Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

SYOK KARDIOGENIK

Disusun Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

Disusun oleh:

Firman Ichlasul Amal

201910401011009

Pembimbing:

dr. Mirza Alfiansyah, Sp. JP.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang

Rumah Sakit Gambiran Kediri

2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah subhanallahu wa ta’ala atas segala rahmat dan

hidayah-Nya, shalawat serta salam terlimpahkan kepada Nabi Muhammad

Shallallahu alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya. Syukur Alhamdulillah,

penulis dapat menyelesaikan referat dan yang berjudul “Syok Kardiogenik”.

Penulisan referat ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas

kepaniteraan klinik pada program pendidikan profesi dokter Fakultas Kedokteran

Universitas Muhammadiyah Malang yang dilaksanakan di RSUD Gambiran

Kediri. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada dokter pembimbing dr.

Mirza Alfiansyah, Sp.JP serta semua pihak terkait yang telah membantu

terselesaikannya referat dan laporan kasus ini.

Referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan kerendahan hati penulis

mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan saran dan kritik yang

membangun. Semoga referat ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi

semua pihak.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Kediri, 12 Desember 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

BAB 3 KESIMPULAN..........................................................................................25

3.1 Kesimpulan................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Syok merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang terjadi bila

oxygen delivery ke mitokondria sel diseluruh tubuh manusia tidak mampu

memenuhi kebutuhan oxygen consumption. Sebagai respon terhadap pasokan

oksigen yangt tidak cukup ini, metabolisme energi sel terbatas, selanjutnya dapat

timbul kerusakan irreversible pada organ vital (Kislitsina et al, 2019).

Sindrom klinis syok kardiogenik adalah suatu keadaan yang terjadi karena

tidak cukupnya curah jantung untuk mempertahankan fungsi alat-alat vital akibat

disfungsi otot jantung. Sering terjadi akibat disfungsi nyata ventrikel kiri sesudah

mengalami infark yang masif, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri.

Ini merupakan keadaan yang gawat. Bahkan dengan penanganan yang agresif pun

angka kematian tetap tinggi (Jones et al, 2019).

Diseluruh dunia terdapat 6-20 juta kematian akibat syok tiap tahun,

meskipun penyebabnya berbeda tiap-tiap negara. Diagnosa adanya syok harus

didasarkan pada data-data baik klinis maupun laboratorium yang jelas, yang

merupakan akibat dari kurangnya perfusi jaringan. Syok bersifat progresif dan

terus memburuk jika tidak segera ditangani..

1
2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah jantung

sistemik pada keadaan volume intravaskular yang cukup, dan dapat mengakibatkan

hipoksia jaringan. Syok dapat terjadi karena disfungsi ventrikel kiri yang berat, tetapi

dapat pula terjadi pada keadaan dimana fungsi ventrikel kiri yang cukup baik (Alwi &

Nasution, 2014).

Hipotensi sistemik umumnya menjadi dasar diagnosis. Nilai cut off untuk tekanan

darah sistolik yang sering dipakai adalah <90mmHg. Dengan menurunnya tekanan darah

sistolik akan meningkatkan kadar katekolamin yang mengakibatkan konstriksi arteri dan

vena sistemik. Manifestasi klinis dapat ditemukan tanda-tanda hipoperfusi sistemik

mencakup perubahan status mental, kulit dingin dan oliguria.

Syok kardiogenik didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik <90mmHg selama

>1 jam di mana:

• Tak responsif dengan pemberian cairan saja,

• Sekunder terhadap disfungsi jantung, atau,

• Berkaitan dengan tanda-tanda hipoperfusi atau indeks kardiak <2,21/menit/m2

dan tekanan baji kapiler paru >18 mmHg.

Termasuk dipertimbangkan dalam definisi ini adalah:

• Pasien dengan tekanan darah sistolik meningkat >90 mmHg dalam 1 jam

setelah pemberian obat inotropik, dan

• Pasien yang meninggal dalam 1 jam hipotensi, tetapi memenuhi kriteria lain

syok kardiogenik (Alwi & Nasution, 2014).


3

2.2 Etiologi

Komplikasi mekanik akibat infark miokard akut dapat menyebabkan terjadinya

syok. Di antara komplikasi tersebut adalah: ruptur septal ventrikel, ruptur atau disfungsi

otot papilaris dan ruptur miokard yang keseluruhan dapat mengakibatkan timbulnya syok

kardiogenik tersebut (Thiele & Ingbar, 2018).

Hal lain yang sering menyebabkan terjadinya syok kardiogenik adalah takiaritmia

atau bradiaritmia yang rekuren, dimana biasanya terjadi akibat disfungsi ventrikel kiri,

dan dapat tibul bersamaan dengan aritmia supraventrikuler ataupun ventricular (van

Diepen et al, 2017).

Syok kardiogenik juga dapat timbul sebagai manifestasi tahap akhir dari disfungsi

miokard yang progresif, termasuk akibat penyakit jantung iskemia, maupun

kardiomiopati hipertrofik dan restriktif (van Diepen et al, 2017).

Abnormalitas struktural dan fungsional jantung dalam rentang lebar ditemukan

pada pasien syok kardiogenik akut. Mortalitas jangka pendek dan jangka panjang

dikaitkan dengan fungsi sitolik ventrikel kiri awal dan regurgitasi dini tanpa dipengaruhi

nilai fraksi ejeksi ventrikel kiri pada awal (baseline) atau adanya regurgitasi mitral

(Thiele & Ingbar, 2018).

Syok kardiogenik diakibatkan oleh kerusakan bermakna pada miokardium

ventrikel kiri yang ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri, yang

mengakibatkangangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke

jaringan. Penyebab dari syok kardiogenik dibagi dalam:

1. Gangguan ventrikular ejection

a. Infark miokard akut

b. Miokarditis akut

c. Komplikasi mekanik:
4

- Regurgitasi mitral akut akibat ruptur atau disfungsi otot papilaris

- Ruptur septum interventrikulorum

- Ruptur free wall

- Aneurisma ventrikel kiri

- Stenosis aorta yang berat

- Kardiomiopati

- Kontusio miokard

2. Gangguan ventrikular filling

a. Tamponade jantung

b. Stenosis mitral

c. Miksoma pada atrium kiri

d. Trombus ball valve pada atrium

e. Infark ventrikel kanan

2.3 Patogenesis

Paradigma lama patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah depresi

kontraktilitas miokard yan mengakibatkan lingkaran penurunan jantung, tekanan darah

rendah, insufisiensi koroner, dan selannjutnya terjadi penurunan kontraktilitas dan curah

jantung. Paradigma klasik memprediksi bahwa vasokonstriksi sistemik berkompensasi

dengan peningkatan resistensi vaskular sistemik yang terjadi sebagai respons dari

penurunan curah jantung (Alwi & Nasution, 2014).

Penelitian menunjukkan adanya pelepasan sitokin setelah infark miokard. Pada

pasien IM, diduga terdapat aktivasi sitokin inflamasi yang mengakibatkan peninggian

kadar iNOS, NO, dan peroksinitrit, di mana semuanya mempunyai efek buruk multipel

antara lain:

• Inhibisi langsung kontraktilitas miokard


5

• Supresi respirasi mitokondria pada miokard non iskemik

• Efek terhadap metabolisme glukosa

• Efek proinflamasi

• Penurunan responsivitas katekolamin

• Merangsang vasodilatasi sistemik

Sindrom respon inflamasi ditemukan pada sejumlah keadaan non infeksi, antara

lain trauma, pintas kardiopulmoner, pankreatitis dan luka bakar. Pasien dengan IM luas

sering mengalami peningkatan suhu tubuh, sel darah putih, komplemen, intraleukin, C-

reactive protein dan petanda inflamasi lain. NO yang disintesis dalam kadar rendah oleh

endotheliai nitri oxide (eNOS) sel endotel dan miokard, merupakan molekul yang bersifat

kardioprotektif (van Diepen et al, 2017).

Syok kardiogenik dapat dipandang sebagai bentuk yang berat dari kegagalan

ventrikel kiri. Peristiwa patofisiologik dan respon kompensatoriknya sesuai dengan gagal

jantung, tetapi telah berkembang ke bentuk yang lebih berat. Penurunan kontraktilitas

jantung mengurangi curah jantung dan meningkatkan volume dan tekanan akhir diastolik

ventrikel kiri, hingga mengakibatkan kongesti paru-paru dan edema.

Dengan menurunnya tekanan arteria, maka terjadi perangsangan terhadap

baroreseptor pada aorta dan sinus karotikus. Perangsangan simpato adrenal menimbulkan

refleks vasokonstriksi, takikardia, dan meningkatkan kontraktilitas untuk menambah

curah jantung dan menstabilkan tekanan darah. Kontraktilitas akan terus meningkat

sesuai dengan hukum Starling melalui retensi natrium dan air. Jadi, menurunnya

kontraktilitas pada syok kardiogenik akan memulai respon kompensatorik, yang

meningkatkan beban akhir dan beban awal. Meskipun mekanisme protektif ini pada

mulanya akan meningkatkan tekanan arteria darah danperfusi jaringan, namun efeknya

terhadap miokardium justru buruk karena meningkatkan beban kerja jantung dan
6

kebutuhan miokardium akan oksigen. Karena aliran darah koroner tidak memadai,

terbukti dengan adanya infark, maka ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai

oksigen terhadap miokardium semakin meningkat. Gangguan miokardium juga terjadi

akibat iskemia dan nekrosis fokal, yang akan memperberat lingkaran setan dari kerusakan

miokardium. Dengan bertambah buruknya kinerja ventrikel kiri, keadaan syok

berkembang dengan cepats ampai akhirnya terjadi gangguan sirkulasi hebat yang

mengganggu sistem organ-organ penting.

Pengaruh sistemik dari syok akhirnya akan membuat syok menjadi irreversibel.

Beberapa organ terserang lebih cepat dan berat daripada yang lain. Seperti telah

diketahui, miokardium akan menderita kerusakan yang paling dini pada keadaan syok.

Selain dari bertambahnya kerja miokardium dan kebutuhannya terhadap oksigen,

beberapa perubahan lain juga terjadi. Karena metabolisme anaerobik dimulai pada

keadaan syok, maka miokardium tidak dapat mempertahankan cadangan fosfat berenergi

tinggi (adenosin trifosfat) dalam kadar normal, dan kontraktilitas ventrikel akan makin

terganggu. Hipoksia dan asidosis menghambat pembentukan energi dan mendorong

terjadinya kerusakan lebih lanjut. dari sel-sel miokardium. Kedua faktor ini juga

menggeser kurva fungsi ventrikel kebawah dan ke kanan yang akan semakin menekan

kontraktilitas.

Gangguan pernafasan terjadi sekunder akibat syok. Komplikasi yang mematikan

adalah gangguan pernafasan yang berat. Kongesti paru-paru dan edema intra-alveolar

akan mengakibatkan hipoksia dan kemunduran gas-gas darah arteria. Atelektasis dan

infeksi paru-paru dapat pula terjadi. Faktor-faktor ini memicu terjadinya syok paru-paru,

yang sekarang sering disebut sebagai sindrom distres pernafasan dewasa. Takipnea,

dispnea, dan ronki basah dapat ditemukan, demikian juga gejala-gejala yang dijelaskan

sebelumnya sebagai manifestasi gagal jantung kebelakang.


7

Perfusi ginjal yang menurun mengakibatkan anuria dengan keluaran kemih kurang

dari 20 ml/jam. Dengan semakin berkurangnya curah jantung, biasanya menurunkan pula

keluaran kemih. Karena adanya respon kompensatorik retensi natrium dan air, maka

kadar natrium dalam kemih juga berkurang. Sejalan dengan menurunnya laju filtrasi

glomerulus, terjadi peningkatan BUN dan kreatinin. Bila hipotensi berat dan

berkepanjangan, dapat terjadi nekrosis tubular akut yang kemudian disusul gagal ginjal

akut.

Syok yang berkepanjangan akan mengakibatkan gangguan sel-sel hati. Kerusakan

sel dapat terlokalisir pada zona-zona nekrosis yang terisolasi, atau dapat berupa nekrosis

hati yang masif pada syok yang berat. Gangguan fungsi hati dapat nyata dan biasanya

bermanifestasi sebagai peningkatan enzim-enzim hati, glutamat-oksaloasetat

transaminase serum (SGOT), dan glutamat-piruvat transaminase serum (SGPT). Hipoksia

hati juga merupakan mekanisme etiologi yang mengawali komplikasi-komplikasi ini.

Iskemia saluran cerna yang berkepanjangan umumnya mengakibatkan nekrosis

hemorhagik dari usus besar. Cedera usus besar dapat mengeksaserbasi syok melalui

penimbunan cairan pada usus dan absorbsi bakteria dan endotoksin ke dalam sirkulasi.

Penurunan motilitas saluran cerna hampir selalu ditemukan pada keadaan syok.

Dalam keadaan normal, aliran darah serebral biasanya menunjukan autoregulasi

yang baik, yaitu dengan usaha dilatasi sebagai respon terhadap berkurangnya aliran darah

atau iskemia. Namun, pengaturan aliran darah serebral ternyata tidak mampu

mempertahankan aliran dan perfusi yang memadai pada tekanan darah di bawah 60

mmHg. Selama hipotensi yang berat, gejala-gejala defisit neurologik dapat ditemukan.

Kelainan ini biasanya tidak berlangsung terus jika pasien pulih dari keadaan syok, kecuali

jika disertai dengan gangguan serebrovaskular


8

Selama syok yang berkelanjutan, dapat terjadi pengumpulan komponen-komponen

selular intravaskular dari sistem hematologik, yang akan meningkatkan tahanan vaskular

perifer lebih lanjut. Koagulasi intravaskular difus (DIC) dapat terjadi selama syok

berlangsung, yang akan memperburuk keadaan klinis

2.4 Manifestasi Klinis

A. Anamnesis

Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi timbulnya syok kardiogenik

tersebut. Pasien dengan infark miokard akut datang dengan keluhan tipikal nyeri

dada yang akut, dan kemungkinan sudah mempunyai riwayat penyakit jantung

koroner seblumnya (Alwi & Nasution, 2014).

Pada keadaan syok akibat komplikasi mekanik dari infark miokard akut,

biasanya terjadi dalam beberapa hari sampai minggu setelah onset infark tersebut.

Umumnya pasien mengeluh nyeri dada dan biasanya disertai gejala tiba-tiba yang

menunjukkan adanya edema paru akut atau bahkan henti jantung.

Pasien dengan aritmia akan mengeluhkan adanya palpitasi, presinkop,

sinkop atau merasakan irama jantung yang berhenti sejenak. Kemudian pasien akan

merasakan letargi akibat berkurangnya perfusi ke sistem saraf pusat.

B. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik awal hemodinamik akan ditemukan tekanan darah

sistolik yang menurun sampai <90 mmHg, bahkan dapat turun sampai <80 mmHg

pada pasien yang tidak memperoleh pengobatan adekuat. Denyut jantung biasanya

cenderung meningkat sebagai stimulasi simpatis, demikian pula dengan frekuensi

pernapa dan yang biasanya meningkat sebagai akibat kongesti paru (Vahdatpour et

al, 2019).
9

Pemeriksaan dada akan menunjukkan adanya ronki. Dengan infark ventrikel

kanan atau pasien dengan keadaan hipovolemik yang menurut studi sangat kecil

kemungkinannya menyebabkan kongesti di paru.

Sistem kardiovaskular yang dapat dievaluasi seperti vena-vena di leher

seringkali meningkat distensinya. Letak impuls apikal dapat bergeser pasa pasien

dengan kardiomiopati dilatasi, dan intensitas bunyi jantung akan jauh menurun

pada efusi perikardial ataupun tamponade. Irama gallop dapat timbul yang

menunjukkan adanya disfungsi ventrikel kiri yang bermakna.

Pasien dengan gagal jantung kanan yang bermakna akan menunjukkan

beberapa tanda-tanda antara lain: pembesaran hati, pulsasi di liver akibat

regurgitasi trikuspid atau terjadinya asites akibat gagal jantung kanan yangsulit

untuk diatasi. Pulsasi arteri di ekstremitas perifer akan menurun intensitasnya dan

edema perifer dapat timbul pada gagal jantung kanan. Sianosis dan ekstremitas

yang teraba dingin, menunjukkkn terjadinya penurunan perfusi ke jaringan.

C. Pemeriksaan penunjang

• Elektrokardiografi (EKG)

Gambaran rekaman elektrokardiografi dapat membantu untuk menetukan

etiologi dari syok kardiogenik.

• Foto rontgen thorax

Pada foto polos dada akan terlihat kardiomegali dan tanda-tanda kongetsi paru

atau edema paru pada gagal ventrikel kiri yang berat. Bila terjadi komplikasi defek

septal ventrikel atau regurgitasi mitral akibat infark miokard akut, akan tampak

gambaran kongesti paru yang tidak disertai kardiomegali, terutama pada onset

infark yang pertama kali. Gambaran kongesti paru menunjukkan kecil


10

kemungkinan terdapat gagal ventrikel kanan yang dominan atau keadaan

hipovolemia.

• Echokardiografi

Modalitas pemeriksaan yang non-invasik ini sangat banyak membantu dalam

membuat diagnosis dan mencari etiologi dari syok kardiogenik. Pemeriksaan ini

relatif cepat dan aman. Keterangan yang diharapkan dapat diperoleh dari

pemeriksaan ini antara lain: penilaian fungsi ventrikel kanan dan kiri (global

maupun segmental), fungsi katup-katup jantung (stenosis atau regurgitas), tekanan

ventrikel kanan dan deteksi adanya shunt (misalnya pada defek septal ventrikel

dengan shunt dari kiri ke kanan), efusi perikardial atau tamponade.

• Pemantauan hemodinamik

Penggunaan kateter Swan-Ganz untuk mengukur tekanan arteri pulmonal dan

tekanan baji pembuluh kapiler paru sangat berguna, khususnya untuk memastikan

diagnosis dan etiologi dari syok kardiogenik, serta sebagai indikator evaluasi terapi

yang diberikan. Pasien syok kardiogenik akibat gagal ventrikel kiri yang berat,

akan terjadi peningkatan baji paru. Bila pada pengukuran ditemukan tekanan baji

pembuluh darah paru lebih dari 18 mmHg pada pasien infark miokard akut

menunjukkan bahwa volume intravaskular pasien tersebut cukup adekuat. Pasien

dengan gagal ventrikel kanan atau hipovelemia yang signifikan, akan menunjukkan

tekanan baji pembbuluh paru yang normal atau lebih rendah. Pemantauan

parameter hemodinamik juga membutuhkan perhitungan afterload (resistensi

vaskular sistemik). Minimalisasi afterload sangat diperlukan, karena bila terjadi

peningkatan afterload akan menimbulkan efek penurunan kontraktilitas yang akan

menghasilkan penurunan curah jantung (Vahdatpour et al, 2019).


11

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Kriteria untuk diagnosis syok kardiogenik telah ditetapkan oleh Myocardial

Infarction Research Units of the National Heart, Lung, and Blood Institute, Syok

kardiogenik ditandai oleh hal-hal sebagai berikut:

1. Tekanan arteria sistolik < 90 mmHg atau 30 sampai 60 mmHg di bawah

batas bawah sebelumnya.

2. Adanya penurunan aliran darah ke sistem organ-organ utama:

a. Keluaran kemih < 20 ml/jam, biasanya disertai penurunan kadar

natrium dalam kemih

b. Vasokonstriksi perifer yang disertai gejala kulit dingin, lembab

c. Terganggunya fungsi mental

3. Indeks jantung < 2,1 L/(menit/m2)

4. Bukti-bukti gagal jantung kiri dengan peningkatan LVEDP/tekanan baji

kapiler paru-paru (PCWP) 18 sampai 21 mmHg.

Kriteria ini mencerminkan gagal jantung kiri yang berat dengan adanya

gagal ke depan dan ke belakang. Hipotensi sistolik dan adanya gangguan perfusi

jaringan merupakan ciri khas keadaan syok. Penurunan yang jelas pada indeks

jantung sampai kurang dari 0,9 L/(menit/m2) dapat ditemukan pada syok

kardiogenik yang jelas.

Pada sebagian besar pasien syok kardiogenik, didapatkan sindrom klinis

yang terdiri dari hipotensi seperti yang disebut di atas; tanda-tanda perfusi

jaringan yang buruk, yaitu oliguria (urin<30 ml/jam), sianosis, ekstremitas dingin,

perubahan mental, serta menetapnya syok setelah dilakukan koreksi terhadap


12

faktor-faktor nonmiokardial yang turut berperan memperburuk perfusi jaringan

dan disfungsi miokard, yaitu hipovolemia, aritmia, hipoksia, dan asidosis.

Frekuensi nafas meningkat, frekuensi nadi biasanya > 100 x/menit bila tidak ada

blok AV. Sering kali didapatkan tanda-tanda bendungan paru dan bunyi jantung

yang sangat lemah walaupun bunyi jantung III sering kali dapat terdengar. Pasien

dengan disfungsi katup akut dapat memperlihatkan adanya bising akibat

regurgitasi aorta atau mitral. Pulsus paradoksus dapat terjadi akibat adanya

tamponade jantung akut.

Tekanan vena sentral lebih dari 10 mmH2O, dianggap menyingkirkan

kemungkinan hipovolemia. Keadaan ini disertai dengan manifestasi peningkatan

katekolamin seperti pada renjatan lain, yaitu: gelisah, keringat dingin, akral

dingin, takikardia, dan lain-lain.

Tiga komponen utama syok kardiogenik telah termasuk dalam definisi ini,

yaitu adanya: gangguan fungsi ventrikel, bukti kegagalan organ akibat

berkurangnya perfusi jaringan, tidak adanya hipovolemi atau sebab-sebab lainnya.

2.7 Tatalaksana

Tatalaksana Langkah penatalaksanaan syok kardiogenik

Langkah 1. Tindakan resusitasi segera

Tujuannya adalah mencegah kerusakan organ sewaktu pasien dibawa

untuk terapi definitif. Mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang adekuat

untuk mencegah sekuele neurologi dan ginjal adalah vital. Dopamin atau

noradrenalin (norepinefrin), tergantung pada derajat hipotensi, harus

diberikan secepatnya untuk meningkatkan tekanan arteri rata-rata dan


13

dipertahankan pada dosis minimal yang dibutuhkan. Dobutamin dapat

dikombinasikan dengan dopamin dalam dosis sedang atau digunakan tanpa

kombinasi pada keadaan low output tanpa hipotensi yang nyata (Alwi &

Nasution, 2014).

Intra-aortic balloon counterpulsation (IABP) harus dikerjakan

sebelum transportasi jika fasilitas tersedia. Analisis gas darah dan saturasi

oksigen harus dimonitor dengan memberikan continuous positive airway

pressure atau ventilasi mekanis jika ada indikasi. EKG harus dimonitor

secara terus menerus, dan peralatan defibrilator, obat antiaritmia aiodaron

dan lidokain harus tersedia.

Terapi fibrinolitik harus dimulai pada pasien dengan elevasi ST jika

diantisipasi keterlambatan angiografi lebih dari 2 jam. Mortalitas 35 hari

pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 100 mmHg yang mendapatkan

trombolitik pada meta analisis FTT adalah 28,9% dibandingkan 35,1%

dengan plasebo. Meningkatkan trombolisis dengan meningkatkan tekanan

perfusi koroner. Pada syok kardiogenik karena infark, inhibitor glikoprotein

IIb/IIIa dapat diberikan.

Langkah 2. Menentukan secara dini anatomi koroner

Hal ini merupakan langkah penting dalam tatalaksana syok

kardiogenik yang berasal dari kegagalan pompa (pump failure) iskemik

yang predominan. Hipotensi diatasi segera dengan IABP.

Langkah 3. Melakukan revaskularisasi dini


14

Setelah menentukan anatomi koroner, harus diikuti dengan

pemilihan modalitas terapi secepatnya. Tidak ada trial acak yang

membandingkan PCI dengan CABG emergensi pada left main atau

penyakit 3 pembuluh darah besar.

Tahapan-tahapan di dalam penatalaksanaan syok kardiogenik adalah

sebagai berikut:

1. Pasien diletakkan dalam posisi berbaring mendatar.

2. Pastikan jalan nafas tetap adekuat dan yakinkan ventilasi yang adekuat,

bila tidak sadar sebaiknya diakukan intubasi.

3. Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa

yang terjadi.

4. Berikan oksigen 8-15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk

mempertahankan PaO2 70-120 mmHg.

a. PaO2 (tekanan yang ditimbulkan oleh O2 yang terlarut dalam darah)

minimal 60 mmHg

b. Intubasi jika PaO2 < 60 mmHg pada FIO2 (konsentrasi oksigen

inspirasi) maksimal dengan masker muka atau PaCO2 > 55 mmHg

(tekanan yang ditimbulkan oleh CO2 yang terlarut dalam darah)

c. Semua pasien harus mendapat suplemen oksigen untuk meyakinkan

oksigenasi yang adekuat.

5. Terapi terhadap gangguan elektrolit, terutama Kalium.

6. Koreksi asidosis metabolik dengan Bikarbonas Natrikus sesuai dosis.


15

7. Pasang Folley catheter, ukur urine output 24 jam. Pertahankan produksi

urine > 0,5 ml/kg BB/jam.

8. Lakukan monitor EKG dan rontgen thoraks.

9. Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperberat syok yang ada

harus diatasi dengan pemberian morfin.

10. Hilangkan agitasi, dapat diberikan Diphenhydramin HCL 50 mg per

oral atau intra muskular : 3-4 x/hari.

11. Bila terdapat takiaritmia, harus segera diatasi:

a. Takiaritmia supraventrikular dan fibrilasi atrium dapat diatasi dengan

pemberian digitalis.

b. Sinus bradikardi dengan frekuensi jantung < 50 kali/menit harus

diatasi dengan pemberian sulfas atropin.

12. Pastikan tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat. Prioritas pertama

dalam penanganan syok kardiogenik adalah pemberian cairan yang

adekuat secara parenteral (koreksi hipovolemia) dengan menggunakan

pedoman dasar PCWP atau pulmonary artery end diastolic pressure

(PAEDP) atau CVP.

Jenis cairan yang digunakan tergantung keadaan klinisnya, tetapi

dianjurkan untuk memakai cairan salin isotonik. Intravenous fluid tolerance

test merupakan suatu cara sederhana untuk menentukan apakah pemberian

cairan infus bermanfaat dalam penanganan syok kardiogenik. Caranya:

a. Bila PCWP atau PAEDP < 15 mmHg (atau CVP < 12 cmH2O), sulit

untuk mengatakan adanya pump failure dan sebelum penanganan lebih


16

lanjut, volume cairan intravaskuler harus ditingkatkan hingga LVEDP

mencapai 18 mmHg. Pada keadaan ini, diberikan initial test volume

sebanyak 100 ml cairan (D5%) melalui infus dalam waktu 5 menit. Bila

ada respon, berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan diuresis,

perbaikan syok secara klinis, tanda-tanda kongesti paru tidak ada atau

tidak semakin berat, dan bila PCWP atau PAEDP tidak berubah atau

tidak meningkat > 2 mmHg di atas nilai awal (atau jika CVP tetap atau

tidak meningkat > 2-3 cmH2O di atas nilai awal), maka diberikan

cairan tambahan sebanyak 200 ml dalam waktu 10 menit.

b. Bila selanjutnya PCWP atau PAEDP tetap stabil atau tidak meningkat >

2 mmHg atau tidak melebihi 16 mmHg (atau jika CVP tetap < 15

cmH2O), tekanan darah tetap stabil atau meningkat, atau tanda-tanda

kongesti paru tidak timbul atau semakin bertambah, maka infus

dilanjutkan dengan memberikan cairan 500-1000 ml/jam sampai

tekanan darah dan gejala klinis syok lain menghilang. Periksa PCWP

atau PAEDP (atau CVP), tekanan darah, dan paru setiap 15 menit.

Diharapkan PCWP atau PAEDP akan meningkat sampai 15-18 mmHg

(atau CVP meningkat sampai 15 cmH2O).

c. Jika pada awal pemeriksaan didapatkan nilai PCWP atau PAEDP antara

15-18 mmHg (atau nilai CVP awal 12-18 cmH2O), maka diberikan

infus cairan 100 ml dalam waktu 10 menit. Pemberian cairan

selanjutnya tergantung dari peningkatan PCWP atau PAEDP (atau


17

CVP), perubahan tekanan darah, dan ada tidaknya gejala klinis kongesti

paru.

d. Jika nilai PCWP atau PAEDP pada awalnya 20 mmHg atau lebih (atau

jika nilai awal CVP 20 cmH2O atau lebih), maka tidak boleh dilakukan

tes toleransi cairan intravena, dan pengobatan dimulai dengan

pemberian vasodilator.

e. Jika PCWP atau PAEDP menunjukan nilai yang rendah (< 5 mmHg),

atau jika nilai CVP < 5cmH2O, infus cairan dapat diberikan walaupun

didapatkan edema paru akut.

f. Jika pasien menunjukan adanya edema paru dengan nilai PCWP atau

PAEDP yang rendah dan dalam penanganan dengan pemberian infus

cairan menyebabkan peningkatan kongesti paru serta perburukan

keadaan klinis, maka infus cairan harus dihentikan dan keadaan pasien

dievaluasi kembali.

13. Pada pasien dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat dan volume

intravaskular yang adekuat harus dicari kemungkinan adanya

tamponade jantung sebelum pemberian obat-obat inotropik atau

vasopresor dimulai. Tamponade jantung akibat infark miokard

memerlukan tindakan volume expansion untuk mempertahankan

preload yang adekuat dan dilakukan perikardiosentesis segera.

14. Penanganan pump failure dibagi berdasarkan subset hemodinamik dan

pasien dapat berpindah dari satu subset ke subset lainnya dan

memerlukan perubahan dalam regimen terapi.


18

a. Subset 1: LVEDP > 15 mmHg, tekanan sistolik arteri > 100 mmHg,

dan indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukan

adanya gagal jantung kiri dengan tekanan arteri cukup tinggi,

sehingga pengurangan afterload dapat dilakukan sebagai terapi

pertama.

- Ada dua vasodilator yang sering digunakan, yaitu nitrogliserin dan

nitroprusid. Pada waktu pemberian nitroprusid harus dilakukan

monitor terhadap tekanan darah dan tekanan pengisian ventrikel kiri.

Pemberian nitroprusid dimulai dengan dosis 0,4 mg/kg BB/menit

(dosis awal jangan lebih dari 10 mg/menit), kemudian dosis

ditingkatkan 5 mg/menit setiap 10 menit sampai tercapai efek

hemodinamik yang diinginkan. Bila curah jantung meningkat dan

gejala syok berkurang, maka terapi diteruskan. Bila tekanan darah

menurun, terjadi takikardi, dan bila peningkatan curah jantung tidak

mencukupi, maka ditambahkan dobutamin dengan dosis awal 5

mg/kg BB/menit dan ditingkatkan sampai maksimal 15 mg/kg

BB/menit. Bila tekanan darah menurun lebih cepat, maka dobutamin

diganti dengan dopamin (mikro drip) sesuai dosis efektif 2-10 ug/kg

BB/menit atau Isoproterenol drip jika disertai bradikardia.

- Pemberian nitrogliserin mempunyai peranan lebih kecil dalam

penanganan syok kardiogenik ringan. Terutama diberikan bila proses

iskemia masih berlangsung dan didapatkan adanya kongesti paru

yang berat. Nitrogliserin diberikan dengan dosis awal 5 mg/menit


19

dan ditingkatkan 5 mg/ menit setiap 10 menit. Bila ada perbaikan

gejala syok dan pump failure, maka nitrogliserin dilanjutkan selama

24-28 jam. Bila tekanan darah menurun dengan tekanan preload

yang tinggi, maka dosis nitrogliserin diturunkan dan ditambahkan

dobutamin dengan dosis 2-5 mg/kg BB/menit. Bila tekanan darah

lebih cepat menurun, maka dobutamin diganti dengan dopamin.

- Selama periode ini, pemasangan intra aortic ballon pump (IABP)

counterpulsation harus dipertimbangkan, karena hanya dengan

tindakan ini aliran darah koroner dapat ditingkatkan, dan secara

bersamaan kerja ventrikel kiri dapat dikurangi.

- Bila hemodinamik pasien sudah stabil dan tanda-tanda kongesti paru

masih tetap, maka pemberian diuretik secara perlahan dapat

dipertimbangkan.

b. Subset 2: Tekanan arteri sistolik < 90 mmHg, LVEDP > 15 mmHg,

dan indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukan

tanda klasik adanya syok akibat hipotensi pada pasien infark

miokard akut, dimana “tim ballon” perlu digerakan dan sarana untuk

kateterisasi harus dipersiapkan untuk menerima pasien ini

- Jika pasien dalam keadaan hipotensi berat, norepinefrin merupakan

pilihan utama dengan dosis 2-15 mg/menit sampai tekanan darah

sistolik mencapai 80-90 mmHg, kemudian diusahakan untuk

mengganti dengan dopamin.


20

- Jika tekanan darah sistolik 70-90 mmHg, dopamin dapat digunakan

untuk terapi awal dengan dosis 5-15 mg/kg BB/menit, dimana efek

utamanya merangsang adrenergik perifer, lebih baik digunakan

norepinefrin.

- Bila tekanan darah pasien sudah stabil, maka terapi selanjutnya yang

terbaik adalah dobutamin yang dapat diberikan bersama-sama

dopamin untuk mengurangi kebutuhan dosis dopamin. Dobutamin

tidak dapat digunakan secara tunggal pada pasien dengan hipotensi

berat.

c. Subset 3: Infark ventrikel kanan, peningkatan tekanan diastolik

atrium kanan dan ventrikel kanan (> 10 mmHg), indeks jantung <

2,5 liter/menit/m2, tekanan sistolik < 100 mmHg, LVEDP normal

atau meningkat. Pasien dalam keadaan ini sangat sensitif terhadap

kekurangan volume cairan dan sering menunjukan respon dengan

terapi cairan.

- Prinsip terapi: tekanan pengisian ventrikel kanan harus ditingkatkan

dengan pemberian cairan secara cepat sampai tekanan darah stabil,

tekanan pengisian ventrikel kiri > 20 mmHg, atau tekanan atrium

kana > 20 mmHg.

- Pemakaian vasodilator dan diuretik harus dihindarkan dan pada

keadaan ini pemberian dobutamin lebih dianjurkan daripada

dopamin.
21

- Jika dengan terapi cairan dan obat inotropik tidak ada perubahan,

maka dianjurkan pemasangan IABP counterpulsation.

15. Penggunaan trombolitik pada awal terapi infark miokard akan

mengurangi jumlah miokard yang mengalami nekrosis, sehingga

insiden sindrom syok kardiogenik akan berkurang. Penelitian GUSTO I

menunjukan angka mortalitas untuk 6 minggu follow up 58% pada

pasien syok kardiogenik yang mendapat terapi trombolisis dan aspirin

serta heparin. Pada GUSTO I TPA lebih baik dari streptokinase bila

tidak ada syok dan insiden syok juga lebih kecil, tetapi pada syok

mortalitas pada streptokinase lebih rendah walaupun secara statistik

tidak bermakna.

16. Sementara menunggu uji yang membandingkan angioplasti dan terapi

medis, saat ini dianggap bahwa angioplasti direk lebih superior

daripada terapi suportif semata-mata maupun terapi trombolitik.

Keberhasilan percutaneus transluminal coronary angioplasty (PTCA)

terutama bila dilakukan pada 24 jam pertama setelah timbulnya gejala

syok kardiogenik, pada pasien berusia < 65 tahun, dan dengan single-

vessel disease. Kegagalan PTCA terutama dikaitkan dengan usia pasien

yang lanjut (> 70 tahun) dan riwayat infark sebelumnya. Data-data

menunjukan PTCA pada syok kardiogenik menurunkan angka kematian

menjadi 46% atau kurang. PTCA sebaiknya dikerjakan dengan support

IABP. Semula PTCA dengan balon saja untuk membuka pembuluh

darah yang tersumbat secepatnya pada kasus-kasus infark menunjukan


22

hasil lebih baik dari trombolisis. Akhir-akhir ini dengan pemasangan

stent pada kasus infark akut menunjukan hasil lebih baik dari

angioplasti dengan memakai balon saja, terutama untuk mencegah

penyempitan kembali. Angka mortalitas didalam rumah sakit untuk

pasien infark akut yang dilakukan angioplasti primer 2-6%, tetapi pada

infark akut dengan syok kardiogenik yang dilakukan PTCA, angka

kematian di rumah sakit masih tinggi, menurut PAMI 39%, dan

GUSTO 38%.

17. Harapan hidup jangka panjang yang mengecewakan dari penanganan

syok kardiogenik akibat infark miokard dengan terapi medis telah

mendorong dilakukannya tindakan bedah revaskularisasi dini pada

pasien yang telah stabil dengan terapi farmakologis dan IABP. Guyton

menyimpulkan bahwa coronary-artery bypass surgery (CABS/CABG)

merupakan terapi pilihan pada semua pasien syok kardiogenik akibat

infark miokard, kecuali pada kelompok oktogenarian. CABS juga

dianjurkan pada pasien yang mengalami kegagalan dengan tindakan

angioplasti. Tindakan operasi dilakukan apabila didapatkan adanya

kontraksi dari segmen yang tidak mengalami infark dengan pembuluh

darah yang stenosis. Bedah revaskularisasi sebaiknya tidak dilakukan

pada pasien oktogenarian, pasien dengan LVEDP > 24 mmHg, skor

kontraktilitas ventrikel kiri > 13, dan adanya kerusakan pada organ

sistemik yang irreversibel. Pada pasien dengan kerusakan mekanik,

misalnya robeknya otot papilaris, robeknya septum interventrikel, maka


23

tindakan operasi akan efektif terutama bila revaskularisasi juga dapat

dilaksanakan. Kumpulan data dari 370 pasien dari 22 studi menunjukan

CABG yang dilakukan pada pasien dengan infark jantung akut dan

syok kardiogenik mempunyai mortalitas sebesar 36%. CABG perlu

dipertimbangkan pada pasien dengan penyempitan di banyak pembuluh

darah (multivessel disease) dan bila PTCA tidak berhasil.

18. Pada pasien syok kardiogenik dengan disfungsi miokard akibat

kerusakan miokard irreversibel, mungkin diperlukan tindakan

transplantasi jantung.
BAB 3

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Syok kardiogenik didefinisikan sebagai adanya tanda-tanda hipoperfusi

jaringan yang diakibatkan oleh gagal jantung. Dapat didiagnosa dengan

melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari

anamnesis di dapat pasien mengeluh sesak nafas dan rasa nyeri daerah torak, dari

pemeriksaan fisik didapat adanya tanda-tanda syok seperti gangguan sirkulasi

perifer pucat, ekstremitas dingin, nadi cepat dan halus tekanan darah rendah, vena

perifer kolaps, serta dari pemeriksaan penunjang dijumpainya adanya penyakit

jantung, seperti infark miokard yang luas, gangguan irama jantung, rasa nyeri

daerah torak, atau adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan katub atau

sekat jantung dan CVP rendah.

Berhasil tidaknya penanggulangan syok tergantung dari kemampuan

mengenal gejala-gejala syok, mengetahui dan mengantisipasi penyebab syok serta

efektivitas dan efisiensi kerja pada saat/menit-menit pertama penderita mengalami

syok. Dalam pemberian obat, perlu di perhatikan farmakodinamik,

farmakokinetik, indikasi, kontra indikasi, interaksi obat, efek samping dan hal-hal

yang perlu di perhatikan dalam pemberian obat.

24
DAFTAR PUSTAKA

Alwi I, Nasution S A. Syok Kardiogenik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I
Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; (2014).

van Diepen, Sean et al. “Contemporary Management of Cardiogenic Shock: A Scientific


Statement from the American Heart Association.” Circulation vol. 136,16 (2017).

Jones, Tara L et al. “Cardiogenic shock: evolving definitions and future directions in
management.” Open heart vol. 6,1 e000960. 8 May. 2019, doi:10.1136/openhrt-
2018-000960

Kaligis RWM. Buku Ajar Kardiologi. Departemen Kardiologi Dan Kedokteran Vaskular
FKUI. Jakarta. (2017).

Kislitsina, Olga N et al. “Shock - Classification and Pathophysiological Principles of


Therapeutics.” Current cardiology reviews vol. 15,2 (2019).

PERKI. Syok Kardiogenik dalam Panduan Praktik Klinis (PPK) dan Clinical Pathway
(CP) Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah ed. 1. Jakarta. (2016).

Ponikowski, Piotr et al. “ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure”. European heart journal vol. 37,27 (2016): 2129-2200.

Thiele H, Ingbar D H. Cardiogenic Shock and Pulmonary Edema. In Harrison's.


Principles of Internal Medicine. 20 th ed. New York: McGraw-Hill (2018).

Vahdatpour, Cyrus et al. “Cardiogenic Shock.” Journal of the American Heart


Association vol. 8,8 (2019).

25

Anda mungkin juga menyukai