Anda di halaman 1dari 40

Tinjauan Pustaka 1

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN


SYOK KARDIOGENIK

Teguh Setiadi

Pembimbing
Dr. Erwin Sukandi, SpPD, K-KV, FINASIM

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


ILMU PENYAKIT DALAM FK UNSRI RSMH
PALEMBANG
2017
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI ........................................................................................................ i
DAFTAR TABEL ................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iii
DAFTAR SINGKATAN....................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
BAB II. SYOK KARDIOGENIK ....................................................................... 3
Definisi .................................................................................................. 3
Epidemiologi ......................................................................................... 3
Etiologi .................................................................................................. 4
Patogenesis ............................................................................................ 5
Gambaran klinis .................................................................................... 10
BAB III. DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA SYOK KARDIOGENIK ........ 15
Diagnosis ................................................................................................ 15
Tatalaksana ............................................................................................. 19
Tatalaksana tambahan ............................................................................ 29
BAB IV. SIMPULAN .......................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 32
LAMPIRAN ......................................................................................................... 33

i
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Presentasi klinis dan karakteristik hemodinamik pasien syok kardiogenik


.................................................................................................................................... 12
Tabel 2. Efek dopamin terkait dosis..................................................................... 13
Tabel 3. Dosis dopamin berdasarkan berat badan................................................ 13
Tabel 4. Dosis dobutamin berdasarkan berat badan............................................. 13
Tabel 5. Dosis norepineprin berdasarkan berat badan.......................................... 13

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Patofisiologi syok kardiogenik............................................................ 6


Gambar 2. Paradigma lama dan baru syok kardiogenik dari aspek mekanik dan
neurohormonal....................................................................................................... 8
Gambar 3. Target tatalaksana syok kardiogenik terkait patofisiologi
yang mendasarinya................................................................................................ 19
Gambar 4. Skema penatalaksanaan syok kardiogenik.......................................... 21
Gambar 5. Intra-aortic ballon counter pulsation ................................................. 29

iii
DAFTAR SINGKATAN

CAD : Coronary Arterial Disease


CI : Cardiac Index
CO : Cardiac Output
CRRT : Continous renal replacement therapy
DIC : Diseminated intravascular coagulation
DM : Diabetes Mellitus
IL : Inter Leukin
IMA : Infark Miokard Akut
LMWH : Low Molecular Weight Heparin
MAP : Mean Arterial Pressure
MVD : Multivessel Coronary Disease
NO : Nitrit Oxide
NSTEMI : Non ST Elevation Miocardial Infarction/Infark Miokard Non Elevasi ST
PCI : Percuteneous Coronary Intervention
PCWP : Pulmonary Capilary Wedge Pressure
ScvO2 : Saturation of central venous oxygen
SKA : Sindrom Koroner Akut
STEMI : ST Elevation Miocardial Infarctio/Infark Miokard Elevasi ST
SV : Stroke Volume
UAP : Unstable Angina Pectoris/Angina Pektoris Tidak Stabil

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Syok kardiogenik adalah suatu respon tubuh akibat penurunan curah jantung
sistemik pada keadaan volume intravaskular yang cukup dan mengakibatkan hipoksia
jaringan. Tidak ditemukan adanya gangguan preload maupun proses non miokardium
sebagai etiologi syok, serta didapatkan gangguan miokardium primer (infark miokard
akut). Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian utama pada pasien yang
dirawat dengan infark miokard akut.1,2
Satu dari enam penderita infark miokard akut (IMA) yang dirawat berakhir
dengan syok kardiogenik. lnsidens syok kardiogenik sebagai komplikasi sindrom
koroner akut (SKA) sangat bervariasi. Syok kardiogenik terjadi pada 2,9% pasien
angina pektoris tak stabil (UAP) dan 2,1% pasien infark miokard non elevasi ST
(NSTEMI). Syok kardiogenik lebih sering dijumpai sebagai komplikasi IMA dengan
elevasi ST (STEMI) daripada tipe lain dari sindrom koroner akut.1-3
Penegakan diagnosis syok kardiogenik hendaknya dimulai dengan pengkajian
komprehensif mengenai anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Pasien mungkin datang dengan onset dini, tiba-tiba dalam waktu kurang dari 4-6 jam
onset sindrom koroner akut, terjadi syok yang disebabkan gangguan miokard luas
bahkan ruptur dinding ventrikel kiri. Kondisi syok juga dapat timbul perlahan dalam
beberapa hari sebagai akibat infark berulang.1-3
Dalam penatalaksanaannya, etiologi syok harus didapatkan sesegera mungkin,
kemudian dilakukan pemantauan hemodinamik, pemberian oksigen, pemantuan dan
tatalaksana nyeri dengan morfin, obat-obat inotropik, diuretik, digitalis, dan
vasodilator. Terapi reperfusi segera (primary percutaneuos coronary intervention
(PCl)) untuk kasus IMA menurunkan insiden syok kardiogenik. Penelitian
menunjukkan strategi revaskularisasi dini menurunkan mortalitas dalam 6 dan 12
bulan dan lebih superior dibandingkan terapi medis agresif awal. Median waktu

1
2

perkembangan menjadi syok pada pasien UAP dan NSTEMI adalah 76 jam dan 94
jam, tersering adalah setelah 48 jam. Oleh karena itu, laju mortalitas tetap tinggi
(50%) walaupun mendapat intervensi dan separuh kematian terjadi dalam 48 jam
pertama. Hal ini mungkin disebabkan oleh kerusakan miokard luas yang ireversibel
dan kerusakan organ vital.1-3
Pengetahuan mengenai penegakan diagnosis syok kardiogenik diperlukan agar
dapat menentukan penatalaksanaan yang cepat dan tepat sehingga dapat mencegah
kerusakan miokard yang lebih luas dan ireversibel serta menurunkan mortalitas.
Berikut disampaikan tinjauan pustaka mengenai diagnosis dan penatalaksanaan syok
kardiogenik. Semoga dapat bermanfaat.
BAB II
SYOK KARDIOGENIK

2.1 Definisi
Syok didefinisikan sebagai suatu kegagalan kompensasi atau disregulasi sistem
sirkulasi karena suatu penyebab tidak diinginkan. Keadaan ini menyebabkan
hipoperfusi akibat penurunan curah jantung sehingga tidak mampu mengompensasi
kebutuhan tubuh. Kondisi tersebut dapat disertai dengan gangguan mikrosirkulasi
yang mengakibatkan kurangnya suplai oksigen ke jaringan dan sistem organ sehingga
terjadi hipoksia luas dan disfungsi organ vital.1-4
Syok kardiogenik adalah gangguan sirkulasi yang disebabkan oleh penurunan
curah jantung sistemik pada keadaan volume intravaskular yang cukup, dan dapat
mengakibatkan hipoksia jaringan dan kegagalan multiorgan. Kondisi ini
menggambarkan sebuah disfungsi miokardium yang berat.2-4
The US trial mendefinisikan syok kardiogenik sebagai suatu keadaan hipotensi
yaitu tekanan darah sistolik < 90 mmHg dalam kurun waktu lebih dari 30 menit atau
membutuhkan katekolamin dan/atau agen inotropik lain untuk menjaga sirkulasi
adekuat, serta hipoperfusi organ yang disebabkan gangguan fungsi jantung yang
secara klinis ditandai dengan akral dingin, perubahan status mental, dan oliguria (urin
output <30 cc/jam). Secara hemodinamik, syok kardiogenik ditandai dengan
hipoperfusi sistemik akibat terjadinya depresi berat cardiac index (CI) ≤ 2,2 L/min/m2
dan peningkatan tekanan baji kapiler paru (pulmonary capilary wedge pressure
(PCWP)) > 18 mmHg (atau adanya kongesti paru pada foto toraks).1-2

2.2 Epidemiologi
Beberapa penelitian melaporkan insidensi syok kardiogenik rata-rata sebesar
7,1%. Pada kebanyakan kasus (>70%) syok kardiogenik merupakan keadaan
sekunder dari terjadinya iskemik dan infark miokardium, dapat terjadi secara akut

3
4

maupun kronik. Insiden infark miokard yang berkembang menjadi syok kardiogenik
dilaporkan antara 5-10%. Disfungsi ventrikel kiri dapat menjadi penyebab utama
berkembangnya syok kardiogenik pada pasien tanpa penyakit arteri koroner (CAD)
maupun iskemik miokard.1-5
The Shock Register and Trial menyebutkan bahwa syok kardiogenik dapat
terjadi pada 74,5% kasus dengan gagal ventrikel kiri, 8,3% regurgitasi mitral akut,
4,6% ruptur septum ventrikel, 3,4% gagal jantung kanan yang terisolasi, 1,7%
tamponade jantung atau ruptur, dan 3% akibat penyebab lain.2-4
Syok kardiogenik lebih banyak ditemukan pada usia lanjut yang memiliki
komorbid seperti diabetes melitus (DM), infark miokard akut (IMA), atau pasien
dengan riwayat infark miokard, penyakit pembuluh darah perifer, dan penyakit
serebrovaskular. Mortalitas syok kardiogenik di rumah sakit dilaporkan sekitar 60%.
Syok kardiogenik paling sering terjadi pada beberapa jam pertama, pada sumber lain
sebanyak 75% hingga 89% kasus syok kardiogenik terjadi pada 24 jam pertama.1-4

2.3 Etiologi
Syok kardiogenik paling sering disebabkan oleh hal-hal berikut:2-5
a. Disfungsi miokard akut yang disebabkan:
- Infark miokard akut dan komplikasinya termasuk ruptur m. papilaris atau
septum, regurgitasi mitral berat, dan tamponade jantung
- Miokarditis akut
- Intoksikasi obat-obat inotropik negatif
- Kontusio miokard
- Sepsis dan syok sepsis
b. Penyakit jantung katup akut (regurgitasi aorta atau mitral karena endokarditis,
diseksi aorta, atau ruptur cordae) / eksaserbasi akut penyakit jantung katup.
c. Gagal jantung kronik yang mengalami dekompensasi akut, biasanya kardiomiopati
lanjut.
5

d. Gagal jantung kanan akut (infark miokard ventrikel kanan akut; penyakit
bronkopulmoner berat)
e. Disritmia berat yang persisten
f. Kardiomiopati hipertensi yang mengalami dekompensasi akut (misalnya karena
atrial fibrilasi)
g. Mixoma atrium kiri
Hal lain yang sering menyebabkan terjadinya syok kardiogenik adalah
takiaritmia atau bradiaritmia yang rekuren, dimana biasanya terjadi akibat disfungsi
ventrikel kiri, dan dapat timbul bersamaan dengan aritma supraventrikular ataupun
ventrikular.2-3

2.4 Patogenesis
Pada syok kardiogenik, mayoritas kasus disebabkan penurunan mendadak dan
atau penurunan kontraktilitas jantung (performa intrinsik) yang tidak memperhatikan
kondisi pengisian dan selanjutnya diikuti penurunan signifikan pada stroke volume/
isi sekuncup (SV) atau cardiac output/ curah jantung (CO).2-5
Syok kardiogenik paling sering terjadi karena kehilangan kontraktilitas
jaringan secara kritis sebagai komplikasi sekunder infark miokard akut dengan
kehilangan total kemampuan pompa yang akut dan ditambah adanya penurunan
penyesuaian ventrikel. Oleh karena itu, syok kardiogenik dapat terjadi baik pada
kegagalan sistolik maupun diastolik. Secara sederhana, syok kardiogenik terlihat
sebagai suatu kelainan mekanik dengan kesesuaian aktivasi dan respon humoral.
Paradigma ini dirangkum dalam suatu diagram pada Gambar 1.2-5
Seperti yang dinyatakan sebelumnya, disfungsi miokardium, sebagaimana
pada kasus syok kardiogenik, secara langsung menyebabkan penurunan isi sekuncup
dan peningkatan tekanan ventrikel kiri pada fase akhir diastolik.
6

Gambar 1. Patofisiologi syok kardiogenik2

Selanjutnya, penurunan bermakna isi sekuncup menyebabkan hipotensi dan


hipoperfusi sitemik, mengorbankan perfusi koroner, menyebabkan iskemik
miokardium atau memperparah iskemik miokardium yang telah ada dengan hasil
berupa kerusakan progresif fungsi miokardium. Selain itu, seperti yang digambarkan
di atas, repson terhadap kerusakan luas dari kontraktilitas jantung, sebuah kompensasi
vaskonstriksi sistemik, keterlibatan neuroendokrin, aktivasi sistem simpatis, dan
retensi cairan yang terjadi memperparah disfungsi miokard yang terjadi.
Vasokonstriksi sistemik dan beban cairan mendesak kondisi pemuatan cairan yang
7

merugikan (peningkatan afterload) ke fungsi miokard yang sudah terkompromisasi


sedemikian.2,3,6
Namun demikian, secara mengejutkan, beberapa studi tentang syok
kardiogenik mengemukakan perbedaan profil hemodinamik yang mendasar dari yang
diharapkan dan ditetapkan. Meskipun kontraktilitas jantung terganggu dengan berat
ditandai penurunan isi sekuncup yang berat dan suatu disfungsi diastolik yang
membahayakan, resistensi vaskular sistemik hanya meningkat ringan. 2,5,6
Ketidaksesuaian vasokonstriksi (ketidaksesuaian penurunan resistensi
vaskular sistemik) dalam hubungan dengan keparahan disfungsi miokard yang
ditemukan pada mayoritas pasien merefleksikan sebuah reaksi inflamasi sistemik
pada syok kardiogenik. Reperfusi menginduksi pelepasan mediator vasodilator dan
Kohsaka dkk mengidentifikasi tingginya level pembentukan NO yang terinduksi
sebagai mediator yang dilepaskan pada pasien dengan infark miokard akut. Seiring
tingginya konsentrasi NO dan Nitrat peroksida (mediator dengan efek vasodilatasi)
maka akan mengimbangi vasokonstriksi awal yang terinduksi tadi dan menyebabkan
respon sirkulasi yang tidak sesuai terhadap vasodilatasi yang terjadi. Selanjutnya,
tahanan perifer yang rendah mempredisposisi pasien dengan syok kardiogenik ke
kerusakan endotel. Oleh karena itu, inflamasi sistemik berkontribusi penting terhadap
patogenesis dan keluaran syok kardiogenik berupa pengurangan kontraktilitas
miokard secara signifikan sehingga terjadi pelepasan agen dan mediator vasodilatasi
serta mediator lain yang menurunkan kerja miokardium. Hal ini menyebabkan
terjadinya kerusakan yang lebih jauh, menetap, dan vasodilatasi serta hipotensi yang
refrakter dan berakhir pada kegagalan multiorgan dengan keluaran yeng merusak
apabila bila tidak segera ditatalaksana secara adekuat.2-5
Suatu hal patognmonik pada syok kardiogenik adalah peningkatan ringan
hingga sedang afterload pada fase awal. Sebagian kecil pasien dengan syok
kardiogenik yang teregister pada SHOCK registry and trial secara klinis memiliki
normotensi atau hipotensi ringan tetapi didiagnosis sebagai syok kardiogenik. Mereka
secara sistemik mengalami hipoperfusi dengan curah jantung yang rendah dan dengan
8

peningkatan pengisian ventrikel kiri tetapi terjadi peningkatan tahanan perifer


sehingga mampu mempertahankan tekanan darah. Pasien ini seharusnya
diklasifikasikan pada keadaan pre-syok dimana respon inflamasi sistemik belum
secara significan diaktifkan. Hochman dkk meyakini paradigma baru syok
kardiogenik yang mengintegrasikan patofisiologi terbaru dengan konsep yang sudah
ada seperti pada Gambar 2.2-7

Gambar 2. Paradigma lama dan baru pada syok kardiogenik dari aspek mekanik
dan neurohormonal2

a. Peran dan dampak hipotensi pada syok kardiogenik


Perfusi miokardium dipengaruhi oleh keadaan hipotensi dan dapat
menginduksi kembalinya iskemi miokard yang pernah terjadi. Penurunan tekanan
perfusi koroner (terutama pada multivessel coronary disease (MVD)) menyebabkan
penurunan MAP (mean arterial pressure), disebabkan penurunan
kinerja/kontraktilitas jantung dan vasodilatasi, keduanya menyebabkan penurunan
9

tekanan darah secara kritis. Hipoperfusi ini sendiri secara kritis memperburuk defisit
perfusi miokard, mencetuskan iskemi yang pernah timbul, dan siklus yang buruk ini
memperburuk iskemi miokardium yang terjadi. Hal ini tampak sebagai syok yang
bukan disebabkan gangguan kontraksi miokardium, ketika tekanan darah menjadi
sangat turun dan perfusi pada organ vital (seperti jantung) secara kritis menurun
sebagai akibat penurunan hemodinamik.2,7

b. Iskemik miokardium dan kompensasi ventrikel kiri


Kompensasi ventrikel kiri akan dapat mereduksi iskemi miokardium dan
selanjutnya tekanan ventrikel kiri pada fase akhir diastolik akan meningkat
sebagaimana peningkatan tekanan kapiler paru, membawa pasien berada pada risiko
berkembangnya edema paru. Kemudian, terjadi peningkatan pengisian ventrikel kiri
pada fase akhir diastolik pada keadaan gangguan berat dari fungsi sisitolik ventrikel
kiri untuk mempertahankan isi sekuncup, hal ini akan tambah meningkatkan tekanan
ventrikel kiri pada fase akhir diastolik dan membawa pasien berada pada situasi
edema/kongesti paru dan iskemi yang lebih jauh.2,4

c. Penyebab lain yang berkontribusi pada gangguan kontraktilitas


Iskemi miokard akut yang sementara pada penyakit jantung koroner kronik
dan bersamaan dengan disfungsi diastolik mampu menginduksi gangguan hebat pada
kontraktilitas jaringan miokardium yang masih sehat.1,3
Aliran balik dari regurgitasi mitral akut (MR akut) sebagai komplikasi
mekanik infark miokardium akut, iskemi yang terjadi pada regurgitas mitral, dan
regurgitasi akibat kelainan katup mitral selanjutnya membawa ke keadaan hipoperfusi
(iskemia) yang terjadi pada penyakit jantung koroner kronik sehingga bertanggung
jawab pada penurunan mendadak dari isi sekuncup dan curah jantung.
Regurgitasi aorta akut paling sering disebabkan endokarditis infektif.
Kecepatan terjadinya aliran regurgitasi menyebabkan belum timbulnya mekanisme
kompensasi yang signifikan seperti dilatasi ventrikel kiri. Komplikasi selanjutnya, isi
10

sekuncup / curah jantung secara signifikan akan menurun seiring meningkatnya


tekanan fase akhir diastolik ventrikel kiri.2,6
Miokarditis kadang-kadang menyebabkan gangguan kontraktilitas dan juga
menurunakan aliran ke sistemik.
Obat-obatan dengan efek inotropik berpotensi dan berkemampuan
menginisiasi produksi dan pelepasan mediator pro inflamasi dari kardiomiosit dan sel
lainnya lalu akan mempromosikan proses inflamasi dan secara langsung menurunkan
performa jantung. Kemudian, katekolamin, dilepas sebagai bagian mekanisme
kompensasi atau diberikan sebagai agen pengobatan, dapat menginduksi produksi
sitokin pro inflamasi (seperti IL-6) dan lebih jauh dapat menurunkan depresi
kontraktilitas secara langsung.2-4

2.5 Gambaran Klinis


Syok kardiogenik melibatkan beberapa aspek krusial yang dipertimbangkan
sebagai dasar diagnosisnya. Aspek tersebut berupa perfusi, luasnya daerah infark
miokardium, dan tekanan ventrikel kiri pada fase akhir diastolik.2-3
a. Hipoperfusi
Sebagian besar diagnosis syok kardiogenik ditegakkan oleh adanya tanda
klinis hipoperfusi, nyeri dada, analisis enzim dan elektrokardiografi. Sebuah
elektrokardiografi normal sudah dapat mengeksklusi kemungkinan syok kardiogenik
dengan sebab infark miokardium. Sebuah elektrokardiogram sangat penting pada
penilaian awal semua pasien yang dicurigai mengalami syok kardiogenik dan harus
dilakukan sesegera mungkin.
Salah satu hal krusial dalam penegakan diagnosis syok kardiogenik adalah
identifikasi tanda-tanda hipoperfusi pada keadaan disfungsi jantung yang berat.
Berikut adalah manifestasi klinik yang mengarah ke keadaan hipoperfusi
organ/jaringan:
- Pucat, kulit berwarna abu-abu pucat atau sianosis
11

- Akral dingin (telapak tangan/ekstremitas bawah, kulit dingin, kadang-kadang


ekstremitas yang lembab dan basah)
- Perubahan status mental; diam, apatis, kadang-kadang gelisah, dan bingung
- Penurunan produksi urin/ oliguria, <30 ml/jam atau < 0,5 ml/kg/jam selama
>2 jam
- Isi nadi dan tegangan nadi kurang
- Hipotensi arterial
Syok kardiogenik seharusnya dipertimbangkan pada semua pasien yang
datang dengan hipotensi dan atau curah jantung yang rendah, penurunan fungsi
mental yang mendadak, dan kongesti paru yang tidak diketahui penyebabnya. Pada
kenyataannya, Menon dkk secara jelas mengemukakan diagnosis syok kardiogenik
pada semua pasien dengan adanya tanda perfusi ke jaringan yang tidak adekuat pada
suatu kondisi disfungsi jantung berat dengan volume intravaskular yang cukup.2,5,6
Syok kardiogenik ditegakkan setelah mengumpulkan data yang menunjang ke
suatu infark miokard dan mengeksklusi penyebab hipotensi lain seperti hipovolemia,
perdarahan, sepsis, emboli paru, tamponade jantung, diseksi aorta, dan penyakit
jantung katup yang sebelumnya telah ada. Ander dkk menyatakan keraguan bahwa
manifestasi klinik cukup sensitif untuk menemukan kemungkinan adanya syok
kardiogenik, terutama pada pasien penyakit jantung kongestif karena manifestasi
kliniknya tidak dapat mendiagnosis gangguan distribusi oksigen secara adekuat pada
miokard sehingga diperlukan pengukuran saturation of central venous oxygen
(ScvO2) dan laktat serum. Kadar laktat > 2 mmol/l bersama dengan ScvO 2< 60%
(SvO2< 65%) menyatakan telah adanya syok.2,7
Enam puluh empat persen dari semua pasien yang diikutkan ke dalam US
shock register menunjukkan suatu keadaan hipotensi, bukti dari ketidakefektifan
curah jantung/ hipoperfusi dan kongesti paru, tetapi 28% sisanya memiliki bukti
adanya hipoperfusi perifer, hipotensi dan tidak mengalami kongesti paru. Akan tetapi,
paru yang tidak kongesti juga dapat ditemukan pada syok kardiogenik dengan
peningkatan tekanan baji arteri pulmonal (pulmonary capillary wedge pressure/
12

PCWP). Fenomena peningkatan tekanan baji arteri pulmonal tanpa disertai


manifestasi klinis atau radiologi yang menunjang adanya kongesti paru dapat saja
terjadi karena pemberian sejumlah besar cairan. Oleh karena itu, jangan
menatalaksana pasien syok kardiogenik dengan sejumlah besar cairan.2,8-10
Waktu yang cepat untuk mengidentifikasi pasien dengan pre-syok atau syok
non-hipotensi adalah suatu hal penting sehingga dapat segera merencanakan
tatalaksana. Manifestasi klinis dari hipoperfusi sangat berhubungan erat dengan
mortalitas, tekanan darah, dan parameter hemodinamik lain. Hipoperfusi dapat
menjadi suatu penanda dari kolaps hemodinamik yang akan segera terjadi, dan
takikardi (frekuensi jantung > 90 x/m) dapat juga diinterpretasikan sebagai suatu
gejala pre-syok dan bukan sebagai respon rendahnya curah jantung dan selanjutnya
terjadi peningkatan aktivitas simpatis. Pengawasan ketat diperlukan terhadap pasien
dengan infark miokard anterior akut karena 30% pasien dengan infark miokard akut
anterior dapat berkembang menjadi syok kardiogenik lanjut dalam perjalanannya dan
memiliki prognosis yang buruk.2,4-8
Pada situasi ini, pilihan pengobatan harus dilakukan dengan hati-hati.
Penggunaaan penyekat beta, secara umum diindikasikan sebagai life saving pada
infark miokard akut, tetapi dapat juga mencetuskan terjadinya syok pada pasien
infark miokard. Kemudian, aktivasi kompensasi life saving dari sistem renin
angiotensin seharusnya tidak menghalangi pemberian ACE inhibitor.2,7

b. Infark ventrikel kanan


Sebuah infark ventrikel kanan yang signifikan memperberat 50% dari semua
infark miokard di daerah inferior jantung yang terjadi. Pada elektrokardiogram
didapatkan ST elevasi pada VR3 dan atau VR4 (lead precordial kanan) dan pada
pasien dengan infark miokard akut dengan peningkatan segmen ST di inferior yang
disebabkan lesi pada proximal RCA dan didominasi bagian inferior dan posterior dari
ventrikel kanan.1,2,8
13

Perubahan hemodinamik dan kompensasi sirkulasi yang berat ditentukan oleh


seberapa luas kerusakan dari ventrikel kanan itu sendiri (perluasan dari iskemi
ventrikel kanan hingga disfungsi ventrikel kanan), interaksi ventrikel (dimediasi
septum oleh lapisan perikardium menyebabkan perubahan pada fungsi ventrikel kiri),
dan keterlibatan ventrikel kiri pada proses iskemi hingga cedera jaringan.
Selanjutnya, ventrikel kanan hanya mampu mengompensasi peningkatan afterload
atau volume intavaskular yang terjadi akut, kompensasi hemodinamik terjadi cepat
dan dengan onset dini menyebabkan hipotensi dan syok. Dengan kata lain, fungsi
pompa yang optimal sangat penting untuk mencegah kegagalan pada pompa ventrikel
kiri yang merupakan efek beruntun dari pengalokasian preload yang sesuai untuk
menjamin keluaran atau output ventrikel kiri.1,3-5
Ventrikel kiri menyediakan ventrikel kanan kekuatan yang dibutuhkan pada
kontraksi septal. Kehilangan dukungan akibat infark ventrikel kiri, khususnya jika
ada keterlibatan septum, dapat menginduksi perburukan sirkulasi yang lebih jauh.
Namun demikian, interaksi antara kedua ventrikel dapat berefek pada hemodinamik
akibat infark ventrikel kanan dan ventrikel kanan merupakan bagian penting yang
bertanggung jawab terhadap terjadinya syok kardiogenik.

c. Tekanan ventrikel kiri pada fase akhir diastolik pasien syok kardiogenik
Tekanan ventrikel kiri pada fase akhir diastolik dan pengukurannya
seharusnya dinilai secara teliti, peningkatannya tidak dapat menjadi parameter yang
sensitif dan spesifik pada diagnosis syok kardiogenik disebabkan keadaan berikut:2,8
- Gagal jantung berat yang akut tidak selalu bersamaan dengan peningkatan
tekanan pengisian ventrikel kiri.
- Tekanan ventrikel kiri pada fase akhir diastolik tidak dapat mewakili jumlah
cairan ektravaskular di paru karena disfungsi jantung terjadi tidak seragam.
- Peningkatan abnormal tekanan ventrikel kiri pada fase akhir diastolik (>15
mmHg) dapat hanya berupa penanda suatu kekakuan pada ventrikel kiri. Hal
tersebut telah diketahui dengan baik bahwa pada pasien pasien kritis terjadi
14

perubahan terhadap keteraturan ventrikel yang bervariasi, dipengaruhi oleh


beberapa perbedaan dan perubahan nilai tekanan ventrikel kiri pada fase akhir
diastolik. Walaupun pada orang sehat tidak ada hubungan yang absolut
ditemukan antara perubahan pengisian ventrikel dan perubahan nilai tekanan
fase akhir diastolik ventrikel kiri.
- Tekanan baji kapiler paru tidak mewakili keseluruhan status volume preload
atau intravaskular dan perubahannya pada pengisian dan pengosongan, baik
pada pasien sehat maupun sakit.
Namun demikian, tidak ada alasan yang kuat antara volume dan tekanan ventrikel kiri
pada fase akhir diastolik yang dapat dipercaya, pengukuran tekanannya melalui
transmural dapat membantu untuk menunjukkan dan memonitor penyakit dan
tatalaksananya.
BAB III
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
SYOK KARDIOGENIK

3.1 Diagnosis
3.1.1 Anamnesis
Keluhan awal syok kardiogenik yang timbul akan berkaitan dengan etiologi
pencetus terjadinya syok. Pasien infark miokard akut datang dengan keluhan nyeri
dada kiri tipikal yang akut dengan beberapa faktor risiko dan mungkin memiliki
riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya. Kemudian keluhan ini berlanjut
kepada komplikasi mekanik terjadinya infark miokard akut, dapat terjadi pada
beberapa jam pertama hingga beberapa hari sampai seminggu setelah onset akut
terjadi. Umumnya setelah mengeluh nyeri dada, pasien akan mengeluh tiba-tiba sesak
akibat edema paru akut bahkan hingga henti jantung. Apabila disertai dengan
komplikasi aritmia, pasien dapat datang dengan nyeri dada disertai berdebar-debar,
lemas, atau merasakan detak jantung berhenti sejenak hingga pasien akan merasakan
letargi akibat penurunan perfusi ke organ vital seperti sistem saraf pusat.1-3

3.1.2 Pemeriksaan fisik


Pada pemeriksaan fisik awal dapat dijumpai kegagalan hemodinamik seperti
penurunan tekanan darah sistolik < 90 mmHg bahkan dapat lebih turun lagi apabila
tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat. Denyut jantung biasanya cenderung
akan meningkat sebagai akibat stimulus simpatis, respon dari penurunan curah
jantung, demikian pula dengan frekuensi pernapasan biasanya meningkat sebagai
akibat terjadinya kongesti paru.1-3
Pemeriksaan keadaan spesifik dapat dijumpai peningkatan tekanan vena
jugular dan atau adanya ronki akibat bendungan di paru. Pasien dengan infark

15
16

ventrikel kanan atau pasien dengan keadaan hipovolemik sangat kecil


kemungkinannya mengalami kongesti pada paru.
Sistem kardiovaskular yang dapat dievaluasi yakni batas jantung yang
melebar pada pasien-pasien dengan kardiomiopati dilatasi, intensitas dan bunyi
jantung menurun pada pasien dengan tamponade jantung ataupun efusi perikardium.
Irama gallop dapat terdengar, menunjukkan adanya disfungsi ventrikel kiri yang
bermakna. Sedangkan murmur dapat mengenali adanya regurgitas mitral atau akibat
dari defek septal ventrikel atau bagian dari komplikasi mekanik pada infark miokard
akut.1-3
Pasien dengan gagal jantung kanan akan menunjukkan beberapa tanda-tanda
antara lain: pembesaran hati, adanya pulsasi akibat regurgitasi trikuspid atau
terjadinya asites, pulsasi arteri di ekstremitas perifer akan menurun intensitasnya, dan
edema perifer. Dapat juga disertai tanda-tanda penurunan perfusi ke jaringan seperti
akral dingin hingga sianosis.1-9

3.1.3 Pemeriksaan penunjang


A. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi dapat membantu klinisi menentukan etiologi
dari syok kardiogenik misalnya pada infark miokard akut akan terlihat gambaran
peningkatan segmen ST. Demikian pula dengan lokasi terjadinya infark miokard baik
pada septal, anterior, inferior, lateral hingga infark ventrikel kanan yang ditandai
peningkatan segmen ST pada lead VR3 dan atau VR4. Begitu pula dalam
mengidentifikasi adanya gangguan irama sebagai etiologi terjadinya syok
kardiogenik.1-2
B. Radiologi
Pada foto polos dada akan terlihat kardiomegali dan tanda-tanda kongesti paru
atau edema paru akibat disfungsi ventrikel kiri berat. Apabila terjadi komplikasi
mekanik akibat infark miokard akut seperti defek septal ventrikel dan regurgitasi
mitral maka akan terlihat gambaran kongesti dan kardiomegali. Adanya gambaran
17

edema paru menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya gagal ventrikel kanan dan
atau keadaan hipovolemia sangat kecil.1-4
C. Ekokardiografi
Modalitas pemeriksaan non-invasif ini sangat membantu dalam membuat
diagnosis dan mencari etiologi syok kardiogenik. Pemeriksaan ini relatif lebih cepat,
aman dan dapat dilakukan secara langsung di tempat tidur pasien. Data-data yang
dapat diperoleh dari pemeriksaan ini diantaranya adalah penilaian fungsi ventrikel
kanan dan kiri baik global maupun segmental, lalu fungsi katup-katup jantung
(stenosis atau regurgitasi), tekanan ventrikel kanan dan deteksi adanya shunt
(misalnya pada defek septal ventrikel dari kiri ke kanan), efusi perikardial, atau
tamponade jantung.1-3
D. Pemantuan parameter hemodinamik dan oksigenasi
Obat-obat inotropik dan vasopressor yang digunakan pada tatalaksana syok
kardiogenik memiliki beberapa keterbatasan sehingga diperlukan dukungan mekanik
untuk mempertahankan tekanan perfusi yang adekuat.
Penggunaan kateter Swan-Ganz untuk mengukur tekanan arteri
pulmonal dan tekanan baji pembuluh kapiler paru sangat berguna terutama
untuk memastikan diagnosis dan etiologi syok kardiogenik serta sebagai
indikator evaluasi terapi yang diberikan. Peningkatan tekanan baji kapiler
dihubungkan dengan adanya kegagalan fungsi ventrikel kiri yang berat.
Sedangkan bila pada pengukuran tekanan baji kapiler paru didapatkan > 18
mmHg pada pasien infark miokard maka dapat dikatakan bahwa volume
intravaskular cukup adekuat. Pemantuan parameter hemodinamik juga
memerlukan data penghitungan afterload yakni resitensi vaskular sistemik.1-4
Pemantauan saturasi oksigen sangat bermanfaat dan dapat dilakukan saat
pemasangan kateter Swan-Ganz yang juga dapat mendeteksi adanya defek septal
ventrikel.1-4
18

Tabel 1. Presentasi klinis dan karakteristik hemodinamik pasien syok kardiogenik2


Warm and Dry Warm and Wet
-Terjadi pada gagal jantung akut -Terjadi pada gagal jantung akut dengan
- Secara klinis tidak ditemukan tanda- gejala kongestif
tanda hipoperfusi. - Secara klinis: TDS>90 mmHg, cardiac
- Hemodinamik: TDS >90 mmHg, index tidak spesifik, bisa meningkat atau
cardiac index > 2,2 l/min/m2, tekanan normal atau menurun, tekanan baji
baji kapiler normal. kapiler sangat meningkat > 18 mmHg.
Cold and Dry Cold and Wet
-Terjadi pada sekitar 28% kasus syok -Terjadi pada sekitar 64% kasus
kardiogenik
- Secara klinis tampak stabil walaupun - Secara klinis didominasi tanda-tanda
dengan manifestasi hipoperfusi hipoperfusi seperti pucat, kulit sinosis,
akral dingin, perubahan status mental,
oliguria (<30 ml/jam), dan ditemukan
hipotensi arterial dan kongesti paru, pada
auskultasi didapatkan suara jantung S3.
- Hemodinamik: Penurunan TDS < 90 - Hemodinamik: Penurunan TDS < 90
mmHg selama lebih dari 30 menit atau mmHg selama lebih dari 30 menit atau
menggunakan agen katekolamin. menggunakan agen katekolamin.
Penurunan cardiac index< 2,2 l/min/m2. Penurunan cardiac index< 2,2 l/min/m2.
Tidak ada tanda kongesti paru dan
didapatkan dengan tekana baji kapiler Terjadi peningkatan tekanan baji kapiler
paru yang normal. Hipoperfusi yang paru > 18 mmHg atau adanya edema paru
terjadi bervariasi dari ringan hingga pada gambaran foto polos thorax.
berat.
19

3.2 Penatalaksanaan
Berbagai penelitian yang dipublikasikan telah memberiakan pendekatan
tatalaksana terbaik pada kasus syok kardiogenik sebagai komplikasi infark miokard
akut. Baik penelitian restrospektif maupun prospektif telah memberikan bukti bahwa
pendekatan invasif seperti revaskularisasi emergensi dengan PCI (dengan atau tanpa
tatalaksan trombolitik sebelumnya) memberikan efek yang menguntungkan.
Mortalitas penyakit dapat direduksi dari 75% menjadi 33%. Ketika revaskularisasi
emergensi dikombinasikan dengan Intra aortic Ballon Pump (IABP), keuntungan
yang didapatkan menjadi lebih baik dan menurunkan angka mortalitas sebesar 13%
setelah diikuti selama 1 tahun dibandingkan dengan tatalaksana obat-obatan saja.

Gambar 3. Target tatalaksana syok kardiogenik terkait patofisiologi yang


mendasarinya3
20

Prinsip tatalaksana syok kardiogenik berdasarkan profil hemodinamik yakni MAP>65


mmHg, tahanan vaskular sistemik berkisar 800-1000 dyn/s/cm -5, cardiac index > 2.5
l/min/m2, laju jantung < 110x/menit, saturasi oksigen vena > 65%, dan laktat < 2
mmol/l.
Penggunaan IABP dikombinasikan dengan terapi trombolitik juga memberikan efek
yang menguntungkan.1-5,12
- Intervensi koroner pada sindrom koroner akut dapat dilakukan dengan terapi
trombolitik, PCI baik emegensi atau rescue, dan operasi bypass emergensi.
- Operasi emergensi dilakukan pada komplikasi mekanik infark miokard akut yakni
ruptur septum atau mitral regurgitasi / aorta regurgitasi yang terjadi akut.
- Operasi emergensi pada diseksi aorta ascending akut.
- Pungsi atau drainase efusi perikardium jika ditemukan tamponade jantung baik
karena proses trauma maupun inflamasi.
- Trombolisis/ fragmentasi trombus/ operasi dilakukan pada kasus emboli paru
fulminan yang akut.
- Tatalaksana adekuat gangguan irama dilakukan jika ditemukan penyebab utama
syok yakni pacemaker temporer pada bradikardi simptomatik, kardioversi, ablasi
emergensi, obat-obat anti aritmia (seperti amiodarone) pada kasus VT, dan preparat
magnesium pada kasus takikardi torsade de pointe.
- Pungsi efusi pleura apabila ditemukan tension pneumothorax.

3.2.1 Perfusi koroner dan sistemik


Hipoperfusi yang terjadi secara kritis menurunkan perfusi koroner dan
memperberat hipoperfusi miokardium yang sudah terjadi. Iskemik miokardium dan
hipoperfusi persisten akan menyebabkan timbulnya lingkaran setan sehingga
memperberat iskemi miokardium yang terjadi. Perfusi koroner optimal pada pasien
penyakit jantung iskemi untuk mencegah iskemi lebih luas pada miokardium akibat
hipoperfusi memerlukan MAP > 70-80 mmHg. Sedangkan, pada pasien syok
kardiogenik dengan penyebab lain seperti myokarditis diperlukan MAP > 65 mmHg.
21

Pada kasus syok kardiogenik, guidelines merekomendasikan untuk menjaga TDS>


100 mmHg, tetapi tidak ada studi yang susbtansial mendukung data ini. 1-6,10,12

Gambar 4. Skema penatalaksanaan syok kardiogenik1

Selanjutnya, walaupun tekanan perfusi tidak secara otomatis


memperbaiki perfusi jaringan, pada syok kardiogenik ini didapatkan bukti
bahwa peningkatan perfusi sistemik dan juga koroner berarti meningkatkan
perfusi jaringan. Baik Vlahakes dan DI Giantomoso menemukan peningkatan
signifikan pada perfusi jaringan miokard ketika diberikan noradrenaline untuk
menatalaksana hippotensi dan meningkatkan tekanan perfusi sistemik sama
baiknya dengan terjadi peningkatan perfusi koroner. 1-6,10
Oksigenasi adekuat, bila perlu intubasi dan ventilasi, apabila harus
dilakukan segera jika ditemukan abnormalitas difusi okesigen. Ventilasi
mekanik diberikan untuk mencegah terjadinya kegagalan pada otot-otot
pernapasan akibat hipotensi yang berlangsung terus menerus. 1-6,10
22

3.2.2 Terapi cairan


Pada situasi yang mengancam jiwa dengan hipotensi dan hipoperfusi
jaringan yang berat, pemberian cairan seperti yang disampaikan Vincent dan
Weil dapat dibenarkan, bahkan pada kasus syok kardiogenik. Volume
pengisian ventrikel kiri harus dioptimalkan dan pada keadaan tanpa adanya
bendungan paru, pemberian cairan sekurang-kurangnya 250 ml dapat
diberikan dalam waktu 10 menit. Akan tetapi, keadaan tersebut harus benar-
benar diteliti karena hanya sekitar 10-15% kasus syok kardiogenik yang
mengalami defisit volume relatif. Begitu juga dengan Michard dkk yang
menyatakan bahwa pada pasien dengan gangguan kontraktilitas yang berat
untuk mencapai volume sekuncup dan tekanan darah yang adekuat perlu
diberikan loading cairan. Selanjutnya, pengawasan yang ketat dan penilaian
yang teliti diperlukan untuk mencegah kelebihan volume intravaskular yang
berbahaya. 1-6,10

3.2.3 Pemperian agen vasopressor dan inotropik


Pada suatu kondisi hipoperfusi yang kritis, norepineprin adalah obat terpilih
lini pertama yang digunakan sebagai vasopressor dibandingkan dengan dopamin
karena memberikan peningkatan perfusi pada ginjal dan jaringan miokard, dan tidak
diperlukan modifikasi dosis karena efek tidak diinginkan terhadap perfusi saluran
cerna dan tiroid. Sakr dkk menemukan bahwa pemberian dopamin atau epineprine
berhubungan dengan tingginya mortalitas ketika dibandingkan dengan dobutamin
atau norepineprin.
Dopamin tetap direkomendasikan sebagai lini pertama tatalaksana syok
berdasarkan European guidelines of STEMI (rekomendasi IIa/C) bila ditemukan
tekanan darah sistolik antara 70-90 mmHg. Selanjutnya, norepineprin (rekomendasi
IIb/B) seharusnya diberikan atau ditambahkan apabila ditemukan tekanan darah
sistolik < 70 mmHg atau jika dosis dopamin > 20 mcg/kg/menit. Namun demikian,
23

beberapa sumber terkini menyatakan bahwa norepineprin lebih dikedepankan sebagai


lini pertama dibandingkan dopamin bila ditemukan penurunan tekanan darah.
Pemberian agen inotropik diindikasikan untuk meningkatkan curah
jantung atau volume sekuncup dan meningkatkan perfusi ke organ vital dan
jaringan perifer pada situasi low output yang mengancam jiwa. 1-6,10,14-17
Kombinasi dopamin dan dobutamin masih menjadi agen terpilih yang
direkomendasikan sebagai standar emas tatalaksana syok kardiogenik. Selama
tekanan sistolik berada pada rentang 80-85 mmHg atau stabil dengan dosis
dopamin (15-20 mcg/kg/menit), dobutamin dapat diberikan untuk
meningkatkan efek inotropik. Oleh karena efeknya yang optimal, norepineprin
seperti dibicarakan di atas dan beberapa publikasi terkini lebih dipilih sebagai
kombinasi dobutamin untuk mencapai efek peningkatan tekanan darah sitolik
> 85 mmHg. Nor epineprin diindikasikan (baik dikombinasikan dengan
dopamin ataupun dobutamin) pada keadaan tekanan darah sistolik < 70
mmHg atau jika tekanan darah sistolik 85-90 mmHg tetapi telah tercapai dosis
dopamin maksimal yakni 20 mcg/kg/menit. Pada kondisi presyok dimana
tekanan darah > 90 mmHg, dobutamin masih divalidasi sebagai lini pertama
obat terpilih yang berutujuan mendukung dan meningkatkan kontraktilitas
jantung untuk mendapatkan perfusi ke jaringan yang adekuat.1-6,10,14-17
Namun demikian, penggunaan agen inotropik ini juga memiliki efek yang tidak
diinginkan dan justru dapat meningkatkan mortalitas sehingga diperlukan
pemahaman secara terperinci mengenai mekanisme kerja masing-masing obat
tersebut. Berikut obat-obat dengan efek vasopressor dan atau inotropik:
A. Norepineprine
Norepineprin merupakan α-agonis, obat ini merangsang
adrenoreseptor-α1 di arteri sehingga menyebabkan vasokonstriksi. Pemberian
norepineprin meningkatkan tekanan darah tanpa mempengaruhi laju jantung.
Namun pada dosis yang besar, nor epineprin memiliki efek pada
adrenoseptor-β1 di jantung yang sama seperti adrenalin.
24

Norepineprin diberikan dalam dosis 0,1-0,2 mcg/kgBB/menit lalu


dititrasi sampai mencapai tekanan darah yang diinginkan. Efek menghilang
setelah 2 menit obat dihentikan. 1-6,10,14-17
Efek yang tidak diinginkan pada pemberian norepineprin adalah
penurunan aliran darah ginjal, meningkatkan tahanan pembuluh darah paru,
kontraksi uterus, asidosis metabolik, dan aritmia. 1-6,10,14-17

Tabel 2. Dosis pemberian norepineprin berdasarkan berat badan10


Norepineprin (16 mcg/ml) tetesan infus (ml/jam)
Berat badan pasien (Kg)
Dosis 40 50 60 70 80 90 100 110
(mcg/kg/menit)
0.03 3 4 4.5 5 6 7 7.5 8
0.05 6 7.5 9 10.5 12 13.5 15 16.5
0.1 9 11 13.5 16 18 20 22.5 25
0.2 12 15 18 21 24 27 30 33
0.3 18 22.5 27 31.5 36 40.5 45 49.5
0.4 24 30 36 42 48 54 60 66
0.5 30 37.5 45 52.5 60 67.5 75 82.5
1.0 150 186 224 260 300 338 375 412
4 mg norepineprin dalam 250 ml D5% (16 mcg/ml)
B. Dopamin
Dopamin merupakan prekursor norepineprin dan meningkatkan
pelepasan norepineprin. Obat ini memberi efek pada sistem kardiovaskular
karena dapat langsung berinteraksi dengan reseptor dopamin adrenergik (DA).
1-6,10,14-17

Dopamin pada dosis kecil (0.5-3.0 mcg/kg/menit) merangsang


reseptor DA di pembuluh darah ginjal, mesentrium dan a.mesentrium serta
a.koroner yang menyebabkan vadosilatasi. Oleh karena itu, selain terjadi
25

diuresis dan natriuresis, akan terjadi peningkatan perfusi ke organ-organ


tersebut. Dopamin pada dosis kecil (3.0-5.0 mcg/kg/menit) merangsang
adrenoreseptor-β di jantung sehingga meningkatkan kontraktilitas miokard
dan laju jantung. Efek inotropik dopamin relatif lebih besar dibandingkan efek
kronotropiknya. Dengan demikian, obat ini menyebabkan kebutuhan oksigen
miokard yang sedikit, meningkatkan TD sistolik tanpa banyak mempengaruhi
TD diastolik. Dopamin pada dosis tinggi (>10 mcg/kg/menit) merangsang
adrenoresptor-α1 di pembuluh darah menyebabkan vasokonstriksi di hampir
semua pembuluh darah, termasuk a.renalis dan mesentrik, juga meningkatkan
1-
kontraktilitas miokard karena terjadi peningkatan pelepasan norepineprin.
6,10,14-17

Tabel 3. Efek dopamin terkait dosis10


Dosis 0.5-3.0 mcg/kg/menit 3.0-5.0 mcg/kg/menit >5 mcg/kg/menit
Mekanisme aksi DA1 β1 5HT dan α1
Meningkatkan Meningkatkan
Meningkatkan curah
Kardiovaskular kontraktilitas frekuensi jantung
jantung
miokard Vasokonstriksi
Meningkatkan
reabsorbsi Na pada
Meningkatkan aliran Efek terhadap aliran
Ginjal tubulus proximal darah ginjal
darah ginjal
Meningkatkan aliran bervariasi

darah ginjal
Efek terhadap aliran
Meningkatkan aliran Meningkatkan aliran
Gastrointestinal darah a. Splanika
darah a. Splanika darah a. Splanika
bervariasi

Tabel 4. Dosis pemberian dopamin berdasarkan berat badan10


Dopamin (1,6 mg/ml) tetesan infus (ml/jam)
Berat badan pasien (Kg)
26

Dosis 40 50 60 70 80 90 100 110


(mcg/kg/menit)
2.5 4 5 6 7 8 8 9 10
5 8 9 11 13 15 17 19 20
7.5 12 14 17 20 23 25 28 30
10 15 19 23 26 30 34 38 39
15 23 28 34 39 45 51 56 59
20 30 38 45 53 60 68 75 79
400 mg dalam 250 ml D5% atau NaCl 0.9%

C. Dobutamin
Dobutamin merupakan agonis-β yang poten tetapi tidak terlalu
menurunkan resistensi perifer sehingga tidak menyebabkan refleks takikardi.
Jadi obat ini meningkatkan curah jantung, menurunkan tekanan a.pulmonalis
(dilatasi a.pulmonalis akibat perangsangan adrenoreseptor-β2 di
a.pulmonalis), namun tidak terlalu meningkatkan laju jantung (efek inotropik
melebihi kronotropik). Dibandingkan dengan dopamin, pada dosis yang
memberi efek inotropik yang sama, dobutamin kurang meningkatkan laju
jantung. 1-6,14-17
Tabel 5. Dosis pemberian dobutamin berdasarkan berat badan10
Dobutamin (2 mg/ml) tetesan infus (ml/jam)
Berat badan pasien (Kg)
Dosis 40 50 60 70 80 90 100 110
(mcg/kg/menit)
2.5 3 4 4.5 5 6 7 7.5 8
5 6 7.5 9 10.5 12 13.5 15 16.5
7.5 9 11 13.5 16 18 20 22.5 25
10 12 15 18 21 24 27 30 33
15 18 22.5 27 31.5 36 40.5 45 49.5
20 24 30 36 42 48 54 60 66
27

25 30 37.5 45 52.5 60 67.5 75 82.5


D. Phospodiesterase-inhibitors (PDE-I)
Phospodiesterase-nhibitorstidak memiliki efek yang diinginkan jika
dibandingkan dengan dobutamin, dengan pengecualian pada pasien yang rutin
mengkonsumsi obat penyekat beta dan pasien tidak mentoleransi pemberian
dobutamin. PDE-inhibitors menghambat penguraian cAMP dengan efek
inotropik dan vasodilatasi. Obat ini memiliki efek menurunkan afterload dan
meningkatkan cardiac index. Namun demikian, pada beberapa uji klinik
didapatkan PDE-inhibitor tipe III (enoximone dan milrinone) berhubungan
dengan peningkatan mortalitas. 1-6,14-17
Enoximone memiliki waktu paruh 3-8 jam, terikat sebesar 70%
dengan protein, dimetabolisme di hati dan diekskresikan melalui urin.
Diberikan melaluin infus dengan dosis awal 90mcg/kg/menit selama 10-30
menit dilanjutkan 5-20 mcg/kg/menit. Dosis maksimal 24 mg/kg/menit dalam
24 jam. 1-6,14-17
Milrinone memiliki waktu paruh 2-3 jam dan terikat sebesar 70%
dengan protein, dieliminasi melalui urin. Obat ini diberikan melalui infus
dengan dosis awal 50 mcg/kg/menit dilanjutkan 5-20 mcg/kg/menit dengan
dosis maksimum 1,13 mg/kg selama 24 jam.1-6,14-17
E. Levosimendan
Obat yang relatif baru yakni Levosimendan, sebuah agen calsium
sensitizer, telah menunjukkan hasil yang diharapkan dalam penatalaksanaan
gagal jantung yang berat. Beberapa studi menemukan penurunan mortalitas
secara signifikan pada pasien sindroma gagal jantung akut yang ditatalaksana
dengan agen baru ini dibandingkan dengan dobutamin. Levosimendan tidak
hanya memiliki efek yang tepat pada disfungsi sistolik dibandingkan dengan
dobutamin tetapi juga meningkatkan fungsi diastolik seperti juga pada gagal
jantung kanan. Akan tetapi, studi SURVIVE dan RUSSLAN hanya dapat
28

menemukan efek baik Levosimendan dibandingkan dobutamin pada subgrup


gagal jantung kronik eksaserbasi akut dan gagal jantung akut sebagai
komplikasi infark miokard akut. 2,5,10,18
Levosimendan dapat digunakan sebagaimana dobutamin yang memiliki efek
inotropik positif pada syok kardiogenik dengan penurunan tekanan darah sistolik < 85
mmHg, juga dapat dikombinasikan dengan norepineprin sebagaimana rekomendasi
beberapa sumber lainnya. Sebagaimana yang dinyatakan sebelumnya bahwa
perburukan hipotensi dan hipoperfusi harus dihindari. Pemulihan volume
intravaskular dengan pemberian cairan dapat mencegah komplikasi dari hipoperfusi
dan begitu juga dapat dipertimbangkan pemberian Levosimendan. Obat ini selain
memiliki efek inotropik juga menurunkan tekanan baji pulmoner. 1,2,5,10,18
Levosimendan adalah golongan obat calcium-sensitizing yang bekerja
sebagai agen inotropik dengan stabilisasi troponin C pada susunan yang
meningkatkan sensitivitas kalsium pada myofilamen jantung. Kemudian,
Levosimendan juga menyebabkan vasodilatasi melalui penghambatan
pembukaan kanal kalsium yang terkait ATP. Oleh karena kedua efek yang
dimiliki, obat ini dikenal dengan inodilator, Obat ini diberikan dengan dosis
awal 12-24 mcg/kg selama 10 menit dilanjutkan rumatan drip dengan
kecepatan 0.05-0.2 mcg/kg/menit ditirasi hingga mencapai respon yang
diharapkan.1,2,5,10,18
3.2.4 Intra-aortic ballon counter pulsation
Sebuah IABP tersusun dari 30-50 ml helium yang memenuhi balon,
ditempatkan di aorta descenden, dan dihubungkan ke sebuah pompa pneumatik.
Penegembangan balon meningkatkan tekanan pada fase diastolik sehingga
menghasilkan perbaikan perfusi koroner dan serebral. Sedangkan pengempisan balon
menurunkan afterload dan reistensi vaskular perifer dan meningkatkan isi sekuncup.
Namun demikian, tidak seperti agen inotropik, IABP tidak meningkatkan kebutuhan
oksigen miokard. Califf dkk menjumpai bahwa IABP ini menjadi komponen standar
dalam tatalaksana syok kardiogenik. IABP memberikan efek suportif pada
29

hemodinamik dan sangat penting terutama dengan meningkatkan aliran darah ke


koroner. Penggunaan IABP ini terbukti efektif memberikan efek stabilisasi dini pada
pasien syok kardiogenik, meningkatkan outcome, dan menurunkan mortalitas bahkan
apabila hanya menjadi agen tunggal.2,19,20
Beberapa efek IABP diantaranya adalah:2,7,19,20
- Menurunkan after load
- Meningkatkan tekanan diastolik untuk perfusi koroner
- Meningkatkan curah jantung
- Meningkatkan aliran darah ke koroner.
IABP direkomendasikan (evidence class I, level B) untuk keadan berikut:2,19,20
- Syok kardiogenik yang refrakter sebagai komplikasi infark miokard akut,
khususnya sebelum dilakukan transfer ke pusat pelayanan jantung yang
memadai
- Setelah operasi jantung
- Angina refrakter
- Indikasi lain seperti syok kardiogenik akibat aritmia maligna
- Regurgitasi mitral yang berat atau ruptur septum ventrikel
30

Gambar. 5 Intra-aortic ballon counter pulsation pada fase sistolik dan diastolik1

3.3 Tatalaksana tambahan


3.3.1 Reaksi inflamasi sistemik
Sebuah reaksi inflamasi sitemik dapat terjadi tidak hanya pada syok sepsis
tetapi juga pada syok kardiogenik. Keh dkk mendapatkan bahwa hidrocortison
menghasilkan suatu efek menguntungkan pada respon inflamasi syok sepsis sehingga
pemberian hidrocortison dan fludrocortison dapat menghasilkan penurunan
mortalitas, mungkin juga menatalaksana insufisiensi adrenal relatif. Penggunaan
steroid pada kondisi kritis seperti pada pasien syok sepsis saat ini telah
direkomendasikan. Pada sebuah kasus pasien yang menderita pneumonia komunitas
dengan respon reaksi inflamasi sistemik didapatkan perbaikan dengan pemberian
hidrocortison dosis rendah dan menurunkan masa perawatan dan mortalitas. Hal ini
juga ditemukan pada pasien yang mengalami respon reaksi inflamasi sistemik setelah
operasi kardiothorak. Namun demikian, tatalaksan pemberian hidrocortison dosis
rendah (200-300 mg/hari) diberikan pada kasus syok kardiogenik yang resisten
terhadap obat-obatan standar meskipun belum ada validasi dari penelitian dengan
studi yang besar.1-6

3.3.2 Fungsi ginjal


Disfungsi ginjal diketahui berhubungan erat dengan sindrom gagal jantung
akut pada sebagian besar kasus, dan apabila ditemukan maka dapat merupakan suatu
tanda prognosis yang buruk. Hubungan disfungsi ginjal dapat disebabkan langsung
oleh gangguan fungsi jantung tetapi juga secara tidak langsung melalui mekanisme
neurohormonal. Nefropati vasomotor ini bersifat sementara, disebabkan
vasokonstriksi arteriole aferen yang terjadi baik sebagian maupun sepenuhnya
disebabkan perubahan hemodinamik atau aktivas neurohormonal yang abnormal.2-4
Oleh karena itu, perbaikan pada sirkulasi yang terjadi pada syok kardiogenik
secara langsung juga memperbaiki fungsi ginjal. Hal yang perlu diperhatikan adalah
31

kecukupan volume intravaskular dengan tekanan perfusi yang adekuat (MAP > 70-80
mmHg).1-2
Apabila belum didapatkan diuresis yang adekuat setelah perbaikan status
volume intravaskular dan tekanan darah yang optimal, maka dipertimbangkan
pemberian diuresis (pemberian secara bolus). Apabila terjadi oliguria hingga anuria
persisten atau peningkatan serum kreatinin > 1,5 kali dari nilai batas atas normal
menandakan telah terjadinya gangguan ginjal akut dan memiliki prognosis yang
buruk, selanjutnya dapat dipertimbangkan drip furosemid atau kombinasi furosemid
dan metolazone. Namun demikian, pemberian furosemid harus hati-hati karena dapat
memperburuk kondisi yang telah ada.1-4
Oleh karena itu, tatalaksana terhadap oliguria / anuria yang terjadi persisten
dapat dipertimbangkan continous renal replacement therapy (CRRT). Metode ini
memiliki “neutral haemodynamic behaviour” dengan hanya memiliki efek minimal
terhadap MAP yang penting terutama pada kelebihan cairan. CRRT juga
menyebabkan eliminasi susbtansi racun dari jantung paru yang berhubungan dengan
miokard.1-4

3.3.3 Kompensasi asidosis


Pada kondisi syok, asidosis metabolik dapat juga terjadi karena peningkatan
serum laktat pada respon hipoperfusi perifer. Sistim buffer seharusnya juga
dipertimbangkan pada keadaan pH < 7,1 atau terdapat bukti bahwa pengobatan
vasopressor dan inotropik tidak efektif karena adanya penurunan pH dan harus
ditatalaksana dengan target pH 7,2-7,25. Keputusan untuk menggunakan agen buffer
masih kontroversial dan beberapa peneliti belum menyatakan setuju bahwa sistim ini
bermanfaat. Namun demikian, apabila buffer merupakan hal penting pada bukti
terkini maka penggunaan tromethamin sebaiknya lebih dipilih dibandingkan
pemberian bikarbonat. Pada pasien dengan ventilasi mekanik, pemberian
hiperventilasi yang ringan dapat membantu mengurangi keadaan asam yang
dikompensasi oleh karbon dioksida.2,3
32

3.3.4 Terapi antikoagulan


Pasien dengan syok kardiogenik seharusnya diberikan antikoagulan untuk
mencegah terjadinya disseminated intravascular coagulation (DIC) atau kejadian
tromboemboli. Akan tetapi, beberapa penelitian menyatakan pemberian
unfractionnated heparin 500-800 IU/jam pada pasien syok kardiogenik. Bahkan
sebagai profilaksis, dapat diberikan dosis sebesar 5000 IU dengan frekuensi 3 kali per
hari, atau dapat diberika low molecular weight heparin (LMWH).2-4
BAB IV
SIMPULAN

Pasien syok kardiogenik memiliki karakteristik berupa terjadinya


hipoksia jaringan secara global dan terjadi disfungsi organ lain sebagai
komplikasi disfungsi miokard dengan hiposirkulasi sistemik.
Karakteristik gambaran klinik dari hipoperfusi berupa pucat, akral
lembab dan dingin, perubahan status mental, oliguria (<30 ml/jam), dan
kongesti paru. Hipotensi arterial (TD sistolik < 90 mmHg) merupakan salah
satu kriteria syok kardiogenik namun bukan parameter baku dan TD sistolik
>90 mmHg pun belum tentu mengeksklusinya oleh karena adanya keadaan
pre syok. Syok kardiogenik dipikirkan terjadi pada semua pasien yang
terdapat tanda-tanda hipoperfusi jaringan yang merupakan tanda disfungsi
jantung yang berat dan tidak semata-mata dilihat adanya penurunan tekanan
darah.
Iskemi miokard yang terjadi baik akut maupun kronik merupakan
penyebab dasar pada sebagian besar kasus (>75% kasus). Syok kardiogenik
merupakan komplikasi pada 5-10% kasus infark miokard akut, lainnya berupa
penyakit jantung katup, efek obat inotropik negatif, dan infeksi akut seperti
miokarditis bahkan sepsis. Patofisiologi syok ini melibatkan kehilangan
kekuatan pompa jantung yang belangsung cepat, ditambah adanya penurunan
33

komponen tekanan diastolik yang seharusnya dikompensasi melalui aktivasi


neuroendokrin dan sistim saraf simpatis berupa retensi cairan dan
vasokonstriksi sistemik. Hal baru pada patofisiologi syok kardiogenik adalah
adanya peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik yang terjadi sebagai
kompensasi reaksi inflamasi sitemik pada syok kardiogenik.
Hal mendasar dalam tatalaksana syok kardiogeni pada pasien infark
miokard akut adalah mempertahankan perfusi yang adekuat. Mortalitasnya
dapat dikurangi dari 75% menjadi 33% dengan pembukaan sumbatan
pembuluh darah melalui PCI atau pun dikombinasikan dengan IABP yang
dapat mereduksi mortalitas sebesar 13% dalam satu tahun terakhir
dibandingkan agen farmakologi saja.
DAFTAR PUSTAKA

1. Alwi I, Nasution S. A. Syok kardiogenik. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo A. W,


Simadibarata M, Setiyohadi B, Syam A. F, editors. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jakarta: Internal publishing; 2015. p. 4117-23.
2. Kruger W, Ludman A. Acute heart failure. Acute heart failure. In: Kruger W,
editor. Cardiogenic shock. 2nd edition. New york: Springer. 2017. p.163-87.
3. Matassini M, Piangerelli L, Shkoza M. Cardiogenic shock. In: Capucci A,
editor. Clinical cases in cardiology. New york: Springer; 2015. p.95-106.
4. Thiele H, Zeymer U. Cardiogenic shock in patient with acute coronary
syndrome. In: Tubano M, Vrancicx, editors. Intensive and acute
cardiovascular care. 2nd edition. Oxford: Oxford University Press; 2015.
p.441-8.
5. Ingbar D, Hochman J.S. Cardiogenic shock and pulmonary edema. In:
Loscalzo, editor. Harrison’s cardiovascular medicine. New york: McGraw-
Hill; 2013. p.205-9.
6. Benedek T, Dobreanu D. Current concepts and new trends in the treatment of
cardiogenic shock complicating acute myocardial infarction. The journal of
critical care medicine: 2015; 1(1): 5-10.
34

7. Deo, Cannon, Lemos D. Cardiogenic shock. In: Rosendorff C, editor.


Essential cardiology. Principle and practice. 3nd edition. New Jersey: Humana
press; 2015. p.513-4.
8. Kimmoun A, Levy B. Pathophysiology of shock. In: Webb A, Angus D,
Finfer S, Gattinoni L, Singer M, editors. Oxford: Oxford university press;
2016. p.696-9.
9. Spevetz, Parillo J. E. Diagnosis and management of shock in the ICU. In:
Webb A, Angus D, Finfer S, Gattinoni L, Singer M, editors. Oxford: Oxford
university press; 2016. p.700-3.
10. Hesenfuss G, Teerlink J. R. Inotropes and vasopressor. In: Gardner R. S,
McDonagh T. A, Walker N. L, editors. Heart failure. United kingdom: Oxford
university press; 2014. p.431-40.

11. Ferrari M. W. Treatment options in cardiogenic shock with inta-aortic ballon


counterpulsation. European medical journal. 2017; 2(3): 54-62.
12. Issac L. E, Fugar S, Yamani N, Mohamedali B. Acute heart failure
exacerbation with cardiogenic shock and elevated systemic vascular resistance
treated a combination of nicardipine and dobutamine therapy. Case report in
cardiology. 2017; 5(7): 1-3.
13. Cecconi M, Backer D. D, Antonelli M, Beale R, Hofer C, Jaeschke R, et al.
Consensus on circulatory shock and hemodynamic monitoring. Task Force of
the European Society of Intensive Care Medicine. Intensive care medicine
journal. 2014: 40; 1795-1815.
14. Romandini A, Maffei S. Acute heart failure and pulmonary edema: Inotropes
and vasopressors. In: Capucci A, editor. Clinical cases in cardiology. New
york: Springer; 2015. p.776-7.
15. Claessen B.E, Ouweneel D, Henriques J. The management of cardiogenic
shock and hemodynamics support devices and techniques. In: Dangas G. D,
Di Mario C, Kipshidze N, editors. Interventional cardiology principle and
practice. 2nd edition. New york:2017. Wiley Blackwell. p.163-6.

16. Bangash M. N, Kong M, Pearse R. M. Use of inotropes and vasopressor


agents in critically ill patients. Br J Pharmacol 2012: 165(7): 2015-33.
35

17. Tarvasmaki T, Lassus J, Varpula M, Sionis A, Sund R, Kober L, et al. Current


real-life use of vasopressor and inotropes in cardiogenic shock-adrenaline use
is associated with excess organ injury and mortality. Crit Care J. 2016: 20;
208.
18. Huang X, Lei S, Zhu M, Jiang R, Huang L, Xia G, Zhi Y. Levosimendan
versus dobutamine in critical ill patients: a metanalysis of randomized
controlled trial. Journal of Zhejiang university Science: 2013. p.1-6.
19. Ahmad Y, Sen S, Shun-shin MJ, Aouyang J, Finegold A, Al-Lamee RK, et al.
Intra-aortic ballon pump therapy for acute myocardial infarction: A meta
analysis. JAMA Intern Med. 2015: 175(6); 931-9.
20. Fuernau G, Thiele H. Intra-aortic ballon pump (IABP) in cardiogenic shock.
Curr Opin Crit Care. 2013: 19(5); 404-9.

Anda mungkin juga menyukai