UNIVERSITAS ANDALAS
Oleh :
Pembimbing :
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Penyebab Non Atherosklerotik Klaudikasio Intermitten ............................... 18
Gambar 2.2 Pemeriksaan Hematologi Inisial untuk Klaudikasio Intermitten .................. 21
Gambar 2.3 Pemeriksaan Hematologi Sekunder Berdasarkan Kecurigaan Klinis ........... 21
Gambar 2.4 Algoritma prinsip manajemen dan tata laksana pasien PAD ....................... 22
Gambar 2.5 Terapi Latihan Terstruktur Untuk Klaudikasio Intermiten .......................... 23
Gambar 2.6 Klasifikasi Lesi Femoropoplitea TASC ....................................................... 28
Gambar 2.7 Teknik Patch Linton ..................................................................................... 36
Gambar 2.8 Teknik Venotomi .......................................................................................... 37
Gambar 2.9 Teknik Alternatif Mencapai Arteri Femoralis Profunda Distal ................... 38
Gambar 2.10 Teknik Posterior Approach ....................................................................... 39
Gambar 2.11 Teknik dan Teknologi Revaskularisasi Terbaru ........................................ 41
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
Iskemia kronis ekstremitas bawah akibat penyakit ateri perifer (PAD) adalah
ekstremitas bawah sering melibatkan rasa nyeri, yang diakibatkan oleh berbagai
derajat iskemik, baik nyeri atipikal maupun nyeri muskular yang tipikal dan
(NHANES) Amerika Serikat mulai tahun 1999 – 2000, melibatkan 9000 individu
usia 40 tahun atau lebih. Prevalensi PAD yang didefinisikan sebagai ABI < 0,90
adalah sebanyak 4,3%. Prevalensi ditemukan lebih tinggi pada pria dibandingkan
wanita, namun meningkat dengan usia, yaitu 0,9% pada individu yang lebih muda
dari 50 tahun hingga 14,5% pada individu usia besar sama 70 tahun. Secara
statistik, terdapat hubungan yang signifikan antara PAD dengan faktor risiko
terdapat prevalensi PAD ekstremitas bawah yang lebih tinggi di Amerika Serikat
yakni mencapai 8-12 juta orang. Saat ini, PAD dilaporkan mempunyai hubungan
dengan morbiditas dan mortalitas yang hampir sama dengan penyakit jantung
1
Hipertensi sebagai salah satu faktor risiko diketahui dapat meningkatkan
risiko PAD sebanyak 2,5 kali lipat pada pria dan 3,9 kali lipat pada wanita, dan
ditemukan pada 55% pasien dengan PAD. Prevalensi PAD juga diketahui 20-30%
lebih tinggi pada pasien diabetes, sebanyak 3,5 kali lipat pada pasien pria dengan
diabetes dan 8,6 kali lipat pada pasien wanita yang diabetes. Sindroma metabolik
penting pada pasien PAD. Dimana hal tersebut difokuskan pada tungkai, begitu
harus dibedakan dengan PAD, begitu juga dengan penyebab yang berbeda seperti
ulserasi pada kaki. Banyak pasien dengan PAD yang mempunyai gejala tungkai
tidak khas seperti gejala otot tungkai yang muncul saat istirahat dan dengan
latihan atau gejala tungkai yang tidak cukup aktif untuk menghasilkan gejala yang
khas. Terdapatnya fase laten yang sulit terdeteksi pada pemeriksaan klinis rutin
manusia. Faktor risiko lain yang berperan dalan perkembangan lesi aterosklerotik
ekstremitas, sehingga membuat diagnosis dan pengobatan lebih sulit. Oleh karena
itu, hal ini menjadi tantangan bagi dokter spesialis vaskuler adalah untuk
2
berhubungan dengan penyakit arteri perifer, mengidentifikasi dan mengawasi
faktor risiko yang dapat dimodifikasi, dan menentukan program pengobatan yang
komprehensif.1
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
suplai darah ke ekstremitas atas atau bawah karena obstruksi. Mayoritas obstruksi
arteri karotis, arteri renalis, arteri mesenterika dan semua percabangan setelah
melewati aortailiaka, termasuk ekstremitas bawah dan ekstremitas atas. PAD yang
Lokasi yang terkena terutama pada aorta abdominal dan arteri iliaka (30%
dari pasien yang simptomatik), arteri femoralis dan poplitea (80-90%), termasuk
arteri tibialis dan peroneal (40-50%). Proses aterosklerosis lebih sering terjadi
terjadinya kerusakan tunika intima. Pembuluh darah distal lebih sering terkena
4
Tabel 2.1 Jenis nyeri vaskular
5
2.2 Epidemiologi Penyakit Arteri Perifer (PAD)
Metode paling tepat dalam menilai prevalensi penyakit arteri oklusif pada
dilaporkan dengan nilai non kompresibel, yang didefinisikan lebih besar dari 1,40;
nilai normal 1,00 – 1,40; dan nilai ambang 0,90 – 0,99 dan nilai abnormal 0,90
atau kurang. ABI dikorelasikan dengan risiko mortalitas dengan penyakit arteri
longitudinal pada 3209 subjek selama 8 tahun setelah merekam baseline ABI saat
istirahat dan pasca latihan. Pada penelitian ini, semakin rendah nilai ABI saat
istirahat, semakin rendah nilai ABI pasca latihan, dan semakin tinggi penurunan
ABI saat istirahat yang berkaitan dengan peningkatan angka kematian. Pada
sebuah penelitian kohort yang terdiri dari 6880 subjek yang tidak dipilih, dengan
usia ≥ 65 tahun yang dimonitor selama lebih dari 5 tahun pada Kelompok Studi
(ABI < 0,9) dan 593 orang mempunyai PAD simtomatik. Karena 21% subjek
merekomendasikan skrining ABI sebagai alat diagnostik untuk pasien dengan usia
≥ 65 tahun atau untuk pasien berusia ≥ 50 tahun dengan riwayat merokok atau
diabetes.1
6
(NHANES) Amerika Serikat mulai tahun 1999 – 2000, melibatkan 9000 individu
usia 40 tahun atau lebih. Dimana, data ABI yang lengkap untuk dianalisis terdapat
pada 2174 peserta. Prevalensi PAD yang didefinisikan sebagai ABI < 0,90 adalah
sebanyak 4,3%. Prevalensi ditemukan lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita,
namun meningkat dengan usia, yaitu 0,9% pada individu yang lebih muda dari 50
tahun hingga 14,5% pada individu usia besar sama 70 tahun. Secara statistik,
terdapat hubungan yang signifikan antara PAD dengan faktor risiko umum seperti
demografik diketahui terdapat hubungan antara PAD dengan usia, ras, jenis
kelamin, dan etnis yang sudah dikonfirmasi pada beberapa penelitian. Pada
meningkat dengan usia baik pada pria maupun wanita. Pada penelitian yang
prevalensi PAD ekstremitas bawah yang lebih tinggi di Amerika Serikat yakni
mencapai 8-12 juta orang. Saat ini, PAD dilaporkan mempunyai hubungan dengan
morbiditas dan mortalitas yang hampir sama dengan penyakit jantung koroner dan
stroke.1
risiko PAD sebanyak 2,5 kali lipat pada pria dan 3,9 kali lipat pada wanita, dan
ditemukan pada 55% pasien dengan PAD. Prevalensi PAD juga diketahui 20-30%
lebih tinggi pada pasien diabetes, sebanyak 3,5 kali lipat pada pasien pria dengan
diabetes dan 8,6 kali lipat pada pasien wanita yang diabetes. Sindroma metabolik
diperkirakan terdapat pada paling kurang 25% populasi. Sebuah analisis oleh
NHANES Amerika Serikat mulai tahun 1999-2004 yang melibatkan 5376 peserta
7
asimtomatik usia 40 tahun atau lebih menunjukan bahwa 38% populasi dengan
PAD juga mempunyai sindroma metabolik, dan prevalensi PAD (ABI < 0,9)
adalah 7,7% dan 3,3% secara berurutan pada pasien dengan atau tanpa sindroma
meningkatkan risiko PAD baik pada pria maupun wanita. Beratnya penyakit arteri
oklusif sebanding dengan jumlah rokok yang dihisap dan setiap faktor risiko
yang simtomatis.1
signifikan dalam 5 tahun masa observasi terlepas dari ada tidaknya gejala,
individu dengan PAD diidentifikasi dengan ABI yang kurang dari 0,9 mempunyai
morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan kontrol sesuai usia
Faktor risiko Penyakit Arteri Perifer (PAD) mirip dengan etiologi Penyakit
Arteri Koroner (PAK).15 Faktor risiko yang termasuk faktor risiko klasik adalah
ini meningkat pada pasien dengan usia ≥70 tahun; pada pasien yang 50- 69 tahun
22 dengan riwayat diabetes atau merokok; dan pada pasien 40- 49 tahun dengan
8
Risiko relatif perkembangan PAD dari faktor risiko yang berhubungan
10 mg/dL). Selain faktor risiko klasik tersebut ada faktor risiko lainnya yaitu
(CRP).13 Pada penelitian lain, masih terdapat faktor risiko lain seperti ras, jenis
Perokok memiliki insidensi yang lebih tinggi pada CLI, amputasi tungkai, dan
outcome yang buruk pasca revaskularisasi. Selain itu, risiko juga melekat pada
perokok pasif.1
merokok secara konsisten menjadi faktor risiko yang penting untuk PAD
pasien dengan peningkatan jumlah rokok yang digunakan. Durasi merokok juga
memiliki tiga kali peningkatan risiko terjadinya PAD dibandingkan orang yang
peningkatan risiko PAD lima kali dibandingkan orang yang tidak merokok.
cepat.1
9
Pada studi yang dilakukan pada 245 wanita yang menderita PAD,
ditemukan bahwa risiko PAD secara signifikan turun setelah berhenti merokok.
Mantan perokok yang tidak lagi merokok lebih dari 5 tahun memiliki risiko
terjadinya PAD yang mendekati orang normal. Pada pasien yang tidak merokok 1-
5 tahun, risiko PAD hanya meningkat dua kali. Pasien yang tetap merokok hingga
20 batang perhari memiliki risiko yang meningkat 12 kali. Selain itu, individu
yang merokok lebih dari 5 batang per hari memiliki prognosis revaskularisasi
yang buruk dibandingkan dengan yang merokok kurang dari 5 batang per hari.1
threshold effect, dimana diperlukan dosis tinggi dari nikotin untuk membuat
endotel rusak, alasan lain yaitu sedikitnya orang yang melaporkan bahwa dirinya
Nikotin dan zat-zat yang terkandung dalam rokok merupakan zat yang
toksik terhadap endotel pembuluh darah sehingga lipoprotein akan lebih mudah
kadar LDL, dan menurunkan kadar HDL, meningkatkan CO darah yang dapat
10
2.3.2 Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah faktor risiko penting lainnya pada terjadinya PAD,
lama dan keparahan diabetes yang dialami juga dapat berpengaruh. PAD
dengan pasien non diabetes. Klaudikasio intermiten terjadi dua kali lebih banyak
pada pasien dengan diabetes daripada pasien non diabetes. DM dua kali lebih
banyak dalam prevalensi PAD, hal ini berhubungan dengan kontrol glikemik pada
Resistensi insulin merupakan faktor risiko PAD bahkan pada pasien tanpa
diabetes, meningkatkan risiko sekitar 40% sampai 50%. PAD pada pasien dengan
Kebutuhan untuk amputasi mayor lima sampai sepuluh kali lebih tinggi pada
2.3.3 Dislipidemia
11
Perubahanperubahan pada endotel oleh karena hiperlipidemia ini merupakan lesi
awal aterosklerosis yang selanjutnya akan menjadi lesi yang lebih kompleks
memiliki dua kali kejadian klaudikasio intermiten. Selain itu, orang dengan
2.3.4 Hipertensi
kardiovaskular, termasuk PAD. Namun, risiko relatif untuk terjadinya PAD lebih
lebih agresif pada semua sirkulasi darah, dan merupakan faktor risiko terjadinya
mayor terjadinya PAD. Tidak ada hubungan yang ditemukan antara peningkatan
risiko relatif yaitu 2,8 dan pada studi Rotterdam, ABI yang rendah berhubungan
2.3.5 Usia
dengan usia ≥ 65 tahun. Insidensi klaudikasio intermiten pada usia 30-44 adalah 6
12
dari 10.000 pasien pria dan 3 dari 10.000 pasien wanita. Insidensi ini meningkat
menjadi 61 setiap 10.000 pria dan 54 setiap 10.000 wanita pada usia 65-74.4
Prevalensi PAD 4,3 % pada individu yang berusia lebih dari 40 tahun dan 14,5 %
pada individu yang berusia lebih dari 70 tahun.36 Hubungan usia dengan PAP
2.3.6 Ras
Amerika Serikat pada hasil penelitiannya menemukan informasi bahwa ABI 0,90
umumnya lebih sering terdapat pada ras kulit hitam (7,8%) dibandingkan dengan
besar pada pria daripada wanita, terutama pada kelompok usia yang lebih muda.
wanita adalah antara 1 : 1 dan 2 : 1. Rasio ini meningkat pada beberapa studi
setidaknya hingga 3 : 1 pada tahap penyakit yang lebih parah, seperti critical limb
bahwa prevalensi PAD pada wanita maupun laki-laki adalah sama. Terdapat pula
intermiten juga prevalensinya dua kali lebih banyak pada pria dibandingkan
wanita.1
13
2.3.8 Kadar C reactive protein (CRP)
eraksi kompleks dari faktor risiko klasik, yang berhubungan dengan proses inflam
asi intravaskuler. Fatty streak, lesi awal aterosklerosis adalah murni lesi inflamasi
yang terdiri dari monosit dan limfosit T.4 Beberapa penelitian menunjukkan bahw
a CRP meningkat pada subjek asimtomatik yang telah 5 tahun menderita PAD.1
rjadinya aterosklerosis. Peningkatan CRP yang diikuti profil lipid secara signifika
n meningkatkan risiko terjadinya PAD pada studi yang dilakukan oleh Physician’
s Health Study. 28 Individu dengan kadar CRP yang tinggi dua sampai tujuh kali l
ebih berisiko terkena stroke, tiga sampai tujuh kali lebih 29 berisiko terkena infark
2.3.9 Hiperhomosistein
sar tujuh kali lipat. Hal ini karena peningkatan kadar homosistein plasma dihubun
gkan dengan pengerasan dan blocking arteri. Pada penelitian sebelumnya, membu
dotel, sehingga terjadi kerusakan dan gangguan terhadap endotel. Dalam suatu stu
di, kenaikan kadar homosistein total sebesar 5 mikromol per liter meningkatkan ri
siko PAP sebesar 44%. Namun, penelitian terbaru membuktikan bahwa penuruna
n kadar homosistein dengan asam folat dan vitamin B tidak memperbaiki hasil lua
14
2.3.10 Viskositas Plasma dan Kadar Fibrinogen
erdapat pada pasien dengan PAD, kemungkinan sebagai konsekuensi dari meroko
k. Peningkatan kadar fibrinogen plasma, yang juga merupakan faktor risiko tromb
n hiperkoagulabilitas, keduanya juga telah terbukti sebagai marker atau faktor risi
merupakan faktor risiko trombosis, dikaitkan dengan kejadian PAD pada beberapa
sebagai marker atau faktor risiko terkait dengan prognosis yang buruk.1
beberapa studi menyatakan hubungan sebab akibat. Pada studi HERS (Heart and
15
Secara umum, iskemik pada tungkai bawah dikelompokan menjadi 2
tergantung pada klinis pasien, yaitu Klaudikasio Intermiten dan Chronic Limb
Ischemic. Dua jenis PAD ini sangat berbeda dari segi penanganannya.1,2
seperti kelelahan hingga nyeri saat berjalan. Rasa nyeri dan tidak nyaman dapat
juga terjadi di paha ataupun bokong. Sensasi nyeri dihasilkan dari neuropati
iskemik yang melibatkan serabut saraf sensoris delta A dan C tanpa mielin, juga
klaudikasio intermiten. Biasanya, hal ini tidak terjadi secara rutin. Namun gejala
akan menjadi lebih sering dirasakan saat proses iskemia terus berlanjut seiring
dengan jarak tempuh yang semakin pendek. Pasien asimtomatis dengan ankle-
brachial index (ABI) yang berkurang mungkin dapat menunjukan kelainan fungsi
seperti arteri iliaka atau arteri femoralis superfisial, tetapi dapat menyebabkan
penyakit pada berbagai level. Pembuluh darah kolateral dapat menggantikan arteri
di distal menjadi stenosis pada satu sisi atau oklusi dan menyediakan aliran ke
Tiga pola utama dari obstruksi arteri adalah kelainan inflow, kelainan outflow, dan
16
kombinasi keduanya. Kelainan inflow merujuk pada lesi di pembuluh darah
suprainguinal, terutama aorta infrarenal dan arteri iliaka. Lesi okslusi pada aorta
infrarenal atau arteri iliaka biasanya akan berujung pada klaudikasio bokong atau
paha. Pada laki-laki, jika terjadi okslusi atau stenosis bilateral dan di proksimal
dari arteri iliaka interna, dapat terjadi disfungsi ereksi vaskulogenik. 1,2
Kelainan outflow terdiri dari lesi okslusif pada cabang arteri di ekstremitas
pembuluh darah kaki. Okslusi atau stenosis arteri femoralis superfisial merupakan
arteri tibialis dan arteri poplitea merupakan kondisi yang berhubungan dengan
dan outflow mungkin dapat mengalami gejala yang luas meliputi bokong,
sindrom entrapment atau kelainan kistik arteri poplitea pada lapisan adventisial,
sindrom kompartemen kronis, atau endofibrosis arteri iliaka. Nyeri ini diakibatkan
kompresi ekstrinsik dari arteri poplitea oleh otot gastrocnemius saat pergerakan
dengan penyakit arteri perifer. Pada sindrom kompartemen, nyeri diakibatkan oleh
17
Gambar 2.1 Penyebab Non Atherosklerotik Klaudikasio Intermitten1
CLI merupakan penyakit arteri perifer yang paling berat dan mewakili
sekitar 1 % dari total jumlah pasien. CLI berhubungan erat dengan tingginya
maksimal dan tidak sensitif terhadap stimulus vasodilator sebagai akibat pajanan
dinding dan luas area pembuluh darah, sehingga menyebabkan edema. Selain itu,
iskemia kronis akan menyebabkan perubahan struktur dan fungsi sel endotelial,
pada kapiler. Semua hal tersebut di atas menyebabkan gangguan oksigen jaringan
Manifestasi utama pada CLI adalah nyeri istirahat dan ulserasi iskemik atau
gangren pada ibu jari, menunjukan berkurangnya perfusi distal. Nyeri istirahat
18
digambarkan sebagai sensasi terbakar atau rasa dingin yang tidak nyaman atau
parastese akibat intensitas yang kurang dan menganggu tidur. Neuropati iskemik
pada CLI juga menyebabkan mati rasa. Rasa tidak nyaman akan memburuk
dengan pengangkatan kaki, akibat hilangnya gaya gravitasi yang menarik darah
dari kaki, dimana hal tersebut akan menghilang dengan meletakan kaki pada
tekanan ibu jari kurang dari 30 mmHg, atau ABI kurang dari 0,40. 1,2
sering bersifat ringan dengan erosi pada kulit. Regenerasi kulit akan dihambat
oleh perfusi jaringan, oksigenasi dan replikasi sel yang tidak adekuat. Ulserasi
arteri pada pasien non diabetes dicirikan dengan erosi kulit yang dangkal, pucat,
tidak menyembuh pada kaki bagian distal, dimana distribusinya mirip dengan
nyeri saat istirahat. Hal ini diakibatkan oleh nyeri iskemik yang kronik, neuropati
iskemik yang berat juga pajanan serabut saraf sensoris pada kulit di daerah yang
terluka. Gangren iskemik terjadi ketika aliran darah tungkai tidak cukup dalam
kondisi istirahat untuk viabilitas seluler. Kematian jaringan akan meluas pada
batas aliran darah untuk viabilitas jaringan. Awalnya, nyeri dirasakan cukup berat,
yang diakibatkan tidak hanya oleh neuropati iskemik, namun juga jejas iskemik
pada kulit dan syaraf sensoris subkutan, osteomielitis, dan infeksi asending.
rasa nyeri akan berkurang sebagai akibat kematian total jaringan. Progresivitas
menjadi gangren terjadi pada 40% pasien dengan Diabetes Mellitus, dibandingkan
19
Iskemia yang mengancam tungkai biasanya melibatkan adanya penyakit
arteri perifer yang berat pada dua atau lebih level pembuluh darah. Hal ini
merupakan efek tambahan dari terbatasnya aliran darah yang hebat melalui
penting pada pasien PAD. Dimana hal tersebut difokuskan pada tungkai, begitu
harus dibedakan dengan PAD, begitu juga dengan penyebab yang berbeda seperti
ulserasi pada kaki. Banyak pasien dengan PAD yang mempunyai gejala tungkai
tidak khas seperti gejala otot tungkai yang muncul saat istirahat dan dengan
latihan atau gejala tungkai yang tidak cukup aktif untuk menghasilkan gejala yang
khas. Terdapatnya fase laten yang sulit terdeteksi pada pemeriksaan klinis rutin
manusia. 1,2
juga merokok. Diperlukan tindakan kontrol terhadap faktor risiko yang dapat
meningkatkan manfaat intervensi vaskuler. Faktor risiko yang tidak terkontrol dan
20
hiperkoagulabilitas, terutama pada pasien tanpa faktor risiko umum atau pada
PAD akan mengalami peningkatan risiko untuk Infark Miokard, Stroke, dan
untuk pasien PAD. Selain itu, deteksi occult PAD dengan menggunakan penanda
tahun. Bila diemukan ABI < 0,9 maka diagnosis PAD dapat ditegakan walaupun
tidak ditemukan gejala. Sekitar 50% pasien PAD bersifat asimtomatik terutama
bila disertai komorbid lainnya, kondisi ini dikenal dengan Chronic Subclinical
21
Lower Extremities Ischemia. Menurut Trans Atlantic Inter Society Consensus
Gambar 2.4 Algoritma prinsip manajemen dan tata laksana pasien PAD1
bebas nyeri. Hal ini sesuai dengan rekomendasi ACC/AHA, yakni berjalan selama
minimal 30-45 menit, sebanyak 3-4 kali per minggu, selama > 12 minggu, dan
22
Gambar 2.5 Terapi Latihan Terstruktur Untuk Klaudikasio Intermiten1
Pentoxifylline dimulai dengan dosis 400 mg per oral 3 kali sehari dan dapat
ditingkatkan hingga dosis maksimal 1.800 mg/hari. Efek samping dari obat ini
seperti mual, sakit kepala, anxietas, insomnia, dan hilangnya nafsu makan. Perlu
intermiten. Administrasi obat ini secara oral dapat menghambat kontraksi sel otot
23
polos, agregasi platelet, juga menurunkan proliferasi sel otot polos, terutama pada
gastrointestinal. 1,2
dan kadar obat yang tinggi pada plasma dapat terjadi pada konsumsi obat yang
dikombinasi dengan obat lain yang dimetabolisme di hati melalui jalur sitokrom-
inisial yang dimulai dengan dosis 50 mg/hari selama 1 minggu, hingga akhirnya
mencapai dosis standar 100 mg/hari dua kali sehari selama 3 minggu. Berikut
Intermiten: 1,2
24
Tabel 2.2 Terapi farmakologis PAD1
IPC dengan kombinasi dengan modifikasi faktor risiko yang tepat dapat
menjadi metode yang viabel untuk pasien dengan penyakit vaskuler yang tidak
bisa direkonstruksi, seperti tidak dapat dioperasi, atau menolak tindakan invasif.
IPC melibatkan inflasi dan deflasi sekuel menggunakan tekanan pneumatik yang
25
ditempatkan di betis atau tungkai. Sekuens ini dilnjutkan sebanyak 3 siklus per
menit selama sesi pengobatan. mekanisme IPC dibagi menjadi 3 mekanimse yaitu
2.6.4 Revaskularisasi
PAD adalah untuk mengonfirmasi bahwa PAD adalah etiologi gejala pasien.
Pemeriksaan fisik lengkap akan menunjukan pulsus defisit, namun pulsus yang
Chronic Limb Ischemic, hal ini ditetapkan sebagai PAD sekunder, sehingga
gejala dan kondisi pasien. Berdasarkan sistem klasifikasi anatomis, seperti TASC
26
arteriografi. Sistem klasifikasi TASC memiliki beberapa kekurangan terkait
derajat iskemia, luka, infeksi, status fungsional, dan availabilitas saluran, yang
determinasi apakah pasien akan mendapatkan manfaat dari prosedur tindakan. Hal
ini menyebabkan pentingnya untuk menilai status fungsional dan beban kondisi
perspektif, yaitu Limb and Patient Centered Outcome (keluaran teknik seperti
kriteria untuk menentukan keberhasilan klinis nya, yaitu patensi bypass hingga
status ambulatori lebih kurang selama 1 tahun, ketahanan hingga minimal 6 bulan.
1,2
menggunakan 4 kelas, yaitu plak, stenosis < 25%, stenosis < 50% atau okslusi.1
ringannya penyakit pada pasien diabetes dengan CLI. Klasifikasi Trans Atlantic
Society Consensus, yang tidak hanya menyediakan klasifikasi PAD namun juga
27
baik untuk aortailiak dan femoropoplitea, dengan teknik endovaskuler atau bedah
dan bedah terbuka untuk TASC tipe D. Berikut klasifikasi PAD menurut TASC :1
yang mempengaruhi risiko amputasi dan manajemen klinis, yaitu luka, iskemia
dan infeksi tungkai. Luka diklasifikasikan berdasarkan luka mulai dari grade 0
28
mengantisipasi kesulitan dalam mencapai kesembuhan luka. Iskemia
meningkatkan ambulasi. Cilostazol ini terbatas pada pasien dengan PAD dan
disfungsi ventrikel.1
Biasanya, pilihan terapi untuk Klaudikasio tidak dengan tindakan bedah. Anatomi
29
menjadi pertimbangan yang sangat penting saat memilih jenis intervensi untuk
pasien dengan klaudikasio dan CLI. Biasanya gejala CLI muncul lebih dari 2
minggu dan berhubungan dengan tekanan tungkai kurang dari 50 mmHg atau
tekanan ibu jari kurang dari 30 mmHg. Walaupun lebih sedikit pasien yang datang
dengan CLI, namun pasien dengan CLI mengonsumsi mayoritas dari sumber daya
berkembang menjadi CLI. Pasien iskemia subklinis tanpa gejala dengan perfusi
yang rendah dan tekanan tungkai yang rendah juga mempunyai risiko
tahun. Pengambilan keputusan untuk CLI menjadi dilema, apakah akan mengobati
secara medis atau intervensi, jika dengan intervensi, apakah dengan amputasi atau
30
dibutuhkan pada 10% hingga 40% pasien karena infeksi yang meluas dan
dan infeksi persisten atau nekrosis. Walaupun amputasi tungkai dan rehabilitasi
70% dan mempertahanan kemandirian dapat mencapai 90% pada pasien muda,
dengan risiko baik setelah amputasi di bawah lutut. Biasanya, pasien dengan
komorbid medis yang terkontrol baik, pulsasi femoral yang teraba, betis yang
hangat, tidak terdapat tanda infeksi akan menyembuh setelah amputasi di bawah
lutut.1
mengembalikan ambulasi. Pasien yang terlalu kesakitan dan lemah untuk piliha
misalnya pada pasien tua, non ambulasi, dengan kontraktur lutut dan jejas
neuropati tumit. 1
dengan intervensi perkutaneus. Pilihan terapi terbaik untuk PAD ekstensif yang
bypass menurut TASC. Namun, bedah bypass primer untuk manajemen CLI
menjadi tantangan pada akhir-akhir ini. Pasien CLI yang sesuai untuk terapi bedah
31
terbuka sering memerlukan patensi dan rekonstruksi superior dan meningkatkan
operatif dan perawatan yang lebih lama. Pengawasan jangka panjang graft pasca
Amerika Utara. Keberhasilan bedah bergantung pada ada tidaknya saluran vena
dengan iskemik ekstremitas bawah dan tekanan perfusi yang sangat rendah.
Pasien ini bergejala jika terjadi terjadi ulserasi kaki insidental dan tidak
ulserasi sembuh, peningkatan perfusi tidak lagi menjadi hal yang kritis, dan
iskemia berulang biasanya ditoleransi dengan baik sehingga pasien berada pada
status subklinis. Jika terjadi luka yang sporadis seperti trauma minor, peningkatan
yang lebih berdaya tahan. Peran dari peningkatan perfusi situasional belum terlalu
jelas.1
32
diperkirakan dapat sembuh dengan terapi jejas konvensional dan peningkatan
angioplasti mungkin tidak sesuai ketika terjadi ulserasi berulang dan gejala
dapat terlihat jelas pada 2 tahun pertama. Trial BASIL menekankan bahwa
angioplasti dan bedah terbuka bukan terapi yang dapat dipilih salah satunya,
terutama CLI. Vena saphena dengan diameter yang adekuat, walaupun harus
didapat dari kaki kontralateral, menjadi pilihan saluran untuk bypass terbuka.
Vena ini merupakan saluran yang ketahanan paling baik dibandingkan pilihan
saluran lainnya, seperti graft prostetik, vena saphena pendek, dan vena tangan
yang disambung. Jika tidak terdapat vena dengan kaliber yang bagus,
dapat memprediksi stratifikasi risiko. Skor ini dapat digunakan untuk penilaian
bedsite.1
inducible factor 1α, dan faktor pertumbuhan hepatosit. Angiogenesis ini akan
33
2.6.11 Pengobatan Bedah untuk Penyakit Infrainguinal
dilakukan pada pasien dengan iskemik tungkai sedang hingga berat akibat
arteri mayor menggunakan saluran bypass, baik autogenik atau prostetik, yang
berasal dari atau di bawah ligamen inguinal. Daerah inflow termasuk arteri
femoral komunis, dalam dan superfisial, begitu juga dengan arteri poplitea atau
tibialis. Lokasi insersi bypass dapat dilakukan di arteri femoral, di atas atau di
bawah arteri poplitea, arteri tibial, arteri peroneal atau arteri pedal. Indikasi primer
farmakologis. Indikasi bypass inguinal untuk CLI sesuai dengan Fontaine III, IV,
opioid analgesik lebih kurang 2 minggi dengan tekanan sistolik tungkai < 50
mmHg atau tekanan sistolik ibu jari < 30 mmHg atau disertai ulserasi. Iskemik
krtisi didefinisikan sebagai nyeri istirahat dan hilangnya jaringan atau tekanan
istirahat dan hilangnya jaringan atau tekanan sistolik tungkai > 40 mmHg.1
Penilaian pre operatif dilakukan terutama untuk komorbid medis, dapat juga
34
dianggap sebagai baku emas adalah arteriografi. Dapat juga dilakukan CT
Hampir pada semua pasien yang diindikasikan bypass infra inguinal, target
arteri yang sesuai dapat diidentifikasi jika angiorafi diagnostik dilakukan dengan
tepat. Penggunaan vena autogen juga disetujui secara universal sebagai saluran
Arus balik yang adekuat harus dipastikan sebelum melakukan bypass infra
inguinal. Lesi arus balik yang teridentifikasi dapat diobati dengan perkutaneus,
saat arteriografi diagnostik saat preoperatif, atau saat operasi dilaksanakan. Untuk
pasien klaudikasio, lesi arteri iliaka harus diketahui pada semua kasus. Pada
pasien CLI, lesi dengan gradien kurang 5 dan 10 mm dapat diabaikan jika pulsasi
dan waveform normal. Sebelum operasi, sumber arus balik harus diketahui oleh
operator agar tidak menjadi CFA. Ada banyak bukti yang menunjukan bahwa
bypass pendek yang berasal dari femoral profunda, femoral superfisial, poplitea,
atau arteri tibialis akan menghasilkan patensi yang setara dengan hasil operasi
menggunakan bypass CFA. Bypass pendek biasanya rutin digunakan pada pasien
dengan diabetes mellitus dan oklusi arteri infrapopliteal primer. Jika operator
tidak yakin mengenai lokasi arus balik saat eksplorasi kesesuain hemodinamik
harus dinilai dengan menggunakan pengukuran tekanan intra arterial direk yang
kemudian dapat dibandingkan dengan tranduksi tekanan arteri radial. Jika gradien
35
lokasi arus balik yang lebih proksimal harus ditentukan dengan endarterektomi
ditutup dengan menggunakan patch vena atau segmen endarterektomi SFA. Patch
ini dapat dibuka secara longitudinal sebagai awal dari bypass infra inguinal.
Teknik ini disebut dengan Teknik Patch Linton dimodifikasi yang dapat dilihat
Jika kaliber vena lebih dari 4 mm, venotomi yang lebih panjang dapat dibuat
pada saluran vena, yang kemudian akan berfungsi sebagai patch profundaplasti
dan asal bypass. Teknik ini dapat dilihat pada gambar berikut :
36
Gambar 2.8 Teknik Venotomi1
proksimal. Jika arteri poplitea rekonstitusi distal pada okslusi SFA, arteri poplitea
dapat dipilih sebagai sisi arus keluar. Arteri yang dapat dijadikan anastomosis
distal biasanya terdapat pada sisi poplitea dengan panjang minimum 5 cm, sisi
insisi vertikal pada CFA. Jangkauan anterior ini mengizinkan pajanan komplit dan
mobilisasi CFA dan bifurkasionya; pajanan yang lebih proksimal dapat dicapai
dengan divisi porsi rekuren ligamen inguinal atau ligamen keseluruhan (insisi
Peter Martin). Ekstensi distal akan mengijinkan pajanan PFA. Selain itu, dapat
dilakukan metode jangkauan alternatif pada arteri femoral profunda, misal saat
37
Gambar 2.9 Teknik Alternatif Mencapai Arteri Femoralis Profunda Distal1
Selain itu, pajanan posterior dari arteri poplitea, arteri tibialis posterior dan
arteri peroneal kadang berguna. Jika sisi arus masuk di bawah arteri poplitea
tibialis distal atau arteri peroneal distal , operasi dapat dilakukan dengan posisi
berikut :1
38
Gambar 2.10 Teknik Posterior Approach1
Teknik bypass yang bisa dilakukan adalah Reversed Vein Bypass, Arm Vein
kongestif, dan hipertensi. Pemberian terapi anti platelet (aspirin 81 atau 325 mg
sehari), pemberian anti koagulasi yang dapat meningkatkan patensi graft, dan
stenting tambahan banyak digunakan dan telah diterima secara luas. Teknik inilah
39
PTA adalah Subintimal Angioplasty (SIA) yang digunakan untuk melintasi lesi
distal lesi. Segmen arteri yang bermasalah akan didilatasi dengan balon pada area
pada kondisi tertentu untuk tata laksana lesi kompleks atau stenosis persisten atau
sudah didesain dengan melepaskan obat anti proliferatif setelah impantasi. Pasien
dengan komorbid multipel atau pasien yang sulit menemukan saluran autogen
yang adekuat akan memperoleh manfaat dari metode endovaskuler ini. 1,2
diantaranya indikasi, lokasi, perluasan dan berat kelainan, keterbatasan derajat dan
TASC tipe A sesuai untuk terapi endovaskuler, lesi TASC tipe D lebih sesuai
dengan terapi bedah karena risiko kegagalan terapi endovaskuler yang cukup
tinggi, dan lesi TASC tipe B dan C dapat ditatalaksana dengan terapi
40
direkomendasikan secara spesifik pada pasien dengan CLI dan pasien dengan
risiko tinggi untuk bypass surgikal dan kehilangan tungkai, PTA dapat
Relining. Alat yang dapat menjadi alternatif balon angioplasti seperti debulking
41
BAB 3
KESIMPULAN
oleh berbagai derajat iskemik, baik nyeri atipikal maupun nyeri muskular
3. Tantangan bagi ahli bedah adalah untuk menentukan ada tidaknya iskemia
42
DAFTAR PUSTAKA
2. Brunicarni FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews
43