Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

PNEUMOTHORAX

Penyusun :

dr. Rico Pratama Wiyono

Pembimbing :

dr. Ratna Nurhayati, Sp.PD

RS ELIZABETH PTPN XI SITUBONDO

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

2019

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... 1


DAFTAR ISI ............................................................................................... 2
BAB I LAPORAN KASUS .......................................................................... 3
1.1 Identitas......................................................................................... 3
1.2 Anamnesa Umum.......................................................................... 3
1.3 Pemeriksaan Fisik ......................................................................... 4
1.4 Pemeriksaan Penunjang ............................................................... 7
1.5 Resume ......................................................................................... 8
1.6 Diagnosa ....................................................................................... 9
1.7 Planning ........................................................................................ 9
1.8 Prognosis .................................................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 11
2.1 DEFINISI ..................................................................................... 11
2.2 ETIOLOGI ................................................................................... 11
2.3 DIAGNOSIS ................................................................................ 14
2.4 DIAGNOSIS BANDING ............................................................... 24
2.5 PENATALAKSANAAN ................................................................ 26
2.6 PENGOBATAN TAMBAHAN ...................................................... 29
2.7 REHABILITASI ............................................................................ 29
2.8 PROGNOSIS .............................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 31

2
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas

Nama : Tn. S

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 57 tahun

Agama : Islam

Alamat : Besuki

Tanggal MRS : 10 April 2019

Tanggal pemeriksaan : 10 April 2019

1.2 Anamnesa Umum

 Keluhan Utama

 Sesak napas

 Keluhan Tambahan

 Demam

 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan utama sesak napas sejak 1


minggu sMRS dan dirasakan semakin memberat. Pasien juga
mengeluhkan batuk sejak 10 hari sMRS, berdahak warna kuning, tidak
ada darah, dan tidak pilek. Demam juga dirasakan kurang lebih sejak 2
minggu sMRS. Selain itu pasien juga mengeluh tidak nafsu makan dan
mengalami penurunan berat badan. Pasien menyangkal adanya keluhan
terkait BAB dan BAK.

3
 Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat Hipertensi (-)


 Riwayat Diabetes Mellitus (-)
 Riwayat Penyakit Ginjal (-)
 Riwayat Penyakit Jantung (-)
 Riwayat Gastritis (-)
 Riwayat Asma (-)

 Riwayat Pengobatan

disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga

 Tidak ada keluarga atau lingkungannya yang menderita


penyakit serupa dengan pasien

1.3 Pemeriksaan Fisik

A. Status Generalis

1. Pemeriksaan Umum

 Keadaan umum : Lemah

 Kesadaran : Compos mentis

 GCS = 4 – 5 - 6

2. Tanda Vital

 TD : 120/80 mmHg

 Nadi : 92 x/mt, reguler

 RR : 30 x/mt,

4
 SpO2 : 97% dengan O2 nasal canule 3 lpm

 Suhu : 37,9ºC aksiler

3. Kepala

 Konjungtiva anemis (-)

 Sklera ikterus (-)

 Mukosa bibir sianosis (-)

 Pernafasan cuping hidung (-)

4. Leher

 Deviasi trakea : (-)

 Pembesaran KGB : (-)

5. Thorax

 Paru

Inspeksi : Normochest

Palpasi : Gerak napas asimetris, hemithorax sinistra


tertinggal

Perkusi : Hipersonor pada hemithorax sinistra,


Sonor pada hemithorax dextra

Sonor Hipersonor

Sonor Hipersonor

sonor Hipersonor

Auskultasi : Suara vesikular hemithorax dextra, menurun


pada hemithorax sinistra, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Ves ↓

Ves ↓

Ves ↓

5
 Jantung

Inspeksi : Pulsasi dan ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Pulsasi dan ictus cordis tidak teraba

Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : S1, S2 tunggal, murmur (-) gallop (-)

6. Abdomen

Inspeksi : flat

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Perkusi :

Timpani Timpani Timpani

Timpani Timpani Timpani

Timpani Timpani Timpani

Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-)

7. Ekstremitas

AHKM

+ +

+ +

Edema

- -

- -

6
CRT < 2 det

1.4 Pemeriksaan Penunjang

1. Hasil Laboratorium Darah Lengkap

10-04-2019

 WBC : 14.5 x 10³/µL (N : 3.6 – 11.0 x 10³/µL)


 Lymphosit : 10.4 % (N: 25-40%)
 Neutrofil : 77.6 % (N : 50-70%)
 Eosinofil : 0.6 % (N : 2-4%)
 Basofil : 0.5% (N : 0-1%)
 Monosit : 10.9 % (N : 2-8%)
 RBC : 3.94 X 106/µL (N : 3.80 – 5.20 x 106/µL)
 HGB : 10.6 g/dl (N : 11.7 – 15.5 g/dl)
 HCT : 32.0 % (N : 35 – 47 %)
 MCV : 81.2 fL (N : 80.0 – 100.0)
 MCH : 26.9 pg (N : 26.0 – 34.0 pg)
 MCHC : 33.1 g/dl (N : 32.0 – 36.0 g/dl)
 PLT : 364 x 10³/µL (N : 170 – 394 x 10³/µL)

2. Hasil Laboratorium Kimia Darah (10-04-2019)

 Glukosa sewaktu : 302 mg/dL (N: <200 mg/dL)

3. Hasil Chest X-ray AP (9-04-2019)

7
Kesan: Pneumonia disertai pneumothorax sinistra,
kemungkinan merupakan proses spesifik TB paru

1.5 Resume

Pasien Laki-laki berusia 57 tahun datang dengan :

Anamnesa :

 Sesak napas sejak 1 minggu sMRS dan dirasakan semakin


memberat.
 Batuk sejak 10 hari sMRS, berdahak warna kuning,
 Demam sejak 2 minggu sMRS.
 Tidak nafsu makan
 mengalami penurunan berat badan..

Pemeriksaan fisik

 TD : 120/80 mmHg

 Nadi : 92 x/mt, reguler

 RR : 30 x/mt,

 SpO2 : 97% dengan O2 nasal canule 3 lpm

 Suhu : 37,9ºC aksiler

8
Thorax

 Paru

Inspeksi : Normochest

Palpasi : Gerak napas asimetris, hemithorax sinistra


tertinggal

Perkusi : Hipersonor pada hemithorax sinistra,


Sonor pada hemithorax dextra

Auskultasi : Suara vesikular hemithorax dextra, menurun


pada hemithorax sinistra

Pemeriksaan Laboratorium
 WBC : 14.5 x 10³/µL (N : 3.6 – 11.0 x 10³/µL)
 Neutrofil : 77.6 % (N : 50-70%)
 HGB : 10.6 g/dl (N : 11.7 – 15.5 g/dl)
 Glukosa sewaktu : 302 mg/dL (N: <200 mg/dL)
 CXR posisi AP
Kesan: Pneumonia disertai pneumothorax sinistra,
kemungkinan merupakan proses spesifik TB paru

1.6 Diagnosa

Diagnosa : Closed Pneumothorax sinistra + CAP s. TB Paru + DM tipe 2

Diagnosa banding : Open pneumothorax

Ventile pneumothorax

1.7 Planning

Planning Diagnosa

 Bakteriologi sputum (TCM)


 GDP dan GD2jpp

9
Planning Terapi
 Infus Ringer asetat 14 tpm
 Diet B1
 Inj. Ceftriaxone 2x1 mg
 Inj. Metronidazole 3x500 mg
 Inj. Santagesik 3x1 g
 Inj. Omeprazole 1x40 mg
 Inj. Ketorolac 2x30 mh
 Novorapid 3x6 IU
 pro WSD Cito

1.8 Prognosis

 Dubia ad bonam

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas


di dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena (5).

2.2 ETIOLOGI

Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan


menjadi dua, yaitu (2,3) :
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba.
Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis,
yaitu:
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi
secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang
terjadi dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah
dimiliki sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru

11
obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi
paru.
2. Pneumotoraks traumatik
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma,
baik trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan
robeknya pleura, dinding dada maupun paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam
dua jenis, yaitu :
 Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks
yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada
dinding dada, barotrauma.
 Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang
terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks
jenis inipun masih dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan
medis karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan
tersebut, misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan
cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya
tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya
pada pengobatan tuberkulosis sebelum era antibiotik,
maupun untuk menilai permukaan paru.

Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat


diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu (4) :

1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)


Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas
terbuka pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan
dunia luar. Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin
positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap

12
oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum
mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura,
meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu
terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap
negatif.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara
rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia
luar (terdapat luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan
intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks
terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini
sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan
pernapasan. (4)
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu
ekspirasi tekanan menjadi positif (4). Selain itu, pada saat inspirasi
mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi
mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka
(sucking wound). (2)
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang
positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di
pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara
masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan
selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu
ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar (4).

Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin


tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul
dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering
menimbulkan gagal napas. (2)

Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka


pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (4) :

13
1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada
sebagian kecil paru (< 50% volume paru).

2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai


sebagian besar paru (> 50% volume paru).

2.3 DIAGNOSIS

1. Gejala Klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering
muncul adalah (2,4,5) :
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien.
Seringkali sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin
berat. Penderita bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan
mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri
dirasakan tajam pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan
terasa lebih nyeri pada gerak pernapasan.

14
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang
kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10%
pasien, biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik toraks didapatkan (3,4) :
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper
ekspansi dinding dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya
tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau
melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang
sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan
tidak menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila
tekanan intrapleura tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai
menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni
negative

15
3. Gambaran Radiologi
A. Foto Thoraks
Untuk mendiagnosis pneumotoraks pada foto thoraks dapat
ditegakkan dengan melihat tanda-tanda sebagai berikut :
- Adanya gambaran hiperlusen avaskular pada hemitoraks
yang mengalami pneumotoraks. Hiperlusen avaskular
menunjukkan paru yang mengalami pneumothoraks dengan
paru yang kolaps memberikan gambaran radiopak. Bagian
paru yang kolaps dan yang mengalami pneumotoraks
dipisahkan oleh batas paru kolaps berupa garis radioopak
tipis yang berasal dari pleura visceralis, yang biasa dikenal
sebagai pleural white line.

Gambar 1. Tanda panah menunjukkan pneumothorax line.


(dikutip dari kepustakaan 7)

16
Gambar 2. Foto Rö pneumotoraks (PA), bagian yang
ditunjukkan dengan anak panah merupakan bagian paru yang
kolaps.
(dikutip dari kepustakaan 3)

- Untuk mendeteksi pneumotoraks pada foto dada posisi supine


orang dewasa maka tanda yang dicari adalah adanya deep
sulcus sign. (11) Normalnya, sudut kostofrenikus berbentuk lancip
dan rongga pleura menembus lebih jauh ke bawah hingga
daerah lateral dari hepar dan lien. Jika terdapat udara pada
rongga pleura, maka sudut kostofrenikus menjadi lebih dalam
daripada biasanya. Oleh karena itu, seorang klinisi harus lebih
berhati-hati saat menemukan sudut kostofrenikus yang lebih
dalam daripada biasanya atau jika menemukan sudut
kostofrenikus menjadi semakin dalam dan lancip pada foto dada
seri. Jika hal ini terjadi maka pasien sebaiknya difoto ulang
dengan posisi tegak. Selain deep sulcus sign, terdapat tanda
lain pneumotoraks berupa tepi jantung yang terlihat lebih tajam.
Keadaan ini biasanya terjadi pada posisi supine di mana udara
berkumpul di daerah anterior tubuh utamanya daerah medial. (11)

Gambar 4. Deep sulcus sign (kiri) dan tension pneumotoraks kiri


disertai deviasi mediastinum kanan dan deep sulcus sign (kanan).

17
(dikutip dari kepustakaan 7)

- Jika pneumotoraks luas maka akan menekan jaringan paru ke


arah hilus atau paru menjadi kolaps di daerah hilus dan
mendorong mediastinum ke arah kontralateral. Jika
pneumotoraks semakin memberat, akan mendorong jantung
yang dapat menyebabkan gagal sirkulasi. Jika keadaan ini
terlambat ditangani akan menyebabkan kematian pada
penderita pneumotoraks tersebut. Selain itu, sela iga menjadi
lebih lebar.(6,10)

Gambar 5. Pneumotoraks kanan (kiri) dan tension pneumotoraks


(kanan).
(dikutip dari kepustakaan 3)
Besarnya kolaps paru bergantung pada banyaknya udara
yang dapat masuk ke dalam rongga pleura. Pada pasien dengan
adhesif pleura (menempelnya pleura parietalis dan pleura viseralis)
akibat adanya reaksi inflamasi sebelumnya maka kolaps paru
komplit tidak dapat terjadi. Hal yang sama juga terjadi pada pasien
dengan penyakit paru difus di mana paru menjadi kaku sehingga
tidak memungkinkan kolaps paru komplit. Pada kedua pasien ini
perlu diwaspadai terjadinya loculated pneumothorax atau encysted
pneumothorax. Keadaan ini terjadi karena udara tidak dapat
bergerak bebas akibat adanya adhesif pleura. Tanda terjadinya

18
loculated pneumothorax adalah adanya daerah hiperlusen di
daerah tepi paru yang berbentuk seperti cangkang telur. (14)

Gambar 6. Loculated Pneumotoraks.


(dikutip dari kepustakaan 12)

Foto dada pada pasien pneumotoraks sebaiknya diambil


dalam posisi tegak sebab sulitnya mengidentifikasi pneumotoraks
dalam posisi supinasi. Selain itu, foto dada juga diambil dalam
keadaan ekspirasi penuh. (11)

Gambar 3. Pneumotoraks kanan yang berukuran kecil dalam keadaan


inspirasi (kiri) dan dalam keadaan ekspirasi (kanan).
(dikutip dari kepustakaan 3)

19
Ekspirasi penuh menyebabkan volume paru berkurang dan
relatif menjadi lebih padat sementara udara dalam rongga pleura
tetap konstan sehingga lebih mudah untuk mendeteksi adanya
pneumotoraks utamanya yang berukuran lebih kecil. Perlu diingat,
pneumotoraks yang terdeteksi pada keadaan ekspirasi penuh akan
terlihat lebih besar daripada ukuran sebenarnya.(11,13)
Pneumotoraks yang berukuran sangat kecil dapat dideteksi
dengan foto lateral dekubitus. Pada posisi ini, udara yang
mengambil tempat tertinggi pada hemitoraks (di daerah dinding
lateral) akan lebih mudah terlihat dibandingkan pada posisi tegak.
(11,13,14)

Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi


keadaan ini (4):
- Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada
tepi jantung mulai dari basis sampai ke apeks.

Gambar 7. CT-Scan thoraks yang menunjukkan


pneumomediastinum.
(dikutip dari kepustakaan 15)

- Emfisema Subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam di


bawah kulit.

20
Gambar 8. Emfisema subkutan.
(dikutip dari kepustakaan 16)

- Bila ada cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak


permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma; yang
biasa ditemui pada kasus Hidropneumotoraks.

Gambar 9. Hidropneumothoraks.
(dikutip dari kepustakaan 17)

Dalam kasus pneumotoraks ini kita juga perlu mengetahui


bagaimana cara menghitung luas pneumothoraks. Perhitungan luas
pneumotoraks ini berguna terutama dalam penentuan jenis kolaps,
apakah bersifat parsialis ataukah totalis. Ada beberapa cara yang bisa
dipakai dalam menentukan luasnya kolaps paru, antara lain :

21
1. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks,
dimana masing-masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai
volume kubus (2).
Misalnya : diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10cm dan
diameter kubus rata-rata paru-paru yang kolaps adalah
8cm, maka rasio diameter kubus adalah :

83 512
______ = ________ = ± 50 %
103 1000
2. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal,
ditambah dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis
horizontal, ditambah dengan jarak terdekat antara celah pleura
pada garis horizontal, kemudian dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh
(2).

% luas pneumotoraks

A + B + C (cm)
= __________________ x 10
3

3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps
dengan luas hemitoraks (4).

22
(L) hemitorak – (L) kolaps paru

(AxB) - (axb)
_______________ x 100 %
AxB

4. Rumus Light( Light Index) digunakan untuk mengukur volume


pneumothorax simplex yang sederhana, tapi tidak yang loculated.

Light Index : #% pneumothorax = 100 – (a3/b3 x 100).


% pneumothoraks = 100 – (857,375 / 1728) x 100
% px = 49,62
Jika volume pnemothorax tidak melebihi 20% volume paru maka
dilakukan penenganan secara konserfatif saja, yaitu dibiarkan saja.

B. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara
emfisema bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara
dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk membedakan
antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder. (7)

23
Gambar 10. CT-Scan pneumothoraks.
(dikutip dari kepustakaan 7)

2.4 DIAGNOSIS BANDING

Pneumotoraks dapat memberi gejala seperti infark miokard, emboli


paru, dan pneumonia. Pada pasien muda, tinggi, laki-laki, dan perokok jika
setelah difoto diketahui ada pneumotoraks maka diagnosis umumnya
menjurus ke pneumothoraks spontan primer. Pneumotoraks spontan
sekunder kadang-kadang sulit dibedakan dengan pneumotoraks yang
terlokalisasi dari suatu bleb atau bulla.(2)
Dalam radiologi, bleb atau bulla digambarkan sebagai area yang
hiperlusen, dengan dinding bleb atau bulla yang sangat tipis. Dalam
beberapa kasus, dimana bleb atau bulla menyerang 1 lobus paru, dapat
memberikan gambaran radiologi yang mirip dengan pneumotoraks. Untuk
membedakannya, dapat dilihat dari daerah yang hiperlusen apakah pada
daerah tersebut terdapat gambaran vaskularisasi atau tidak. Pada
pneumotoraks daerah hiperlusen-nya tidak terdapat vaskular sehingga
biasa disebut hiperlusen avaskular, sedangkan pada bleb atau bulla
terdapat garis-garis trabekula pada daerah paru yang mengalami bleb
atau bulla. Selain itu, pada bleb atau bulla yang besar, jaringan paru di
sekitar bulla akan mengalami pemadatan yang diakibatkan oleh
pendesakan bulla tersebut kepada jaringan paru. (18)

24
Gambar 11. Bleb dan bulla paru.
(dikutip dari kepustakaan 18)

Gambar 12. Gambaran foto thoraks bulla paru.


(dikutip dari kepustakaan 18)

25
Gambar 13. CT-Scan pulmonary bullae.
(dikutip dari kepustakaan 19)

2.5 PENATALAKSANAAN

Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk


mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan
untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks
adalah sebagai berikut :
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga
pleura telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga
pleura tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan
meningkat apabila diberikan tambahan O2. Observasi dilakukan
dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam
pertama selama 2 hari (2). Tindakan ini terutama ditujukan untuk
pneumotoraks tertutup dan terbuka (4).

2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus
pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini
bertujuan untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat
hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan cara (2) :

26
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga
pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga
pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar
melalui jarum tersebut (2), (4).
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke
dalam rongga pleura, kemudian infus set yang telah
dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke
botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka,
akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung
infus set yang berada di dalam botol (2,4).
2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari
gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan
pada posisi yang tetap di dinding toraks sampai
menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula
tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan
dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya
dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem
penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara
yang keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam
botol (2,4).
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke
rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan
bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat
dilakukan melalui celah yang telah dibuat dengan
bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada linea mid
aksilaris atau pada linea aksilaris posterior. Selain itu
dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis mid klavikula.

27
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter
segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian
troakar dicabut, sehingga hanya kateter toraks yang
masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung
kateter toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD
dihubungkan melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung
pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm
di bawah permukaan air supaya gelembung udara
dapat dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan
tersebut (3), (4).
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila
tekanan intrapleura tetap positif. Penghisapan ini
dilakukan dengan memberi tekanan negatif sebesar 10-
20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat
mengembang. Apabila paru telah mengembang
maksimal dan tekanan intra pleura sudah negatif
kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji
coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau
ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga
pleura kembali menjadi positif maka pipa belum bisa
dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien
dalam keadaan ekspirasi maksimal (2).

28
3. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga
toraks dengan alat bantu torakoskop.
4. Torakotomi
5. Tindakan bedah (4)
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi,
kemudian dicari lubang yang menyebabkan pneumotoraks
kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura
yang menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka
dapat dilakukan dekortikasi.
c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang
mengalami robekan atau terdapat fistel dari paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal
dibuang, kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di
tempat fistel.

2.6 PENGOBATAN TAMBAHAN

1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan


ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB
paru diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran
napas diberi antibiotik dan bronkodilator (4).
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat (4).

2.7 REHABILITASI (4)

29
1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan
pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.
2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau
bersin terlalu keras.
3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif,
berilah laksan ringan.
4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan
batuk, sesak napas.

2.8 PROGNOSIS

Pasien dengan pneumotoraks spontan hampir separuhnya akan


mengalami kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun
setelah pemasangan tube thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi
pada pasien-pasien pneumotoraks yang dilakukan torakotomi terbuka.
Pasien-pasien yang penatalaksanaannya cukup baik, umumnya tidak
dijumpai komplikasi. Pasien pneumotoraks spontan sekunder
tergantung penyakit paru yang mendasarinya, misalkan pada pasien
PSS dengan PPOK harus lebih berhati-hati karena sangat berbahaya.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Ventilasi paru. Dalam : Buku Ajar


Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC; 2007. P. 495-500.
2. Hisyam, B. Budiono, Eko. Pneumothoraks spontan. Dalam :
Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus,
Simadibrata. Setiati, Siti (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.
P. 1063-1068.
3. Bascom, R. Pneumothorax. Cited on [26 September 2011].
Available from http://emedicine.medscape.com/article/827551
4. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Pneumotoraks. Dalam : Dasar-
Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press.
2009. p. 162-179
5. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax
(Collapsed Lung). Cited : [26 September 2011]. Available from :
http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm
6. Ekayuda, I. Pneumotoraks. Dalam : Radiologi Diagnostik. Edisi
Kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2005. P.119-122.
7. Alhameed, F.M. Pneumothorax imaging. Cited on [26 September
2011]. Available from www.emedicine.com
8. Sjamsuhidajat, R. Dinding toraks dan pleura. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Bedah. Jakarta : EGC. 1997. P.404-419.
9. Wibowo, Daniel, S. Paryana, Widjaja. Rongga thorax. Dalam :
Anatomi Tubuh Manusia. Yogyakarta : Graha Ilmu. 2009. P. 209-
220.
10. Reed, James, C. Kelainan-kelainan rongga pleura. Dalam :
Radiologi Thoraks. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran.
1995. P. 63-64.

31
11. Ketai, L. H. Pleura and diaphragm. In: Fundamentals of 9
Radiology Second Edition. China. Elsevier Saunders. 2006.
P.172-177.
12. Gaillard, Frank. Loculated pneumothorax. Cited on [28 September
2011]. Available from http://www.radiopedia.org/cases/loculated-
pneumothorax
13. Felson, Benjamin. Pneumothorax. In : Chest Roentgenology.
Philadelphia : W. B. Saunders Company. P. 366-372.
14. Sutton, David. Pneumothorax. In : A Textbook of Radiology and
Imaging. Vol. 1. 5th edition. London : Churchill Livingstone. 1992.
P. 371-374.
15. Radswiki. Pneumomediastinum. Cited on [28 September 2011].
Available from
http://www.radiopedia.org/cases/pneumomediastinum-4
16. D’Souza, Donna. Subcutannous emphysema. Cited on [28
September 2011]. Available from
http://www.radiopedia.org/cases/subcutanous-emphysema
17. Rao, K, K. Loculated hydropneumothorax. Cited on [28 September
2011]. Available from http://www.radiopedia.org/cases/loculated-
hydropneumothorax-1
18. Massie, J. Robert. Welchons, George A. Pulmonary blebs and
bullae. Cited on [05 Oktober 2011]. Available from
http://www.ncbi.nlm.gov/pmc/articles/PMC1609584/pdf/annsurg01
326-0101.pdf
19. Dawes, Laughlin. Subpleural bullae. Cited on [05 Oktober 2011].
Available from http://www.radiopedia.org/articles/pulmonary-bullae

32

Anda mungkin juga menyukai