APPENDISITIS AKUT
Pembimbing:
Oleh:
Aisyah Cholifa Rohmah
201820401011152
“Appendisitis Akut”. Penulisan laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi tugas
Sp.B, selaku pembimbing yang telah membimbing dan menuntun penulis dalam
pembuatan laporan kasus ini.Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu penulis tetap membuka diri untuk kritik dan saran
Penulis
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
saat operasi.Angka kematian yang tiambul akibat apendisitis akut sekitar 0,2-
0,8% sedangkan angka kematian akibat perforasi sekitar 10-15%.
(Gloria, 2016).
2
BAB II
LAPORAN KASUS
Status : Menikah
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : IRT
Kebangsaan : Jawa/Indonesia
Tanggal Pemeriksaan : 20 januari 2020
No. RM : 19.30.71
2.2 Anamnesis
3
4
2.3 PemeriksaanFisik
2.3.1 StatusGeneralisata
− TandaVital
Suhu :37.2C
Pernafasan :20x/menit
- Status Generalis
Kepala danLeher
Anemis (-), Ikterus (-), Sianosis (-), Dyspnea(-)
Pembesaran kelenjar getah bening(-)
Pembesaran tiroid(-)
Thorax
Inspeksi : simetris, retraksi-/-
Palpasi : simetris, nyeri tekan -, massa -
Perkusi : sonor di seluruh lapangparu
Auskultasi :
Paru-paru: vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-
Jantung: BJ I dan II tunggal reguler, murmur -, gallop -
Abdomen
Inspeksi :Flat
4
5
2.5 Assesment I
Initial diagnosis: Appendicitis akut dengan komplikasi periappendicular abses
Diagnosis Banding:Periappendicular infiltrat, tumor sekum
2.6 Planning I
Terapai:
1. Pemasangan DK
2. IVFD. RL 1500 ml/24 jam
Diagnosis:
1. Darah lengkap
2. USG abdomen
5
6
2.7.1 Laboratorium
Tabel 2.1 Pemeriksaan Laboratorium I
Darah Lengkap
Komponen Hasil Nilai Normal Satuan
Eritrosit 4.59 3.80-5.30 10^6/uL
Hb 12.9 P 13.0-18.0 L 14.0-18.0 g/dL
Hematokrit 40.2 L 40-54 P 35-47 %
MCV 87.60 87.00-100.00 Fl
MCH 28.10 28.00-36.00 Pg
MCHC 32.10 31.00-37.00 g/dL
RDW-CV 10 10-16.5 %
MPV 7 5-10 Fl
Trombosit 344 150.000-450.000 uL
Lekosit 18.5 4.0-11.0 10^3/uL
Neutofil 75.4 49.0-67.0 %
Limfosit 15.2 25.0-33.0 %
Monosit 8.7 3.0-7.0 %
Eosinophil 0.4 1.0-2.0 %
Basofil 0.3 0.0-1.0 %
LED 1 65 0-1
LED 2 823 1-5
2.7.2 USG
Mc burney
Tampak target sign, nyeri tekan
probe (+),
6
7
Kesimpulan:
1. Nyeri tekan probe +, Tampak target sign, nyeri tekan probe (+) Mengarah
pada appendicitis dengan curiga PAA
2. Organ lain tersebut di atas tak tampak kelainan
2.8 Assesment II
ALVARADO Score (MANTRELS)
Tabel 2.2ALVARADO Score
2.9 Planning II
Terapi:
1. MRS
7
8
2.10.1. Laboratorium
Tabel 2.3 Pemeriksaan Laboratorium II
Diabetik
Komponen Hasil Nilai Normal Satuan
GDA 92 mg/dL
Faal Hemostasis
Komponen Hasil Nilai Normal Satuan
PT 14.00 10.30-16.30 Detik
APTT 23.60 24.20-38.20 Detik
HIV
Komponen Hasil Nilai Normal Satuan
Metode 1 Non reaktif Non reaktif -
Hepatitis
Komponen Hasil Nilai Normal Satuan
HbsAg Negatif Negatif -
8
9
9
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
10
11
11
12
3.2 Apendicitis
3.2.1 Definisi
Apendicitis merupakan peradangan yang terjadi pada appendix
vermiformis, dapat disebabkan karena infeksi atau obstruksi pada appendix.
3.2.2 Epidemiologi
Apendisitis merupakan kegawat daruratan yang paling sering ditemukan di
bidang ilmu bedah. Sebanyak tujuh persen penduduk di negara barat mengalami
apendisitis dan di negara Amerika Serikatterdapat lebih dari 200.000 penduduk
12
13
3.2.3 Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendicitis. Fekalit merupakan
penyebab tersering dari obstruksi appendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi
jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan Roentgen, diet rendah serat, dan
cacing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau trauma karena colonoscopy
dapat mencetuskan inflamasi pada appendiks.Obstruksi pada lumen appendix
menyebabkan terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi
infeksi.Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi.
Fekalit ditemukan pada 40% dari kasus appendicitis akut, sekitar 65% merupakan
appendicitis gangrenous tanpa ruptur dan sekitar 90% kasus appendicitis
gangrenous dengan ruptur (Mark, 2019).
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan appendicitis adalah erosi
mukosa appendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian epidemiologi
menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi terhadap timbulnya appendicitis. Konstipasi akan meningkatkan
tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan
mempermudah terjadinya appendisits akut (Ignatius, 2014).
Tabel 3.1 Penyebab Apendix
Bakteri Aerob dan Fakultatif Bakteri Anaerob
Batang Gram (-) Batang Gram (-)
Eschericia coli Bacteroides fragilis
Pseudomonas aeruginosa Bacteroides sp.
Klebsiella sp. Fusobacterium sp.
Coccus Gr (+) Batang Gram (-)
13
14
3.2.4 Patofisiologi
Obstruksi proksimal dari lumen appendiks merupakan close-loop
obstruction, dan produksi sekresi normal yang terus menerus dari mukosa
appendiks menyebabkan distensi.Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan.Makin lama mukus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen.Distensi appendiks menstimulasi
saraf visceral afferen sehingga menyebabkan rasa tidak enak, rasa nyeri yang
tumpul dan merata pada mid-abdomen atau epigastrium bawah.Peristaltik juga
distimulasi sehingga rasa seperti kram perut sering menyertai. Distensi terus
bertambah akibat sekresi mukosa yang terus menerus dan multiplikasi dari
bakteri appendiks yang cepat.Distensi yang besar ini biasanya menimbulkan
reflek mual dan muntah.Dengan meningkatnya tekanan dalam rongga appendiks,
tekanan vena menjadi besar.Kapiler dan venula tertutup, tapi aliran masuk
arteriola tetap sehingga menghasilkan pembesaran dan kongesti.Proses inflamasi
ini akan mengenai lapisan serosa appendiks sampai peritoneum parietalis.Hal ini
dikarakteristikan dengan adanya perpindahan rasa sakit ke kuadran kanan bawah,
dan terjadi dalam 24 – 48 jam pertama. Bila sekresi mukus terus berlanjut,
tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena,
edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul
meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di
daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendicitis supuratif akut
(Andy, 2016).
14
15
15
16
Pada sebagian besar pasien nyeri perut merupakan keluhan utama mereka,
berupa nyeri yang konstant pada daerah preumbilical atau epigastric, kemudian
sesuai perkembangan penyakit nyeri menjadi jelas dan terlokalisir di kuadran
kanan bawah dekat titik McBurney.
Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai
dengan nyeri perut yang didahului anoreksia. Gejala utama Appendicitis acuta
adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu
menetap, kadang disertai kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-
12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam (Mc Burney, 2015).
Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi di RLQ. Variasi dari lokasi
anatomi Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri, sebagai contoh; Appendix
yang panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ menyebabkan nyeri di
daerah tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan nyeri suprapubis,
retroileal Appendix dapat menyebabkan nyeri testicular (Ignatius, 2014).
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix,
biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh
meningkat hingga > 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada
75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja.
Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus. Umumnya, urutan munculnya
gejala Appendicitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah
mendahului nyeri perut, maka diagnosis Appendicitis diragukan. Muntah yang
timbul sebelum nyeri abdomen mengarah pada diagnosis gastroenteritis.
Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan
banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul
pada beberapa pasien terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah terjadinya
perforasi Appendix (Andy, 2016).
16
17
a. Mc.Burney’s
17
18
b. BlumbergSign
Teknik ini dikatakan positif bila pasien mengeluhkan nyeri ketika
dilakukan lepas tekan pada sepertiga lateral garis imaginer antara ubilicus dengan
spina iliaca anterior superior
c. Rovsing’sSign
Teknik ini dikatakan positif ketika dilakukan penekanan di LLQ (left
lower quadran) oleh pemeriksa dan pasien mengeluhkan nyeri yang menjalar di
RLQ (rigt lower quadran).
d. Obturator Sign
e. PsoasSign
18
19
menggunakan cara aktif dan pasif. Teknik aktif dingunakan dengan cara pasien
meluruskan tungkai kaki kanan lalu memfleksikan hipjoin sendiri. Teknik pasif
dilakukan dengan cara pasien meluruskan tungkai kaki kanan lalu pemeriksa
memposisikan tubuh pasien menjadi left lateral decubitus dan mengektensikan
hip join kanan pasien ke arahbelakang (Mark, 2019).
f. TenhornSign
Teknik ini dikatakan positif apabila pasien megeluhkan nyeri RLQ saat
pasien batuk.
2. ColokDubur
19
20
a. Laboratorium
Dalam pemeriksaan darah lengkap, jumlah sel darah putih memiliki nilai
diagnostik pada apendisitis akut dimana nilai leukosit menunjukkan
b. Uiltrasonografi Abdomen
20
21
c. CT Scan
CT lebih unggul dibandingkan dengan ultrasonografi dalam beberapa hal,
karena temuannya lebih objektif dan tidak terpengaruh oleh adanya gas usus.
Diagnosis appendisitis oleh CT tergantung pada hipertrofi dinding apendiks,
pembesaran apendiks, pembentukan abses periappendiceal, adanya fecalith,
peningkatan kepadatan jaringan adiposa periappendiceal, dan atau keberadaan
asites di kantong Douglas. CT dapat menggambarkan lampiran yang dapat
diperbesar, tetapi tidak dapat memvisualisasikan dinding apendiks sebagus USG.
Dengan demikian, ultrasonografi lebih unggul dari CT untuk menilai keparahan
apendisitis (Becker, 2017).
21
22
22
23
d. Limfadenitis Mesenterika
e. Kelainan ovulasi
23
24
24
25
3.2.11 Komplikasi
1. Perforasi
Komplikasi yang sering terjadi pada appendicitis ialah perforasi appendix.
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis
generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :
1. Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh.
2. Suhu tubuh naik tinggi sekali.
3. Nadi semakin cepat.
4. Defance muscular yang menyeluruh.
5. Perut distended.
6. Bising usus berkurang.
2. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa
flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi
bila appendicitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
3. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi
tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis
umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus
meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang
semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis (Chu, 2018).
3.2.12 Prognosis
Prognosis untuk appendicitis adalah baik. Dengan diagnosis yang akurat serta
pembedahan tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan
diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan
25
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien tidak mengeluh mual muntah namun nafsu makan yang menurun,
dikatakan bahwa nausea, anoreksia, dan abdominal pain terjadi pada 60%
apendisitis (Timothy, 2017).
Pada palpasi abdomen didapatkan massa berbatas tidak tegas pada regio
illiaca dextra dan dari pemeriksaan USG abdomen didapatkan target sign, Hal ini
mengarah pada appendisitis akut. Komplikasi appendisitis terjadi pada 4%-6%
pasien dapat berupa gengren, perforasi, atau abses intraabdominal.
Periappendicular abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba
massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula
26
27
berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini
terjadi bila appendicitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
Pasien ini diterapi dengan pemberian Inf. RL 1500 cc/24 jam, Inj.
Ceftriaxone 2x1 gram, Inj. Ondancetron8 mg, Inj. Ketorolac 3x30 mg, Pro
apendectomy. Tatalaksana awal pada pasien appendisitis akut dengan komplikasi
adalah pemberian cairan intravena dapat diberikan cairan Ringer Laktat untuk
menjaga supaya tekanan darah dan nadi tetap stabil. Pemberian antibiotik
Tatalaksana awal pada appendisitis akut dengan komplikasi periappendicular
abses perlu diberikan. Terapi selanjutnya yaitu pembedahan, penelitian yang
mengatakan bahwa laparoskopi appendectomy sebagai pilihan utama terapi untuk
periappendicular abses pada pasien dewasa dibanding dengan terapi konservatif.
Pada pemeriksaan radiologi tidak didapatkan adanya cairan atau gas bebas di
rongga abdomen namun didapatkan ALVARADO score7, pemeriksaan fisik
didapatkan nyeri tekan pada seluruh regio abdomen yang gejalanya mengarah ke
akut peritonitis sehingga perlu dilakukan open appendectomy. Appendectomy
adalah terapi definitive dari appendicitis dan dapat mencegah terjadinya rekurensi.
Namun memiliki efek samping infeksi pada luka pascaoperasi.
Antibiotik yang digunakan adalah generasi 2/3 dari cephalosporin
(cefmetazole, cefotaxime, atau ceftriaxone) kombinasimetronidazole (atau
tinidazole) atau single-agent regimens dari amoxicillin-clavulanate (atau
ampicillinsulbactam), piperacillin-tazobactam, atau carbapenem (ertapenem or
meropenem). (David, 2018).
Ketorolac untuk appendicitis dalam beberapa jurnal diperbolehkan. Karena
dari penelitian didapatkan bahwa pemberian analgetik tidak mempengaruhi
intervensi operasi dan tidak berpengaruh terhadap resiko perforasi apendiks.
(Wong, 2016). Dalam Rudi, 2017 dikatakan bahwa analgetik “Safe, reasonable
and human”.
27
BAB V
PENUTUP
28
DAFTAR PUSTAKA
29
30
Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery
Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn
Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th
edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2014: 1381-93.
Lovino P, Chiarioni G, Bilancio G, Cirillo M, Mekjavic IB, et al. (2013) New
Onset of Constipation during Long-Term Physical Inactivity: A Proof-of-
Concept Study on the Immobility-Induced Bowel Changes. PLOS ONE 8(8):
e72608.
Mark W. Jones; Hassam Zulfiqar; Jeffrey G. Deppen, 2019, Appendicitis, BMJ
Journal, Vol. 3
McBurney C. Experience with early operative interference in cases of disease of
the vermiform appendix. NY Med J. 1889;50:676–84.
Ohle Robert and O’reilly Fran. 2011. The Alvarado score For Predicting Acute
Appendicitis: A Systematic Review. BMC Medicine.
Omar Faiz and David Moffat, 2006, Anatomy at a Glance, Surabaya: Erlangga,
pp139.
Rudy Bromberg Ran D. Goldman, 2017, Does analgesia mask diagnosis of
appendicitis among children?, Canadian Family Physician, Vol. 21
Salminen P, Paajanen H, Rautio T, et al, 2015, Antibiotic therapy vs
appendectomy for treatment of uncomplicated acute appendicitis: the
APPAC randomized clinical trial. JAMA. 2015;313:2340–8.
Timothy M. Hirsch, MS, PA-C, 2017, Acute Appencitis, American Academy of
Physician Assistants, Volume 30 No. 6
WHO. Globlal burden disease. .Tersedia pada: http:
//www.who.int/healthinfo/global_burden_disease/BD_report_2004update_A
n nexA.pdf.; 2014.
Wim DJ, Sjamsuhidajat R. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2004.
Zinner MJ, dan Ashley SW. Maingot’s abdominal operation. 11th Edition. New
York: McGraw-Hill; 2007.
30