PENDAHULUAN
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi utama di
negara berkembang seperti di Indonesia, kejadian ini terutama pada anak-anak di
bawah usia 5 tahun (balita). Selain itu banyak faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya KEP tersebut salah satunya berasal dari sosial ekonomi yang tidak dapat
dihindarkan. Untuk mengantisipasi masalah tersebut diperlukan kesiapan dan
pemberdayaan tenaga kesehatan dalam mencegah dan menanggulang KEP berat/gizi
buruk secara terpadu ditiap jenjang administrasi, termasuk kesiapan sarana pelayanan
kesehatan seperti Rumah Sakit Umum, Puskesmas perawatan, puskesmas, balai
pengobatan (BP), puskesmas pembantu, dan posyandu/PPG (Pusat Pemulihan Gizi).
Upaya perbaikan gizi telah lama dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, melalui
Departemen Kesehatan, sejak Pelita I sampai dengan Pelita VI. Upaya ini terutama
diarahkan untuk menanggulangi 4 (empat) masalah gizi utama di Indonesia, yaitu :
Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Anemia Gizi Besi dan
Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI). Khusus mengenai KEP, pada Repelita VI
pemerintah bersama masyarakat berupaya menurunkan prevalensi KEP dari 40 %
menjadi 30 %. Sasaran ini merupakan bukti komitmen nyata bangsa Indonesia
terhadap Konvensi mengenai Hak-hak Anak tahun 1989, yang pada tahun 1997
diratifikasi oleh 191 negara anggota WHO. Dalam konvensi ini hak anak untuk
mendapatkan kecukupan gizi memperoleh pengakuan penuh, dan kecukupan ini harus
diperhatikan sejak dini, bahkan sejak pembuahan agar bayi bisa berkembang secara
sehat dan optimal.5 Penyakit Kurang Energi Protein (KEP) merupakan bentuk
malnutrisi yang terdapat terutama pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dan
kebanyakan di negara-negara sedang berkembang. Bentuk KEP berat memberi
gambaran klinis yang khas, misalnya bentuk kwashiorkor, bentuk marasmus atau
bentuk campuran kwashiorkor marasmus. Pada kenyataannya sebagian besar penyakit
KEP terdapat dalam bentuk ringan. Gejala penyakit KEP ringan ini tidak jelas, hanya
terlihat bahwa berat badan anak lebih rendah jika dibandingkan dengan anak
seumurnya.
(11)
kenyataan bahwa sejak Indonesia mengalami krisis yang dimulai sejak tahun 1997
akhir, diketahui bahwa masalah gizi buruk menjadi meningkat. diungkapkan juga oleh
UNICEF di Indonesia sekitar dua juta anak dibawah dua tahun yang mengalami gizi
kurang. Akibat kekurangan gizi ini diperkirakan anak-anak tersebut mengalami
hambatan pertumbuhan tinggi badan sekitar 10 cm dan berat badan sebanyak 2 kg.
Menurut UNICEF tidak saja masalah pertumbuhan fisik, anak-anak itu juga
mengalami hambatan pertumbuhan mental. Sebagai bukti ditemukan bahwa 50%
anak-anak diserang anemia ketika berusia enam bulan, IQ anak tersebut juga
berpotensi turun 10 point.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
DEFINISI
Istilah KEP saat ini tidak digunakan kembali, yang kini digunakan adalah
MEP singkatan dari Malnutrisi Energi Protein. Berdasarkan lama dan jumlah
kekurangan proteinnya MEP dibagi atas MEP derajat ringan ( Gizi Kurang) dan MEP
derajat berat (Gizi Buruk). Biasanya pada gizi kurang belum menunjukkan gejala
yang khas karena belum terdapat kelainan biokimia sehingga hany dijumpai gangguan
pertumbuhan saja. Sedangkan pada gizi buruk disamping gejala klinis, maka dijumpai
juga gangguan biokimia. Pada gizi buruk didapatkan tiga bentuk klinis yaitu
Kwashiorkor, Marasmur dan Marasmus Kwashiorkor. Kini paling banyak dijumpai
kelainan marasmus, kwashiorkor sudah jarang ditemui.7
KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi
energi protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi Angka
Kecukupan Gizi (AKG). Klasifikasi KEP, berdasarkan penimbangan BB anak
dibandingkan dengan umur dan menggunakan KMS dan tabel BB/U Baku Median
WHO-NCHS
KEP ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak pada pita
warna kuning
KEP ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak pada di
bawah Garis Merah (BGM)
KEP berat/gizi buruk bila hasil penimbangan BB/U < 60 % baku median
WHO-NCHS. Pada KMS tidak ada garis pemisah KEP berat/Gizi buruk dan
KEP sedang, sehingga untuk menentukan KEP berat/gizi buruk digunakan
Tabel BB/U Baku Median WHO-NCHS
II.
EPIDEMIOLOGI 6
Dalam World Food Conference di Roma pada tahun 1974 telah dikemukakan
ETIOLOGI 8,9
Kelainan ini banyak di temukan di Negara miskin dan dunia ketiga, karena
peran sebagai factor negative seperti di uraikan di atas, yang sifatnya multifaktorial
dan konmpleks . Selain pengaruh berbagai faktor tersebut, masukan kalori yang
kurang dapat pula terjadi
tiadanya keakraban dalam hubungan orang tua dan anak,penyakit metabolik, kelainan
congenital, infeksi kronik, atau kelainan organ tubuh lainnya .
Penyebabnya dapat merupakan suatu sebab langsung atau tak langsung. Hal
ini juga dianggap sebagai penyakit lingkungan dimana terdapat beberapa faktor yang
Tabel IV.2
Hubungan Timbal Balik Antara Faktor-Faktor yang menjurus pada MEP
(ODA) Advisory Committee On Protein 19747
Penghasilan rendah
tidak dapat memenuhi
kebutuhan
Asupan Makanan
tidak Cukup
Anak Lebih
Mudah Sakit
Keperluan makanan
anak Bertambah
Anak
Sakit
Keperluan makanan
bertambah bagi wanita
yang mengandung
Sebagai Kompensasi
ibu sering
mengandung
Penghasilan menurun
IV.
Anak
Meninggal
PATOFISIOLOGI1
Pada gizi buruk didapatkan tiga bentuk klinis yaitu Kwashiorkor, Marasmur
yang diberikan, sehingga harus didapat dari tubuh sendiri, sehingga cadangan
protein digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut.
Penghancuran jaringan pada defisiensi kalori tidak saja membantu
memenuhi kebutuhan energi, akan tetapi juga untuk memungkinkan sintesis
glukosa dan metaboli esensial lainnya seperti asam amino untuk komponen
homeostatik. Oleh karena itu pada marasmus berat, kadang-kadang masih
ditemukan asam amino yang normal, sehingga hati masih dapat membentuk
cukup albumin.
Kwashiorkor
Pada kwashiorkor yang klasik, gangguan metabolik dan perubahan sel
menyebabkan edema dan perlemakan hati. Kelainan ini merupakan gejala yang
menyolok. Pada penderita defisiensi protein, tidak terjadi katabolisme jaringan
yang sangat berlebihan, karena persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah
kalori yang cukup dalam dietnya.
Namun kekurangna protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan
berbagai asam amino esensial yang dibutuhkan untuk sintesis. Oleh karena dalam
diet terdapat cukup karbohidrat, maka produksi insulin akan meningkat dan
sebagian asam amino dari dalam serum yang jumlahnya sudah kurang tersebut
akan disalurkan ke otot. Berkurangnya asam amino dalam serum merupakan
penyebab kurangnya pembentukan albumin oleh hepar, sehingga kemudian
timbul edema.
Perlemakan hati terjadi karena gangguan pembentukan lipo protein beta
sehingga transpor lemak dari hati ke depot lemak juga terganggu dan akibatnya
terjadi akumulasi lemak dalam hepar.
Kedua hal tersebut menyebabkan perubahan yang nyata pada komposisi
tubuh seperti jumlah dan distribusi cairan, lemak, mineral dan protein terutama
protein.
a. Cairan tubuh total
Tubuh mengandung lebih banyak cairan. Keadaan ini merupakan akibat
menghilangkan lemak, otot dan jaringan lain.
b. Cairan ekstrasel
Penampilan
Muka seorang penderita marasmus menunjukkan wajah seorang tua.
Anak terlihat kurus (vel over been) karena hilangnya sebagian besar
lemak dan otot-ototnya.
b.
Perubahan mental
Anak menangis, juga setelah mendapat makan oleh sebab masih merasa
lapar. Kesadaran yang menurun (apati) terdapat pada penderita
marasmus yang berat.
c.
d.
e.
f.
Otot-otot
Otot-otot atrofi, hingga tulang-tulang terlihat lebih jelas
g.
Saluran pencernaan
Jantung
Tidak jarang terdapat bradikardi.
i.
Tekanan darah
Pada umumnya tekanan darah penderita lebih rendah dibandingkan
dengan anak sehat seumur.
j.
Saluran nafas
Terdapat pula frekuensi pernafasan yang mengurang.
k.
Sistem darah
Pada umumnya ditemukan kadar hemoglobin yang agak rendah
2. Kwashiorkor
a.
Penampilan
Penampilan seperti anak yang gemuk (sugar baby) apabila dietnya
mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun
dibagian tubuh lainnya, terutama di pantatnya terlihat adanya atrofi.
Gambar VI. 1.
Sugar Baby
b.
Gangguan Pertumbuhan
Pertumbuhan terganggu, berat badan dibawah 80% dari buku Harvard
persentil 50 walaupun terdapat edema, begitu pula tinggi badannya
terutama jika KEP sudah berlangsung.
c.
Perubahan Mental
10
Edema
Edema baik yang ringan maupun yang berat ditemukan pada sebagian
besar penderita kwashiorkor. Walaupun jarang, ascites dapat mengiringi
edema.
Gambar VI.2
Pitting Edema
e.
Atrofi Otot
Atrofi otot sellau ada hingga penderita tampak lemak dan berbaring
terus-menerus, walaupun menderita penyakit demikian sudah dapat
berjalan.
f.
Sistem Gastro-Intestinum
Gejala saluran pencernaan merupakan gejala penting. Pada anoreksia
yang berat penderita menolak segala macam makanan, hingga
adakalanya makanan hanya dapat diberikan melalui sonde lambung.
Diare tampak pada sebagian besar penderita, dengan feses yang cair
yang mengandung banyak asam laktat karena mengurangnya produksi
laktase dan enzim disakaridase lain. Adakalanya diare demikian
disebabkan pula oleh cacing dan parasit lain.
11
g.
Perubahan Rambut
Perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai bangunannya
(texture) maupun warnanya. Sangat khas bagi penderita kwashiorkor
ialah rambut yang mudah dicabut. Misalnya tarikan ringan di daerah
temporal menghasilkan tercabutnya seberkas rambut tanpa reaksi si
penderita. Pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut
kepala yang kusam, kering, halus, jarang, dan berubah warnanya. Warna
rambut yang hitam menjadi merah, coklat, kelabu, maupun putih.
Rambut alispun menunjukkan perubahan demikian, akan tetapi tidak
demikian dengan rambut matanya yang justru memanjang. Signe
debandera kadang-kadang merupakan tanda khas, dimana apabila kita
mengambil sehelai rambut dari penderita maka akan terlihat adanya
bagian yang hipopigmentasi diantara warna rambut yang lainnya.
h.
Perubahan kulit
Perubahan kulit yang oleh Williams, dokter wanita pertama yang
melaporkan adanya penyakit kwashiorkor, diberi nama crazy pavement
dermatosis merupakan kelainan kulit yang khas bagi penyakit
kwashiorkor. Kelainan kulit tersebut dimulai dengan titik-titik merah
menyerupai petekie, berpadu menjadi bercak yang lambat-laun
menghitam. Setelah bercak hitam mengelupas, maka terdapat bagianbagian yang merah dikelilingi oleh batas-batas yang masih hitam.
Bagian tubuh yang sering membasah dikarenakan keringat atau air
kencing, dan yang terus-menerus mendapat tekanan merupakan
predileksi crazy pavement dermatosis, sepeti di punggung, pantat, sekitar
vulva, dan sebagainya. Perubahan kulit lain pun dapat ditemui, seperti
kulit yang kering dengan garis kulit yang mendalam, luka yang
mendalam tanpa tanda-tanda inflamasi. Kadang-kadang pada kasus yang
sangat lanjut ditemui petekie tanpa trombositopenia dengan prognosis
yang buruk bagi si penderita.
i.
Pembesaran hati
12
Hati yang membesar merupakan gejala yang sering ditemukan. Kadangkadang batas kiri terdapat setinggi pusar. Hati yang membesar dengan
mudah dapat diraba dan terasa kenyat pada rabaan dengan permukaan
yang licin dan pinggir yang tajam. Sediaan hati demikian jika dilihat
dibawah mikroskop menunjukkan, bahwa banyak sel hati terisi dengan
lemak. Pada kwashiorkor yang relatif ringan infiltrasi lemak itu terdapat
terutama di segi tiga Kirnan, lebih berat penyakitnya lebih banyak
perlemakan terdapat pada hampir semua sel hati. Adakalanya terlihat
juga adanya fibrosis dan nekrosis hati
Tabel VI.1.
Perbedaan Manifestasi Klinis Marasmus dan Kwashiorkor 5
Marasmus
Kwashiorkor
Onset is later, after the breast-feeding is
stopped.
3. There is no edema
Edema is present.
much.
Red boils and patches are classic
symptoms.
13
Gambar VI.3
Klinis Penderita Gizi buruk
3. Marasmik kwashiorkor
Berdasarkan definisi kelainan gizi ini menunjukan gejala campuran
antara marasmurdan kwashiorkor. Gejala klinis yang umumnya adalah gagal
tumbuh kembang. Di samping itu terdapat pula satu atau lebih gejala
kwashiorkor seperti edema, dermatosis, perubahan rambut, hepatomegali,
perubahan mental, hipotrofi otot, jaringan lemak subkutan berkurang, kerdil,
anemia, dan ,defisiensi vitamin. Berat badan dengan edema kurang dari 60%
nilai berat badan terhadap umur pada standar yang baku (berdasarkan loka
karya Antrometri Gizi 1975, untuk anak balita dipakai standar P50 Harvard).
14
VI. PEMERIKSAAN
Kwashiorkor 1,3
15
Marasmus 1,3
Tampak sangat kurus, tinggal tulang
terbungkus kulit
Wajah seperti orang tua
Cengeng, rewel
Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat
sedikit sampai tidak ada
Perut cekung
Iga mengambang
Sering disertai penyakit infeksi (umumnya
kronis berulang)
Diare kronik atau konstipasi/susah buang air
Gambar VII.2
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Ada hipotesis yang mengatakan, bahwa pada penyakit kwashiorkor tubuh
tidak dapat beradaptasi terhadap keadaan baru yang disebabkan oleh kekurangan
protein maupun energi. Oleh sebab itu banyak perubahan biokimiawi dapat ditemukan
pada penderita kwashiorkor, misalnya :
1) Albumin serum
Albumin serum yang merendah merupakan kelainan yang sering dianggap spesifik
dan sudah ditemukan pada tingkat dini.
2) Globulin serum
Kadar globulin dalam serum kadang-kadang menurun akan tetapi tidak sebanyak
menurunnya
albumin
serum,
hingga
pada
kwashiorkor
terdapat
rasio
Klasifikasi Gomez
Mengklasifikasikan seorang anak menurut berat badannya disesuaikan dengan
berat badan anak normal seusianya dengan umur yang sama ( BB/U = berat
badan menurut umur) dan dinyatakan dengan persentase. Klasifikasi ini lebih
banyak digunakan untuk kepentingan di masyarakat, bukan di klinik.
Tabel IX.1
Klasifikasi Gomez
BB/U ( % dari median standar)
90-110
75-89
Derajat I
: Malnutrisi Ringan
60-74
Derajat II
: Malnutrisi Sedang
<60
17
Klasifikasi Wellcome
Mengatasi Klasifikasi anak dengan edema ( sembab, bengkak) Klasifikasi ini
berdasarkan dua hal yaitu ada tidaknya edema dan defisit berat badan menurut
umurnya, dengan demikian ada empat kemungkinan
Tabel IX.2.
Klasifikasi Wellcome
Tanpa Edema
Dengan Edema
Standar)
60-80%
Undernutrition
Kwashiorkor
<60%
Marasmus
Marasmic Kwashiorkor
Klasifikasi Waterlow
Perlu pengukuran Tinggi badan disamping Berat Badan, Shunting ditentukan
dengan TB/U ( TB anak dibandingkan dengan TB anak normal seusianya) dan
Wasting ditentukan dengan BB/TB ( Berat badan anak dibandingkan dengan
berat badan anak normal yang tingginya sama). Klasifikasi waterlow
memasukkan BB/TB dan TB/U dalam klasifikasinya.
18
19
Tabel IX.3
Klasifikasi Waterlow
BB/TB
Normal
Malnutrisi
Malnutrisi
Malnutrisi
90-120
Ringan
80-89
Sedang
70-79
Berat
<70
95-110
90-94
85-89
<85
median
standar)
TB/U
median
standar)
Z-Scores dibuat juga SD-Scores atau Standart Deviation Value System. Z-Score
dihitung dengan rumus.
Z-Scores
Penilaiaan Status Gizi Antripometris PB/U dan TB/U menurut DEPKES RI (2000)
Nilai Batas
- 2 SD sampai + 2 SD
Klasifikasi
Normal
- 2 SD
Pendek ( Stunted)
20
Tabel IX.5
Penilaian status Gizi Antropometris BB/U dan BB/TB menurut DEPKES RI (2000)
Indikator
BB/U
BB/TB
Nilai Batas
2 SD
Klasifikasi
Gizi Lebih
- 2 SD sampai + 2 SD
Gizi Baik
- 2 SD sampai 3 SD
Gizi Kurang
< - 3 SD
Gizi Buruk
2 SD
Gemuk
- 2 SD sampai + 2 SD
Normal
- 2 SD sampai 3 SD
Kurus ( wasted)
< - 3 SD
Sangat Kurus
Kedudukan KMS
KMS dibuat bukan untuk menentukan status gizi, tetapi untuk memantau
pertumbuhan, dibuat berdasarkan BB/U. Penilaian disini tidak hanya
berdasarkan asal berat badan naik, namun dengan melihat garis pertumbuhan
anak dalam grafik KMS:
21
2
Gambar IX.1
Gambar IX.2.
Anak yang tidak naik berat badannya
22
c. Anak BGM anak yang hasil penimbangannya pada garis pertumbuhan dibawah
garis merah
b
a
Gambar IX.3
Anak yang hasil penimbangannya pada garis pertumbuhan dibawah garis merah
IX.
PENATALAKSANAAN2
Bila kadar glukosa darah rendah, ulangi pemeriksaan gula darah dengan darah
dari ujung jari atau tumit setelah 2 jam.
Bila gula darah turun lagi sampai <50 mg/dl, ulangi pemberian 50 ml (bolus)
larutan glukosa 10% atau sukrosa,dan teruskan pemberian setiap 30 menit sampai
stabil
Ulangi pemeriksaan gula darahbila suhu aksila <36 C dan/ atau kesadaran
menurun.
Pencegahan :
-
Mulai segera pemberian makan setiap 2 jam (langkah 6), sesudah dehidrasi yang
ada dikoreksi .
Catatan :
Bila tidak dapat memeriksa kadar glukosa darah, anggaplah setiap anak KEP berat
menderita hipoglikemia dan atasi segera.
24
Gambar X.1
Area Pengambilan darah yang baik pada anak
LANGKAH KE-2: PENGOBATAN/PENCEGAHAN HIPOTERMIA
Bila suhu ketiak <36C, periksalah suhu rectal dengan menggunakan
termometer suhu rendah. Bila tidak tersedia termometer suhu rendah dan suhu anak
sangat rendah pada pemeriksaan termometer biasa, anggap anak menderita
hipotermia.
Bila suhu dubur <36C :
-
Segera beri makan cair/formula khusus (mulai dengan rehidrasi bila perlu)
Hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai menutup kepala, letakan
dekat lampu atau pemanas (jangan gunakan botol air panas) atau peluk anak
didada ibu, selimuti.
Pemantauan
-
Periksa suhu dubur setiap 2 jam sampai suhu mencapai >36,5C bila memakai
pemanas ukur setiap 30 menit
Pastikan anak selalu terbungkus selimut sepanjang waktu, terutama malam hari.
Pencegahan
-
Haidari paparan langsung dengan udara (mandi atau periksa medis terlalu lama)
25
Selanjutnya beri 5-10 ml/kg /jam untuk 4-10 jam berikutnya; jumlah yang haris
diberikan tergantung berapa banyak anak menginginkannya dan banyak
kehilangan cairan melalui tinja dan muntah.
Pemantauan
Lakukan penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap - 1 jam selama 2
jam pertama, kemudian setiap jam untuk 6-12 jam selanjutnya dengan memantau :
-
Denyut nadi
Pernapasan
Frekuensi kencing
Frekuensi diare/mutah
Adanya air mata, mulut basah, kecekungan mata dan ubun- ubun besar yang
26
rehidrasi sudah tercapai. Pernapasan dan denyut nadi yang cepat dan menetap selama
rehidrasi menunjukan adanya infeksi atau kelebihan cairan.
Tanda kelebihan cairan :
Frekuensi pernapasan dan nadi meningkat, edema, dan pembengkakan kelopak mata
bertambah. Bila ada tanda- tanda tersebut, hentikan segera pemberian cairan dan nilai
kembali setelah 1 jam.
Pencegahan :
-
Ganti cairan yang hilang Resomal / pengganti (jumlah sama) sebagai pedoman,
berikan Resomal/pengganti sebanyak 50-100 ml setiap kali buang air besar cair
27
Vaksinasi campak bila umur anak >6 bulan dan nelum pernah diimunisasi (tunda
bila ada syok)
yang sesuai. Tambahkan obat anti malaria bila pemeriksaan darah untuk malaria
positif.
Bila anoreksia menetap setelah 5 hari pengobatan anti biotic , lengkapi
pemberian hingga 10 hari. Bila masih tetap ada, nilai kembali keadaan anak secara
lengkap, apakah vitamin dan mineral telah diberikan dengan benar.
LANGKAH KE 6: MULAI PEMBERIAN MAKANAN
Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat berhati-hati karena
kadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang. Pemberian
makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang sedemikian rupa
sehingga energi dan protein cukup untuk memnuhi metabolisme basal saja. Formula
khusus seperti F WHO 75 yang dianjurkan dan jadwal pemberian makanan harus
28
Muntah
BB ( harian)
Selama fase stabilisasi, diare secara berlahan berkurang dan BB mulai naik,
tetapi pada penderita dengan edema, Bbnya akan menurun dahulu bersamaan dengan
menghilangnya edema. Baru kemudian BB akan naik.
Tabel X.1
Tabel Pemberian Makanan
Hari ke
1-2
3-5
6-7
Frekuensi
Setiap 2 jam
Setiap 3 jam
Setiap 4 jam
Vol/kg/kali makan
1 sendok makan
2 sendok makan
4 sendok makan
Vol/kghari
130 ml
130 ml
130 ml
Ganti Formula khusus aawal ( energi 75Kkal dan Protein 0,9-1,0 gran/
100ml dengan formula khusus lanjutan ( Energi 100Kkal dan Protein 2,9
gram/ 100ml) dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi bubur atau makanan
29
Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi beri formula lebih dulu
karena energi protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh kejar.
Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan berat badan :
Bila kenaikan BB :
Kurang (<5 g/kgBB/hari), perlu reevaluasi menyeluruh
30
: 200.000 SI
: 100.000 SI
: 50.000 SI
Bila ada ulserasi pada mata, beri tambahan perawatan mata untuk mencegah
prolaps lensa :
Beri kloramfenikol atau tetrasiklin tetes mata, setiap 2-3 jam selama 710 hari.
Teteskan atropin tetes mata, 3 kali 1 tetes sehari, selama 3-5 hari.
LANGKAH KE-9 : BERIKAN STIMULASI SENSORIK DAN DUKUNGAN
EMOSIONAL
Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku
karenanya berikan :
Kasih sayang
Pemberian makan yang sering dan kandungan energi yang nutrien yang
padat
Sarankan :
31
X.
PROGNOSIS
Angka kematian + 30% pada kasus kwashiorkor dan lebih tinggi apa lagi
apabila tidak dilakukan pengobatan adekuat pada awalnya. Pada tahap penyembuhan
yang sempurna biasanya pertumbuhan fisis hanya terpaut sedikit dibandingkan
dengan anak sebayanya. Namun perkembangan intelektualnya akan mengalami
keterlambatan yang menetap, khususnya kelainan mental dan defisiensi persepsi
retardasi perkembangan akan lebih nyata lagi bila penyakit ini diderita sebelum anak
berumur 2 tahun ketika masih terjadi proses proliferasi / mielinisasi dan migrasi sel
otak.
XI. KOMPLIKASI
Menurutnya status gizi berakibat menurunnya imunitas penderita terhadap
berbagai infeksi. Tubuh memiliki 3 macam pertahanan untuk menolak infeksi : a.
melalui sel (imunitas selular), b. melalui cairan (imunitas humoral), dan c. aktivitas
lekosit polimorfonukleus. 1
Imunitas selular
Telah lama diketahui bahwa pada penderia KEP didapati kelenjar timus dan
tonsil yang atrofik, mengurangi jumlah t-limfosit yang berkorelasi dengan
menurunnya imunitas selular. Penderita morbili yang dirawat di RSCM karena
komplikasinya seperti bronkopneumonia, otitis media, dan lain-lain pada umumnya
menderita pula KEP. Oleh menurunnya imunitas selular maka invasi kuman gram
negatif atau kuman-kuman yang biasanya tidak betiku virulan sering menyebabkan
kematian penderita KEP-berat. 1
Imunitas humoral
Fagositosis mempunyai peranan yang penting dalam pertahanan tubuh
terhadap berbagai macam infeksi, walaupun beberapa kuman dapat menghindarinya.
Bergabunglah komplemen dengan antibodi dapat memperbesar efisiensi fagositosis
dan aktivitas membunuhnya. Pada penderita KEP pada komplemen-komplemen
serum ini lebih rendah terkecuali C4, jika dibandingkan dengan anak sehat. Dari
penyelidikan ini dapat diambil kesimpulan bahwa walaupun kadar imunoglobulin
32
pada KEP tidak menurun, bahkan meninggi, pada KEP terdapat gangguan imunitas
humoral yang disebabkan oleh menurunnya komplemen protein. 1
Aktivitas leukosit polimorfonukleus
Lekosit bertugas untuk memfagosititis kuman sebelum membunuhnya. Pada
penderita KEP akvitas leukosit untuk menfagostitis maupun membunuh kuman
menurun. 1,5
NOMA / Stoma gangrainosa
Merupakan salah satu penyakit yang kadang-kadang menyertai KEP berat
tertama tipe kwashiorkor penyakit ini merupakan pemasukan mukosa mulut yang
bersifat progresif hingga dapat menembus pipi, bibi rdan dagu, biasanya disertai
nekrosis sebagian tulang rahang yang berdekatan dengan lokasi noma tersebut.
Adanya noma pada penderita dapat diketahui dengan mudah, dokter dapat
mencium adanya noma begitu pasien masuk kamar pemeriksaan. Bau busuk yang
sangat keras merupakan tanda khas bagi penyakit ini. pada umumnya penderita
dibawa kerumah sakit dalam keadaan demikian, hingga pada pipi atau dagu sudah
terlihat kelainan kulit yang kebiru-biruan atau kehitam-hitaman dengan batas yang
tegas terhadap daerah sekitarnya. Selanjutnya bercak tersebut melepas dengan
meninggalkan lubang. Biasanya gigi-gigi yang langsung berdekatan dengan lubang
sudah rongok sedangkan tulang rahangnya nekrotik.
Keadaan demikian dapat diperbaiki dengan terapi dietetisi hingga keadaan
umumnya membaik dan daya tahan tubuh meninggai disamping pemberian antibiodik
setempat maupun sistemik dan membersihkan jaringan yang sudah nekrotik.
Walaupun noma menyembuh, keadaan tersebut meninggalkan bekas yang
kadang-kadang sangat menyedihkan, misalnya dengan lenyapnya hidung, tidak dapat
walaupun noma menyembuh, keadaan tersebut meninggalkan bekas yang kadangkadang sangat menyedihkan, misalnya dengan lenyapnya hidung, tidak dapat
menutupnya mata karena adanya fibrosis dan sebagainya. Rekonstruksi plastik dapat
memperbaiki keadaan setelah keadaan gizi penderita normal kembali.
Berbagai macam kuman dapat ditemukan dalam liang mulut penderita noma,
hingga sukar untuk menentukan penyebabnya. Mungkin kuman-kuman yang biasa
hidup sebagai saprofit menjadi patologis bilamana daya tahan tubuh sedang menurun.9
33
Xeroftalmia
Xeroftalmia merupakan penyakti penyerta KEP berat yang sering ditemui. Dari
pengumpulan data baik pada tahun 1955-1956 maupun 1978-1982 dapat diambil
kesimpulan bahwa penyakit penyerta Xeroftalmia
kwashiorkor masih tetap tinggi (Pudjiadi, 1988). Hasil penyuntikan Harmanses, 1962,
menunjukkan bahwa vitamin A serum pada kwashiorkor terdapat rendah terutama
jika sudah terdapat Xeroftalmia.
Sehubungan dengan tingginya angka kejadian Xeroftalmia pada KEP berat,
maka jika memeriksa penderita KEP berat tidak boleh dilupakan untuk perhatian yang
khusus tentang Xeroftalmia. Jangan sampai penderita KEP berat tanpa disadari bahwa
penderita tersebut juga menderita kekurangan vitamin A. Oleh karena itu pada
umumnya terdapat depresi vitamin A pada penderia KEP berat, maka pemberian
vitamin A secara rutin pada penderita ini dapat dilanjutlan. 1
Defisiensi vitamin A dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada kulit
terutama dibagian lengan, lateral tungkai dan bokong dapat terjadi hiperkeratosis
folikularis dan daapt pula terjadi metaplasia epitel saluran pernafasan, ginjal, paruparu, uterus, ureter dan kelainan lidah. Pada keadaan KEP hal tersebut dapat pula
terjadi akan tetapi hal yang paling ditakutkan adalah terja
gejala awalnya adaalh buta senja (hemeralopia) kemudian berlanjut menjadi serosis
konjugntiva dan kornea, timbul bercak bitot kemudian dapat terjadi infeksi sekunder
yang menimbulkan perforasi kornea dan diakhirinya menjadi keratomalasia yang
menyebabkan kehilangannya penglihatan.
Gambar XII.1
34
Bercak Bitot
XIII. PROGNOSIS
Angka kematian + 30% pada kasus kwashiorkor dan lebih tinggi apa lagi
apabila tidak dilakukan pengobatan adekuat pada awalnya. Pada tahap penyembuhan
yang sempurna biasanya pertumbuhan fisis hanya terpaut sedikit dibandingkan
dengan anak sebayanya. Namun perkembangan intelektualnya akan mengalami
keterlambatan yang menetap, khususnya kelainan mental dan defisiensi persepsi
retardasi perkembangan akan lebih nyata lagi bila penyakit ini diderita sebelum anak
berumur 2 tahun ketika masih terjadi proses proliferasi / mielinisasi dan migrasi sel
otak.
35
TINJAUAN PUSTAKA
1. Markum AH, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, Jilid I, hal 163.
2. DEPKES RI Dirjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi
Masyarakat, Pedoman Tata Laksana Kekurangan Energi Protein Pada Anak Di
Rumah Sakit Kabupaten/Kodya, Depkes RI, Jakarta, 1998.
3. Berita Seputar Kampus, Kurang Energi Protein, Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran, Bandung, 2002
4. Prawirohartono EP, Standar Penilaiaan Status Gizi Antropometri Untuk Anak,
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 2001.
5. Kristijono A, Karakteristik Balita Kurang Energi Protein (KEP) yang Dirawat
Inap di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 1999 -
36