Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

DOKTER INTERNSHIP

UNSTABLE ANGINA
PECTORIS

Disusun Oleh:

dr. Andri Mahadi

RSUD Mandau

Dokter Pendamping:

dr. Safridawati

dr. Nur Ikhwani

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KECAMATAN MANDAU

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

2022
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 PENDAHULUAN ...................................................................... 2

BAB II STATUS PASIEN


2.1 STATUS PASIEN ...................................................................... 4
2.2 RESUME .................................................................................... 7
2.3 DIAGNOSA ............................................................................... 7
2.4 PENATALAKSANAAN............................................................ 8
2.5 PROGNOSIS .............................................................................. 8

BAB III TINJAUAN PUSTAKA


3.1. DEFINISI.................................................................................... 9
3.2. EPIDEMIOLOGI........................................................................ 9
3.3. KLASIFIKASI ................................................................................... 9
3.4. PATOFISIOLOGI .................................................................... 12
3.5. DIAGNOSIS ............................................................................. 13
3.6. PENATALAKSANAAN.......................................................... 15
3.7. KOMPLIKASI.......................................................................... 20
3.8. PROGNOSIS ............................................................................ 21

1
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyakit yang disebabkan oleh kelainan

pembuluh koroner yang salah satu manifestasinya adalah sindrom koroner akut (SKA).

Sindroma koroner akut merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan gejala

akibat infark miokard akut (IMA) yang terdiri dari angina pektoris tidak stabil (UAP), infark

miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) dan infark miokard dengan elevasi segmen ST

(STEMI). Keadaaan ini merupakan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan secepatnya

karena sering menyebabkan kematian.1,2

Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama

karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi. 2 Sindrom

koroner akut masih menjadi penyebab kematian terbesar di dunia. Penyakit kardiovaskular

menyebabkan 17,7 juta kematian atau sekitar 31% dari seluruh penyebab kematian di dunia,

7,4 juta akibat penyakit jantung koroner. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan

penyebab terbesar penyakit kardiovaskular, diperkirakan pada tahun 2020 menjadi penyebab

utama dari seluruh kematian yaitu sebesar 36%.3

Prevalensi penyakit jantung berdasarkan data Riskesdas 2018 menunjukkan di

Indonesia sebesar 1,5%, dengan peringkat prevalensi tertinggi (WEB) Provinsi Kalimantan

Utara 2,2%,DIY 2%, Gorontalo 2%. Berdasarkan jenis kelamin, Prevalensi PJK lebih tinggi

pada perempuan (1,6%) dibandingkan pada laki-laki (1,3%). Jika dilihat dari tempat tinggal,

penduduk perkotaan lebih banyak menderita Penyakit Jantung dengan prevalensi 1,6%

dibandingkan penduduk perdesaan yang hanya 1,3%. Sample Registration System

(SRS) Indonesia tahun 2014 menunjukkan PJK merupakan penyebab kematian tertinggi kedua

setelah stroke, yaitu sebesar 12,9% dari seluruh penyebab kematian tertinggi di Indonesia.4

2
Penatalaksanaan dari sindrom koroner akut sangat penting untuk mencegah kematian,

perawatan terhadap pasien infark miokard ditujukan untuk meminimalkan keluhan dan stres

serta untuk membatasi perluasan kerusakan miokard.5

3
BAB II

STATUS PASIEN
2.1 Status Pasien

Data Pasien: Nama: Ny. L (49 tahun) Nomor RM: 207368


Data utama untuk bahan diskusi
1. Diagnosis/Gambaran Klinis
(autoanamnesis: pasien)

Pasien masuk dengan keluhan nyeri dada kiri, nyeri dada dirasakan seperti
terhimpit, nyeri dirasakan menjalar ke lengan dan punggung kiri, nyeri dirasakan
selama lebih dari 20 menit, nyeri muncul tiba-tiba saat pasien sedang beristirahat,
keluhan baru pertama kali dirasakan pasien, keluhan sesak (-), mual (-), muntah (-).
Pasien lalu dibawa ke IGD RSUD Mandau, pasien lalu didiagnosis dengan unstable
angina pectoris, dan dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar kalium
pasien rendah, pasien lalu dirawat di bangsal penyakit dalam untuk perbaikan
keadaan umum. 1 hari rawatan keluhan nyeri dada pasien sudah hilang dan setelah
cek elektrolit ulang didapatkan kadar kalium pasien sudah mulai normal, dan dari
hasil visite DPJP pasien sudah diperbolehkan pulang.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa (-)
Riwayat hipertensi (+) sejak 5 tahun lalu, rutin kontrol
Riwayat diabetes mellitus (-)
3. Riwayat Keluarga
Riwayat diabetes melitus disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
4. Riwayat pekerjaan dan pendidikan
Pasien bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga. Pendidikan terakhir pasien adalah SMA.
Biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS.

4
5. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum: sakit sedang
b. Kesadaran: E4V5M6
c. Tanda vital:
 Tekanan darah: 130/80 mmHg
 Nadi: 70 x/menit
 Respirasi: 20x/menit
 Suhu : 36,50C
d. Kepala: Mesosefal
e. Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
f. Leher: Kelenjar getah bening dan tiroid tidak membesar
g. Thorax: retraksi (-), simetris kanan-kiri
h. Paru:
Inspeksi: Pengembangan dinding simetris
Palpasi: fremitus teraba kanan-kiri sama
Perkus : sonor/sonor
Auskultasi: suara dasar vesikuler (+/+), rhonki (-/-)

i. Jantung
Inspeksi: iktus kordis tidak tampak
Palpasi: iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi: batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi: Bunyi jantung I dan II reguler, intensitas normal, bising (-)

j. Abdomen:
Inspeksi: dinding perut dan dinding dada simetris
Auskultasi: bising usus (+), dalam batas normal 12x/menit
Perkusi: timpani (+)
Palpasi: supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar
k. Ekstremitas: edema (-), akral hangat, capillary refill <2”

5
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium :
Darah rutin : (02/12/2022)
Leukosit : 9.080 (N: 4500-11.000)
Hemoglobin : 12,4 (N: 12-16)
Hematokrit : 36,9 (N: 38-47)
Trombosit : 297.000 (N: 150.000-440.000)
Glukosa sewaktu: 100 mg/dL

ELEKTROLIT
Natrium : 141 (N:135-148)
Kalium : 2,9 (N: 3,5-5,3)
Klorida : 103 (N: 98-107)

FUNGSI GINJAL
Ureum : 44 (N:10-50)
Kreatinin: 0,4 (N: 0,5-0,9)
IMUNOLOGI
Troponin I: < 0,1 (N: < 2)

ELEKTROLIT (03/12/2022)

Natrium : 142 (N:135-148)


Kalium : 3,0 (N: 3,5-5,3)
Klorida : 102 (N: 98-107)

EKG
Kesan: ST elevasi (-), ST depresi (-), T inverted di lead V2-V5

6
2.2 Resume
Anamnesis
Pasien masuk dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri, nyeri dada dengan sifat khas
angina.

Pemeriksaan laboratorium di IGD didapatkan pasien hypokalemia.

Pasien dirwat di bangsal penyakit dalam untuk perbaikan keadaan umum

1 hari rawatan, keluhan nyeri dada pasien sudah hilang, kadar kalium pasien sudah
membaik, pasien diperbolehkan pulang atas persetujuan DPJP

Riwayat Penyakit Dahulu: Hipertensi (+)

Pemeriksaan fisik

Keadaan umum: sakit sedang

Kesadaran:

E4V5M6

Tekanan darah: 130/80 mmHg

Pemeriksaan Penunjang

Kalium : 3,0 (N: 3,5-5,3)


EKG: T inverted di lead V2-V5

2.3 Diagnosis
Unstable angina pectoris
Hipokalemia

7
2.4 Penatalaksanaan

 IVFD NaCl 0,9 % 20 tpm


 Injeksi Lasix 1x10 mg
 Injeki omeprazole 2x40 mg
 NKR 2x2,5 mg
 KSR 3x600 mg
 CPG 1x75 mg
 Atorvastatin 1x20 mg
 Concor 1x2,5 mg
 Candesartan 1x16 mg

2.5 Prognosis

- Quo ad Vitam : dubia ad bonam

- Quo ad Functionam : dubia ad bonam

- Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

8
BAB III
Tinjauan Pustaka

3.1 Definisi

Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyakit jantung iskemik akibat kurangnya

suplai oksigen ke otot-otot jantung. Kondisi ini disebabkan oleh penyempitan atau sumbatan oleh

plak di pembuluh darah koroner yang diketahui sebagai aterosklerosis arteri koronaria. 6 Plak berupa

campuran lemak, kolesterol dan timbunan kalsium akan menumpuk di arteri selama bertahun-tahun.

Seiring waktu, plak akan menyebabkan penyempitan/stenosis dan pengerasan arteri koroner dengan

akibat penurunan suplai darah.7

3.2 Epidemiologi

Berdasarkan data American Heart Association (AHA) pada tahun 2018, prevalensi penyakit

jantung koroner pada usia di atas 20 tahun berjumlah 16,5 juta dan 55% diantaranya adalah laki-laki.

World Health Organization (WHO) melaporkan sekitar 9 juta kematian pada tahun 2016 di sebabkan

oleh penyakit jantung iskemik.8

Data dari Riskesdas (2018), prevalensi penyakit jantung di Indonesia berdasarkan diagnosis

dokter sebesar 1,5%. Berdasarkan prevalensi tersebut, angka tertinggi terdapat di provinsi

Kalimantan utara (2,2%) dan terendah di provinsi Nusa tenggara timur (0,7%). Berdasarkan jenis

kelamin, prevalensi penyakit jantung tertinggi pada perempuan 1,6% sedangkan pada laki-laki

1,3%.9

3.3 Klasifikasi

Penyakit jantung coroner terdiri dari Stable Ischemic Heart Disease (SIDH) dan Acute

Coronary Syndrome (ACS) atau juga dikenal sebagai Sidroma Koroner Akut. 10

1. Stable Ischemic Heart Disease (SIDH)

SIDH muncul sebagai Angina Pectoris Stabil (APS). APS biasanya muncul sebagai nyeri

dada substernal atau tekanan yang memburuk dengan pengerahan tenaga atau stres emosional dan

berkurang dengan istirahat atau nitrogliserin dan berlangsung dalam durasi 2 bulan.10
9
Keluhan utama APS adalah nyeri dada stabil, karakteristik nyeri dada pada APS dibagi atas

angina tipikal, angina atipikal dan nyeri dada non-angina. Angina tipikal didefinisikan sebagai nyeri

dada yang memenuhi ketiga karakteristik berikut:

 Rasa tidak nyaman pada substernal dada dengan kualitas dan durasi tertentu

 Diprovokasi oleh aktivitas fisik dan stres emosional

 Hilang setelah beberapa menit istirahat dan atau dengan nitrat

Angina atipikal memiliki dua dari tiga karakter di atas, nyeri dada non-anginal hanya

memiliki satu atau tidak memiliki satu pun dari ketiganya. Angina atipikal dapat memiliki

karakteristik dan lokasi yang sama dengan angina tipikal, juga responsif terhadap nitrat, namun

tidak memiliki faktor pencetus. Nyeri seringkali dimulai saat istirahat dari intensitas rendah,

meningkat secara gradual, menetap maksimal hingga 15 menit, kemudian berkurang intensitasnya.

Gambaran karakteristik ini harus mengingatkan klinisi pada kemungkinan vasospasme koroner.

Gejala angina atipikal lainnya adalah nyeri dada dengan lokasi dan kualitas angina, yang dicetuskan

oleh aktivitas dan tidak berpengaruh terhadap nitrat. Gejala ini seringkali timbul pada pasien dengan

angina mikrovaskular.10

Nyeri dada non-angina memiliki karakteristik kualitas yang rendah, meliputi sebagian kecil

hemithorax kanan atau kiri, bertahan selama beberapa jam atau bahkan hari. Nyeri non - angina ini

biasanya tidak hilang dengan nitrat. Penyebab non-kardiak harus dievaluasi pada kasus-kasus ini.11

Klasifikasi yang dibuat oleh Canadian Cardiovascular Society (CCS) dapat digunakan

untuk menilai derajat severitas angina stabil.

Tabel 1. Klasifikasi Berdasarkan Canadian Crdiovaskular Society (CCS)11

Kelas I Aktivitas biasa tidak menyebabkan angina, seperti berjalan atau

naik tangga. Angina muncul dengan mengejan atau aktivitas cepat

dan lama saat bekerja atau olahraga.

10
Kelas II Sedikit pembatasan pada aktivitas biasa. Angina saat berjalan

cepat atau naik tangga, berjalan atau naik tangga setelah makan

atau pada cuaca dingin, angina pada stress emosional, atau hanya

beberapa jam setelah bangun tidur. Berjalan lebih dari dua blok

atau menanjak lebih dari satu tangga pada kecepatan dan kondisi

normal.

Kelas III Pembatasan yang jelas pada aktivitas fisik biasa. Angina muncul

saat berjalan satu atau dua blok, naik satu lantai pada kondisi dan

kecepatan normal.

Kelas IV Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas fisik tanpa rasa tidak

nyaman, angina dapat timbul saat istirahat.

Penting untuk diingat bahwa sistem nilai ini secara eksplisit memperlihatkan bahwa nyeri

pada saat istirahat (rest pain) dapat muncul pada semua kelas sebagai manifestasi vasospasme

koroner. Kriteria berdasarkan CCS ini digunakan untuk menunjukkan keterbatasan aktivitas

maksimum harian pasien.10,11

2. Sindroma Koroner Akut (SKA)

Sindroma koroner akut merupakan beberapa gejala klinis iskemia miokard yang terjadi

secara tiba-tiba akibat kurangnya aliran darah ke miokard yang termanifestasi sebagai angina,

perubahan segmen ST pada elektrokardiografi, dan peningkatan kadar biomarker kardiak. SKA

terdiri dari tiga kelompok yaitu angina pektoris tidak stabil/ APTS (unstable angina (UA)), non-ST-

segmen elevation myocardial infarction (NSTEMI), dan ST segmen elevation myocardial infarction

(STEMI).12

11
1) Angina Pektoris Tidak Stabil

Obstruksi sebagian dan belum terjadi kerusakan miokardium sehingga biomarker jantung

tidak dapat terdeteksi. Berbeda dengan yang bersifat stabil, angina pectoris tidak stabil dapat terjadi

saat istirahat dan berdurasi lebih panjang, biasanya lebih dari 20 menit. Nyeri tidak dapat mereda

hanya dengan istirahat. Pada EKG dapat terlihat ST depresi atau inversi pada gelombang T, dan

nilai biomarker serum (troponin) normal. Pasien dengan unstable angina akan mengalami nyeri dada

saat aktivitas berat namun kemudian masih tetap berlangsung saat istirahat. Ini adalah tanda akan

terjadi Infark Miokard akut . Unstable angina dan Infark Miokard akut merupakan sindrom koroner

akut karena ruptur dari atherosclerotic plak pada pembuluh darah koroner. 12

2) Non STEMI Akut (Acute Non ST Elevated Myocardial Infarction/ NSTEMI)

Infark Miokard non ST-elevasi (NSTEMI) terjadi oklusi yang tidak menyeluruh dan tidak

melibatkan seluruh miokardium, proses thrombosis akut diawali dengan rupturnya plak yang tidak

stabil. Plak tidak stabil memiliki ciri yaitu inti lipid banyak, otot polos densitas rendah dan fibrous

cap tipis. NSTEMI menyebabkan enzim jantung mengalami peningkatan sehingga pada

pemeriksaaan EKG tidak ditemukan adanya elevasi segmen ST tetapi terlihat ST depresi atau

inversi pada gelombang T, dan nilai biomarker serum (troponin) meningkat atau menurun.12

3) STEMI Akut (Acute ST Elevated Myocardial Infarction/STEMI)

Pada Infark Miokard Akut ST-elevasi (STEMI) terjadi oklusi total arteri koroner, penurunan

suplai atau berhenti secara mendadak sehingga menyebabkan daerah infark yang lebih luas meliputi

seluruh miokardium, yang pada pemeriksaan EKG ditemukan adanya elevasi segmen ST atau

gelombang Q (pada keadaan lanjut), dan nilai biomarker serum (troponin) meningkat. 12

3.4 Patofisiologi

Arterosklerosis adalah proses kronik yang progresif dan terjadi diam-diam, dikarakteristikkan

dengan akumulasi lemak, elemen fibrosa, dan molekul inflamatori pada dinding arteri besar. 13

Proses ini dimulai dengan dikeluarkannya kolesterol low-density lipoprotein (LDL) terhadap ruang

subendotelial, yang kemudian dapat dimodifikasi dan dioksidasi oleh beberapa agen.13

12
Partikel LDL yang sudah teroksidasi atau termodifikasi ini merupakan molekul kemotaktik yang

poten dan dapat merangsang ekspesi dari molekul adhesi sel vaskuler dan molekul adhesi

interselular pada permukaan endotel dan menyebabkan adhesi monosit dan migrasi ke ruang

subendotelial. Monosit berdiferensiasi menjadi makrofag si tunika intima media. 13 akhir-akhir ini

telah ditemukan beberapa subset monosit baru, dan peranannya yang berbeda jika merjuk pada fase

arterosklerosis. Makrofag mengikat LDL teroksidasi melalui reseptor scavenger untuk kemudian

menjadi sel busa (foam cells) dan juga memiliki fungsi proinflamasi, termasuk melepaskan sitokin-

sitokin seperti interleukin dan tumor necrosis factor. Hasil akhir dari proses ini adalah lesi

arterosklerosis tipe pertama, seperti lapisan lemak, dimana sel busa muncul di ruang subendotelial. 13

Dari penelitian yang dilakukan melalui otopsi, ruptur plak merupakan penyebab paling

uama dan menyebabkn thrombosis koroner yang letal. Mechanism lain yang dapat menyebabkan

thrombosis koroner yang fatal yaitu erosi superfisial, perdarahan intraplak, dan erosi dari nodul

terkalsifikasi. Ruptur plak menyebabkan dua dari tiga kasus thrombosis koroner yang fatal. 14 pada

populasi tertentu seperti pada penderita diabetes, dan wanita timbul erosi superfisial sebagai

mekanisme dari plak dan thrombosis. Erosi dari nodul kalsium juga dapat menimbulkan gangguan

plak dan thrombosis. Sebagai tambahan, pembuluh darah mikro yang rapuh pada dasar plak

arterosklerosis dapat ruptur dan menyebabkan perdarahan intraplak. Keberadaan thrombin lokal

mengakibatkan stimulasi proliferasi SMC, migrasi, dan sintesis kolagen, menjadikan terrbentuknya

fibrosis dan pelebaran plak secara subakut.14

3.5 Diagnosis

Anamnesis pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis

secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada

yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan.

Tanyakan pula adakah riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor risikonya antara lain

hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung koroner pada

keluarga. Hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas

fisik berat, stress, emosi atau penyakit medis atau bedah. 11,12

13
Walaupun SKA dengan STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian

dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur. Bila dijumpai pasien dengan

nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah pasien menderita IMA atau tidak.

Diagnosis yang terlambat atau yang salah, dalam jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi

yang berat. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:11,12

 Lokasi: substernal, retrosternal dan prekordial.

 Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat seperti ditusuk, rasa
diperas dan dipelintir.

 Penjalaran:biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung/

interscapula, perut dan dapat pula ke lengan kanan.

 Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.

 Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin dan sesudah makan.

 Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, lemas dan cemas.

Diagnosis banding STEMI antara lain perkarditis akut, emboli paru, diseksi aorta akut,

kostokondritis, dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI.

Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes

melitus dan usia lanjut.12

Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali estremitas pucat

disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai

kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anetrior mempunyai manifestasi

hiperaktivitas saraf simpatis (takikadi dan atau hipertensi) dan hampir setengah pasien infark

anterior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardi dan atau hipotensi). Peningkatan suhu

sampai 380 C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI. 12

Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau

keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak

kedatangan di IGD.

14
Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan yang kuat dalam menentukan keputusan

terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien

yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak terdiagnosis

sebagai STEMI tetapi simptomatik kuat dan terdapat kecurigaan diagnosis ke sana, EKG serial

dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinu harus dilakukan untuk

mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Sebagian besar pasien dengan presentasi

awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya

didiagnosis infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil menetap menjadi infark miokard

gelombang non Q. Jika obstruksi tidak total, obsrtuksi bersifat sementara atau ditemukan banyak

kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina

pectoris unstabil atau non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa

menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. 12

Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan namun tidak boleh menghambat reperfusi.

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK) MB dan cardiac spesifik troponin

(cTn)T atau cTn1 dan dilakukan secara serial. Pada pasien dengan elevasi ST dan IMA terapi

reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung pemeriksaan biomarker. Peningkatan

kadar enzim 2 kali lipat nilai normal menunjukkan adanya nekrosis jantung (infark miokard). 12

3.6 Penatalaksanaan

Angina Pektoris Stabil11

Gambar 1. Tatalaksana farmakologis dan non farmakologis pasien Angina Pectoris Stabil11

15
Angina Pektoris Tidak Stabil dan Infark miokard dengan non-elevasi segmen ST.12

Gambar 2. Algoritma evaluasi dan tatalaksana SKA12

a. Tatalaksana awal:

Terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja

Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada

hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin,

Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau

bersamaan.12

1) Tirah baring

2) Pada semua pasien IMA-EST direkomendasikan untuk mengukur saturasi oksigen perifer.

Oksigen diindikasikan pada pasien hipoksemia SaO2 ,90% atau paO2 <60% mmHg

3) Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui intoleransinya

terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah

lidah) yang lebih cepat.

4) Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)

16
 Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2

x 90 mg/hari kecuali pada pasien IMA-EST yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan

agen fibrinolitik atau

 Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari

(pada pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik,

penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel).

5) Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih

berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. jika nyeri dada tidak hilang dengan satu kali

pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena

diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. dalam

keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti.

6) Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang tidak

responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas IIa-B).

b. Tatalaksana lanjut sesuai indikasi dan kontraindikasi:

Obat-obat yang diperlukan untuk penanganan SKA12

● Anti iskemik: nitrat, B-bloker, Ca antagonis.

17
● Anti platelet oral: aspirin, clopidogrel.

● Anti koagulan: heparin (UFH, LMWH).

● Terapi tambahan: Ace inhibitor/ ARB, Statin.

18
c. Tatalaksana Infark miokard dengan elevasi segmen ST (IMA-EST).

● Terapi fibrinolitik untuk IMA12

Kontraindikasi terapi fibrinolitik:22

Gambar 3. Langkah pemberian fibrinolitik untuk IMA12

19
● Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKP)12

Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKP) merupakan IKP emergensi dengan balloon, stent,

atau alat lainnya, yang dikerjakan pada arteri yang infark tanpa terapi trombolitik sebelumnya.

IKP primer diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok

kardiogenik. Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang telah

tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil dengan gejala

iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolitik. 12

3.7 Komplikasi

a. Gagal Jantung

Dalam fase akut dan subakut setelah infark miokard akut, seringkali terjadi disfungsi

miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan IKP atau trombolisis, perbaikan

fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun bila terjadi jejas transmural dan/atau obstruksi

mikrovaskular, terutama dinding anterior, dapat terjadi komplikasi akut berupakegagalan pompa

dengan remodeling patologis disertai tanda dan gejala klinis kegagalan jantung yang dapat

berakhir dengan gagal jantung kronis. Gagal jantung jug adapt terjadi akibat aritmia yang

berkelanjutan atau sebagai komplikasi mekanis. Didasari dengan adanya gejala-gejala khas

seperti dyspnea, tanda seperti sinus takikardi, suara jantung ketiga atau ronkhi pulmonal, dan

bukti-bukti objektif disfungsi kardiak seperti dilatasi ventrikel kiri dan berkurangnya fraksi

ejeksi.12

b. Hipotensi

Hipotensi ditandai dengan tekanan darah sistolik < 90mmHg yang menetap. Keadaan ini

dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat juga disebabkan oleh hypovolemia, gangguan

irama atau komplikasi mekanis. Bila berlanjut hipotensi dapat menyebabkan gangguan ginjal,

acute tubularnecrosis dan berkurangnya urine output.12

20
c. Kongesti paru

Kongesti paru ditandai dengan ronkhi basah paru di segmen basal, berkurangnya saturasi

oksigen arterial, kongesti paru pada rontgen dada dan perbaikan klinis terhadap diuretic

dan/atau vasodilator.12

d. Keadaan curah jantung rendah

Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi yang buruk dengan hipotensi,

gangguan ginjal dan berkurangnya produksi urin. 12

e. Syok kardiogenik

Syok kardiogenik terjadi dalam 6 – 10% kasus AMI-EST dan merupakan penyebab

kematian utama dengan laju mortalitas di rumah sakit mendekati 50%. Pasien biasanya datang

dengan hipotensi, takikardi saat istirahat, oliguria, dan ekstremitas dingin dan kongesti paru. 12

f. Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut

Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam pertama setelah

infark miokard. Monitor jantung yang dipasang melaporkan insidensi fibrilasi atrium awitan

baru sebesar 28%, VT yang tidak berlanjut sebesar 13%, blok AV derajat tinggi sebesar 10%,

sinus bradikardi sebesar 7%, henti sinus sebesar 5%, VT berkelajutan sebesar 3 %, VF sebesar

3%.12

Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa manifestasi dan kondisi berat

yang mendasarinya seperti iskemia miokard, kegagalan pompa, hipoksia.12

3.8 Prognosis

Prognosis penyakit jantung koroner tergantung pada pencegahan. Pencegahan penyakit

arteri coroner terbaik dimulai dari evaluasi awal factor risiko untuk mencegah dan

menghentikan perkembangan penyakit.8

21
Daftar Pustaka:

1. Pratiwi I. Komplikasi pada pasien infark miokard akut STEMI yang mendapat maupun tidak
mendapat terapi. Semarang; 2012.
2. ESC management of Stable Coronary Artery Disease. 2015
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Hasil utama riset kesehatan dasar. 2018.
4. Nuti SV, Desai N, Wang S, Li J, Wang Y, Spertus J, et al. Trends in the Prevalence and
Outcomes of NIMA-EST and IMA-EST Among Patients With Acute Myocardial Infarction in
China From 2001 To 2011: China Peace Retrospective Ami Study. J Am Coll Cardiol. American
College of Cardiology Foundation; 2014;63(12):A41
5. Marleni L, Alhabib A. Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner di RSI SITI Khadijah
Palembang.JKesehat.2017;8(3):478.
6. Sianturi ET, Kurniawaty E. Pengaruh Pektin terhadap Penurunan Risiko Penyakit Jantung
Koroner. Majority. 2019;8:162-167.
7. Roger VL, Go AS, Lloyd-Jones DM, et al. Heart disease and stroke statistics-2012 update: A
report from the American Heart Association. Circulation. 2012;123(4):1-8.
8. Regmi M, Siccardi MA. Coronary Artery Disease Prevention. Southern Illinois University.
StatPearls Treasure Island. 2020
9. Kemenkes RI. Pokok-pokok hasil riset kesehatan dasar provinsi Riau. Litbankes. Jakarta. 2018:
66-75
10. Shahjehan RD, Bhutta BS. Coronary Artery Disease. StatPearls - NCBI Bookshelf. 2021.
11. PERKI. Pedoman Tata Laksana Angina Pektoris Stabil. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskuler Indonesia. 2019.
12. PERKI. Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskuler Indonesia. 2018
13. Sayols-Baixeras S, Lluís-Ganella C, Lucas G, Elosua R. Pathogenesis of coronary artery disease:
focus on genetic risk factors and identification of genetic variants. Appl Clin Genet. 2014;7:15-
32. Published 2014 Jan 16. doi:10.2147/TACG.S35301
14. Libby P, Theroux P. Pathophysiology of Coronary Artery Disease. American Heart Association.
2015.

22

Anda mungkin juga menyukai