Disusun oleh :
RAFA” ASSIDIQ
NPM 1102014218
Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Kedokteran
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
TAHUN 2017
BAB I
PENDAHULUAN
Diperkirakan di seluruh dunia, pada tahun 2013, 1 dari 5 anak atau sekitar
21,8 juta anak tidak mendapakan imunisasi yang bisa menyelamatkan nyawa
mereka. Di Indonesia, Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) mencapai 86,8%, dan perlu
ditingkatkan hingga mencapai target 93% di tahun 2019. Universal Child
Immunization (UCI) desa yang kini mencapai 82,9% perlu ditingkatkan hingga
mencapai 92% di tahun 2019. (Depkes, 2015)
Pada tahun 2015 terdapat tiga provinsi yang memiliki capaian tertinggi
yaitu DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah sebesar 100%. Sedangkan
Provinsi Papua Barat memiliki capaian terendah (54,66%), diikuti oleh Riau
ssebesar 57,67%, dan Aceh sebesar 67.56%. (Profil Kesehatan Indonesia, 2015:
133)
Persentase desa atau kelurahan yang mencapai “Universal Child
Immunization” (UCI) di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2015 mencapai 100%.
Angka tersebut mencapai target Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang
ditetapkan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta maupun Kementerian
Kesehatan R.I. (Profil kesehatan provinsi DKI Jakarta, 2012: 19)
Penelitian yang dibuat oleh Hijani dkk, (2014) yang berjudul hubungan
pengetahuan ibu tentang imunisasi terhadap imunisasi dasar pada balita di wilayah
kerja puskesmas Dumai kota kelurahan Dumai Kota. Dari penelitian tersebut
didapatkan hasil analisa hubungan pengetahuan ibu tentang imunisasi terhadap
kelengkapan imunisasi dasar pada balita dengan menggunakan uji chi-square
menunjukkan p value sebesar 0,000 dimana p value < 0.05. Hal ini berarti dapat
disimpulkan ada hubungan pengetahuan ibu tentang imunisasi terhadap
kelengkapan imunisasi dasar pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dumai Kota
Kelurahan Dumai Kota. (Hijani et.al, 2014: 6)
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Dewi et.al (2013) di Kelurahan
Parupuk Tabing Kota Padang diketahui bahwa persentase pemberian imunisasi
dasar lengkap lebih banyak pada ibu yang mempunyai pengetahuan cukup yaitu
sebesar 87,5% dibandingkan dengan ibu yang berpengetahuan kurang yaitu
sebesar 4,3%. Hal ini menunjukkan bahwa peran pengetahuan Ibu tentang
imunisasi dasar sangat berpengaruh terhadap kelengkapan imunisasi dasar pada
bayi (Dewi et.al, 2013). Dan bersadarkan penelitian lain yang dilakukan oleh
Yusnidar pada tahun 2012 di Kelurahan Sidorame Barat II Medan Perjuangan
yang menyatakan bahwa dari 39 responden, didapatkan 20 orang (51,3%)
memiliki pengetahuan tentang imunisasi dasar yang cukup dan kelengkapan
imunisasi dasar pada bayi sebagian besar adalah lengkap yaitu 30 orang (76,9%),
sehingga terdapat hubungan antara pengetahuan ibu tentang imunisasi dasar
dengan kelengkapan imunisasi dasar pada bayi usia 0-12 bulan di Lingkungan IX
Kelurahan Sidorame Barat II Medan Pejuangan. (Hijani et.al, 2014: 3)
ح هّٰللا ُ لَـ ُكمۡ ۚ َواِ َذا قِ ۡي َل ۡ ۡ ِ ِٰۤياَيُّهَا الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡۤوا اِ َذا قِ ۡي َل لَـ ُكمۡ تَفَ َّسح ُۡوا فِى ۡال َم ٰجل
ِ س فَاف َسح ُۡوا يَف َس
تؕ َوهّٰللا ُ بِ َماٍ ا ْن ُش ُز ۡوا فَا ْن ُش ُز ۡوا يَ ۡرفَ ِع هّٰللا ُ الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡوا ِم ۡن ُكمۡ ۙ َوالَّ ِذ ۡينَ اُ ۡوتُوا ۡال ِع ۡل َم َد َر ٰج
۱۱﴿ ﴾ت َۡع َملُ ۡونَ خَ بِ ۡي ٌر
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, "Berilah kelapangan
di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah
akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-
Mujadilah (58) : 11) (Khotimah, 2014: 71)
“Barang siapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia terhindar
sehari itu dari racun dan sihir.” (HR. Al-Bukhari : 5768 dan Muslim : 4702)
Hadits ini menunjukkan secara jelas tentang disyari’atkannya mengambil
sebab untuk membentengi diri dari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga kalau
dikhawatirkan terjadi wabah penyakit lalu diimunisasi untuk membentengi diri
dari wabah yang menimpa maka hukumnya boleh sebagaimana halnya boleh
berobat tatkala terkena penyakit. (Yusuf, 2009)
Melihat dari beberapa penelitian dan data diatas, serta hasil survey yang
dilakukan menunjukkan bahwa masih rendahnya cakupan imunisasi dasar di
Indonesia dan peran pengetahuan ibu tentang imunisasi dasar sangat berpengaruh
terhadap kelengkapan imunisasi dasar pada bayi usia 0-12 bulan. Sehingga perlu
adanya penelitian mengenai bagaimana hubungan pengetahuan ibu dengan
perilaku imunisasi dasar di Posyandu Rosmerah Rw 010 Tanah Tinggi, Jakarta
Pusat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian permasalahan di atas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “ Hubungan Pengetahuan Ibu terhadap Perilaku Imunisasi
Dasar di Wilayah Posyandu Rosmerah Rw 010 Tanah Tinggi, Jakarta Pusat Tahun
2017 ”.
1.4.2 Khusus
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan dan referensi untuk penelitian
selanjutnya.
ح هّٰللا ُ لَـ ُكمۡ ۚ َواِ َذا قِ ۡي َل ۡ ۡ ِ ِٰۤياَيُّهَا الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡۤوا اِ َذا ِق ۡي َل لَـ ُكمۡ تَفَ َّسح ُۡوا فِى ۡال َم ٰجل
ِ س فَاف َسح ُۡوا يَف َس
تؕ َوهّٰللا ُ بِ َماٍ ا ْن ُش ُز ۡوا فَا ْن ُش ُز ۡوا يَ ۡرفَ ِع هّٰللا ُ الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡوا ِم ۡن ُكمۡ ۙ َوالَّ ِذ ۡينَ اُ ۡوتُوا ۡال ِع ۡل َم َد َر ٰج
۱۱﴿ ﴾ت َۡع َملُ ۡونَ خَ بِ ۡي ٌر
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, "Berilah
kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu,” maka
berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah
Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mujadilah (58) : 11)
Pandangan al-Qur`an tentang ilmu dapat diketahui prinsip- prinsipnya dari
analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad:
Term ilmu dalam bahasa Arab berasal kata kerja (fi’il) ‘alima, bentuk
mashdar (bentuk kata benda abstrak) dari yang berarti tahu atau mengetahui, dan
dalam bentuk fa’il (bentuk kata benda pelaku/subjek) ‘alim, yaitu orang yang
mengetahui/ berilmu, jamaknya ulama, dan dalam bentuk maf’ul (yang menjadi
obyek) ilmu disebut ma’lum, atau yang diketahui. Dalam bahasa Inggris Ilmu
biasanya dipadankan dengan kata science, sedang pengetahuan dengan
knowledge. Dalam bahasa Indonesia kata science umumnya diartikan Ilmu tapi
sering juga diartikan dengan Ilmu Pengetahuan, meskipun secara konseptual
mengacu paada makna yang sama. Sedangkan menurut cakupannya pertama-tama
ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut segala pengetahuan ilmiah
yang dipandang sebagai satu kebulatan, dalam arti ini ilmu mengacu pada ilmu
pada umumnya (sience in general).
Dalam tinjauan Islam, pengertian ilmu menunjuk pada masing-masing
bidang pengetahuan yang mempelajari pokok persoalan tertentu. Dalam arti ini
ilmu berarti sesuatu cabang ilmu khusus, seperti ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu
tafsir dan lain sebagainya. Ilmu dalam pengertian yang seluas-luasnya menurut
Imam al-Ghazali mencakup, ilmu Syar‘iyyah dan ilmu Ghairu Syar‘iyyah. Ilmu
Syar‘iyyah adalah ilmu yang berasal dari para Nabi dan wajib dutuntut dan
dipelajari oleh setiap Muslim. Di luar ilmu-ilmu yang bersumber dari para Nabi
tersebut, al-Ghazali mengelompokkan ke dalam kategori ghairu syar‘iyyah. Imam
al- Ghazali juga mengklasifikasikan Ilmu dalam dua kelompok yaitu: (1) Ilmu
Fardu A’in, dan (2) Ilmu Fardu Kifayah. Ilmu Fardu A’in adalah ilmu tentang
cara amal perbuatan sesuai syari’at, dengan segala cabangnya, seperti yang
tercakup dalam rukun Islam. Sedangkan Ilmu Fardu Kifayah ialah tiap-tiap ilmu
yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakan urusan duniawi, yang
mencakup : ilmu kedokteran, ilmu berhitung untuk jual beli, ilmu pertanian, ilmu
politik, bahkan ilmu menjahit, yang pada dasarnya ilmu-ilmu yang dapat
membantu dan penting bagi usaha untuk menegakan urusan dunia.
Dalam perspektif Filsafat Ilmu, pengertian ilmu sekurang-kurangnya
mencakup tiga hal, yaitu : pengetahuan, aktifitas dan metode. Dalam hal yang
pertama ini ilmu sering disebut pengetahuan. Menurut Ziauddin Sardar juga
berpendapat bahwa ilmu atau sains adalah “cara mempelajari alam secara obyektif
dan sistematik serta ilmu merupakan suatu aktifitas manusia. Kemudian menurut
John Biesanz dan Mavis Biesanz dua sarjana ilmu sosial, mereka mendefinisikan
ilmu sebagai suatu cara yang teratur untuk memperoleh pengetahuan (an
organized way of oftening knowledge) dari pada sebagai kumpulan teratur pada
pengetahuan. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa ilmu mempunyai
pengertian sebagai pengetahuan, aktivitas dan metode. Tiga bagian ini satu sama
lain tidak saling bertentangan, bahkan sebaliknya, ketiga hal itu merupakan
kesatuan logis yang mesti ada secara berurutan. Ilmu tidak mungkin muncul tanpa
aktivitas manusia, sedangkan aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode
tertentu yang relevan dan akhirnya aktivitas dan metode itu mendatangkan
pengetahuan yang sistematis.
Menurut Muslim A. Kadir, “ilmu merupakan kumpulan sistematis
sejumlah pengetahuan tentang alam semesta yang diperoleh melalui kegiatan
berfikir”. Sebagai produk pikir maka ilmu Islam ini juga mengalami
perkembangan sesuai dengan kondisi dan situasi social budaya umat Islam. Oleh
karena itu ilmu yang meliputi seluruh aspek tentang alam semesta ini sewajarnya
bila bersifat terbuka, artinya ilmu pengetahuan itu sendiri dapat menerima suatu
kebenaran dari luar, sehingga ilmu sendiri dapat semakin komprehensif.
Pemahaman yang teratur tentang ilmu, dengan demikian juga diharapkan menjadi
lebih jelas ialah pemaparan menurut tiga ciri pokok sebagai serangkaian kegiatan
manusia atau aktivitas, dan proses, sebagai tata tertib tindakan pikiran atau metode
dan sebagai keseluruhan hasil yang dicapai atau produk (pengetahuan).
Berdasarkan tiga kategori tersebut, yakni: proses, prosedur dan produk yang
kesemuanya bersifat dinamis dan berkembang menjadi aktivitas penelitian,
metode kerja, dan hasil penelitian. Dengan demikian ilmu dalam perspektif ilmiah
ialah : serangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan metode
ilmiah, dan menghasilkan pengetahuan (teoritis atau praktis) yang sistematis
tentang segala sesuatu yang ada (gejalanya) dengan tujuan mencapai kebenaran.
Dalam perspektif kajian Islam, ilmu pengetahuan mengandung pengertian
yang menyeluruh dan berkesinambungan dan nilai yang tidak dapat dipisahkan.
Termasuk dalam konteks ini, ilmu sains dan teknologi adalah antara cabang ilmu
pengetahuan yang memberi manfaat dan faedah besar kepada kelangsungan hidup
manusia di dunia dan akhirat. (Surifandi, 2014: 63-65)
5.1.2 Pengembangan dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Menurut Pandangan Islam
5.1.2.1 Pengembangan Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Al-
Qur’an
Observasi (Pengamatan)
Al-Qur`an dalam berbagai ayatnya senantiasa mendesak manusia untuk
mengadakan observasi terhadap ciptaan-Nya. Di antaranya:
ٓ ٰ ق هّٰللا ُ ِم ۡن َش ۡى ٍء ۙ َّواَ ۡن ع
َسى اَ ۡن َ َض َو َما َخل ت السَّمٰ ٰو ِ اۡل ِ اَ َولَمۡ يَ ۡنظُر ُۡوا ِف ۡى َملَـ ُك ۡو
ِ ت َوا َ ۡر
ى َح ِد ۡي ٍۢ ٍـ
َۢث بَ ۡعد َٗه ي ُۡؤ ِمنُ ۡون َ يَّ ُك ۡونَ قَ ِد ۡاقت ََر
ِّ َ ب اَ َجلُهُمۡ ۚ فَبِا
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala
sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan
mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah al-
Qur’an itu?” (Q.S. Al-A’raf (7) : 185)
Dalam ayat tersebut, al-Qur`an mengemukakan tema ayat yang bersifat
sinkronis, artinya berupa pandangan tentang eksistensi langit, bumi, manusia dan
sebagainya. Berikutnya adalah:
َض يَ ُمرُّ ۡونَ َعلَ ۡيهَا َوهُمۡ ع َۡنهَا ُم ۡع ِرض ُۡون َو َكاَي ِّۡن ِّم ۡن ٰايَ ٍة فِى السَّمٰ ٰو ِ اۡل
ِ ت َوا َ ۡر
“Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang
mereka melaluinya, sedang mereka berpaling dari padanya.” (Q.S. Yusuf (12) :
105)
ۡ هّٰللا ۡ
ِ الَّ ِذ ۡينَ يَذ ُكر ُۡونَ َ قِيَا ًما َّوقُع ُۡودًا َّوع َٰلى ُجنُ ۡوبِ ِهمۡ َويَتَفَ َّكر ُۡونَ فِ ۡى خَل
ِ ق السَّمٰ ٰو
ت
ِ َّاب الن
ار َ اطاًل ۚ س ُۡب ٰحنَكَ فَقِنَا َع َذ ِ َض َربَّنَا َما خَ لَ ۡقتَ ٰه َذا ب
ِۚ َوااۡل َ ۡر
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
(Q.S. Al-Imran (3) : 191)
Tema kedua ayat di atas bersifat diakronis, artinya berupa pandangan
tentang proses penciptaan dan peristiwa-peristiwa pada masa lalu maupun yang
akan datang. Bila dicermati lebih mendalam, tiada satu pun ciptaan Allah yang
tidak mengandung maksud dan tujuan. Mulai dari penciptaan makhluk yang
sangat sederhana, hingga penciptaan bintang-bintang di ruang angkasa. Untuk
mengungkap rahasia itu semua, diperlukan pemikiran yang mendalam.
Dalam pengembangan ilmu pengetahuan, observasi dan meniru mekanisme
kerja merupakan hal yang lazim. Misalnya, meniru konsep fungsi sayap dari ekor
burung dalam pembuatan pesawat terbang, capung dalam design helikopter, ikan
paus dalam pembuatan kapal selam dan lain sebagainya.
Dalam metode observasi, meniru dan eksperimentasi semata-mata dalam
pengembangan sains dan teknologi dirasa belum cukup. Untuk itu perlu adanya
kemampuan imajinasi yang kuat, analisis dan sintesa, terutama dalam hal-hal yang
tidak mungkin melalui observasi saja.
Eksplorasi (Pemaparan)
Pada bagian ini, ilmu astronomi menempati posisi penting karena ia adalah
ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan gerakan, penyebaran dan sifat benda-
benda samawi. Di antara ayat yang mewakili al-Qur`an dalam pembahasan ini
adalah:
ٍ ض اَل ٰ ٰي
َت لِّـقَ ۡو ٍم يَّتَّقُ ۡون ق هّٰللا ُ فِى السَّمٰ ٰو ِ اۡل ِ َف الَّ ۡي ِل َوالنَّه
َ َار َو َما َخل ۡ اِ َّن فِى
ِ ت َوا َ ۡر ِ اختِاَل
“Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang
diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda
(kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwa.” (Q.S. Yunus (10) : 6)
) َوال َّش ْمسُ تَجْ ِري لِ ُم ْستَقَرٍّ لَهَا٣٧ ( َظلِ ُمون ْ ار فَإ ِ َذا هُ ْم ُم َ ََوآيَةٌ لَهُ ُم اللَّ ْي ُل نَ ْسلَ ُخ ِم ْنهُ النَّه
( ـالعُرْ جُو ِن ْالقَـ ِد ِيم
ْ َاز َل َحتَّى عَا َد َكـ ِ ) َو ْالقَ َم َر قَ َّدرْ نَاهُ َمن٣٨( يز ْال َعلِ ِيم ِ َذلِكَ تَ ْق ِدي ُر ْال َع ِز
ٍ ـار َو ُكــلٌّ فِي فَلَـ
ـك ُ ِ) ال ال َّش ْمسُ يَ ْنبَ ِغي لَهَــا أَ ْن تُـ ْد ِركَ ْالقَ َمـ َر َوال اللَّ ْيـ ُل َسـاب٣٩
ِ ق النَّهَـ
)٤٠( َيَ ْسبَحُون
“37. Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam;
kami tanggalkan siang dari malam itu, Maka dengan serta merta mereka berada
dalam kegelapan. 38. Dan matahari berjalan ditempat peredarannya.
Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. 39. Dan
telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai
ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. 40.
Tidaklah mungkin bagi Matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat
mendahului siang dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (Q.S.
Yaasiin (36) : 37-40)
Kedua ayat tersebut memaparkan fenomena sesuai dengan hukum alam
(sunnatullah) yang berlaku, atau masih dalam tahap pemaparan (description). Bila
fenomena berupa pergantian siang dan malam akan diangkat sebagai suatu metode
ilmu pengetahuan maka seseorang harus menempuh prosedur sebagaimana yang
ditempuh dalam ilmu pengetahuan.
Eksperimen (Percobaan)
Eksperimen merupakan kelanjutan dari metode-metode sebelumnya
(observasi dan eksplorasi). Dengan metode ini telah muncul berbagai cabang ilmu
di antaranya geologi. Geologi mempelajari gerak bumi, lapisan-lapisannya, serta
hubungan dan perubahannya. Dalam hal ini, al-Qur`an memberikan dorongan
kuat untuk melakukan penelitian tentang adanya kebenaran di balik fenomena
fisik dari alam semesta. Pada gilirannya, hal ini akan membawa penemuan-
penemuan baru di dalam ilmu pengetahuan mengenai sejarah alam, termasuk
geologi, yang mempelajari tentang terjadinya perubahan bentuk secara besar-
besaran pada lapisan atas bumi, strukturnya, perubahan cuaca, fosil, batu-batu
karang dan sebagainya. Ayat berikut ini dapat dijadikan penanda untuk menggali
dan mengembangkan ilmu:
ۡت ؕ َوهّٰللا ُ يَ ۡعلَ ُم ُمتَقَلَّبَ ُكم ۡ اعلَمۡ اَنَّهٗ اَل ۤ اِ ٰلهَ اِاَّل هّٰللا ُ َو
ِ است َۡغفِ ۡر لِ َذ ۡۢنبِكَ َولِ ۡل ُم ۡؤ ِمنِ ۡينَ َو ۡال ُم ۡؤ ِم ٰن ۡ َف
َۡو َم ۡث ٰوٮ ُكم
“Maka ketahuilah (dapatkanlah ilmu), bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang
berhak disembah secara hak melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi
dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, lai-laki dan perempuan. Dan
Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu” (Q.S.
Muhammad (47) : 19)
اَل ت َِج ُد قَ ۡو ًما ي ُّۡؤ ِمنُ ۡونَ بِاهّٰلل ِ َو ۡاليَ ۡو ِم ااۡل ٰ ِخ ِر يُ َوٓا ُّد ۡونَ َم ۡن َحٓا َّد هّٰللا َ َو َرس ُۡولَهٗ َولَ ۡو َكانُ ۡۤوا
َۡب فِ ۡى قُلُ ۡوبِ ِه ُم ااۡل ِ ۡي َمانَ َواَيَّ َدهُم ٓ ٰ ُٰابٓاءهُمۡ اَ ۡو اَ ۡبنَٓاءهُمۡ اَ ۡو ا ۡخوانَهُمۡ اَ ۡو َعش ۡيرتَهُمۡؕ ا
َ ول ِٕٕٮِـكَ َكت َ ِ َ ِ َ َ َ
هّٰللا ٍ ّح ِّم ۡن هُ ؕ َوي ُۡد ِخلُهُمۡ َج ٰن
ۡض َى ُ ع َۡنهُم ِ ت ت َۡج ِر ۡى ِم ۡن ت َۡحتِهَا ااۡل َ ۡن ٰه ُر ٰخلِ ِد ۡينَ فِ ۡيهَا ؕ َر ٍ بِر ُۡو
َب هّٰللا ِ هُ ُم ۡال ُم ۡفلِح ُۡون هّٰللا ٓ
َ ك ِح ۡزبُ ِ ؕ اَاَل ۤ اِ َّن ِح ۡز َ ول ِٕٕٮِـٰ َُو َرض ُۡوا ع َۡن هُ ؕ ا
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-
Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-
saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah
menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan
pertolongan [1463] yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke
dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap
(limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung. [1463] Yang
dimaksud dengan "pertolongan" ialah kemauan bathin, kebersihan hati,
kemenangan terhadap musuh dan lain lain.” (Q.S. Al Mujadilah (58) : 22).
ۤ
َ ٰياَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَ لَ ۡق ٰن ُكمۡ ِّم ۡن َذ َك ٍر َّواُ ۡن ٰثى َو َج َع ۡل ٰن ُكمۡ ُشع ُۡوبًا َّوقَبَٓا ِٕٕٮِـ َل لِتَ َع
ۡارفُ ۡوا ؕ اِ َّن اَ ۡك َر َم ُكم
۱۳﴿ ﴾ ِع ۡن َد هّٰللا ِ اَ ۡت ٰقٮ ُكمۡ ؕ اِ َّن هّٰللا َ َعلِ ۡي ٌم َخبِ ۡي ٌر
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al Hujurat
(49) : 13).
Konsep Islam Mengenai Kerjasama dan Gotong Royong Sosial
Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk kerjasama dan saling
tolong-menolong, baik dalam hal moral maupun material sebagaimana telah
dijelaskan pada bab zakat dan sedekah. Ia mengharamkan seorang Muslim
menyakiti sesama manusia sekecil apa pun.
Allah mewajibkan orang Mukmin mencintai saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri dan membenci bagi saudaranya apa yang dia benci untuk
dirinya. Allah ta’ala berfirman:
َصلِح ُۡوا بَ ۡينَ اَخ ََو ۡي ُكمۡ ۚ َواتَّقُوا هّٰللا َ لَ َعلَّ ُكمۡ تُ ۡر َح ُم ۡون
ۡ َ اِنَّ َما ۡال ُم ۡؤ ِمنُ ۡونَ اِ ۡخ َوةٌ فَا
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-Hujurat (49) : 10)
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun dan ia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur.” (Q.S. An-Nahl (16) : 78)
Ada dua aliran pengetahuan, dalam hubungannya dengan di atas. Pertama,
adalah idealisme atau lebih populer dengan sebutan rasionalisme; suatu aliran
pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal, idea, kategori, form, sebagai
sumber ilmu pengetahuan. Di sini peran panca indra dinomorduakan. Menurut
aliran ini, pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Panca indra
berfungsi hanya untuk menangkap objek sehingga diperoleh data-data dari alam
nyata dan akallah yang mengolah data-data tersebut sehingga terbentuk
pengetahuan. Kedua, adalah realisme atau empirisme yang lebih menekankan
peran ilmu pengetahuan. Di sini peran akal dinomorduakan. Menurut aliran ini,
pengetahuan yang benar diperoleh melaui pengalaman panca indra terhadap
objek-objek yang nyata.
Adapun metode yang disodorkan al-Qur`an dalam memeroleh ilmu kasbi
ini, di antaranya adalah sebagaimana tersirat dalam:
ار ۡى َس ۡو َءةَ اَ ِخ ۡي ِهؕ قَا َل يَا َو ۡيلَ ٰتٓى ِ ض لِي ُِريَهٗ َك ۡيفَ ي َُو اۡل
ِ ث فِ ۡى ا َ ۡر ُ ث هّٰللا ُ ُغ َرابًا ي َّۡب َح
َ فَبَـ َع
َصبَ َح ِمنَ ال ٰنّ ِد ِم ۡي ۛن ۡۚ ى َس ۡو َءةَ اَ ِخ
ۡ َ ى فَا ِ ب فَا ُ َو
َ ار ِ ت اَ ۡن اَ ُك ۡونَ ِم ۡث َل ٰه َذا ۡال ُغ َراُ اَ َع َج ۡز
“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk
memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat
saudaranya [410]. Berkata Qabil: “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak
mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat
saudaraku ini?” Karena itu jadilah ia seorang di antara orang-orang yang
menyesal.” (Q.S. Al-Maidah (5) : 31).
Lebih lanjut, ilmu yang diperoleh manusia tanpa usaha aktif disebut ilmu
ladunni. Wahyu, ilham, intuisi, firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci
jiwanya, atau apa yang diduga kebetulan yang dialami oleh ilmuwan yang tekun,
semuanya merupakan bentuk-bentuk pengajaran Allah yang tanpa qalam yang
ditegaskan oleh wahyu pertama tersebut. 17 Adanya ilmu ladunni ini sebagaimana
termaktub dalam al-Qur`an:
۶۵﴿ ﴾فَ َو َجدَا ع َۡبدًا ِّم ۡن ِعبَا ِدن َۤا ٰات َۡي ٰنهُ َر ۡح َمةً ِّم ۡن ِع ۡن ِدنَا َو َعلَّمۡ ٰنهُ ِم ۡن لَّ ُدنَّا ِع ۡل ًما
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami,
yang telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang telah kami
ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Q.S. Al-Kahfi (18) : 65). (Khotimah,
2014: 74-76)
“Barang siapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia terhindar
sehari itu dari racun dan sihir.” (HR. Al-Bukhari : 5768 dan Muslim : 4702)
Hadits ini menunjukkan secara jelas tentang disyari’atkannya mengambil
sebab untuk membentengi diri dari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga kalau
dikhawatirkan terjadi wabah penyakit lalu diimunisasi untuk membentengi diri
dari wabah yang menimpa maka hukumnya boleh sebagaimana halnya boleh
berobat tatkala terkena penyakit. (Yusuf, 2009)
Istihalah secara bahasa memiliki dua makna. Salah satu maknanya adalah,
Para ulama telah menyepakati bahwa apabila khomr berubah menjadi cuka
dengan sendirinya (karena dibiarkan begitu saja), maka khomr tersebut menjadi
suci. Namun para ulama berselisih jika khomr tadi berubah menjadi cuka melalui
suatu proses tertentu.
Adapun untuk najis yang lainnya, apabila ia berubah dari bentuk asalnya,
maka para ulama berselisih akan sucinya.
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah, juga menjadi salah satu pendapat Imam
Ahmad, menyatakan bahwa najis pada ‘ain (zat) dapat suci dengan istihalah. Jika
najis sudah menjadi abu, maka tidak dikatakan najis lagi. Garam (yang sudah
berubah) tidak dikatakan najis lagi walaupun sebelumnya berasal dari keledai,
babi atau selainnya yang najis. Begitu pula dianggap suci jika najis jatuh ke sumur
dan berubah jadi tanah. Misal yang lain, khomr ketika berubah menjadi cuka baik
dengan sendirinya atau dengan proses tertentu dari manusia atau cara lainnya,
maka itu juga dikatakan suci. Hal ini semua dikarenakan zat yang tadi ada sudah
berubah. Aturan Islam pun menetapkan bahwa sifat najis jika telah hilang, maka
sudah dikatakan tidak najis lagi (sudah suci).
Jadi jika tulang dan daging berubah menjadi garam, maka yang dihukumi
sekarang adalah garamnya. Garam tentu saja berbeda statusnya dengan tulang dan
daging tadi.
Perkara semisal ini amatlah banyak. Intinya, istihalah pada zat terjadi jika
sifat-sifat najis yang ada itu hilang.
Adapun ulama Syafi’iyah dan pendapat ulama Hambali yang lebih kuat,
najis ‘ain (zat) tidaklah dapat suci dengan cara istihalah. Jika anjing atau selainnya
dilempar dalam garam, akhirnya mati dan jadi garam, maka tetap dihukumi najis.
Begitu pula jika ada uap yang berasal dari api yang bahannya najis, lalu uap itu
mengembun, maka tetap dihukumi najis.
Dikecualikan dalam masalah ini adalah untuk khomr, yaitu khomr yang
berubah menjadi cuka dengan sendirinya, tidak ada campur tangan. Cuka yang
berasal dari khomr seperti itu dianggap suci. Alasan najisnya khomr tadi adalah
karena memabukkan. Saat jadi cuka tentu tidak memabukkan lagi, maka dari itu
dihukumi suci. Hal ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan para ulama).
Adapun jika khomr berubah menjadi cuka dengan proses tertentu misalnya
ada gas yg masuk, maka ketika itu tidaklah suci.
Dari perselisihan di atas, pendapat yang rojih (kuat) dalam masalah ini
adalah yang menyatakan bahwa suatu zat yang najis yang berubah (dengan
istihalah) menjadi zat lain yang baru, dihukumi suci.
"Hukum itu berputar pada ‘illahnya. Jika ‘illah itu ada, maka hukum itu ada.
Begitu sebaliknya jika ‘illah itu tidak ada, maka hukum itu tidak ada."
Pendapat inilah yang lebih tepat, apalagi diterapkan di zaman saat ini. Kita
masih ingat bahwa minyak bumi itu asalnya dari bangkai hewan yang terpendam
ribuan tahun. Padahal bangkai itu jelas najis. Jika kita katakan minyak bumi, itu
najis karena berpegang pada pendapat Syafi’iyah dan Hambali, maka jadi
problema untuk saat ini.
“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran
(najis).”
Dua hadits di atas menjelaskan bahwa apabila benda yang najis atau haram
bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak
menyisakan warna atau baunya, maka dia menjadi suci.
Jadi suatu saat air yang najis bisa berubah menjadi suci jika bercampur
dengan air suci yang banyak. Tidak mungkin air yang najis selamanya berada
dalam keadaan najis tanpa perubahan. Tepatlah perkataan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, “Siapa saja yang mau merenungkan dalil-dalil yang telah disepakati
dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas baginya bahwa
pendapat inilah yang lebih tepat. Sangat tidak mungkin ada air atau benda cair
yang tidak mungkin mengalami perubahan menjadi suci (tetap najis). Ini sungguh
bertentangan dengan dalil dan akal sehat. Jika ada yang menganggap bahwa
hukum najis itu tetap ada padahal (sifat-sifat) najis telah dihilangkan dengan
cairan atau yang lainnya, maka ini sungguh jauh dari tuntutan dalil dan
bertentangan dengan qiyas yang bisa digunakan.” (Tuasikal, 2013)
ير َو َما أُ ِه َّل بِ ِه لِ َغي ِْر هَّللا ِ فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغ ْي َر ِ إِنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوال َّد َم َولَحْ َم ْال ِخ ْن ِز
اغ َواَل عَا ٍد فَاَل إِ ْث َم َعلَ ْي ِه إِ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم ٍ َب
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi,
dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S.
Al-Baqarah (2) : 173)
Namun kaedah di atas memiliki syarat yang harus dipenuhi tidak sekedar
mendapati bahaya, lantas menerjang yang haram. Beberapa syarat yang mesti
dipenuhi:
بَلْ َمتَى، اَل يُ ْكتَفَى فِي ِه بِ ْال َم ِظنَّ ِة، ُورةَـ أَ ْم ٌر ُم ْعتَبَ ٌر بِ ُوجُو ِد َحقِيقَتِ ِه
َ ضرَّ ال
َو َمتَى، وج ْدَ َُت ْال َم ِظنَّةُ أَوْ لَ ْم تْ َس َوا ٌء ُو ِجد، ت ْ ُورةُـ أَبَا َح َ ضر َّ َت الْ ُو ِجد
لَ ْم يُبَحْ اأْل َ ْك ُل لِ ُوجُو ِد َم ِظنَّتِهَا بِ َحا ٍل، ت
ْ َا ْنتَف
“Keadaan darurat baru teranggap ada jika sudah benar-benar ditemui.
Jadi tidak cukup dengan hanya sangkaan. Jika ditemukan keadaan
darurat, maka dibolehkanlah yang haram, baik ada sangkaan ataukah
tidak. Ketika keadaan darurat telah hilang, maka tidak dibolehkan
kembali mengonsumsi yang haram walau dengan suatu sangkaan kala
itu.”
2. Dipastikan bahwa dengan melakukan yang haram dapat menghilangkan
dhoror (bahaya). Jika tidak bisa dipastikan demikian, maka tidak boleh
seenaknya menerjang yang haram. Contoh: Ada yang haus dan ingin
minum khomr. Perlu diketahui bahwa khomr itu tidak bisa menghilangkan
rasa haus. Sehingga meminum khomr tidak bisa dijadikan alasan untuk
menghilangkan dhoror (bahaya).
3. Tidak ada jalan lain kecuali dengan menerjang larangan demi hilangnya
dhoror. Contoh: Ada wanita yang sakit, ada dokter perempuan dan dokter
laki-laki. Selama ada dokter wanita, maka tidak bisa beralih pada dokter
laki-laki. Karena saat itu bukan darurat.
4. Haram yang diterjang lebih ringan dari bahaya yang akan menimpa.
5. Sesuatu yang haram yang dikonsumsi saat darurat diambil sekadarnya.
Jika darurat sudah hilang, maka tidak boleh mengonsumsinya lagi. Maka
para ulama membuat kaedah lagi dalam masalah ini,
1. Dibolehkannya berobat dengan yang najis jika tidak didapati sesuatu yang
suci. Alasannya, karena maslahat menyelamatkan jiwa lebih didahulukan
dari maslahat menjauhi yang najis.
2. Boleh membelah kandungan (melakukan operasi sesar) pada perut ibu jika
memang sulit melahirkan karena menjaga keselamatan janin lebih utama
daripada menjaga kehormatan ibu. (Tuasikal, 2013)
5.2.2.4 Berobat dengan yang haram
Inilah landasan yang digunakan MUI, jika kita kaji sesuai dengan syarat:
”Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka diambil yang paling
ringan.“
Dan Maha Benar Allah yang memang menciptakan penyakit namun pasti
ada obatnya. Kalau tidak ada obatnya sekarang, maka hanya karena manusia
belum menemukannya. Terbukti baru-baru ini telah ditemukan vaksin meningitis
yang halal, dan MUI mengakuinya.
Agama Islam adalah agama yang mudah dan tidak kaku, Allah tidak
menghendaki kesulitan kepada hambanya. Allah Ta’ala berfirman,
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
(Q.S. Al-Hajj (22) : 78) (Bahraen: 2011)
5.2.2.5 Kemudahan Saat Kesempitan
Semua syari’at itu mudah. Namun, apabila ada kesulitan maka akan ada
tambahan kemudahan lagi. Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syafi’i
rahimahullah tatkala berkata.
ْ ت اتَّ َس َع
ت َ ت األُصُوْ ُل َعلَى أَ َّن األَ ْشيَا َء إِ َذا
ْ َ ض اق ِ َبُنِي
“Kaidah syari’at itu dibangun (di atas dasar) bahwa segala sesuatu apabila
sampai maka menjadi luas” (Yusuf, 2009)
5.2.3 Fatwa-fatwa
MUI mulai menggodok fatwa ini sejak 2013. Ada sejumlah pertimbangan
MUI dalam mengeluarkan fatwa ini.
3.
ْيف َوفِى ُك ٍّل َخ ْي ٌر احْ ِرص ْال ُم ْؤ ِم ُن ْالقَ ِوىُّ خَ ْي ٌر َوأَ َحبُّ إِلَى هَّللا ِ ِمنَ ْال ُم ْؤ ِم ِن الض َِّع ِـ
َت َكانُ ك َش ْى ٌء فَالَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَ َع ْل َ َصابَ ََعلَى َما يَ ْنفَعُكَ َوا ْست َِع ْن بِاهَّلل ِ َوالَ تَ ْع ِج ْز َوإِ ْن أ
َولَ ِك ْن قُلْ قَ َد ُر هَّللا ِ َو َما َشا َء فَ َع َل فَإ ِ َّن لَوْ تَ ْفتَ ُح َع َم َل ال َّش ْيطَا ِن.َك َذا َو َك َذا
"Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin
yang lemah. Namun masing-masing ada kebaikan. Semangatlah meraih apa yang
manfaat untukmu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap
lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah janganlah mengatakan, "Seandainya
aku berbuat begini dan begitu, niscaya hasilnya akan lain." Akan tetapi
katakanlah, "Allah telah mentakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki Dia
Perbuat." Sebab, mengandai-andai itu membuka pintu setan." (HR. Muslim)
4.
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada responden yang datang
berkunjung ke Posyandu Rosmerah dan yang berada di wilayah Rw 010 Tanah Tinggi,
Jakarta Pusat dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: