Anda di halaman 1dari 109

REFERAT

KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS

Disusun Oleh :
Yonanda Alvino
1102014286

SMF BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD CILEGON
FAKULTAS KEDOKTERAN
YARSI
2014

HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan referat :

KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS

Tanggal : Mei 2018


Dosen Pembimbing :

dr Didit, Sp.PD

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, atas Rahmat dan Karunia Allah SWT, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan tugas penyusunan referat dengan judul “ KOMPLIKASI DIABETES
MELLITUS “

Tujuan pembuatan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu dari syarat
program pendidikan profesi di bagian Ilmu penyakit Dalam di RSUD Cilegon.
Terima kasih yang sebanyak - banyaknya penulis ucapkan kepada :

1. Dr. Didit, Sp.PD, selaku Pembimbing dalam penyusunan referat ini.


2. Semua dokter, bidan dan perawat di RSUD Cilegon Bagian Ilmu Penyakit
Dalam yang banyak membantu penulis dalam Co As di bagian Ilmu Penyakit
Dalam.
3. Rekan-rekan Co Assisten atas semangat, dorongan dan bantuannya.

Akhirnya penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi yang
membacanya.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL ............................................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii

DAFTAR ISI.................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1

B. Tujuan Penulisan ........................................................................................ 2

BAB. II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3

A. Definisi ........................................................................................................ 3

B. Komplikasi ................................................................................................. 3

C. Komplikasi akut .......................................................................................... 3

D. Komplikasi Kronik ....................................................................................... 4

HIPOGLIKEMIA

a. Definisi ............................................................................................... 3

b. Gejala dan Tanda Klinis ..................................................................... 4

c. Diagnosis Banding .............................................................................. 5

d.Pemerikasaan Penunjang ..................................................................... 5

e. Terapi .................................................................................................. 5

KETOASIDOSIS DIABETIKUM

a. Definisi .............................................................................................. 6

b. Etiologi ............................................................................................... 7

iii
c. Patofisiologi ........................................................................................ 7

d.Tanda dan Gejala ................................................................................. 8

e. Pemeriksaan Penunjang ...................................................................... 8

f. terapi ................................................................................................... 9

HIPEROSMOLAR NON KETOTIK

A. definisi................................................................................................ 11

b. Patofisiologi ......................................................................................... 11

c. pemeriksaan klinis ............................................................................... 11

d. pemeriksaan laboratorium .................................................................... 12

e. penatalaksanaan .................................................................................... 12

BAB III KESIMPULAN ...................................................................................... 14

BAB IV DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 15

iv
BAB I
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Diabetes adalah salah satu penyakit yang paling sering diderita dan penyakit
kronik yang serius di Indonesia saat ini. Setengah dari jumlah kasus Diabetes Mellitus
(DM) tidak terdiagnosa karena pada umumnya diabetes tidak disertai gejala sampai
terjadinya komplikasi. Prevalensi penyakit diabetes meningkat karena terjadi
perubahan gaya hidup, kenaikan jumlah kalori yang dimakan, kurangnya aktifitas
fisik dan meningkatnya jumlah populasi manusia usia lanjut. Dengan makin majunya
keadaan sosio ekonomi masyarakat Indonesia serta pelayanan kesehatan yang makin
baik dan merata, diperkirakan tingkat kejadian penyakit diabetes mellitus (DM) akan
makin meningkat. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur dan sosio
ekonomi.
Data terbaru tahun 2015 dari PERKENI menyatakan bahwa jumlah penderita
diabetes di Indonesia telah mencapai 9,1 juta orang. Indonesia telah menjadi
peringkat 5 teratas diantara Negara – Negara dengan jumlah pasien DM
terbanyak. WHO memperikirakan akan terus terjadi peningkatan pasien DM di
Negara Indonesia yang pada tahun 2030 diperkirakan menjadi 21,3 juta orang.
Menurut Prof. Dr . Achmad Rudijanto akan selaku ketua perkeni akan terus terjadi
peningkatan DM pada usia muda , dimana 1 dari 5 orang pendertia diabetes
berusia dibawah 40 tahun.

v
TUJUAN PENELITIAN
Untuk lebih mengetahui definisi ,patofisiologi ,penanganan dan memahami
komplikasi diabetes mellitus.

vi
BAB II

TINJUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Diabetes Melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang akibat
adanya peningkatan kadar gula darah (glukosa) yang disebabkan oleh . Diabetes
merupakan suatu penyakit yang sampai saat ini masih belum dapat disembuhkan,
tetapi sudah dapat dikendalikan, sehingga komplikasi akut dapat dicegah.

Fisiologi pancreas

vii
Patofisiologi

viii
ix
Diagnosis

x
Tatalaksana DM

II. KOMPLIKASI
Secara garis besar komplikasi diabetes mellitus diabagi menjadi 2 yaitu :1,4
A. AKUT :
1) HIPOGLIKEMI
2) KETOASIDOSIS ( Diabetik Ketoasidosis )
3) KOMA HIPEROSMOLAR NONKETOTIK
B. KRONIK :
1) RETINOPATI DIABETIK
2) PENYAKIT JANTUNG KORONER

xi
3) NEUROPATI DIABETIK
4) KAKI DIABETIK

Komplikasi DM dapat dibagi menjadi 2 melalui tempat nya

1. HIPOGLIKEMI
A. DEFINISI
Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah (glukosa) secara
abnormal rendah.Dalam keadaan normal, tubuh mempertahankan kadar gula
darah antara 70-110 mg/dL. Sementara pada penderita diabetes, kadar gula
darahnya tersebut berada pada tingkat terlalu tinggi dan pada penderita
hipoglikemia, kadar gula darahnya berada ( antara < 50 mg/dL ) atau < 80 mg/dL
dengan gejala klinis.1,2,3,4

xii
Hipoglikemi pada Diabetes Melitus terjadi karena :
 Kelebihan obat / dosis obat : terutama insulin atau obat hipoglikemi oral .
 Kebutuhan tubuh akan insulin yang relative menurun : Gagal Ginjal Kronik
,Pasca persalinan.
 Asupa makan tidak adekuat : jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat.
 Kegiatan jasmani yang berlebihan.

B. GEJALA DAN TANDA KLINIS


Fase Subliminal :
 Kadar glukosa 50-75 mg/dL
 Sekresi insulin menurun dan glukagon meningkat
 Gejala klinis tidak ada

Fase Aktival :
 Kadar glukosa 20-50 mg/dL
 Glukagon dan epinefrin meningkat
 Gejala klinis : keringat banyak, tremor, ketakutan, lapar, mual

Fase Neurologis :
 Kadar glukosa <20 mg/dL
 Gangguan fungsi otak
 Pusing, pandangan kabur, ketajaman mental menurun,motorik halus menurun,
kesadaran menurun, koma.1,5,6,7
pada pasien pemeriksaan fisik dengan gejala – gejala Hipokalemia ditemukan : muka
pucat ,tekanan darah rendah ,penurunan kesadaran ,defisit neurologic fokal transien.
DIAGNOSIS TRIAS WHIPPLE :1,9
 Gula Darah Rendah < 50 mg/dL
 Hipoglikemia dengan gejala-gejala saraf pusat

xiii
 Gejala akan menghilang dengan pemberian glukosa
C. DIAGNOSA BANDING
Hipoglikemi karena :

Obat
(sering) : insulin ,sulfonylurea ,alcohol.
(kadang) : kinin ,pentamidine .
(jarang) : salsilat ,sulfonamide .

Penyakit : gagal hati ,gagal ginjal ,gagal jantung ,sepsis .

Defisiensi endokrin : kortisol ,glucagon ,epinefrin.

Hiperinsulinisme endogen : insulinoma ,autoimun ,sekresi insulin ektopik.1,7,8

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Labotarium : darah rutin ,kadar glukosa darah ,tes fungsi ginjal ,tes fungsi hati.

E. TERAPI
Stadium Permulaan ( sadar ) :
▪ Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop / permen gula murni
(bukan pemanis pengganti gula atau gula diet / gula diabetes) dan makanan yang
mengandung karbohidrat.
▪ Stop obat hipoglikemik sementara.
▪ Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1 – 2 jam.
▪ Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL ( bila sebelumnya pasien tidak sadar ).
▪ Cari penyebabnya.

Stadium Lanjut ( Koma Hipokalemia atau Tidak Sadar dan Curiga Hipokalemia ) :
 Diberikan larutan Dekstrosa 40 % sebanyak 2 flakon ( 50 mL ) bolus intra vena.
 Diberikan cairan Dekstrosa 10 % per infuse ,6 jam per kolf.
 Periksa gula darah sewaktu (GDS) atau setiap 1 jam ,dengan Glukometer
 Bila GDS < 50 mg/dL  bolus Dekstrosa 40 % 50mL iv

xiv
 Bila GDS < 100 mg/dL  bolus Dekstosa 40 % 25mL iv

 Periksa GDS setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40 % :


 Bila GDS < 50 mg/dL  bolus Dekstrosa 40 % 50mL iv
 Bila GDS < 100 mg/dL  bolus Dekstosa 40 % 25mL iv
 Bila GDS < 100-200 mg/dL  tanpa bolus Dekstrosa 40%
 Bila GDS > 200 mg/dL  pertimbangkan menurunkan
kecepatan drip Dekstrosa 10 % atau mengganti infus dengan Dektrosa 5 %
atau NaCl 0,9% .
 Bila GDS > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut – turut ,sliding scale setiap 6 jam
GD ( mg/dL )  RI ( Unit , subkutan )
< 200 0
200 – 250 5
250 – 300 10
300 – 350 15
>350 20

Bila pasien belum sadar ,GDS sekitar 200 mg/dL : injeksi Deksametason 10 mg
iv bolus dilanjutkan Manitol 1,5-2 g/kg BB iv setiap 6-8 jam ,lalu cari penyebab
lain dari penurunan kesadaran.1,3,4

2. KETOASIDOSIS DIABETIK

A. DEFINISI

Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolic


yang ditandai oleh trias Hiperglikemi ,asidosis ,dan ketosis ,terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolute atau relative. KAD atau Hipoglikemia merupakan
komplikasi acute dari diabetes mellitus (DM) yang serius dan membutuhkan
pengelolaan gawat darurat.1

xv
B. ETIOLOGI
Tidak adanya insulin atau tidak cukupnya  jumlah insulin yang nyata, yang dapat
disebabkan oleh :
1. Insulin tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi
2. Keadaan sakit atau infeksi
3. Manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis dan tidak
diobati.

C. PATOFISIOLOGI
Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel akan
berkurang juga . disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali.
Kedua faktor ini akan menimbulkan hiperglikemi. Dalam upaya untuk
menghilangkan glukosa yang berlebihan dari dalam tubuh, ginjal akan
mengekskresikan glukosa bersama-sama air dan elektrolit (seperti natrium dan
kalium). Diurisis osmotik yang ditandai oleh urinasi yang berlebihan (poliuri) akan
menyebabkan dehidrasi dan kehilangna elektrolit. Penderita ketoasidosis diabetik
yang berat dapat kehilangan kira-kira 6,5 L air dan sampai 400 hingga 500 mEq
natrium, kalium serta klorida selam periode waktu 24 jam.
Akibat defisiensi insulin yang lain adlah pemecahan lemak (lipolisis) menjadi asam-
asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas akan diubah menjadi badan keton
oleh hati. Pada ketoasidosis diabetik terjadi produksi badan keton yang berlebihan
sebagai akibat dari kekurangan insulin yang secara normal akan mencegah timbulnya
keadaan tersebut. Badan keton bersifat asam, dan bila bertumpuk dalam sirkulais
darah, badan keton akan menimbulkan asidosis metabolik. 4,5,6

D. TANDA DAN GEJALA

xvi
Hiperglikemi pada ketoasidosis diabetik akan menimbulkan poliuri dan polidipsi
(peningktan rasa haus). Disamping itu pasien dapat mengalami pengkihatan yang
kabur, kelemahan dan sakit kepala . Pasien dengan penurunann volume intravaskuler
yang nyata mungkin akan menderita hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah
sistolik sebesar 20 mmHg atau lebih pada saat berdiri). Penurunan volume dapat
menimbulkan hipotensi yang nyata disertai denyut nadi lemah dan cepat. Ketosis dan
asidosis  yang merupakan ciri khas diabetes ketoasidosis menimbulkan gejala
gastrointestinal seperti anoreksia, mual, muntah dan nyeri abdomen. Nyeri abdomen
dan gejala-gejala fisik pada pemeriksaan dapat begitu berat sehingga tampaknya
terjadi sesuatu proses intrabdominal yang memerlukan tindakan pembedahan. Nafas
pasien mungkin berbau aseton (bau manis seperti buah) sebagai akibat dari
meningkatnya kadar badan keton. Selain itu hiperventilasi (didertai pernapasan yang
sangat dalam tetapi tidak berat/sulit) dapat terjadi. Pernapasan Kussmaul ini
menggambarkan upaya tubuh untuk mengurangi asidosis guna melawan efek dari
pembentukan badan keton.1,7,8

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kadar glukosa dapat bervariasi dari 300 hingga 800 mg/dl. Sebagian pasien
mungkin memperlihatkan kadar guka darah yang lebih rendah dan sebagian lainnya
mungkin memeliki kadar sdampai setinggi 1000 mg/dl atau lebih (yang biasanya
bergantung pada derajat dehidrasi)
 Harus disadari bahwa ketoasidosis diabetik tidak selalu berhubungan dengan
kadar glukosa darah.
 Sebagian pasien dapat mengalami asidosi berat disertai kadar glukosa yang
berkisar dari 100 – 200 mg/dl, sementara sebagia lainnya mungkin tidak
memperlihatkan ketoasidosis diabetikum sekalipun kadar glukosa darahnya
mencapai 400-500 mg/dl.
Bukti adanya ketosidosis dicerminkan oleh kadar bikarbonat serum yang rendah ( 0-
15 mEq/L)  dan pH yang rendah  (6,8-7,3).

xvii
Tingkat pCO2 yang rendah (10-30 mmHg) mencerminkan kompensasi respiratorik
(pernapasan kussmaul) terhadap asidosisi metabolik. Akumulasi badan keton (yang
mencetuskan asidosis) dicerminkan oleh hasil pengukuran keton dalam darah dan
urin.
Kadar natrium dan kalium dapat rendah, normal atau tinggi, sesuai jumlah cairan
yang hilang (dehidrasi). Sekalipun terdapat pemekatan plasma harus diingat adanya
deplesi total elektrolit tersebut (dan elektrolit lainnya) yang amoak nyata dari tubuh.
Akhirnya elektrolit yang mengalami penurunan ini harus diganti.
Kenaikan kadar kreatinin, urea nitrogen darah (BUN) Hb, dan Hmt juga dapat terjadi
pada dehirasi. Setelah terapi rehidrasi dilakukan, kenaikan kadar kreatinin dan BUN
serum yang terus berlanjut akan dijumpai pada pasien yang mengalami insufisiensi
renal.1,4,6

F. TERAPI
Akses intravena ( iv ) 2 jalur ,salah satunya dicabang dengan 3 way :
I. Cairan
 NaCl 0.9 % diberikan + 1-2 L pada 1 jam pertama ,lalu + 1 L pada jam
kedua ,lalu + 0,5 L pada jam ketiga dan keempat ,dan + 0,25 pada jam
kelima dan keenam ,selanjutnya kebutuhan .
 Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5 L.
 Jika Na+ > 155 mEg/L  ganti cairan dengan NaCl 0,45 %
 Jika GD < 200 mg/dL  ganti cairan dengan Dextrose 5 %

II. Insulin ( regular insulin = RI )


 Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan
 RI bolus 180 mU/kgBB IV ,dilanjutkan :
 RI drip 90 mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9 %
 Jika GD < 200 mg/dL : kecepatan dikurangi  RI drip 45
mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9%

xviii
 Jika GD stabil 200 – 300 mg/dL selama 12 jam  RI drip 1-2 U/jam
IV ,disertai
 sliding scale setiap 6 jam :
GD (mg/dL)  RI (unit, subkutan)
<200 0
200 – 250 5
250 – 300 10
300 - 350 15
>350 20

Jika GD ada yang < 100 mg/dL : drip RI dihentikan

Setelah sliding scale tiap 6 jam ,dapat diperhitungkan kebutuhan
insulin sehari  dibagi 3 dosis sehari subkutan ,sebelum makan ( bila
pasien sudah makan ).3,8,9

III. Kalium

Kalium ( K Cl ) drip dimulai bersamaan dengan drip RI ,dengan dosis
50 mEg / 6 jam dengan syarat : tidak ada gagal ginjal ,tidak ditemukan
gelombang T yang lancip dan tinggi pada EKG dan jumlah ureine
cukup adekuat.

Bila kadar K+ pada pemeriksaan elektrolit kedua :
< 3,5  drip KCl 75 mEg/6jam
3,0 – 4,5  drip KCl 50 mEg/6jam
4,5 – 6,0  drip KCl 25 mEg/6jam
 6,0  drip dihentikan
 Bila sudah sadar ,diberikan K+ oral selama seminggu
IV. Natrium bikarbonat
Drip 100 mEg bila pH < 7,0 disertai KCl 26 mEq drip
50 mEg bila pH 7,0 – 7,1 disertai KCl 13 mEg drip
Juga diberikan pada asidosis laktat dan hiperglikemi yang mengancam.

xix
3. HIPEROSMOLAR NON KETOTIK

A. DEFINISI
Suatu sindrom yang ditandai dengan hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi
berat tanpa ketoasidosis, disertai penurunan kesadaran.1,2

B. PATOFISIOLOGI
Merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan hipergklikemia
yang disertai perubahan tingkat kesadaran (Sense of Awareness). Keadaan
hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotik sehingga terjadi kehilangan
cairan dan elektrolit. Untuk mempertahankan keseimbangan osmotik, cairan akan
berpindah dari intrasel keruang ekstrasel. Dengan adanya glukosuria dan dehidrasi,
maka akan dijumpai keadaan hipernatremia dan peningkatan osmolaritas.1,3,4

C. PEMERIKSAAN KLINIS
 Poliuri, polidipsi, penurunan BB, kelemahan, penurunan kesadaran
 Dehidrasi berat, Hipotensi, Syok
 Bisa disertai gejala neurologis, kejang.
 Takikardi
 Tanpa hiperventilasi, kussmaul (-)
 Tanpa bau aseton
 Kulit kering
 Sianosis minimal

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Gula darah > 600 sampai 2000

Osmolaritas serum > 350 mOsm

xx

Kadar bikarbonat tetap normal ( ± 20 mEq/L)

pH normal

Tidak terdapat peninggian benda2 keton

Biasanya Hipernatremia, azotemia, hiperkalemia

Defisit K+ setelah pemberian cairan dan insulin

Glukosuria tetapi tidak ketonuri

Leukositosis

E. PENATALAKSANAAN 1,2,3
I. Pengawasan ketat, masuk HCU/ICU
II. Pengobatan awal ( jam 0-12) dengan tujuan memperbaiki volume
A. Cairan
 NaCl 0.9% 1L/jam
 Ganti defisit Na 500mEq/4-6 jam
 Pantau elektrolit per jam

B. Kalium
 Jika K+ serum tinggi, mulai pemberian KCl 20 mEq/jam setelah urine
jelas
 Jika K+ serum normal atau rendah, segera beri KCl 20mEq /jam,
kurangi 50% jika oliguria
 Pantau K+ per jam

C. Insulin
 Pemberian insulin reguler dosis rendah 4-8 U/jam sampai Gula
Darah < 250 mg/dl
 Monitor gula darah/ jam
D. Antibiotik dosis tinggi

xxi
III. Pengobatan tingkat kedua (jam 12-24)

Jika tekanan darah stabil, produksi urine kuat, ganti cairan dengan
NaCl 0,45% 250-500cc/jam

Jika gula darah <250mg/dl beri D5 % pada cairan intravena

Ganti defisit air selama 12-24 jam ( 5=10 L)

Sesuaikan dosis KCl dengan serial serum K+

Turunkan dosis insulin 4-6 menit /4-6 jam

Pantau glukosa dan elektrolit tiap 4 jam

Makanan lunak karbohidrat komplek

IV. Pengobatan tingkat ketiga ( hari ke 2-14 ) : penambahan air, elektrolit Mg++
dan PO4

4. Retinopati Diabetik
Definisi
Retinopati Diabetes (DR) merupakan salah satu komplikasi penyakit diabetes.
Komplikasi tersebut berupa kerusakan pada bagian retina mata yang akan
berdampak langsung pada terganggunya penglihatan penderita dan apabila
terlambat ditangani akan menyebabkan penderita mengalami kebutaan permanen.
Retinopati diabetik adalah kelainan retina (retinopati) yang ditemukan pada
penderita diabetes melitus. Retinopati ini tidak disebabkan oleh proses radang.
Retinopati akibat diabetes melitus lama berupa aneurisma, melebarnya vena,
pedarahan dan eksudat lemak.Kelainan patologik yang paling dini adalah penebalan
membrane basal endotel kapiler dan penurunan jumlah perisit

Gejala
Gejala yang ditunjukkan oleh penderita DR antara lain
Mikroneurisma

xxii
Mikroaneurisma, merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah vena
 

dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah
terutama polus posterior. Mikroaneurisma terletak pada lapisan nuclear dalam dan
merupakan lesi awal yang dapat dideteksi secara klinis. Mikroaneurisma berupa titik
merah yang bulat dan kecil, awalnya tampak pada temporal dari fovea. Perdarahan
dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat
mikroaneurisma dipolus posterior. 

Hemorrhages
hard exudates
merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannyakhusus yaitu iregular,
kekuning-kuningan.  Pada permulaan eksudat pungtata membesar dan bergabung.
Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.

xxiii
soft exudates
Sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia retina. Pada pemeriksaan
oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat difus dan berwarna
putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan
iskemia retina.

neovascularis.
ada retina biasanya terletak dipermukaan jaringan. Tampak sebagai pembuluh yang
berkelok-kelok, dalam, berkelompok dan ireguler. Mula–mula terletak dalam
jaringan retina, kemudian berkembang ke daerah preretinal kemudian ke badan
kaca. Pecahnya neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat menimbulkan
perdarahan retina, perdarahan subhialoid (preretinal) maupun perdarahan badan
kaca.

xxiv
Gejala-gejala tersebut pada suatu intensitas tertentu dapat menjadi indikator fase
(tingkat keparahan) retinopati diabetes. Secara umum fase tersebut dibagi dalam
tiga fase, yaitu non-proliferative diabetic retinopathy (NPDR) proliferative diabetic
retinopathy (PDR) serta macular edema

Patofisiologi
Meskipun penyebab retinopati diabetik sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun
keadaan hiperglikemik lama dianggap sebagai faktor resiko utama.Lamanya terpapar
hiperglikemik menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia yang akhinya menyebabkan
perubahan kerusakan endotel pembuluh darah.  Perubahan abnormalitas sebagian besar
hematologi dan biokimia telah dihubungkan dengan prevalensi dan beratnya retinopati
antara lain :
1) adhesi platelet yang meningkat
2) agregasi eritrosit yang meningkat
3) abnormalitas lipid serum
4) fibrinolisis yang tidak sempurna
5) abnormalitas serum dan viskositas darah.

xxv
xxvi
Diagnosis
Retinopati diabetik dan berbagai stadiumnya didiagnosis berdasarkan pemeriksaan
stereoskopik fundus dengan dilatasi pupil.Oftalmoskopi dan foto funduskopi
merupakan gold standard bagi penyakit ini.Angiografi Fluoresens(FA) digunakan
untuk menentukan jika pengobatan laser diindikasikan. FA diberikan dengan cara
menyuntikkan zat fluorresens secara intravena dan kemudian  zat tersebut melalui
pembuluh darah akan sampai di fundus.

xxvii
Tatalaksana
Prinsip utama  penatalaksanaan dari retinopati diabetik adalah pencegahan.
Hal ini dapat dicapai dengan memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi
perkembangan retinopati diabetik nonproliferatif menjadi proliferatif.
1.      Pemeriksaan rutin pada ahli  mata

xxviii
Penderita diabetes melitus tipe I retinopati jarang timbul hingga lima tahun setelah
diagnosis. Sedangkan pada sebagian besar penderita diabetes melitus tipe II telah menderita
retinopati saat didiagnosis diabetes pertama kali.Pasien- pasien ini harus melakukan
pemeriksaan mata saat diagnosis ditegakkan.Pasien wanita sangat beresiko perburukan
retinopati diabetik selama kehamilan. Pemeriksaan secara umum direkomendasikan pada pasien
hamil pada semester pertama dan selanjutnya tergantung kebijakan ahli matanya. 9
Jadwal Pemeriksaan Berdasarkan Umur atau Kehamilan
Umur onset Rekomendasi pemeriksaan pertama Follow up rutin minimal
DM/kehamilan kali
0-30 tahun Dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis Setiap tahun
>31 tahun Saat diagnosis Setiap tahun
Hamil Awal trimester pertama Setiap 3 bulan atau sesuai
kebijakan dokter mata
Berdasarkan beratnya retinopati dan risiko perburukan penglihatan, ahli  mata mungkin
lebih memilih  untuk megikuti perkembangan  pasien-pasien tertentu lebih sering karena
antisipasi kebutuhan untuk terapi. 9
Jadwal Pemeriksaan Berdasarkan Temuan Pada Retina
Abnormalitas retina Follow-up yang disarankan
Normal atau mikroaneurisma yang sedikit Setiap tahun
Retinopati Diabetik non proliferatif ringan Setiap 9 bulan
Retinopati Diabetik non proliferatif Setiap 6 bulan
Retinopati Diabetik non proliferatif Setiap 4 bulan
Edema macula Setiap 2-4 bulan
Retinopati Diabetik  proliferatif Setiap 2-3 bulan
2.      Kontrol Glukosa Darah dan Hipertensi
            Untuk mengetahui kontrol glukosa darah terhadap retinopati diabetik,Diabetik
Control and Cmplication Trial (DCCT) melakukan penelitian terhadap 1441 pasien
dengan DM Tipe I yang belum disertai dengan retinopati dan yang sudah menderita
RDNP. Hasilnya adalah pasien yang tanpa retinopati dan mendapat terapi intensif
selama 36 bulan mengalami penurunan resiko terjadi retinopati sebesar 76%
sedangkan pasien dengan RDNP dapat mencegah resiko perburukan retinopati
sebesar 54%. Pada penelitian yang dilakukan United Kingdom Prospective Diabetes
Study (UKPDS) pada penderita DM Tipe II dengan terapi intensif menunjukkan
bahwa setiap penurunan HbA1c sebesar 1% akan diikuti dengan penurunan resiko
komplikasi mikrovaskular sebesar 35%. Hasil penelitian DCCT dan UKPDS tersebut
memperihatkan bahwa meskipun kontrol glukosa darah secara intensif tidak dapat
mencegah terjadinya retinopati diabetik secara sempurna, namun dapat mengurangi
resiko timbulnya retinopati diabetik dan memburuknya retinopati diabetikyang sudah
ada.Secara klinik, kontrol glukosa darah yang baik dapat melindungi visus dan

xxix
mengurangi resiko kemungkinan menjalani terapi fotokoagulasi dengan sinar laser.
UKPDS menunjukkan bahwa control hipertensi juga menguntungkan mengurangi
progresi dari retinopati dan kehilangan penglihatan. 1,3,9
3.         Fotokoagulasi1,2,10,11
            Perkembangan neovaskuler memegang peranan penting dalam progresi
retinopati diabetik.Komplikasi dari retinopati diabetik proliferatif dapat meyebabkan
kehilangan penglihatan yang berat jika tidak diterapi.Suatu uji klinik yang dilakukan
oleh National Institute of  Health  di Amerika Serikat jelas menunjukkan bahwa
pengobatan fotokoagulasi dengan sinar laser apabila dilakukan tepat pada waktunya,
sangat efektif untuk pasien dengan retinopati diabetik proliferatif dan edema makula
untuk mencegah hilangnya fungsi penglihatan akibat perdarahan vitreus dan ablasio
retina. Indikasi terapi fotokoagulasi adalah retinopati diabetik proliferatif, edema
macula dan neovaskularisasiyang terletak pada sudut bilik anterior. Ada 3 metode
terapi fotokoagulasi yaitu :1,2,9,10,
1) scatter (panretinal) photocoagulation = PRP, dilakukan pada kasus dengan kemunduran visus
yang cepat atau retinopati diabetik resiko tinggi dan untuk menghilangkan neovaskular dan
mencegah  neovaskularisasi progresif nantinya pada saraf optikus dan pada permukaan retina
atau pada sudut bilik anterior dengan cara menyinari 1.000-2.000 sinar laser ke daerah retina
yang jauh dari macula untuk menyusutkan neovaskular. 

Gambar 19 : Tahap-tahap PRP


(Dikutip dari kepustakaan 10)

xxx
 2) focal photocoagulation, ditujukan pada mikroaneurisma atau lesi mikrovaskular di
tengah cincin hard exudates yang terletak 500-3000 µm dari tengah fovea. Teknik ini
mengalami bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan edema macula.
3) grid photocoagulation, suatu teknik penggunaan sinar laser dimana pembakaran dengan
bentuk kisi-kisi diarahkan pada daerah edema yang difus. Terapi edema macula sering dilakukan
dengan menggunakan kombinasi focal dan grid photocoagulation.

Gambar 20. Panretinal fotokoagulasi pada PDR


(Dikutip dari kepustakaan 10)

Gambar 21. Grip fotokoagulasi untuk diabetik makular edema


(Dikutip dari kepustakaan 2)

xxxi
4.         Injeksi Anti VEGF
            Bevacizumab (Avastin) adalah rekombinan anti-VEGF manusia. Sebuah studi
baru-baru ini diusulkan menggunakan bevacizum intravitreus untuk degenerasi
makula terkait usia. Dalam kasus ini, 24 jam setelah perawatan kita melihat
pengurangan dramatis dari neovaskularisasi iris, dan tidak kambuh dalam waktu
tindak lanjut 10 hari. Pengobatan dengan bevacizumab tampaknya memiliki pengaruh
yang cepat dan kuat pada neovaskularisasi patologis.Avastin merupakan anti
angiogenik yang tidak hanya menahan dan mencegah pertumbuhan prolirerasi sel
endotel vaskular tapi juga menyebabkan regresi vaskular oleh karena peningkatan
kematian sel endotel. Untuk pengunaan okuler, avastin diberikan via intra vitreal
injeksi ke dalam vitreus melewati pars plana dengan dosis 0,1 mL.Lucentis
merupakan versi modifikasi dari avastin yang  khusus dimodifikasi untuk penggunaan
di okuler via intra vitreal dengan dosis 0,05 mL.1,2,8,10
5.         Vitrektomi
            Vitrektomi dini perlu dilakukan pada pasien yang mengalami kekeruhan (opacity) vitreus
dan yang mengalami neovaskularisasi aktif.Vitrektomi dapat juga membantu bagi pasien dengan
neovaskularisasi yang ekstensif atau yang mengalami proliferasi fibrovaskuler. Selain itu,
vitrektomi juga diindikasikan bagi pasien yang mengalami ablasio retina, perdarahan vitreus
setelah fotokoagulasi, RDP berat, dan perdarahan vitreus yang tidak mengalami perbaikan. 1,2,8

Gambar 22 : Vitrektomi
(DIkutip dari kepustakaan 10)
        Diabetic Retinopathy Vitrectomy Study (DVRS) melakukan clinical trial pada
pasien dengan dengan diabetik retinopati proliferatif berat. DRVS mengevaluasi
keuntungan pada vitrektomi yang cepat (1-6 bulan setelah perdarahn vitreus) dengan
yang terlambat ( setalah 1 tahun) dengan perdarahan vitreous berat dan kehilangan
penglihatan (<5/200). Pasien dengan diabetes tipe 1 secara jelas menunjukan
keuntungan vitrektomi awal, tetapi tidak pada tipe 2.DRSV juga menunjukkan

xxxii
keuntungan vitrektomi awal dibandingkan dengan managemen konvensional pada
mata dengan retinopati diabetik proliferatif yang sangat berat.

5. Penyaikit Jantung Koroner

Merupakan penyakit jantung koroner yang terjadi akibat komplikasi dari DM yang
berkepanjangan.

Patofisiologi
Penyakit jantung koroner dapat terjadi oleh karena terdapat perubahan vaskularisasi
yang terjadi oleh tingginya gula dalam darah.

6.Neuropati diabetic
Definisi
Nyeri neuropati diabetik (NND) merupakan salah satu komplikasi dari
diabetes melitus dan sangat mengganggu aktivitas penderita sehari-hari.
Selain itu NND sangat sulit diobati dan seringkali membuat frustasi baik
pasien maupun dokternya. Patofisiologi NND masih belum sepenuhnya
diketahui, sehingga kondisi patologiknya belum dapat ditangani secara tuntas
(Cambell &Meyer , 2006).

Patofisiologi
Terjadi nya neurophatic diabetic masih belum semuanya diketahui , namun ada
beberapa teori yang menandakan terjadinya neuropati diabetic.
Polyulol pathway
Hiperglikemia merupakan pencetus polyol pathway. Hubungan aldose reductase akan
meningkat, menyebabkan intraseluler osmotic stress meningkat karena kurangnya
sorbitol pada saraf pasien penderita diabetes yang disebabkan oleh sorbitol tidak
pindah dari membrane.
Microvascular change

xxxiii
DNP berhubungan dengan perubahan microvaskular. Perfusi peripheral berkurang
tidak hanya di saraf namun juga di kulit dan pembuluh darah. Karena terjadinya
perubahan pembuluh darah maka saraf dapat terjadi iskemik, dimana terjadi oleh
penebalan dinding dan hyaline di lapisan basal pembuluh darah yang mengenai saraf
peripheral, bersama dengan pengurangan luminal. Perubahan ini terjadi oleh karena
plasma protein yang dapat menyebabkan pembekakan saraf dan peningkatan tekanan
darah , dimana dapat terjadi hipoksia sel saraf terutama di saraf perifer yang dapat
mengganggu kestabilan elektriksitas.

Channel sprouting
Bagian dari ujung saraf yang terluka berhubungan dengan nyeri, yang di
intrepestasikan sebagai nyeri atau dysthesia oleh CNS. Perubahan dari ekspresi ion
channel merupakan konsekuensi secara langsung dari kerusakan yang menyebabkan
nyeri atau hiperexcitability.

Diagnosis
Diagnosis

Anamnesis
Sensorik : Manifestasi klinis NND terutama dijumpai pada anggota
gerak bawah secara simetris, berupa rasa seperti terbakar, ditusuk,
ditikam, kesetrum, disobek, tegang, diikat, alodinia, hiperalgesia dan
disestesia. Keluhan dapat disertai rasa baal seperti pakai sarung
tangan, hilang keseimbangan ( mata tertutup), kurang tangkas,
astereognosis atau borok tanpa nyeri. Keluhan akan memberat pada
malam hari sehingga tidak jarang pasien mengalami gangguan tidur,
cemas dan depresi yang mengakibatkan kualitas hidup menurun
(Daousi et al., 2006).
PAIN EDUCATION 103

Motorik : gangguan koordinasi serta paresis distal dan atau proksimal


antara lain sulit naik tangga, sulit bangkit dari kursi/lantai, terjatuh, sulit
bekerja atau mengangkat lengan atas diatas bahu, gerakan halus
tangan terganggu, sulit putar kunci, buka toples, ibu jari tertekuk,
tersandung, kedua kaki bertabrakan (Callaghan et al., 2012).

xxxiv
Otonom : gangguan berkeringat, sensasi melayang pada posisi tegak,
sinkope saat BAB/batuk/kegiatan fisik, disfungsi ereksi, sulit orgasme,
sulit menahan bab/bak, ngompol, anyang-anyangan (polakisuri),
muntah (bila makanan tertahan), mencret noktural, konstipasi.
Gangguan pupil bisa berupa sulit adaptasi dalam gelap atau terang
(Callaghan et al., 2012).
Neuropati diabetik dicurigai pada pasien DM tipe 1 yang lebih dari 5
tahun dan semua DM tipe 2 (Callaghan et al., 2012).
Evaluasi yang akurat penting untuk diagnostik NND. Dibutuhkan suatu
alat diagnosis yang cepat, tepat dan mudah dilaksanakan untuk menilai
adanya NND. Ada beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk membantu
membedakan antara nyeri neuropatik dengan nyeri nosiseptif. Alat ukur yang
menggunakan gabungan antara sistem wawancara dengan pemeriksaan fisik
memiliki nilai diagnostik yang lebih baik dibandingkan dengan alat ukur yang
hanya menggunakan sistem wawancara saja.

The Leeds Assesment of Neuropathic Symptom and Sign (LANSS)


adalah alat ukur pertama yang dikembangkan yang telah teruji reliabilitas dan
validitasnya untuk membedakan antara nyeri neuropatik dengan nyeri
nosiseptif. LANSS memiliki sensitivitas 85% dan spesifitas 80%. Reliabilitas
LANSS dalam versi Bahasa Indonesia sudah pernah dilakukan dengan hasil
konsistensi internal antara 0.75 dan 0.88, dan kesepakatan kedua pemeriksa
memiliki koefisien kappa 0.76 (Widyadharma& Yudiyanta, 2008).

Neuropathic Pain Diagnostic Questionaire (DN4), adalah salah satu


alat bantu ukur untuk menentukan adanya nyeri neuropatik, yang
menggunakan gabungan antara wawancara dengan pemeriksaan disfungsi
sensorik. Neuropathic Pain Diagnostic Questionaire (DN4) ini pertama kali di
dikembangkan di Perancis, yang dibuat oleh Neurophatic pain group, dengan
104 PAIN EDUCATION
nama The Douleur Neuropathique en 4, dan sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris, yang dikenal dengan nama Neuropathic Pain Diagnostic
Questionaire atau DN4 dengan sensitivitas 83% dan spesifisitas 90%
(Bouhassiraet al., 2005; Bennetet al., 2007).
Rekomendasi The American Diabetes Association Consensus
Statement, diagnosis NND praktisnya ditegakkan berdasarkan klinis pasien
seperti deskripsi dari nyeri yang dirasakan pasien, gejala yang bersifat distal
symmetrical dan terjadi eksaserbasi pada malam hari (Tesfaye , 2011).
Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Kaki diabetik, neuroartropati (Charcot joint) dan deformitas claw toe.
Pemeriksaan neurologik

xxxv
Pemeriksaan motorik
Pemeriksaan sensorik untuk melihat distribusi lesi saraf.
Pemeriksaan otonom, termasuk: evaluasi hipotensi ortostatik, nadi ( refleks
takikardi), tes Valsalva dan kelenjar keringat. (Tesfaye , 2011; Callaghan et
a.l, 2012)
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan elektrofisiologik
1. Motorik: latensi Nerve Conduction Velocity (NVC), F-wave,
Electromyography (EMG), MagneticEvoked Potensial (MEP).

2. Sensorik : Sensory Nerve Action Potensial (SNAP), Sensory


Conduction Velocity (SCV), H-reflex, Somato Sensory Evoked
Potensial (SSEP), Laser-evoked potentials (LEPs), Positron Emission
Tomography (PET), Small Fibers Nerve Conduction Velocity
(pemeriksaan small fiber).
3. Quantitative Sensory Testing (QST)
Merupakan pengukuran psikofisiologis dari persepsi pada
rangsangan eksternal yang intensitasnya terkontrol/diatur.Dipakai
serabut Von Frey atau Semmes-Weinstein monofilaments. Dapat
dipakai untuk menilai rasa raba dari serabut-serabut saraf Aβ yang
cukup bermanfaat sebagai sarana diagnosis dini dari neuropati
diabetik.(Tesfaye , 2011; Callaghan et al., 2012)

Laboratorium:
Kadar gula darah atau tes toleransi glukosa, HbA1c.
Laboratorium untuk menyingkirkan diagnosis banding atau penapisan
dini kasus subklinis.(Tesfaye , 2011; Callaghan et al., 2012)

Dalam Textbook of Diabetic Neuropathy, Dyck merekomendasikan


diagnosis NND apabila terdapat minimum satu atau 2 abnormalitas (dari
keluhan, gejala klinis, abnormalitas pada pemeriksaan hantaran saraf (NCV)
atau pemeriksaan sensori kuantitatif (quantitative sensory tests) (Dyck ,
2003)

Pengobatan
Tatalaksana:
Pengendalian optimal kadar gula darah: sebaiknya mendekati
normoglikemia, harus dijaga kadar HbA1c dipertahankan dibawah 6-
7% .

xxxvi
Terapi simtomatik.(Tesfaye , 2011; Callaghan et a.l, 2012)
Farmakologik:
Anti konvulsan antara lain : pregabalin, gabapentin, karbamasepin,
okskarbasepin.
NSAID: untuk nyeri muskuloskeletal dan neuroartropati.

Analgesik: tramadol, kombinasi tramadol dan asetaminofen.

Antidepresan antara lain: amitriptilin, imipramin, duloksetin.

Antiaritmia: meksiletin.

Obat topikal antara lain: kapsaisin.


(Tesfaye , 2011; Callaghan et a.l, 2012)

xxxvii
xxxviii
Non-farmakologik
Perawatan harian kaki secara teliti.
Sepatu: jangan sempit, diperiksa adanya tonjolan di dalam sepatu.
Infeksi lokal di terapi dan berat badan diturunkan.
Nyeri kaki: rendam kaki dalam air panas-dingin bergantian selama
10 menit (cek suhu air panas) .(Callaghan et a.l, 2012).
Terapi alternatif seperti: akupunktur, infrared, laser terapi, TENS,
frequencymodulated electromagnetic neural stimulation (FREMS)
therapy, high frequency external muscle stimulation, electrical
spinal cord stimulator inplantasimasih belum konklusif (Tesfaye ,

xxxix
2011)

nvasif non-bedah

Blok saraf lokal. (Callaghan, et al., 2012).

Bedah
Atas indikasi seperti amputasi pada gangren.

Prognosis
Nyeri neuropati diabetik sulit diobati dan penderita sangat jarang
mendapatkan pengurangan rasa nyeri secara komplit. Hal ini membuat
frustasi penderita maupun dokter yang merawat. Pencegahan merupakan hal
terpenting untuk dilakukan (Kamei J, et al,2001).

6. Penyakit jantung koroner

Penyakit jantung sering terjadi bersamaan dengan penyakit DM. Kontrol


keseimbangan DM mempengaruhi keadaan pasien DM dengan kondisi
komplikasi jantung. Mekanisme DM dalam mempengaruhi terjadi nya heart
failure dapat berupa multifactorial seperti hipertensi , CAD, obesitas, Renal
insuffisiensi. Insufisensi insulin dan hiperglikemik dapat menyebabkan disfungsi
jantung yang dapat terjadi secara langsung mapun tidak langsung , seperti melalui
abnormalitas metabolism jantung, peningkatan fibrosis otot jantung, peningkatan
stress oksidatif , abnormalitas autofag, peningkatan RAAS secara local.

Patofisiologi
Seperti yang sudah kita ketahui bahwa DM memberikan dampak komplikasi pada
mikrovaskular maupun makrovaskular, komplikasi mikrovaskular berupa nefropati,
neuropati dan retinopati, sedangkan makrovaskular berupa aterosklerosis koroner,
serebral dan arteri perifer.

Komplikasi pada penyakit kardio vaskular sangat berpengaruh pada tingkat


morbiditas dan mortalitas pasien DM. Dari berbagai penelitian disebutkan bahwa DM

xl
berhubungan langsung dengan meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas
terutama penyakit jantung koroner (PJK).

Penyebab komplikasi PJK pada pasien DM bersifat multi faktorial,


melibatkan interaksi komplek dari berbagai keadaan seperti hiperglikemia,
hiperlipidemia, stres oksidatif, resistensi insulin / hiperinsulnemia, dan / atau
hiperproinsulinemia serta perubahan-perubahan pada proses koagulasi dan
fibrinolisis.

Patofisiologi terjadinya komplikasi kardiovaskular pada diabetes didasari pada


terjadinya abnormalitas fungsi endothel dan otot polos pembuluh darah, dimana akan
mempermudah terjadinya trombosis yang berperan besar pada proses aterosklerosis
dan komplikasi-komplikasi yang lain.

Diabetes, Hiperglikemia dan Nitrit Oxide (NO)

Pada keadaan normal sel endotel secara aktif mengeluarkan bahan aktif Nitric Oxide
(NO), zat ini secara simultan dihasilkan oleh Endothelial NO synthase (eNOS) dengan
mengoksidasi 5 elektron dari guanidine-nitrogen L-arginine. Ketersediaan NO secara terus
menerus merupakan kunci dari pembuluh darah yang normal. 8

NO bekerja sebagai vasodilator pembuluh darah dan melindungi endothel pembuluh


darah dari kerusakan endogen seperti, aterosklerosis dengan memberikan signal untuk
mencegah interaksi platelet dan leukosit dengan dinding pembuluh darah, juga mencegah
proliferasi dan migrasi otot polos pembuluh darah. Sebaliknya pada keadaan NO yang
berkurang akan meningkatkan aktifitas transkripsi proinflamasi faktor yaitu Nuclear Factor
kappa B (NF-κB), yang menyebabkan terpaparnya melekul adhesi leukosit dan mensekresi
kemokin dan sitokin, keadaan ini akan menimbulkan migrasi dari monosit dan sel otot polos
pembuluh darah ke bagian intima dan membentuk sel busa (foam cells) , yang mendasari
awal perubahan morfologi terjadinya aterosklerosis. Ketersediaan NO Sangat bergantung
pada keseimbangan antara produksi oleh eNOS dan pemecahannya yang disebabkan radikal
bebas. 8,9,10

Konsentarsi glukosa intrasel dari sel endotel dicerminkan oleh glukosa ekstrasel.
Bukti dari banyak penelitian menunjukkan bahwa keadaan hiperglikemia akan menurunkan
NO endotel, yang mengakibatkan penurunan efek vasodilatasi pembuluh darah. 8

Hiperglikemia akan meningkatkan produksi beberapa zat reaktif oksigen (anion


superoxide) yang akan menginaktifkan NO ke bentuk peroxynitrite. Hiperglikemia awalnya
akan meningkatkan produksi anion superoxide melalui transfer oksigen dari mitokondria.

xli
Superoxide anion ini kemudian merangsang endotel membentuk elemen-elemen sel yg
nantinya akan menghasilkan radikal bebas. Sebagai contoh aktifitas anion seperoxide
terhadap Protein C Kinase (PCK), dan sebaliknya juga, aktifitas dari PCK ini juga akan
merangsang pembentukan anion superoxide berikutnya. Aktifitas PKC berakibat pada
regulasi dan aktifasi pada NAD(P)H yang berikutnya menghasilkan anion superoxide, anion
superoxide akan mengaktifkan jalar hexosamine yang akan menurunkan aktifitas NOS dan
akhirnya akan mengganggu keseimbangan NO dan menginaktifkan efeknya. 8,9,10

Peningkatan anion superoxide dari mitokondria juga akan meningkatkan produksi


Advanced Glycation End Products (AGEs) intraseluler. Protein ini akan berefek pada fungsi
seluler dimana AGEs akan meningkatkan produksi radikal bebas. AGEs di bagian lain juga
akan merangsang Receptor AGEs (R-AGEs) , keadaan ini juga akan meningkatkan produksi
anion superoxide. 4,8,10

Hiperglikemia juga merangsang molekul stres oksidatif melalui peningkatan


dimethylarginine yang merupakan zat kompetitif dari NOS. Hipeglikemia juga meningkatkan
produksi “second messenger diacylglycerol “dari lipid yang akan mengaktifasi PCK, aktifasi
jalar ini akan menginhibisi jalur phosphatidylinositol 3 kinase, dengan demikian akan
mengurangi aktifitas Akt kinase dan aktifitas “ phosporilasi” pada NOS, sehingga produksi
NO berkurang. 8,9

Suatu enogenous kompetitor terhadap NO telah diketahui yang nantinya


memperantarai suatu kerusakan fungsi vasodilator endothel yaitu Asimetrical
Dimethilarginin (ADMA). Peningkatan secara langsung disebabkan oleh adanya resistensi
insulin. Akumulasi dari ADMA ini akan membuat kerja NO melemah. 10

II.3.2. Diabetes, Asam Lemak Bebas dan Gangguan Endothel

xlii
Jumlah asam lemak bebas / Free Fatty Acid (FFA) dalam sirkulasi pasien diabetes
meningkat disebabkan pelepasan dari jaringan adiposa dan menurunnya pengambilan dari
otot skeletal. Peninggian dari FFA bebas ini menyebabkan gangguan pada endothel melalui
beberapa mekanisme termasuk peninggian produksi radikal bebas, aktifitas PKC dan
dislipidemia itu sendiri. Hal ini telah dibuktikan dengan memberi FFA melalui infus pada
binatang percobaan yang berakibat menurunnya vasodilatasi pembuluh darah, dan dengan
menginfus kembali dengan anti oxidan membuat vasodilatasi kembali. 8,9,11

FFA akan mengaktifasi sumber enzimatik oxidan intraselular, termasuk Pkc,


NADPH oxidase dan eNOS yang menghasilkan peningkatan dari superoxide yang akhirnya
menurunkan aktifitas dari NOS. 10

Respon dari liver terhadap meningkatnya FFA dengan meningkatkan produksi VLDL
dan ester colesterol dan akhirnya akan meningkatkan trigliserida dan berkurangnya aktifitas
lipoprotein lipase sehingga menimbulkan hipertrigliserida yang khas pada penderita diabetes.
Gangguan dari lipid ini menyebabkan perubahan pada morfologi dari LDL yang sangat
aterogenik (small dense LDL). Hipertrigliserida, rendahnya HDL dan tingginya LDL
berhubungan dengan ganguan fungsí dari endotel. 8,10,11

II.3.3. Diabetes, Endotel dan Vasokontriktor

Pada penderita diabetes disfungsi endotel tidak hanya disebabkan oleh menurunnya
NO saja, tetapi juga disebabkan oleh meningkatnya sintesa zat-zat vasokontriksi prostanoids
dan endotelin. Pada keadaan hiperglikemia ekspresi dan jumlah siklooksigenase-2 mRNA
meningkat dan keadaan ini telah dibuktikan pada beberapa penelitian. 8

Pada keadan produksi endotelin yang berlebihan akan merangsang proses inflamasi
yang menyebabkan vasokontriksi dan proliferasi otot polos pembuluh darah. 10

II.3.4. Diabetes dan Otot polos pembuluh darah

xliii
Disregulasi dari fungsi otot polos pembuluh darah disebabkan kerusakan pada fungsi
syaraf simpatis, meningkatnya aktifitas PKC, produksi NF-κB dan radikal bebas. Lebih lanjut
diabetes juga akan mempertinggi migrasi sel otot polos pembuluh darah ke dalam lesi
atherosklerosis, sel tersebut akan melakukan replikasi dan menghasilkan matriks
ekstraselular dan akhirnya lesi tersebut menjadi matur. Pada lesi aterosklerosis proses
apoptosis juga meningkat. Kolaborasi dari sitokin akan merangsang síntesis kolagen dari otot
polos pembuluh darah dan meningkatkan produksi matriks metaloproteinase dan hal ini akan
meningkatkan tendensi terjadinya ketidakstabilan plak dan ruptur. 6,10

II.3.5. Diabetes, Trombosis dan Koagulasi

Seperti yang telah diketahui bahwa pada penderita diabetes terjadi ganguan fungsi
trombosit, selain itu terjadi peningkatan ekspresi glikoprotein Ib dan IIb/IIIa, meningkatnya
adhesi trombosit dengan vWF dan interaksi trombosit. Hiperglikemia lebih lanjut merubah
fungsi trombosit melalui gangguan pada homeostasis Ca, dan juga pelepasan berbagai
mediator-mediator sehingga agregasi trombosit meningkat. 12

Pada penderita diabetes juga terjadi peningkatan koagulasi ( faktor VII dan trombin ),
tissue faktor, penurunan dari anti koagulan endogen ( trombomodulin), dan juga terjadi
peningkatan produksi Plasminogen Activator Inhibitor-I (PAI-I). yang merupakan inhibitor
fibrinolisis. Keadaan tersebut diatas akan meningkakan resiko terjadinya trombosis dan
rupturnya status plak pada pasien diabetes. 4,10

xliv
Skrining PJK pada Pasien Diabetes Mellitus

Diabetes dan penyakit kardiovaskular sering muncul seperti dua sisi mata uang,
disatu sisi Diabetes Mellitus (DM) muncul bersamaan dengan Penyakit Jantung Koroner
( PJK), dan pada sisi yang lain banyak penderita yang di diagnosa PJK berawal dari diabetes
atau prediabetes. 4

Pada pasien-pasien dengan diabetes yang tidak jelas menderita PJK, para klinisi
harus memutuskan melakukan pemeriksaan test awal terhadap PJK dan harus memikirkan
pemeriksaan apa yang harus dilakukan. Orang-orang dengan diabetes harus dilakukan
evaluasi terhadap adanya riwayat menderita PJK sebelumnya atau pernahkah mengalami
serangan jantung sebelumnya.16

Tidak semua penderita diabetes harus dilakukan test kardiovaskular.


16
Indikasi dilakukan test terhadap kardiovaskular pada penderita diabetes adalah:

1. Mempunyai gejala kardiak yang tipikal dan atipikal


2. ECG istirahat diduga suatu iskhemia atau infark
3. Menderita penyakit oklusi arteri perifer atau karotik
4. Orang-orang dengan sedentary lifestyle, umur > 35 tahun dan mempunyai rencana
melakukan program exercise yang berat
5. Mempunyai 2 atau lebih faktor risiko :
a. Total kolesterol ≥ 240 mg/dl, LDL ≥ 160 mg/dl, atau HDL < 35 mg/dl
b. Tekanan Darah > 140/90 mmHg
c. Perokok
d. Riwayat keluarga menderita PJK usia muda

xlv
e. Mikro/makroalbumin test yang positif

Secara umum pemilihan jenis pemeriksaan yang dilakukan pada penderita diabetes
sama dengan populasi non-diabetes. Jika skrining test dilakukan pada pasien dengan resiko
rendah ( pasien tanpa gejala, dan ECG resting normal ) pemilihan TreadMill exercise test
standar merupakan pilihan pertama. Tetapi pada pasien-pasien diabetes dengan angina yang
khas dan adanya gel Q patologis pada ECG , Ekhokardiografi (stress echo) dan kateterisasi
merupakan pilihan. 4

The European Society of Cardiology (ESC) dan The European Association for the
Study of Diabetes (EASD) telah membuat algoritma untuk membantu kita membuat
pendekatan terhadap hal tersebut, seperti pada gambar 5. 4

Skrining Diabetes pada Pasien Penyakit Jantung Koroner

Diperkirakan bahwa lebih dari 50% dari pasien-pasien diabetes tidak terdiagnosa
dengan baik, karena penyakit diabetes pada awalnya tidak menunjukkan gejala klinis yang
khas dalam beberapa tahun, sehingga tidak terdiagnosa. Deteksi orang–orang yang tidak
terdiagnosa diabetes sangat penting dalam praktek klinik maupun kesehatan masyarakat,
karena prognosis sebagian pasien dapat diperbaiki dengan deteksi dan terapi yang lebih awal.
Bukti tidak langsung menunjukkan bahwa skrining awal terhadap diabetes akan memberikan
keuntungan dalam mencegah komplikasi kardivaskular. Dan skrining juga akan
mengidentifikasi pasien-pasien dengan gangguan toleransi glukosa sehingga dapat dilakukan
intervensi dengan perubahan gaya hidup ataupun obat-obatan yang akan menurunkan atau
mencegah terjadinya diabetes dan juga resiko PJK. 4

Data dari studi-studi epidemiologi menunjukkan bahwa skrening dengan


pemeriksaan gula darah 2 jam PP tidak akan mendapatkan pasien-pasien yang menderita IFG,
lebih dari itu pemeriksaan yang hanya pada kadar Gula darah Puasa (GDP) juga tidak akan
memberikan diagnosis akurat untuk menegakkan diagnosa diabetes. Sedangkan dengan
pemeriksaan dengan OGTT akan memberikan data yang lengkap sesuai kriteria diagnostik.
Oleh sebab itu pemeriksaan OGTT merupakan pilihan utama dalam skrening diabetes pada
PJK. Apalagi pasien-pasien dengan gangguan kardiovaskular, ketika terjadi gangguan
glukometabolik kebanyakan kasus terjadi peningkatan pada glukosa 2 Jam PP saja,
sedangkan GDP normal. Oleh sebab itu pemeriksaan GDP saja tidak berguna. 4

Pemeriksaan terhadap HbA1C sangat berguna dalam menilai metabolik kontrol dan
juga penilaian terhadap terapi. Tetapi HbA1C bukan suatu pemeriksaan yang
direkomendasikan dalam mendiagnosa diabetes. Peninggian dari HbA1C mungkin akan

xlvi
mengidentifikasi orang-orang yang sudah menderita diabetes tanpa gejala ( lihat skema
diatas). 4

III.2. Komplikasi Kardiak

III.2.1. Diabetes dan Sindroma Koroner Akut

Diabetes sering didapatkan pada pasien-pasien dengan Sindroma Koroner Akut


(SKA). Pada penelitian terakhir proporsi diabetes dengan SKA didapatkan sekitar 19-23%.
Pada pasien dengan SKA yang tidak diketahui adanya penyakit diabetes, kemudian
dilakukan pemeriksaan OGTT, didapatkan sekitar 65% dari pasien-pasien tersebut
mengalami gangguan regulasi glukosa, dari 25% pasien yang belum pernah didiagnosa
diabetes dan 40% pada yang sebelumnya sudah mengalami GDPT/IFG. Data dari The Euro
Heart Survey on Diabetes and the Heart yang mengambil data dari 25 negara
memperlihatkan bahwa, pada pasien-pasien yang masuk ke rumah sakit dengan diagnosa
PJK ketika dilakukan OGTT didapatkan sekitar 22% dari mereka menderita diabetes. Dan
didapatkan juga proporsi keseluruhan dari pasien-pasien diabetes dengan SKA sekitar 45%. 4

Laporan dari beberapa penelitian mengindikasikan dilakukan pemeriksaan glukosa


darah acak saat pasien masuk ke rumah sakit dengan diagnosa SKA. Tingginya konsentrasi
glukosa pada pasien diabetes walaupun sebelumnya tidak pernah didiagnosa diabetes
berhubungan kuat dengan outcome yang jelek pada saat dirumah sakit maupun jangka
panjang. 4

xlvii
Studi The Landmark Diabetes Glukosa And Myocardial infarction (DIGAMI)
dimana pada pasien dengan SKA dan hiperglikemi kemudian diintervensi dengan insulin
infus, dalam 24 jam menunjukkkan penurunan yang bermakna dari glukosa pada pasien-
pasien tersebut, dan setelah dipertahankan kadar glukosa selama setahun menunjukkan
penurunan angka kematian sekitar 11 %. Efek yang bermanfaat masih didapatkan setelah 3-4
tahun follow-up dengan menurunkan angka kematian relatif sekitar 30%. Pada DIGAMI II
membuktikan bahwa gula darah yang terkontrol merupakan nilai prediksi yang kuat terhadap
penurunan angka kematian dalam 2 tahun. Pada The Schwabing Myocardial Infarction
Registry, telah dijelaskan tentang pentingnya perhatian terhadap hiperglikemi akut pada
pasien SKA. Intervensi terhadap hiperglikemia harus dilakukan pada pasien diabetes maupun
non diabetes, dan menunjukkan bahwa angka kematian dalam 24 jam maupun total kematian
pada pasien setelah terkontrol glukosanya sama dengan pasien yang non-diabetes. 4

Pasien yang masuk ke rumah sakit dengan SKA dan sebelumnya penderita diabetes
mempunyai angka kematian yang tinggi selama di rumah sakit ( 11.7 %, 6.3 % dan 3.9 %
masing-masing pada PJK STEMI, PJK NSTEMI dan Angina Tak Stabil ). Diabetes juga
berhubungan dengan kematian jangka panjang dimana sekitar 15-34% setelah 1 tahun dan
43% setelah 5 tahun follow-up. 4

Komplikasi utama dari pasien dengan SKA adalah reinfark, disfungsi ventrikel kiri,
gagal jantung, instabilitas elektrik, stroke, dan kematian. Komplikasi ini secara signifikan
lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes. Tingginya angka kematian pada pasien
dengan diabetes tersebut disebabkan oleh kekacauan pada gluko-metabolik. Dimana
peningkatan glukosa pada setiap tingkatan akan merubah subtrat energi metabolisme,
termasuk resistensi insulin, peningkatan asam lemak bebas dan oksidatif stres. Metabolik-
metabolik ini akan makin tinggi pada saat serangan akut infark miokard, ketika nyeri dada,
sesak nafas, dan kecemasan yang disebabkan oleh meningkatnya tonus adrenergik. 4

Pasien-pasien diabetes sering mengalami infark yang luas, menurunnya kemampuan


vasodilatasi, menurunnya aktifitas fibrinolitik, meningkatnya aktifitas agregasi trombosit,
disfungsi saraf autonom dan juga kemungkinan terjadi kardiomiopati. Semua faktor-faktor
diatas harus menjadi pertimbangan dalam mengobati seorang penderita diabetes dan SKA.
Salah satu hal yang sering didapatkan akibat efek dari gangguan saraf autonom pasien
diabetes adalah hilangnya simptom yang spesifik dari suatu SKA. Dilaporkan bahwa
prevalensi dari silent iskemia sekitar 10-20% dibandingkan 1-4% pada non-diabetes. 4

III.2.2. Diabetes dan Revaskularisasi Koroner

Prosedur revaskularisasi diindikasikan pada pasien diabetes mulai dari penyakit


jantung iskemik yang asimptomatik sampai dengan STEMI, SKA dan pencegahan kematian

xlviii
jantung mendadak. Tetapi harus selalu dipertimbangkan dengan cermat bahwa, resiko suatu
tindakan lebih tinggi pada pasien diabetes dibandingkan non-diabetes. Pasien dengan diabetes
sering mendapatkan ateroskerosis yang berat dan sangat besar kemungkinan membutuhkan
suatu revaskularisasi. Pemilihan strategi untuk tindakan harus selalu mempertimbangkan
bahwa resiko terjadinya re-stenosis dan re-oklusi pada graf pasien tersebut sangat besar. 4

Pasien dengan diabetes atau hiperglikemi memiliki respon yang beragam terhadap
terapi infark jantung. Secara umum beberapa bukti menunjukkkan tindakan PCI lebih baik
dari trombolitik pada STEMI. Walaupun trombolitik kurang efektif pada pasien diabetes,
revaskularisasi dan reperfusi dengan PCI juga kurang efektif pada PJK yang diffuse dengan
diameter yang kecil dan juga mempunyai kecendrungan re-stenosis yang tinggi. 4

Angka morbiditas dan mortalitas perioperatif CABG pasien diabetes masih lebih
tinggi dibandingkan dengan non-diabetes walaupun telah diterapi dengan insulin. Pasien
diabetes yang menjalani PCI juga lebih jelek angka survival dibanding non-diabetes, dan
berhubungan dengan restenosis yang masih tinggi. 18

Beberapa patofisiologi yang digambarkan dari atherosklerosis pasien diabetes


sehingga memberi respon yang lebih jelek dibanding non-diabetes adalah adanya
abnormalitas dari metabolik dan hematologi pada DM seperti hiperglikemia, resistensi
insulin, dislipidemia, inflamasi dan trombofilia. Platelet pada penderita diabetes akan
merangsang pembentukan reseptor GPIIb/IIIa, dan akan meningkatkan proses agregasi dan
bersama-sama dengan hiperglikemi merusak endothel dan akhirnya terjadi trombosis
koroner. 4,18

Bentuk anatomi dari atherosklerosis pada pasien diabetes juga berpengaruh terhadap
re-stenosis dan prognosis. Pada autopsi dan studi angiografi didapatkan beberapa ciri orang
lesi atherosklerosis penderita diabetes, yaitu lesi lebih sering mengenai Left Main Artery,
multivessel, diffuse dan mempunyai diameter pembuluh darah yang lebih kecil disekitar
sumbatan. Pembuluh darahnya juga kaya lipid dan semua keadaan ini sangat mungkin untuk
ruptur. 18

Pada penelitian angioskopi pasien diabetes dengan angina stabil didapatkan banyak
pecahan plaqeu dan trombus intra arteri koroner. Arteri penderita diabetes kurang mampu
beradapatasi terhadap suatu sumbatan dan dalam membentuk kolateral pada saat infark. 18,19

Pada penelitian the Bypass Angioplasty Revaskularization Investigation (BARI),


didapatkan angka survival rate 5 thn pada pasien diabetes lebih baik dengan tindakan CABG
dibandingkan PTCA (ballon). Pada penelitian the Arterial Revaskularization Study (ARTS)
juga didapatkan angka 1 tahun free-event survival lebih rendah pada pasien yang diterapi
dengan stent dibanding dangan CABG. Penggunaan dari Gp Iib/IIIa inhibitor pada saat
pemasangan stent menurunkan angka kematian infark miokard dan target revaskularisasi

xlix
dalam 6 bulan. Pada penelitian the Emory Angioplasty vs Surgery (EAST) dan the Coronery
Angioplasty vs Bypass Revaskularization Investigation (CABRI) melaporkan tindakan
CABG memberikan angka survival lebih baik dibanding PCI terutama pada pasien dengan
multivessel disease. Dan penggunaan graft dari arteri mammaria juga lebih baik
dibandingkan dengan graft dari vena saphenous. 4,18,19

Pengenalan drug eluting stent pada pasien diabetes telah memberikan hasil yang
lebih baik dibanding bare-metal stent dalam restenosis post PCI, tetapi angka retenosis masih
tetap tinggi dibandingkan kelompok non-diabetes. 18,19

Penelitian intravaskular ultrasound dan analisa histologi spesimen mendapatkan


bahwa percepatan re-stenosis pada pasien diabetes disebabkan oleh tingginya proliferasi dan
deposit matrik ektraselular di pembuluh darah koroner. Dan pada serial ultasound
intravaskular pada pasien hiperinsulin menunjukkkan peningkatan proliferasi jaringan intima
pembuluih darah post pemasangan stent koroner. 18,19

Gambar 5: indikasi pasien diabetes untuk revaskularisasi. dikutip dari 18

III.2.3. Diabetes Mellitus dan Gagal Jantung

l
Gagal jantung didapatkan sekitar 12% pada pasien diabetes dibandingkan dengan
tanpa diabetes, hal ini menunjukkan hubungan yang kuat antara diabetes dan gagal jantung.
Pada penelitian Farmingham yang diikuti selama 18 thn, melaporkan kejadian gagal jantung
pada diabetes meningkat dua kali pada laki-laki dan lima kali pada wanita dibandingkan
dengan pasien non-diabetes. 4

Prognosis pasien gagal jantung dengan diabetes menurun. Diabetes juga faktor
prognostik kematian yang tinggi pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri. Penelitian pada
populasi umum dari Reykjavik melaporkan, terjadi penurunan angka harapan hidup yang
signifikan pada pasien gagal jantung dan abnormal glukosa, walaupun setelah di adjustment
dengan faktor resiko lain dan PJK. 4

Rekomendasi terapi dari gagal jantung dan diabetes dengan ACE-inhibitor, ARB dan
beta bloker yang merupakan pilihan pertama. Diuretik dan aldosteron bisa mengurangi gejala
dan sebagai obat tambahan pada gagal jantung. 4

III.2.4. Diabetes Mellitus dan Kardiomiopati

Wilson Tang dkk, telah menjelaskan hubungan antara diabetes dengan gagal jantung
yang merupakan efek dari resistensi insulin pada miokard. Pada tahun 1972, pada penelitian
autopsi histopatologi terhadap pasien diabetes dengan ventrikel kiri yang hipertropi,
didapatkan jaringan yang spesifik terhadap diabetik kardiomiopati. 4

Gagal Jantung merupakan sindroma klinis sedangkan kardiomiopati merupakan


perubahan struktur yang abnormal akibat resistensi insulin yang telah dialami jaringan
miokard. Diabetes tidak hanya menyebabkan disfungsi miokard, tetapi juga terjadi gannguan
lain seperti penurunan aliran darah miokard, dan juga gangguan keseimbangan antara
pengambilan glukosa dan aliran darah miokard sehingga mengganggu glukosa masuk ke sel,
pasien diabetes juga mengalami keterbatasan dalam kompensasi hiperkinetik dari jaringan
yang masih sehat/non infark yang disebabkan neuropati dari saraf outonom. Kardiomiopati
secara klinis biasanya muncul dengan gangguan sistolik, diastolik ventrikel kiri dan
gangguan neurohumoral. 4

Disfungsi miokard pada pasien diabetes kemungkinan besar disebabkan adanya


gangguan metabolik pada tingkat sel miokard. Pada keadaan normal jalur utama sumber
energi untuk sel jantung adalah dari oksidasi Asam Lemak Bebas dan sebagian kecil melalui
oksidasi glukosa. Ketika terjadi suatu iskemia miokard dan kenaikan tekanan intra ventrikular
akan terjadi perubahan produksi energi ATP dari FFA ke Glukosa. Produksi energi miokard
dari glukosa ini sangat menurun ( sekitar 10 % ) sehingga terjadi oksidasi FFA yang lebih

li
banyak. Masalahnya adalah pada proses oksidasi FFA diperlukan oksigen lebih banyak
sementara otot miokard kekurangan oksigen. Pada bagian lain penderita diabetes sendiri juga
mengalami peningkatan dari FFA akibat dari peningkatan tonus simpatis, resistensi insulin
dan insufisiensi insulin, hal ini akan menyebabkan penimbunan kronis FFA dan hasil
metaboliknya pada miokard sehingga terjadi disfungsi miokard. 4

Tatalaksana
Sulfonilurea :

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Oleh sebab itu merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal
dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk
menghindari risiko hipoglikemia yang berkepanjangan, pada pasien usia lanjut obat golongan
sulfonilurea dengan waktu kerja panjang sebaiknya dihindari.

Biguanid (Metformin) :

Obat golongan ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati di samping juga
efek memperbaiki ambilan glukosa perifer. Obat golongan ini terutama dianjurkan dipakai
sebagai obat tunggal pada pasien gemuk. Biguanid merupakan kontraindikasi pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya pasien dengan penyakit serebro kardiovaskular). Obat biguanid dapat
memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan
bersamaan atau sesudah makan.

Inhibitor Glukosidase Alfa (Acarbose):

Obat golongan ini mempunyai efek utama menurunkan puncak glikemik sesudah makan,
terutama bermanfaat untuk pasien dengan kadar glukosa darah puasa yang masih normal.
Biasanya dimulai dengan dosis 2 kali 50 mg setelah suapan pertama waktu makan. Jika tidak
didapati keluhan gastrointestinal, dosis dapat dinaikkan menjadi 3 kali 100 mg. Pada pasien
yang menggunakan acarbose jangka panjang perlu pemantauan faal hati dan ginjal secara
serial, terutama pasien yang sudah mengalami gangguan faal hati dan ginjal. 20

lii
Tabel 1. Obat Hipoglikemik Oral. dikutip dari 20

Obat Dosis awal Dosis maksimal Pemberian sehari yg


dianjurkan

Golongan Sulfonilurea  

Glibenklamid 2,5 mg 15-20 mg 1-2 kali

Gliklasid 80 mg 240 mg 1-2 kali

Glikuidon 30 mg 120 mg 2-3 kali

Glipisid 5 mg 20 mg 1-2 kali

Glipisid GITS 5 mg 20 mg 1 kali

Glimepirid 1 mg 6 mg 1 kali

Klorpropamid 50 mg 500 mg 1 kali

Golongan Biguanid  

Metformin 500 mg 2500 mg 1-3 kali

Golongan inhibitor glukosidase alfa

Acarbose 50 mg 300 mg 3 kali

IV.2.2. Insulin

liii
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan). Pada keadaan
khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip. Insulin dapat diberikan
tunggal (satu macam insulin kerja cepat, kerja menengah atau kerja panjang), tetapi dapat
juga diberikan kombinasi insulin kerja cepat dan kerja menengah, sesuai dengan respons
individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.
Untuk menyuntik insulin kombinasi kerja cepat dan menengah atau panjang, diperlukan
teknik khusus untuk mencampur kedua macam insulin tersebut dalam satu semprit. Lokasi
penyuntikan juga harus diperhatikan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.
Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dapat dipakai
lebih dari satu kali (sampai satu minggu) oleh pasien yang sama. Jarum suntik dapat dipakai
sampai dirasakan tidak nyaman lagi.

        Harus diperhatikan benar konsentrasi insulin (U40, U100). Dianjurkan dipakai
konsentrasi yang tetap (U40 atau U100), tidak berganti-ganti, dengan semprit yang sesuai
(semprit U40 untuk insulin U40, semprit U100 untuk insulin U100). 20,21

Tabel 2 : Jenis dan lama kerja insulin.dikutip dari 20

Jenis Awitan kerja (jam) Puncak kerja (jam) Lama kerja (jam)

Insulin kerja pendek 0,5 - 1 2-4 5-8

Insulin kerja menengah 1-2 4 - 12 8 - 24

Insulin kerja panjang 2 6 - 20 18 - 36

Insulin campuran 0,5 - 1 2 - 4 dan 6 -12 8 - 24

Foot diabetic

liv
Ulkus diabetik maupun masalah kaki merupakan sebab utama morbiditas,
mortalitas, serta kecacatan penderita diabetes. Dengan adanya neuropati dan atau
iskemia maka trauma yang minimal saja dapat menyebabkan ulkus pada kulit
dan gangguan penyembuhan lukanya hingga dapat membawa kearah amputasi tungkai
bawah.(3) Kebanyakan penderita datang ke rumah sakit sudah dalam kadaan.
lanjut sehingga amputasi tungkai yang berakibat cacatnya penderita seumur
hidup merupakan salah satu tindakan yang dapat diambil.
Diabetes Mellitus adalah sebagai penyebab utama amputasi ekstremitas
bawah non traumatic di Amerika Serikat ( 1 , 2 ) Amputasi kaki karena diabetes
merupakan 50% total amputasi di Amerika Serikat. Sedangkan data di
RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta angka amputasi masih sangat tinggi,
yaitu sebesar 23 %. Nasib pasien yang sudah mengalami amputasipun
tidaklah menggembirakan. Data dari seluruh rumah sakit di negara bagian
California menunjukkan 13 % diantara mereka yang sudah diamputasi akan
memerlukan tindakan amputasi lagi dalam jangka I tahun. Didapatkan pula
bahwa 30- 5 0 % p a s i e n y a n g t e l a h d i a m p u t a s i a k a n m e m e r l u k a n t i n d a k a n
1,3
amputasi kaki sebelahnya dalam. jangka I – 3 tahun. Sedangkan
dari data di RSUPN Cipto Mangunkusumo nasib penderita kaki
d i a b e t i k y a n g d i a m p u t a s i j u g a t i d a k menggembirakan. Dalam 1 tahun
pasca amputasi 14,8 % meninggal dan meningkat 37 % pada pengamatan 3 tahun

lv
Dia b e te s in c linic a l re a lity – G lo b a l
2000 2030
Ra nking C o untry Pe o p le w ith C o untry Pe o p le w ith
d ia b e te s d ia b e te s (m illio ns)
(m illio ns)

1 Ind ia 31.7 Ind ia 79.4


2 C hina 20.8 C hina 42.3
3 US 17.7 US 30.3
4 Ind o ne sia 8.4 Ind o ne sia 21.3
5 Ja p a n 6.8 Pa kista n 13.9
6 Pa kista n 5.2 Bra zil 11.3
7 Russia 4.6 Ba ng la d e sh 11.1
8 Bra zil 4.6 Ja p a n 8.9
9 Ita ly 4.3 Philip p ine s 7.8
10 Ba ng la d e sh 3.2 Eg yp t 6.7

Wild S et al. Diabetes Care 2004;27:1047-53

PATOGENESIS KAKI DIABETIK

Ada 3 faktor yang dapat dipandang sebagai predisposisi kerusakan jaringan pada
kaki diabetes, yaitu neuropati, PVD, dan infeksi. Jarang sekali infeksi sebagai faktor
tunggal, tapi seringkali merupakan komplikasi iskemia maupun neuropati.

Patogenesis neuropati

Susunan saraf sangat rentan terhadap kompli .kasi diabetes mellitus.(1) Secara
patogenetik, ada 3 faktor utama (metabolik, autonom, vaskuler) yang dapat dianggap
sebagai sebab terjadinya neuropati pada diabetes mellitus. Diabetes mellitus bersama
faktor genetik, dan lingkungan(misalnya alkohol) akan lewat ke-3 faktor tersebut
memberi neuropati klinis. Faktor metabolik : kenaikan poliol, sorbitol / osmotik poliol (hasil
reduksi glukosa oleh enzim yang banyak tertimbun pada sel tubuh penderita DM).

lvi
fruktosa, kurangnya kontrol gula darah, dan penurunan mioinositol dan Na+/K+ATP
meyebabkan demielinasi artrofi akson; otoimum lewat anti gangliosid dan anti
GAD menyebabkan neuropati, gangguan vascular karena menutupnya vasa
vasorum, trauma memberi hipoksia endoneurial yang selanjutnya menyebabkan
demielinisasi segmental. Adapun faktor lain seperti kelainan agregasi trombosit,
kelainan etologi sel darah merah dan hematologic, proses AGEs serta adanya
kompleks imum disirkulasi berpengaruh terhadap neuropati ini. (3,4,8)

Neuropati, kelainan vaskuler (aliran darah vang mengurangi karena terjadinya proses
arteriosklerosis tungkai bawah khususnya betis). Dan kemudian infeksi berperan
dalam patogenesis terjadinya tukak diabetik. Walaupun demikian, yang
peranannya paling mencolok pada banyak studi cross sectional adalah
polineuropati sensorik perifer (pasien kaki diabetik ). Pasien disini tak dapat merasakan
rangsangan nyeri dan dengan demikian kehilangan daya kewaspadaan proteksi kaki
terhadap rangsangan dari luar. Berbagai hal yang sederhana yang pada orang
normal tak menyebabkan, luka akibat adanya daya proteksi nyeri, pada pasien
DM dapat berlanjut menjadi luka yang tidak disadari adanya, dan kemudian
menjadi tukak diabetik. Tusukan jarum atau paku tak disadari. sehingga pasien
baru menyadarinya setelah terjadi luka yang membusuk dan memb a hayakan
kesel amat an ka ki sec ara kesel ur uha n. Ne ur opati motorik berpera n melalui
terj ad inva deformitas pada kaki yang menyebabkan daerah tersebut lebih mudah
dikenali dan lebih banyak mendapat tekanan dari luar. Neuropati autonomik berperan
melalui perubahan pola keringat - kering dan mudahnya timbul pecah-pecah pada kulit kaki,
dan jug melalui adanya perubahan daya vasodilatasi-vasokonstriksi pads tungkai bawah.
Terjadi pintas A - V seperti misalnya pada patogenesis terjadinya kaki Charcot (1,7,8,9,10).

lvii
Gambar 1. Perubahan yang terjadi pada DM 7

Patogenesis Angiopathi

Penderita dengan kencing manis akan mengalami perubahan vaskuler berupa


arteriosklerosis. Patologi tersebut disebabkan oleh karena gangguan metabolisme karbohidrat
dalam pembuluh darah, peningkatan kadar trigliserida dan kolesterol. Hal tersebut akan
diperberat dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol. 6,7

Lesi vaskuler berupa penebalan pada membran basal pembuluh darah kapiler yang
diakibatkan karena disposisi yang berlebihan mukoprotein dan kolagen. Pembuluh darah
arteri yang paling sering terkena adalah arteri tibialis dan poplitea. Adanya trombus, emboli
maupun tromboemboli menyebabkan penyempitan lumen pembuluh darah. Selanjutnya
oklusi dapat menjadi total dan jika perfusi darah dari aliran kolateral tidak mencukupi

lviii
kebutuhan maka terjadi iskemia. Iskemia yang ringan menimbulkan gejala claudicatio
intermitten dan yang paling berat dapat mengakibatkan gangren. 6,7,9,10

Kelainan vaskuler yang berukuran kecil seperti arteriol dan kapiler, menyebabkan
ketidakcukupan oksigen dan nutrisi yang terbatas pada jari atau sebagian kecil kulit.
Kemudian, bagian yang iskemi tersebut mengalami ulserasi, infeksi ataupun gangren.
Sebaliknya, jika pembuluh nadi atau arteri yang mengalami gangguan berukuran lebih besar
maka gangguan oksigenasi jaringan akan lebih luas. Adanya trombus yang menyumbat
lumen arteri akan menimbulkan gangren yang luas bila mengenai pembuluh darah yang
sedang atau besar. 7,8

Faktor lingkungan, terutama adalah trauma akut maupun kronis (akibat tekanan sepatu,
benda tajam dan gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskuler (aterosklerosis)
maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskuler menyebabkan terjadinya iskemia
kaki.sebagainya) merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus. 7,8

lix
Gambar 2. potongan melintang pembuluh darah pada orang penderita DM 8

Patogenesis Infeksi

Pada prinsipnya penderita diabetes melitus lebih rentan terhadap infeksi daripada orang
sehat. Keadaan infeksi sering ditemukan sudah dalam kondisi serius karena gejala klinis yang
tidak begitu dirasakan dan diperhatikan penderita.

Faktor-faktor yang merupakan risiko timbulnya infeksi yaitu: 6,8,11

a. faktor imunologi
- produksi antibodi menurun
- peningkatan produksi steroid dari kelenjar adrenal
- daya fagositosis granulosit menurun
b. faktor metabolik

lx
- hiperglikemia
- benda keton mengakibatkan asam laktat menurun daya bakterisidnya
- glikogen hepar dan kulit menurun
c. faktor angiopati diabetika
d. faktor neuropati

Beberapa bentuk infeksi kaki diabetik antara lain: infeksi pada ulkus telapak kaki,
selulitis atau flegmon non supuratif dorsum pedis dan abses dalam rongga telapak kaki. Pada
ulkus yang mengalami gangren atau ulkus gangrenosa ditemukan infeksi kuman Gram
positif, negatif dan anaerob. 11,12

Pada kaki diabetik yang disertai infeksi, berdasarkan letak serta penyebabnya dibagi
menjadi 3 kelompok yaitu: (Goldberg dan Neu, 1987) 11,12

1. Abses pada deep plantar space


2. Selulitis non supuratif dorsum pedis
3. Ulkus perforasi pada telapak kaki

lxi
Gambar 3. Bentuk2 infeksi pada kaki DM 8

lxii
Gambar 4. HIperglikemi dan akibatnya 8,9

lxiii
DIABETES MELLITUS

Pe nya kit p e m b uluh Ne uro p a ti o to no m Ne uro p a ti p e rife r


d a ra h te p i
 Alira n Ind e ra Ge ra k
 Ke ring a t d a ra h ra b a
Sum b a ta n  Alira n
o ksig e n, nutrisi,
 Re so rp si
a ntib io tik Ke hila ng a n
tula ng Atro p i
Kult ke ring , ra sa sa kit
pe c a h Ke rusa ka n
se nd i Ke hila ng a n
Luka sulit
se m b uh Tra um a b a nta la n
Ke rusa ka n le m a k
ka ki
Tum p ua n b e ra t
ya ng b a ru
Sind ro m ja ri b iru INFEKSI ULKUS
Ga ng re n
Ga ng re n m a yo r
AMPUTASI

DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis ulkus diabetikum ditegakkan berdasarkan :

Anamnesa

Penderita diabetes melitus mempunyai keluhan klasik yaitu poliuri, polidipsi dan polifagi.
Riwayat pemeriksaan yang telah dilakukan sebelumnya ke dokter dan laboratorium
menunjang penegakkan diagnosis. Adanya riwayat keluarga yang sakit seperti ini dapat
ditemukan, dan memang penyakit ini cenderung herediter. 8,13, 14

Anamnesis juga harus dilakukan meliputi aktivitas harian, sepatu yang digunakan,
pembentukan kalus, deformitas kaki, keluhan neuropati, nyeri tungkai saat beraktivitas atau
istirahat , durasi menderita DM, penyakit komorbid, kebiasaan (merokok, alkohol), obat-obat
yang sedang dikonsumsi, riwayat menderita ulkus/amputasi sebelumnya. 8,13,14

lxiv
Riwayat berobat yang tidak teratur mempengaruhi keadaan klinis dan prognosis
seorang pasien, sebab walaupun penanganan telah baik namun terapi diabetesnya tidak
teratur maka akan sia-sia. 8,13

Keluhan nyeri pada kaki dirasakan tidak secara langsung segera setelah trauma.
Gangguan neuropati sensorik mengkaburkan gejala apabila luka atau ulkusnya masih ringan.
Setelah luka bertambah luas dan dalam, rasa nyeri mulai dikeluhkan oleh penderita dan
menyebabkan datang berobat ke dokter atau rumah sakit. 8,13

Banyak dari seluruh penderita diabetes melitus dengan komplikasi ulkus atau bentuk
infeksi lainnya, memeriksakan diri sudah dalam keadaan lanjut, sehingga penatalaksanaannya
lebih rumit dan prognosisnya lebih buruk ( contohnya amputasi atau sepsis ). 8,13

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, seorang dokter akan menemukan ulkus ialah defek pada kulit
sebagian atau seluruh lapisannya ( superfisial atau profunda ) yang bersifat kronik, terinfeksi
dan dapat ditemukan nanah, jaringan nekrotik atau benda asing. Ulkus yang dangkal
mempunyai dasar luka dermis atau lemak / jaringan subkutis saja. Ulkus yang profunda
kedalamannya sampai otot bahkan tulang.Ulkus sering disertai hiperemi di sekitarnya yang
menunjukkan proses radang. 13,14

Abses adalah kumpulan pus atau nanah dalam rongga yang sebelumnya tidak ada.
Pada pemeriksaan fisik tampak kulit bengkak, teraba kistik dan fluktuatif. Abses yang
letaknya sangat dalam secara fisik sulit untuk didiagnosis, kecuali nanah telah mencari jalan
keluar dari sumbernya. 13,14,15

Flegmon atau selulitis mempunyai ciri klinis berupa udem kemerahan, non pitting
edema, teraba lebih hangat dari kulit sekitar, tak ada fluktuasi dan nyeri tekan. Hal ini
menandakan proses infeksi / radang telah mencapai jaringan lunak atau soft tissue. 13,15

lxv
Gangren merupakan jaringan yang mati karena tidak adanya perfusi darah. Klinis
tampak warna hitam, bisa disertai cairan kecoklatan, bau busuk dan teraba dingin. Jika
terdapat krepitasi di bawah kulit maka disebut dengan gas gangren. 12, 13, 15

Melakukan penilaian ulkus kaki merupakan hal yang sangat penting karena berkaitan
dengan keputusan dalam terapi. Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mendapatkan deskripsi
karakter ulkus, menentukan ada tidaknya infeksi, menentukan hal yang melatarbelakangi
terjadinya ulkus (neuropati, obstruksi vaskuler perifer, trauma atau deformitas), klasifikasi
ulkus dan melakukan pemeriksaan neuromuskular untuk menentukan ada/ tidaknya
deformitas, adanya pulsasi arteri tungkai dan pedis. 13

Deskripsi ulkus DM paling tidak harus meliputi; ukuran, kedalaman, bau, bentuk dan lokasi.
Penilaian ini digunakan untuk menilai kemajuan terapi. Pada ulkus yang dilatarbelakangi
neuropati ulkus biasanya bersifat kering, fisura, kulit hangat, kalus, warna kulit normal dan
lokasi biasanya di plantar tepatnya sekitar kaput metatarsal I-III, lesi sering berupa punch out.
Sedangkan lesi akibat iskemia bersifat sianotik, gangren, kulit dingin dan lokasi tersering
adalah di jari. Bentuk ulkus perlu digambarkan seperti; tepi, dasar, ada/tidak pus, eksudat,
edema atau kalus. Kedalaman ulkus perlu dinilai dengan bantuan probe steril. Probe dapat
membantu untuk menentukan adanya sinus, mengetahui ulkus melibatkan tendon, tulang atau
sendi. Berdasarkan penelitian Reiber, lokasi ulkus tersering adalah di permukaan jari dorsal
dan plantar (52%), daerah plantar (metatarsal dan tumit: 37%) dan daerah dorsum pedis
(11%). 16,17

Sedangkan untuk menentukan faktor neuropati sebagai penyebab terjadinya ulkus


dapat digunakan pemeriksaan refleks sendi kaki, pemeriksaan sensoris, pemeriksaan dengan
garpu tala, atau dengan uji monofilamen. Uji monofilamen merupakan pemeriksaan yang
sangat sederhana dan cukup sensitif untuk mendiagnosis pasien yang memiliki risiko terkena
ulkus karena telah mengalami gangguan neuropati sensoris perifer. Hasil tes dikatakan tidak
normal apabila pasien tidak dapat merasakan sentuhan nilon monofilamen. Bagian yang
dilakukan pemeriksaan monofilamen adalah di sisi plantar (area metatarsal, tumit dan dan di
antara metatarsal dan tumit) dan sisi dorsal. 15,16

lxvi
Gangguan saraf otonom menimbulkan tanda klinis keringnya kulit pada sela-sela jari
dan cruris. Selain itu terdapat fisura dan kulit pecah-pecah, sehingga mudah terluka dan
kemudian mengalami infeksi. 15,16

Pemeriksaan pulsasi merupakan hal terpenting dalam pemeriksaan vaskuler pada


penderita penyakit oklusi arteri pada ekstremitas bagian bawah. Pulsasi arteri femoralis,
arteri poplitea, dorsalis pedis, tibialis posterior harus dinilai dan kekuatannya di kategorikan
sebagai aneurisma, normal, lemah atau hilang. Pada umumnya jika pulsasi arteri tibialis
posterior dan dorsalis pedis teraba normal, perfusi pada level ini menggambarkan patensi
aksial normal. Penderita dengan claudicatio intermitten mempunyai gangguan arteri
femoralis superfisialis, dan karena itu meskipun teraba pulsasi pada lipat paha namun tidak
didapatkan pulsasi pada arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior. Penderita diabetik lebih
sering didapatkan menderita gangguan infra popliteal dan karena itu meskipun teraba pulsasi
pada arteri femoral dan poplitea tapi tidak didapatkan pulsasi distalnya. 15,16,17

Ankle brachial index (ABI) merupakan pemeriksaan non-invasif untuk mengetahui


adanya obstruksi di vaskuler perifer bawah. Pemeriksaan ABI sangat murah, mudah
dilakukan dan mempunyai sensitivitas yang cukup baik sebagai marker adanya insufisiensi
arterial. Pemeriksaan ABI dilakukan seperti kita mengukur tekanan darah menggunakan
manset tekanan darah, kemudian adanya tekanan yang berasal dari arteri akan dideteksi oleh
probe Doppler (pengganti stetoskop). Dalam keadaan normal tekanan sistolik di tungkai
bawah (ankle) sama atau sedikit lebih tinggi dibandingkan tekanan darah sistolik lengan atas
(brachial). Pada keadaan di mana terjadi stenosis arteri di tungkai bawah maka akan terjadi
penurunan tekanan. ABI dihitung berdasarkan rasio tekanan sistolik ankle dibagi tekanan
sistolik brachial. Dalam kondisi normal, harga normal dari ABI adalah >0,9, ABI 0,71–0,90
terjadi iskemia ringan, ABI 0,41–0,70 telah terjadi obstruksi vaskuler sedang, ABI 0,00–0,40
telah terjadi obstruksi vaskuler berat.13,14

Pasien diabetes melitus dan hemodialisis yang mempunyai lesi pada arteri kaki
bagian bawah, (karena kalsifikasi pembuluh darah), maka ABI menunjukkan lebih dari 1,2
sehingga angka ABI tersebut tidak menjadi petunjuk diagnosis. Pasien dengan ABI kurang
dari 0,5 dianjurkan operasi (misalnya amputasi) karena prognosis buruk. Jika ABI >0,6 dapat
diharapkan adanya manfaat dari terapi obat dan latihan. 11,12

lxvii
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosis secara


pasti adalah dengan melakukan pemeriksaan lengkap yakni pemeriksaan CBC (Complete
Blood Count), pemeriksaan gula darah, fungsi ginjal, fungsi hepar, elektrolit. 11,13

Untuk menentukan patensi vaskuler dapat digunakan beberapa pemeriksaan non


invasif seperti; (ankle brachial index/ ABI) yang sudah dijelaskan pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan lainnya ialah transcutaneous oxygen tension (TcP02), USG color Doppler atau
menggunakan pemeriksaan invasif seperti; digital subtraction angiography (DSA), magnetic
resonance angiography (MRA) atau computed tomography angoigraphy (CTA). 11,17,15

Apabila diagnosis adanya penyakit obstruksi vaskuler perifer masih diragukan, atau
apabila direncanakan akan dilakukan tindakan revaskularisasi maka pemeriksaan digital
subtraction angiography, CTA atau MRA perlu dikerjakan. Gold standard untuk diagnosis
dan evaluasi obstruksi vaskuler perifer adalah DSA. Pemeriksaan DSA perlu dilakukan bila
intervensi endovascular menjadi pilihan terapi. 11, 12,13

Pemeriksaan foto polos radiologis pada pedis juga penting untuk mengetahui ada
tidaknya komplikasi osteomielitis. Pada foto tampak gambaran destruksi tulang dan
osteolitik. 11,12

GAMBARAN KLINIS KAKI DIABETIK

Gambaran klinis dibedakan: 5,8,13,18

1. Neuropathic Foot yang terdiri dari: Ulkus neuropatik, Artropati neuropatik


(Artropati Charcot ), Edema neuropatik
2. Neuro-ischemic-foot

lxviii
Ulkus Neuropatik.

Neuropati perifer diabetik dapat memberikan small fibre neuropathy yang


berakibat gangguan somatik dan otonom. Manifestasinya berupa hilangnya sensasi panas
dan nyeri sebelum rabaan dan fibrasi terganggu. Juga saraf simpatik mengalami
denervasi yang mengganggu aliran darah disebabkan karena terjadi aliran yang berlebih
dengan arteriovenous shunting disekitar kapiler-serta dilatasi arteri perifer. Aliran
darah yang miskin makanan ini mengurangi efektivitas dari perfusi jaringan
yang memang sudah berkurang. Disamping ini neuropati merusak serabut C saraf
sensorik sehingga terjadi gangguan nosiseptor. Jadi ulkus pada kaki diabetik ini
akibat iskemia, sering terlihat adanya gambaran gas. Penyebabnya dapat karena
Clostridium , E coli, Streptococus anaerob, dan Bacteroides sp. Untuk melakukan
identifikasi kasus yang rentan ulkus, kini digunakan alat sederhana untuk screening, yaitu
TCD (Tactile Circumferential Discriminator) pada hallux yang korelasinya dengan
menggunakan filament dan ambang fibrasi yang cukup tinggi. Dalam menilai ulkus perlu
dipastikan dalam serta luasnya ulkus. Sering kita terkecoh karena kita anggap enteng, padahal
lesi ini merupakan puncak dari gunung es.(3,17,18)

Klinis terlihat melebar pada kaki dan tungkai bawah pada sikap berbaring.
Kaki ada aliran lebih cepat dan vaskularitas lebih. Apabila ada ulkus maka perlu
diperhatikan kuman penyebab infeksinya. Kirim sample untuk biakan bakteri.
Goldstein (1996) Meneliti 25 orang yang secara berurutan masuk dirawat dengan
ulkus. la menemukan phylococcus se ba gai isola t ter penting, term asuk M RSA
pada 20 % kas us. Streptococcus enterococcus, Enterobactericcae, dan kuman
anaerob terlihat pada 40% luka. Lebih dari 80% peka terhadap Ciprofloxasin dan
Levofloxasin.(3,12,18)

lxix
Ga
mbar 4. Ulkus Neuropati 8

Artropati Neuropatik

Deformitas kaki sering berakibat pada ulcerasi. Penderita diabetes cenderung


mempunyai jari bengkok yang menekan jari tersebut, yang berhubungan dengan menipis
dan menggesernya timbunan lemak bawah caput metatarsal pertama. Akibatnya daerah
ini rawan ulserasi dan infeksi. Bentuk yang ekstrim dari deformitas kaki ini, yaitu kaki
Charcot. Sebab terjadinya fraktur dan reabsorbsi tulang pada kaki Charcot ini belum
jelas, tetapi diduga akibat neuropati otonom (akibat gagalnya tonus vaskular akan
nieningkatkan aliran darah, pembentukan shunt arteriovenosa dan resorbsi tulang padahal
penderita diabetes densitas tulang rendah) dan neuropati perifer (hilang rasa, sehingga

lxx
pasien masih aktif berjalan dan sebagainya meskipun tulang fraktur). Akibatnya ada
fraktur, kolaps sendi, dan deformitas kaki. Awalnya kaki Charcot ini akut: panas, merah,
dengan nadi yang keras, dengan atau tanpa trauma (perlu di DD dengan selulitis). Pada
stadium 4 mudah sekali terjadi ulkus dan infeksi dan gangren yang dapat berakibat
amputasi.(3,7,8)

Gambar 5. Lokasi-lokasi tempat terjadinya ulkus DM Neuropatik 7,8

Gambar 6. Kaki Charcot 7,8

Edema Neuropatik.

lxxi
Merupakan komplikasi terjarang dari kaki diabetik, dimana terdapat edema
(pitting) kaki dan tungkai bawah yang berhubungan dengan kerusakan saraf tepi
(kesampingkan dulu sebab kardial dan renal). Gangguan saraf simpatis berakibat edema
3,5,6
dan venous pooling yang abnormal, juga vasomotor refleks hilang pada sikap berdiri.

Gambar 7. Neuropati Diabetik 8

Neuro ischeimic foot

Gambaran tungkai ini gabungan antara kelainan arterosklerosis yang dipercepat


pada diabetes dan neuropathic foot. Keluhan klaudikasio intermitten, nyeri tungkai
waktu istirahat, dengan ulserasi dan gangren. Umumnya rest pain diwaktu malam, dan
berkurang pada sikap kaki yang tergantung. Untuk membedakan dengan ulkus
neuropatik, disini ulkusnya nyeri, satu nekrosis, dilingkari pinggiran eritemateus dan

lxxii
tidak disertai callus. Predileksi di ibu jari, tepi medial metatarsal I, atau tepi lateral
metatarsal V, serta tumit. Perlu diperiksa pembuluh darah arteri, kalau perlu
dengan arteriografi.(3,5,6)

Gejala dan tanda PVD tungkai bawah menurut Levin dan O'Neal 1988 :

Tabel I . Gejala dan tanda PVD tungkai bawah menurut Levin dan O'Neal 1988 3,5,17,18

Gejala Tanda

Claudicatio Intermitent Pucat dengan tanda kaki diangkat

Nyeri pada malam hari Terlambatnya pengisian pembuluh vena

Ada chest pain Warna kemerahan dengan tergantung

Dengan digantung nyeri kaki berkurang Artrofi kulit, mengkilap, rambut tak rontok

Kuku sering tebal dengan infeksi primer

Gangren

Berdasarkan dalamnya luka, derajat infeksi dan derajat gangren , maka


dibuat klasifikasi derajat lesi pada kaki diabetik menurut Wagner ( Cit. Levin dan O'Neal
1983).

Tabel 2. Klasifikasi Wagner untuk kaki diabetik.(1, 5)

Derajat 0 Tidak ada lesi terbuka, kulit utuh dan mungkin disertai kelainan bentuk
kaki

lxxiii
Derajat I Ulkus superficial dan terbatas di kulit

Derajat II Ulkus dalam mengenai tendo sampai kulit dan tulang

Derajat III Abses yang dalam dengan atau tanpa ostemoielitis

Dearjat IV Gangren jari kaki atau kaki bagian distal dengan atau tanpa selulitis

Derajat V Gangren seluruh kaki dan sebagian tungkai bawah

lxxiv
lxxv
lxxvi
Sedangkan bila dilihat dan gejala klinis gangguan vascular pada kaki diabetic,
maka seperti gangguan vascular kronik lainnya mengikuti stadium dari Fontaine yaitu
sebagai berikut :

1,3,5,17
Tabel 3. Stadium dari Fontaine

Stadium Gejala dan Tanda Klinis

I Gejala tidak spesifik seperti kesemutan , rasa berat

II Claudicatio intermitten yaitu sakit bila berjalan, hilang bila istirahat

IIa Bila keluhan sakit pada jarak jalan >200 m

IIb Bila keluhan sakit pada jarak jalan <200 m

lxxvii
III Rest pain : sakit meskipun waktu istirahat (malam hari)

IV Ulkus / gangrene

Adapun perbedaan gambaran klinis antara iskemia dan neuropati pada kaki
diabetes ;

Tabel 4. Perbedaan klinis iskemia dan neuropati pada kaki diabetic (1,310)

Iskemia Neuropati

Gejala Klaudikasio Biasanya tidak nyeri

Nyeri saat istirahat Kadang nyeri neuropati

Inspeksi Tergantung rubor Lenngkung tinggi

Perubahan Tropik Kuku-kuku jari kaki

Tak ada perubahan tropic

Palpasi Dingin Hangat

Tak teraba nadi Nadi teraba

Ulserasi Nyeri Tak nyeri

Tumit dan jari kaki Plantar

lxxviii
EVALUASI DAN PERAWATAN KAKI PADA PENDERITA DIABETES MELITUS

Klinisi harus melakukan pemeriksaan kaki yang pada seorang diabetes harus
cara integrative setiap kunjungan secara periodik. Disini klinisi seharusnya langsung
dilakukan pemeriksaan yang simple sebagai screening terhadap kelainan kaki diabetik,
masuk disini disamping anamnesis, juga inspeksi, palpasi, pemeriksaan neurologik
ringan pinprisick, sentuhan ringan, refleks tendo lutut maupun archiles, persepsi vibras, indeks
tekanan ankle-brachial. Sebaiknya hal ini ditanggapi secara tim. Pada prinsipnya pencegahan
akan lebih balk dari pada pengobatan. Kaki diabetik terimasuk kausa mayor dari
perawatan dirumah sakit diantara pasien – pasien diabetes. Sering Chiropodist harus
dilibatkan juga. Dalam hal sudah terjadi deformitas kaki, ahli orthopedi dan ahli
rehabilitasi medik perlu dimasukkan dalam tim tersebut. (2, 3, 10, 11, 12)

Petunjuk Perawatan Kaki pada Penderita Diabetes Mellitus

Hendaknya penderita Diabetes Mellitus 1,3,8,12

1. Menjaga gula darah supaya dalam batas – batas target yang dikehendaki
2. Membasuh kaki setiap hari dengan sabun mild dan air hangat (jangan air panas). Setelah
itu keringkan secara benar, terutama sela jari, gunakan handuk yang halus.
3. Memeriksa kaki setiap hari, dan menyadari bahwa kaki mereka butuh perhatian khusus.
4. Minta pertolongan dalam masalah kaki apapun.
5. Control pada Chiropodist teratur.
6. Pakailah sepatu yang memadai.
7. Menjaga supaya aliran darah tetap lancar.
Hal-hal yang harus dihindari oleh penderita diabetes mellitus : (3,12,13,14,15,16)
1. Menggunakan obat corn (katimumul)
2. Menggunakan botol air panas.
3. Berjalan tanpa alas kaki .

lxxix
4. Memotong Callus atau Katimumul.
5. Mengobati sendiri kakinya.
6. Duduk dengan kedua kaki disilangkan
7. Merendam kaki
8. Memoles lotion atau krim diantara sela jari kaki.
Periksakan segera ke dokter apabila terlihat : (3,12,13,14,15,16)
1. Kaki bengkak
2. Ada perubahan warna kuku, ibu jari, atau bagian dari kaki
3. Nyeri dan cekot-cekot pada kaki
4. Ada kulit yang pecah mengeras atau corns
5. Ada kulit yang pecah, luka atau melepuh
6. Bintik-bintik merah di bawah corn atau callus.
Dalarn hal-hal tertentu penderita membutuhkan saran penggunaan sepatu yang
memadai. Yang dimaksudkan adalah, apabila ia berjalan dalam waktu yang lama, maka
diharapkan menggunakan sepatu yang rata dan tanpa hak tinggi (low heeled) dan
cukup ruang untuk jari-jari (lace up shoes). Jangan menggunakan sandal jepit
rumah. Juga pasien diharapkan untuk tidak menggunakan slip-on, kecuali dalam
peristiwa yang amat istimewa. Gunakanlah emollient (pelumas Wit) pads kaki
kering terutama disekitar tumit untuk mencegah kulit pecah, retak, dan mudah infeksi. (2,3,7)

IDENTIFIKASI FAKTOR RISIKO.

Identifikasi risiko adalah hal yang penting dalam managemen pencegahan


secara efektif pada kaki pasien diabetes. Adapun risiko untuk terjadinya ulcus
meliputi penderita de nga n dia bet es > 10 ta hun, laki – la ki, kontr ol gul a dara h
yang buruk, a danya kom p likasi kardiovaskuler, retina, dan ginjal. hal-hal
yang berhubungan dengan penin gkatan risiko antara lain neuropati perifer
dengan hilangnya sensasi protektif, pe rubahan biomekanik, kejadian yang
meningkatkan tekanan pads kaki, penyakit vaskuler perifer (penurunan pulsasi
arteri pada pedis), riwayat pernah dapat ulkus atau amputasi, kelainan kuku yang berat.

lxxx
PENGELOLAAN KAKI DIABETIK

Usaha penyelamatan kaki secara umum terdiri atas :

1. Memperbaiki kelainan vascular yang ada.


2. Memperbaiki sirkulasi
3. Penggunaan kaki yang teratur
4. Pengelolaan terhadap tukak/ulkus
5. Sepatu khusus
6. Kerja sama tim yang baik
7. Penyuluhan pasien(1)

Prinsip dasar yang baik pengelolaan terhadap tukak diabetic adalah : 1,3,5,7,9,12,15

1. Evaluasi tukak yang baik : keadaan klinis luka, dalamnya luka, gambaran radiologi
(benda asing, osteomielitis, adanya gas sub kutis), lokasi, biopsy vaskularisasi (non
invasive).
2. Pengelolaan terhadap neuropati diabetik
3. Pengendalian keadaan metabolic sebaik-baiknya
4. Debridement luka yang adekuat, radikal
5. Biakan kuman (aerobic dan anaerobic)
6. Antibiotic oral-parental
7. Perawatan luka yang baik
8. Mengurangi edema
9. Non weight bearing (tirah baring, tongkat penyangga, kursi roda, alas kaki khusus, total
kontak casting)
10. Perbaikan sirkulasi, atau bedah vascular
11. Nutrisi
12. Rehabilitasi

lxxxi
B. Pengobatan kausal

B.1. Aldose reduktase inhibitor (ARI).

Pemberian ARI bertujuan untuk mengurangi penumpukkan sorbitol di


saraf perifei dan dengan demikian memperbaiki fungsi saraf perifer.(

B.1.1. Sorbinil

Dilaporkan pemberian sorbinil dengan dosis 25 mg/hari dapat menurunkan


sorbitol saraf sampai 42% meningkatkan regenerasi serabut saraf sekitar 4 kali
serta dapat memperbaiki fungsi saraf baik elektrofsiologis maupun klinis. Akan
tetapi pemberian sorbinil telah dihentikan karena adanya laporan bahwa pemberian
sorbinil dapat menimbulkan sindrom Steven Johnson.

B.1.2 Tolsetrat

Suatu penelitian “double blind randomized controlled” pada 57 penderita


selama 12 bulan memperlihatkan bahwa pemberian tolsetrat 200 mg / hari
(10)
bermanfaat untuk mencegah ND.

B. 2. Aminoguanidin

Aminoguanidin adalah suatu senyawa yang secara farmakologik dapat menghambat


pembentukan AGEs. Mekanisme penghambatannya melalui reaksi antara prekursot AGEs
yaitu 3 deoxyglucosone dengan aminoauanidine membentuk 3-amino 5-triazines.

Pada percobaan binatang, pemberian aminoguanidine dapat memperbaiki kecepatan hantaran


saraf motoris maupun sensoris. Satu hal yang belum diketahui apakah senvawa int
dapat memberikan efek yang sama pada manusia.(6,9)

B.3. Gangliosid

Gangliosid adalah suatu kompleks glikolipid yang merupakan komponen


intrinsik dari membran sel saraf.(6) Pada suatu percobaan klinis manusia yang

lxxxii
dilakukan secara doble blind versus placebo, nampak terdapat perbaikan dari parameter
elektrofisiologis dan perbaikan gejala klinis. Suatu multicenter randomized WHO trial di
empat negara juga menunjukkan pengaruh yang positif dari ganglioside. Dosis yang
dianjurkan adalah 40 mg / hari intra muskuler selama 8 minggu.

B.4 Neurotropik

Pemberian neurotropik (vitamin B1. B6 dan B12) untuk mengobati atau


mengurangi gejala ND memberikan hasil yang berbeda-beda. Hal ini mungkin oleh
karena tidak ada bukti yang nyata bahwa defisiensi vitamin B1, B6, B12 merupakan
faktor penyebab terjadinya ND.(9,11) Bahkan seorang sarjana melaporkan bahwa
pemberian Vitamin B6 dosis tinggi dapat menyebabkan neuropati sensori.

Penelitian di RSUPN Cipto Mangunkusumo memperlihatkan bahwa pemberian


metilcobalamin 500 mg diberikan intra muskuler tiga kali seminggu dapat memperbaiki
parameter klinis neuropati sensorik pada peuderita DM dengan neuropati. (12)

B. 5 Pengobatan simptomatik

Pada pengobatan ND biasanya yang kita obati adalah keluhannya terutama


rasa nyeri atau rasa sakit yang sangat menganggu penderita Belum ada terapi yang
spesifik untuk mengatasi maslah ini.(6)

Penggunaan obat amitriptilin dan flupenasin baik tunggal maupun kombinasi sudah
lama dicoba untuk mengurangi rasa nyeri pada ND. Pemberian obat ini akan lebih
baik hasilnva apabila nyeri disertai gejala depresi. Amitriptilin dapat diberikan dengan
dosis 75 mg / hari dan flupenasin 1 - 3 mg / hari.

Mexiletin merupakan derivat lianokain yang dapat diberikan secara peroral.


mexiletin mempunyai sifat penghambatan saluran natrium sehingga terjadi hambatan
aktivasi saraf Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg / kg BB / hari, sebaiknya dimulai
dengan dosis kecil kemudian dinaikkan pelan - pelan untuk mengurangi efek samping yang
mungkin timbul.

lxxxiii
Untuk rasa nyeri yang membandel dapat dicoba pemberian karbamazepin
atau fenitoin. Obat ini diduga dapat menghambat aktivitas saraf tepi yang kuat dan
iritatif.

3. Kontrol metabolik

Istilah PVD mengacu pada penyempitan arteri besar oleh aterosklerosis.. Hal
ini sangat umum terjadi pada penderita DM. Terjadinya aterooklerosis adalah akibat
defek metabolik dan defek fisik. Faktor resiko terjadinya aterosklerosis antara lain
adalah hiperglikemia. hiperinsulinemia, dislipidemia, hipertensi, obesitas,
hiperkoagulabilitas, genetik, merokok. Semua faktor resiko yang dapat diobati
seharusnya segera dikontrol dengan sebaik – baiknnva untuk menghambat proses
(4,14)
terjadinva atheroklerosis lebih lanjut.

lxxxiv
Intervention

Defect of insulin secretion

Insulin
Insulin Insulin secretagogue
Metformin

Hepatic glucose Carbohydrate


production 
HYPERGLYCEMIA
absorption

Alpha-glucosidase
Thiazolidinedione inhibitor
Metformin
Insulin
Glucose uptake
by muscle and adipose
tissue 

Gambar 8. Algoritma Intervensi Hiperglikemi Pada DM Tipe II

3.1 Insulin

3.1.a. Indikasi insulin:

1. Pada penderita DM tipe 1


2. Penderita DM tipe 2 yang tidak terkontrol diet, olah raga, OHO.
3. Penderita DM gestasional
4. Penderita Gangguan faal hati & ginjal yang berat.
5. Penderita dengan infeksi akut (selulitis, gangren), TBC berat, penyakit kritis
(stroke/AMI)

lxxxv
6. Penderita dengan KAD/HONK
7. Penderita kurus (BB rendah), terkait malnutrisi (DMTM)
8. Penderita dengan penyakit Grave’s
9. Penderita dengan keganasan (tumor)
10. Penderita dengan pemberian kortikosteroid

Klasifikasi Insulin
Kelas Mulai efek Puncak Lama
Aksi pendek
Reguler insulin
Actrapid 15-
15-30 mnt 2-4jam 6-8jam
Humulin R
Campuran (premixed)
60 mnt 1-8jam 14-
14-15
Humulin 30/70
Mixtard 30/70 jam
Aksi sedang
NPH
Humulin N 2-4jam 1-8jam 14-
14-15
Monotard jam
Insulatard
Aksi panjang
Tanpa Puncak 24 jam
Lantus

3.1.b. Dosis Insulin

 Pertama kali diberikan dengan dosis yang kecil, biasanya dimulai insulin aksi pendek
3X2n/hari (n=angka ratusan KGD)

lxxxvi
 Dinaikkan 2-4 unit setiap sekitar 3 hari bila KGD target belum tercapai
 Dosis Insulin jangka menengah 75-80% jumlah insulin jangka pendek perhari, dapat
diberikan 2 dosis pagi dan malam (dosis malam<pagi ànocturnal cicardian)
*Pada penurunan fungsi ekskresi hati dan ginjal  dosis dikurangi karena dapat
menyebabkan akumulasi jumlah insulin.

3.1.c. Tempat Penyuntikan Insulin

Ideal untuk insulin aksi pendek atau campuran pagi hari:

- Perut dibawah pusar

Ideal untuk insulin aksi menengah, aksi panjang atau campuran malam hari:

- Lengan atas bagian luar

- Glutea

- Paha atas bagian luar

* Sebaiknya berpindah tempat untuk mencegah insulin lipodistrofi atau jaringan sikatrik yang
luas. Regio satu berpindah ke regio lain sekitar 2 minggu

3.1d. Efek Samping

Efek samping dari pemakaian insulin:

 Hipoglikemia
 Hipokalemia
 Reaksi alergi/urtikaria (jarang pada insulin dengan kemurnian tinggi & Human insulin)

lxxxvii
3.2 Hipoglikemia

Adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah < 50mg/dL disertai gejala
neuroglikopenik atau autonomic. Hal ini merupakan komplikasi akut dari DM yang harus
segera ditangani karena dapat mengakibatkan kematian.

Hal ini dapat terjadi pada

- Pemakaian OHO (t.u.aksi jangka panjang)


- Insulin
- Pemakaian bersama obat yang dapat memperkuat aksi OHO atau Insulin,
- olah raga berlebihan, puasa atau tidak mau makan,
- penurunan fungsi hati & ginjal,
- insulinoma.

Tanda/gejala hipoglikemi:

Spesifik:

 Gemetar
 Kerngat dingin
 Berdebar-debar
 Penglihatan kabur, kunang-kunang atau bahkan terasa terang sekali
 Rasa lapar
Tidak spesifik:

 Sakit kepala
 Kelemahan umum
 Gangguan koordinasi
 Sulit konsentrasi
 Bila berat  penurunan kesadaran sampai koma.

Tatalaksana Hipoglikemi

lxxxviii
 Pada kasus yang ringan pasien disuruh minum air gula atau makan (siap permen di
saku) edukasi pasien penting sekali
 Pada kasus berat diberikan 25 cc D40% pada pasien sadar dan 50 cc D40% pada pasien
tak sadar dilanjutkan infus D10% dengan monitor KGD tiap 20 menit sampai KGD
target tercapai  monitor KGD tiap 3jam sampai 3xlama aksi obat
 Dapat diberikan glukagon atau kortikosteroid (hormon kontra insulin)
 Pada insulinoma  reseksi pankreas

4.Debridement dan Pembalutan

Pada dasarnya, terapi ulkus diabetikum sama dengan terapi pada luka lain, yaitu
mempersiapkan bed luka yang baik untuk menunjang tumbuhnya jaringan granulasi,
sehingga proses penyembuhan luka dapat terjadi. Kita mengenalnya dengan istilah preparasi
bed luka. 5,7,9

Debridement merupakan tahapan yang penting dalam proses penyembuhan luka.


Buang jaringan mati, jaringan hyperkeratosis dan membuat drainase yang baik, dan jika
diperlukan dilakukan secara berulang. Perlu disadari bahwa setelah tindakan ini, luka menjadi
lebih besar dan berdarah. Harus diketahui bahwa tidak ada obat-obatan topikal yang dapat
menggantikan debridement yang baik dengan teknik yang benar dan proses penyembuhan
luka selalu dimulai dari jaringan yang bersih.

Pada beberapa kondisi tidak memerlukan tindakan debridement seperti pada gangren
yang kering, ulkus yang menyembuh dengan scar dan ulkus pada tungkai dengan sirkulasi
yang buruk.

Proses debridement adalah proses usaha menghilangkan jaringan nekrotik atau


jaringan nonvital dan jaringan yang sangat terkontaminasi dari bed luka dengan
mempertahankan secara maksimal struktur anatomi yang penting seperti saraf, pembuluh
darah, tendo dan tulang. Tujuan dasar dari debridement adalah mengurangi kontaminasi pada
luka untuk mengontrol dan mencegah infeksi. Ada beberapa jenis debridement, yaitu:
Autolytic debridement; Enzymayic debridement; Mechanical debridement; biological
debridement; surgical debridement.

lxxxix
Kontrol bakteri adalah satu hal penting yang harus diperhatikan. Hasil eksperimen
menunjukkan jumlah antara 105- 106 organisme/gram di bed luka akan mengganggu
penyembuhan luka.

Mengelola eksudat merupakan hal yang penting dalam pengelolaan luka. Cara
terbaik untuk melihat bed luka yang tidak sembuh pada luka kronik adalah dengan menilai
eksudat. Pengelolaan eksudat dapat dilakukan secara direct maupun indirect. Direct
dilakukan dengan balut tekan disertai highly absorbent dressing atau vacuum mechanical.
Bisa juga dilakukan pencucian dan irigasi menggunakan NaCl 0,9% atau air steril. Indirect,
prosedur ini ditujukan untuk mengurangi penyebab yang mendasari koloni bakteri yang
ekstrim.(6,7)

Sebelum tindakan bedah (debridement), kondisi yang harus diperhatikan adalah


keadaan umum yang meliputi serum protein > 6,2 g/dl, serum albumin >3,5 g/dl, total
limfosit >1500 sel/mm3. Pemeriksaan kultur diperlukan terutama pada ulkus yang dalam dan
diambil dari jaringan yang dalam.Diperlukan debridement yang optimal sampai nampak
jaringan yang sehat. dengan cara membuang semua jaringan nekrotik. Debridement yang
tidak optimal akan menghambat penyembuhan ulkus (4,15)

Pada penanganan infeksi, debridement merupakan langkah awal yang sangat


bermanfaat untuk mengurangi lama pemberian antibiotik dan mengurangi angka amputasi.
Kultur sebaiknya dilakukan setelah atau sewaktu dilakukan debridement. Kultur yang didapat
dari hapusan luka luar, sudah dibuktikan memiliki korelasi yang buruk dengan kuman
pathogen sebenarnya.

Merendam luka tidak memberikan keuntungan walaupun secara. tradisionil


masih sering dilakukan, bahkan dapat merugikan karena terjadinya maserasi dan
infeksi sekunder. Selain itu karena kulit penderita tidak sensitif sering terjadi luka
bakar akibat penderita bermaksud merendam lukanya dengan air hangat, ternyata
yang digunakan adalah air panas Penggunaan obat bakterisidal topikal seperti
povidone iodine asam asetat, kalium permanganas hidrogen peroksida dan
natrium hipokhlorit perlu dipertimbangkan keuntungannya. Walaupun bahan-bahan
tersebut dapat membunuh bakteri yang ada di permukaan kulit tetapi bahan tersebut

xc
juga bersifat sitotoksik terhadap jaringan granulasi sehingga menghambat penyembuhan
luka (4,15). Kita juga harus hati-hati dalam penggunaan antibiotik topikal, dan biasanya
hanya digunakan untuk ulkus yang dangkal dengan waktu penggunaan tidak boleh lebih dari
2 minggu.

Pembalutan

Banyak teknik dan macam jenis pembalutan yang digunakan saat ini, tapi yang
terpenting pembalutan ideal mempunyai karakteristik sebagai berikut : 5,6,8,9,10

- Menjaga dan melindungi kelembaban jaringan.


- Merangsang penyembuhan luka.
- Melindungi dari suhu luar.
- Melindungi dari trauma mekanis.
- Tidak memerlukan penggantian sering.
- Aman digunakan, tidak toksik, tidak mensensitisasi dan hipoalergik.
- Bebas dari zat yang mengotori.
- Tidak melekat diluka.
- Mudah dibuka tanpa rasa nyeri dan merusak luka.
- Mempunyai daya serap terhadap eksudat.
- Mudah untuk melakukan monitor luka.
- Memudahkan pertukaran udara.
- Tidak tembus mikroorganisme.
- Nyaman untuk pasien.
- Mudah penggunaannya.
- Biaya terjangkau.
Perawatan luka dalam suasana lembab akan membantu penyembuhan luka dengan
memberikan suasana yang dibutuhkan untuk pertahanan lokal oleh makrofag, akselerasi
angiogenesis, dan mempercepat proses penyembuhan luka. Suasana lembab membuat
suasana optimal untuk akselerasi penyembuhan dan memacu pertumbuhan jaringan.
Kemampuan hidrokoloid secara signifikan lebih baik dari kasa NaCl 0,9%, dressing time

xci
rata-rata dan Aplikasi Tekanan Negatif (VAC – Vaccum Assisted Closure) Pada Luka
Sulit Sembuh

Ciri-siri luka sulit sembuh adalah luka yang luas yang memerlukan teknik
berketerampilan tinggi untuk menutupnya,chrush injury, luka dengan gangguan vaskuler,
luka dengan penyerta yang kompleks, dan membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh.
Ulkus diabetikum termasuk dalam kategori luka yang sulit sembuh. Penutupan luka dengan
bantuan aplikasi tekanan negatif (VAC) telah berkembang untuk mempercepat penyembuhan
luka sulit sembuh. Mekanisme kerja aplikasi tekanan negatif (VAC) tersebut melalui gaya
mekanis untuk

(1) menyerap eksudat dan menghilangkan udem

(2) mempercepat pembentukan pembuluh darah baru (proses angiogenesis)

(3) mengurangi kolonisasi bakteri

(4) meningkatkan proliferasi seluler sehingga keseluruhan mempercepat


pembentukan jaringan granulasi untuk member fasilitas penutupan luka definitif. Dari hasil
penelitian Ford et al, menunjukkan bahwa aplikasi tekanan negatif (VAC) memberikan hasil
yang jauh lebih baik dibandingkan terapi pada ulkus dengan 3 FDA Gel - Accuzyme,
Iodosorb, dan panafil.(7,8,9)

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan platelet-derived growth

factors (PDGFs) dapat mempercepat penyembuhan lesi dan telah resisten terhadap

pengobatan yang komperhensif Platelet derived wound healing formula (PDWHF)

berasal dari sel alfa platelet dan mengandung faktor pertumbuhan (growth factors)

sebagai berikut :

a. Platelet factors 4 (PF4), yang merangsang netrofil dan monosit, bersifat chermoattractive
dan membantu membersihakan debris dan bakteri.
b. Platelet-derived growth factors (PDGF), adalah suatu unitrogen dan chermoattractive
meningkatkan sintesis matriks, menguatkan matriks, merangsang monosit dan
monoblast untuk mengontrol infeksi

xcii
c. Platelet derived angiogenesis factor (PDAF) adalah suatu chermoattractive merangsang
pertumbuhan sel endoteliel dan jaringan granulasi oleh karena itu meningkatkan suplai
vaskuler
d. Platelet-derived epidermal growth factor (PDEGF) adalah suatu nitrogen yang
merangsang sel epidermal, menghasilkan epidermal kulit
Dalam suatu penelitian randomized double-blind penggunaan factors pertumbuhan
secara tunggal (factor pertumbuhan fibroblast) kurang berhasil dalam mempercepat
kesembuhan lesi, hal tersebut menunjukkan bahwa untuk mempercepat peyembuhan suatu
lesi diperlukan beberapa factor pertumbuhan (multiple growth factor). (14,18)

Pada penderita KD sering dijumpai edema kaki, hal ini dapat meningkatkan insufisiensi
vaskuler oleh karena penekanan kapiler (4). Edema tersebut dapat dikurangi dengan cara
menaruh satu bantal di bawah tungkai penderita. Jangan menaruh elevasi terlalu tinggi karena
hal tersebut juga akan mengganggu sirkulasi (4,15)

lama rata-rata perawatan ulkus relatif lebih sedikit.

Neuropati Diabetic
Neuropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi kronis yang paling sering
ditemukan pada diabetes melitus. Resiko yang dihadapi pasien DM dengan ND ialah
infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi jari/kaki. Kondisi
inilah yang menyebabkan bertambahnya angka kesakitan dan kematian.
Neuropati diabetik merupakan suatu gangguan yang mengenai saraf, yang disebabkan
oleh diabetes mellitus. Bila menderita diabetes lama, maka dapat terjadi kerusakan
pada saraf diseluruh badan. Ada pada beberapa orang yang mengalami kerusakan
saraf tidak menunjukkan gejala. Ada juga yang merasakan nyeri, kesemutan atau baal
pada tangan, kaki, telapak tangan dan kaki. Juga bisa terjadi gangguan pada sistem
organ, termasuk traktus digestivus, jantung dan organ seks. Nyeri neuropatik dapat
terjadi karena disfungsi neuronal sistem somatosensorik dari saraf perife

xciii
Prevalensi ND dalam berbagai literatur sangat bervariasi. Penelitian di Amerika
Serikat memperlihatkan bahwa 10-20% pasien saat ditegakkan DM telah mengalami
neuropati. Prevalensi neuropati diabetika ini akan meningkat sejalan dengan lamanya
penyakit dan tingginya hiperglikemia. Diperkirakan setelah menderita diabetes
setelah 25
tahun, prevalensi neuropati diabetika akan mencapai 50%

Patogenesis
Proses kejadian ND berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang berakibat
terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis advance glycosilation end
products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC).
Aktivasi berbagai jalur tersebut berujung pada kurang nya vasodilatasi, sehingga
aliran darah ke saraf berkurang dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel
terjadilah ND. Berbagai penelitian membuktikan bahwa kejadian ND berhubungan
sangat kuat dengan lama dan beratnya DM.1

Faktor metabolik
Proses terjadinya ND berawal dari hiperglikemia yang berkepanjangan.
Hiperglikemia persisten menyebabkan aktivitas jalur poliol meningkat, yaitu terjadi
aktivasi enzim aldose-reduktase, yang merubah glukosa menjadi sorbitol, yang
kemudian dimetabolisasi oleh sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi
sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf merusak sel saraf melalui mekanisme yang
belum jelas. Salah satu kemungkinannya ialah akibat akumulasi sorbitol dalam sel
saraf menyebabkan keadaan hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan edem
saraf. Peningkatan sintesis sorbitol berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke
dalam sel saraf. Penurunan mioinositol dan akumulasi sorbitol secara langsung
menimbulkan stress osmotik yang akan merusak mitokondria dan akan menstimulasi
protein kinase C (PKC). Aktivasi PKC ini akan menekan fungsi Na-K-ATP-ase,
sehingga kadar Na intraseluler menjadi berlebihan, yang berakibat terhambatnya

xciv
mioinositol masuk ke dalam sel saraf sehingga terjadi gangguan transduksi sinyal
pada saraf. Reaksi jalur poliol ini juga menyebabkan turunnya persediaan NADPH
saraf yang merupakan kofaktor penting dalam metabolisme oksidatif. Karena
NADPH merupakan kofaktor penting untuk glutathione dan nitric oxide synthase
(NOS), pengurangan kofaktor tersebut membatasi kemampuan saraf untuk
mengurangi radikal bebas dan penurunan
produksi nitric oxide (NO).
Disamping meningkatkan aktivitas jalur poliol, hiperglikemia berkepanjangan akan
menyebabkan terbentuknya advance glycosilation end products (AGEs). AGEs ini
sangat toksik dan merusak semua protein tubuh, termasuk sel saraf. Dengan
terbentuknya AGEs dan sorbitol, maka sintesis dan fungsi NO menurun. Yang
berakibat vasodilatasi berkurang, aliran
darah ke saraf menurun, dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel saraf,
terjadilah ND.
Kerusakan aksonal metabolic awal masih dapat kembali pulih dengan kendali
glikemik yang optimal. Tetapi bila kerusakan metabolic ini berlanjut menjadi
kerusakan iskemik, maka kerusakan struktural akson tersebut tidak dapat diperbaiki
lagi

xcv
Kelainan Vaskular
Penelitian membuktikan bahwa hiperglikemia juga mempunyai hubungan
dengan kerusakan mikrovaskular. Hiperglikemia persisten merangsang
produksi radikal bebas oksidatif yang disebut reactive oxygen species (ROS).
Radikal bebas ini membuat kerusakan endotel vaskular dan menetralisasi NO,
yang berefek menghalangi vasodilatasi mikrovaskular. Mekanisme kelainan
mikrovaskular tersebut dapat melalui penebalan membrana basalis,
thrombosis pada arteriol intraneural, peningkatan agregasi trombosit dan
berkurangnya deformabilitas eritrosit, berkurangnya aliran darah saraf dan
peningkatan resistensi vascular, stasis aksonal, pembengkakan dan
demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut. Kejadian neuropati yang didasari

xcvi
oleh kelainan vascular masih bisa dicegah dengan modifikasi faktor risiko
kardiovaskular, yaitu kadar trigliserida yang tinggi, indeks massa
tubuh, merokok dan hipertensi.

Mekanisme imun
Suatu penelitian menunjukkan bahwa 22% dari 120 penyandang DM tipe 1
memiliki complement fixing antisciatic nerve antibodies dan 25% DM tipe 2
memperlihatkan hasil yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa antibodi
tersebut berperan pada pathogenesis ND. Bukti lain yang menyokong peran
antibodi dalam mekanisme patogenik ND adalah adanya antineural antibodies
pada serum sebagian penyandang DM. Autoantibody yang beredar ini
secara langsung dapat merusak struktur saraf motorik dan sensorik yang bisa
di deteksi dengan imunofloresens indirek. Disamping itu adanya penumpukan
antibody dan komplemen pada berbagai komponen saraf suralis
memperlihatkan kemungkinan peran proses imun pada pathogenesis ND.

Peran Nerve Growth Factor (NGF)


NGF diperlukan untuk mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan
saraf. Pada penyandang diabetes, kadar NGF serum cenderung turun dan
berhubungan dengan derajat neuropati. NGF juga berperan dalam regulasi gen
substance P dan calcitonin-gen-regulated peptide (CGRP). Peptida ini
mempunyai efek terhadap vasodilatasi, motilitas intestinal dan nosiseptif,
yang kesemuanya itu mengalami gangguan pada ND.

Diagnosis
Dugaan adanya neuropati diabetikum sering hanya berdasarkan hasil
anamnesis

xcvii
tentang gejala dan tanda klinis. Namun sebenarnya perlu pemeriksaan lebih
lanjut, terutama pada masing-masing jenis neuropati diabetikum, baik
neuropati diabetikum sensorik, motorik, atau otonom.
Polineuropati sensori-motor simetris distal atau distal symmetrical
sensorymotor
polyneuropathy (DPN) merupakan jenis kelainan ND yang paling sering
terjadi. DPN ditandai dengan berkurangnya fungsi sensorik secara progresif
dan fungsi motorik (lebih jarang) yang berlangsung pada bagian distal yang
berkembang kearah proksimal.
Diagnosis
neuropati perifer diabetik dalam praktek sehari-hari, sangat bergantung pada
ketelitian pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik .
Pada evaluasi tahunan, perlu dilakukan pengkajian terhadap :
1. Refleks motorik
2. Fungsi serabut saraf besar dengan tes kuantifikasi sensasi kulit seperti tes
rasa getar
(biotesiometer) dan rasa tekan (estesiometer dengan filament mono Semmes
Weinstein)
3. Fungsi serabut saraf kecil dengan tes sensasi suhu
4. Untuk mengetahui dengan lebih awal adanya gangguan hantar saraf dapat
dikerjakan elektromiografi

Terapi Medikamentosa
Sejauh ini, selain kendali glikemik yang ketat, belum ada bukti kuat suatu
terapi dapat memperbaiki atau mencegah neuropati diabetik. Namun
demikian, untuk mencegah timbulnya komplikasi kronik DM termasuk
neuropati, saat ini sedang diteliti penggunaan
obat-obat yang berperan pada proses timbulnya komplikasi kronik diabetes,
yaitu :

xcviii
1 Golongan aldose reductase inhibitor (alrestatin,sorbisinil, tolrestat,
epolrestat)
yang berfungsi menghambat penimbunan sorbitol dan fruktosa. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Hotta et al, menyimpulkan bahwa terapi
dengan fiderestat akan memperbaiki konduksi saraf dan memperbaiki progresi
gejala-gejala subjektif Neuropati diabetikum. Tolrestat maupun elporestat dan
alrestatin yang dicobakan untuk terapi neuropati diabetikum hasilnya masih
mengecewakan.
2. Neurotropin (nerve growth factor, brain-derived neurotrophic factor) yang
dicobakan pada terapi neuropati diabetikum, hasilnya masih belum jelas.
3. Alpha lipoic acid, suatu antioksidan kuat yang dapat membersihkan radikal
hidroksil, superoksida dan peroksil serta membentuk kembali glutation. Asam
lipoic ini berfungsi untuk memperbaiki ambilan glukosa (glucose re-uptake)
dan sensitivitas insulin , sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah dan
kadar energy mitokondria. Zie glar menyimpulkan bahwa asam lipoic akan
memperbaiki gejala dan tanda Neuropati diabetikum dalam waktu singkat (3
minggu)pada penelitian multicenter placebo-controlled double blind. Namun
hasil penelitian lain, mutisenter butaganda melibatkan lenih 500 pasien dalam
menghilangkan nyeri neuropatik diabetikum tidak bermakna.
3. Penghambat protein kinase C
4. Gangliosides, merupakan komponen utama membrane sel
5. Gamma linoleic acid (GLA), suatu prekusor membrane fosfolipid
6. Aminoguanidin, berfungsi menghambat pembentukan AGEs
7. Human intravenous immunoglobulin, memperbaiki gangguan neurologik
maupun non neurologik akibat penyakit autoimun. Immunoglobulin intravena
ini pada neuropati radikulo pleksus lumbosakral dapat mengurangi gejala
neuropati motorik, nyeri dan neurropati diabetikum otonom. Sedangkan untuk
mengatasi berbagai keluhan nyeri, sangat dianjurkan untuk memahami
mekanisme yang mendasari keluhan tersebut, antara lain aktivasi reseptor N

xcix
methyl-D-aspartate (NMDA) yang berlokasi di membrane post sinaptik spinal
cord dan pengeluaran substance P dari serabut saraf besar A yang berfungsi
sebagai neuromodulator nyeri.
Manifestasi nyeri dapat berupa rasa terbakar, hiperalgesia, alodinia, nyeri
menjalar, dll. Pemahaman terhadap mekanisme nyeri penting agar dapat
member terapi yang lebih rasional, meskipun terapi nyeri neuropati diabetik
pada dasarnya bersifat simtomatis

Terami simtomatis ini bertujuan untuk menghilangkan nyeri dan perawatan


kaki. Jadi sebenarnyya berguna untuk menurunkan angka morbiditas dan
mencegah komplikasi.
Guidelines untuk farmakoterapai ialah
1. Dimulai dengan obat tunggal
2. Dimulai dengan dosis terkecil
3. Dosis ditingkatkan bertahap tiap 3-7 hari sampai nyeri hilang atau terjadi
intoleransi
4. Politerapi dimulai bila pengurangan gejala hanya sebagian kecil pada dosis
maksimal
5. Tidak ada hubungan antara suatu obat dengan dosis, tidak ada target dosis.
6. Lama (durasi) terapi bervariasi. Apabila nyeri hilang total dengan
pengobatan, oerlu
penurunan terapi setiap 6 bulan. Pasien perlu lanjut terapi atau tidak.
Pedoman pengelolaan ND dengan nyeri yang dianjurkan ialah :
1. NSAID (ibuprofen 600 mg 4x/hari, sulindac 200mg 2x/hari)
Dapat membantu mengurangi peradangan yang disebabkan oleh neuropati
diabetika
dan juga mengurangi rasa sakit.

c
 Interaksi: kombinasi dengan aspirin meningkatkan resiko efek samping
atau
dengan probenecid dapat meningkatkan konsentrasi dan kemungkinan
toksisitas NSAID.
 Kontra Indikasi : hipersensitivitas, perdarahan GI Tract, terutama penyakit
ulkus peptikum, penyakit ginjal, penyakit jantung
 Efek samping : perhatian pada pasien yang berpotensi mengalami
dehidrasi,
efek jangka panjang dapat meningkatkan nekrosis papiler ginjal, nefritis
interstitial, proteinuria, terkadang bisa terjadi sindrom nefrotik.
2. Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50-150 mg malam hari, imipramin
100mg/hari,
nortriptilin 50-150 mg malam hari, paroxetine 40 mg/ hari)
TCA umumnya merupakan pengobatan yang paling banyak digunakan pada
diabetes neuropati sensorimotor. Efek analgesic TCA muncuk tergantung
pada penghambatan re-uptake norepinefrin dan serotonin. Efek antikolinergik
yang dapat timbul adalah mulut kering (xerostomia), sembelit, pusing,
penglihatan kabur, dan retensi urin. Selain itu TCA juga dapat menimbulkan
sedasi dan hipotensi ortostatik.
 Amitriptilin : bila berinteraksi dengan Phenobarbital akan menurunkan
efek
amitriptilin, kombinasi dengan simetidin dapat meningkatkan dosis
amitriptilin. Kontra indikasi bila ada hipersensitivitas, riwayat kejang, aritmia
jantung, glaucoma, retensi urin.
 Imipramin : mekanisme kerja obat ini dengan menghambat re-uptake
norepinefrin pada sinapsis di pusat jalur menurun modulasi nyeri terletak di
batang otak dan sumsum tulang belakang. Kontra indikasi bila ada
hipersensitivitas, penggunaan bersama MAOIs, dan bila selama periode
pemulihan akut infark miokard

ci
Antikonvulsan (gabapentin 900mg 3x/hari, karbamazepin 200mg 4x/hari)
Farmakologi obat ini memblokir saluran dan menghambat komponen
neuronik
spesifik.
 Karbamazepin
Digunakan dalam neuropati perifer sebagai baris ketiga agen jika semua agen
lain gagal untuk mengurangi gejala neuropati diabetika. Merupakan
antikonvulsan generasi pertama. Kombinasi dengan fenobarbital, fenitoin,
atau primidone dapat menurunkan dosis. Kontra indikasi bila ada
hipersensitivitas dan riwayat gangguan depresi sumsum tulang.
 Gabapentin
Gabapentin (GBP), mekanisme anti analgesic dan antikonvuosan tidak
diketahui. Mempunyai struktur mirip GABA. Tetapi tidak berinteraksi dengan
reseptor GABA. Dosis efektif untuk nyeri neuropati diabetikum adalah 100
mg 3 dd1, efek samping tidak nyata, tidak dimetabolisme, sehingga tidak
berinteraksi dengan obat lain. Efek samping yang sering terjadi pada dosis
tinggi adalah mengantuk, pusing, mual, atau gangguan lambung. GBP adalah
drug of choice untuk nyeri neuropati diabetikum

cii
BAB III
KESIMPULAN

Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh


kadar Glukosa darah yang melebihi nilai normal pada keadaan puasa lebih atau sama
dengan 126 mg % atau gula darah sewaktu lebih atau sama dengan 200 mg % atau
pada TTGO lebih atau sama dengan 200 mg % .Dalam manajemen DM ada 5 pilar
penting yaitu : edukasi masyarakat tentang DM, aktivitas fisik, pengaturan nutrisi,
terapi farmakologi dan monitor. Dengan kelima hal tersebut diharapkan penyakit DM
dapat dikendalikan.

ciii
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. A. Aziz Rani , dkk. tahun 2008 . Buku Panduan Pelayanan Medik . PB PAPDI : Jakarta .
2. Abbott C A, Vileikyte L, Williamson S, Charrington A L, Boulton A J M, Multicenter
Study of the Incidence of and Predictive Risk Factors for Diabetic available at
http://clinicalevidence.com/ ceweb/conditions/dia/0602/0602_I5.jsp
3. Adams and Victors. Principles of Neurology. United States of America : Palatino;
2009.p.1277-9,1319
4. American Diabetes Association: Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus.
Diabetes Care. 2005; 28(S1):S37-S42
5. Beckman JA, Creager MA, Libby P: Diabetes and atherosclerosis: Epidemiology,
Pathophysiology, and Management. JAMA.2002; 287:2570–2581.
6. Beckman JA. Libby P. Creager MA. Diabetes Mellitus, The Metabolic Syndrome, and
Atherosclerotic Vaskular Disease. In: Braunwald’s Heart Disease. 7th ed. Elsevier
Saunders. 2005; 1035-1043
7. Bloomgarden ZT. The epidemiology of complication. Diabetes Care. 2002; 25: 924-
933.
8. Buse JB, Ginsberg HN, Bakris GL, et al. Primery prevention of cardiovaskular disease
in people with diabetes mellitus: A scientific statement from the American Heart
Association and the American Diabetes Association. Circulation. 2007; 115: 114-126
9. Creager MA, Luscher TF, Cosentino F, Beckman JA. Diabetes and vaskular disease
pathophysiology, clinical consequences, and medical therapy : Part I. Circulation.
2003; 108: 1527-1532.
10. Darmono, Status Glikemi dan Komplikasi Vaskuler Diabetes Mellitus dalam Naskah
lengkap Kongres Nasional V Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia) dan Pertemuan

civ
Ilmiah Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni), Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 2002 ; 57 – 68.
11. De Vriese AS, Verbeuren TJ, Van de Voorde J, et al. Endothelial dysfunction in
diabetes. Br J Pharmacol. 2000;130:963-974.
12. Djokomoeljanto R, Tinjauan Umum Tentang Kaki Diabetes dalam Makalah Kaki
Diabetik Patogenesis dan Penatalaksanaan. Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 1997; A1-10.
13. FKUI Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, edisi ketiga, 1996.
14. Flaherty JD, Davidson CJ. Diabetes and coronary revaskularization. JAMA
2005;293(12):1501-8
15. Gerich JE. Clinical Significance, Pathogenesis, and Management of Postprandial
Hyperglicemia. Arch
16. Granner, Daryl K. MD. Harper’s Biochemistry, ed 22, 1996.
17. Greenland P. Critical questions about the metabolic syndrome.
Circulation.2005;112:3675-3676
18. Grundy SM, Cleeman JI, Daniels SR, Donato KA, Eckel RH, et all. Diagnosis and
management of metabolic syndrome: An American Heart Association / National
Heart, Lung, and Blood Institute Scientific Statement. 2005;112:285-290
19. Grundy SM. Metabolic Syndrome: A Multiplex Cardiovaskular Risk Factor.
JCEM.2007;92(2):399-404
20. Heyder F, Tindakan Pembedahan Pada Kaki Diabetik dalam Makalah Kaki Diabetik
Patogenesis dan Penatalaksanaan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 1997;D1-11.
21. Hirlan, Theo soehardjono, Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, cetak ulang, UI, Jakarta, 1996.
22. Internet ADAM, MD Consul.
23. Isselbacher, Harrison, Prinsip Ilmu Penyakit Dalam,vol 4, EGC,Jakarta, 2000.
24. Krauss RM. Lipid and lipoproteins in patients with type 2 diabetes. Diabetes Care.
2004; 27: 1496-1505.

cv
25. Kumar, Clarck, Diabetes Mellitus and Other Disorders of Metabolism in Kumar and
Clarck Clinical, Medicine fifth Edition, WB Saunders, U K, 2002; 1099 -1100
26. Lorraine M. Wilson, Patofisiologi, buku I, edisi 4, EGC, Jakarta, 1995.
27. Luscher TF, Creager MA, Beckman JA, Cosentino F. Diabetes And Vaskular Disease
Pathophysiology, Clinical Consequences, And Medical Therapy : Part II. Circulation.
2003; 108: 1655-1661.
28. Masharani U, Karam J H, Diabetes Mellitus and Jhipoglicemia in Lange Medical Book
2002 , Current Medical Diagnosis and Treatment 41st Edition, Me Graw Hill, 2002,
1233 – 1235
29. Media Aesculapius, Kapita Selecta, jilid I, edisi ketiga, FK UI, Jakarta, 1999.
30. Naskah Lengkap Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus di Indonesia. PB PERKENI
1998
31. Nathan DM, Davidson MB, DeFronzo RA, et al. Impaired Fasting Glucose and
Impaired Glucose Tolerance. Diabetes Care. 2007; 30: 753-759.
32. Neuropati Diabetik. Diunduh dari
http://www.scribd.com/doc/76941741/NEUROPATI-DIABETIK, 18 Mei 2018
33. Pemayun T G D, Gambaran Makro dan Mikroangiopati Diabetik di Poliklinik
Endokrin, dalam Naskah lengkap Kongres Nasional V Persatuan Diabetes Indonesia
(Persadia) dan Pertemuan Ilmiah Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni),
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2002 ; 87 – 97.
34. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Konsensus Nasional 1 Diagnostik dan
Penatalaksanaan Nyeri Neuropatik. Surabaya : Pusat Penerbitan dan Percetakan
Unair; 2011.h.33-6
35. Powers A C, Diabetes Mellitus in Horrison”s Principles of Internal Medicine. 15 th
Edition [monograph in CD Room] , Mc Graw Hill ; 2001.
36. Preventive Foot Care in People with Diabetes in American Diabetes Association.
Clinical Practice Recommendation 2002. Diabetes Care, Volume 25, Suplemen 1,
January 2003; page 78 - 79.

cvi
37. Richard K. Consensus Development Confrence on The Diagnosis of Coronary Heart
Disease in People With Diabetes. Diabetes care 1998; 21(9)
38. Robertson C, Drexler AT. Update on Diabetes Diagnosis and Management. JADA;
134: 16(S)-23
39. Ryden L, Standt E, Barnik M, Betteridge J, et al. Guidelines On Diabetes, Pre
Diabetes, And Cardiovaskular Disease: The task force on Diabetes and
Cardiovaskular Disease of the European Society of Cardiology (ESC) and of The
European Association for The Study Of Diabetes (EASD) . European Heart Journal.
2007; 28: 88-136.
40. Scope Management of type 2 diabetes : Prevention and Management of Foot
Problems. Diabetes Care, Volume 25, June 2002;S 1085 - 1094. available at
http://www.nice.org.uk/ nicemedia/pdf/footcare_scope.pdf
41. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta : Dian Rakyat;
2010.h.121-2
42. Singleton JR, Smith AG, Russell JW, Feldman EL. Microvaskular ComplicationoOf
Impaired Glucose Tolerance. Diabetes. 2003; 52: 2867-2873.
43. Smith SC, Faxon D, Cascio W, Schaff H, Gardner T, et all. Revaskularization in
Diabetic Patients. Circulation 2002;105:165-169
44. Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, Patofisiologi, Buku-2, EGC, 1999.
45. Tuomilehto J, Lindstrom J, Qiao Q. Strategies for the Prevention of type 2 Diabetes
and Cardiovaskular Disease. European Heart Journal 2005; 7 (Supp D) :D18-D22
46. Vaughan D. Oftalmologiumum: Retina dan Tumor Intraocular. Edisi 14. Jakarta :
WidyaMedika; 2000. p. 13-4, 211-17.
47. Vinik AI, Erbas T, Park TS, et al. Platelet Dysfunction in type 2 diabetes. Diabetes
Care. 2001;24:1476-1485.
48. WHO. Prevention of Blindness from Diabetes Mellitus. Switzerland : WHO Library
Publication Data; 2005. p 8-14.
49. Wibowo S, Gofir A. Farmakoterapi dalam Neurologi. Jakarta : Penerbit Salemba
Medika; 2001.h.145-7

cvii
50. Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H: Global Prevalence of Diabetes: Estimates
for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care.2004; 27:1047–1053.

cviii

Anda mungkin juga menyukai