Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

SINDROM KORONER AKUT (STEMI/IMA-NEST)

Disusun oleh :

dr. Christofel Joman Purba

Pembimbing :
dr. Yonada Christianto Sigalingging

DISUSUN DALAM RANGKA MEMENUHI TUGAS


PROGRAM KEMENKES DOKTER INTERNSIP
RUMAH SAKIT UMUM ADVENT
MEDAN
2021

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sindrom Koroner Akut (SKA) atau Acute Coronary Syndrome (ACS)
merupakan salah satu masalah kardiovaskular utama karena menyebabkan angka
perawatan rumah sakit dan kematian yang tinggi. SKA merupakan sekumpulan
gejala yang ditimbulkan oleh gangguan aliran darah koroner secara akut, baik
parsial maupun total. Keadaan ini umumnya disebabkan oleh penyempitan
pembuluh darah koroner akibat plak aterosklerosis yang mengalami ruptur dan
memicu terjadinya trombosis atau gumpalan darah sehingga menghambat aliran
darah.
Menurut World Health Organization (WHO), penyakit kardiovaskular
merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia. Diperkirakan pada tahun 2019
sebanyak 17,9 juta orang meninggal dunia akibat penyakit kardiovaskular, dimana
85% dari nilai tersebut disebabkan oleh serangan jantung dan stroke. Di
Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013,
prevalensi penyakit jantung koroner adalah sebesar 0,5% atau sekitar 883.447
orang. Jumlah penderita penyakit jantung koroner terbanyak terdapat di Provinsi
Jawa Barat sebanyak 160.812 orang (0,5%), sedangkan Provinsi Maluku Utara
memiliki jumlah penderita paling sedikit, yaitu sebanyak 1.436 orang (0,2%).
Sedangkan pada Provinsi Sumatera Utara diperkirakan terdapat 44.698 kasus
penyakit jantung koroner.
Pada laporan kasus ini akan disajikan satu kasus sindroma koroner akut
yang ditemui pada Instalasi Gawat Darurat RS Advent Medan serta
pembahasannya.

B. Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui cara
menegakkan diagnosis dan pengelolaan penderita sindrom koroner akut.

C. Manfaat
2
Diharapkan laporan ini dapat digunakan sebagai media untuk mempelajari
cara menegakkan diagnosis dan mengelola secara benar penyakit tersebut

3
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Nama penderita : Tn. JHT

Umur/Tanggal lahir : 45 tahun

Jenis kelamin : Laki- Laki

MRS : 03-09-2021

II. DATA DASAR

Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 3 September 2021 di RSU Advent


Medan

A. Keluhan Utama

Nyeri dada kiri

B.Riwayat Penyakit Sekarang

Nyeri dada bagian kiri dirasakan oleh pasien sejak 1 jam SMRS. Keluhan
nyeri dirasakan hingga ke punggung disertai keringat dingin (+). keluhan
nyeri pada lengan kiri disangkal, keluhan batuk (-), sesak napas (-).

C. Riwayat Penyakit yang Dahulu

- Hipertensi (-)

- Alergi (-)

C. Riwayat Penyakit Keluarga


- Tidak ada

III.PEMERIKSAAN FISIK

Laki-laki usia 45 tahun

Tanggal : 3 September 2021 di IGD RS Advent Medan

Kesan umum : Sadar, aktif, tampak kesakitan, tampak gizi baik.


4
TANDA VITAL
Tekanan Darah : 110/70
Suhu : 36.5 ºC
Frekuensi nadi : 71x /menit
Frek.napas : 22x /menit
Nadi : isi dan tegangan cukup

STATUS GENERALISATA

KEPALA
Mata : Pupil isokor diameter 3 mm kanan=kiri, reflek cahaya (+/+),
konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga: Dalam batas normal
Hidung: Pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : Sianosis (-)

THORAX

PARU-PARU
Inspeksi: Simetris statis dan dinamis
Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri ( tidak menurun )
Perkusi: Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi :
SD vesikuler +/+
ST ronkhi -/-
Wheezing -/-

5
JANTUNG bisi
ng
Batas kiri : SIC IV 2cm Linea Midclavicula Sinistra
(-)
Batas kanan: SIC II Linea Parasternal dekstra
Thrill : (-)
Aktivitas : BJ I-II normal, gallop (-)

ABDOMEN

Inspeksi : Datar

Palpasi : Supel, tidak teraba massa, nyeri tekan epigastrium dan


hipocondriaca dextra (-), nyeri tekan supra pubik (-). Tidak
teraba pembesaran hepar dan lien
Perkusi : Tympani
Auskultasi : BU (+) normal

EKSTREMITAS

Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Capp Refill < 2” / < 2” < 2” / < 2”
Sianosis -/- -/-

6
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG 3/9/2021

Rapid Antigen SARS CoV2: negatif


Foto Thorax 3/9/2021: pulmo dan cor dalam batas normal.

V. DIAGNOSIS SEMENTARA

Diagnosis Utama : STEMI anteroseptal

Diagnosis Komorbid : -

Diagnosis Komplikasi : -

VI. INITIAL PLANS

Tatalaksana IGD:

 O2 nasal kanul 4 lpm

 IVFD Nacl 0.9% 10 tpm

 Inj. Ranitidine 1 Amp/ 12 jam

 ISDN 5mg tab sublingual


7
Advice dr spJP:

 Aspilet 300 mg tab

 CPG 300 mg tab

 Furosemid 1 ampul (ekstra)

 Rujuk PCI

8
BAB III

PEMBAHASAN

A. Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) atau Acute Coronary Syndrome (ACS)
merupakan salah satu masalah kardiovaskular utama karena menyebabkan angka
perawatan rumah sakit dan kematian yang tinggi. SKA merupakan sekumpulan gejala
yang ditimbulkan oleh gangguan aliran darah koroner secara akut, baik parsial maupun
total. Keadaan ini umumnya disebabkan oleh penyempitan pembuluh darah koroner
akibat plak aterosklerosis yang mengalami ruptur dan memicu terjadinya trombosis
atau gumpalan darah sehingga menghambat aliran darah.

B. Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah
koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak
dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh
proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya
trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah
koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat
pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang
menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan
oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium
mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat
dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses
hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel
(perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak
mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena
obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angina
Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat
9
diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan
(IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi,
takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai
plak aterosklerosis.

C. Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan
pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation
myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment
elevation myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator kejadian
oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan
revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya;
secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi
koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina
pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil
peningkatan marka jantung.
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat keluhan
angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi
gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau
bahkan tanpa perubahan. Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI
dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan
marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB.
Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka
diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation
Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung
tidak meningkat secara bermakna.

10
D. Manifestasi Klinis
Presentasi kasus sindrom koroner akut dapat berupa keluhan angina tipikal maupun
angina atipikal/ekuivalen. Angina tipikal ditandai dengan rasa tertekan/berat daerah
retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau
epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten
(>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti
diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Sedangkan angina atipikal sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau
usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau
demensia. Keluhan yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina
tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan.
Keluhan nyeri dada yang bukan merupakan ciri iskemia miokard antara lain:
1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks
ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral.
4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah

E. Diagnosis
Diagnosis pada sindrom koroner akut dibuat dengan mengintegrasikan informasi hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), tes biomarker
jantung, dan foto polos dada. Pada anamnesis digali keluhan sesuai dengan definisi
angina tipikal maupun atipikal/ekuivalen. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi
yang dapat diakibatkan komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi
katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru
meningkatkan kecurigaan terhadap SKA.
Pasien yang mengalami nyeri dada yang dicurigai disebabkan iskemia harus dilakukan
pemeriksaan EKG 12 lead, sedapat mungkin dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan
pasien di ruang gawat darurat. Sadapan tambahan seperti V3R dan V4R serta V7-V9
perlu direkam pada pasien yang menunjukkan tanda iskemia inferior.
11
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi,
yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan
baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau
depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T. Elevasi segmen ST dinilai
pada titik J dimana terdapat elevasi pada 2 lead yang bersebelahan. Nilai ambang
diagnostik elevasi segmen ST dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 1. Nilai ambang diagnostik elevasi segmen ST.

Berdasarkan perubahan pada segmen ST, dapat ditentukan lokasi infark yang terjadi
sebagai berikut.

Gambar 2. Lokasi infark berdasarkan lead EKG

Jika tidak ditemukan elevasi segmen ST persisten pada keluhan angina, maka pasien
didiagnosis sebagai infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau
angina pektoris tidak stabil (UAP). Kedua diagnosis tersebut dibedakan dengan ada
tidaknya peningkatan biomarker jantung. Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka
jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk

12
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/nonkoroner).

Gambar 3. Kadar biomarker jantung setelah onset infark.


Kadar CK-MB dan Troponin dalam darah meningkat dalam 4-6 jam setelah onset
infark, mencapai kadar puncak dalam 12-24 jam, dan dapat terdeteksi hingga 2-3 hari
pada CK-MB dan hingga 10 hari pada troponin.

F. Tatalaksana
Terapi awal diberikan kepada semua pasien dengan diagnosis sindrom koroner akut
berdasarkan keluhan angina sebelum adanya pemeriksaan EKG dan biomarker jantung.
Terapi awal yang dimaksud antara lain:
1. Tirah baring
2. Terapi oksigen pada pasien hipoksemia (SaO2 <90% atau PaO2<60 mmHg)
3. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin
4. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan
untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik ATAU Dosis awal clopidogrel
adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien
yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik,
13
penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel).
5. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang
masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika tidak tersedia dapat
menggunakan ISDN sebagai pengganti. jika nyeri dada tidak hilang dengan
satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali.
Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan
terapi tiga dosis NTG sublingual.
6. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual

1. STEMI/IMA-EST
Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam penanganan
pasien STEMI harus mencatat dan mengawasi segala penundaan yang terjadi dan
berusaha untuk mencapai dan mempertahankan target kualitas berikut ini:
a. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤10
menit
b. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
 Untuk fibrinolisis ≤30 menit
 Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien datang
dengan awitan kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke
rumah sakit yang mampu melakukan IKP)

14
Gambar 4. Diagram pemilihan strategi reperfusi.

1.1. Primary PCI/IKP (Intervensi Koroner Perkutan) Primer


IKP primer merupakan IKP emergensi dengan balloon, stent, atau alat lainnya,
yang dikerjakan pada arteri penyebab infark tanpa terapi fibrinolitik
sebelumnya. Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri
yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien
stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan terapi
fibrinolitik.
IKP primer harus dikerjakan pada pasien dengan gejala yang berlangsung >12
jam disertai:
 EKG yang menunjukkan iskemia sedang berlangsung
 Nyeri sedang berlangsung/rekuren dan perubahan EKG dinamis
 Nyeri sedang berlangsung/rekuren, gejala dan tanda gagal jantung,
syok, atau aritmia maligna

15
Gambar 5. Strategi reperfusi berdasarkan waktu onset (ESC 2017).

Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi


antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP
sesegera mungkin sebelum angiografi (Kelas I-A), disertai dengan antikoagulan
intravena (Kelas I-C). Aspirin dapat dikonsumsi secara oral (160- 320 mg).
Pilihan penghambat reseptor ADP yang dapat digunakan antara lain:
 Ticagrelor (loading 180 mg, maintenance 90 mg 2x sehari), atau
 Clopidogrel (loading 600 mg diikuti 75 mg per hari)
Antikoagulan intravena harus diberikan pada IKP primer, antara lain:
 Unfractionated Heparin (UFH)
 Enoxaparin iv (lebih dipilih dibandingkan UFH)

1.2. Terapi Fibrinolitik


Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih
disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin
(streptokinase). Harus diberikan aspirin oral, dan Clopidogrel diindikasikan
sebagai tambahan untuk aspirin. Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-
16
pasien STEMI yang diobati dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila
dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari. Antikoagulan
yang diberikan dapat berupa Enoxaparin subkutan, UFH, maupun
Fondaparinuks pada pasien yang mendapat streptokinase.
Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan IKP
setelah fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien. IKP “rescue”
diindikasikan segera setelah fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen ST kurang
dari 50% setelah 60 menit disertai tidak hilangnya nyeri dada.

Pada pasien STEMI direkomendasikan untuk memulai terapi statin intensitas tinggi
sesegera mungkin, dan diberikan dalam jangka panjang. Target LDL yang
direkomendasikan adalah ≤70 mg/dL atau reduksi minimal 50% jika kadar awal
70-135 mg/dL. Jenis dan dosis statin intensitas tinggi yang dapat diberikan yaitu
Rosuvastatin 10-20 mg/hari atau Atorvastatin 20-40 mg/hari.
Terapi jangka panjang yang direkomendasikan setelah pasien pulih dari STEMI
adalah:
1) Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok,
dengan ketat
2) Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan
tanpa henti
3) DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12
bulan setelah STEMI
4) Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien
dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri
5) Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera
mungkin sejak datang
6) Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien
masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi,
tanpa memandang nilai kolesterol inisial
7) ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan
gagal ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark aterior.
Sebagai alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan
8) Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat
gagal ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia.
17
2. NSTEMI/IMA-NEST & UAP
Berdasarkan stratifikasi risiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk dilakukan strategi
invasif dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi invasif melibatkan
dilakukannya angiografi, dan ditujukan pada pasien dengan tingkat risiko tinggi
hingga sangat tinggi. Waktu pelaksanaan angiografi ditentukan berdasarkan
beberapa parameter dan dibagi menjadi 4 kategori berdasarkan tabel dibawah

Berdasarkan stratifikasi risiko, waktu pelaksanaan strategi invasif dibagi menjadi:


a. Strategi invasif segera (<2 jam)  pasien risiko sangat tinggi
b. Strategi invasif dini (<24 jam)  pasien risiko tinggi
c. Strategi invasif (<72 jam)  pasien risiko intermediat
d. Strategi invasif selektif  pasien risiko rendah, dilakukan stress test non
invasif untuk mengidentifikasi inducible ischemia

Selain strategi invasif, terapi yang dapat diberikan adalah:


a. Beta blocker  untuk menurunkan demand oksigen miokardium

18
b. Nitrat  venodilator mengurangi preload sehingga menurunkan konsumsi
oksigen miokardium; dilatasi pembuluh darah koroner. Dapat menggunakan
ISDN sublingual 2,5-15 mg; nitrogliserin sublingual tablet 0,3-1,5 mg
c. Calcium Channel Blocker  CCB dihidropiridin memiliki efek
vasodilatasi, sedangkan CCB nondihidropiridin memiliki efek tambahan
pada nodus SA dan AV sehingga dapat diberikan pada pasien dengan
kontraindikasi beta blocker

d. Antiplatelet  diberikan dual antiplatelet (DAPT) dengan kombinasi


aspirin dan ADP antagonist (clopidogrel, ticagrelor) dan dipertahankan
hingga 12 bulan. PPI sebaiknya diberikan bersama DAPT.

e. Antikoagulan  direkomendasikan pada semua pasien yang mendapat


antiplatelet

f. ACE inhibitor/ARB  mengurangi remodeling dan menurunkan angka


kematian penderita pasca infark miokard.

g. Statin  terapi statin intensitas tinggi harus dimulai sedini mungkin tanpa
melihat nilai awal LDL. Dapat menggunakan Rosuvastatin 10-20 mg/hari
atau Atorvastatin 20-40 mg/hari.

19
BAB IV

DISKUSI KASUS

TEORI PASIEN

20
Definisi Pada pasien dijumpai keluhan nyeri dada kiri
SKA merupakan sekumpulan gejala yang ditimbulkan persisten yang dirasakan hingga ke
oleh gangguan aliran darah koroner secara akut, baik punggung. Pasien juga mengeluhkan
parsial maupun total. Presentasi kasus sindrom koroner keringat dingin.
akut dapat berupa keluhan angina tipikal yang ditandai
dengan rasa tertekan/berat daerah retrosternal,
menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini
dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau
persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering
disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis,
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan
sinkop.

Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, Pada pemeriksaan EKG, didapatkan elevasi
pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan segmen ST pada lead VI-V4 sehingga pasien
pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut didiagnosis dengan STEMI anteroseptal
dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST
(STEMI: ST segment elevation myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST
(NSTEMI: non ST segment elevation myocardial
infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable
angina pectoris)
Berdasarkan perubahan pada segmen ST, dapat
ditentukan lokasi infark yang terjadi.

21
Tatalaksana Pada pasien diberikan tatalaksana:
Terapi awal diberikan kepada semua pasien dengan Pada pasien diberikan terapi oksigen dengan
diagnosis sindrom koroner akut berdasarkan keluhan nasal kanul 4 lpm, Aspilet 300 mg,
angina sebelum adanya pemeriksaan EKG dan Clopidogrel 300 mg, dan injeksi furosemide
biomarker jantung. Terapi awal yang dimaksud antara 1 ampul. Pemberian diuretik ditujukan untuk
lain: mengurangi preload sehingga menurunkan
1. Tirah baring demand oksigen miokardium. Pasien
2. Terapi oksigen pada pasien hipoksemia (SaO2 direncanakan untuk dirujuk untuk mendapat
<90% atau PaO2<60 mmHg) terapi PCI
3. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada
semua pasien yang tidak diketahui intoleransinya
terhadap aspirin
4. Penghambat reseptor ADP (adenosine
diphosphate)
Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari
kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan untuk
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik ATAU Dosis
awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang
direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan
agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang
dianjurkan adalah clopidogrel).
5. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual
bagi pasien dengan nyeri dada yang masih berlangsung
saat tiba di ruang gawat darurat. Jika tidak tersedia
dapat menggunakan ISDN sebagai pengganti. jika
nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian,
dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga
kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG
sublingual.
6. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang
setiap 10-30 menit, bagi pasien yang tidak responsif
22
dengan terapi tiga dosis NTG sublingual
Pada pasien stemi dilakukan terapi reperfusi dengan
intervensi koroner perkutan/PCI atau terapi fibrinolitik.

23
BAB V

KESIMPULAN
Telah dilaporkan seorang laki-laki usia 54 tahun datang ke IGD RS Advent tanggal 3
September 2021 dengan keluhan utama nyeri dada kiri. Pada anamnesis diperoleh bahwa
pasien mengalami nyeri dada kiri sejak 1 jam sebelum masuk RS, rasa nyeri dirasakan hingga
ke punggung. Selain itu pasien juga mengeluhkan keringat dingin. Pada saat di IGD pasien
diberikan terapi dengan:

 O2 nasal kanul 4 lpm

 IVFD Nacl 0.9% 10 tpm

 Inj. Ranitidine 1 Amp/ 12 jam

 ISDN 5mg tab sublingual

Pasien dikonsulkan kepada dokter Sp.JP dengan advis sebagai berikut

 Aspilet 300 mg tab

 CPG 300 mg tab

 Furosemid 1 ampul (ekstra)

 Rujuk PCI

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardovaskular Indonesia. 2018. Pedoman


Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Edisi Keempat. Jakarta: PERKI

2. Borja Ibanez, Stefan James, Stefan Agewall, Manuel J Antunes, Chiara


Bucciarelli-Ducci, Héctor Bueno, Alida L P Caforio, Filippo Crea, John A
Goudevenos, Sigrun Halvorsen, Gerhard Hindricks, Adnan Kastrati, Mattie J
Lenzen, Eva Prescott, Marco Roffi, Marco Valgimigli, Christoph Varenhorst,
Pascal Vranckx, Petr Widimský, ESC Scientific Document Group, 2017 ESC
Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation: The Task Force for the management of
acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation
of the European Society of Cardiology (ESC), European Heart Journal,
Volume 39, Issue 2, 07 January 2018, Pages 119–177,
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehx393

3. Lilly, Leonard S. 2020. Pathophysiology of Heart Disease : a Collaborative


Project of Medical Students and Faculty 5 th Edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.

4. Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar.


Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

25

Anda mungkin juga menyukai