Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

INFARK MIOKARD AKUT

Disusun Oleh :
Satriyandi Mahmud, S.Ked
206100802041

Pembimbing :
dr. Cornelius Yuniardi Alriyanto

Disusun Untuk Memenuhi Sebagai Syarat Dalam Mengikuti


Program Pendidikan Profesi Bagian Rehabilitasi Medik dan Emergency
Medicine
Fakultas Kedokteran UPR/RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

Pembuluh darah koroner merupakan penyalur aliran darah utama yang


membawa oksigen dan nutrisi untuk otot-otot jantung. Apabila terjadi gangguan
aliran darah pada pembuluh darah ini, misalnya berupa sumbatan atau oklusi
akibat endapan lemak pada dinding pembuluh darah, maka dapat menyebabkan
kematian jaringan atau nekrosis pada otot-otot jantung tersebut. Gangguan ini
dikenal dengan Infark Miokard Akut (IMA) atau lebih dikenal di masyarakat
dengan serangan jantung.1
IMA adalah suatu masalah kardiovaskular yang utama karena
menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi.
Klinis sangat mencemaskan karena sering berupa serangan mendadak yang
umumnya terjadi pada laki-laki berusia 35-55 tahun. IMA biasanya disebabkan
oleh trombus arteri koroner, proses mula-mula berawal dari rupturnya plak yang
kemudian diikuti oleh pembentuk trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya
IMA tergantung pada jenis arteri yang oklusi dan aliran darah kolateral.1
Berdasarkan data WHO (2004), IMA merupakan penyebab kematian
utama di dunia. Sekitar 7,2 juta (12,2%) kematian disebabkan oleh IMA. Di
Amerika Serikat (2002), IMA salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan
kematian. Angka kesakitan mencapai 600 kasus per 100.000 orang dan 500.000-
700.000 orang meninggal dunia karena IMA. Sedangkan di Indonesia (2002),
IMA juga merupakan penyebab kematian utama dengan angka kematian 220.000
(14%).2
Oleh karena itu, pengobatan pada kasus IMA harus dilakukan dengan
cepat dan tepat untuk menghindari kerusakan miokard lebih lanjut. Pengobatan
yang diberikan akan memperbaiki kembali aliran pembuluh darah koroner
sehingga reperfusi dapat mencegah kerusakan miokard yang lebih luas. Meskipun
penderita tidak meninggal akibat serangan IMA, apabila kerusakannya luas maka
penderita akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal jantung. Pada laporan kasus ini

2
akan membahas mengenai seorang penderita yang didiagnosis dengan STEMI dan
pengobatan yang diberikan pada perawatan IGD.3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Primary Survey (Tn. T/51 tahun)


Vital Sign:
Tekanan Darah : 80/60 mmHg
Denyut Nadi : 52 kali/menit (reguler, kuat angkat, dan isi cukup)
Frekuensi Napas : 24 kali/menit, torako-abdominal
Suhu : 36,70C
Airway : Bebas, tidak ada sumbatan jalan napas
Breathing : Spontan, 24 kali/menit, pernapasan abdominal-torakal,
pergerakan thoraks simetris kiri dan kanan
Circulation : Denyut nadi 52 kali/menit, reguler, kuat angkat, dan isi
cukup. CRT < 2 detik
Disability : GCS (E4M6V5), pupil isokor +/+, diameter 3mm/3mm
Evaluasi masalah : Berdasarkan survey primer sistem triase, kasus ini
merupakan kasus yang termasuk dalam priority sign
karena pasien datang dengan keluhan nyeri dada dengan
diberi label kuning.
Tatalaksana awal : Tatalaksana awal pada pasien ini adalah ditempatkan di
ruang non bedah, pemberian oksigen nasal kanul 2
liter/menit, dan dilakukan pemasangan akses infus
intravena menggunakan cairan NaCl 0,9% 20 tetes/menit.

2.2. Secondary Survey


2.2.1. Identitas
Nama : Tn. T
Usia : 51 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki

3
Alamat : Palangka Raya
Tgl Pemeriksaan : 18 Mei 2021
2.2.2. Anamnesis
Autoanamnesis
Keluhan Utama : Nyeri dada
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada yang telah berlangsung sejak ± 1 jam
SMRS. Nyeri dirasakan tiba-tiba saat melakukan aktivitas fisik. Nyeri dada
dirasakan seperti panas terbakar dan menjalar ke leher, bahu, dan lengan sebelah
kiri. Nyeri disertai keringat dingin dan berkurang jika beristirahat. Pasien juga
merasa cemas, sesak napas, dan lemas. Pasien juga merasa mual tetapi tidak
muntah. Sakit kepala disangkal, nyeri ulu hati disangkal, berdebar-debar
disangkal, dan demam disangkal.
Riwayat Kebiasaan:
Pasien merupakan perokok aktif mengkonsumsi ± 2 bungkus setiap hari. Pasien
sebelumnya makan makanan berlemak dan memiliki kebiasaan makan makanan
dengan kolesterol tinggi seperti goreng-gorengan. Minum alkohol ± 2 kali setiap
bulan.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien menyangkal pernah memiliki keluhan serupa sebelumnya. Penyakit maag,
asma, hipertensi, diabetes melitus, dan jantung sebelumnya juga disangkal. Pasien
tidak pernah memeriksa darah untuk cek kolesterol.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Pasien tidak mengetahui

2.2.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Berat badan = 100kg
Tinggi badan = 160 cm
Kesadaran : Compos mentis (E4M6V5)
Vital sign : Tekanan Darah :80/60 mmHg

4
Denyut Nadi :52 kali/menit (reguler, kuat angkat,
dan isi cukup)
Frekuensi Napas :24 kali/menit, abdominal-torakal
Suhu :36,70C
Kepala
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher
Pembesaran kelenjar tiroid (-/-), peningkatan JVP (-)
Thoraks
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan, retraksi
(-)
Palpasi : Fremitus vokal normal kanan dan kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Auskultasi : Bunyi jantung 1 (S1) dan 2 (S2), tunggal, reguler, murmur
(-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba besar
Perkusi : Timpani (+)
Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik, edem (-/-)

2.2.4. Pemeriksaan Penunjang


Tabel 2.1. Pemeriksaan Laboratorium
Parameter Pasien Kadar Normal
Hematologi

5
Hb 14,9 g/dl 13,5-18,0 g/dl
Hematokrit 43 % 37-48 %
Leukosit 13.42x103/ul 4.500-11.000/ul
Eritrosit 4.66x106/ul 4-6 juta/ul
Trombosit 328x103/ul 150.000-400.000/ul

Troponin I 0.34 ng/ml < 0.3 ng/ml


Glukosa Sewaktu 137 mg/dl <200 mg/dl
Ureum 28 mg/dl 21-53 mg/dl
Creatinin 0.92 mg/dl 0.7-1.5 mg/dl

Pemeriksaan EKG

Hasil:
- T inverted pada lead II, II, avF
- ST elevasi pada V1, V4, V5, V6
Kesan : Anterior-septal miokard infark
Gambar 2.1. EKG Ke-1 Pasien

6
Hasil:
- T inverted pada disemua lead
Kesan : Ventrikel takikardia
Gambar 2.2. EKG Ke-2 Pasien

CTR 52% =
Kardiomegali (+)

Corakan
bronvaskuler tidak
meningkat: edem
pulmo (-)

Gambar 2.3. Foto Thorax Pasien


2.2.5. Diagnosa
STEMI + Ventrikel Takikardia

7
2.2.6. Penatalaksanaan
Tatalaksana Awal di IGD
- Posisikan setengah duduk
- O2 masker 8 liter/menit
- Syringe pump Dobutamine start 5 mikor/kgBB/menit naik tiap 30 menit
- Pasang DC
- ISDN 5 mg (Sublingual) (23.00)
- CPG 4x1 tablet
- Aspilet 3x1 tablet
- Evaluasi setelah 2 jam: nyeri dada (+) berkurang sedikit, keringat dingin
(+), sesak napas (+) berkurang, TD: 90/60 mmHg, denyut nadi: 88x/menit
(reguler, kuat angkat, dan isi cukup), frekuensi napas: 20x/menit, suhu:
36,80C.
- ISDN 5 mg (Sublingual) (01.00)
- Inj. Ranitidine 1x1 Ampul (IV)
- Streptokinase 1.500.000 IU dalam 100 ml NaCl 0,9% selama 1 jam
(01.30)
- Evaluasi setelah 1 jam: nyeri dada (+) terasa hampir hilang, keringat
dingin (-), sesak napas (-), TD: 100/70 mmHg, denyut nadi: 70x/menit
(reguler, kuat angkat, dan isi cukup), frekuensi napas: 16x/menit, suhu:
36,80C.
- Konsul bagian jantung
- Pro rawat di ICCU
Tatalaksana tambahan di ICCU
- IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit
- Inj. Ranitidine 2x1 Ampul
- Po. Captopril 3x6,25 mg
- Po. CPG 1x1 tablet
- Po. Aspilet 1x1 tablet
- Po. ISDN 3x5 mg
- Lipitor 1x40 mg

8
2.2.7. Prognosa
- Quo ad vitam : Dubia ad bonam
- Quo ad functionam : Dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

2.2.8. Saran
- Usulan pemeriksaan : Pemeriksaan enzim jantung (CKMB, Troponin T)
dan profil lipid (kolesterol total, trigliserida, LDL, dan HDL)

9
BAB III
PEMBAHASAN

Pada anamnesis didapatkan nyeri dada yang telah berlangsung ± 1 jam dan
dirasakan tiba-tiba. Nyeri dada dirasakan seperti panas terbakar dan menjalar ke
leher, bahu, dan lengan sebelah kiri. Nyeri berkurang jika beristirahat. Gejala
penyerta berupa keringat dingin, cemas, lemas, sesak napas, dan mual.
Berdasarkan teori, nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal
pada pasien IMA. Nyeri dada tersebut dapat berlangsung lebih dari 20-30 menit.
Sifat nyeri dada angina lainnya berupa:
1. Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial.
2. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
3. Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.
4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau jika diberikan obat nitrat.
5. Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah
makan.
6. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sesak napas, keringat dingin, cemas
dan lemas.4
Pada pasien nyeri dada dirasakan tiba-tiba saat bermain musik sejak ± 5
jam. Pada keadaan aktivitas yang berlebih akan meningkatkan kebutuhan oksigen
dalam tubuh, sehingga jantung akan meningkatkan denyut jantung untuk
meningkatkan cardiac output.
Pada pasien juga memiliki faktor resiko seperti jenis kelamin laki-laki,
usia lebih dari 45 tahun, riwayat makan makanan kolesterol tinggi, merokok, dan
minum minuman beralkohol, keadaan ini memungkinkan akan membuat plak dari
aterosklerosis terutama pada pembuluh darah koroner. Sehingga pada keadaan
aliran darah yang tinggi atau pada saat denyut jantung yang cepat dalam

10
memenuhi oksigen untuk tubuh, maka dapat menyebabkan rupturnya plak
sehingga terjadinya trombosis dan oklusi arteri koroner. Akibat keadaan ini maka
berakibat kurangnya pasokan darah ke miokard sehingga menyebabkan kerusakan
sel dan kematian (infark) miokard. Keadaan ini menimbulkan respon nyeri di
daerah dada dan perut yang di pengaruhi oleh saraf intercostales (T 1-12), nervus
simpatikus, dan nervus parasimpatikus. Rasa nyeri jantung biasanya dirasakan
dari T1-4, yang dinamakan serabut sensorik atau viseral aferen. Badan sel berada di
dalam ganglion posterior yang sama, sehingga bila di daerah viseral mengalami
suatu cidera maka rasa nyeri tersebut akan terasa di bagian perifer.4
Pada saat keadaan cemas, maka akan terjadi peningkatan aktivitas saraf
simpatis dalam tubuh yang juga akan meningkatkan kenaikan sekresi epinefrin
dari kelenjar adrenalin. Keadaan ini akan menyebabkan keringat dingin. Akibat
dari peningkatan aktivitas saraf simpatis, maka akan menyebabkan penekanan
kerja saraf parasimpatis sehingga menyebabkan rasa mual. Sesak napas bisa
disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan akhir diastolic ventrikel kiri,
disamping itu perasaan cemas juga dapat menimbulkan hiperventilasi. Pada infark
yang tanpa gejala nyeri, sesak napas merupakan tanda adanya disfungsi ventrikel
kiri yang bermakna. Lemas dirasakan akibat penurunan aliran darah ke otot-otot
rangka.4
Akibat dari perfusi yang berkurang yang menyebabkan kematian jaringan
miokard, sedangkan kebutuhan oksigen harus tetap terpenuhi untuk seluruh
jaringan di dalam tubuh, maka kompensasi pada jantung yaitu dengan
meningkatkan tekanan darah sehingga didapatkan tekanan darah pada pasien yaitu
160/100 mmHg. Menurut kriteria JNC 7, termasuk dalam hipertensi grade II.
Pasien menyangkal sebelumnya memiliki riwayat hipertensi.

Patofisiologi
Sebagian besar IMA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh
darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan
komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut.
Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur

11
koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus
ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun
parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih
distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi
sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah
koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti
selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis
(infark miokard). Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total
pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang
dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung
(miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas
miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang),
distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi
ventrikel). Sebagian pasien IMA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan
di atas. Mereka mengalami IMA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal
dari arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri
koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak
atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor
ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat
menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak
aterosklerosis.1,5

12
13
Gambar 3.1. Patofisiologi IMA

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan dari


leukosit yaitu 17.700/ul. Leukositosis pada IMA terjadi akibat respon stres akut
karena kematian jaringan (nekrosis) pada miokard.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, IMA dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation
myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment
elevation myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan
indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan
reperfusi miokard secepatnya secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis
STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi
segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marker jantung.

14
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat
keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua
sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi
segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-
normalization, atau bahkan tanpa perubahan. Sedangkan Angina Pektoris tidak
stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai
dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah
Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi
peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST
Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina
Pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada
sindroma koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal
adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas (upper limits of normal, ULN).1
Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau
menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih berlangsung,
maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap
menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif
SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap
terjadi angina berulang.1
Penegakkan diagnosis IMA berdasarkan 2 dari 3 gejala utama, yaitu:
1. Riwayat nyeri dada yang khas
a. Nyeri dada bagian dada depan ( bawah sternum) dengan/ tanpa
penjalaran, kadang berupa nyeri dagu, leher/seperti sakit gigi,
penderita tidak bisa menunjukan rasa nyeri dengan satu jari tetapi
dengan tangan.
b. Kualitas nyeri sepertt ditekan, rasa berat/panas terbakar.
c. Durasi >20 menit
d. Kadang disertai mual, keringat dingin, berdebar/sesak
e. Nyeri tidak hiilang dengan istirahat/ nitrogliserin sublingual
2. Adanya perubahan EKG
a. Gelombang Q (signifikan infark) / Q patologis

15
b. Segmen ST elevasi
c. Gelombang T meninggi / menurun
3. Kenaikan enzim otot jantung
a. CKMB merupakan enzim yang spesifik sebagai penanda terjadinya
kerusakan otot jantung , enzim ini meningkat 6 – 10 jam setelah nyeri
dada dan kembali normal dalam 48 – 72 jam.
b. Pemeriksaan Aspartate Amino Transferase (AST) pasien datang
setelahh hari ke 3 nyeri dada/LDH (laktat dehydrogenase meningkat
setelah hari ke 4 & normal pada hari ke 10.6,7
Pada pasien didapatkan nyeri dada yang khas berupa rasa panas terbakar
dan menjalar ke leher, bahu, dan lengan kiri. Nyeri dada dirasakan ± selama 1 jam
dan disertai keringat dingin, mual, lemas, dan sesak napas. Nyeri tidak hilang atau
berkurang dengan beristirahat. Selain itu, pada pemeriksaan EKG juga didapatkan
ST elevasi V2, V3, V4, dan V5 disertai T inverted pada lead II, III, dan avF, yang
dapat disimpulkan antero-septal miokard infark. Pemeriksaan enzim jantung pada
pasien ini tidak dilakukan karena kurangnya kelengkapan dalam prasarana
laborato
rium. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, pasien memiliki 2 dari 3 kriteria untuk menegakkan diagnosis ST
elevasi miokard infark.

Tabel 3.1. Lokasi Infark Berdasarkan Sadapan EKG

16
Algoritma Takiaritmia

17
18
Penatalaksanaan awal pasien di IGD yaitu pemberian O2 nasal kanul 2
liter/menit, ISDN 5 mg (Sublingual) (23.00), CPG 4x1 tablet, Aspilet 3x1 tablet.
Evaluasi setelah 2 jam: nyeri dada (+) berkurang sedikit, keringat dingin (+),
sesak napas (+) berkurang, TD: 140/80 mmHg, denyut nadi: 88x/menit (reguler,
kuat angkat, dan isi cukup), frekuensi napas: 20x/menit, suhu: 36,80C.
ISDN 5 mg (Sublingual) (01.00), inj. Ranitidine 1x1 Ampul (IV),
Streptokinase 1.500.000 IU dalam 100 ml NaCl 0,9% selama 1 jam (01.30).
Evaluasi setelah 1 jam: nyeri dada (+) terasa hampir hilang, keringat dingin (-),

19
sesak napas (-), TD: 100/70 mmHg, denyut nadi: 70x/menit (reguler, kuat angkat,
dan isi cukup), frekuensi napas: 16x/menit, suhu: 36,80C. Konsul bagian jantung
dan pro rawat di ICCU.
Penatalaksanaan tambahan di ICCU yaitu IVFD NaCl 0,9% 20
tetes/menit, inj. Ranitidine 2x1 Ampul, po. Captopril 3x6,25 mg, po. CPG 1x1
tablet, po. Aspilet 1x1 tablet, po. ISDN 3x5 mg, dan lipitor 1x40 mg.
Dokter perlu segera menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar
strategi penanganan selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi
yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerjan kemungkina IMA atau IMA
atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan
EKG dan/atau marker jantung. Terapi awal yang dimaksu adalah Morfin,
Oksigen, Nitrat, Aspirin, dan Clopidogrel (disingkat MONACO), yang tidak harus
diberikan semua ata bersamaan.1
1. Tirah baring
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi
O2 arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam
pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri.
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak
bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang
lebih cepat.
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI
yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang
dianjurkan adalah clopidogrel).
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada

20
yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri dada
tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit
sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. Dalam
keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai
sebagai pengganti.
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual

Penyekat Beta (Beta blocker).


Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap
reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium.
Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-
ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada
kebanyakan kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi. Penyekat
beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika terdapat
hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat indikasi kontra. Penyekat
beta oral hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama. Penyekat beta juga
diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada
indikasi kontra. Pemberian penyekat beta pada pasien dengan riwayat pengobatan
penyekat beta kronis yang datang dengan SKA tetap dilanjutkan kecuali bila
termasuk klasifikasi Kilip ≥III.1

Tabel 3.2. Jenis dan Dosis Penyekat Beta Untuk Terapi IMA

21
Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri
sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah
dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang mengalami
aterosklerosis.1
1. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari
episode angina.
2. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjutsebaiknya
mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian,
setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada
indikasi kontra.
3. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung, atau
hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat
intravena tidak boleh menghalangi pengobatan yang terbukti menurunkan
mortalitas seperti penyekat beta atau angiotensin converting enzymes inhibitor
(ACE-I).
4. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg
atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit),
takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan.
5. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor
fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat
untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan.1

22
Tabel 3.3. Jenis dan Dosis Nitrat Untuk Terapi IMA

Calcium channel blockers (CCBs)


Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan
sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan
diltiazem mempunyai efek terhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan
sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi
koroner yang seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama golongan dihidropiridin,
merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik. Studi menggunakan
CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang
dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina.`
1. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien
yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta.
2. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan
indikasi kontra terhadap penyekat beta.
3. CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai pengganti
terapi penyekat beta.
4. CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik.
5. Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak
direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta.1

Tabel 3.4. Jenis dan Dosis Penghambat Kanal Kalsium Untuk Terapi IMA

23
Antiplatelet
1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan
dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100mg setiap harinya untuk
jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan.
2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin
dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko
perdarahan berlebih.
3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama
DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP)
direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau
ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko
seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta konsumsi bersama dengan
antikoagulan atau steroid.
4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan
sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis.
5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian
iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis
loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa
memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan pada pasien
yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian
dihentikan).
6. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan
ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap
hari.

24
7. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg diikuti
dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien yang
dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan ticagrelor.
8. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari) perlu
dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa
risiko perdarahan yang meningkat.
9. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP yang
perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG), perlu
dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari setelah penghentian
pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali
bila terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi.
10. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau
dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman.
11. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX- 2
selektif dan NSAID non-selektif ).
Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa memperdulikan
jenis stent.1

Tabel 3.5. Jenis dan Dosis Antiplatelet Untuk Terapi IMA

Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa


Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor
glikoprotein IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik
dan perdarahan. Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat
diberikan pada pasien IKP yang telah mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi
(misalnya peningkatan troponin, trombus yang terlihat) apabila risiko perdarahan

25
rendah. Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin sebelum angiografi atau
pada pasien yang mendapatkan DAPT yang diterapi secara konservatif.1

Antikogulan
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat
mungkin.
1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan
terapi antiplatelet.
2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan
berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.
3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko
yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkutan.
4. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan
bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang
mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP.
5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko
perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia.
6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin
berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan)
diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia.
7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu
dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit.
8. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan.1

Tabel 3.6. Jenis dan Dosis Antikoagulan Untuk Terapi IMA

26
Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan
1. Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan risiko
perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau ketat.
2. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat indikasi
dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan dipilih targen
INR terendah yang masih efektif..
3. Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada
penderita tua atau yang risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih terpilih.1

Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin


Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam
mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-
miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal
jantung klinis. Penggunaannya terbatas pada pasien dengan karakteristik tersebut,
walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah terbukti
menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogenik.1
1. Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali ada
indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dan pasien
dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (PGK).
2. Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain seperti
di atas. Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah direkomendasikan
berdasarkan penelitian yang ada.

27
3. Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark mikoard
yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri
≤40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung.1

Tabel 3.7. Jenis dan Dosis ACE Inhibitor Untuk Terapi IMA

Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin)
harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang
telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra. Terapi
statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan
sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/ dL. Menurunkan
kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin untuk dicapai.1

Terapi fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada
tempat-tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu
yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam
sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer
tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak
medis pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan
gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon
lebih dari 90 menit. Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat. Agen
yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan
dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase).

28
Aspirin oral atau intravena harus diberikan. Clopidogrel diindikasikan diberikan
sebagai tambahan untuk aspirin. Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-
pasien STEMI yang diobati dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila
dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari. Antikoagulan yang
digunakan dapat berupa:
1. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak
terfraksi).
2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan dan
infus selama 3 hari.
3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks intravena
secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian.1

Langkah-langkah pemberian fibrinolisis pada pasien STEMI


Langkah 1: Nilai waktu dan risiko
a. Waktu sejak awitan gejala (kurang dari 12 jam atau lebih dari 12 jam
dengan tanda dan gejala iskemik)
b. Risiko fibrinolisis dan indikasi kontra fibrinolisis
c. Waktu yang dibutuhkan untuk pemindahan ke pusat kesehatan yang
mampu melakukan IKP (<120 menit)
Langkah 2: Tentukan pilihan yang lebih baik antara fibrinolisis atau strategi
invasif untuk kasus tersebut. Bila pasien <3 jam sejak serangan dan IKP dapat
dilakukan tanpa penundaan, tidak ada preferensi untuk satu strategi tertentu.

Tabel 3.8. Indikasi Kontra Terapi Fibrinolitik

29
Tabel 3.9. Regimen Fibrinolitik Untuk Terapi IMA

30
BAB IV
KESIMPULAN

Tn. N, 51 tahun datang dengan keluhan nyeri dada. Berdasarkan


anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, didapatkan diagnosis
STEMI + Ventrikuler Takikardia+ Syok kardiogenik. IMA adalah oklusi koroner
akut disertai iskemia yang berkepanjangan yang pada akhirnya menyebabkan
kerusakan sel dan kematian (infark) miokard. Sumbatan ini sebagian besar
disebabkan oleh ruptur plak ateroma pada arteri koroner yang kemudian diikuti
oleh terjadinya trombosis, vasokonstriksi, reaksi inflamasi dan mikroembolisasi
distal. Pada pasien ini terdapat faktor resiko terjadinya IMA, yaitu faktor jenis
kelamin, usia, kebiasaan merokok, makan makanan kolesterol tinggi, dan minum-
minuman beralkohol.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. Pedoman


Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Edisi 3. Jakarta: 2015.
2. Brown, CT. 2005. Penyakit Aterosklerotik Koroner. dalam Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC.
Hal 589-599.
3. Alwi, I. 2006. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI. Hal: 1616.
4. Harun, S. 2000. Infark Miokard Akut. dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I edisi 3. Jakarta: FKUI. Hal: 1090-1108.
5. Zafari, AM. Myocardial Infarction. Available on:
http://emedicine.medscape.com/article/155919-overview. Diakses pada
tanggal 04 Oktober 2016 pukul 17.35. Amerika. 2016.
6. Isselbacher, JK. 2000. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam
Edisi 13 Volume 3. Jakarta : EGC.

32
7. Sudoyo, W. Aaru, Bambang Setiyohadi. 2007. Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III Edisi IV. Jakarta : FKUI.

33

Anda mungkin juga menyukai