DISUSUN OLEH :
Supervisor Pembimbing :
Dr. dr. Tenri Esa, Msi, Sp.PK(K)
iii
Makassar, September 2021
Mengetahui
Supervisor Pembimbing
Residen Pembimbing
dr.Linda Mayliana KN
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kriteria Jones ……………………………………………………19
Tabel 2.2 Obat-obat Profilaksis Primer untuk Rheumatic Fever...................22
Tabel 2.3 Obat-obat Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever...………23
Tabel 2.4 Tirah Baring yang Dianjurkan pada Rheumatic Fever r...………25
v
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................ii
DAFTAR TABEL .............................................................................................iii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………...3
2.1. Definisi...........................................................................................3
2.2. Epidemiologi...................................................................................3
2.3. Etiologi...........................................................................................4
2.4. Faktor Risiko..................................................................................4
2.5. Patofisiologi....................................................................................7
2.6. Manifestasi Klinis...........................................................................13
2.7. Diagnosis........................................................................................18
2.8. Aspek Laboratorium.......................................................................20
2.9. Tatalaksana.....................................................................................21
2.10. Prognosis.......................................................................................26
vi
1
BAB I
PENDAHULUAN
penyakit jantung rematik di Australia adalah orang Aborigin dan Torres Strait
Islander.3
Secara keseluruhan, diperkirakan ada 38,0 juta 40,8 juta kasus RHD secara
global pada tahun 2017, dengan prevalensi, kecacatan, dan kematian tertinggi di
Oseania, Asia Selatan, dan Afrika sub-Sahara. Prevalensi berkisar dari 3,4 kasus
per 100.000 penduduk di negara-negara nonendemik, hingga >1000 kasus per
100.000 di negara endemik. Diperkirakan ada 266 200 hingga 303.300 kematian
disebabkan oleh penyakit jantung rematik pada tahun 2017. Di daerah
nonendemik, kematian dari penyakit jantung rematik bergeser ke arah mereka dari
latar belakang sosial ekonomi yang buruk.4
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
tingkat prevalensi yang lebih tinggi pada anak-anak lebih dari 5 tahun.
Selain itu, dua penelitian yang diterbitkan melaporkan tingkat prevalensi
yang lebih tinggi pada anak-anak di atas usia 5 tahun. Menurut studi
pertama, dari 40 pasien, 34 mengalami serangan awal dan 12 kasus
berulang. Studi lain melaporkan 51 serangan awal pada anak-anak dan 22
kekambuhan di antara 67 pasien.6
2.3 Etiologi
1. Usia
Usia Insiden kasus awal demam rematik akut paling tinggi pada
anak-anak berusia 5-14 tahun, meskipun episode pertama memang
terjadi pada anak-anak yang lebih muda, dengan kasus-kasus demam
rematik akut yang dilaporkan pada mereka yang berusia 2-3 tahun.
Episode awal juga dapat terjadi pada remaja dan orang dewasa yang
lebih tua, meskipun kasus pada orang berusia >30 tahun jarang terjadi.8
Sebaliknya, episode berulang sering mempengaruhi anak-anak
yang sedikit lebih tua, remaja dan dewasa muda tetapi jarang diamati di
luar usia 35-40 tahun. Penyakit jantung rematik adalah penyakit kronis
7
2. Jenis Kelamin
3. Faktor lingkungan
2.5 Patofisiologi
dapat terjadi di bawah endokardium dekat atau di katup tetapi juga dapat
terlihat langsung di miokardium, yang biasanya sembuh pada karditis
rematik. Nodul ini merupakan tempat inflamasi granulomatosa yang
mengandung sel T dan makrofag dan terbentuk sebagai hasil dari proses
inflamasi intens yang terutama dimediasi oleh sel T CD4+. VCAM1 juga
berinteraksi dengan dan meningkatkan regulasi banyak molekul adhesi sel
lainnya, kemokin dan reseptornya. Ini termasuk integrin 4β1 (juga dikenal
sebagai VLA4), molekul adhesi intraseluler 1 (ICAM1), P-selectin, ligan
CC-chemokine 3 (CCL3; juga dikenal sebagai MIP1α), CCL1 (juga dikenal
sebagai I309) dan ligan CXC-chemokine 9 (CXCL9; juga dikenal sebagai
MIG). Reaksi autoimun di katup dikaitkan dengan peningkatan kadar
protein jaringan jantung vimentin dan lumican dan peningkatan kadar
apolipoprotein A1, sedangkan kolagen VI, protein terkait haptoglobin,
prolargin, biglycan, dan protein matriks oligomer kartilago berkurang.
Ketidakseimbangan ini mengakibatkan hilangnya integritas struktural
jaringan katup dan, akibatnya, disfungsi katup.8
Karditis rematik ditandai dengan lesi regurgitasi pada katup mitral dan
aorta (atau dikenal sebagai valvulitis rematik). Antibodi, berpotensi
diarahkan terhadap karbohidrat grup A, bereaksi dengan endotelium katup
untuk memulai peradangan pada permukaan katup dan meningkatkan
infiltrasi sel-T katup pada penyakit jantung rematik. Sel T reaktif silang
yang responsif terhadap protein M streptokokus dan antigen protein heliks
homolog seperti miosin, laminin, tropomiosin, atau vimentin menjadi
teraktivasi dan ekstravasasi melalui endotel teraktivasi ke dalam katup di
IFN. Kerusakan awal pada penyakit jantung rematik dapat berasal dari
korda tendinae, di mana kerusakan pada endotel dari struktur katup yang
sangat halus ini dapat memulai proses cedera, edema, fibrosis, dan jaringan
parut. Sel T menyusup dan berkumpul di membran basal katup dengan
peningkatan regulasi VCAM-1, yang memungkinkan katup disusupi oleh sel
T dan menyebabkan cedera katup eksplosif dengan infeksi streptokokus
berulang. Sel T reaktif silang menembus endotel katup ke dalam katup yang
semula avaskular. Sel T dalam darah perifer pasien dan katup telah terbukti
reaktif silang dengan protein M dan protein jantung termasuk epitop miosin
jantung, dan keduanya merupakan fenotipe CD4þ dan CD8, tetapi fenotipe
CD4þ dan sel Th1 mendominasi. Perkembangan jaringan parut dan fibrosis
pada katup merupakan bagian dari patogenesis yang disebabkan oleh
Stadium I
Stadium II
Stadium III
Stadium IV
a. Manifestasi Mayor
Arthritis
Karditis
23
- Bising mitral regurgitasi berupa bising pansistolik, high pitch, yang radiasi
ke axilla. Tidak dipengaruhi oleh posisi dan respirasi. Intensitas 2/6.
- Carey coombs bising : bising diastolik di apeks pada karditis yang aktif
dan menyertai mitral insufisiensi berat. Mekanismenya berupa relatif mitral
stenosis yang diakibatkan dari volume yang besar yang melalui katub mitral saat
pengisian ventrikel.
- Bising aorta regurgitasi : bising awal diastolik yang terdapat dibasal, dan
terbaik didengar pada sisi atas kanan dan kiri sternum saat penderita duduk miring
kedepan.
Eritema marginatum
Eritema marginatum adalah manifestasi sementara yang
jarang, umunya terjadi pada awal perjalanan penyakit. Biasanya
dideteksi sebagai ruam eritematosus yang memiliki bagian tengah
pucat atau berbentuk cincin, tidak nyeri, tidak gatal dan biasanya
ditemukan di punggung.13
Nodul subkutan
Adanya nodul subkutan muncul beberapa minggu setelah
onset demam rematik dan biasanya tidak disadari penderita karena
tidak nyeri. Terdeteksi pada permukaan luas lengan dan kaki serta
kepala. Nodul ini biasanya kurang dari 2cm, mobile, dan tidak
nyeri sehingga mudah hilang jika tidak dicari secara aktif pada
pemeriksaan klinis.12
Chorea Sydenham
Insidensi sydenham chorea muncul dalam 1-6 bulan setelah
infeksi streptokokus, progresif secara perlahan dan memberat
dalam 1-2 bulan. Kelainan neurologis berupa gerakan involunter
25
b. Manifestasi Minor
Demam hampir selalu ada pada poliartritis rematik, sering ada pada
karditis yang tersendiri (murni) tetapi pada korea murni. Jenis
demamnya adalah remiten, tanpa variasi diurnal yang lebar, gejala
khas biasanya kembali normal atau hampir normal dalam waktu 2/3
minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia adalah nyeri sendi tanpa
tanda objektif pada sendi. Artralgia biasanya melibatkan sendi besar.
Kadang nyerinya terasa sangat berat sehingga pasien tidak mampu lagi
menggerakkan tungkainya. Termasuk kriteria minor adalah beberpa uji
laboratorium. Reaktan fase akut seperti LED atau C-reactive protein
mungkin naik. Uji ini dapat tetap naik untuk masa waktu yang lama
(berbulan-bulan). Pemanjangan interval PR pada elektrokardiogram
juga termasuk kriteria minor.12
26
2.7 Diagnosis
Eritema marginatum
Nodul Subkutan
- Kultur tenggorok
31
2.9 Tatalaksana
a. Terapi Antibiotik
32
Profilaksis Primer
Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang
sangat penting untuk mengindari paparan berulang kronis terhadap
antigen Streptococcus beta hemolyticus grup A. Eradikasi dari bakteri
Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring seharusnya diikuti
dengan profilaksis sekunder jangka panjang sebagai perlindungan
terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring yang
berulang.
Pemilihan regimen terapi sebaiknya mempertimbangkan aspek
bakteriologi dan efektifitas antibiotik, kemudahan pasien untuk
mematuhi regimen yang ditentukan (frekuensi, durasi, dan kemampuan
pasien meminum obat), harga, dan juga efek samping. Penisilin G
Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan amoxicilin oral adalah
obat pilihan untuk terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring
pada pasien tanpa riwayat alergi terhadap penisilin. Setelah terapi
antibiotic selama 24 jam, pasien tidak lagi dianggap dapat menularkan
bakteri Streptococcus beta hemolyticus group A. Penisilin V pottasium
lebih dipilih dibanding dengan penisilin G benzathine karena lebih
resisten terhadap asam lambung. Namun terapi dengan penisilin G
benzathine lebih dipilih pada pasien yang tidak dapat menyelesaikan
terapi oral 10 hari, pasien dengan riwayat rheumatic fever atau gagal
jantung rematik, dan pada mereka yang tinggal di lingkungan dengan
faktor risiko terkena rheumatic fever (lingkungan padat penduduk,
status sosio-ekonomi rendah).
33
Obat Dosis
Penisilin
Amoxicillin 50 mg/kgBB (maksimal, 1 g) oral
satu kali sehari selama 10 hari
Penicillin G benzathine Pasien berat < 27 kg (60 lb):
600,000 unit IM sekali
Pasien dengan BB > 27 kg:
1,200,000 unit IM sekali
Penicillin V potassium Pasien dengan BB < 27 kg
diberikan 250 mg oral 2-3x sehari
selama 10 hari
Pasien dengan BB > 27 kg: 500 mg oral
2-3x sehari selama 10 hari
Untuk pasien alergi penisilin
Narrow-spectrum cephalosporin Bervariasi
(cephalexin [Keflex], cefadroxil
[formerly Duricef])
Azithromycin (Zithromax) 12 mg/kgBB/hari (maksimal, 500
mg) oral 1x sehari selama 5 hari
Clarithromycin (Biaxin) 15 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi
2 dosis (maksimal, 250 mg 2x
sehari), selama 10 hari
Clindamycin (Cleocin) 20 mg/kgBB/hari oral (maksimal,
1.8 g/hari), dibagi menjadi 3 dosis,
untuk 10 hari
34
Profilaksis Sekunder
Obat Dosis
Penicillin G benzathine Pasien berat < 27 kg (60 lb)
600,000 unit IM setiap 4
minggu sekali
Pasien berat > 27 kg:
1,200,000 unit IM setiap 4
minggu sekali
Penicillin V potassium 250 mg oral 2x sehari
Sulfadiazine Pasien berat < 27 kg (60 lb):
0.5 g oral 1x sehari
Pasien berat > 27 kg (60 lb)
kg: 1 g oral 1x sehari
Macrolide atau antibiotik azalide Bervariasi
(untuk pasien alergi penicillin dan
sulfadiazine)
35
d. Terapi Operatif
Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus
mengalami perburukan meskipun telah mendapat terapi medis yang
agresif untuk penanganan rheumatic heart disease, operasi untuk
mengurangi defisiensi katup mungkin bisa menjadi pilihan untuk
menyelamatkan nyawa pasien. Pasien yang simptomatik, dengan
disfungsi ventrikel atau mengalami gangguan katup yang berat, juga
memerlukan tindakan intervensi.
I. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang
ideal, dapat dilakukan ballon mitral valvuloplasty (BMV). Bila
BMV tak memungkinkan, perlu dilakukan operasi.
II. Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral
akut (mungkin akibat ruptur khordae)/kronik yang berat dengan
rheumatic heart disease yang tak teratasi dengan obat, perlu
segera dioperasi untuk reparasi atau penggantian katup.
III. Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat
langka. Intervensi dengan balon biasanya kurang berhasil,
sehingga operasi lebih banyak dikerjakan.
IV. Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri
atau kombinasi dengan lesi lain, biasanya ditangani dengan
penggantian katup.9
38
2.10 Prognosis
Penyakit jantung rematik (PJR) merupakan kelainan katup jantung yang menetap
akibat demam rematik akut sebelumnya. Diagnosis penyakit jantung rematik
dibuat dengan menggunakan kriteria klinis (Kriteria Jones) dan dengan
menyingkirkan diagnosis banding lainnya. Kriteria Jones pertama kali ditetapkan
pada tahun 1944 dan sejak itu telah mengalami banyak modifikasi, revisi, dan
pembaruan, yang terakhir pada tahun 2015. Kriteria dibagi menjadi manifestasi
mayor dan minor. Diagnosis ditegakkan bila pasien datang dengan dua
manifestasi mayor atau satu manifestasi mayor dan paling sedikit dua manifestasi
minor. Aspek laboratorium dari penyakit jantung rematik adalah reaktan fase akut,
rapid test antigen streptococcus, pemeriksaan antibodi antistreptokokus, dan
kultur tenggorok. Pengobatan terhadap Demam Rematik ditunjukkan pada 3 hal
yaitu:
27
Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi mengalami kekambuhan.
Risiko kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejakepisode awal.
28
28
DAFTAR PUSTAKA
11. Zühlke LJ, Beaton A, Engel ME, et al. Group A Streptococcus, Acute
Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease: Epidemiology and
Clinical Considerations. Curr Treat Options Cardiovasc Med.
2017;19(2):15. doi:10.1007/s11936-017-0513-y
12. Fitriany, J., & Annisa, I. (2019). Demam Rematik Akut. AVERROUS:
Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan Malikussaleh, 5(2), 11.
https://doi.org/10.29103/averrous.v5i2.2078
13. Peters F, Karthikeyan G, Abrams J, Muhwava L, Zühlke L. Rheumatic
heart disease: current status of diagnosis and therapy. Cardiovasc Diagn
Ther. 2020;10(2):305-315. doi:10.21037/cdt.2019.10.07
30
14. Panduan Praktik Klinis Dan Clinical Pathway Penyakit Jantung Dan
Pembuluh Darah. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia. 2016. 216-7
15. Julius, W. D., 2016. Penyakit Jantung Rematik. Jurnal Medula Unila,
Januari, 4(3), pp. 140-141.
16. Kumar, Vinay dkk. Valvular Heart. Robbins and Cotran Pathologic Basis
of Disease. Philadelpia: Elsevier Inc. 2010.
17. RHDAustralia 2020, RHD Australia, viewed 28 September 2021,
<https://www.rhdaustralia.org.au/arf-rhd-guideline>.