Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS INDIVIDU

APPENDISITIS AKUT

Pembimbing:

dr. Romy Hari Pujianto, Sp.B

Oleh:
Aisyah Cholifa Rohmah
201820401011152

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaykum wa rahmatullahi wa barakatuh.


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala
karena atas rahmat dan hidayah-Nya, penulisan laporan kasus individu pada stase
bedah ini dapat diselesaikan dengan baik. Sholawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, keluarga, para
sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman.Aamiin.
Laporan kasus yang akan disampaikan dalam penulisan ini mengenai

“Appendisitis Akut”. Penulisan laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi tugas

individu stase bedah.Dengan terselesaikannya laporan kasus ini penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Romy Hari Pujianto,

Sp.B, selaku pembimbing yang telah membimbing dan menuntun penulis dalam

pembuatan laporan kasus ini.Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh

dari sempurna, oleh karena itu penulis tetap membuka diri untuk kritik dan saran

yang membangun. Akhirnya, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat.

Wassalamualaykum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Lamongan, 10 Februari 2020

Penulis

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Apendisitis akut adalah peradangan pada Appendix vermiformis, yaitu


kantong kecil berbentuk jari yang menempel di awal usus besar di sisi kanan
bawah perut dan merupakan proyeksi dari apeks sekum. Inflamasi apendiks
sekitar 50-80% akibat obstruksi, penyebab tersering oleh faecalith yang dihasilkan
dari akumulasi dan kotoran serat sayuran, hiperplasia limfoid, tumor caecum, atau
gumpalan cacing (Ignatius, 2014).
Appendicitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering
ditemukan. Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak
umum pada anak sebelum usia sekolah, kegagalan menegakkan diagnosa dan
keterlambatan penatalaksanaannya akan menyebabkan peningkatan morbiditas
dan mortalitas. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik
merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis Appendicitis. Semua
kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari Appendix yang
terinflamasi. Pada beberapa kasus appendicitis dapat sembuh tanpa pengobatan,
tapi banyak juga yang memerlukan laparotomi. Appendicitis akut dapat
menyebabkan kematian karena peritonitis dan syok (Andy, 2016).
Apendektomi menjadi salah satu operasi abdomen terbanyak di dunia.
Sebanyak 40% bedah emergensi di negara barat dilakukan atas indikasi
apendisitis akut. Menurut Depkes RI tahun 2014, jumlah pasien yang menderita
penyakit apendisitis di Indonesia mencapai 591.819 orang dan meningkat sebesar
596.132 orang pada tahun 2015 (Depkes RI, 2015).

Keluhan utama yang dirasakan penderita ketika datang ke pelayanan


kesehatan adalah nyeri perut pada kanan bawah. Tidak jarang pasien datang
dengan keluhan nyeri seluruh perut dan akhirnya terdiagnosis dengan apendisitis
perforata, yaitu apendisitis stadium akhir dimana didapatkan nanah pada rongga
perut.

Data yang didapatkan sebanyak 80% pasien terdiagnosis apendisitis akut


saat operasi, sedangkan sekitar 15-20% insideni apendisitis perforasi ditemukan

1
2

saat operasi.Angka kematian yang tiambul akibat apendisitis akut sekitar 0,2-
0,8% sedangkan angka kematian akibat perforasi sekitar 10-15%.

(Gloria, 2016).

Maka dari itu, untuk menurunkan angka mortalitas dan morbiditas,


diperlukan pengetahuan untuk mendiagnosis secara dini dan tepat guna
penatalaksanaan yang lebih tepat dan segera.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny Mudayati
Umur : 47 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Pagendingan RT4 RW2 Kanugrahan Maduran Lamongan

Status : Menikah
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : IRT
Kebangsaan : Jawa/Indonesia
Tanggal Pemeriksaan : 20 januari 2020
No. RM : 19.30.71

2.2 Anamnesis

2.2.1 Keluhan Utama

Nyeri perut kanan bawah

2.2.2 Riwayat PenyakitSekarang


Pasien datang ke IGD dengan keluhkan nyeri perut sejak 12 jam SMRS.
Nyeri perut dirasakan pada bagian kanan bawah, nyeri tidak diawali pada bagian
ulu hati. Mual muntah disangkal tetapi nafsu makan menurun. Keluhan demam
disangkal. BAK tidak ada keluhan , tidak ada kencing berpasir, kencing berdarah
dan nyeri saat BAK. BAB normal tidak ada yang dikeluhkan

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan serupa disangkal, alergi makanan dan obat-obatan
disangkal, asthmadisangkal, hipertensi disangkal.

2.2.4 Riwayat PenyakitKeluarga


Riwayat keluhan serupa dalam keluarga pasien disangkal.

3
4

2.2.5 Riwayat PenyakitSosial

2.3 PemeriksaanFisik

2.3.1 StatusGeneralisata

− KeadaanUmum : tampak kesakitan

− Kesadaran : GCS 456/ComposMentis

− TandaVital

 Tekanan darah : 124/77mmHg

 Nadi :109x/menit, reguler, kuat angkat

 Suhu :37.2C

 Pernafasan :20x/menit

- Status Generalis
 Kepala danLeher
 Anemis (-), Ikterus (-), Sianosis (-), Dyspnea(-)
 Pembesaran kelenjar getah bening(-)
 Pembesaran tiroid(-)
 Thorax
 Inspeksi : simetris, retraksi-/-
 Palpasi : simetris, nyeri tekan -, massa -
 Perkusi : sonor di seluruh lapangparu
 Auskultasi :
 Paru-paru: vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-
 Jantung: BJ I dan II tunggal reguler, murmur -, gallop -
 Abdomen
 Inspeksi :Flat

 Auskultasi : Bising usus +normal


 Perkusi : Timpani di seluruh kuadran abdomen

4
5

 Palpasi : Soepel, Nyeri tekan RLQ +, ligart sign -,


 Ekstremitas
 Inspeksi : ikterus -, sianosis -, edema -
 Palpasi : Hangat, kering, merah, CRT <2 detik

2.3.2 Pemeriksaan Rangsang Peritoneum


1. Mc. Burney :+
2. Nyeri lepas RLQ (Blumberg’s sign) : +
3. Rovsing’s sign :+
4. Dunphy sign :-
5. Psoas sign :+
6. Obturator sign :+
7. Rectal toucher : nyeri tekan jam 9,10, 11,12,1

2.4 Analisis Kasus


Clue and Cue
1. Perempuan, 47 tahun
2. Nyeri perut kanan bawah mendadak
3. Anoreksia
4. Mc. Burney+, rovsing’s sign+, psoas sign, Blumberg sign +, obturator sign
+, RT nyeri tekan jam 9-1

2.5 Assesment I
Initial diagnosis: Appendicitis akut dengan komplikasi periappendicular abses
Diagnosis Banding:Periappendicular infiltrat, tumor sekum

2.6 Planning I
Terapai:
1. Pemasangan DK
2. IVFD. RL 1500 ml/24 jam
Diagnosis:
1. Darah lengkap
2. USG abdomen

5
6

2.7 Pemeriksaan Penunjang I

2.7.1 Laboratorium
Tabel 2.1 Pemeriksaan Laboratorium I

Darah Lengkap
Komponen Hasil Nilai Normal Satuan
Eritrosit 4.59 3.80-5.30 10^6/uL
Hb 12.9 P 13.0-18.0 L 14.0-18.0 g/dL
Hematokrit 40.2 L 40-54 P 35-47 %
MCV 87.60 87.00-100.00 Fl
MCH 28.10 28.00-36.00 Pg
MCHC 32.10 31.00-37.00 g/dL
RDW-CV 10 10-16.5 %
MPV 7 5-10 Fl
Trombosit 344 150.000-450.000 uL
Lekosit 18.5 4.0-11.0 10^3/uL
Neutofil 75.4 49.0-67.0 %
Limfosit 15.2 25.0-33.0 %
Monosit 8.7 3.0-7.0 %
Eosinophil 0.4 1.0-2.0 %
Basofil 0.3 0.0-1.0 %
LED 1 65 0-1
LED 2 823 1-5

2.7.2 USG
Mc burney
Tampak target sign, nyeri tekan
probe (+),

6
7

Kesimpulan:
1. Nyeri tekan probe +, Tampak target sign, nyeri tekan probe (+) Mengarah
pada appendicitis dengan curiga PAA
2. Organ lain tersebut di atas tak tampak kelainan

2.8 Assesment II
ALVARADO Score (MANTRELS)
Tabel 2.2ALVARADO Score

Penilaian Skor Nilai


Migration of Pain 1 0
Anorexia 1 1
Nausea 1 0
Tenderness in right lower quadrant 2 2
Rebound pain 1 1
Elevated Temperature (>37,3C) 1 0
Leucocytosis (> 10.000 cells/mm3) 2 2
Shift of white blood count to the left 1 1
Total 7

Interpretasi: total skor 7-10 very probabble appendicitis


Diagnosis:
1. Appendicitis akut dengan komplikasi periappendicular abses
2. Organ lain tidak ada kelaianan

2.9 Planning II
Terapi:
1. MRS

7
8

2. Inj. Ceftriaxone 2x1 g


3. Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
4. Konsul dokter Sp.B Pro laparotomy apendectomy
5. Mulai puasa
Diagnosis:
1. Faal hemostasis (PT, APTT)
2. HbsAg
3. Anti-HIV metode 1
4. GDA
5. Foto Thorax

2.10 Pemeriksaan Penunjang II

2.10.1. Laboratorium
Tabel 2.3 Pemeriksaan Laboratorium II

Diabetik
Komponen Hasil Nilai Normal Satuan
GDA 92 mg/dL
Faal Hemostasis
Komponen Hasil Nilai Normal Satuan
PT 14.00 10.30-16.30 Detik
APTT 23.60 24.20-38.20 Detik
HIV
Komponen Hasil Nilai Normal Satuan
Metode 1 Non reaktif Non reaktif -
Hepatitis
Komponen Hasil Nilai Normal Satuan
HbsAg Negatif Negatif -

8
9

2.10.2. Foto Polos Thorax


- Cor: besar dan bentuk normal
- Pulmo: tidak tampak fibroinfiltrat
- Sinus phrenicocostalis kanan dan kiri
tajam, tulang dan soft tissue tak tampak
kelainan
- Kesimpulanfoto thorax tak tampak
kelainan

2.11 Planning Monitoring


1. Kondisi umum
2. Keluhan
3. Vital Sign

2.12 Planning Edukasi


• Bahwa pasien mengalami apendisitis, yaitu peradangan pada usus buntu
yang bisanya dikarenakan oleh sumbatan.
• Nyeri perut dan keluhan lain ( nafsu makan menurun) yang dirasakan
berkaitan dengan penyakit pasien
• Pasien mengalami komplikasi dari apendisitis berupa periappendicular
abses sehingga perlu dilakukan pengambilan appendix dengan cara
membuka perut. Dan pasien dibius agar tidak merasa sakit. Jika setuju,
maka pasien bisa mulai berpuasa.
• Menjelaskan tindakan terapi yang akan dilakukan (membuka perut dan
memotong apendiks)
• Menjelaskan komplikasi tindakan terapi yang akan dilakukan

9
10

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Appendix


Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch
membentuk produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10
cm (kisaran 3-15 cm) dengan diameter 0,5-1 cm, dan berpangkal di caecum.
Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.Posisi
appendix bervariasi. Sebagian besar terletak dibelakang caecum, retrocaecalis
(64%). Berikutnya yang mempunyai posisi kearah bawah ke pelvis minor,
caudopositio (32%), lalu posisi lateropositio (2%) dan sisanya posisi mediopositio
(Ignatius, 2014).

Gambar 3.1 Anatomi Apendiks


Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterica superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendisitis bermula di
sekitar umbilicus. Vaskularisasi apendiks berasal dari a.apendikularis yang
merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
thrombosis pada infeksi apendiks akan mengalami gangren (Timothy, 2017).

10
11

Gambar 3.2 Mikroskopis Appendix


Gambaran mikroskopis appendix vermiformis secara struktural mirip
kolon, terdapat empat lapisan yaitu, mukosa, submukosa, tunika muskularis, dan
tunika serosa. Mukosa appendix terdiri dari selapis epitel di permukaan. Pada
epitel ini terdapat sel-sel absorbtif, sel-sel goblet sel-sel neuro endokrin dan
beberapa sel paneth. Lamina propia dari mukosa adalah lapisan seluler dengan
dengan banyak komponen sel-sel migratory dan agregasi limfoid. Berbeda dengan
di colon dimana limfoid folikel tersebar, pada appendix folikel limfoid ini sangat
banyak dijumpaiterutama pada appendix individu berusia muda. Lapisan terluar
dari mukosa adalah muskularis mukosa, yang merupakan lapisan fibromuskular
yang kurang berkembang pada appendix (Timothy, 2017).

Gambar 3.3 Letak Apendiks

11
12

1.A. Ileokolika, 2. ileum terminale, 3. a. apendikularis terletak di


retroperitoneal, 4. a.
apendikularedidalammesoapendiks,5.Ujungapendiks,6.apendiksletakintra
peritoneal,7.Sekum letak intraperitoneal, 8. apendiks letak retroperitoneal,
9. pertemuan tiga tenia menuju pangkal apendiks

Apendiks menghasilkan lendir sekitar 1-2 ml yang dialirkan kedalam


lumen lalu diteruskan kedalama sekum. Saluran cerna memiliki fungsi sebagai
imunoglobulin sekretoar, terutama Imunoglobulin A (IgA) yang dihasilkan oleh
Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT). Apendiks termasuk komponenintegral
dari sistem GALT, walaupun dilakukan appendektomi tidak akan menyebabkan
imunodefisiensi atau predisposisi terjadiya sepsis (Ignatius, 2014).

3.2 Apendicitis

3.2.1 Definisi
Apendicitis merupakan peradangan yang terjadi pada appendix
vermiformis, dapat disebabkan karena infeksi atau obstruksi pada appendix.

3.2.2 Epidemiologi
Apendisitis merupakan kegawat daruratan yang paling sering ditemukan di
bidang ilmu bedah. Sebanyak tujuh persen penduduk di negara barat mengalami
apendisitis dan di negara Amerika Serikatterdapat lebih dari 200.000 penduduk

yang melakukan pendektomi dalam setahun.(4) Sebanyak 80% pasien


terdiagnosis apendisitis akut saat operasi, sedangkan sekitar 15-20% insideni
apendisitis perforasi ditemukan saat operasi. Perforasi dapat terjadi 24-48 jam
setelah awitan nyeri. Angka kematian yang timbul akibat apendisitis akut adalah
0,2-0,8% sedangkan angka kematian akibat perforasi sekitar 10-15% (Depkes,
2015).
Dapat ditemukan dalam semua umur (5-45 tahun) dengan rata-rata 28
tahun (20-30 tahun) (Mark, 2019).
Menurut Depkes RI tahun 2015, jumlah pasien yang menderita penyakit
apendisitis di Indonesia mencapai 591.819 orang dan meningkat sebesar 596.132
orang pada tahun 2015 (Depkes RI, 2015).

12
13

Apendisitis sering terjadi pada anak-anak maupuan orang dewasa, insiden


terbanyak apendisitis pada laki-laki usia 10-14 tahun berkisar 27,6% kasus pe
10.000, sedangkan pada perempuan 15-19 tahun sekitar 20,5% kasus per 10.000
dan insiden terendah pada bayi Menurut WHO angka mortalitas akibat apendisitis
adalah 22.000 jiwa dimana laki-laki sekitar 12.000 jiwa dan perempuan 10.000
jiwa (Gloria, 2016).

3.2.3 Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendicitis. Fekalit merupakan
penyebab tersering dari obstruksi appendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi
jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan Roentgen, diet rendah serat, dan
cacing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau trauma karena colonoscopy
dapat mencetuskan inflamasi pada appendiks.Obstruksi pada lumen appendix
menyebabkan terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi
infeksi.Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi.
Fekalit ditemukan pada 40% dari kasus appendicitis akut, sekitar 65% merupakan
appendicitis gangrenous tanpa ruptur dan sekitar 90% kasus appendicitis
gangrenous dengan ruptur (Mark, 2019).
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan appendicitis adalah erosi
mukosa appendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian epidemiologi
menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi terhadap timbulnya appendicitis. Konstipasi akan meningkatkan
tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan
mempermudah terjadinya appendisits akut (Ignatius, 2014).
Tabel 3.1 Penyebab Apendix
Bakteri Aerob dan Fakultatif Bakteri Anaerob
Batang Gram (-) Batang Gram (-)
Eschericia coli Bacteroides fragilis
Pseudomonas aeruginosa Bacteroides sp.
Klebsiella sp. Fusobacterium sp.
Coccus Gr (+) Batang Gram (-)

13
14

Streptococcus anginosus Clostridium sp.


Streptococcus sp. Coccus Gram (+)
Enteococcus sp. Peptostreptococcus sp.

3.2.4 Patofisiologi
Obstruksi proksimal dari lumen appendiks merupakan close-loop
obstruction, dan produksi sekresi normal yang terus menerus dari mukosa
appendiks menyebabkan distensi.Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan.Makin lama mukus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen.Distensi appendiks menstimulasi
saraf visceral afferen sehingga menyebabkan rasa tidak enak, rasa nyeri yang
tumpul dan merata pada mid-abdomen atau epigastrium bawah.Peristaltik juga
distimulasi sehingga rasa seperti kram perut sering menyertai. Distensi terus
bertambah akibat sekresi mukosa yang terus menerus dan multiplikasi dari
bakteri appendiks yang cepat.Distensi yang besar ini biasanya menimbulkan
reflek mual dan muntah.Dengan meningkatnya tekanan dalam rongga appendiks,
tekanan vena menjadi besar.Kapiler dan venula tertutup, tapi aliran masuk
arteriola tetap sehingga menghasilkan pembesaran dan kongesti.Proses inflamasi
ini akan mengenai lapisan serosa appendiks sampai peritoneum parietalis.Hal ini
dikarakteristikan dengan adanya perpindahan rasa sakit ke kuadran kanan bawah,
dan terjadi dalam 24 – 48 jam pertama. Bila sekresi mukus terus berlanjut,
tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena,
edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul
meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di
daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendicitis supuratif akut
(Andy, 2016).

14
15

Gambar 3.4 Diagram Patofisiologi Apendix


Mukosa traktus gastrointestinal, termasuk appendiks, mudah terpengaruh
akibat kerusakan aliran darah.Hal ini mengakibatkan mudah terjadinya invasi
bakteri.Karena pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan reaksi inflamsi (edem),
dapat menyebabkan appendiks menjadi semakin edem dan iskemi.Nekrosis dari
dinding appendiks dapat menyebabkan translokasi dari bakteri.Hal ini yang
disebut sebagai appendicitis gangrenosa.Usaha pertahanan tubuh adalah
membatasi proses radang dengan menutup appendiks dengan omentum, usus
halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periappendikular yang dikenal
dengan istilah infiltrat appendiks.Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan
berupa abses (appendiceal abses) yang dapat mengalami perforasi.Jika tidak
terbentuk abses, appendicitis akan sembuh dan massa periappendikular akan
menjadi tenang untuk selanjutnya mengurai diri secara lambat.Bila tidak
ditangani, appendiks yang mengalami gangren tersebut akan pecah (appendicitis
perforasi) dan mengeluarkan isi appendiks ke cavum peritoneal (Chong, 2016).
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan
bawah.Pada suatu ketika, organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan

15
16

sebagai mengalami eksaserbasi akut (appendicitis kronik eksaserbasi akut) (Andy,


2016).

3.2.5 Manifestasi Klinis

Pada sebagian besar pasien nyeri perut merupakan keluhan utama mereka,
berupa nyeri yang konstant pada daerah preumbilical atau epigastric, kemudian
sesuai perkembangan penyakit nyeri menjadi jelas dan terlokalisir di kuadran
kanan bawah dekat titik McBurney.
Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai
dengan nyeri perut yang didahului anoreksia. Gejala utama Appendicitis acuta
adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu
menetap, kadang disertai kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-
12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam (Mc Burney, 2015).
Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi di RLQ. Variasi dari lokasi
anatomi Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri, sebagai contoh; Appendix
yang panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ menyebabkan nyeri di
daerah tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan nyeri suprapubis,
retroileal Appendix dapat menyebabkan nyeri testicular (Ignatius, 2014).
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix,

biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh

meningkat hingga > 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada
75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja.
Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus. Umumnya, urutan munculnya
gejala Appendicitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah
mendahului nyeri perut, maka diagnosis Appendicitis diragukan. Muntah yang
timbul sebelum nyeri abdomen mengarah pada diagnosis gastroenteritis.
Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan
banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul
pada beberapa pasien terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah terjadinya
perforasi Appendix (Andy, 2016).

16
17

3.2.6 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik merupakan metode awal yang tidak membutuhkan


biaya dan sangat membantu dalam menegakkan diagnostik apendisitis. Pada
inspeksi perut tidak ditemukan gembaran spesifik. Kembung sering terlihat pada
pasien dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa terlihat
pada massa atau abses periapendikular. Pada palpasi didapatkan nyeri terbatas
pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis. Peristaltik usu sering normal, peristaltik dapat hilang
oleh karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata
(thyago, 2016).

Terdapat beberapa teknik pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan untuk


menentukan diagnosis apendisitis, dikatakan positif apabilapasien mengeluhkan
nyeri ketika dilakukan pemeriksaan tersebut, teknik pemeriksaan
yang dimaksud antara lain:

a. Mc.Burney’s

Terknik ini digunakana dengan cara, tangan pemeriksa menekan di


kuadran kanan bawah. Penekanan dilakaukan pada suatu titik sepertiga lateral
garis imaginer antara umbilicus dan spina iliaca anterior superior.

Gambar 3.5 Pemeriksaan Mc. Burney

17
18

b. BlumbergSign
Teknik ini dikatakan positif bila pasien mengeluhkan nyeri ketika
dilakukan lepas tekan pada sepertiga lateral garis imaginer antara ubilicus dengan
spina iliaca anterior superior

c. Rovsing’sSign
Teknik ini dikatakan positif ketika dilakukan penekanan di LLQ (left
lower quadran) oleh pemeriksa dan pasien mengeluhkan nyeri yang menjalar di
RLQ (rigt lower quadran).

Gambar 3.6 Pemeriksaan Rouvsing sign

d. Obturator Sign

Teknik ini dikatakan positif apabila pasien mengeluhkan nyeri ketika


dilakukan penegangan otot obturatorium. Teknik ini dilakukan dengan cara
pemeriksa memfleksikan hip join dextra dan dilakukan endorotasi.

Gambar 3.7 Pemeriksaan Obturator Sign

e. PsoasSign

Teknik ini dikatakan positif apabila pasien mengeluhkan nyeri ketika


dilakukan penegangan otot psoas mayor. Teknik pemeriksaan ini bisa

18
19

menggunakan cara aktif dan pasif. Teknik aktif dingunakan dengan cara pasien
meluruskan tungkai kaki kanan lalu memfleksikan hipjoin sendiri. Teknik pasif
dilakukan dengan cara pasien meluruskan tungkai kaki kanan lalu pemeriksa
memposisikan tubuh pasien menjadi left lateral decubitus dan mengektensikan
hip join kanan pasien ke arahbelakang (Mark, 2019).

Gambar 3.8 Pemeriksaan Psoas Sign

f. TenhornSign

Teknik ini dikatakan positif apabila pasien mengeluhkan nyeri di RLQ


ketika pemeriksa menarik testis pasien ke arah kaudal.

g. Dunphy Sign (nyeri RLQ saatbatuk)

Teknik ini dikatakan positif apabila pasien megeluhkan nyeri RLQ saat
pasien batuk.

2. ColokDubur

Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa


dicapai dengan jari telunjuk. Cara pemeriksaannya ialah posisikan pasien
terlentang dengan posisi kaki litotomi. Nyeri tekan arah jam 9-12 ketika dilakukan
colok dubur, mengindikasikan adanya apendisitis. Pada apendisitis pelvika tanda
perut sering meragukan maka kunci diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu
dilakukan colok dubur (Mark, 2019).

19
20

Gambar 3.9 Pemeriksaan colok dubur


1. Rongga peritoneum, 2. Peritoneum perietale 3. sekum, 4. apendiks
(apendisitisakut)

3.2.7 Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

Dalam pemeriksaan darah lengkap, jumlah sel darah putih memiliki nilai
diagnostik pada apendisitis akut dimana nilai leukosit menunjukkan

>10.000/mm3. Beberapa kasus yang parah seperti peritonitis difus,


menunjukkan leukosit yang menurun dibandingkan peningkatan leukosit, perlu
tambahan informasi lain baik anamnesis maupuan pemeriksaan fisik yang
mengarah ke apendisitis. CRP atau C-Reaktif Protein merupakan tes darah yang
digunakan untuk mengukur jumlah protein dalam darah, kadar CRP akan
meningkat tinggi bila terjadi infeksi atau derdapat penyakit kronis. C-reaktif
Protein (CRP) (andy, 2016).

b. Uiltrasonografi Abdomen

Karena minimal invasiv dan mudah digunakan, pemeriksaan ini sering


digunakan untuk mendiagnosis apendisitis. Pada apendiks yang normal tidak
dapat tervisualisasi oleh pemeriksaan ini, ketika apendiks mengalami inflamasi
dan hipertrofi maka dapat tervisualisasi dengan USG. Penilaian apendiks
meliputi, hipertrofi dinding apendiks, gangguan struktur lapisan apendiks, ada
atau tidak dinding yang rusak, cairan purulen dan fecalit didalam lumenapendiks
(Becker, 2017).
Pada apendisitis catarrhal dinding apendiks menunjukkan tiga lapisan,
apabila dinding appendik tidak terlihat jelas maka gambaran tersebut bisa terdapat
pada apendisitis phlegmon. Tidak ditemukannya lapisan dnding apendiks
menunjukkan gangren apendisitis lanjut.

20
21

Gambar 3.10. Gambaran Ultrasonografi pada macam-macam apendiks


Gambaran akumulasi cairan disekitar apendiks menunjukkan proses pembentukan
abses skunder akibat perforasi. Gambaran echo yang tinggi disekitar apendiks
menunjukkan agregasi omentum dan jaringan di sekitarnya akibat proses
inflamasi. Jika terdapat gambaran yang ditemui di atas maka indikasi dilakukan
operasi.

c. CT Scan
CT lebih unggul dibandingkan dengan ultrasonografi dalam beberapa hal,
karena temuannya lebih objektif dan tidak terpengaruh oleh adanya gas usus.
Diagnosis appendisitis oleh CT tergantung pada hipertrofi dinding apendiks,
pembesaran apendiks, pembentukan abses periappendiceal, adanya fecalith,
peningkatan kepadatan jaringan adiposa periappendiceal, dan atau keberadaan
asites di kantong Douglas. CT dapat menggambarkan lampiran yang dapat
diperbesar, tetapi tidak dapat memvisualisasikan dinding apendiks sebagus USG.
Dengan demikian, ultrasonografi lebih unggul dari CT untuk menilai keparahan
apendisitis (Becker, 2017).

3.11 CT-Scan apendix

21
22

3.2.8. Alvarado Score


Penilaian Skor

Gejala Nyeri beralih (Ligart’s sign) 1


Anoreksia 1
Nausea/Vomiting 1
Tanda Nyeri tekan fossa iliaka Dx 2
Nyeri lepas 1
Kenaikkan temperature 1
Laboratorium Leukositosis 2
Neutrofil bergeser kekiri 1
Total Skor 10
Keterangan:

1-4 Tidak dipertimbangkan mengalami apendisitis akut

5-6 Dipertimbangkan kemungkinan Dx apendisitis akut tetapi tidak perlu

tindakan operasi segera /dinilai ulang.Dx: Observasi nyeri RLQ

7-10 Hampir definitif apendisitis akut & dibutuhkan tindakan bedah

3.2.9 Diagnosis Banding


a. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual dan muntah serta diare mendahului rasa sakit.
Sakit perut dirasa lebih ringan dan tidak tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan.
Demam dan leukositosis kurang menonjol.
b. Diverticulitis
Meskipun diverticulitis biasanya terletak di perut sebelah kiri, namun tidak
menutup kemungkinan untuk terjadi di perut sebelah kanan. Gejala klinis sangat
mirip dengan appendicitis akut.
c. Kolik Traktus Urinarius
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos
abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut (Ignatius,
2014).

22
23

3.12 Diagnosis Banding Apendix

d. Limfadenitis Mesenterika

Biasanya didahului entritis atau gastroenteritis ditandai dengan nyeri


perut, terutama kanan disertai dengan keluhan mual, nyeri tekan perut samat,
terutamakanan.

e. Kelainan ovulasi

Folikel ovarium yang pecah memberikan keluhan nyeri perut kanan


bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Nyeri biasanya timbul selama 24
jam tapi biasanya menetap selama 2 hari. Tidak ada tandaradang.
Infeksi panggul, salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan
apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi dari apendisitis dan nyeri perut bagian
bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan
infeksi rutin. Pada colok vagina akan timbul nyeri hebat di panggul jika
uterusdiayunkan.

e. Kehamilan diluar kandungan

Terdapat riwayat terlambat haid dimana keluhan tidak menentu. Pada


ruptur tuba atau abortus kehamilan diluar rahim dengan perdarahan, timbul nyeri
mendadak difus di daerah pelvis kemungkina bisa terjadi syok hipovolemik.
Pemeriksaan vagina didapatkan nyeri dan penonjolan rongga Douglas dan pada
kuldosintessi didapatkandarah.

f. Urolitiasis pielum/ ureter kanan

23
24

Terdapat riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal


merupakan gambaran khas, ditemukan eritosuria. Foto polos dan IVP dapat
menegakkan diagnosis tersebut. Pieonefritis sering disertai dengan demam
tinggi, menggigil, nyeri kostovetebra dan piuria.

3.2.10 Tata Laksana


1. Resusitasi
Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik sistemik
adalah pengobatan pertama yang utama pada peritonitis difus termasuk akibat
appendicitis dengan perforasi.
Cairan yang secara masif ke rongga peritonium harus di ganti segera
dengan cairan intravena, jika terbukti terjadi toksik sistemik, atau pasien tua atau
kesehatan yang buruk harus dipasang pengukur tekanan vena sentral. Cairan atau
berupa ringer laktat harus di infus secara cepat untuk mengkoreksi hipovolemia
dan mengembalikan tekanan darah serta pengeluaran urin pada level yang baik.
Darah diberikan bila mengalami anemia dan atau dengan perdarahan secara
bersamaan (Salminen, 2015).
2. Antibiotik
Pemberian antibiotik intravena diberikan untuk antisipasi bakteri patogen,
antibiotik initial diberikan termasuk generasi ke-3 cephalosporin, ampicillin-
sulbaktam, dll dan metronidazol atau klindamisin untuk bakteri anaerob.
Pemberian antibiotik post operasi harus diubah berdasarkan kultur dan
sensitivitas. Antibiotik tetap diberikan sampai pasien tidak demam dengan normal
leukosit (David, 2016).
3. Pembedahan
Setelah memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik serta
pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan pembedahan sebagai terapi definitif
dari appendicitis perforasi.Tindakan yang paling tepat apabila diagnosa klinik
sudah jelas adalah appendektomi. Penundaan tindakan bedah sambil dilakukan
pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.
Indikasi untuk appendektomi adalah appendicitis akut, appendicitis infiltrat dalam
stadium tenang, appendicitis kronis dan appendicitis perforasi. Pada appendicitis
perforasi dilakukan segera dengan laparatomi (Chue, 2018).

24
25

3.2.11 Komplikasi
1. Perforasi
Komplikasi yang sering terjadi pada appendicitis ialah perforasi appendix.
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis
generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah : 
1. Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh.
2. Suhu tubuh naik tinggi sekali.
3. Nadi semakin cepat.
4. Defance muscular yang menyeluruh.
5. Perut distended.
6. Bising usus berkurang.
2. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa
flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi
bila appendicitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
3. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi
tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis
umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus
meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang
semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis (Chu, 2018).

3.2.12 Prognosis
Prognosis untuk appendicitis adalah baik. Dengan diagnosis yang akurat serta

pembedahan tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan

diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan

berulang dapat terjadi bila appendix tidak diangkat (Ignatus, 2014).

25
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien merupakan seorang perempuan berusia 47 tahun yang bekerja


sebagai IRT. Dari anamnesis pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah yang
dirasakan sejak 12 jam Sebelum Masuk Rumah Sakit (SMRS). Nyeri dirasakan
mendadak, Keluhan dirasakan terus-menerus dan nyeri tidak berkurang jika
digunakan untuk makan dan istirahat..Inflamasi yang terjadi pada serosa apendiks
dapat menstimulasi saraf eferen viseral T8-T10 yang memberikan gambaran nyeri
daerah epigastrik dan periumbilikal. Apabila hasil exudat inflamasi dinding
apendiks berhubungan dengan peritoneum parietal akan menstimulasi saraf
somatik yang memberikan gambaran nyeri lokal pada lokasi Mc. Burney. Hal
tersebut yang menyebabkan penderita merasakan nyeri awal di ulu hati dan
berpindah ke perut kanan bawah (Ignatius, 2014).
Dalam jurnal juga disebutkan bahwa nyeri perut kanan bawah dalam
mendiagnosis apendiks memiliki sensitivitas 81 % dan spesifisitas 53 %.
Perpindahan nyeri dari daerah umbilicus atau epigastrium ke kanan bawah
memiliki sensitivitas 64 % dan spesifisitas 82 %, dan terjadi pada 50-60 % pasien
yang terdiagnosis apendiks (Timothy, 2017).

Pasien tidak mengeluh mual muntah namun nafsu makan yang menurun,
dikatakan bahwa nausea, anoreksia, dan abdominal pain terjadi pada 60%
apendisitis (Timothy, 2017).

Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekanMc. Burney +, blumberg’s


sign +, rovsing’s sign+, psoas sign +, obturator sign +, RT nyeri tekan jam 9-1
sebagai tanda perangsangan/iritasi pada apendiks. Pada analisis dengan
ALVARADO Score didapatkan skor 7 yang artinya gejalahampir pasti apendicitis.

Pada palpasi abdomen didapatkan massa berbatas tidak tegas pada regio
illiaca dextra dan dari pemeriksaan USG abdomen didapatkan target sign, Hal ini
mengarah pada appendisitis akut. Komplikasi appendisitis terjadi pada 4%-6%
pasien dapat berupa gengren, perforasi, atau abses intraabdominal.
Periappendicular abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba
massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula

26
27

berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini
terjadi bila appendicitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.

Pasien ini diterapi dengan pemberian Inf. RL 1500 cc/24 jam, Inj.
Ceftriaxone 2x1 gram, Inj. Ondancetron8 mg, Inj. Ketorolac 3x30 mg, Pro
apendectomy. Tatalaksana awal pada pasien appendisitis akut dengan komplikasi
adalah pemberian cairan intravena dapat diberikan cairan Ringer Laktat untuk
menjaga supaya tekanan darah dan nadi tetap stabil. Pemberian antibiotik
Tatalaksana awal pada appendisitis akut dengan komplikasi periappendicular
abses perlu diberikan. Terapi selanjutnya yaitu pembedahan, penelitian yang
mengatakan bahwa laparoskopi appendectomy sebagai pilihan utama terapi untuk
periappendicular abses pada pasien dewasa dibanding dengan terapi konservatif.
Pada pemeriksaan radiologi tidak didapatkan adanya cairan atau gas bebas di
rongga abdomen namun didapatkan ALVARADO score7, pemeriksaan fisik
didapatkan nyeri tekan pada seluruh regio abdomen yang gejalanya mengarah ke
akut peritonitis sehingga perlu dilakukan open appendectomy. Appendectomy
adalah terapi definitive dari appendicitis dan dapat mencegah terjadinya rekurensi.
Namun memiliki efek samping infeksi pada luka pascaoperasi.
Antibiotik yang digunakan adalah generasi 2/3 dari cephalosporin
(cefmetazole, cefotaxime, atau ceftriaxone) kombinasimetronidazole (atau
tinidazole) atau single-agent regimens dari amoxicillin-clavulanate (atau
ampicillinsulbactam), piperacillin-tazobactam, atau carbapenem (ertapenem or
meropenem). (David, 2018).
Ketorolac untuk appendicitis dalam beberapa jurnal diperbolehkan. Karena
dari penelitian didapatkan bahwa pemberian analgetik tidak mempengaruhi
intervensi operasi dan tidak berpengaruh terhadap resiko perforasi apendiks.
(Wong, 2016). Dalam Rudi, 2017 dikatakan bahwa analgetik “Safe, reasonable
and human”.

27
BAB V
PENUTUP

Apendicitis akut merupakan peradangan apendiks yang disebabkan karena


menyempitnya lumen apendiks akibat obstruksi fekalit, hiperplasia jaringan limfe
maupun parasit atau tumor. Obstruksi lumen apendiks banyak disebabkan oleh
fekait, yang pada akhirnya menimbulkan infalamasi dan distendi apendiks.
Keluhan yang muncul berupa mual muntah, nyeri perut kanan bawah, nyeri
berpindah dari ulu hati ke kanan bawah, tidak nafsu makan, peningkatan suhu
tubuh. Untuk mempermudah diagnosis apendisitis akut perlu dilakukan
penghitunga Alvarado score, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
lainnya.
Dari hasil anamnesi didapatkan pasien mengeluhkan nyeri perut kanan
bawah mendadak. Dari hasil pemeriksaan fisik dan nyeri tekan Mc. Burney,
rovsing’s sign+, psoas sign +, obturator sign +, RT nyeri tekan jam 9-1. Dari hasil
pemeriksaan laboratorim didapatkan leukositosis. Hasil Alvarado score 7, perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang dengan USG, hasil dari pemeriksaan tersebut
menunjukkan Tampak target sign, nyeri tekan probe (+) dengan kesimpulan
Appendicitis akut dengan komplikasi periappendicular abses. Penatalaksanaan
yang dilakukan pada pasien ini yaitu pemberian cairan, terapi medikamentosa
antibiotik dan analgetik, serta tindakan operatif dengan cara open apendectomi.

28
DAFTAR PUSTAKA

Andy Petroianu* and Thiago Vinicius Villar Barroso , 2016, Pathophysiology of


Acute Appendicitis, JSM Gastroenterology and Hepatology SciMedCentral,
Vol. 3 No. 2.
Boyke Damanik,1* Erjan Fikri,2 Iqbal Pahlevi Nasution2, 2016, Relation between
fiber diet and appendicitis incidence in children at H. Adam Malik central
hospital Medan North Sumatra-Indonesia, Bali Medical Journal (Bali Med
J) 2016, Volume 5, Number 2: 268-271
Chong, Wang, Chen, Ma, Chang, 2016, Preconsultation use of analgesics on
adults presenting to the emergency department with acute appendicitis,
Emergency Medical Journay, Vol. 21 No. 3
Chu Matsudaand Masakazu Ikenaga, 2018, Is surgical treatment necessary for
uncomplicated acute appendicitis?, Ann Gastroenterol Surg, No. 2
David A. Talan, MD, Darin J. Saltzman, MD, PhD, Daniel A. DeUgarte, MD,
MS, and Gregory J. Moran, MD, 2016, Methods of conservative antibiotic
treatment of acute uncomplicated appendicitis: A systematic review, J
Trauma Acute Care Surg, Volume 86, No 4.
Depkes RI, 2015, Profil Kesehatan Indonesia, Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
DL,HunterJG,PollockRE.NewYork:McGrawHillCompanies Inc.2005:1119-34.
Doherty GM, Way LW. Current surgical diagnosis and treatment. Edisi ke-12.
New York: The McGraw Hill companies; 2006.
Gloria A. Thomas 2 Ishak Lahunduitan 2 Adrian Tangkilisan, 2016, Angka
kejadian apendisitis di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode
Oktober 2012 – September 2015, Jurnal e-Clinic, Vol. 4 No. 1
Gomes, C. A., Sartelli, M., Di Saverio, S., Ansaloni, L., Catena, F., Coccolini, F.,
… Gomes, C. C. (2015). Acute appendicitis: proposal of a new
comprehensive grading system based on clinical, imaging and laparoscopic
findings. World Journal of Emergency Surgery, 10(1).
Ignatius Riwanto, Hendro Wartatmo, Ibrahim Labeda, Tadjuddin Tjambolang,
2014, Usus Halus, Apendiks, Kolon dan Anorektum, Buku Ajar Ilmu Bedah,
EGC p. 753-781.

29
30

Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery
Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn
Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th
edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2014: 1381-93.
Lovino P, Chiarioni G, Bilancio G, Cirillo M, Mekjavic IB, et al. (2013) New
Onset of Constipation during Long-Term Physical Inactivity: A Proof-of-
Concept Study on the Immobility-Induced Bowel Changes. PLOS ONE 8(8):
e72608.
Mark W. Jones; Hassam Zulfiqar; Jeffrey G. Deppen, 2019, Appendicitis, BMJ
Journal, Vol. 3
McBurney C. Experience with early operative interference in cases of disease of
the vermiform appendix. NY Med J. 1889;50:676–84.
Ohle Robert and O’reilly Fran. 2011. The Alvarado score For Predicting Acute
Appendicitis: A Systematic Review. BMC Medicine.
Omar Faiz and David Moffat, 2006, Anatomy at a Glance, Surabaya: Erlangga,
pp139.
Rudy Bromberg Ran D. Goldman, 2017, Does analgesia mask diagnosis of
appendicitis among children?, Canadian Family Physician, Vol. 21
Salminen P, Paajanen H, Rautio T, et al, 2015, Antibiotic therapy vs
appendectomy for treatment of uncomplicated acute appendicitis: the
APPAC randomized clinical trial. JAMA. 2015;313:2340–8.
Timothy M. Hirsch, MS, PA-C, 2017, Acute Appencitis, American Academy of
Physician Assistants, Volume 30 No. 6
WHO. Globlal burden disease. .Tersedia pada: http:
//www.who.int/healthinfo/global_burden_disease/BD_report_2004update_A
n nexA.pdf.; 2014.
Wim DJ, Sjamsuhidajat R. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2004.
Zinner MJ, dan Ashley SW. Maingot’s abdominal operation. 11th Edition. New
York: McGraw-Hill; 2007.

30

Anda mungkin juga menyukai