Anda di halaman 1dari 47

Referat

PERIPHERAL ARTERY DISEASE

UNIVERSITAS ANDALAS

Oleh :

dr. Ragil Diky Laksmana

Pembimbing :

dr. Vendry Rivaldy, Sp.B(K)V

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS)


ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………. ii


DAFTAR TABEL ………………………………………………………………………. iii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………………. iv
BAB 1 PENDAHULUAN ………………………………………………………………. 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………………. 4
2.1 Definisi PAD ……………………….……………………………………................... 4
2.2 Epidemiologi PAD..................……….………………………………………………. 6
2.3 Faktor Resiko PAD .................………………………………………………………. 8
2.4 Klasifikasi PAD ........................................................................................................... 16
2.5 Penegakan Diagnosis PAD ......................................................................................... 20
2.6 Tata Laksana PAD ....................................................................................................... 21
2.7 Pengobatan Endovaskuler PAD ................................................................................... 39
BAB 3 KESIMPULAN …………………………………………………………………… 42
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………. 43

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Sindrom Nyeri Vaskuler ................................................................................... 5


Tabel 2.2 Terapi farmakologis PAD ................................................................................ 25

iii

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Penyebab Non Atherosklerotik Klaudikasio Intermitten ............................... 18
Gambar 2.2 Pemeriksaan Hematologi Inisial untuk Klaudikasio Intermitten .................. 21
Gambar 2.3 Pemeriksaan Hematologi Sekunder Berdasarkan Kecurigaan Klinis ........... 21
Gambar 2.4 Algoritma prinsip manajemen dan tata laksana pasien PAD ....................... 22
Gambar 2.5 Terapi Latihan Terstruktur Untuk Klaudikasio Intermiten .......................... 23
Gambar 2.6 Klasifikasi Lesi Femoropoplitea TASC ....................................................... 28
Gambar 2.7 Teknik Patch Linton ..................................................................................... 36
Gambar 2.8 Teknik Venotomi .......................................................................................... 37
Gambar 2.9 Teknik Alternatif Mencapai Arteri Femoralis Profunda Distal ................... 38
Gambar 2.10 Teknik Posterior Approach ....................................................................... 39
Gambar 2.11 Teknik dan Teknologi Revaskularisasi Terbaru ........................................ 41

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

Iskemia kronis ekstremitas bawah akibat penyakit ateri perifer (PAD) adalah

penyebab paling umum dari kesulitan berjalan. Manifestasi iskemia kronis

ekstremitas bawah sering melibatkan rasa nyeri, yang diakibatkan oleh berbagai

derajat iskemik, baik nyeri atipikal maupun nyeri muskular yang tipikal dan

berhubungan dengan latihan (klaudikasio intermiten) atau nyeri iskemik saat

istirahat (Chronic Limb Ischemic/CLI).1,2

Prevalensi PAD dikelompokan berdasarkan ABI, demografik, dan faktor

risiko. Usaha komprehensif dilakukan untuk menetapkan prevalensi PAD

menggunakan ABI di National Health and Nutrition Examination Survey

(NHANES) Amerika Serikat mulai tahun 1999 – 2000, melibatkan 9000 individu

usia 40 tahun atau lebih. Prevalensi PAD yang didefinisikan sebagai ABI < 0,90

adalah sebanyak 4,3%. Prevalensi ditemukan lebih tinggi pada pria dibandingkan

wanita, namun meningkat dengan usia, yaitu 0,9% pada individu yang lebih muda

dari 50 tahun hingga 14,5% pada individu usia besar sama 70 tahun. Secara

statistik, terdapat hubungan yang signifikan antara PAD dengan faktor risiko

umum seperti hipertensi, diabetes, hiperkolesterolemia, dan merokok. Pada

penelitian yang dilakukan oleh NHANES Amerika Serikat jelas didemonstrasikan

terdapat prevalensi PAD ekstremitas bawah yang lebih tinggi di Amerika Serikat

yakni mencapai 8-12 juta orang. Saat ini, PAD dilaporkan mempunyai hubungan

dengan morbiditas dan mortalitas yang hampir sama dengan penyakit jantung

koroner dan stroke.1,2

1
Hipertensi sebagai salah satu faktor risiko diketahui dapat meningkatkan

risiko PAD sebanyak 2,5 kali lipat pada pria dan 3,9 kali lipat pada wanita, dan

ditemukan pada 55% pasien dengan PAD. Prevalensi PAD juga diketahui 20-30%

lebih tinggi pada pasien diabetes, sebanyak 3,5 kali lipat pada pasien pria dengan

diabetes dan 8,6 kali lipat pada pasien wanita yang diabetes. Sindroma metabolik

diperkirakan terdapat pada paling kurang 25% populasi.1,2

Melaksanakan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap sangat

penting pada pasien PAD. Dimana hal tersebut difokuskan pada tungkai, begitu

juga dengan faktor risiko sistemik. Klaudikasio neurogenik dan vaskulogenik

harus dibedakan dengan PAD, begitu juga dengan penyebab yang berbeda seperti

ulserasi pada kaki. Banyak pasien dengan PAD yang mempunyai gejala tungkai

tidak khas seperti gejala otot tungkai yang muncul saat istirahat dan dengan

latihan atau gejala tungkai yang tidak cukup aktif untuk menghasilkan gejala yang

khas. Terdapatnya fase laten yang sulit terdeteksi pada pemeriksaan klinis rutin

juga nampaknya dapat terjadi selama proses aterosklerotik. Aterosklerotik

merupakan sebuah proses patologis yang berhubungan dengan penuaan pada

manusia. Faktor risiko lain yang berperan dalan perkembangan lesi aterosklerotik

termasuk hipertensi, diabetes melitus, hiperlipidemia, insufiesiensi renal kronis,

juga merokok. 1,2

Pasien mungkin akan mempunyai lebih dari satu penyebab nyeri

ekstremitas, sehingga membuat diagnosis dan pengobatan lebih sulit. Oleh karena

itu, hal ini menjadi tantangan bagi dokter spesialis vaskuler adalah untuk

menentukan ada tidaknya iskemia ekstremitas bawah, menentukan perluasan

penyakit lokal dan sistemik, menentukan derajat kelainan fungsional yang

2
berhubungan dengan penyakit arteri perifer, mengidentifikasi dan mengawasi

faktor risiko yang dapat dimodifikasi, dan menentukan program pengobatan yang

komprehensif.1

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Penyakit Arteri Perifer (PAD)

Penyakit arteri perifer (Peripheral Artery Disease/PAD) adalah gangguan

suplai darah ke ekstremitas atas atau bawah karena obstruksi. Mayoritas obstruksi

disebabkan oleh aterosklerosis, namun dapat juga disebabkan oleh trombosis

emboli, vaskulitis, atau displasia fibromuskuler. Penyakit arteri perifer meliputi

arteri karotis, arteri renalis, arteri mesenterika dan semua percabangan setelah

melewati aortailiaka, termasuk ekstremitas bawah dan ekstremitas atas. PAD yang

paling banyak adalah penyakit arteri pada ekstremitas bawah.1,2

Lokasi yang terkena terutama pada aorta abdominal dan arteri iliaka (30%

dari pasien yang simptomatik), arteri femoralis dan poplitea (80-90%), termasuk

arteri tibialis dan peroneal (40-50%). Proses aterosklerosis lebih sering terjadi

pada percabangan arteri, tempat yang turbulensinya meningkat, memudahkan

terjadinya kerusakan tunika intima. Pembuluh darah distal lebih sering terkena

pada pasien usia lanjut dan diabetes melitus.1,2

Pada PAD terdapat juga penyakit-penyakit kardiovaskular yang mengiringi.

Data dari Reduction of Atherothrombosis for Continued Health (REACH) tahun

2010 menunjukan saling tumpang tindih antara penyakit-penyakit kardiovaskuler

seperti penyakit arteri perifer, penyakit kardiovaskuler, dan penyakit jantung

koroner. Berikut jenis sindrom nyeri vaskular :1

4
Tabel 2.1 Jenis nyeri vaskular

5
2.2 Epidemiologi Penyakit Arteri Perifer (PAD)

Metode paling tepat dalam menilai prevalensi penyakit arteri oklusif pada

ekstremitas bawah yang kronis adalah dengan menilai ABI dan

menghubungkannya dengan faktor risiko. Hasil ABI direkomendasikan untuk

dilaporkan dengan nilai non kompresibel, yang didefinisikan lebih besar dari 1,40;

nilai normal 1,00 – 1,40; dan nilai ambang 0,90 – 0,99 dan nilai abnormal 0,90

atau kurang. ABI dikorelasikan dengan risiko mortalitas dengan penyakit arteri

perifer, baik dengan atau tanpa gejala.1

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Feringa, et al. pada sebuah penelitian

longitudinal pada 3209 subjek selama 8 tahun setelah merekam baseline ABI saat

istirahat dan pasca latihan. Pada penelitian ini, semakin rendah nilai ABI saat

istirahat, semakin rendah nilai ABI pasca latihan, dan semakin tinggi penurunan

ABI saat istirahat yang berkaitan dengan peningkatan angka kematian. Pada

sebuah penelitian kohort yang terdiri dari 6880 subjek yang tidak dipilih, dengan

usia ≥ 65 tahun yang dimonitor selama lebih dari 5 tahun pada Kelompok Studi

Epidemiologi ABI Jerman, sebanyak 836 orang mempunyai PAD asimtomatik

(ABI < 0,9) dan 593 orang mempunyai PAD simtomatik. Karena 21% subjek

mempunyai PAD asimtomatik dan simtomatik, ACCF/AHA 2011

merekomendasikan skrining ABI sebagai alat diagnostik untuk pasien dengan usia

≥ 65 tahun atau untuk pasien berusia ≥ 50 tahun dengan riwayat merokok atau

diabetes.1

Prevalensi PAD dikelompokan berdasarkan ABI, demografik, dan faktor

risiko. Sebuah usaha komprehensif dilakukan untuk menetapkan prevalensi PAD

menggunakan ABI di National Health and Nutrition Examination Survey

6
(NHANES) Amerika Serikat mulai tahun 1999 – 2000, melibatkan 9000 individu

usia 40 tahun atau lebih. Dimana, data ABI yang lengkap untuk dianalisis terdapat

pada 2174 peserta. Prevalensi PAD yang didefinisikan sebagai ABI < 0,90 adalah

sebanyak 4,3%. Prevalensi ditemukan lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita,

namun meningkat dengan usia, yaitu 0,9% pada individu yang lebih muda dari 50

tahun hingga 14,5% pada individu usia besar sama 70 tahun. Secara statistik,

terdapat hubungan yang signifikan antara PAD dengan faktor risiko umum seperti

hipertensi, diabetes, hiperkolesterolemia, dan merokok. Berdasarkan data

demografik diketahui terdapat hubungan antara PAD dengan usia, ras, jenis

kelamin, dan etnis yang sudah dikonfirmasi pada beberapa penelitian. Pada

sebuah meta analisis yang terdapat di AHA, prevalensi PAD ditunjukan

meningkat dengan usia baik pada pria maupun wanita. Pada penelitian yang

dilakukan oleh NHANES Amerika Serikat jelas didemonstrasikan terdapat

prevalensi PAD ekstremitas bawah yang lebih tinggi di Amerika Serikat yakni

mencapai 8-12 juta orang. Saat ini, PAD dilaporkan mempunyai hubungan dengan

morbiditas dan mortalitas yang hampir sama dengan penyakit jantung koroner dan

stroke.1

Hipertensi sebagai salah satu faktor risiko diketahui dapat meningkatkan

risiko PAD sebanyak 2,5 kali lipat pada pria dan 3,9 kali lipat pada wanita, dan

ditemukan pada 55% pasien dengan PAD. Prevalensi PAD juga diketahui 20-30%

lebih tinggi pada pasien diabetes, sebanyak 3,5 kali lipat pada pasien pria dengan

diabetes dan 8,6 kali lipat pada pasien wanita yang diabetes. Sindroma metabolik

diperkirakan terdapat pada paling kurang 25% populasi. Sebuah analisis oleh

NHANES Amerika Serikat mulai tahun 1999-2004 yang melibatkan 5376 peserta

7
asimtomatik usia 40 tahun atau lebih menunjukan bahwa 38% populasi dengan

PAD juga mempunyai sindroma metabolik, dan prevalensi PAD (ABI < 0,9)

adalah 7,7% dan 3,3% secara berurutan pada pasien dengan atau tanpa sindroma

metabolik. Merokok adalah stimulus jangka panjang untuk aterosklerosis dan

meningkatkan risiko PAD baik pada pria maupun wanita. Beratnya penyakit arteri

oklusif sebanding dengan jumlah rokok yang dihisap dan setiap faktor risiko

tambahan secara independen akan meningkatkan risiko mengembangkan PAD

yang simtomatis.1

Pasien dengan PAD asimtomatik akan dapat mengembangkan gejala

klaudikasio. Sebuah penelitian oleh Edinburgh Artery Study menemukan bahwa

pasien dengan asimtomatik PAD tidak mempunyai penurunan ABI yang

signifikan dalam 5 tahun masa observasi terlepas dari ada tidaknya gejala,

individu dengan PAD diidentifikasi dengan ABI yang kurang dari 0,9 mempunyai

morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan kontrol sesuai usia

dengan nilai ABI yang normal.1

2.3 Faktor Risiko Penyakit Arteri Perifer (PAD)

Faktor risiko Penyakit Arteri Perifer (PAD) mirip dengan etiologi Penyakit

Arteri Koroner (PAK).15 Faktor risiko yang termasuk faktor risiko klasik adalah

merokok, diabetes, riwayat keluarga, hipertensi, dan hiperlipidemia.3,18,25 Risiko

ini meningkat pada pasien dengan usia ≥70 tahun; pada pasien yang 50- 69 tahun

22 dengan riwayat diabetes atau merokok; dan pada pasien 40- 49 tahun dengan

diabetes dan satu atau lebih-aterosklerosis terkait faktor risiko, klaudikasio

intermiten, kelainan pada palpasi denyut ekstremitas bawah atau aterosklerosis

pada arteri non-perifer (misalnya, koroner, karotis dan arteri ginjal).1,2

8
Risiko relatif perkembangan PAD dari faktor risiko yang berhubungan

antara lain, diabetes, merokok, bertambahnya usia (tiap penambahan 5 tahun),

hipertensi, hiperhomosisteinemia, dan peningkatan kolesterol total (tiap kenaikan

10 mg/dL). Selain faktor risiko klasik tersebut ada faktor risiko lainnya yaitu

hiperhomosisteinemia dan marker inflamasi vaskuler seperti C-Reactive Protein

(CRP).13 Pada penelitian lain, masih terdapat faktor risiko lain seperti ras, jenis

kelamin, usia, hiperviskositas, dan chronic renal insufficiency.1,2

2.3.1 Status Merokok

Merokok menjadi faktor risiko yang sangat berpotensi terhadap

terbentuknya PAD. Merokok lebih berpotensi menyebabkan PAD daripada PJK.

Perokok memiliki insidensi yang lebih tinggi pada CLI, amputasi tungkai, dan

outcome yang buruk pasca revaskularisasi. Selain itu, risiko juga melekat pada

perokok pasif.1

Pada beberapa studi epidemiologi menunjukkan bahwa merokok dan durasi

merokok secara konsisten menjadi faktor risiko yang penting untuk PAD

khususnya PAD di arteri ekstremitas bawah. Keparahan PAD meningkat pada

pasien dengan peningkatan jumlah rokok yang digunakan. Durasi merokok juga

merupakan prediktor perkembangan PAD. Seseorang yang merokok < 25 tahun

memiliki tiga kali peningkatan risiko terjadinya PAD dibandingkan orang yang

tidak merokok. Selain itu, seseorang yang merokok ≥ 25 tahun memiliki

peningkatan risiko PAD lima kali dibandingkan orang yang tidak merokok.

Penghentian merokok berhubungan dengan penurunan insidensi klaudikasio yang

cepat.1

9
Pada studi yang dilakukan pada 245 wanita yang menderita PAD,

ditemukan bahwa risiko PAD secara signifikan turun setelah berhenti merokok.

Mantan perokok yang tidak lagi merokok lebih dari 5 tahun memiliki risiko

terjadinya PAD yang mendekati orang normal. Pada pasien yang tidak merokok 1-

5 tahun, risiko PAD hanya meningkat dua kali. Pasien yang tetap merokok hingga

20 batang perhari memiliki risiko yang meningkat 12 kali. Selain itu, individu

yang merokok lebih dari 5 batang per hari memiliki prognosis revaskularisasi

yang buruk dibandingkan dengan yang merokok kurang dari 5 batang per hari.1

Sebaliknya, studi yang dilakukan oleh National Health and Nutrition

Examination Survey, gagal membuktikan hubungan antara perokok pasif dengan

risiko perkembangan PAD. Alasan tidak terbuktinya hubungan adalah adanya

threshold effect, dimana diperlukan dosis tinggi dari nikotin untuk membuat

endotel rusak, alasan lain yaitu sedikitnya orang yang melaporkan bahwa dirinya

adalah perokok pasif.1

Nikotin dan zat-zat yang terkandung dalam rokok merupakan zat yang

toksik terhadap endotel pembuluh darah sehingga lipoprotein akan lebih mudah

masuk ke subendotel dan membentuk aterosklerosis. Merokok meningkatkan

kadar LDL, dan menurunkan kadar HDL, meningkatkan CO darah yang dapat

menyebabkan hipoksia endotel, dan menyebabkan vasokonstriksi pada segmen

arteri yang telah mengalami aterosklerosis. Merokok juga menyebabkan

peningkatan reaktifitas dari platelet, yang dapat membentuk trombus, dan

meningkatkan konsentrasi fibrinogen plasma dan hematokrit yang menyebabkan

peningkatan viskositas darah.1

10
2.3.2 Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah faktor risiko penting lainnya pada terjadinya PAD,

lama dan keparahan diabetes yang dialami juga dapat berpengaruh. PAD

memberikan prognosis yang lebih buruk pada pasien DM tipe 2 dibandingkan

dengan pasien non diabetes. Klaudikasio intermiten terjadi dua kali lebih banyak

pada pasien dengan diabetes daripada pasien non diabetes. DM dua kali lebih

banyak dalam prevalensi PAD, hal ini berhubungan dengan kontrol glikemik pada

pasien DM tipe 2. Pada pasien dengan diabetes, setiap kenaikan 1% dalam

hemoglobin A1c terjadi peningkatan 30% risiko PAD. 1

Resistensi insulin merupakan faktor risiko PAD bahkan pada pasien tanpa

diabetes, meningkatkan risiko sekitar 40% sampai 50%. PAD pada pasien dengan

diabetes lebih agresif dibandingkan dengan pasien non diabetes dengan

keterlibatan pembuluh darah besar ditambah dengan neuropati simetris distal.

Kebutuhan untuk amputasi mayor lima sampai sepuluh kali lebih tinggi pada

penderita diabetes daripada non-penderita diabetes. Hal ini karena neuropati

sensorik dan penurunan resistensi terhadap infeksi. Berdasarkan pengamatan ini,

American Diabetes Association merekomendasikan skrining PAD dengan ABI

setiap 5 tahun pada pasien dengan diabetes.1

2.3.3 Dislipidemia

Beberapa studi epidemiologi juga menemukan bahwa tingginya kadar

kolesterol total dan rendahnya HDL secara independen berkaitan dengan 26

meningkatnya risiko PAD. Hiperlipidemia mengubah dinding endotel arteri

mengarah ke pembentukan lesi aterosklerotik. Kolesterol LDL adalah salah satu

penyebab utama dari disfungsi endotel dan cedera otot polos.

11
Perubahanperubahan pada endotel oleh karena hiperlipidemia ini merupakan lesi

awal aterosklerosis yang selanjutnya akan menjadi lesi yang lebih kompleks

menyebabkan stenosis arteri atau oklusi. Peningkatan kadar Kolesterol LDL

menimbulkan peningkatan risiko terkena penyakit kardiovaskular. Di

Framingham Heart Study, individu dengan kadar kolesterol total 270 mg / dL

memiliki dua kali kejadian klaudikasio intermiten. Selain itu, orang dengan

klaudikasio intermiten memiliki tingkat rata-rata kolesterol tinggi.1

2.3.4 Hipertensi

Beberapa studi epidemiologi menunjukkan hubungan antara hipertensi dan

terjadinya PAD. Hipertensi dikaitkan dengan segala bentuk penyakit

kardiovaskular, termasuk PAD. Namun, risiko relatif untuk terjadinya PAD lebih

kecil dari diabetes atau merokok. Hipertensi menyebabkan aterosklerosis yang

lebih agresif pada semua sirkulasi darah, dan merupakan faktor risiko terjadinya

serebrovaskuler dan penyakit koroner. Hipertensi juga merupakan faktor risiko

mayor terjadinya PAD. Tidak ada hubungan yang ditemukan antara peningkatan

tekanan darah dan terjadinya klaudikasio.1

Pada studi Limburg PAOD, hipertensi berhubungan dengan peningkatan

risiko relatif yaitu 2,8 dan pada studi Rotterdam, ABI yang rendah berhubungan

dengan peningkatan tekanan sistol dan diastol. Hipertensi lebih mengarah ke

hiperplasi pada neointimal daripada remodeling dari pembuluh darah.1

2.3.5 Usia

Pada studi Framingham Heart prevalensi PAD meningkat pada individu

dengan usia ≥ 65 tahun. Insidensi klaudikasio intermiten pada usia 30-44 adalah 6

12
dari 10.000 pasien pria dan 3 dari 10.000 pasien wanita. Insidensi ini meningkat

menjadi 61 setiap 10.000 pria dan 54 setiap 10.000 wanita pada usia 65-74.4

Prevalensi PAD 4,3 % pada individu yang berusia lebih dari 40 tahun dan 14,5 %

pada individu yang berusia lebih dari 70 tahun.36 Hubungan usia dengan PAP

mencerminkan lamanya paparan terhadap faktor-faktor aterogenik dan efek

kumulatif penuaan pada pembuluh darah.1

2.3.6 Ras

The National Health and Nutrition Examination Survey, sebuah survei di

Amerika Serikat pada hasil penelitiannya menemukan informasi bahwa ABI 0,90

umumnya lebih sering terdapat pada ras kulit hitam (7,8%) dibandingkan dengan

ras kulit putih (4,4%).1

2.3.7 Jenis Kelamin

Prevalensi PAD, baik yang simptomatik maupun asimptomatik, sedikit lebih

besar pada pria daripada wanita, terutama pada kelompok usia yang lebih muda.

Pada pasien dengan klaudikasio intermiten, rasio laki-laki dibandingkan dengan

wanita adalah antara 1 : 1 dan 2 : 1. Rasio ini meningkat pada beberapa studi

setidaknya hingga 3 : 1 pada tahap penyakit yang lebih parah, seperti critical limb

ischemia kronis. Namun demikian, terdapat penelitian lain yang menyatakan

bahwa prevalensi PAD pada wanita maupun laki-laki adalah sama. Terdapat pula

studi yang menyatakan bahwa klaudikasio intermiten didominasi oleh jenis 28

kelamin wanita. Pada penelitian Framingham, didapatkan bahwa klaudikasio

intermiten juga prevalensinya dua kali lebih banyak pada pria dibandingkan

wanita.1

13
2.3.8 Kadar C reactive protein (CRP)

Pembentukan dan perkembangan aterosklerosis diduga disebabkan oleh int

eraksi kompleks dari faktor risiko klasik, yang berhubungan dengan proses inflam

asi intravaskuler. Fatty streak, lesi awal aterosklerosis adalah murni lesi inflamasi

yang terdiri dari monosit dan limfosit T.4 Beberapa penelitian menunjukkan bahw

a CRP meningkat pada subjek asimtomatik yang telah 5 tahun menderita PAD.1

Manfaat dari biomarker inflamasi dan proaterosklerosis, seperti CRP, inter

leukin-6, fibrinogen, dan lipoprotein (a), adalah menunjukkan prediksi preklinik te

rjadinya aterosklerosis. Peningkatan CRP yang diikuti profil lipid secara signifika

n meningkatkan risiko terjadinya PAD pada studi yang dilakukan oleh Physician’

s Health Study. 28 Individu dengan kadar CRP yang tinggi dua sampai tujuh kali l

ebih berisiko terkena stroke, tiga sampai tujuh kali lebih 29 berisiko terkena infark

miokard, empat sampai lima kali lebih berisiko terkena PAD.1

2.3.9 Hiperhomosistein

Homosistein adalah jenis asam amino. Peningkatan kadar homosistein secar

a independen berhubungan dengan peningkatan faktor risiko terjadinya PAD sebe

sar tujuh kali lipat. Hal ini karena peningkatan kadar homosistein plasma dihubun

gkan dengan pengerasan dan blocking arteri. Pada penelitian sebelumnya, membu

ktikan bahwa homosistein dapat memberikan efek sitotoksik langsung terhadap en

dotel, sehingga terjadi kerusakan dan gangguan terhadap endotel. Dalam suatu stu

di, kenaikan kadar homosistein total sebesar 5 mikromol per liter meningkatkan ri

siko PAP sebesar 44%. Namun, penelitian terbaru membuktikan bahwa penuruna

n kadar homosistein dengan asam folat dan vitamin B tidak memperbaiki hasil lua

ran kardiovaskuler atau PAD.1

14
2.3.10 Viskositas Plasma dan Kadar Fibrinogen

Kondisi kadar hematokrit yang meningkat dan hiperviskositas dilaporkan t

erdapat pada pasien dengan PAD, kemungkinan sebagai konsekuensi dari meroko

k. Peningkatan kadar fibrinogen plasma, yang juga merupakan faktor risiko tromb

osis, dikaitkan dengan kejadian PAD pada beberapa penelitian. Hiperviskositas da

n hiperkoagulabilitas, keduanya juga telah terbukti sebagai marker atau faktor risi

ko terkait dengan prognosis yang buruk.1

2.3.11 Status Hiperkoaguabilitas

Status hiperkoagulabilitas lebih umum ditemukan pada pasien yang

membutuhkan rekonstruksi vaskular untuk pengobatan penyakit arteri oklusif

pada ekstremitas bawah. Peningkatan kadar fibrinogen plasma, yang juga

merupakan faktor risiko trombosis, dikaitkan dengan kejadian PAD pada beberapa

penelitian. Hiperviskositas dan hiperkoagulabilitas, keduanya juga telah terbukti

sebagai marker atau faktor risiko terkait dengan prognosis yang buruk.1

2.3.12 Chronic Renal Insufficiency

Terdapat hubungan antara renal insufficiency dengan PAD, yang menurut

beberapa studi menyatakan hubungan sebab akibat. Pada studi HERS (Heart and

30 Estrogen/ Progestin Replacement Study), renal insufficiency secara independen

dihubungkan dengan kejadian PAD kedepannya pada wanita post menopause.1

2.4 Klasifikasi PAD

15
Secara umum, iskemik pada tungkai bawah dikelompokan menjadi 2

tergantung pada klinis pasien, yaitu Klaudikasio Intermiten dan Chronic Limb

Ischemic. Dua jenis PAD ini sangat berbeda dari segi penanganannya.1,2

2.4.1 Klaudikasio Intermitten

Pasien tipikal dengan klaudikasio intermiten akan mengalami gejala betis

seperti kelelahan hingga nyeri saat berjalan. Rasa nyeri dan tidak nyaman dapat

juga terjadi di paha ataupun bokong. Sensasi nyeri dihasilkan dari neuropati

iskemik yang melibatkan serabut saraf sensoris delta A dan C tanpa mielin, juga

asidosis lokal intramuskular akibat metabolisme anaerobik yang ditingkatkan oleh

lepasnya substansi P. Istirahat ketika berjalan akan meringankan gejala

klaudikasio intermiten. Biasanya, hal ini tidak terjadi secara rutin. Namun gejala

akan menjadi lebih sering dirasakan saat proses iskemia terus berlanjut seiring

dengan jarak tempuh yang semakin pendek. Pasien asimtomatis dengan ankle-

brachial index (ABI) yang berkurang mungkin dapat menunjukan kelainan fungsi

ketika diperiksa dengan objektif. 1,2

2.4.1.1 Lokasi Kelainan

Klaudikasio sering diakibatkan kelainan pada satu tingkat arteri tunggal,

seperti arteri iliaka atau arteri femoralis superfisial, tetapi dapat menyebabkan

penyakit pada berbagai level. Pembuluh darah kolateral dapat menggantikan arteri

di distal menjadi stenosis pada satu sisi atau oklusi dan menyediakan aliran ke

distal. Gejala klaudikasio berhubungan dengan penyakit arteri perifer biasanya

bermanifestasi pada kelompok otot di bawah lesi hemodinamik yang signifikan.

Tiga pola utama dari obstruksi arteri adalah kelainan inflow, kelainan outflow, dan

16
kombinasi keduanya. Kelainan inflow merujuk pada lesi di pembuluh darah

suprainguinal, terutama aorta infrarenal dan arteri iliaka. Lesi okslusi pada aorta

infrarenal atau arteri iliaka biasanya akan berujung pada klaudikasio bokong atau

paha. Pada laki-laki, jika terjadi okslusi atau stenosis bilateral dan di proksimal

dari arteri iliaka interna, dapat terjadi disfungsi ereksi vaskulogenik. 1,2

Kelainan outflow terdiri dari lesi okslusif pada cabang arteri di ekstremitas

bawah di bawah ligamen inguinal, dari arteri femoralis komunis menuju

pembuluh darah kaki. Okslusi atau stenosis arteri femoralis superfisial merupakan

lesi yang paling umum dalam menyebabkan klaudikasio intermiten, yang

berujung pada ketidaknyamanan betis yang membaik dengan istirahat. Okslusi

arteri tibialis dan arteri poplitea merupakan kondisi yang berhubungan dengan

iskemik yang mengancam ekstremitas. Pasien dengan kelainan kombinasi inflow

dan outflow mungkin dapat mengalami gejala yang luas meliputi bokong,

panggul, paha dan betis. 1,2

2.4.1.2 Penyebab Klaudikasio Non Aterosklerotik

Klaudikasio intermiten pada individu yang lebih muda disebabkan oleh

sindrom entrapment atau kelainan kistik arteri poplitea pada lapisan adventisial,

sindrom kompartemen kronis, atau endofibrosis arteri iliaka. Nyeri ini diakibatkan

kompresi ekstrinsik dari arteri poplitea oleh otot gastrocnemius saat pergerakan

kaki, sama halnya dengan mekanisme klaudikasio intermiten yang berhubungan

dengan penyakit arteri perifer. Pada sindrom kompartemen, nyeri diakibatkan oleh

kongesti vena dan hipertensi jaringan kompartemen. Berikut penyebab non

atherosclerotik Klaudikasio Intermitten :1

17
Gambar 2.1 Penyebab Non Atherosklerotik Klaudikasio Intermitten1

2.4.2 Critical Limb Ischemia (CLI)

CLI merupakan penyakit arteri perifer yang paling berat dan mewakili

sekitar 1 % dari total jumlah pasien. CLI berhubungan erat dengan tingginya

tingkat kehilangan ekstremitas bila tidak disertai revaskularisasi, hingga dapat

menyebabkan amputasi. Pada pasien dengan CLI, arteriola menjadi tervasodilatasi

maksimal dan tidak sensitif terhadap stimulus vasodilator sebagai akibat pajanan

kronis faktor-faktor vasorelaksasi. Hal ini menyebabkan penurunan ketebalan

dinding dan luas area pembuluh darah, sehingga menyebabkan edema. Selain itu,

iskemia kronis akan menyebabkan perubahan struktur dan fungsi sel endotelial,

disertai aktivasi platelet, adhesi leukosit, sehingga terbentuknya mikrotrombus

pada kapiler. Semua hal tersebut di atas menyebabkan gangguan oksigen jaringan

pada tingkat kapiler. 1,2

Manifestasi utama pada CLI adalah nyeri istirahat dan ulserasi iskemik atau

gangren pada ibu jari, menunjukan berkurangnya perfusi distal. Nyeri istirahat

18
digambarkan sebagai sensasi terbakar atau rasa dingin yang tidak nyaman atau

parastese akibat intensitas yang kurang dan menganggu tidur. Neuropati iskemik

pada CLI juga menyebabkan mati rasa. Rasa tidak nyaman akan memburuk

dengan pengangkatan kaki, akibat hilangnya gaya gravitasi yang menarik darah

dari kaki, dimana hal tersebut akan menghilang dengan meletakan kaki pada

posisi menggantung. Diagnosis akan dikonfirmasi secara objektif dengan

pengukuran hemodinamis seperti tekanan sistolik kaki kurang dari 50 mmHg,

tekanan ibu jari kurang dari 30 mmHg, atau ABI kurang dari 0,40. 1,2

Ulserasi iskemik biasanya muncul akibat trauma jaringan lunak berulang,

sering bersifat ringan dengan erosi pada kulit. Regenerasi kulit akan dihambat

oleh perfusi jaringan, oksigenasi dan replikasi sel yang tidak adekuat. Ulserasi

arteri pada pasien non diabetes dicirikan dengan erosi kulit yang dangkal, pucat,

tidak menyembuh pada kaki bagian distal, dimana distribusinya mirip dengan

nyeri saat istirahat. Hal ini diakibatkan oleh nyeri iskemik yang kronik, neuropati

iskemik yang berat juga pajanan serabut saraf sensoris pada kulit di daerah yang

terluka. Gangren iskemik terjadi ketika aliran darah tungkai tidak cukup dalam

kondisi istirahat untuk viabilitas seluler. Kematian jaringan akan meluas pada

batas aliran darah untuk viabilitas jaringan. Awalnya, nyeri dirasakan cukup berat,

yang diakibatkan tidak hanya oleh neuropati iskemik, namun juga jejas iskemik

pada kulit dan syaraf sensoris subkutan, osteomielitis, dan infeksi asending.

Dengan meningkatnya perkembangan nekrosis jaringan akibat proses iskemik,

rasa nyeri akan berkurang sebagai akibat kematian total jaringan. Progresivitas

menjadi gangren terjadi pada 40% pasien dengan Diabetes Mellitus, dibandingkan

dengan hanya 9% pada pasien non diabetes dengan CLI. 1,2

19
Iskemia yang mengancam tungkai biasanya melibatkan adanya penyakit

arteri perifer yang berat pada dua atau lebih level pembuluh darah. Hal ini

merupakan efek tambahan dari terbatasnya aliran darah yang hebat melalui

pembuluh darah kolateral dan akibat iskemik di bagian distal. 1,2

2.5 Penegakan Diagnosis PAD

2.5.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Melaksanakan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap sangat

penting pada pasien PAD. Dimana hal tersebut difokuskan pada tungkai, begitu

juga dengan faktor risiko sistemik. Klaudikasio neurogenik dan vaskulogenik

harus dibedakan dengan PAD, begitu juga dengan penyebab yang berbeda seperti

ulserasi pada kaki. Banyak pasien dengan PAD yang mempunyai gejala tungkai

tidak khas seperti gejala otot tungkai yang muncul saat istirahat dan dengan

latihan atau gejala tungkai yang tidak cukup aktif untuk menghasilkan gejala yang

khas. Terdapatnya fase laten yang sulit terdeteksi pada pemeriksaan klinis rutin

juga nampaknya dapat terjadi selama proses aterosklerotik. Aterosklerotik

merupakan sebuah proses patologis yang berhubungan dengan penuaan pada

manusia. 1,2

Faktor risiko lain yang berperan dalan perkembangan lesi aterosklerotik

termasuk hipertensi, diabetes melitus, hiperlipidemia, insufiesiensi renal kronis,

juga merokok. Diperlukan tindakan kontrol terhadap faktor risiko yang dapat

dimodifikasi untuk memperlambat perkembangan aterosklerosis dan

meningkatkan manfaat intervensi vaskuler. Faktor risiko yang tidak terkontrol dan

terduga dalam akselerasi aterosklerosis meliputi hiperhomosisteinemia atau

20
hiperkoagulabilitas, terutama pada pasien tanpa faktor risiko umum atau pada

individu yang lebih muda dengan onset gejala mendadak. 1,2

Gambar 2.2 Pemeriksaan Hematologi Inisial untuk Klaudikasio Intermitten1

Gambar 2.3 Pemeriksaan Hematologi Sekunder Berdasarkan Kecurigaan Klinis1

2.6 Tata Laksana PAD

Manajemen pengobatan PAD sangat berhubungan dengan atherosclerosis

yang merupakan penyakit sistemik Tujuan pengobatan PAD adalah untuk

meredakan gejala dan menstabilisasi perkembangan atherosclerosis, karena pasien

PAD akan mengalami peningkatan risiko untuk Infark Miokard, Stroke, dan

kematian. Modifikasi faktor risiko merupakan manajemen inisial yang dianjurkan

untuk pasien PAD. Selain itu, deteksi occult PAD dengan menggunakan penanda

indirek atherosclerosis sebaiknya dilakukan pada semua pasien usia lebih 40

tahun. Bila diemukan ABI < 0,9 maka diagnosis PAD dapat ditegakan walaupun

tidak ditemukan gejala. Sekitar 50% pasien PAD bersifat asimtomatik terutama

bila disertai komorbid lainnya, kondisi ini dikenal dengan Chronic Subclinical

21
Lower Extremities Ischemia. Menurut Trans Atlantic Inter Society Consensus

(TASC) rasio PAD asimtomatik berbanding dengan simtomatik mencapai 3 : 1. 1,2

Gambar 2.4 Algoritma prinsip manajemen dan tata laksana pasien PAD1

2.6.1 Terapi Latihan

Terapi latihan juga dianjurkan untuk Klaudikasio Intermiten. Terapi latihan

terstruktur akan meningkatkan performa berjalan dengan meningkatkan ambulasi

bebas nyeri. Hal ini sesuai dengan rekomendasi ACC/AHA, yakni berjalan selama

minimal 30-45 menit, sebanyak 3-4 kali per minggu, selama > 12 minggu, dan

dihentikan sesuai dengan komplians pasien hingga mencapai toleransi, dengan

istirahat berkala. Risiko kardiovaskuler akan menurun aktivitas aerobik reguler

dengan menurunkan kolesterol dan mengontrol tekanan darah dengan

meningkatkan kontrol glikemik. Olahraga terstruktur dapat memberikan manfaat

5 tahun bebas risiko kardiovaskular.1

22
Gambar 2.5 Terapi Latihan Terstruktur Untuk Klaudikasio Intermiten1

2.6.2 Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis yang disetujui FDA adalah Pentoxifylline dan

Cilostazol untuk Klaudikasio Intermiten. Pentoxifylline merupakan derivat dari

metil xantin yang dianggap dapat meningkatkan penghantaran oksigen

sehubungan dengan efek reolitiknya terhadap fleksibiltas dan deformabilitas

terutama dalam menurunkan viskositas darah. Pentoxifylline dipercaya dapat

menghambat agregasi platelet dan meningkatkan level fibrinogen. Pemberian

Pentoxifylline dimulai dengan dosis 400 mg per oral 3 kali sehari dan dapat

ditingkatkan hingga dosis maksimal 1.800 mg/hari. Efek samping dari obat ini

seperti mual, sakit kepala, anxietas, insomnia, dan hilangnya nafsu makan. Perlu

dilakukan pengawasan terhadap tekanan darah karena dapat terjadi peningkatan

tekanan darah. 1,2

Cilostazol juga direkomendasikan sebagai terapi untuk klaudikasio

intermiten. Administrasi obat ini secara oral dapat menghambat kontraksi sel otot

23
polos, agregasi platelet, juga menurunkan proliferasi sel otot polos, terutama pada

restenosis arteri koroner pasa angioplasti transluminal perkutaneus. Selain itu,

cilostazol mempunyai manfaat dalam konsentrasi lipid plasma, sehingga

menyebabkan penurunan kadar serum trigliserida dan meningkatkan HDL.

Berdasarkan sebuah penelitian meta analisis yang mengonfirmasi efikasi

Cilostazol, ditemukan bahwa Cilostazol dapat memodulasi sintesis VEGF. Efek

samping dari Cilostazol diantaranya sakit kepala, diare, dan ketidaknyamanan

gastrointestinal. 1,2

Cilostazol dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kongestif

dan kadar obat yang tinggi pada plasma dapat terjadi pada konsumsi obat yang

dikombinasi dengan obat lain yang dimetabolisme di hati melalui jalur sitokrom-

P450. Efek samping Cilostazol dapat diminimalisir dengan regimen pengobatan

inisial yang dimulai dengan dosis 50 mg/hari selama 1 minggu, hingga akhirnya

mencapai dosis standar 100 mg/hari dua kali sehari selama 3 minggu. Berikut

merupakan tabel terapi farmakologis yang dianjurkan untuk Klaudikasio

Intermiten: 1,2

24
Tabel 2.2 Terapi farmakologis PAD1

2.6.3 Kompresi Pneumatic Intermitten (IPC) untuk PAD

IPC dengan kombinasi dengan modifikasi faktor risiko yang tepat dapat

menjadi metode yang viabel untuk pasien dengan penyakit vaskuler yang tidak

bisa direkonstruksi, seperti tidak dapat dioperasi, atau menolak tindakan invasif.

IPC melibatkan inflasi dan deflasi sekuel menggunakan tekanan pneumatik yang

25
ditempatkan di betis atau tungkai. Sekuens ini dilnjutkan sebanyak 3 siklus per

menit selama sesi pengobatan. mekanisme IPC dibagi menjadi 3 mekanimse yaitu

meningkatkan gradien tekanan arteriovena, mengembalikan paralisis motorik, dan

meningkatkan pelepasan nitrit oksida.1

2.6.4 Revaskularisasi

Langkah pertama yang paling penting dalam memutuskan pengobatan untuk

PAD adalah untuk mengonfirmasi bahwa PAD adalah etiologi gejala pasien.

Pemeriksaan laboratorium vaskuler non invasif diindikasikan untuk pasien dengan

riwayat klaudikasio vaskulogenik yang konsisten, nyeri saat istirahat atau

metatarsalgia atau hilangnya jaringan. Pengukuran ABI merupakan alat skrining

yang paling umum digunakan untuk mendeteksi APD. ABI ≥ 0,90

didemonstrasikan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas untuk identifikasi PAD

bila dibandingkan dengan arteriografi invasif sebagai baku emas pemeriksaan.

Pemeriksaan fisik lengkap akan menunjukan pulsus defisit, namun pulsus yang

intak saat istirahat tidak mengeliminasi PAD yang signifikan secara

hemodinamik. Saat gejala kompleks muncul baik Klaudikasio Intermiten atau

Chronic Limb Ischemic, hal ini ditetapkan sebagai PAD sekunder, sehingga

pengambilan keputusan bergantung kepada berat ringannya gejala serta gejala

bersifat akut atau kronik. 1,2

Pengambilan keputusan mengenai revaskularisasi berdasarkan pada status

gejala dan kondisi pasien. Berdasarkan sistem klasifikasi anatomis, seperti TASC

II, yang dapat membantu dalam pengambilan keputusan mengenai revaskularisasi,

seperti endocaskuler atau open, beban atherosklerotik diukur menggunakan

26
arteriografi. Sistem klasifikasi TASC memiliki beberapa kekurangan terkait

derajat iskemia, luka, infeksi, status fungsional, dan availabilitas saluran, yang

mana semuanya sangat penting dalam mempertimbangkan keberhasilan

revaskularisasi. Hal penting lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam

determinasi apakah pasien akan mendapatkan manfaat dari prosedur tindakan. Hal

ini menyebabkan pentingnya untuk menilai status fungsional dan beban kondisi

komorbid. Keberhasilan tindakan revaskularisasi didefinisikan dari berbagai

perspektif, yaitu Limb and Patient Centered Outcome (keluaran teknik seperti

patensi graft atau stent), dan Functional Outcome. 1,2

Untuk tindakan bypass pada Critical Limb Ischemia, terdapat beberapa

kriteria untuk menentukan keberhasilan klinis nya, yaitu patensi bypass hingga

terjadi penyembuhan, penyelamatan tungkai hingga sekitar 1 tahun, menjaga

status ambulatori lebih kurang selama 1 tahun, ketahanan hingga minimal 6 bulan.
1,2

2.6.5 Pedoman Pengobatan Menurut Klasifikasi Anatomi

Klasifikasi Bollinger digunakan oleh Trial BASIL, untuk

mengklasifikasikan lesi angiografik berdasarkan pola dan beratnya. Klasifikasinya

menggunakan 4 kelas, yaitu plak, stenosis < 25%, stenosis < 50% atau okslusi.1

Klasifikasi Graziani menggunakan kategorisasi morfologis untuk berat

ringannya penyakit pada pasien diabetes dengan CLI. Klasifikasi Trans Atlantic

Society Consensus, yang tidak hanya menyediakan klasifikasi PAD namun juga

pengobatan yang direkomendasikan berdasarkan tipe lesi. Klasifikasi

menggunakan pola anatomi dan keterlibatan penyakit, meliputi Tipe A hingga D,

27
baik untuk aortailiak dan femoropoplitea, dengan teknik endovaskuler atau bedah

terbuka. TASC merekomendasikan pengobatan endovaskuler untuk TASC tipe A

dan bedah terbuka untuk TASC tipe D. Berikut klasifikasi PAD menurut TASC :1

Gambar 2.6 Klasifikasi Lesi Femoropoplitea TASC1

Sistem Klasifikasi Future, klasifikasi ini menggabungkan 3 faktor utama

yang mempengaruhi risiko amputasi dan manajemen klinis, yaitu luka, iskemia

dan infeksi tungkai. Luka diklasifikasikan berdasarkan luka mulai dari grade 0

hingga grade 3 berdasarkan kedalaman, ukuran, berat ringannya luka, dan

28
mengantisipasi kesulitan dalam mencapai kesembuhan luka. Iskemia

diklasifikasikan dari grade 0 hingga grade 4 berdasarkan ABI, tekanan sistolik

tungkai, tekanan sistolik ibu jari, atau oximetri transcutaneus. Infeksi

diklasifikasikan mulai dari grade 0 hingga 3 berdasarkan observasi klinis yang

sederhana dan objektif.1

2.6.6 Pengobatan Berdasarkan Presentasi Klinis

Untuk Klaudikasio disepakati bahwa strategi terbaik untuk menyelamatkan

nyawa dan tungkai adalah menurunkan morbiditas kelainan jantung, dengan

melakukan modifikasi faktor risiko kardiovaskuler dan terapi medis.

Revaskularisasi direkomendasikan hanya pada kasus klaudikasio yang berat, dan

bila terapi farmakologis gagal. Pengobatan medis meliputi berhenti merokok,

latihan dan training, dan terapi farmakologis. 1,2

Pedoman ACC/AHA merekomendasikan penambahan terapi anti platelet,

yaitu pemberian cilostazol 100 mg 2 kali sehari menunjukan keefektifan untuk

meningkatkan ambulasi. Cilostazol ini terbatas pada pasien dengan PAD dan

klaudikasio intermiten dan tidak mempunyai riwayat gagal jantung kongestif,

karena Cilostazol merupakan phospodiesterase 3 inhibitor dapat meningkatkan

disfungsi ventrikel.1

2.6.7 Pengobatan Endovaskuler dan Bedah Terbuka pada Klaudikasio

Dasar pemilihan metode revaskularisasi pada pasien klaudikasio adalah

berdasarkan keseimbangan risiko dari intervensi spesifik dan derajat serta

ketahanan dari perkembangan yang dapat diperkirakan langsung dari intervensi.

Biasanya, pilihan terapi untuk Klaudikasio tidak dengan tindakan bedah. Anatomi

29
menjadi pertimbangan yang sangat penting saat memilih jenis intervensi untuk

pasien dengan klaudikasio dan CLI. Biasanya gejala CLI muncul lebih dari 2

minggu dan berhubungan dengan tekanan tungkai kurang dari 50 mmHg atau

tekanan ibu jari kurang dari 30 mmHg. Walaupun lebih sedikit pasien yang datang

dengan CLI, namun pasien dengan CLI mengonsumsi mayoritas dari sumber daya

pengobatan. Hanya sekitar 5% pasien dengan Klaudikasio Intermiten yang

berkembang menjadi CLI. Pasien iskemia subklinis tanpa gejala dengan perfusi

yang rendah dan tekanan tungkai yang rendah juga mempunyai risiko

mengembangkan iskemia tungkai.1

Prognosis CLI biasanya lebih buruk dibandingkan Klaudikasio Intermiten.

Sebanyak 25 % pasien CLI akan berkembang menjadi amputasi tungkai mayor

dalam 1 tahun, dan 25% meninggal akibat komplikasi kardiovaskuler dalam 1

tahun. Pengambilan keputusan untuk CLI menjadi dilema, apakah akan mengobati

secara medis atau intervensi, jika dengan intervensi, apakah dengan amputasi atau

revaskularisasi dan jika revaskularisasi apakah dengan intervensi endovaskuler

atau bedah terbuka.1

Revaskularisasi merupakan komponen esensial dalam mengobati CLI.

Walaupun modifikasi faktor risiko penting untuk memperlambat perkembangan

atherosclerosis sistemik, namun hanya berperan sekunder dalam pengobatan

iskemia tungkai yang hebat.1

2.6.8 Amputasi Tungkai dan Revaskularisasi

Untuk mayoritas pasien dengan CLI, revaskularisasi merupakan pengobatan

intervensi yang menjadi pilihan. Namun, amputasi tungkai primer tetap

30
dibutuhkan pada 10% hingga 40% pasien karena infeksi yang meluas dan

penyakit vaskuler yang tidak dapat direkonstruksi. Pada banyak kasus,

revaskularisasi telah menggagalkan perkembangan penyakit, iskemia berulang,

dan infeksi persisten atau nekrosis. Walaupun amputasi tungkai dan rehabilitasi

prostetik menjadi pilihan terapi, namun mempertahankan ambulasi dapat melebihi

70% dan mempertahanan kemandirian dapat mencapai 90% pada pasien muda,

dengan risiko baik setelah amputasi di bawah lutut. Biasanya, pasien dengan

komorbid medis yang terkontrol baik, pulsasi femoral yang teraba, betis yang

hangat, tidak terdapat tanda infeksi akan menyembuh setelah amputasi di bawah

lutut.1

Penggunaan Immediate Postoperative Prosthetic (IPOP) juga dapat

membantu dalam mempercepat perbaikan pasien setelah amputasi di bawah lutut.

Penggunaan cast kaku secara intraoperatif akan mempercepat penyembuhan dan

mengembalikan ambulasi. Pasien yang terlalu kesakitan dan lemah untuk piliha

revaskularisasi harus melalui terapi paliatif primer setelah amputasi lutut,

misalnya pada pasien tua, non ambulasi, dengan kontraktur lutut dan jejas

neuropati tumit. 1

2.6.9 Pengobatan Endovaskuler dan Bedah Terbuka pada CLI

CLI biasanya berhubungan penyakit arteri multilevel yang tidak sesuai

dengan intervensi perkutaneus. Pilihan terapi terbaik untuk PAD ekstensif yang

menyebabkan CLI pada lokasi aortoiliaka dan femoropoplitea adalah bedah

bypass menurut TASC. Namun, bedah bypass primer untuk manajemen CLI

menjadi tantangan pada akhir-akhir ini. Pasien CLI yang sesuai untuk terapi bedah

31
terbuka sering memerlukan patensi dan rekonstruksi superior dan meningkatkan

ketahanan. Namun, bedah terbuka biasanya berhubungan dengan morbiditas peri

operatif dan perawatan yang lebih lama. Pengawasan jangka panjang graft pasca

operasi diperlukan untuk mempertahankan patensi bypass infrainguinal,

sebagaimana yang ditunjukan pada penelitian yang dilaksanakan di Eropa dan

Amerika Utara. Keberhasilan bedah bergantung pada ada tidaknya saluran vena

yang sesuai untuk bypass. 1,2

2.6.10 Peningkatan Perfusi Situasional / Situational Perfusion Enhacement

Peningkatan perfusi situasional merupakan intervensi vaskuler yang

mempunyai peran dalam mengobati CLI. Pada populasi asimtomatik pasien

dengan iskemik ekstremitas bawah dan tekanan perfusi yang sangat rendah.

Pasien ini bergejala jika terjadi terjadi ulserasi kaki insidental dan tidak

mempunyai cadangan sirkulasi untuk menyembuh. Peningkatan perfusi arteri,

walaupun hanya transien biasanya dapat menyebabkan penyembuhan luka. Saat

ulserasi sembuh, peningkatan perfusi tidak lagi menjadi hal yang kritis, dan

iskemia berulang biasanya ditoleransi dengan baik sehingga pasien berada pada

status subklinis. Jika terjadi luka yang sporadis seperti trauma minor, peningkatan

perfusi seharusnya cukup untuk mencapai tahap penyembuhan. Namun, jika

ulserasi terjadi akibat perubahan neuropati pada kaki, dibutuhkan rekonstruksi

yang lebih berdaya tahan. Peran dari peningkatan perfusi situasional belum terlalu

jelas.1

Trial BASIL menggunakan beberapa prinsip. Hal ini jelas mendukung

fenomena perfusi situasional. Pasien dengan ulserasi ekstremitas bawah yang

32
diperkirakan dapat sembuh dengan terapi jejas konvensional dan peningkatan

perfusi dalam 6 bulan merupakan kandidat angioplasti yang baik. Namun,

angioplasti mungkin tidak sesuai ketika terjadi ulserasi berulang dan gejala

iskemik yang persisten yang diperkirakan melebihi 6 bulan. Keuntungan bedah

dapat terlihat jelas pada 2 tahun pertama. Trial BASIL menekankan bahwa

angioplasti dan bedah terbuka bukan terapi yang dapat dipilih salah satunya,

namun saling melengkapi.1

Ketersediaan saluran untuk bypass terbuka memainkan peran penting dalam

memutuskan cara terbaik mengobati pasien dengan PAD di ekstremitas bawah,

terutama CLI. Vena saphena dengan diameter yang adekuat, walaupun harus

didapat dari kaki kontralateral, menjadi pilihan saluran untuk bypass terbuka.

Vena ini merupakan saluran yang ketahanan paling baik dibandingkan pilihan

saluran lainnya, seperti graft prostetik, vena saphena pendek, dan vena tangan

yang disambung. Jika tidak terdapat vena dengan kaliber yang bagus,

revaskularisasi endovaskuler menjadi pilihan. Terdapat beberapa sistem skor yang

dapat memprediksi stratifikasi risiko. Skor ini dapat digunakan untuk penilaian

bedsite.1

Pasien dengan CLI dengan kurangnya pilihan revaskularissi, alternatif

yang dapat ditawarkan adalah angiogenesis. Angiogenesis merupakan fenomena

yang terjadi sebagai respon jaringan iskemik, dengan mempromosikan faktor

proangiogenik, termasuk VEGF, faktor pertumbuhan fibroblast, hypoxia-

inducible factor 1α, dan faktor pertumbuhan hepatosit. Angiogenesis ini akan

menyebabkan peningkatan faktor proangiogenik, sehingga dapat menstimulasi

pertumbuhan pembuluh darah baru untuk mengobati iskemik.1

33
2.6.11 Pengobatan Bedah untuk Penyakit Infrainguinal

Rekonstruksi arteri ekstremitas bawah adalah tindakan yang paling umum

dilakukan pada pasien dengan iskemik tungkai sedang hingga berat akibat

atherosklerosis PAD. Bypass infrainguinal didefinisikan sebagai rekonstruksi

arteri mayor menggunakan saluran bypass, baik autogenik atau prostetik, yang

berasal dari atau di bawah ligamen inguinal. Daerah inflow termasuk arteri

femoral komunis, dalam dan superfisial, begitu juga dengan arteri poplitea atau

tibialis. Lokasi insersi bypass dapat dilakukan di arteri femoral, di atas atau di

bawah arteri poplitea, arteri tibial, arteri peroneal atau arteri pedal. Indikasi primer

untuk bypass infrainguinal adalah klaudikasio dan CLI.1

Indikasi bypass inguinal untuk Klaudikasio apabila masih terjadi gangguan

aktivitas harian dan ketidaknyamanan pasca terapi non farmakologis dan

farmakologis. Indikasi bypass inguinal untuk CLI sesuai dengan Fontaine III, IV,

Rutherford 4 to 6 yang persisten, nyeri iskemik saat istirahat yang membutuhkan

opioid analgesik lebih kurang 2 minggi dengan tekanan sistolik tungkai < 50

mmHg atau tekanan sistolik ibu jari < 30 mmHg atau disertai ulserasi. Iskemik

krtisi didefinisikan sebagai nyeri istirahat dan hilangnya jaringan atau tekanan

sistolik tungkai < 40 mmHg. Iskemik subkritis didefinisikan sebagai nyeri

istirahat dan hilangnya jaringan atau tekanan sistolik tungkai > 40 mmHg.1

Penilaian pre operatif dilakukan terutama untuk komorbid medis, dapat juga

dilakukan penundaan tindakan invasif jika diperlukan serta pemeriksaan

kardiovaskuler lebih lanjut. Namun, penundaan yang semakin lama dapat

meningkatkan morbiditas dan risiko amputasi. Pencitraan pre operatif yang

34
dianggap sebagai baku emas adalah arteriografi. Dapat juga dilakukan CT

angiografi, MR angiografi, dan duplex arterial mapping. Pemilihan jenis

modalitas radiografi disesuaikan dengan klasifikasi TASC C atau D dan jenis

pengobatan yang direncanakan, baik endovaskuler atau bedah terbuka.1

Hampir pada semua pasien yang diindikasikan bypass infra inguinal, target

arteri yang sesuai dapat diidentifikasi jika angiorafi diagnostik dilakukan dengan

tepat. Penggunaan vena autogen juga disetujui secara universal sebagai saluran

terbaik untuk infrainguinal bypass, yaitu Vena Saphena Magna.1

2.6.11.1 Perencanaan dan Pelaksanaan Operasi

Arus balik yang adekuat harus dipastikan sebelum melakukan bypass infra

inguinal. Lesi arus balik yang teridentifikasi dapat diobati dengan perkutaneus,

saat arteriografi diagnostik saat preoperatif, atau saat operasi dilaksanakan. Untuk

pasien klaudikasio, lesi arteri iliaka harus diketahui pada semua kasus. Pada

pasien CLI, lesi dengan gradien kurang 5 dan 10 mm dapat diabaikan jika pulsasi

dan waveform normal. Sebelum operasi, sumber arus balik harus diketahui oleh

operator agar tidak menjadi CFA. Ada banyak bukti yang menunjukan bahwa

bypass pendek yang berasal dari femoral profunda, femoral superfisial, poplitea,

atau arteri tibialis akan menghasilkan patensi yang setara dengan hasil operasi

menggunakan bypass CFA. Bypass pendek biasanya rutin digunakan pada pasien

dengan diabetes mellitus dan oklusi arteri infrapopliteal primer. Jika operator

tidak yakin mengenai lokasi arus balik saat eksplorasi kesesuain hemodinamik

harus dinilai dengan menggunakan pengukuran tekanan intra arterial direk yang

kemudian dapat dibandingkan dengan tranduksi tekanan arteri radial. Jika gradien

istirahat melebihi 10 mmHg dianggap sebagai nilai yang signifikan, sehingga

35
lokasi arus balik yang lebih proksimal harus ditentukan dengan endarterektomi

lokal atau angioplasti. 1,2

Prosedur endarterektomi femoral sering dimulai saat CFA. Setelah

pembagian vena yang melintasi permukaan anterior arteri femoral profunda,

dilakukan arteriotomi femoral yang meluas hingga ke porsi 1 atau 2. Arteriotomi

ditutup dengan menggunakan patch vena atau segmen endarterektomi SFA. Patch

ini dapat dibuka secara longitudinal sebagai awal dari bypass infra inguinal.

Teknik ini disebut dengan Teknik Patch Linton dimodifikasi yang dapat dilihat

pada gambar berikut :1

Gambar 2.7 Teknik Patch Linton1

Jika kaliber vena lebih dari 4 mm, venotomi yang lebih panjang dapat dibuat

pada saluran vena, yang kemudian akan berfungsi sebagai patch profundaplasti

dan asal bypass. Teknik ini dapat dilihat pada gambar berikut :

36
Gambar 2.8 Teknik Venotomi1

Prinsip umum dari rekonstruksi infrainguinal adalah bypass semua penyakit

hemodinamik yang signifikan dan memasukan bypass ke arteri tungkai paling

proksimal. Jika arteri poplitea rekonstitusi distal pada okslusi SFA, arteri poplitea

dapat dipilih sebagai sisi arus keluar. Arteri yang dapat dijadikan anastomosis

distal biasanya terdapat pada sisi poplitea dengan panjang minimum 5 cm, sisi

tibialis, peroneal dan tungkai.1

Standar jangkauan CFA dan arteri femoralis profunda dilakukan dengan

insisi vertikal pada CFA. Jangkauan anterior ini mengizinkan pajanan komplit dan

mobilisasi CFA dan bifurkasionya; pajanan yang lebih proksimal dapat dicapai

dengan divisi porsi rekuren ligamen inguinal atau ligamen keseluruhan (insisi

Peter Martin). Ekstensi distal akan mengijinkan pajanan PFA. Selain itu, dapat

dilakukan metode jangkauan alternatif pada arteri femoral profunda, misal saat

terjadi skar pada multipel rekonstruksi level, seperti gambar berikut :1

37
Gambar 2.9 Teknik Alternatif Mencapai Arteri Femoralis Profunda Distal1

Selain itu, pajanan posterior dari arteri poplitea, arteri tibialis posterior dan

arteri peroneal kadang berguna. Jika sisi arus masuk di bawah arteri poplitea

tibialis distal atau arteri peroneal distal , operasi dapat dilakukan dengan posisi

pronasi melalui jangkauan posterior. Prosedurnya dapat dilihat pada gambar

berikut :1

38
Gambar 2.10 Teknik Posterior Approach1

Teknik bypass yang bisa dilakukan adalah Reversed Vein Bypass, Arm Vein

Harvest and Vein Splicing, dan Bypass Vena In Situ.1

Manajemen Pasca Operasi yang dilaksanakan pada pasien adalah

mempertahankan regimen medis untuk kontrol angina, aritmia, gagal jantung

kongestif, dan hipertensi. Pemberian terapi anti platelet (aspirin 81 atau 325 mg

sehari), pemberian anti koagulasi yang dapat meningkatkan patensi graft, dan

perawatan luka juga perlu dilakukan. Komplikasi pasca operasi bypass

infrainguinal yang sering terjadi diantaranya masalah jejas operasi, perdarahan,

okslusi graft, infeksi graft, dan kematian. 1,2

2.7 Pengobatan Endovaskuler

Pengobatan endovaskuler sering menjadi opsi pertama dalam

mentatalaksana PAD. Percutaneuos Transluminal Angioplasty (PTA) dengan

stenting tambahan banyak digunakan dan telah diterima secara luas. Teknik inilah

yang digunakan untuk pengobatan endovaskuler infrainguinal. Alternatif dari

39
PTA adalah Subintimal Angioplasty (SIA) yang digunakan untuk melintasi lesi

okslusif. Rekanalisasi dilakukan dengan cara keluar dari lumen vaskuler,

memasuki area subintimal, dan kemudian kembali memasuki lumen vaskuler di

distal lesi. Segmen arteri yang bermasalah akan didilatasi dengan balon pada area

subintimal untuk mencapai revaskularisasi. 1,2

Stenting merupakan prosedur tambahan yang digunakan secara rutin atau

pada kondisi tertentu untuk tata laksana lesi kompleks atau stenosis persisten atau

memperbaiki komplikasi intraprosedural. Akhir-akhir ini, Drug-Eluting Stenting

sudah didesain dengan melepaskan obat anti proliferatif setelah impantasi. Pasien

dengan komorbid multipel atau pasien yang sulit menemukan saluran autogen

yang adekuat akan memperoleh manfaat dari metode endovaskuler ini. 1,2

Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait perencanaan endovaskuler

diantaranya indikasi, lokasi, perluasan dan berat kelainan, keterbatasan derajat dan

gaya hidup, komorbid medis dan risiko anestesi, rekonstruksi ekstremitas

sebelumnya, prospek untuk fungsi jangka panjang. 1,2

Kriteria femoropoplitea menurut TASC II menunjukan bahwa kelainan

kompleks dapat ditatalaksana dengan menggunakan teknik endovaskuler. Lesi

TASC tipe A sesuai untuk terapi endovaskuler, lesi TASC tipe D lebih sesuai

dengan terapi bedah karena risiko kegagalan terapi endovaskuler yang cukup

tinggi, dan lesi TASC tipe B dan C dapat ditatalaksana dengan terapi

endovaskuler atau terapi bedah bergantung skenario klinis. 1,2

Kriteria infrapoplitea dinyatakan menjadi cadangan dalam terapi

penyelamatan tungkai, terutama pada pasien Klaudikasio. Infrapoplitea hanya

40
direkomendasikan secara spesifik pada pasien dengan CLI dan pasien dengan

komorbid medis. Jika pasien dengan kelainan femoropoliteal dan mempunyai

risiko tinggi untuk bypass surgikal dan kehilangan tungkai, PTA dapat

dipertimbangkan untuk menghindari amputasi. Berikut merupakan gambaran

teknik terbaru dalam revaskularisasi kelainan di ekstremitas bawah : 1,2

Gambar 2.11 Teknik Revaskularisasi Terbaru1

Teknik tambahan lain yang dapat dilakukan diantaranya Teknik Lesion-

Crossing, Teknik Crosser Catheter, Teknik Reentry Devices, dan Teknik

Relining. Alat yang dapat menjadi alternatif balon angioplasti seperti debulking

devices, cryoplasty, cutting balloon angioplasty, dan embolic protection.1

41
BAB 3

KESIMPULAN

1. Iskemia kronis ekstremitas bawah akibat penyakit ateri perifer (PAD)

adalah penyebab paling umum dari kesulitan berjalan. Manifestasi iskemia

kronis ekstremitas bawah sering melibatkan rasa nyeri, yang diakibatkan

oleh berbagai derajat iskemik, baik nyeri atipikal maupun nyeri muskular

yang tipikal dan berhubungan dengan latihan (klaudikasio intermiten) atau

nyeri iskemik saat istirahat (Chronic Limb Ischemic/CLI).

2. Skrining ABI direkomendasikan sebagai alat diagnostik PAD untuk pasien

dengan usia ≥ 65 tahun atau untuk pasien berusia ≥ 50 tahun dengan

riwayat merokok atau diabetes.

3. Tantangan bagi ahli bedah adalah untuk menentukan ada tidaknya iskemia

ekstremitas bawah, menentukan perluasan penyakit lokal dan sistemik,

menentukan derajat kelainan fungsional yang berhubungan dengan

penyakit arteri perifer, mengidentifikasi dan mengawasi faktor risiko yang

dapat dimodifikasi, dan menentukan program pengobatan yang

komprehensif untuk PAD.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Cronenwett JL, Johnston KW. Rutherford’s Vascular Surgery Eight

Edition. 2014. Philadelphia : Elsevier. pg. 1660-1700, pg. 1758-1800

2. Brunicarni FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews

JB, Pollock RE. Schwartz’s Principles Of Surgery Tenth Edition. 2015.

NewYork: Mc Graw Hill Education Medical, pg. 827

43

Anda mungkin juga menyukai