, kepadatan penduduk dan kondisi kehidupan yang
buruk. Dari semua faktor risiko lingkungan, perumahan yang terlalu
padat adalah faktor yang paling tepat dijelaskan yang dapat diperbaiki.8

2.5 Patofisiologi

Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit


supuratif misalnya faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis
nifas dan penyakit non supuratif misalnya demam rematik, glomerulonefritis
akut. Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi Streptococcus beta hemolyticus grup
11

A pada faring menghasilkan respon inflamasi akut yang berlangsung 3-5


hari ditandai dengan demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan
leukositosis. Pasien masih tetap terinfeksi selama berminggu-minggu
setelah gejala faringitis menghilang, sehingga menjadi reservoir infeksi bagi
orang lain. Kontak langsung per oral atau melalui sekret pernafasan dapat
menjadi media trasnmisi penyakit. Hanya faringitis Streptococcus beta
hemolyticus grup A saja yang dapat mengakibatkan atau mengaktifkan
kembali demam rematik.9
Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik
berkelanjutan yang melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih
dari 60% penyakit rheumatic fever akan berkembang menjadi rheumatic
heart disease. Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic heart
disease yakni kerusakan katup jantung akan menyebabkan timbulnya
regurgitasi. Episode yang sering dan berulang penyakit ini akan
menyebabkan penebalan pada katup, pembentukan skar (jaringan parut),
kalsifikasi dan dapat berkembang menjadi valvular stenosis. Sebagai dasar
dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever dalam
patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor
yang berperan dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain faktor
organisme, faktor host dan faktor sistem imun.9
Bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sebagai organisme
penginfeksi memiliki peran penting dalam patogenesis rheumatic fever.
Bakteri ini sering berkolonisasi dan berproliferasi di daerah tenggorokan,
dimana bakteri ini memiliki supra-antigen yang dapat berikatan dengan
major histocompatibility complex kelas 2 (MHC kelas 2) yang akan
berikatan dengan reseptor sel T yang apabila teraktivasi akan melepaskan
12

sitokin dan menjadi sitotosik. Supra-antigen bakteri Streptococcus beta


hemolyticus grup A yang terlibat pada patogenesis rheumatic fever tersebut
adalah protein M yang merupakan eksotoksin pirogenik Streptococcus.
Selain itu, bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A juga
menghasilkan produk ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNA-
ase, dan hialuronidase yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi
autoreaktif. Antibodi yang paling sering adalah antistreptolisin-O (ASTO)
yang tujuannya untuk menetralisir toksin bakteri tersebut. Namun secara
simultan upaya proteksi tubuh ini juga menyebabkan kerusakan patologis
jaringan tubuh sendiri. Tubuh memiliki struktur yang mirip dengan antigen
bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sehingga terjadi reaktivitas
silang antara epitop organisme dengan host yang akan mengarahkan pada
kerusakan jaringan tubuh.10
Di samping faktor organisme penginfeksi, faktor host sendiri juga
memainkan peranan dalam perjalanan penyakit rheumatic fever. Sekitar 3-
6% populasi memiliki potensi terinfeksi rheumatic fever. Penelitian tentang
genetik marker menunjukan bahwa gen human leukocyte-associated antigen
(HLA) kelas II berpotensi dalam perkembangan penyakit rheumatic fever
dan rheumatic heart disease. Gen HLA kelas II yang terletak pada
kromosom 6 berperan dalam kontrol imun respon. Molekul HLA kelas II
berperan dalam presentasi antigen pada reseptor T sel yang nantinya akan
memicu respon sistem imun selular dan humoral. Dari alel gen HLA kelas
II, HLA-DR7 yang paling berhubungan dengan rheumatic heart disease
pada lesi-lesi valvular.10
Infeksi faring dengan Streptococcus beta hemolyticus grup A
menyebabkan aktivasi sel-sel sistem imun bawaan. Neutrofil, makrofag, dan
13

sel dendritik memfagosit bakteri, dan kemudian mempresentasikan antigen


ke sel T, yang pada gilirannya menyebabkan aktivasi respons imun humoral
dan seluler. Respon imun menjadi reaktif silang dengan jaringan manusia
pada individu yang rentan - ini adalah mekanisme pendorong demam
rematik akut. Respon sel B dan T menyebabkan produksi antibodi dan
aktivasi sel CD4þT. Antibodi reaktif silang dan sel T ini dihasilkan melalui
proses mimikri molekuler di mana oleh epitop antigenik dibagi antara inang
dan bakteri.10
Meskipun kekebalan terhadap Streptococcus beta hemolyticus grup A
dimaksudkan untuk menghilangkan bakteri dari tubuh kita, dalam beberapa
kasus, respon imun terhadap Streptococcus beta hemolyticus grup A
berubah menjadi respon autoimun. Respons limfosit T dan B autoimun
menargetkan antigen baik Streptococcus beta hemolyticus grup A dan
jantung manusia, otak, kulit, dan jaringan sendi artikular. Antibodi reaktif
silang jaringan jantung dapat berikatan dengan jaringan endotel katup yang
menghasilkan peradangan dan akibatnya meningkatkan regulasi molekul
adhesi sel vaskular-1 (VCAM-1). Sitokin dan kemokin terlibat pada
awalnya dalam respon terhadap Streptococcus beta hemolyticus grup A serta
di seluruh proses inflamasi pembersihan streptokokus dan pengembangan
gejala sisa di jantung pasien demam rematik akut dan penyakit jantung
rematik kronis.10
Mimikri molekuler adalah pengenalan silang imun dari protein konformasi
atau struktur karbohidrat dan/atau urutan asam amino dengan kesamaan
antara mikroba dan jaringan manusia. Hal ini diyakini menjadi bagian
penting dari patogenesis demam rematik akut termasuk perkembangan
autoimunitas dan peradangan di jantung dan otak. Perkembangan respons
14

autoimun terhadap jantung dan otak dianggap terutama sebagai respons


terhadap epitop karbohidrat grup A N-acetyl-b-D-glucosamine (GlcNAc),
epitop dominan karbohidrat grup A. Dalam satu penelitian, individu dengan
diagnosis penyakit jantung rematik yang membuat tanggapan kuat terhadap
kelompok A karbohidrat memiliki prognosis yang buruk dibandingkan
dengan mereka yang tidak memiliki antibodi antikarbohidrat tinggi. Epitop
karbohidrat katup penting dalam menargetkan respons imun terhadap katup.
Studi tentang antibodi monoklonal antistreptokokus/antimiosin (mAbs)
manusia dan tikus yang bereaksi kuat dengan N-asetil-glukosamin telah
menunjukkan sitotoksisitas untuk kardiomiosit manusia atau endotelium dan
antibodi juga bereaksi dengan endotel katup di bagian jaringan katup
manusia. mAbs sitotoksik mengenali laminin heliks sebagai bagian dari
matriks ekstraseluler di membran basal yang mendasari endotel katup. Data
ini menunjukkan bahwa reaktivitas silang antibodi manusia dengan jaringan
katup terbentuk melalui reaktivitas antimiosin/anti-N-asetil-
glukosamin/antilaminin.10
Setelah adhesi grup A Streptococcus ke dan invasi epitel faring, antigen
Streptococcus beta hemolyticus grup A mengaktifkan sel B dan T. Mimikri
molekuler antara karbohidrat grup A Streptococcus beta hemolyticus grup A
atau protein M spesifik serotipe dan jaringan jantung, otak, atau sendi
pejamu dapat menyebabkan respons autoimun, yang menyebabkan
manifestasi utama demam rematik akut. Hasil respon imun cross-reactive
menyebabkan peradangan pada kedua katup jantung dan miokardium.
Meskipun miokardium sembuh setelah peradangan ini, dapat terjadi
kerusakan permanen pada katup, yang menyebabkan penyakit jantung
rematik. Diversifikasi respon imun terhadap epitop imunodominan
15

mengarah pada amplifikasi (penyebaran epitop), yang mendukung


pengenalan beberapa antigen diri dan memfasilitasi kerusakan jaringan.
Manifestasi kulit yang lebih jarang eritema marginatum mungkin
disebabkan oleh antibodi terhadap karbohidrat kelompok A yang bereaksi
silang dengan keratindan nodul subkutan yang kadang-kadang terbentuk
pada demam rematik akut mungkin merupakan lesi granulomatosa yang
berkembang di dermis kulit sebagai akibat dari hipersensitivitas tertunda
terhadap antigen Streptococcus beta hemolyticus grup A. Selain itu,
pembentukan nodul ini mungkin didorong oleh mekanisme yang mirip
dengan badan Aschoff, yang merupakan lesi granulomatosa yang terbentuk
di katup jantung.8
Respon autoimun seluler pada karditis rematik melibatkan produksi sel T
autoreaktif yang menginfiltrasi katup dan miokardium, aktivasi endotel
katup dan pembentukan nodul Aschoff di katup.8
Antibodi IgG yang bereaksi dengan endotel katup menyebabkan
peningkatan regulasi protein adhesi sel vaskular 1 (VCAM1) pada
permukaan endotel, yang mendorong infiltrasi sel T melalui endotel
teraktivasi ke dalam katup. Aktivasi endotel ini juga melibatkan hilangnya
susunan sel endotel normal dan modifikasi kolagen katup, yang telah
diamati dengan menggunakan mikroskop elektron pemindaian. Baik sel T
CD4+ dan CD8+ menginfiltrasi katup pada demam rematik akut tetapi
subset sel T CD4+ mendominasi pada katup rematik yang meradang. Hanya
sel T autoreaktif yang terus-menerus diaktifkan oleh antigen (yaitu protein
katup) yang bertahan dan tetap berada di dalam katup untuk menghasilkan
sitokin inflamasi dan menyebabkan cedera katup. Pada demam rematik akut
dan penyakit jantung rematik, lesi yang disebut nodul atau badan Aschoff
16

dapat terjadi di bawah endokardium dekat atau di katup tetapi juga dapat
terlihat langsung di miokardium, yang biasanya sembuh pada karditis
rematik. Nodul ini merupakan tempat inflamasi granulomatosa yang
mengandung sel T dan makrofag dan terbentuk sebagai hasil dari proses
inflamasi intens yang terutama dimediasi oleh sel T CD4+. VCAM1 juga
berinteraksi dengan dan meningkatkan regulasi banyak molekul adhesi sel
lainnya, kemokin dan reseptornya. Ini termasuk integrin 4β1 (juga dikenal
sebagai VLA4), molekul adhesi intraseluler 1 (ICAM1), P-selectin, ligan
CC-chemokine 3 (CCL3; juga dikenal sebagai MIP1α), CCL1 (juga dikenal
sebagai I309) dan ligan CXC-chemokine 9 (CXCL9; juga dikenal sebagai
MIG). Reaksi autoimun di katup dikaitkan dengan peningkatan kadar
protein jaringan jantung vimentin dan lumican dan peningkatan kadar
apolipoprotein A1, sedangkan kolagen VI, protein terkait haptoglobin,
prolargin, biglycan, dan protein matriks oligomer kartilago berkurang.
Ketidakseimbangan ini mengakibatkan hilangnya integritas struktural
jaringan katup dan, akibatnya, disfungsi katup.8
Karditis rematik ditandai dengan lesi regurgitasi pada katup mitral dan
aorta (atau dikenal sebagai valvulitis rematik). Antibodi, berpotensi
diarahkan terhadap karbohidrat grup A, bereaksi dengan endotelium katup
untuk memulai peradangan pada permukaan katup dan meningkatkan
infiltrasi sel-T katup pada penyakit jantung rematik. Sel T reaktif silang
yang responsif terhadap protein M streptokokus dan antigen protein heliks
homolog seperti miosin, laminin, tropomiosin, atau vimentin menjadi
teraktivasi dan ekstravasasi melalui endotel teraktivasi ke dalam katup di

mana mereka berdiferensiasi menjadi sel CD4þTH1 yang memproduksi


17

IFN. Kerusakan awal pada penyakit jantung rematik dapat berasal dari

korda tendinae, di mana kerusakan pada endotel dari struktur katup yang
sangat halus ini dapat memulai proses cedera, edema, fibrosis, dan jaringan
parut. Sel T menyusup dan berkumpul di membran basal katup dengan
peningkatan regulasi VCAM-1, yang memungkinkan katup disusupi oleh sel
T dan menyebabkan cedera katup eksplosif dengan infeksi streptokokus
berulang. Sel T reaktif silang menembus endotel katup ke dalam katup yang
semula avaskular. Sel T dalam darah perifer pasien dan katup telah terbukti
reaktif silang dengan protein M dan protein jantung termasuk epitop miosin
jantung, dan keduanya merupakan fenotipe CD4þ dan CD8, tetapi fenotipe
CD4þ dan sel Th1 mendominasi. Perkembangan jaringan parut dan fibrosis
pada katup merupakan bagian dari patogenesis yang disebabkan oleh

produksi -interferon (IFN) dan IL-17A. Sebagai jaringan parut

mempromosikan neovaskularisasi dan pengembangan suplai darah ke


jaringan katup yang biasanya avaskular, Sel T selanjutnya dapat memasuki
katup melalui pembuluh darah yang berkembang di bekas luka. Singkatnya,
katup jantung dengan struktur avaskular tipisnya menjadi meradang dan
tervaskularisasi pada valvulitis rematik akut. Proses penyembuhan
berkembang setelah valvulitis rematik dengan kombinasi neovaskularisasi
dan fibrosis jaringan.10
Jantung dipengaruhi oleh antibodi (dihasilkan oleh sel B) melawan
karbohidrat grup A yang mengikat permukaan katup dan meningkatkan
regulasi molekul adhesi sel vaskular 1 (VCAM1) pada permukaan
endotelium katup. Peningkatan regulasi VCAM1 memungkinkan sel T yang
mengekspresikan integrin 4β1 (juga dikenal sebagai VLA4) untuk melekat
18

pada endotelium dan berekstravasasi ke dalam katup. Katup bagian dalam


diinfiltrasi oleh sel T, terutama sel T CD4+, dan badan Aschoff atau lesi
granulomatosa terbentuk di bawah endokardium. Kerusakan pada endotel
dan infiltrasi sel T ke dalam katup mengubah struktur katup, termasuk korda
tendinea, dengan malformasi katup yang menyebabkan regurgitasi atau
stenosis katup. Kerusakan katup melepaskan kolagen dan menghasilkan
kerusakan lebih lanjut yang diperantarai sistem imun pada katup.10
Kaskade inflamasi pada demam rematik akut memiliki efek struktural dan
fungsional pada berbagai bagian katup jantung yang dapat menyebabkan
kerusakan inflamasi akut dan akhirnya menjadi penyakit jantung rematik.
Ini termasuk pelebaran annuli katup (cincin yang mengelilingi katup dan
yang membantu menutup selebaran selama sistol) dan pemanjangan korda
tendinae, yang menghubungkan katup mitral dan trikuspid ke ventrikel kiri
dan kanan, masing-masing. Bersama-sama perubahan ini menghasilkan
koaptasi yang tidak memadai (yaitu, pertemuan) selebaran katup, yang pada
gilirannya menyebabkan regurgitasi (yaitu, kebocoran darah ke belakang
melalui katup saat menutup). Peradangan lebih lanjut menyebabkan vegetasi
fibrinous di rough zone yang pada akhirnya dapat menyebabkan stenosis
katup, di mana katup menjadi menyempit, tidak bergerak dan tidak dapat
membuka penuh.8
19

2.6 Manifestasi Klinis

Diagnosis penyakit jantung rematik didapat setelah mengetahui riwayat


demam rematik akut sebelumnya. Manifestasi klinis yang paling umum dari
demam rematik akut adalah karditis (50-78%), arthritis (35-88%), eritema
marginatum ( 6%), nodul subkutan (1-13%), dan Chorea Sydenhams (2-
19%). 11
Perjalanan klinis penyakit demam rematik/penyakit jantung rematik dapat
dibagi dalam 4 stadium 12

 Stadium I

Stadium ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh


kuman beta- Streptococcus hemolyticus grup A. Keluhan biasanya
berupa demam, batuk, rasa sakit waktu menelan, tidak jarang
disertai muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi diare.
Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan eksudat di tonsil yang
menyertai tanda- tanda peradangan lainnya. Kelenjar getah bening
submandibular seringkali membesar. Infeksi ini biasanya
berlangsung 2-4 hari dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.
20

Para peneliti mencatat 50-90% riwayat infeksi saluran napas


bagian atas pada penderita demam rematik, yang biasanya terjadi
10-14 hari sebelum manifestasi pertama demam rematik/penyakit
jantung rematik.

 Stadium II

Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara


infeksi Streptococcus dengan permulaan gejala demam rematik,
biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu, kecuali korea yang
dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.

 Stadium III

Merupakan fase akut demam rematik, saat timbulnya


berbagai manifestasi klinik demam rematik/penyakit jantung
rematik. Manifestasi klinik tersebut dapat digolongkan dalam
21

gejala peradangan umum (gejala minor) dan manifestasi spesifik


(gejala mayor) demam rematik/penyakit jantung rematik.

 Stadium IV

Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita


demam rematik tanpa kelainan jantung atau penderita penyakit
jantung rematik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala
apa-apa. Pada penderita penyakit jantung rematik dengan gejala
sisa kelainan katup jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis
serta beratnya kelainan. Pada fase ini baik penderita demam
rematik maupun penyakit jantung rematik sewaktu-waktu dapat
mengalami reaktivasi penyakitnya.

Manifestasi klinis demam rematik dibagi menjadi manifestasi klinis mayor


yaitu artritis, karditis, korea, eritema marginatum dan nodulus subkutan.
Manifestasi klinis minor yaitu demam, artralgia, peningkatan LED dan C-
reactive protein dan pemanjangan interval PR.
22

a. Manifestasi Mayor

 Arthritis

Presentasi klinis ditandai dengan demam yang biasanya


terjadi 2 sampai 3 minggu setelah episode faringitis. Gambaran
klinis yang terkait dengan keterlibatan sendi bervariasi dari
artralgia hingga poliartritis. Arthritis paling sering mempengaruhi
sendi besar seperti pergelangan tangan, siku, lutut, dan pergelangan
kaki dan dapat berpindah-pindah dalam presentasinya. Seringkali
awalnya simetris, dimulai pada tungkai bawah, dan biasanya
melibatkan sendi lain setelah peradangan sendi awal yang terlibat
telah mereda. Ciri khas arthritis yang berhubungan dengan demam
rematik akut adalah perbaikan yang cepat yaitu respon terhadap
penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid. 13

 Karditis
23

Diagnosis karditis adalah valvulitis yang muncul sebagai


regurgitasi mitral (MR) atau regurgitasi aorta (AR) yang lebih
jarang. Kelainannya berupa pankarditis, yaitu mengenai
perikardium, epikardium, miokardium dan endokardium. Pada
Demam rematik sering terjadi pankarditis yang ditandai dengan
perikarditis, myokarditis dan endokarditis.12
Perikarditis ditandai dengan pericardial friction rub. Pada
efusi perikard bisa didengar adanya muffled sound, dan pulsus
paradoks ( penurunan tekanan sistolik yang besar di saat inspirasi).
Karakterisitik miokarditis adalah infiltrasi sel mononuklear,
vaskulitis dan perubahan degeneratif pada interstisial conective
tissue. Bentuk endokarditis tersering adalah insufisiensi katub
mitral. Insufisiensi katub yang berat pada fase akut dapat
menyebabkan gagal jantung dan kematian (pada 1% penderita).
Perlengketan pada jaringan penunjang katub akan menghasilkan
stenosis atau kombinasi antara stenosis dan insufisiensi yang
muncul dalam 2-10 tahun setelah episode demam rematik akut.
Perlengketan bisa terjadi pada tingkatan ujung bilah katub, bilah
katub dan chorda atau kombinasi dari ketiga tingkatan tersebut.12

Bising jantung yang sering pada demam rematik:12


24

- Bising mitral regurgitasi berupa bising pansistolik, high pitch, yang radiasi
ke axilla. Tidak dipengaruhi oleh posisi dan respirasi. Intensitas 2/6.
- Carey coombs bising : bising diastolik di apeks pada karditis yang aktif
dan menyertai mitral insufisiensi berat. Mekanismenya berupa relatif mitral
stenosis yang diakibatkan dari volume yang besar yang melalui katub mitral saat
pengisian ventrikel.
- Bising aorta regurgitasi : bising awal diastolik yang terdapat dibasal, dan
terbaik didengar pada sisi atas kanan dan kiri sternum saat penderita duduk miring
kedepan.

 Eritema marginatum
Eritema marginatum adalah manifestasi sementara yang
jarang, umunya terjadi pada awal perjalanan penyakit. Biasanya
dideteksi sebagai ruam eritematosus yang memiliki bagian tengah
pucat atau berbentuk cincin, tidak nyeri, tidak gatal dan biasanya
ditemukan di punggung.13
 Nodul subkutan
Adanya nodul subkutan muncul beberapa minggu setelah
onset demam rematik dan biasanya tidak disadari penderita karena
tidak nyeri. Terdeteksi pada permukaan luas lengan dan kaki serta
kepala. Nodul ini biasanya kurang dari 2cm, mobile, dan tidak
nyeri sehingga mudah hilang jika tidak dicari secara aktif pada
pemeriksaan klinis.12
 Chorea Sydenham
Insidensi sydenham chorea muncul dalam 1-6 bulan setelah
infeksi streptokokus, progresif secara perlahan dan memberat
dalam 1-2 bulan. Kelainan neurologis berupa gerakan involunter
25

yang tidak terkoordinasi (choreiform), pada muka, leher, tangan


dan kaki. Disertai dengan gangguan kontraksi tetanik dimana
penderita tidak bisa menggenggam tangan pemeriksa secara kuat
terus menerus (milk sign).12
Chorea dapat muncul dengan sendirinya, tanpa ciri-ciri
demam rematik akut lainnya dan tanpa bukti infeksi Streptokokus,
karena chorea dapat terjadi berbulan-bulan setelah infeksi
Streptokokus. Jika chorea memiliki presentasi yang terisolasi,
penting untuk mengecualikan penyebab lain dari chorea, seperti
systemic lupus erythematosus, penyakit Wilson, dan reaksi. Dalam
semua kasus yang dicurigai chorea rematik, pemeriksaan jantung
dan ekokardiogram harus dilakukan, karena chorea sangat terkait
dengan carditis.12

b. Manifestasi Minor

Demam hampir selalu ada pada poliartritis rematik, sering ada pada
karditis yang tersendiri (murni) tetapi pada korea murni. Jenis
demamnya adalah remiten, tanpa variasi diurnal yang lebar, gejala
khas biasanya kembali normal atau hampir normal dalam waktu 2/3
minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia adalah nyeri sendi tanpa
tanda objektif pada sendi. Artralgia biasanya melibatkan sendi besar.
Kadang nyerinya terasa sangat berat sehingga pasien tidak mampu lagi
menggerakkan tungkainya. Termasuk kriteria minor adalah beberpa uji
laboratorium. Reaktan fase akut seperti LED atau C-reactive protein
mungkin naik. Uji ini dapat tetap naik untuk masa waktu yang lama
(berbulan-bulan). Pemanjangan interval PR pada elektrokardiogram
juga termasuk kriteria minor.12
26

2.7 Diagnosis

Pada anamnesis umunya akan didapatkan riwayat sakit tenggorokan 1-5


minggu sebelumnya (pada 70% anak dan dewasa muda). Demam yang
disertai tanda klinis tidak spesifik seperti rash, nyeri kepala, berat badan
turun, epistaksis, rasa lelah, malaise, keringat berlebihan, pucat, nyeri dada
dengan ortopnu, nyeri abdomen, muntah.
Inflamasi dari demam rematik akut dapat menyebabkan perikarditis, yaitu
peradangan
pada katup dan endokardium, miokardium, juga perikardium. Pada
pemeriksaan fisik pericarditis ditandai dengan adanya bunyi auskultasi 
friction rub, selain itu pericardial efusi juga dapat ditemukan yang ditandai
dengan suara pada perkusi jantung yang meredup dan bunyi jantung yang
menjauh. Gejala gagal jantung yang tidak jelas penyebabnya dapat
ditemukan sebagai komplikasi dari miokarditis atau kelainan katup. Pada
endocarditis/valvulitis rematik,pasien tanpa riwayat penyakit jantung
rematik akan terdengar bising regurgitasi mitral diapeks dengan atau tanpa
bising mid diastolic (Carey Coombs murmur). Sedangkan pasien dengan
riwayat penyakit jantung rematik ditemukan ada perubahan karakteristik
bising(murmur) atau terdengar bising baru.
Penegakan diagnosis demam rematik akut menggunakan kriteria Jones.
Kriteria ini membagi gambaran klinis menjadi dua, yaitu manifestasi mayor
dan minor.
27

2.1 Tabel Kriteria Jones

Kriteri Mayor Kriteria Minor


Karditis
Klinis: demam, poliartralgia

Poliartritis migrans Laboratorium: peningkatan penanda


inflamasi akut (LED, leukosit)

Syndenham Chorea EKG: interval PR memanjang

Eritema marginatum

Nodul Subkutan

Penegakan diagnosis penyakit jantung rematik menggunakan kriteria


WHO 2002-2003 dari revisi kriteria Jones:
28

 Demam Rematik serangan pertama, memenuhi 2 kriteria mayor


atau 1 kriteria mayor dan 2 minor + bukti infeksi Streptococcus B
hemolitukus grup A sebelumnya

 Demam Rematik serangan rekuren tanpa Penyakit Jantung


Rematik, memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 mayor dan 2 minor +
bukti Streptococcus B hemolitukus grup A sebelumnya

 Demam Rematik serangan rekuren dengan Penyakit Jantung


Rematik, memenuhi 2 kriteria minor + bukti Streptococcus B
hemolitukus grup A + sequel penyakit jantung rematik sebelumnya.

 Rematik chorea dan rematik karditis Demam rematik dapat


ditegakkan tanpa bukti infeksi/kriteria lainnya

 Penyakit Jantung Rematik (stenosis mitral murni atau kombinasi


dengan insufisiensi dan atau gangguan aorta), tidak perlu kriteria
lain

Pemeriksaan Ekokardiografi RHD bertujuan untuk


mengidentifikasi dan menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi
perikardium, dan disfungsi ventrikel. Pada pasien rheumatic fever
dengan karditis ringan, regurgitasi mitral akan menghilang beberapa
bulan. Sedangkan pada rheumatic fever dengan karditis sedang dan
berat memiliki regurgitasi mitral/aorta yang menetap. 14,15
29

2.8 Aspek Laboratorium


- Reaktan Fase Akut

Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan. Pada


pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama
pada fase akut/aktif, namun sifatnya tidak spesifik. Marker inflamasi
akut berupa C-reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED).
Peningkatan laju endap darah merupakan bukti non spesifik untuk
penyakit yang aktif. Pada rheumatic fever terjadi peningkatan LED,
namun normal pada pasien dengan congestive failure atau meningkat
pada anemia. CRP merupakan indikator dalam menetukan adanya
jaringan radang dan tingkat aktivitas penyakit. CRP yang abnormal
digunakan dalam diagnosis rheumatic fever aktif. 16

- Rapid Test Antigen Streptococcus


30

Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri Streptococcus


grup A secara tepat dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90
%.9

- Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus

Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala


klinis rheumatic fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang
biasa digunakan adalah antistreptolisin O/ASTO dan
antideoxyribonuklease B/anti DNase B. Pemeriksaan ASTO
dilakukan terlebih dahulu, jika tidak terjadi peningkatan akan
dilakukan pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO biasanya mulai
meningkat pada minggu 1, dan mencapai puncak minggu ke 3-6
setelah infeksi. Titer ASO naik > 333 unit pada anak-anak, dan >
250 unit pada dewasa. Sedangkan anti-DNase B mulai meningkat
minggu 1-2 dan mencapai puncak minggu ke 6-8. Nilai normal titer
anti-DNase B= 1: 60 unit pada anak prasekolah dan 1 : 480 unit anak
usia sekolah. 9

- Kultur tenggorok
31

Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya


streptococcus beta hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya
dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Kultur ini umumnya
negatif bila gejala rheumatic fever atau rheumatic heart disease
mulai muncul.9

2.9 Tatalaksana

Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar


bertujuan untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup
A, menekan inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan terapi suportif
untuk gagal jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan
untuk mencegah rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan
memantau komplikasi serta gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis
pada saat dewasa. Selain terapi medikamentosa, aspek diet dan juga
aktivitas pasien harus dikontrol. Selain itu, ada juga pilihan terapi operatif
sebagai penanganan kasus-kasus parah.9

a. Terapi Antibiotik
32

Profilaksis Primer
Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang
sangat penting untuk mengindari paparan berulang kronis terhadap
antigen Streptococcus beta hemolyticus grup A. Eradikasi dari bakteri
Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring seharusnya diikuti
dengan profilaksis sekunder jangka panjang sebagai perlindungan
terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring yang
berulang.
Pemilihan regimen terapi sebaiknya mempertimbangkan aspek
bakteriologi dan efektifitas antibiotik, kemudahan pasien untuk
mematuhi regimen yang ditentukan (frekuensi, durasi, dan kemampuan
pasien meminum obat), harga, dan juga efek samping. Penisilin G
Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan amoxicilin oral adalah
obat pilihan untuk terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring
pada pasien tanpa riwayat alergi terhadap penisilin. Setelah terapi
antibiotic selama 24 jam, pasien tidak lagi dianggap dapat menularkan
bakteri Streptococcus beta hemolyticus group A. Penisilin V pottasium
lebih dipilih dibanding dengan penisilin G benzathine karena lebih
resisten terhadap asam lambung. Namun terapi dengan penisilin G
benzathine lebih dipilih pada pasien yang tidak dapat menyelesaikan
terapi oral 10 hari, pasien dengan riwayat rheumatic fever atau gagal
jantung rematik, dan pada mereka yang tinggal di lingkungan dengan
faktor risiko terkena rheumatic fever (lingkungan padat penduduk,
status sosio-ekonomi rendah).
33

Tabel 2.2 Obat-obat Profilaksis Primer untuk Rheumatic Fever

Obat Dosis
Penisilin
Amoxicillin 50 mg/kgBB (maksimal, 1 g) oral
satu kali sehari selama 10 hari
Penicillin G benzathine Pasien berat < 27 kg (60 lb):
600,000 unit IM sekali
Pasien dengan BB > 27 kg:
1,200,000 unit IM sekali
Penicillin V potassium Pasien dengan BB < 27 kg
diberikan 250 mg oral 2-3x sehari
selama 10 hari
Pasien dengan BB > 27 kg: 500 mg oral
2-3x sehari selama 10 hari
Untuk pasien alergi penisilin
Narrow-spectrum cephalosporin Bervariasi
(cephalexin [Keflex], cefadroxil
[formerly Duricef])
Azithromycin (Zithromax) 12 mg/kgBB/hari (maksimal, 500
mg) oral 1x sehari selama 5 hari
Clarithromycin (Biaxin) 15 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi
2 dosis (maksimal, 250 mg 2x
sehari), selama 10 hari
Clindamycin (Cleocin) 20 mg/kgBB/hari oral (maksimal,
1.8 g/hari), dibagi menjadi 3 dosis,
untuk 10 hari
34

Profilaksis Sekunder

Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan atau


munculnya rheumatic heart disease. Pencegahan terhadap infeksi
Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring yang berulang
adalah metode yang paling efektif untuk mencegah rheumatic heart
disease yang parah.

Tabel 2.3 Obat-obat Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever

Obat Dosis
Penicillin G benzathine Pasien berat < 27 kg (60 lb)
600,000 unit IM setiap 4
minggu sekali
Pasien berat > 27 kg:
1,200,000 unit IM setiap 4
minggu sekali
Penicillin V potassium 250 mg oral 2x sehari
Sulfadiazine Pasien berat < 27 kg (60 lb):
0.5 g oral 1x sehari
Pasien berat > 27 kg (60 lb)
kg: 1 g oral 1x sehari
Macrolide atau antibiotik azalide Bervariasi
(untuk pasien alergi penicillin dan
sulfadiazine)
35

b. Terapi Anti Inflamasi


Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis) biasanya
merespon cepat terhadap terapi anti inflamasi. Anti inflamasi yang
menjadi lini utama adalah aspirin. Untuk pasien dengan karditis yang
buruk atau dengan gagal jantung dan kardiomegali, obat yang dipilih
adalah kortikosteroid. Kortikosteroid juga menjadi pilihan terapi pada
pasien yang tidak membaik dengan aspirin dan terus mengalami
perburukan. Penggunaan kortikosteroid dan aspirin sebaiknya
menunggu sampai diagnosis rheumatic fever ditegakkan. Pada anak-
anak dosis aspirin adalah 100-125 mg/kg/hari, setelah mencapai
konsentrasi stabil selama 2 minggu, dosis dapat diturunkan menjadi
60-70 mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang alergi terhadap
aspirin bisa digunakan naproxen 10-20 mg/kg/hari. 6,15 Obat
kortikosteroid yang menjadi pilihan utama adalah prednisone dengan
dosis 2 mg/kg/hari, maksimal 80mg/hari selama 2 minggu, diberikan 1
kali sehari. Setelah terapi 2-3 minggu dosis diturunkan 20-25% setiap
minggu. Pada kondisi yang mengancam nyawa, terapi IV
methylprednisolone dengan dosis 30 mg/kg/hari. Durasi terapi dari anti
inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap terapi.

c. Diet dan Aktivitas


36

Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa


restriksi kecuali pada pasien gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan
dan natrium harus dikurangi. Suplemen kalium diperlukan apabila
pasien diberikan kortikosteroid atau diuretik.

Tirah baring sebagai terapi rheumatic fever pertama kali


diperkenalkan pada tahun 1940, namun belum diteliti lebih lanjut sejak
saat itu. Pada praktek klinis sehari-hari, kegiatan fisik harus direstriksi
sampai tanda-tanda fase akut terlewati, baru kemudian aktivitas bisa
dimulai secara bertahap. Sesuai dengan anjuran Taranta dan Marcowitz
tirah baring yang dianjurkan adalah sebagai berikut :

Tabel 2.4 Tirah Baring yang Dianjurkan pada Rheumatic Fever

Tanpa karditis Tirah baring selama 2 minggu,


mobilisasi bertahap selama 2
minggu

Karditis, tanpa kardiomegali Tirah baring selama 4 minggu,


mobilisasi bertahap selama 4
minggu
37

Karditis dengan kardiomegali Tirah baring selama 6 minggu,


mobilisasi bertahap selama 6
minggu

Karditis dengan kardiomegali dan Tirah baring selama gagal jantung,


gagal jantung mobilisasi bertahap selama 3 bulan

d. Terapi Operatif
Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus
mengalami perburukan meskipun telah mendapat terapi medis yang
agresif untuk penanganan rheumatic heart disease, operasi untuk
mengurangi defisiensi katup mungkin bisa menjadi pilihan untuk
menyelamatkan nyawa pasien. Pasien yang simptomatik, dengan
disfungsi ventrikel atau mengalami gangguan katup yang berat, juga
memerlukan tindakan intervensi.
I. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang
ideal, dapat dilakukan ballon mitral valvuloplasty (BMV). Bila
BMV tak memungkinkan, perlu dilakukan operasi.
II. Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral
akut (mungkin akibat ruptur khordae)/kronik yang berat dengan
rheumatic heart disease yang tak teratasi dengan obat, perlu
segera dioperasi untuk reparasi atau penggantian katup.
III. Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat
langka. Intervensi dengan balon biasanya kurang berhasil,
sehingga operasi lebih banyak dikerjakan.
IV. Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri
atau kombinasi dengan lesi lain, biasanya ditangani dengan
penggantian katup.9
38

2.10 Prognosis

Progresifitas demam rematik akut menjadi penyakit jantung rematik dapat


melalui fase laten selama 20-40 tahun. Namun, pada beberapa orang
progresifitas tersebut dapat terjadi dengan onset yang lebih cepat. Hal ini
dipengaruhi beratnya penyakit saat terdiagnosis, rekurensi demam rematik,
dan penanganan demam rematik. Ketika stenosis mitral menjadi
simptomatik, maka prognosis jangka panjang tanpa intervensi kardiak
bervariasi, dari 34-61% untuk 10 tahun kelangsungan hidup.
Prognosis penyakit jantung rematik dapat menimbulkan morbiditas dan
mortalitas jangka panjang. Komplikasi yang sering terjadi meliputi gagal
jantung, atrial fibrilasi, hingga endokarditis. Oleh karena itu, perlu
penanganan komprehensif terkait penyakit demam rematik agar progresi
penyakit dapat dikontrol.17
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit jantung rematik (PJR) merupakan kelainan katup jantung yang menetap
akibat demam rematik akut sebelumnya. Diagnosis penyakit jantung rematik
dibuat dengan menggunakan kriteria klinis (Kriteria Jones) dan dengan
menyingkirkan diagnosis banding lainnya. Kriteria Jones pertama kali ditetapkan
pada tahun 1944 dan sejak itu telah mengalami banyak modifikasi, revisi, dan
pembaruan, yang terakhir pada tahun 2015. Kriteria dibagi menjadi manifestasi
mayor dan minor. Diagnosis ditegakkan bila pasien datang dengan dua
manifestasi mayor atau satu manifestasi mayor dan paling sedikit dua manifestasi
minor. Aspek laboratorium dari penyakit jantung rematik adalah reaktan fase akut,
rapid test antigen streptococcus, pemeriksaan antibodi antistreptokokus, dan
kultur tenggorok. Pengobatan terhadap Demam Rematik ditunjukkan pada 3 hal
yaitu:

1) Pencegahan primer pada saat serangan Demam Rematik

2) Penegahan sekunder Demam Rematik.

3) Menghilangkan gejala yang menyertainya, seperti tirah baring,


penggunaan antiinflamasi, dan penatalaksanaan gagal jantung

27
Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi mengalami kekambuhan.
Risiko kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejakepisode awal.

28
28

DAFTAR PUSTAKA

1. Katzenellenbogen,Judith M.,et al.(2017). Rheumatic heart disease:


infectious disease origin, chronic care approach. BMC Health Services
Research,17.

2. Carapetis, Jonathan R.,et al.(2016). Acute rheumatic fever and rheumatic


heart disease.HHS Public Accesss. PMC5810582

3. Watkins DA, Beaton AZ, Carapetis JR, et al.(2018).Rheumatic Heart


Disease Worldwide: JACC Scientific Expert Panel. J Am Coll
Cardiol,72:1397-416.

4. Kumar , Raman Krishna, MD, DM, Chair., et al.(2020).Contemporary


Diagnosis and Management of Rheumatic Heart Disease: Implications for
Closing the Gap. Circulation AHA Scientific Statements,142

5. Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander


RW, O’Rourke et al. Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill :
New York, 2001; p. 1657 – 65
29

6. Al-Jazairi, Abdulrazaq.,et al.(2017). Guidelines for the secondary


prevention of rheumatic heart diseaseEndorsed by Saudi Pediatric
Infectious Diseases Society (SPIDS).International Journal of Pediatrics
and Adolescent Medicine, 4 : 47-50
7. CDC, 2018. https://www.cdc.gov/groupastrep/diseases-hcp/acute-
rheumatic-fever.html

8. Carapetis J.R., Beaton A., Cunningham M.W., Guilherme L., Karthikeyan


G., Mayosi B.M., Sable C., Steer A., Wilson N., Wyber R., et al. Acute
rheumatic fever and rheumatic heart disease. Nat. Rev. Dis. Primers. 2016
9. Rilantono, LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2013.

10. Guilherme, L, Steer, AC & Cunningham, M 2021, 'Pathogenesis of Acute


Rheumatic Fever', in Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart
Disease, Elsevier Inc.

11. Zühlke LJ, Beaton A, Engel ME, et al. Group A Streptococcus, Acute
Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease: Epidemiology and
Clinical Considerations. Curr Treat Options Cardiovasc Med.
2017;19(2):15. doi:10.1007/s11936-017-0513-y

12. Fitriany, J., & Annisa, I. (2019). Demam Rematik Akut. AVERROUS:
Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan Malikussaleh, 5(2), 11.
https://doi.org/10.29103/averrous.v5i2.2078
13. Peters F, Karthikeyan G, Abrams J, Muhwava L, Zühlke L. Rheumatic
heart disease: current status of diagnosis and therapy. Cardiovasc Diagn
Ther. 2020;10(2):305-315. doi:10.21037/cdt.2019.10.07
30

14. Panduan Praktik Klinis Dan Clinical Pathway Penyakit Jantung Dan
Pembuluh Darah. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia. 2016. 216-7

15. Julius, W. D., 2016. Penyakit Jantung Rematik. Jurnal Medula Unila,
Januari, 4(3), pp. 140-141.

16. Kumar, Vinay dkk. Valvular Heart. Robbins and Cotran Pathologic Basis
of Disease. Philadelpia: Elsevier Inc. 2010.
17. RHDAustralia 2020, RHD Australia, viewed 28 September 2021,
<https://www.rhdaustralia.org.au/arf-rhd-guideline>.

Anda mungkin juga menyukai