Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

CVA ICH

Oleh :

dr. Aisyah Cholifaur Rohmah

Pendamping :
dr. Cahyo Sukowidodo, M. Kes

Program Internsip Kedokteran Indonesia


Rumah Sakit Islam Muhammadiyah Sumberrejo Bojonegoro
2022 – 2023
2

LEMBAR PENGESAHAN

PORTOFOLIO KASUS

CVA ICH

Mengetahui,

Pendamping Penulis

dr. Cahyo Sukowidodo, M. Kes dr. Aisyah Cholifaur Rohmah


3

BAB 1

PENDAHULUAN

Cerebro Vascular Accident (CVA) merupakan penyakit yang diakibatkan

oleh gangguan peredaran darah otak yang sering terjadi ketika otak kekurangan

oksigen dan suplai darah yang dipengaruhi oleh faktor risiko terdiri dari factor

yang tidak dapat diubah seperti usia dan jenis kelamin dan yang dapat diubah

seperti hipertensi, peningkatan kadar gula darah, dislipidemia, dan pekerjaan

(Dinata dkk., 2013). CVA bisa disebabkan oleh keadaan ischemic atau proses

hemorrhagic yang seringkali diawali oleh adanya lesi atau perlukaan pada

pembuluh darah arteri (Guyton and Hall, 2017).

Salah satu jenis CVA hemorrhagic yaitu Intracerebral Hemorraghe

(ICH) dengan insiden mulai dari 11 hingga 23 kasus per 100.000 per tahun dan

merupakan subtipe stroke yang paling fatal dengan mortalitas hingga 40%

(Kirkman et al., 2008). Penyebab tersering adalah hipertensi, malformasi arteri

vena, aneurisma, trauma kepala, tumor otak, amyloid angiopathy, dan penggunaan

obat pengencer darah seperti coumadin, heparin, dan warfarin yang digunakan

untuk mencegah penggumpalan darah di jantung (Andrew, 2018). Hipertensi

merupakan faktor risiko yang potensial pada kejadian ICH karena dapat

mengakibatkan pecahnya pembuluh darah otak yang akan mengakibatkan

perdarahan otak, dan penyempitan pembuluh darah otak yang akan mengganggu

aliran darah ke otak yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel-sel otak

(Marks, 2010).

Manifestasi klinis pada pasien seringkali tergantung pada lokasi

perdarahan, namun secara umum ICH ditandai dengan sakit kepala, mual, muntah,
4

letargi, kelemahan atau mati rasa pada wajah, lengan atau tungkai yang biasanya

hanya pada satu sisi, hilangnya kesadaran, serta kejang. Sekitar 70% pasien

mengalami defisit jangka panjang setelah ICH. Pengobatan ICH berfokus untuk

menghentikan pendarahan, menghilangkan hematoma, dan mengurangi tekanan

pada otak (Fewel, 2013).


5

BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas

Nama : Ny. S

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 60 tahun

Alamat : Pacing Banjarejo

Suku Bangsa : Jawa / Indonesia

Agama : Islam

Pekerjaan : IRT

Tanggal Pemeriksaan : Ruangan 29-09-2022 pukul 16.34

2.2 Anamnesis

Keluhan utama : Penurunan Kesadaran

RPS : Penurunan kesadaran sejak jam 13.00/ 2.5 jam smrs. Awalnya pasien
mendadak mengeluhkan nyeri kepala hebat setelah membuatkan kopi suaminya.
Posisi pasien duduk lalu mendadak tidak sadarkan diri. Pasien muntah 3x
dirumah, 1x dijalan dan 1x saat di rs. Keluhan demam(-), batuk(-), Diare(-),
keluhan lain (-).

RPD: Pasien mempunyai riwayat hipertensi sejak 1 tahun SMRS dan tidak
terkontrol, biasanya kontrol ke bidan desa . DM tidak ada. Lemah sebelumnya
tidak ada. Tidak pernah jatuh

RPK: Riwayat penyakit yang sama (-), HT ibu pasien.

RPSos: Pasien sehari-hari bekerja dirumah sebagai ibu rumah tangga dengan
aktivitas ringan
6

2.3 Pemeriksaan Fisik

 Keadaan Umum : Lemas

 Kesadaran : Semicoma

 GCS : E2 V1 M4

Vital Sign

 Tekanan darah : 204/105 mmHg

 Nadi : 82x / menit

 Frekuensi nafas : 24 x / menit

 SpO2 : 60 % free air

 Temperatur : 36 0C

Status Generalis

Kepala/Leher

Inspeksi : anemia tidak ada, icterus tidak ada, sianosis tidak ada, dispsneu tidak

ada, mata cowong tidak ada, KGB tidak membesar, JVP normal. Pupil isokor 3

mm/3mm,

Thorax

Paru :

Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris,

Palpasi : Thrill tidak teraba, fremitus taktil normal, krepitasi tidak ada

Perkusi : Sonor/sonor
7

Auskultasi : Suara nafas vesikuler/vesikuler, Rh -/-, Wh -/-

Jantung :

Inspeksi : Ictus cordis normal, voussure cardiac tidak ada

Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat, trill tidak teraba

Perkusi : Batas jantung (batas atas, kanan kiri dan pinggang jantung)

normal

Auskultasi : S1S2 Tunggal, Murmur -, gallop –

Abdomen :

Inspeksi : Flat, massa -

Palpasi : Soepel, tidak ada nyeri tekan epigastrium , hepar lien tidak teraba

Perkusi : Timphani

Auskultasi : BU + N

Ekstremitas :

Inspeksi : tidak ada deformitas, tidak ada edema

Palpasi : Hangat, kering, merah, CRT < 2 detik, lateralisasi dextra

2.4 Pemeriksaan Laboratorium

Gula Darah Acak : 112

Leukosit : 16.3 [4.0 – 11.0]

Neutropil : 74.8 [49.0 – 67.0]

Limposit : 12.7 [25.0 – 33.0]

Monosit : 1.7 [3.0 – 7.0]


8

Eosinopil : 3.9 [1.0 – 2.0]

Basofil : 0.9 [0.0 – 1.0]

Eritrosit : 4.70 [3.80 – 5.30]

Hemoglobin : 13.6 [ P 13.0 – 18.0, L 14.0 – 18.0]

Hematokrit : 39.8 [ L 40 – 54, P 35 – 47]

Trombosit : 252 [ 150 – 450]

Kalium : Hasil 3.15 [ 3.5 – 5.5]

2.5 Ringkasan

Pasien perempuan usia 60 tahun datang ke IGD RSIM dengan keluhan


penurunan keasadaran, Penurunan kesadaran sejak jam 13.00/ 2.5 jam smrs.
Awalnya pasien mendadak mengeluhkan nyeri kepala hebat setelah membuatkan
kopi suaminya. Posisi pasien duduk lalu mendadak tidak sadarkan diri. Pasien
muntah 3x dirumah, 1x dijalan dan 1x saat di rs. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan keadaan umum lemas, kesadaran semikoma dengan GCS 2.1.4.
Pemeriksaan di ruangan tekanan darah : 204/105, nadi : 82 x / menit, RR : 24 x /
0
menit, Temp : 36 C, didapatkan lateralisasi kanan. Hasil laboratorium
menunjukkan ketidaknormalan leukosit, Kalium.

2.6 Diagnosis

Diagnosis klinik : Hipertensi, nyeri kepala, muntah, penurunan kesadaran

Diagnosis topis : Cerebrum sinistra

Diagnosis etiologis : CVA ICH

2.7 Planning Diagnosis

- CT scan dengan kontras atau MRI


- Angiografi CT

2.8 Planning Terapi


9

Airway : Clear, gargling -, snoring -, speak fluently +, potensial obstruksi –

Breathing : Spontan, RR 20 x / menit, Ves/ves, Rh -/-, Wh -/-

Circulation : Akral HKM, CRT < 2 detik, N 82 x / menit TD 204/105 nnHg

Disability : GCS 214,

Exposure : Temp 36 C

Penanganan Umum 5B (Breath, Blood, Brain, Bowel and Bladder, Bone)

- Inf RL 1500cc/24 jam


- Inj Citicolin 2x500 mg iv
- Inj omeprazol 3x1 amp iv
- Inj santagesik 3x1 amp iv
- Inj manitol 4x100 cc
- Inj ondansetron 2x1
- Inj NB 1x1

Terapi non farmakologi

- O2 JR 15 lpm
- Head up 30
- Pasang DC

Planning Monitoring

- Vital Sign
- Keluhan pasien
- Urine

Planning Edukasi

- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit yang diderita


secara etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, diagnosis banding,
pemeriksaan penunjang, terapi, komplikasi, prognosis.
10

Follow up pasien 30-09-2022

S O A P
Penurunan KU : lemah CVA ICH Inf RL 1500cc/24
kesadaran, mual GCS 2.1.1 jam
(-) muntah (-) TD 180/100 Inj Citicolin 2x500
N 50 x/m mg iv
RR 26 x/m Inj omeprazol 3x1
T 37,1 amp iv
SpO2 99% Inj santagesik 3x1
K/L : pernapasan cuping amp iv
hidung (-/-), an (-/-), ict Inj manitol 4x100 cc
(-/-) Inj ondansetron 2x1
Tho : ves (+/+), rh (+/-), Inj NB 1x1
wh (-/-) Pro HCU
Abd : BU (+) N, soefl, flat 
Eks : AKHM, CRT <2”.
lateralisasi D
-
- Follow up 31-09-2022

S O A P
Penurunan KU : lemah CVA ICH Inf RL 1500cc/24
kesadaran, mual GCS 1.1.1 jam
(-) muntah (-) TD 80/47 Inj Citicolin 2x500
N 40 x/m mg iv
RR 26 x/m Inj omeprazol 3x1
T 37,1 amp iv
SpO2 89 % Inj santagesik 3x1
K/L : pernapasan cuping amp iv
hidung (-/-), an (-/-), ict
11

(-/-) Inj manitol 4x100 cc


Tho : ves (+/+), rh (+/-), Inj ondansetron 2x1
wh (-/-) Inj NB 1x1
Abd : BU (+) N, soefl, flat  Pro HCU
Eks : AKHM, CRT <2”.  Pasien meninggal
dunia
lateralisasi D
12

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Intracerebral Hemorrhage

Intracerebral hemorrhage terjadi akibat pecahnya pembuluh

intracerebral menyebabkan perkembangan hematoma dalam substansi otak

(Acharya, 2011). Intracerebral hemorrhage merupakan pendarahan yang terjadi

di dalam jaringan otak itu sendiri dan merupakan jenis stroke yang mengancam

jiwa (Fewel et al., 2003). Intracerebral hemorrhage seringkali diawali oleh

adanya lesi atau perlukaan pada pembuluh darah arteri serta adanya

mycroaneurisme yang pecah (Hananta dan Freitag, 2011).

3.2 Epidemiologi Intracerebral Hemorrhage

Angka kejadian Intracerebral Hemorrhage berkisar 11 hingga 23 kasus


per 100.000 per tahun dan merupakan subtipe stroke yang paling fatal dengan
mortalitas hingga 40% (Kirkman et al., 2008).

Di Amerika serikat kasus Intracerebral Hemorrhage mewakili 10 persen

dari semua kasus stroke yaitu sekitar 70.000 kasus baru setiap tahunnya (Acharya,

2011).

3.3 Etiologi Intracerebral Hemorrhage

Etiologi Intracerebral Hemorrhage antara lain :

1. Hipertensi (pada 90% kasus) : Tekanan darah tinggi mampu menyebabkan

arteri kecil pada otak pecah. Tekanan darah normal 120/80 mmHg.
13

2. Obat pengencer darah : Seperti coumadin, heparin, dan warfarin yang

digunakan untuk mencegah penggumpalan darah pada jantung.

3. Arteriovenous Malforrmation (AVM) : Jalinan abnormal pembuluh darah

di mana arteri terhubung langsung ke vena tanpa terdapat kapiler

diantaranya.

4. Aneurisma : Terdapatnya tonjolan seperti balon pada dinding arteri dan

melemahnya dinding arteri.

5. Trauma kepala : Fraktur tulang tengkorak dan luka tembus (tembakan)

yang dapat merusak arteri dan menyebabkan perdarahan.

6. Gangguan perdarahan : Penyakit hemofilia, anemia sel sabit, DIC,

trombositopenia.

7. Tumor : Tumor vaskular yang tinggi seperti angioma dan tumor metastatik

dapat berdarah ke jaringan otak

8. Amyloid angiopathy : Penumpukan protein di dalam dinding arteri.

9. Penggunaan narkoba : Alkohol, kokain, dan obat-obatan terlarang lainnya

10. Spontan: Penyebab tidak diketahui (Andrew, 2018)

3.4 Patofisiologi Intracerebral Hemorrhage

Patofisiologi yang tepat dari Intracerebral Hemorrhage primer tetap

kontroversi. Perdarahan intraserebral primer disebabkan oleh ruptur arteriol

kecil, dalam banyak kasus yang berhubungan dengan hipertensi arteri jangka

panjang. Ruptur spontan pembuluh darah ini karena elastisitas pembuluh

berkurang dan peningkatan kerentanan (Elijovich, 2008).

Perdarahan intraserebral ini dapat disebabkan oleh karena ruptur arteri

serebri yang dapat dipermudah dengan adanya hipertensi. Keluarnya darah


14

dari pembuluh darah didalam otak berakibat pada jaringan disekitarnya atau

didekatnya, sehingga jaringan yang ada disekitarnya akan bergeser dan

tertekan. Darah yang keluar dari pembuluh darah sangat mengiritasi otak

sehingga mengakibatkan vasospasme pada arteri disekitar perdarahan, spasme

ini dapat menyebar keseluruh hemisfer otak dan sirkulus willisi, perdarahan

aneurisma ini merupakan lekukan-lekukan berdinding tipis yang menonjol

pada arteri pada tempat yang lemah. Makin lama aneurisma makin besar dan

kadang pecah saat melakukan aktivitas. Dalam keadaan fisiologis pada orang

dewasa jumlah darah yang mengalir ke otak 58 ml/menit per 100 gr jaringan

otak. Bila aliran darah ke otak turun menjadi 18 ml/menit per 100 gr jaringan

otak akan menjadi penghentian aktivitas listrik pada neuron tetapi struktur sel

masih baik, sehingga gejala ini masih reversibel, oksigen sangat dibutuhkan

oleh otak sedangkan O2 diperoleh dari darah, otak sendiri hamper tidak ada

cadangan O2 dengan demikian otak sangat tergantung pada keadaan aliran

darah setiap saat. Bila suplai O2 terpuutus 8-10 detik akan terjadi gangguan

fungsi otak, bila lebih lama dari 6-8 menit akan terjadi jejas yang ireversibel

dan kemudian akan menyebabkan kematian. Perdarahan dapat tekanan

intracranial dan menyebabkan ischemi didaerah lain yang tidak terjadi

perdarahan, sehingga dapat berakibat mengurangnya aliran darah ke otak baik

secara umum maupun local.meninggikan Timbulnya penyakit ini sangat cepat

dan konstan dapat berlangsung beberapa menit, jam bahkan beberapa hari

(Corwin, 2009).

3.5 Tanda dan Gejala Klinik Intracerebral Hemorrhage

1. Sakit kepala, mual dan muntah


15

2. Letargis dan bingung

3. Tiba-tiba terasa lemah atau mati rasa pada wajah, lengan atau tungkai,

biasanya pada satu sisi

4. Hilang kesadaran

5. Kehilangan penglihatan sementara

6. Kejang (Andrew, 2018)

3.6 Pemeriksaan Penunjang Intracerebral Hemorrhage


1. Computed Tomography (CT) scan : X-ray noninvasif untuk meninjau

struktur anatomi di dalam otak dan mendeteksi pendarahan apa pun. CT

angiografi melibatkan suntikan kontras ke dalam aliran darah untuk

melihat arteri otak.

2. Angiogram : Prosedur invasif, di mana kateter dimasukkan ke arteri dan

melewati pembuluh darah ke otak. Setelah kateter sudah dipastikan

terpasang dengan benar, kontras pewarna disuntikkan ke dalam aliran

darah dan sinar-X diambil.

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI) : Tes noninvasif, yang menggunakan

medan magnet dan gelombang frekuensi radio untuk memberikan

gambaran rinci tentang jaringan lunak pada otak.

4. Magnetic Resonance Angiogram (MRA) : Melibatkan suntikan kontras

ke dalam aliran darah untuk memeriksa pembuluh darah serta struktur

otak (Andrew, 2018).

3.8 Tatalaksana Intracerebral Hemorrhage

1. Tatalaksana Medis Perdarahan Intrakranial


16

a. Pasien dengan defisiensi berat factor koagulasi atau trombositopenia berat


sebaiknya mendapat erapi penggantian factor koagulasi atau trombosit
b. Pasien dengan perdarahan intracranial dan peningkatan INR terkait obat
antikoagulan oral sebaiknya tidak diberikan walfarin, tetapi mendapat
terapi untuk menggganti vitamin K-dependent factor dan mengkoreksi
INR, serta mendapat vitamin K intravena. Konsentrat kompleks
protrombin tidak menunjukkan perbaikan keluaran dibandingkan dengan
Fresh Frozen Plasma (FFP). Namun, pemberian konsentrat kompleks
protrombin dapat mengurangi komplikasi dibandingkan dengan FFP dan
dapat dipertimbangkan sebagai alternative FFP.
c. Apabila terjadi gangguan koagulasi maka dapat dikoreksi sebagai berikut:
a. Vitamin K 10 mg IV diberikan pada penderita dengan peningkatan
INR dan diberikan dalam waktu yang sma dengan terapi yang lain
karena efek akan timbul 6 jam kemudian. Kecepatan pemberian <1
mg/menit untuk meminimalkan risiko anafilaksis.
b. FFP 2-6 unit diberikan untuk mengoreksi defisiensi factor
pembekuan darah bila ditemukan sehingga dengan cepat
memperbaiki INR atau aPTT. Terapi FFP ini untuk mengganti
pada kehilangan factor koagulasi.
d. Faktor VIIa rekobinan tidak mengganti semua factor pembekuan, dan
walaupun INR menurun, pembekuan bias jadi tidak membaik. Oleh
karena itu, factor VIIa rekombinan tidak secara rutin direkomendasikan
sebagai agen tunggal untuk mengganti antikoagulan oral pada perdarahan
intracranial. Walaupun factor VII a rekombinan dapat membatasi
perluasan hematoma pada pasien ICH tanpa koagulopati, risiko kejadian
tromboemboli akan meningkat dengan factor VIIa rekombinan dan tidak
ada keuntungan nyata pada pasien yang tidak terseleksi
e. Kegunaan dari transfuse trombosit pada pasien perdarahan intracranial
dengan riwayat penggunaan antiplatelet masih tidak jelas dan dalam
tahap penelitian.
17

f. Untuk mencegah tromboemboli vena pada pasien dengan perdarahan


intracranial, sebaiknya mendapat pneumatic intermittent compression
selain dengan stoking elastis.
g. Setelah dokumentai penghentian perdarahan LMWH atau UFH subkutan
dosis rendah dapat dipertimbangkan untuk pencegahan tromboembolin
vena pada pasien dengan mobilitas yang kurang setelah satu hingga
empat hari pascaawitan.
h. Efek heparin dapat diatasi dengan pemberian proamin sulfat 10-50 mg IV
dalam waktu 1-3 menit. Penderita dengan pemberian protamin sulfat
perlu pengawasan ketat untuk melihat tanda-tanda hipersensitif

2. Tekanan Darah
3. Penanganan di Rumah Sakit dan Pencegahaan Kerusakan Otak Sekunder

a. Pemantauan awal dan penanganan pasien penrdarahan intracranial


sebaiknya dilakukan di ICU dengan dokter dan perawat yang memiliki
keahlian perawatan intensif neurosains.
b. Penanganan Glukosa
c. Obat kejang dan antiepilepsi
Kejang sebaiknya diterapi dengan obat antiepilepsi. Pemantauan EEG
secara kontinu dapat diindikasikan pada pasien perdarahan intrakrranial
dengan kesadaran menurun tanpa mempertimbangkan kerusakan otak yang
terjadi. Pasien dengan perubahan status kesadaran yang didapatkan
gelombang epiloptogenik pada EEG sebaiknya diterapi dengan obat
antiepilepsi). Pemberian antikonvulsan profilaksis tidak
direkomendasikan.

4. Prosedur/ Operasi

a. Penanganan dan Pemantauan Tekanan Intrakranial


 Pasien dengan skor GCS <8, dengan tanda klinis herniasi
transtentorial,atau dengan perdarahan intraventrikuler yang luas
atau hidrosefalus, dapat dipertimbangkan untuk penanganan dan
Pemantauan tekanan intrakranial. Tekanan perfusi otak 50-70
mmHg dapat dipertahankan tergantung pada status otoregulasi otak
18

 Drainase ventrikular sebagai tata laksana hidrosefalus dapat


di[pertimabngkan pada pasien dengan penurunan tingakt kesadaran
b. Perdarahan Intraventikuler
Walaupun pemberian intraventrikuler recombinant tissue-type
plasminogen activator (rTPA) untuk melisiskan bekuan darah
intraventrikuler memiliki tingkat komplikasi yang cukup rendah, efikasi
dan keamanan dari tata laksana ini masih belum pasti dan dalam tahap
penelitian
c. Evakuasi hematom
 Pada sebagian besar pasien dengan perdarahan intrakranial, kegunaan
tindakan operasi masih belum pasti
 Pasien dengan perdarahan serebral yang mengalami perburukan
neurologis, atau yang terdapat kompresi batang otak, dan atau hidrosefalus
akibat obstruksi ventirkel sebaiknya menjalani operasi evakuasi bekuan
darah secepatnnya Tata laksana awal pada pasien tersebut dengan drainase
ventrikuler saja tanpa evakuasi bekuan darah tidak direkomendasikan
 Pada pasien dengan bekuan darah di lobus > 30 ml dan terdapat di 1 cm
dari permukaan, evakuasi perdarahan intrakranial supratentorial dengan
kraniotomi standar dapat dipertimbangkan.
 Efektivitas evakuasi sumbatan secara invasif minimal menggunakan baik
aspirasi streotaktik maupun endoskopik dengan atau tanpa penggunaan
trombolitik masih belum pasti dalam tahap penelitian
 Saat ini tidak terdapat bukti mengindikasikan pengangkatan segera dari
perdarahan intrakranial supratentorial untuk meningkatakan keluaran
fungsional atau angka kematian, kraniotomi segera dapat merugikan
karena dapat meningkatkan faktor resiko perdarahan berulang
d. Prediksi keluaran dan penghentian dukungan teknologi
Perintah penundaan tidak diresusitasi direkoimendasikan untuk tidak
melakukan perawatan penuh dan agresif dilakukan selama 2 hari , Kecuali
pada pasien yang sejak semula ada keinginan untuk tidak diresusitasi. 1
e. Pencegahan perdarahan intrakranial berulang
19

1. Pada perdarahan intrakranial dimana stratifikasi risiko pasien telah


disusun untuk mencegah perdarahan berulang keputusan
tatalaksana dapat berubah karena pertimbangan beberapa faktor
risiko, antara lain lokasi lobus dari perdarahan awal, usia lanjut,
dalam pengobatan antikoagulan, terdapat alel E2 atau E4
apolipoprotein dan perdarahan mikro dalam jumlah besar pada
MRI
2. Setelah periode akut perdarahan intrakranial dan tidak ada kontra
indikasi medis, tekanan darah sebaiknya dikontrol dengan baik
terutama pada pasien yang lokasi perdarahannya tipikal dari
vaskulopati hipertensif
3. Setelah periode akut perdarahan intrakranial, target dari tekanan
darah dapat dipertimbangkan menjadi <140/90 mmHg atau
<130/80 mmHg jika diabetes penyakit ginjal kronik
4. Penghentian pemakaian antikoagulan jangka panjang sebagai
tatalaksana fibrilasi atrial nonvalvuler mungkin direkomendasikan
setelah perdarahan intrakranial lobar spontan karena relatif berisiko
tinggi untuk perdarahan berulang Pemberian antikoagulan dan
terapi antiplatelet setelah perdarahan intrakranial nonlobar dapat
dipertimbangkan, terutama pada keadaan terdapat indikasi pasti
penggunaan terapi tersebut
6. Pelanggaran konsusmsi alkohol berat sangat bermanfaat

5. Rehabilitasi dan pemulihan


Mengingat potensi yang serius dari perdarahan intrakranial
berupa kecacatan yang berat, serius dan kompleks, semua pasien
sebaiknya dilakukan rehabilitasi secara multidisiplin (AHA/ASA,
Class IIa, Level of evidance B). Jika memungkinkan , rehabilitasi
dapat dilakukan sedini mungkin dan berlanjut disarana rehabilitasi
komunitas, sebagai bagian dari program terkoordinasi yang baik
antara perawatan di rumah sakit dengan perawatan berbasis rumah
20

sakit dengan perawatan berbasis rumah (Home care) untuk


meningkatkan pemulihan

BAB 4

KESIMPULAN

Hipertensi merupakan faktor risiko yang potensial pada kejadian ICH

karena dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah otak yang akan

mengakibatkan perdarahan otak, dan penyempitan pembuluh darah otak yang

akan mengganggu aliran darah ke otak yang pada akhirnya menyebabkan

kematian sel-sel otak.

Manifestasi klinis pada pasien seringkali tergantung pada lokasi

perdarahan, namun secara umum ICH ditandai dengan sakit kepala, mual, muntah,

letargi, kelemahan atau mati rasa pada wajah, lengan atau tungkai yang biasanya

hanya pada satu sisi, hilangnya kesadaran, serta kejang. Sekitar 70% pasien

mengalami defisit jangka panjang setelah ICH. Pengobatan ICH berfokus untuk

menghentikan pendarahan, menghilangkan hematoma, dan mengurangi tekanan

pada otak

. Untuk mendiagnosa suatu stroke iskemik diperlukan anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang menyeluruh dan teliti. Pemeriksaan yang menjadi gold

standar untuk mendiagnosa stroke iskemik adalah CT-scan. Penting untuk

membedakan gejala klinis stroke hemoragik dan iskemik. Bila tidak dapat

dilakukan CT-scan maka dpaat dilakukan sistem skoring untuk mengerucutkan

diagnosa.
21

Setelah dapat ditegakkan diagnosis, perlu dilakukan terapi segera agar tidak

terjadi perdarahan lebih lanjut. Prinsip terapi dari stroke ICH adalah perbaikan

perfusi ke otak, mencegah perdarahan, dan pemberian neuroprotektif.

DAFTAR PUSTAKA

Hemphill JC III, et al. , 2001, The ICH Score: A Simple, Reliable Grading Scale
for Intracerebral Hemorrhage, Stroke, 32(4): 891-897.

Fewel ME, Thompson BG, Hoff JT, 2003, Spontaneous Intracerebral


Hemorrhage:a review. Neurosurg Focus 15.

Andrew. Ringer MD, 2018, Intracerebral Hemorrhage, Mayfield brain and spine.

Acharya, Aninda M.D, 2011, Evidence Based Management of Intracerebral


Hemorrhage, The Internet Stroke Management, St. Louis University, pp. 3.

Elijovich L, Pratik VP, Hemphill JC. Intracerebral Hemorrhage. Semin Neurol


2008; 28: 657-67.

Guyton, Arthur C; John E Hall. 2007. Textbook of Medical Physiology edisi 11.
Terjemahan; Dian Ramadhani; Fara Indriyani; Frans Dany; Imam Nuryanto; Srie
Sisca Prima Rianti; Titiek Resmisari; Joko Suryono. 2008. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran edisi 11. Jakarta: EGC.

Marks, Dawn B; Marks, Allan D; Smith, Collen M. 2000. Basic Medical


Biochemistry : A Clinical Approach. Terjemahan; Brahm U. Pendit. Biokimia
Kedokteran Dasar Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta: EGC.

Hananta, I Putu Yuda; Harry Freitag L.M. 2011. Deteksi Dini dan Pencegahan
Hipertensi dan Stroke. Yogyakarta: Media Pressindo.

Dinata. Cintya Agreayu, Safrita. Yuliarni, Sastri. Susila . 2013. Gambaran Faktor
Risiko dan Tipe Stroke pada Pasien Rawat Inap di Bagian Penyakit Dalam RSUD
22

Kabupaten Solok Selatan Periode 1 Januari 2010 - 31 Juni 2012. Jurnal


Kesehatan Andalas. 2(2).

Anda mungkin juga menyukai