Anda di halaman 1dari 37

SKRIPSI

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TERHADAP PERILAKU


IMUNISASI DASAR DI WILAYAH POSYANDU ROSMERAH
RW 010 TANAH TINGGI, JAKARTA PUSAT TAHUN 2017
DAN TINJAUANNYA MENURUT ISLAM

Disusun oleh :

RAFA” ASSIDIQ

NPM 1102014218

Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Kedokteran

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

TAHUN 2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Imunisasi merupakan salah satu cara pencegahan penyakit menular
khususnya Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yang
diberikan kepada tidak hanya anak sejak masih bayi hingga remaja tetapi juga
kepada dewasa. Imunisasi merupakan salah satu investasi kesehatan yang paling
cost-effective (murah), karena terbukti dapat mencegah dan mengurangi kejadian
sakit, cacat, dan kematian akibat PD3I yang diperkirakan 2 hingga 3 juta kematian
tiap tahunnya. (Pusdatin Kemkes RI, 2016: 1)

Diperkirakan di seluruh dunia, pada tahun 2013, 1 dari 5 anak atau sekitar
21,8 juta anak tidak mendapakan imunisasi yang bisa menyelamatkan nyawa
mereka. Di Indonesia, Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) mencapai 86,8%, dan perlu
ditingkatkan hingga mencapai target 93% di tahun 2019. Universal Child
Immunization (UCI) desa yang kini mencapai 82,9% perlu ditingkatkan hingga
mencapai 92% di tahun 2019. (Depkes, 2015)

Namun, hasil cakupan imunisasi secara nasional terus alami peningkatan.


Berdasarkan Evaluasi Program Imunisasi selama 2015-2016 yang dilaporkan
kepada Kantor Sekretariat Presiden RI, cakupan imunisasi dasar lengkap pada
bayi mencapai 86,9% pada 2015 dengan target yang ditetapkan untuk tahun ini
yaitu 91% dan 91,6% pada 2016 dengan target yang harus dicapai adalah 91,5%.
(Depkes, 2017)

Pada tahun 2015 terdapat tiga provinsi yang memiliki capaian tertinggi
yaitu DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah sebesar 100%. Sedangkan
Provinsi Papua Barat memiliki capaian terendah (54,66%), diikuti oleh Riau
ssebesar 57,67%, dan Aceh sebesar 67.56%. (Profil Kesehatan Indonesia, 2015:
133)
Persentase desa atau kelurahan yang mencapai “Universal Child
Immunization” (UCI) di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2015 mencapai 100%.
Angka tersebut mencapai target Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang
ditetapkan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta maupun Kementerian
Kesehatan R.I. (Profil kesehatan provinsi DKI Jakarta, 2012: 19)

Meskipun cakupan secara nasional sudah mencapai target, kesenjangan


cakupan di beberapa daerah masih ada. Masih terdapat anak-anak yang sama
sekali belum mendapatkan imunisasi atau belum lengkap imunisasinya. Menurut
angka estimasi yang dikeluarkan oleh WHO/UNICEF tahun 2015, hampir satu
juta anak Indonesia tidak mendapatkan imunisasi sama sekali atau tidak lengkap
status imunisasinya. (Depkes, 2017)

Di berbagai negara di dunia, kurangnya persediaan vaksin, akses terhadap


layanan kesehatan, kurangnya pengetahuan masyarakat serta kecilnya dukungan 
politis dan financial menjadi penyebab kesenjangan cakupan imunisasi. Kondisi
geografis Indonesia juga merupakan tantangan bagi program imunisasi, selain
kurangnya pengetahuan masyarakat dan kurangnya informasi tentang imunisasi,
Pemerintah juga telah menggiatkan program promosi kesehatan dalam rangka
penyebarluasan informasi tentang pentingnya imunisasi. (Depkes, 2015)

Penelitian yang dibuat oleh Hijani dkk, (2014) yang berjudul hubungan
pengetahuan ibu tentang imunisasi terhadap imunisasi dasar pada balita di wilayah
kerja puskesmas Dumai kota kelurahan Dumai Kota. Dari penelitian tersebut
didapatkan hasil analisa hubungan pengetahuan ibu tentang imunisasi terhadap
kelengkapan imunisasi dasar pada balita dengan menggunakan uji chi-square
menunjukkan p value sebesar 0,000 dimana p value < 0.05. Hal ini berarti dapat
disimpulkan ada hubungan pengetahuan ibu tentang imunisasi terhadap
kelengkapan imunisasi dasar pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dumai Kota
Kelurahan Dumai Kota. (Hijani et.al, 2014: 6)

Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Dewi et.al (2013) di Kelurahan
Parupuk Tabing Kota Padang diketahui bahwa persentase pemberian imunisasi
dasar lengkap lebih banyak pada ibu yang mempunyai pengetahuan cukup yaitu
sebesar 87,5% dibandingkan dengan ibu yang berpengetahuan kurang yaitu
sebesar 4,3%. Hal ini menunjukkan bahwa peran pengetahuan Ibu tentang
imunisasi dasar sangat berpengaruh terhadap kelengkapan imunisasi dasar pada
bayi (Dewi et.al, 2013). Dan bersadarkan penelitian lain yang dilakukan oleh
Yusnidar pada tahun 2012 di Kelurahan Sidorame Barat II Medan Perjuangan
yang menyatakan bahwa dari 39 responden, didapatkan 20 orang (51,3%)
memiliki pengetahuan tentang imunisasi dasar yang cukup dan kelengkapan
imunisasi dasar pada bayi sebagian besar adalah lengkap yaitu 30 orang (76,9%),
sehingga terdapat hubungan antara pengetahuan ibu tentang imunisasi dasar
dengan kelengkapan imunisasi dasar pada bayi usia 0-12 bulan di Lingkungan IX
Kelurahan Sidorame Barat II Medan Pejuangan. (Hijani et.al, 2014: 3)

Dari survey yang telah dilakukan, didapatkan data dari posyandu


Rosmerah RW 010 Tanah Tinggi, Jakarta Pusat bahwa cakupan imunisasi selama
5 tahun terakhir dari 279 balita, dibagi menjadi : lengkap (16%), tidak lengkap
(9%) dan tidak imunisasi di posyandu tersebut (75%). Berdasarkan laporan yang
didapatkan dari kader posyandu Rosmerah RW 010, semua imunisasi dasar dapat
dilakukan di posyandu tersebut kecuali imunisasi BCG, hal tersebut dikarenakan
adanya pertimbangan bahwa imunisasi BCG dalam penggunaannya harus habis
dalam satu kali pemakaian dalam kegiatan imunisasi bulanan. Selain itu, balita
yang tidak imunisasi di posyandu rosmerah bukan berarti tidak melakukan
imunisasi sama sekali tetapi ada kemungkinan melakukan imunisasi di tempat lain
seperti di bidan, puskesmas dan rumah sakit.

Berkali-kali pula al-Qur`an menunjukkan betapa tinggi kedudukan orang


yang berpengetahuan. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur`an:

‫ح هّٰللا ُ لَـ ُكمۡ‌ ۚ َواِ َذا قِ ۡي َل‬ ۡ ۡ ِ ِ‫ٰۤياَيُّهَا الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡۤوا اِ َذا قِ ۡي َل لَـ ُكمۡ تَفَ َّسح ُۡوا فِى ۡال َم ٰجل‬
ِ ‫س فَاف َسح ُۡوا يَف َس‬
‫ت‌ؕ َوهّٰللا ُ بِ َما‬ٍ ‫ا ْن ُش ُز ۡوا فَا ْن ُش ُز ۡوا يَ ۡرفَ ِع هّٰللا ُ الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡوا ِم ۡن ُكمۡ ۙ َوالَّ ِذ ۡينَ اُ ۡوتُوا ۡال ِع ۡل َم َد َر ٰج‬
۱۱﴿ ‫﴾ت َۡع َملُ ۡونَ خَ بِ ۡي ٌر‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, "Berilah kelapangan
di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah
akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-
Mujadilah (58) : 11) (Khotimah, 2014: 71)

Imunisasi hukumnya boleh dan tidak terlarang, karena imunisasi termasuk


penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi. Rasulullah SAW bersabda:

‫ك ْاليَوْ ِم ُس ٌّم َوالَ ِسحْ ٌر‬


َ ِ‫ض َّرهُ فِ ْي َذ ل‬ ِ ‫صب ََّح ُك َّل يَوْ ٍم َس ْب َع تَ َم َرا‬
ُ َ‫ت َعجْ َو ٍة لَ ْم ي‬ َ َ‫َم ْن ت‬

“Barang siapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia terhindar
sehari itu dari racun dan sihir.” (HR. Al-Bukhari : 5768 dan Muslim : 4702)
Hadits ini menunjukkan secara jelas tentang disyari’atkannya mengambil
sebab untuk membentengi diri dari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga kalau
dikhawatirkan terjadi wabah penyakit lalu diimunisasi untuk membentengi diri
dari wabah yang menimpa maka hukumnya boleh sebagaimana halnya boleh
berobat tatkala terkena penyakit. (Yusuf, 2009)

Melihat dari beberapa penelitian dan data diatas, serta hasil survey yang
dilakukan menunjukkan bahwa masih rendahnya cakupan imunisasi dasar di
Indonesia dan peran pengetahuan ibu tentang imunisasi dasar sangat berpengaruh
terhadap kelengkapan imunisasi dasar pada bayi usia 0-12 bulan. Sehingga perlu
adanya penelitian mengenai bagaimana hubungan pengetahuan ibu dengan
perilaku imunisasi dasar di Posyandu Rosmerah Rw 010 Tanah Tinggi, Jakarta
Pusat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian permasalahan di atas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “ Hubungan Pengetahuan Ibu terhadap Perilaku Imunisasi
Dasar di Wilayah Posyandu Rosmerah Rw 010 Tanah Tinggi, Jakarta Pusat Tahun
2017 ”.

1.3 Pertanyaan Penelitian


1. Bagaimana gambaran pengetahuan ibu di Wilayah Posyandu Rosmerah?
2. Bagaimana gambaran perilaku imunisasi dasar di Wilayah Posyandu
Rosmerah?
3. Apakah ada hubungan pengetahuan ibu terhadap perilaku imunisasi dasar
di Wilayah Posyandu Rosmerah?
4. Bagaimana hubungan pengetahuan ibu dengan perilaku imunisasi dasar
dilihat dari pandangan Agama Islam ?

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Umun

Untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu terhadap perilaku imunisasi


dasar di Wilayah Posyandu Rosmerah Rw 010 Tanah Tinggi, Jakarta Pusat.

1.4.2 Khusus

- Diketahuinya gambaran pengetahuan ibu di Wilayah Posyandu Rosmerah.


- Diketahuinya gambaran perilaku imunisasi dasar di Wilayah Posyandu
Rosmerah.
- Diketahuinya hubungan pengetahuan ibu dengan perilaku imunisasi dasar
di Wilayah Posyandu Rosmerah.
- Diketahuinya hubungan pengetahuan ibu dengan perilaku imunisasi dasar
dilihat dari pandangan Agama Islam.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti

Peneliti dapat mengetahui hubungan pengetahuan ibu terhadap perilaku


imunisasi dasar.

1.5.2 Bagi Universitas

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan dan referensi untuk penelitian
selanjutnya.

1.5.3 Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan bisa menjadi tambahan pengetahuan bagi


masyarakat umum tentang hubungan pengetahuan ibu terhadap perilaku
imunisasi dasar anak sehingga bisa lebih memperhatikan imunisasi dasar pada
anaknya.
BAB V

TINJAUAN ISLAM TERHADAP HUBUNGAN PENGETAHUAN


TERHADAP PERILAKU IMUNISASI DASAR

5.1 Ilmu Pengetahuan Menurut Pandangan Islam


5.1.1 Pengertian Ilmu Pengetahuan Menurut Pandangan Islam
5.1.1.1 Pandangan Al-Qur’an tentang Ilmu Pengetahuan

Dalam al-Qur`an, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia


dipandang lebih unggul ketimbang makhluk lain guna menjalankan fungsi
kekhalifahannya. Ini tercermin dari kisah kejadian manusia pertama yang
dijelaskan al-Qur`an:

‫ال اَ ۡۢنبِـٔـُـ ُۡٔونِ ۡى بِا َ ۡس َمٓا ِء ٰهٓؤُٓاَل ِء اِ ۡن‬ ٓ


َ َ‫ضهُمۡ َعلَى ۡال َم ٰل ِٕٕٮِـ َك ِة فَق‬
َ ‫َوعَلَّ َم ٰا َد َم ااۡل َ ۡس َمٓا َء ُكلَّهَا ثُ َّم َع َر‬
۳۱﴿ َ‫ص ِدقِ ۡين‬ ٰ ۡ‫﴾ ُك ۡنتُم‬
“Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-
Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!”.
(Q.S. Al-Baqoroh (2) : 31)

۳۲﴿ ‫ك اَ ۡنتَ ۡال َعلِ ۡي ُم ۡال َح ِك ۡي ُم‬


َ َّ‫﴾قَالُ ۡوا س ُۡب ٰحنَكَ اَل ِع ۡل َم لَنَٓا اِاَّل َما َعلَّمۡ تَنَا ؕ اِن‬
“Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain
dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah
yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Baqoroh (2) : 32)
Yang dimaksud dengan nama-nama pada ayat di atas adalah sifat, ciri dan
hukum sesuatu. Ini berarti manusia berpotensi mengetahui rahasia alam raya.
Manusia menurut al-Qur`an, memiliki potensi untuk menyiduk ilmu dan
mengembangkannya dengan seizin Allah. Karena itu, bertebaran ayat yang
memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk mewujudkan hal
tersebut. Berkali-kali pula al-Qur`an menunjukkan betapa tinggi kedudukan orang
yang berpengetahuan. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur`an:

‫ح هّٰللا ُ لَـ ُكمۡ‌ ۚ َواِ َذا قِ ۡي َل‬ ۡ ۡ ِ ِ‫ٰۤياَيُّهَا الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡۤوا اِ َذا ِق ۡي َل لَـ ُكمۡ تَفَ َّسح ُۡوا فِى ۡال َم ٰجل‬
ِ ‫س فَاف َسح ُۡوا يَف َس‬
‫ت‌ؕ َوهّٰللا ُ بِ َما‬ٍ ‫ا ْن ُش ُز ۡوا فَا ْن ُش ُز ۡوا يَ ۡرفَ ِع هّٰللا ُ الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡوا ِم ۡن ُكمۡ ۙ َوالَّ ِذ ۡينَ اُ ۡوتُوا ۡال ِع ۡل َم َد َر ٰج‬
۱۱﴿ ‫﴾ت َۡع َملُ ۡونَ خَ بِ ۡي ٌر‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, "Berilah
kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu,” maka
berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah
Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mujadilah (58) : 11)
Pandangan al-Qur`an tentang ilmu dapat diketahui prinsip- prinsipnya dari
analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad:

‫ق * ا ْق َر ْأ َو َربُّ َك اأْل َ ْك َر ُم * الَّ ِذي‬


ٍ َ‫سانَ ِمنْ َعل‬
َ ‫ق اإْل ِ ْن‬ َ َ‫ق * َخل‬ َ َ‫س ِم َربِّكَ الَّ ِذي َخل‬ ْ ‫ا ْق َر ْأ بِا‬
َ ‫* َعلَّ َم بِا ْلقَلَ ِم * َعلَّ َم اإْل ِ ْن‬
‫سانَ َما لَ ْم يَ ْعلَ ْم‬
“1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Ia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah, 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang
Maha Pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, 5. Ia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. Al-‘Alaq (96) : 1-
5)
Wahyu pertama tersebut tidak menjelaskan apa yang harus dibaca karena al-
Qur`an menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi
Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Pengulangan membaca dalam
wahyu pertama ini bukan sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak
akan diperoleh kecuali mengulang-ulang bacaan atau dalam bahasa lain, membaca
hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi hal itu
mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan bismi Rabbik akan menghasilkan
pengetahuan dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga.
Kata iqra` dalam ayat tersebut akar katanya berarti menghimpun. Dari
menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami,
meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.
Jadi, iqra` berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah
alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun tidak.
Dalam wahyu pertama ini mengisyaratkan perintah untuk mengkaji ilmu.
Kajian-kajian tersebut meliputi tiga aspek, yaitu mengenai objek-objek yang
menjadi kajian ilmu, bagaimana cara memperoleh ilmu dan bagaimana
pemanfaatan dan pengembangan ilmu menurut pandangan al-Qur`an. (Khotimah,
2014: 71-72)
5.1.1.2 Pengertian Ilmu Pengetahuan dan Ruang Lingkupnya

Term ilmu dalam bahasa Arab berasal kata kerja (fi’il) ‘alima, bentuk
mashdar (bentuk kata benda abstrak) dari yang berarti tahu atau mengetahui, dan
dalam bentuk fa’il (bentuk kata benda pelaku/subjek) ‘alim, yaitu orang yang
mengetahui/ berilmu, jamaknya ulama, dan dalam bentuk maf’ul (yang menjadi
obyek) ilmu disebut ma’lum, atau yang diketahui. Dalam bahasa Inggris Ilmu
biasanya dipadankan dengan kata science, sedang pengetahuan dengan
knowledge. Dalam bahasa Indonesia kata science umumnya diartikan Ilmu tapi
sering juga diartikan dengan Ilmu Pengetahuan, meskipun secara konseptual
mengacu paada makna yang sama. Sedangkan menurut cakupannya pertama-tama
ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut segala pengetahuan ilmiah
yang dipandang sebagai satu kebulatan, dalam arti ini ilmu mengacu pada ilmu
pada umumnya (sience in general).
Dalam tinjauan Islam, pengertian ilmu menunjuk pada masing-masing
bidang pengetahuan yang mempelajari pokok persoalan tertentu. Dalam arti ini
ilmu berarti sesuatu cabang ilmu khusus, seperti ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu
tafsir dan lain sebagainya. Ilmu dalam pengertian yang seluas-luasnya menurut
Imam al-Ghazali mencakup, ilmu Syar‘iyyah dan ilmu Ghairu Syar‘iyyah. Ilmu
Syar‘iyyah adalah ilmu yang berasal dari para Nabi dan wajib dutuntut dan
dipelajari oleh setiap Muslim. Di luar ilmu-ilmu yang bersumber dari para Nabi
tersebut, al-Ghazali mengelompokkan ke dalam kategori ghairu syar‘iyyah. Imam
al- Ghazali juga mengklasifikasikan Ilmu dalam dua kelompok yaitu: (1) Ilmu
Fardu A’in, dan (2) Ilmu Fardu Kifayah. Ilmu Fardu A’in adalah ilmu tentang
cara amal perbuatan sesuai syari’at, dengan segala cabangnya, seperti yang
tercakup dalam rukun Islam. Sedangkan Ilmu Fardu Kifayah ialah tiap-tiap ilmu
yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakan urusan duniawi, yang
mencakup : ilmu kedokteran, ilmu berhitung untuk jual beli, ilmu pertanian, ilmu
politik, bahkan ilmu menjahit, yang pada dasarnya ilmu-ilmu yang dapat
membantu dan penting bagi usaha untuk menegakan urusan dunia.
Dalam perspektif Filsafat Ilmu, pengertian ilmu sekurang-kurangnya
mencakup tiga hal, yaitu : pengetahuan, aktifitas dan metode. Dalam hal yang
pertama ini ilmu sering disebut pengetahuan. Menurut Ziauddin Sardar juga
berpendapat bahwa ilmu atau sains adalah “cara mempelajari alam secara obyektif
dan sistematik serta ilmu merupakan suatu aktifitas manusia. Kemudian menurut
John Biesanz dan Mavis Biesanz dua sarjana ilmu sosial, mereka mendefinisikan
ilmu sebagai suatu cara yang teratur untuk memperoleh pengetahuan (an
organized way of oftening knowledge) dari pada sebagai kumpulan teratur pada
pengetahuan. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa ilmu mempunyai
pengertian sebagai pengetahuan, aktivitas dan metode. Tiga bagian ini satu sama
lain tidak saling bertentangan, bahkan sebaliknya, ketiga hal itu merupakan
kesatuan logis yang mesti ada secara berurutan. Ilmu tidak mungkin muncul tanpa
aktivitas manusia, sedangkan aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode
tertentu yang relevan dan akhirnya aktivitas dan metode itu mendatangkan
pengetahuan yang sistematis.
Menurut Muslim A. Kadir, “ilmu merupakan kumpulan sistematis
sejumlah pengetahuan tentang alam semesta yang diperoleh melalui kegiatan
berfikir”. Sebagai produk pikir maka ilmu Islam ini juga mengalami
perkembangan sesuai dengan kondisi dan situasi social budaya umat Islam. Oleh
karena itu ilmu yang meliputi seluruh aspek tentang alam semesta ini sewajarnya
bila bersifat terbuka, artinya ilmu pengetahuan itu sendiri dapat menerima suatu
kebenaran dari luar, sehingga ilmu sendiri dapat semakin komprehensif.
Pemahaman yang teratur tentang ilmu, dengan demikian juga diharapkan menjadi
lebih jelas ialah pemaparan menurut tiga ciri pokok sebagai serangkaian kegiatan
manusia atau aktivitas, dan proses, sebagai tata tertib tindakan pikiran atau metode
dan sebagai keseluruhan hasil yang dicapai atau produk (pengetahuan).
Berdasarkan tiga kategori tersebut, yakni: proses, prosedur dan produk yang
kesemuanya bersifat dinamis dan berkembang menjadi aktivitas penelitian,
metode kerja, dan hasil penelitian. Dengan demikian ilmu dalam perspektif ilmiah
ialah : serangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan metode
ilmiah, dan menghasilkan pengetahuan (teoritis atau praktis) yang sistematis
tentang segala sesuatu yang ada (gejalanya) dengan tujuan mencapai kebenaran.
Dalam perspektif kajian Islam, ilmu pengetahuan mengandung pengertian
yang menyeluruh dan berkesinambungan dan nilai yang tidak dapat dipisahkan.
Termasuk dalam konteks ini, ilmu sains dan teknologi adalah antara cabang ilmu
pengetahuan yang memberi manfaat dan faedah besar kepada kelangsungan hidup
manusia di dunia dan akhirat. (Surifandi, 2014: 63-65)
5.1.2 Pengembangan dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Menurut Pandangan Islam
5.1.2.1 Pengembangan Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Al-
Qur’an

Setidaknya ada beberapa ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan tentang


metodologi dalam menelaah ilmu pengetahuan:

Observasi (Pengamatan)
Al-Qur`an dalam berbagai ayatnya senantiasa mendesak manusia untuk
mengadakan observasi terhadap ciptaan-Nya. Di antaranya:
ٓ ٰ ‫ق هّٰللا ُ ِم ۡن َش ۡى ٍء ۙ َّواَ ۡن ع‬
‫َسى اَ ۡن‬ َ َ‫ض َو َما َخل‬ ‫ت السَّمٰ ٰو ِ اۡل‬ ِ ‫اَ َولَمۡ يَ ۡنظُر ُۡوا ِف ۡى َملَـ ُك ۡو‬
ِ ‫ت َوا َ ۡر‬
‫ى َح ِد ۡي ٍۢ ٍـ‬
َ‫ۢث بَ ۡعد َٗه ي ُۡؤ ِمنُ ۡون‬ َ ‫يَّ ُك ۡونَ قَ ِد ۡاقت ََر‬
ِّ َ ‫ب اَ َجلُهُمۡ‌ ۚ فَبِا‬
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala
sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan
mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah al-
Qur’an itu?” (Q.S. Al-A’raf (7) : 185)
Dalam ayat tersebut, al-Qur`an mengemukakan tema ayat yang bersifat
sinkronis, artinya berupa pandangan tentang eksistensi langit, bumi, manusia dan
sebagainya. Berikutnya adalah:

َ‫ض يَ ُمرُّ ۡونَ َعلَ ۡيهَا َوهُمۡ ع َۡنهَا ُم ۡع ِرض ُۡون‬ ‫َو َكاَي ِّۡن ِّم ۡن ٰايَ ٍة فِى السَّمٰ ٰو ِ اۡل‬
ِ ‫ت َوا َ ۡر‬
“Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang
mereka melaluinya, sedang mereka berpaling dari padanya.” (Q.S. Yusuf (12) :
105)
ۡ ‫هّٰللا‬ ۡ
ِ ‫الَّ ِذ ۡينَ يَذ ُكر ُۡونَ َ قِيَا ًما َّوقُع ُۡودًا َّوع َٰلى ُجنُ ۡوبِ ِهمۡ َويَتَفَ َّكر ُۡونَ فِ ۡى خَل‬
ِ ‫ق السَّمٰ ٰو‬
‫ت‬
ِ َّ‫اب الن‬
‫ار‬ َ ‫اطاًل ۚ س ُۡب ٰحنَكَ فَقِنَا َع َذ‬ ِ َ‫ض َربَّنَا َما خَ لَ ۡقتَ ٰه َذا ب‬
‌ِۚ ‫َوااۡل َ ۡر‬
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
(Q.S. Al-Imran (3) : 191)
Tema kedua ayat di atas bersifat diakronis, artinya berupa pandangan
tentang proses penciptaan dan peristiwa-peristiwa pada masa lalu maupun yang
akan datang. Bila dicermati lebih mendalam, tiada satu pun ciptaan Allah yang
tidak mengandung maksud dan tujuan. Mulai dari penciptaan makhluk yang
sangat sederhana, hingga penciptaan bintang-bintang di ruang angkasa. Untuk
mengungkap rahasia itu semua, diperlukan pemikiran yang mendalam.
Dalam pengembangan ilmu pengetahuan, observasi dan meniru mekanisme
kerja merupakan hal yang lazim. Misalnya, meniru konsep fungsi sayap dari ekor
burung dalam pembuatan pesawat terbang, capung dalam design helikopter, ikan
paus dalam pembuatan kapal selam dan lain sebagainya.
Dalam metode observasi, meniru dan eksperimentasi semata-mata dalam
pengembangan sains dan teknologi dirasa belum cukup. Untuk itu perlu adanya
kemampuan imajinasi yang kuat, analisis dan sintesa, terutama dalam hal-hal yang
tidak mungkin melalui observasi saja.

Eksplorasi (Pemaparan)
Pada bagian ini, ilmu astronomi menempati posisi penting karena ia adalah
ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan gerakan, penyebaran dan sifat benda-
benda samawi. Di antara ayat yang mewakili al-Qur`an dalam pembahasan ini
adalah:

ٍ ‫ض اَل ٰ ٰي‬
َ‫ت لِّـقَ ۡو ٍم يَّتَّقُ ۡون‬ ‫ق هّٰللا ُ فِى السَّمٰ ٰو ِ اۡل‬ ِ َ‫ف الَّ ۡي ِل َوالنَّه‬
َ َ‫ار َو َما َخل‬ ۡ ‫اِ َّن فِى‬
ِ ‫ت َوا َ ۡر‬ ِ ‫اختِاَل‬
“Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang
diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda
(kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwa.” (Q.S. Yunus (10) : 6)
‫) َوال َّش ْمسُ تَجْ ِري لِ ُم ْستَقَرٍّ لَهَا‬٣٧ ( َ‫ظلِ ُمون‬ ْ ‫ار فَإ ِ َذا هُ ْم ُم‬ َ َ‫َوآيَةٌ لَهُ ُم اللَّ ْي ُل نَ ْسلَ ُخ ِم ْنهُ النَّه‬
( ‫ـالعُرْ جُو ِن ْالقَـ ِد ِيم‬
ْ ‫َاز َل َحتَّى عَا َد َكـ‬ ِ ‫) َو ْالقَ َم َر قَ َّدرْ نَاهُ َمن‬٣٨( ‫يز ْال َعلِ ِيم‬ ِ ‫َذلِكَ تَ ْق ِدي ُر ْال َع ِز‬
ٍ ‫ـار َو ُكــلٌّ فِي فَلَـ‬
‫ـك‬ ُ ِ‫) ال ال َّش ْمسُ يَ ْنبَ ِغي لَهَــا أَ ْن تُـ ْد ِركَ ْالقَ َمـ َر َوال اللَّ ْيـ ُل َسـاب‬٣٩
ِ ‫ق النَّهَـ‬
)٤٠( َ‫يَ ْسبَحُون‬
“37. Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam;
kami tanggalkan siang dari malam itu, Maka dengan serta merta mereka berada
dalam kegelapan. 38. Dan matahari berjalan ditempat peredarannya.
Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. 39. Dan
telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai
ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. 40.
Tidaklah mungkin bagi Matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat
mendahului siang dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (Q.S.
Yaasiin (36) : 37-40)
Kedua ayat tersebut memaparkan fenomena sesuai dengan hukum alam
(sunnatullah) yang berlaku, atau masih dalam tahap pemaparan (description). Bila
fenomena berupa pergantian siang dan malam akan diangkat sebagai suatu metode
ilmu pengetahuan maka seseorang harus menempuh prosedur sebagaimana yang
ditempuh dalam ilmu pengetahuan.

Eksperimen (Percobaan)
Eksperimen merupakan kelanjutan dari metode-metode sebelumnya
(observasi dan eksplorasi). Dengan metode ini telah muncul berbagai cabang ilmu
di antaranya geologi. Geologi mempelajari gerak bumi, lapisan-lapisannya, serta
hubungan dan perubahannya. Dalam hal ini, al-Qur`an memberikan dorongan
kuat untuk melakukan penelitian tentang adanya kebenaran di balik fenomena
fisik dari alam semesta. Pada gilirannya, hal ini akan membawa penemuan-
penemuan baru di dalam ilmu pengetahuan mengenai sejarah alam, termasuk
geologi, yang mempelajari tentang terjadinya perubahan bentuk secara besar-
besaran pada lapisan atas bumi, strukturnya, perubahan cuaca, fosil, batu-batu
karang dan sebagainya. Ayat berikut ini dapat dijadikan penanda untuk menggali
dan mengembangkan ilmu:

)٧( ‫) َو ْال ِجبَا َل أَوْ تَادًا‬٦( ‫ض ِمهَادًا‬


َ ْ‫أَلَ ْم نَجْ َع ِل األر‬
“Bukankah kami Telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? Dan gunung-
gunung sebagai pasak?” (Q.S. An-Naba (78) : 6-7).
ۢ ۡ َ ‫﴾ َوااۡل َ ۡر‬
ٍ ۢ ‫ض َمد َۡد ٰنهَا َواَ لقَ ۡينَا فِ ۡيهَا َر َوا ِس َى َواَ ۡنبَ ۡتنَا فِ ۡيهَا ِم ۡن ُك ِّل ز َۡو‬
ٍ ‫ج بَ ِه ۡي‬
۷﴿ ۙ ‫ج‬
“Dan kami hamparkan bumi itu dan kami letakkan padanya gunung-gunung yang
kokoh dan kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah
dipandang mata.” (Q.S. Qaaf (50): 7)
Penalaran dan Intuisi
Penalaran terhadap proses kejadian manusia melahirkan ilmu kedokteran
dan dengan intuisi manusia mengenal ilmu jiwa. Secara fisik manusia dipelajari
melalui ilmu kedokteran. Isyarat mengenai hal itu tercantum dalam surat di bawah
ini:

‫ق * ا ْق َر ْأ َو َر ُّب َك اأْل َ ْك َر ُم‬


ٍ َ‫سانَ ِمنْ َعل‬ َ َ‫ق * َخل‬
َ ‫ق اإْل ِ ْن‬ ْ ‫* ا ْق َر ْأ بِا‬
َ َ‫س ِم َربِّكَ الَّ ِذي َخل‬
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah dan Tuhanmulah yang
Maha Pemurah.” (Q.S. Al-`Alaq (96) : 1-3)

ِ ‫﴾ي َّۡخ ُر ُج ِم ۡۢن بَ ۡي ِن الصُّ ۡل‬۶﴿‫ق‬


‫ب‬ ٍ ۙ ِ‫ق ِم ۡن َّمٓا ٍء دَاف‬ ُ ‫فَ ۡليَ ۡنظُ ِر ااۡل ِ ۡن َس‬
َ ِ‫﴾ ُخل‬۵﴿ َؕ‫ان ِم َّم ُخلِق‬
﴾۷‫بؕ﴿ـ‬ ِ ‫َوالتَّ َرٓا ِٕٕٮِـ‬
“5. Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? 6. Ia
diciptakan dari air yang dipancarkan, 7. Yang keluar dari antara tulang sulbi
laki-laki dan tulang dada perempuan.” (Q.S. Ath- Thariq (86) : 5-7).
Di samping unsur jasmani yang menjadi pangkal tolak keberadaan manusia,
unsur jiwa juga tidak luput dari perhatian al-Qur`an. Allah berfirman:

ِ ‫﴾ َوفِ ۡۤى اَ ۡنفُ ِس ُكمۡ‌ؕ اَفَاَل تُ ۡب‬


۲۱﴿ َ‫صر ُۡون‬
“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
(Q.S. Adz-Dzariyat (51) : 21).
‫) َوقَ ْد‬9( ‫) قَ ْد أَ ْفلَ َح َم ْن زَ َّكاهَا‬8( ‫) فَأ َ ْلهَ َمهَا فُجُو َرهَا َوتَ ْق َواهَا‬7( ‫س َو َما َس َّواهَا‬ٍ ‫َونَ ْف‬
‫اب َم ْن َدسَّاهَا‬َ َ‫خ‬
“7. Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), 8. Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. 9.
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, 10. Dan
Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.S. As-Syams (91) : 7-
10).
Di dalam al-Qur`an di samping metode yang bersifat empirik, masih ada
proses pengembangan ilmu dengan metode ilham yang hanya diberikan pada
beberapa orang saja yang dipilih Allah tanpa membedakan dari suku bangsa
manapun. Itu artinya, bahwa Allah memberikan ilmu kepada siapa saja yang
memiliki kehendak dan dikehendaki-Nya. Dengan asumsi bahwa penemuan ilmu
pengetahuan dengan metode apa pun merupakan rahmat dari Allah melalui orang-
orang yang terpilih karena pada hakikatnya semua ilmu itu tidak lain dari-Nya
semata. Allah berfirman:
ۡ َ‫ض ُل هّٰللا ِ ي ُۡؤتِ ۡي ِه َم ۡن يَّ َشٓا ُ‌ء ؕ َوهّٰللا ُ ُذو ۡالف‬
۴﴿ ‫ض ِل ۡال َع ِظ ۡي ِم‬ ۡ َ‫﴾ ٰذ لِكَ ف‬
“Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya;
dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Q.S. Al-Jumuah (62) : 4).
Pada dasarnya, betapa pun hebatnya penemuan ilmu pengetahuan,
secanggih apa pun, manusia tetap tidak dapat menciptakan sesuatu. Dengan kata
lain manusia hanya mengubah bentuk, warna atau wujud dari sesuatu yang sudah
ada. Manusia bisa membuat robot, komputer dan lain sebagainya, namun
materinya sudah lebih dulu diciptakan oleh Allah. Manusia tidak akan pernah
dapat menciptakan makhluk hidup sekecil apa pun. Manusia hanya dapat
merekayasa gen, tetapi gen itu telah diciptakan Allah sebelumnya. Oleh karena
itu, harus ada kesadaran teologis untuk selalu memohon tambahan ilmu kepada
Allah Swt. (Khotimah, 2014: 76-80)

5.1.2.2 Sumber dan Arah Perkembangan Ilmu pengetahuan

Al-Qur’an menunjukkan empat sumber untuk memperoleh ilmu


pengetahuan: Al-Qur’an dan As-Sunnah, Alam Semesta, Diri manusia sendiri,
Sejarah Umat Manusia.
Adapun arah dan tujuan ilmu pengetahuan bahwa ayat al-Qur’an begitu
banyak yang berbicara tujuan ilmu seperti untuk mengenal; tanda-tanda
kekuasaan-Nya, menyaksikan kehadirna-Nya diberbagai fenomena yang kita
amati mengagungkan Allah serta bersyukur kepada-Nya di samping itu, al-Qur’an
menyebutkan pula tiga hal lainnya dalam mengembangkan ilmu antara lain;
 Ilmu pengetahuan harus menemukan keteraturan (sistem), hubungan sebab
akibat dan tujuan di alam semesta (Q.S. Al-Mulk (67) : 3)
 Ilmu harus dikembangkan untuk mengambil manfaat dalam rangka
mengabdi kepada Allah, sebab Allah swt, telah menundukkan segala apa
yang ada di langit dan di bumi untuk kepentingan manusia. (Q.S. Al-Hajj
(22) : 65)
 Ilmu harus dikembangkan dengan tidak menimbulkan kerusakan di bumi.
(Q.S. Al-A’raf (7) : 56). (Hasyim, 2013: 133-134)
5.1.3 Konsep Ilmu Pengetahuan Menurut Pandangan Islam

Kewajiban pertama yang Allah perintahkan kepada manusia adalah


mempelajari ilmu. Allah ta’ala berfirman:

ۡ‫ت ؕ َوهّٰللا ُ يَ ۡعلَ ُم ُمتَقَلَّبَ ُكم‬ ۡ ‫اعلَمۡ اَنَّهٗ اَل ۤ اِ ٰلهَ اِاَّل هّٰللا ُ َو‬
‌ِ ‫است َۡغفِ ۡر لِ َذ ۡۢنبِكَ َولِ ۡل ُم ۡؤ ِمنِ ۡينَ َو ۡال ُم ۡؤ ِم ٰن‬ ۡ َ‫ف‬
ۡ‫َو َم ۡث ٰوٮ ُكم‬
“Maka ketahuilah (dapatkanlah ilmu), bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang
berhak disembah secara hak melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi
dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, lai-laki dan perempuan. Dan
Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu” (Q.S.
Muhammad (47) : 19)

Konsep Islam Mengenai Kesehatan


Syariat Islam datang membawa semua prinsip-prinsip kedokteran. Dalam al-
Qur’an dan hadis-hadis rasul terdapat penjelasan mengenai banyak penyakit
kejiwaan dan badan sekaligus menjelaskan terapinya yang bersifat material dan
moral. Allah ta’ala berfirman:
ٰ ‫ونُن َِّز ُل منَ ۡالـقُ ۡر ٰان ما هُو شفَٓا ٌء َّور ۡحمةٌ لِّ ۡـلم ۡؤمن ۡي ۙنَ‌ واَل يز ۡي ُد‬
۸﴿ ‫الظّلِ ِم ۡينَ اِاَّل خَ َسارًا‬ ِ َ َ ِِ ُ َ َ ِ َ َ ِ ِ َ
۲﴾
“Dan Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman” (Q.S. Al-Isra’ (17) : 82)
Rasulullah bersabda:
“Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit melainkan Allah turunkan pula
obatnya. Diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak ditangkap oleh
orang yang tidak mengetahuinya.”
Dalam kitab, Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil Ibad karangan Imam Ibnu al-
Qoyyim terdapat penjelasan secara rinci mengenai hal itu. Silakan dirujuk kembali
kitab tersebut karena termasuk di antara kitab-kitab Islam yang paling bermanfaat,
paling autentik dan paling lengkap dalam menjelaskan Islam dan perjalanan hidup
Rasulullah.

Konsep Islam Mengenai Interaksi Antarmanusia


Allah memerintahkan seorang Muslim untuk menjadi manusia yang saleh
dan berupaya untuk menyelamatkan umat manusia dari kegelapan menuju cahaya
Islam. Ia memerintahkan supaya ikatan yang menyambungkan antara seorang
Muslim dengan lainnya hanyalah ikatan iman kepada-Nya. Sehingga ia akan
mencintai hamba-hamba Allah yang saleh lagi taat kepada Tuhan dan rasul
sekalipun mereka itu orang terjauh, kafir dan orang-orang yang membangkang.
Inilah ikatan yang menghimpun antara dua pihak dan menyatukan antara dua sisi
di mana amat berbeda dengan ikatan keturunan, tanah air dan kepentingan-
kepentingan materialistik karena semua itu akan cepat memudar. Dalam kaitannya
dengan hal ini Allah berfirman:

‫اَل ت َِج ُد قَ ۡو ًما ي ُّۡؤ ِمنُ ۡونَ بِاهّٰلل ِ َو ۡاليَ ۡو ِم ااۡل ٰ ِخ ِر يُ َوٓا ُّد ۡونَ َم ۡن َحٓا َّد هّٰللا َ َو َرس ُۡولَهٗ َولَ ۡو َكانُ ۡۤوا‬
ۡ‫َب فِ ۡى قُلُ ۡوبِ ِه ُم ااۡل ِ ۡي َمانَ َواَيَّ َدهُم‬ ٓ ٰ ُ‫ٰابٓاءهُمۡ اَ ۡو اَ ۡبنَٓاءهُمۡ اَ ۡو ا ۡخوانَهُمۡ اَ ۡو َعش ۡيرتَهُمۡ‌ؕ ا‬
َ ‫ول ِٕٕٮِـكَ َكت‬ َ ِ َ ِ َ َ َ
‫هّٰللا‬ ٍ ّ‫ح ِّم ۡن ‌هُ ؕ َوي ُۡد ِخلُهُمۡ َج ٰن‬
ۡ‫ض َى ُ ع َۡنهُم‬ ِ ‫ت ت َۡج ِر ۡى ِم ۡن ت َۡحتِهَا ااۡل َ ۡن ٰه ُر ٰخلِ ِد ۡينَ فِ ۡيهَا‌ ؕ َر‬ ٍ ‫بِر ُۡو‬
َ‫ب هّٰللا ِ هُ ُم ۡال ُم ۡفلِح ُۡون‬ ‫هّٰللا‬ ٓ
َ ‫ك ِح ۡزبُ ‌ِ ؕ اَاَل ۤ اِ َّن ِح ۡز‬ َ ‫ول ِٕٕٮِـ‬ٰ ُ‫َو َرض ُۡوا ع َۡن ‌هُ ؕ ا‬

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-
Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-
saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah
menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan
pertolongan [1463] yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke
dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap
(limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung. [1463] Yang
dimaksud dengan "pertolongan" ialah kemauan bathin, kebersihan hati,
kemenangan terhadap musuh dan lain lain.” (Q.S. Al Mujadilah (58) : 22).
ۤ
َ ‫ٰياَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَ لَ ۡق ٰن ُكمۡ ِّم ۡن َذ َك ٍر َّواُ ۡن ٰثى َو َج َع ۡل ٰن ُكمۡ ُشع ُۡوبًا َّوقَبَٓا ِٕٕٮِـ َل لِتَ َع‬
ۡ‫ارفُ ۡوا‌ ؕ اِ َّن اَ ۡك َر َم ُكم‬
۱۳﴿ ‫﴾ ِع ۡن َد هّٰللا ِ اَ ۡت ٰقٮ ُكمۡ‌ ؕ اِ َّن هّٰللا َ َعلِ ۡي ٌم َخبِ ۡي ٌر‬
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al Hujurat
(49) : 13).
Konsep Islam Mengenai Kerjasama dan Gotong Royong Sosial
Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk kerjasama dan saling
tolong-menolong, baik dalam hal moral maupun material sebagaimana telah
dijelaskan pada bab zakat dan sedekah. Ia mengharamkan seorang Muslim
menyakiti sesama manusia sekecil apa pun.
Allah mewajibkan orang Mukmin mencintai saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri dan membenci bagi saudaranya apa yang dia benci untuk
dirinya. Allah ta’ala berfirman:

َ‫صلِح ُۡوا بَ ۡينَ اَخ ََو ۡي ُكمۡ ۚ‌ َواتَّقُوا هّٰللا َ لَ َعلَّ ُكمۡ تُ ۡر َح ُم ۡون‬
ۡ َ ‫اِنَّ َما ۡال ُم ۡؤ ِمنُ ۡونَ اِ ۡخ َوةٌ فَا‬
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-Hujurat (49) : 10)

ِ َّ‫ح بَ ۡينَ الن‬


‌‫اس‬ ۡ ِ‫ف اَ ۡو ا‬
ٍ ۢ ‫صاَل‬ َ ِ‫اَل خ َۡي َر فِ ۡى َكثِ ۡي ٍر ِّم ۡن نَّ ۡج ٰوٮهُمۡ اِاَّل َم ۡن اَ َم َر ب‬
ٍ ‫ص َدقَ ٍة اَ ۡو َم ۡعر ُۡو‬
۱۱۴﴿ ‫ت هّٰللا ِ فَ َس ۡوفَ نُ ۡـؤتِ ۡي ِه اَ ۡجرًا َع ِظ ۡي ًما‬ِ ‫ضا‬ َ ‫ك ۡابتِغَٓا َء َم ۡر‬ َ ِ‫﴾ؕ َو َمن ي َّۡف َع ۡل ٰذ ل‬
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-
bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat
ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang
berbuat demikian karena mencari keridhoan Allah maka Kami memberi
kepadanya pahala yang besar.” (Q.S. An-Nisa (4) : 114). (Khotimah, 2014: 80-82)

5.1.4 Cara Memperoleh Ilmu Pengetahuan Menurut Pandangan


Islam

Cara memperoleh ilmu dalam pandangan al-Qur`an sebagaimana


diisyaratkan dalam wahyu pertama:

َ ‫* الَّ ِذي َعلَّ َم بِا ْلقَلَ ِم * َعلَّ َم اإْل ِ ْن‬


‫سانَ َما لَ ْم يَ ْعلَ ْم‬
“Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Ia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. Al-‘Alaq (96) : 4-5)
Ayat itu mengisyaratkan bahwa, ada dua cara memeroleh ilmu: Allah
mengajar dengan pena yang telah diketahui oleh manusia lain sebelumnya, dan
Allah mengajar manusia tanpa pena yang belum diketahuinya. Cara pertama,
adalah mengajar dengan alat, atau atas dasar usaha manusia. Cara kedua,
mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Walaupun berbeda, keduanya
berasal dari satu sumber yaitu Allah Swt.15 Ilmu yang diperoleh manusia atas
dasar usaha manusia disebut ilmu kasbi. Allah Swt telah membekali manusia
sarana-sarana yang dapat digunakan untuk usaha mencari ilmu ini, yaitu panca
indra, akal dan hati. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur`an:
ٰ ‫َوهّٰللا ُ اَ ۡخ َر َج ُكمۡ ِّم ۡۢن بُطُ ۡو ِن اُ َّم ٰهتِ ُكمۡ اَل ت َۡعلَ ُم ۡونَ َش ۡيــٔـًًٔـا ۙ َّو َج َع َل لَـ ُك ُم السَّمۡ َع َوااۡل َ ۡب‬
‫ص َر‬
۷۸﴿ َ‫﴾ َوااۡل َ ۡفٕـِِٕـ َد ‌ةَ ۙ لَ َعلَّ ُكمۡ ت َۡش ُكر ُۡون‬

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun dan ia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur.” (Q.S. An-Nahl (16) : 78)
Ada dua aliran pengetahuan, dalam hubungannya dengan di atas. Pertama,
adalah idealisme atau lebih populer dengan sebutan rasionalisme; suatu aliran
pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal, idea, kategori, form, sebagai
sumber ilmu pengetahuan. Di sini peran panca indra dinomorduakan. Menurut
aliran ini, pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Panca indra
berfungsi hanya untuk menangkap objek sehingga diperoleh data-data dari alam
nyata dan akallah yang mengolah data-data tersebut sehingga terbentuk
pengetahuan. Kedua, adalah realisme atau empirisme yang lebih menekankan
peran ilmu pengetahuan. Di sini peran akal dinomorduakan. Menurut aliran ini,
pengetahuan yang benar diperoleh melaui pengalaman panca indra terhadap
objek-objek yang nyata.
Adapun metode yang disodorkan al-Qur`an dalam memeroleh ilmu kasbi
ini, di antaranya adalah sebagaimana tersirat dalam:

‫ال اَ ۡۢنبِـٔـُـ ُۡٔونِ ۡى بِا َ ۡس َمٓا ِء ٰهٓؤُٓاَل ِء اِ ۡن‬ ٓ


َ َ‫ضهُمۡ َعلَى ۡال َم ٰل ِٕٕٮِـ َك ِة فَق‬
َ ‫َو َعلَّ َم ٰا َد َم ااۡل َ ۡس َمٓا َء ُكلَّهَا ثُ َّم َع َر‬
۳۱﴿ َ‫ص ِدقِ ۡين‬ ٰ ۡ‫﴾ ُك ۡنتُم‬
“Dan ia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang
benar!” (Q.S. Al-Baqoroh (2) : 31)
Setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam ayat tersebut; Adam
diajari tentang nama-nama benda menunjukkan proses belajar menghafal,
dilanjutkan dengan proses mengingat dengan menyebutkan kembali nama-nama
tersebut. Metode ini telah dibuktikan oleh para ahli terutama di bidang ilmu jiwa
melalui beberapa uji coba sehingga ditemukan bahwa proses terjadinya ilmu
pengetahuan melalui tahapan kognisi-afeksi-psikomotorik.
Selanjutnya al-Qur`an menekankan perlunya pengamatan langsung pada
objek. Hal ini antara lain dapat dilihat ayat berikut:

‫ار ۡى َس ۡو َءةَ اَ ِخ ۡي ِه‌ؕ قَا َل يَا َو ۡيلَ ٰتٓى‬ ِ ‫ض لِي ُِريَهٗ َك ۡيفَ ي َُو‬ ‫اۡل‬
ِ ‫ث فِ ۡى ا َ ۡر‬ ُ ‫ث هّٰللا ُ ُغ َرابًا ي َّۡب َح‬
َ ‫فَبَـ َع‬
َ‫صبَ َح ِمنَ ال ٰنّ ِد ِم ۡي ۛن‬ ‌ۡۚ ‫ى َس ۡو َءةَ اَ ِخ‬
ۡ َ ‫ى فَا‬ ِ ‫ب فَا ُ َو‬
َ ‫ار‬ ِ ‫ت اَ ۡن اَ ُك ۡونَ ِم ۡث َل ٰه َذا ۡال ُغ َرا‬ُ ‫اَ َع َج ۡز‬
“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk
memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat
saudaranya [410]. Berkata Qabil: “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak
mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat
saudaraku ini?” Karena itu jadilah ia seorang di antara orang-orang yang
menyesal.” (Q.S. Al-Maidah (5) : 31).
Lebih lanjut, ilmu yang diperoleh manusia tanpa usaha aktif disebut ilmu
ladunni. Wahyu, ilham, intuisi, firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci
jiwanya, atau apa yang diduga kebetulan yang dialami oleh ilmuwan yang tekun,
semuanya merupakan bentuk-bentuk pengajaran Allah yang tanpa qalam yang
ditegaskan oleh wahyu pertama tersebut. 17 Adanya ilmu ladunni ini sebagaimana
termaktub dalam al-Qur`an:

۶۵﴿ ‫﴾فَ َو َجدَا ع َۡبدًا ِّم ۡن ِعبَا ِدن َۤا ٰات َۡي ٰنهُ َر ۡح َمةً ِّم ۡن ِع ۡن ِدنَا َو َعلَّمۡ ٰنهُ ِم ۡن لَّ ُدنَّا ِع ۡل ًما‬
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami,
yang telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang telah kami
ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Q.S. Al-Kahfi (18) : 65). (Khotimah,
2014: 74-76)

5.2 Imunisasi Menurut Pandangan Islam


5.2.1 Hukum Asal Imunisasi
Imunisasi hukumnya boleh dan tidak terlarang, karena imunisasi termasuk
penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi. Rasulullah SAW bersabda:

‫ك ْاليَوْ ِم ُس ٌّم َوالَ ِسحْ ٌر‬


َ ِ‫ض َّرهُ فِ ْي َذ ل‬ ِ ‫صب ََّح ُك َّل يَوْ ٍم َس ْب َع تَ َم َرا‬
ُ َ‫ت َعجْ َو ٍة لَ ْم ي‬ َ َ‫َم ْن ت‬

“Barang siapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia terhindar
sehari itu dari racun dan sihir.” (HR. Al-Bukhari : 5768 dan Muslim : 4702)
Hadits ini menunjukkan secara jelas tentang disyari’atkannya mengambil
sebab untuk membentengi diri dari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga kalau
dikhawatirkan terjadi wabah penyakit lalu diimunisasi untuk membentengi diri
dari wabah yang menimpa maka hukumnya boleh sebagaimana halnya boleh
berobat tatkala terkena penyakit. (Yusuf, 2009)

5.2.2 Kaedah Fikih Memahami Hukum Imunisasi


5.2.2.1 Perubahan Benda Najis atau Haram Menjadi Suci
(Istihalah)

Istihalah secara bahasa memiliki dua makna. Salah satu maknanya adalah,

‫تغيّر ال ّشيء عن طبعه ووصفه‬

“Berubahnya sesuatu dari tabi’at asal atau sifatnya yang awal.”


Yang termasuk dalam istihalah adalah berubahnya sesuatu yang najis.
Istihalah bisa terjadi pada ‘ain (zat) najis, seperti kotoran, khomr (bagi yang
mengatakannya najis), dan babi. Istihalah bisa terjadi pula pada ‘ain (zat) najis
yang berubah sifat-sifatnya. Bisa jadi dia berubah karena dibakar atau karena
berubah menjadi cuka. Atau mungkin perubahan itu terjadi karena ada sesuatu
yang suci yang bercampur dengannya. Seperti contohnya babi yang najis yang
jatuh dalam garam, akhirnya menjadi garam.

Para ulama telah menyepakati bahwa apabila khomr berubah menjadi cuka
dengan sendirinya (karena dibiarkan begitu saja), maka khomr tersebut menjadi
suci. Namun para ulama berselisih jika khomr tadi berubah menjadi cuka melalui
suatu proses tertentu.
Adapun untuk najis yang lainnya, apabila ia berubah dari bentuk asalnya,
maka para ulama berselisih akan sucinya.

Ulama Hanafiyah dan Malikiyah, juga menjadi salah satu pendapat Imam
Ahmad, menyatakan bahwa najis pada ‘ain (zat) dapat suci dengan istihalah. Jika
najis sudah menjadi abu, maka tidak dikatakan najis lagi. Garam (yang sudah
berubah) tidak dikatakan najis lagi walaupun sebelumnya berasal dari keledai,
babi atau selainnya yang najis. Begitu pula dianggap suci jika najis jatuh ke sumur
dan berubah jadi tanah. Misal yang lain, khomr ketika berubah menjadi cuka baik
dengan sendirinya atau dengan proses tertentu dari manusia atau cara lainnya,
maka itu juga dikatakan suci. Hal ini semua dikarenakan zat yang tadi ada sudah
berubah. Aturan Islam pun menetapkan bahwa sifat najis jika telah hilang, maka
sudah dikatakan tidak najis lagi (sudah suci).

Jadi jika tulang dan daging berubah menjadi garam, maka yang dihukumi
sekarang adalah garamnya. Garam tentu saja berbeda statusnya dengan tulang dan
daging tadi.

Perkara semisal ini amatlah banyak. Intinya, istihalah pada zat terjadi jika
sifat-sifat najis yang ada itu hilang.

Adapun ulama Syafi’iyah dan pendapat ulama Hambali yang lebih kuat,
najis ‘ain (zat) tidaklah dapat suci dengan cara istihalah. Jika anjing atau selainnya
dilempar dalam garam, akhirnya mati dan jadi garam, maka tetap dihukumi najis.
Begitu pula jika ada uap yang berasal dari api yang bahannya najis, lalu uap itu
mengembun, maka tetap dihukumi najis.

Dikecualikan dalam masalah ini adalah untuk khomr, yaitu khomr yang
berubah menjadi cuka dengan sendirinya, tidak ada campur tangan. Cuka yang
berasal dari khomr seperti itu dianggap suci. Alasan najisnya khomr tadi adalah
karena memabukkan. Saat jadi cuka tentu tidak memabukkan lagi, maka dari itu
dihukumi suci. Hal ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan para ulama).
Adapun jika khomr berubah menjadi cuka dengan proses tertentu misalnya
ada gas yg masuk, maka ketika itu tidaklah suci.

Dari perselisihan di atas, pendapat yang rojih (kuat) dalam masalah ini
adalah yang menyatakan bahwa suatu zat yang najis yang berubah (dengan
istihalah) menjadi zat lain yang baru, dihukumi suci.

Di antara alasannya adalah karena hukum itu berputar pada ‘illah-nya


(alasan atau sebab). Jika ‘illah itu ada, maka hukum itu ada. Jika sifat-sifat najis
telah hilang, maka hukum najis itu sudah tidak ada. Demikianlah yang dijelaskan
dalam kaedah ushuliyah,

‫ال ُح ْك ُم يَ ُدوْ ُر َم َع ِعلَّتِ ِه ثُبُوْ تًا َو َع َد ًما‬

"Hukum itu berputar pada ‘illahnya. Jika ‘illah itu ada, maka hukum itu ada.
Begitu sebaliknya jika ‘illah itu tidak ada, maka hukum itu tidak ada."
Pendapat inilah yang lebih tepat, apalagi diterapkan di zaman saat ini. Kita
masih ingat bahwa minyak bumi itu asalnya dari bangkai hewan yang terpendam
ribuan tahun. Padahal bangkai itu jelas najis. Jika kita katakan minyak bumi, itu
najis karena berpegang pada pendapat Syafi’iyah dan Hambali, maka jadi
problema untuk saat ini.

Jika seseorang memahami kaedah istihalah ini, ia akan tahu


bagaimanakah menghukumi suatu najis apabila najis tersebut sudah berubah
menjadi benda lain yang tidak nampak lagi atsar-atsarnya (bekas-bekasnya).
(Tuasikal, 2013)

5.2.2.2 Percampuran Benda Najis dan Haram dengan Benda


Suci dan Halal (Istihlak)

Yang dimaksud dengan istihlak adalah bercampurnya benda haram atau


najis dengan benda lainnya yang suci dan halal yang jumlahnya lebih banyak
sehingga menghilangkan sifat najis dan keharaman benda yang sebelumnya najis,
baik rasa, warna dan baunya.
Maksud dari istihlak tersebut terdapat dalam dua dalil berikut:

Hadits pertama: Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda,

‫ْال َما ُء طَهُو ٌر اَل يُنَجِّ ُسهُ َش ْي ٌء‬

“Air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya.”


Hadits kedua: Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

َ َ‫إِ َذا َكانَ اَ ْل َما َء قُلَّتَي ِْن لَ ْم يَحْ ِملْ اَ ْلخَ ب‬


‫ث‬

“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran
(najis).”
Dua hadits di atas menjelaskan bahwa apabila benda yang najis atau haram
bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak
menyisakan warna atau baunya, maka dia menjadi suci.

Jadi suatu saat air yang najis bisa berubah menjadi suci jika bercampur
dengan air suci yang banyak. Tidak mungkin air yang najis selamanya berada
dalam keadaan najis tanpa perubahan. Tepatlah perkataan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, “Siapa saja yang mau merenungkan dalil-dalil yang telah disepakati
dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas baginya bahwa
pendapat inilah yang lebih tepat. Sangat tidak mungkin ada air atau benda cair
yang tidak mungkin mengalami perubahan menjadi suci (tetap najis). Ini sungguh
bertentangan dengan dalil dan akal sehat. Jika ada yang menganggap bahwa
hukum najis itu tetap ada padahal (sifat-sifat) najis telah dihilangkan dengan
cairan atau yang lainnya, maka ini sungguh jauh dari tuntutan dalil dan
bertentangan dengan qiyas yang bisa digunakan.” (Tuasikal, 2013)

5.2.2.3 Darurat membolehkan yang haram


Kaedah ini dibawakan di antaranya oleh Ibnu Nujaim dalam Al Asybah
wan Nazhoir. Beliau menyebutkan kaedah,

‫الضروراتـ تبيح المحظورات‬


“Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang terlarang.”
Contoh penerapan kaedah di atas, dibolehkannya memakan bangkai bagi
ornag yang dalam keadaan darurat. Sebagaimana disebutkan dalam ayat yang
telah lewat,

‫ير َو َما أُ ِه َّل بِ ِه لِ َغي ِْر هَّللا ِ فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغ ْي َر‬ ِ ‫إِنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوال َّد َم َولَحْ َم ْال ِخ ْن ِز‬
‫اغ َواَل عَا ٍد فَاَل إِ ْث َم َعلَ ْي ِه إِ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬ ٍ َ‫ب‬
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi,
dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S.
Al-Baqarah (2) : 173)
Namun kaedah di atas memiliki syarat yang harus dipenuhi tidak sekedar
mendapati bahaya, lantas menerjang yang haram. Beberapa syarat yang mesti
dipenuhi:

1. Yakin akan memperoleh dhoror (bahaya), bukan hanya sekedar sangkaan


atau yang nantinya terjadi. Jadi, seseorang tidak boleh mengonsumsi
bangkai sebelum dhoror (bahaya) itu terjadi, yaitu dalam keadaan khawatir
binasa atau bisa celaka karena rasa lapar yang sangat.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

‫ بَلْ َمتَى‬، ‫ اَل يُ ْكتَفَى فِي ِه بِ ْال َم ِظنَّ ِة‬، ‫ُورةَـ أَ ْم ٌر ُم ْعتَبَ ٌر بِ ُوجُو ِد َحقِيقَتِ ِه‬
َ ‫ضر‬َّ ‫ال‬
‫ َو َمتَى‬، ‫وج ْد‬َ ُ‫َت ْال َم ِظنَّةُ أَوْ لَ ْم ت‬ْ ‫ َس َوا ٌء ُو ِجد‬، ‫ت‬ ْ ‫ُورةُـ أَبَا َح‬ َ ‫ضر‬ َّ ‫َت ال‬ْ ‫ُو ِجد‬
‫ لَ ْم يُبَحْ اأْل َ ْك ُل لِ ُوجُو ِد َم ِظنَّتِهَا بِ َحا ٍل‬، ‫ت‬
ْ َ‫ا ْنتَف‬
“Keadaan darurat baru teranggap ada jika sudah benar-benar ditemui.
Jadi tidak cukup dengan hanya sangkaan. Jika ditemukan keadaan
darurat, maka dibolehkanlah yang haram, baik ada sangkaan ataukah
tidak. Ketika keadaan darurat telah hilang, maka tidak dibolehkan
kembali mengonsumsi yang haram walau dengan suatu sangkaan kala
itu.”
2. Dipastikan bahwa dengan melakukan yang haram dapat menghilangkan
dhoror (bahaya). Jika tidak bisa dipastikan demikian, maka tidak boleh
seenaknya menerjang yang haram. Contoh: Ada yang haus dan ingin
minum khomr. Perlu diketahui bahwa khomr itu tidak bisa menghilangkan
rasa haus. Sehingga meminum khomr tidak bisa dijadikan alasan untuk
menghilangkan dhoror (bahaya).
3. Tidak ada jalan lain kecuali dengan menerjang larangan demi hilangnya
dhoror. Contoh: Ada wanita yang sakit, ada dokter perempuan dan dokter
laki-laki. Selama ada dokter wanita, maka tidak bisa beralih pada dokter
laki-laki. Karena saat itu bukan darurat.
4. Haram yang diterjang lebih ringan dari bahaya yang akan menimpa.
5. Sesuatu yang haram yang dikonsumsi saat darurat diambil sekadarnya.
Jika darurat sudah hilang, maka tidak boleh mengonsumsinya lagi. Maka
para ulama membuat kaedah lagi dalam masalah ini,

‫ما أبيح للضرورة يقدر بقدرها‬

“Sesuatu yang dibolehkan karena keadaan darurat, maka dikonsumsi


sekadarnya saja.“
Kaedah ini adalah maksud ayat,

‫اغ َواَل عَا ٍد فَاَل إِ ْث َم َعلَ ْي ِه‬


ٍ َ‫فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغي َْر ب‬
“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya.” (Q.S. Al Baqarah (2) : 173).
Kata Ibnu Nujaim, orang yang makan bangkai dalam keadaan darurat
hanya mengonsumsi sekadar untuk mempertahankan hidup saja.
Dari kaedah darurat ini beberapa permasalahan kontemporer bisa masuk di
dalamnya dengan tetap memperhatikan syarat-syarat yang telah disampaikan di
atas:

1. Dibolehkannya berobat dengan yang najis jika tidak didapati sesuatu yang
suci. Alasannya, karena maslahat menyelamatkan jiwa lebih didahulukan
dari maslahat menjauhi yang najis.
2. Boleh membelah kandungan (melakukan operasi sesar) pada perut ibu jika
memang sulit melahirkan karena menjaga keselamatan janin lebih utama
daripada menjaga kehormatan ibu. (Tuasikal, 2013)
5.2.2.4 Berobat dengan yang haram

Kaidah fiqhiyah, yaitu:

‫الضرورةـ تبيح المحظورات‬

“Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang”


Kaidah ini dengan syarat:

1. Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.


2. Digunakan sekadar mencukupi saja untuk memenuhi kebutuhan.

Inilah landasan yang digunakan MUI, jika kita kaji sesuai dengan syarat:

1. Saat itu belum ada pengganti vaksin lainnya

Adapun yang berdalil bahwa bisa diganti dengan jamu, habbatussauda,


atau madu bukan berarti kami merendahkan pengobatan nabi dan tradisional,
maka kita jawab bahwa itu adalah pengobatan yang bersifat umum dan tidak
spesifik. Sebagaimana jika kita mengobati virus tertentu, maka secara teori bisa
sembuh dengan meningkatkan daya tahan tubuh, akan tetapi bisa sangat lama dan
banyak faktor, bisa saja dia mati sebelum daya tahan tubuh meningkat. Apalagi
untuk jamaah haji, syarat satu-satunya adalah vaksin.
2. Enzim babi pada vaksin hanya sebagai katalisator, sekedar penggunaannya
saja.

Jika ada yang berdalil dengan,

‫ وال تتداووا بحرام‬،‫ فتداووا‬،‫إن هللا خلق الداء والدواء‬

“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah, dan


jangan berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Thabrani. Dinilai hasan oleh
Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1633)
Maka, pendapat terkuat bahwa pada pada asalnya tidak boleh berobat
dengan benda-benda haram kecuali dalam kondisi darurat, dengan syarat:

1. Penyakit tersebut adalah penyakit yang harus diobati.


2. Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit
tersebut.
3. Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.

Berlandaskan pada kaidah fiqhiyah,

‫إذا تعارض ضرران دفع أخفهما‬

”Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka diambil yang paling
ringan.“
Dan Maha Benar Allah yang memang menciptakan penyakit namun pasti
ada obatnya. Kalau tidak ada obatnya sekarang, maka hanya karena manusia
belum menemukannya. Terbukti baru-baru ini telah ditemukan vaksin meningitis
yang halal, dan MUI mengakuinya.

Agama Islam adalah agama yang mudah dan tidak kaku, Allah tidak
menghendaki kesulitan kepada hambanya. Allah Ta’ala berfirman,

ٍ ‫َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِي الدِّي ِن ِم ْن َح َر‬


‫ج‬

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
(Q.S. Al-Hajj (22) : 78) (Bahraen: 2011)
5.2.2.5 Kemudahan Saat Kesempitan

Sesungguhnya syari’at Islam ini dibangun di atas kemudahan. Banyak


sekali dalil-dalil yang mendasari hal ini, bahkan Imam asy-Syathibi mengatakan :
Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pastgi.

Semua syari’at itu mudah. Namun, apabila ada kesulitan maka akan ada
tambahan kemudahan lagi. Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syafi’i
rahimahullah tatkala berkata.

ْ ‫ت اتَّ َس َع‬
‫ت‬ َ ‫ت األُصُوْ ُل َعلَى أَ َّن األَ ْشيَا َء إِ َذا‬
ْ َ ‫ض اق‬ ِ َ‫بُنِي‬
“Kaidah syari’at itu dibangun (di atas dasar) bahwa segala sesuatu apabila
sampai maka menjadi luas” (Yusuf, 2009)
5.2.3 Fatwa-fatwa

Penggunaan vaksin ini telah diakui manfaatnya oleh kedokteran yaitu


melindungi anak-anak dari cacat fisik (kepincangan) dengan izin Allah.
Sebagaimana belum ditemukan adanya pengganti lainnya hingga sekarang. Oleh
karena itu, menggunakannya sebagai obat dan imunisasi hukumnya boleh, karena
bila tidak maka akan terjadi bahaya yang cukup besar. Sesungguhnya pinti fiqih
luas memberikan toleransi dari perkara najis- kalau kita katakan bahwa cairan
(vaksin) itu najis- apabila terbukti bahwa cairan najis ini telah lebur dengan
memperbanyak benda-benda lainnya. Ditambah lagi bahwa keadaan ini masuk
dalam kategori darurat atau hajat yang sederajat dengan darurat, sedangkan
termasuk perkara yang dimaklumi bersama bahwa tujuan syari’at yang paling
penting adalah menumbuhkan maslahat dan membedung mafsadat.

Majelis mewasiatkan kepada para pemimpin kaum muslimin dan


pemimpin markaz agar mereka tidak bersikap keras dalam masalah ijtihadiyyah
(berada dalam ruang lingkup ijtihad) seperti ini yang sangat membawa maslahat
yang besar bagi anak-anak muslim selagi tidak bertentangan dengan dalil-dalil
yang jelas.

Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)


Majelis Ulama Indonesia dalam rapat pada 1 Sya’ban 1423H, setelah
mendiskusikan masalah ini mereka menetapkan : 1). Pada dasarnya, penggunaan
obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal dari atau mengandung benda najis
ataupun benda terkena najis adalah haram. 2). Pemberian vaksin IPV kepada
anak-anak yang menderita immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan,
sepanjang belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal.

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menerbitkan Fatwa


MUI Nomor 4 Tahun 2016 tentang Imunisasi. Fatwa ini diterbitkan pada 23
Januari 2016.

MUI mulai menggodok fatwa ini sejak 2013. Ada sejumlah pertimbangan
MUI dalam mengeluarkan fatwa ini.

1. Bahwa ajaran Islam sangat mendorong umatnya untuk senantiasa menjaga


kesehatan, yang dalam praktiknya dapat dilakukan melalui upaya preventif
agar tidak terkena penyakit, dan berobat manakala sakit agar diperoleh
kesehatan kembali, yaitu dengan imunisasi.
2. Bahwa imunisasi, sebagai salah satu tindakan medis untuk mencegah
terjangkitnya penyakit tertentu, bermanfaat untuk mencegah penyakit
berat, kecacatan, dan kematian.
3. Bahwa ada penolakan sebagian masyarakat terhadap imunisasi, baik
karena pemahaman keagamaan bahwa praktik imunisasi dianggap
mendahului takdir maupun karena vaksin yang digunakan diragukan
kehalalannya. (Dokter Indonesia, 2014)

Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan/atau najis


hukumnya haram dan tidak dibolehkan, kecuali ada beberapa hal ini:

1. Digunakan pada kondisi al-dlarurat atau al-hajat. Al-dlarurat (darurat)


ialah kondisi keterpaksaan yang apabila tidak diimunisasi dapat
mengancam jiwa manusia. Sedangkan al-hajat ialah kondisi keterdesakan
yang apabila tidak diimunisasi maka akan dapat menyebabkan penyakit
berat atau kecacatan pada seseorang.
2. Belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci.
3. Adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa
tidak ada vaksin yang halal

Imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang


kompeten dan dipercaya, menimbulkan dampak yang membahayakan (dlarar).

MUI juga memberikan rekomendasi terkait imunisasi. Ada 7 rekomendasi


dari MUI:

1. Pemerintah wajib menjamin pemeliharaan kesehatan masyarakat, baik


melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif.
2. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan
imunisasi bagi masyarakat.
3. Pemerintah wajib segera mengimplementasikan keharusan sertifikasi halal
seluruh vaksin, termasuk meminta produsen untuk segera mengajukan
sertifikasi produk vaksin.
4. Produsen vaksin wajib mengupayakan produksi vaksin yang halal
5. .Produsen vaksin wajib menyertifikasi halal produk vaksin sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Pemerintah bersama tokoh agama dan masyarakat wajib melakukan
sosialisasi pelaksanaan imunisasi.
7. Orang tua dan masyarakat wajib berpartisipasi menjaga kesehatan,
termasuk dengan memberikan dukungan pelaksanaan imunisasi. (Dokter
Indonesia, 2014)
5.3 Hubungan Ilmu Pengetahuan dengan Imunisasi Menurut Pandangan
Islam

Pandangan Islam Terhadap Aspek Pencegahan Penyakit


Islam mengutamakan aspek pencegahan dalam berbagai bidang
kehidupan. Sebagai contoh dalam menghadapi kemungkinan timbulnya penyakit
menular seksual, Islam dengan tegas melarang umatnya untuk mendekati zina.

ِ َ‫الز ٰنٓى اِنَّهٗ َكانَ ف‬


ً‫اح َشة‬ ِّ ‫َواَل ت َۡق َربُوا‬
"Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
keji dan
jalan yang buruk." (Q.S. Al-Isra (17) : 32)

Coba perhatikan, bukan larangan berzina tapi larangan untuk mendekati


zina. Suatu aspek preventif yang luar biasa karena jauh lebih mudah menghindari
mendekati zina daripada menghindari berzina. Bandingkan dengan program
kondomisasi yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan masyarakat karena justru
memfasilitasi zina secara tidak langsung.
Panduan terhadap pencegahan penyakit dalam Al-Qur'an maupun Al-
Hadits (petunjuk Nabi saw) dapat dilihat pada beberapa ayat dan hadits berikut:
1. Lakukanlah lima hal sebelum terwujud lima hal yang lain. Dari Ibnu
‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ص َّحتَكَ قَ ْب َل َسقَ ِمكَ َو ِغنَاكَ قَ ْب َل‬


ِ ‫ك َو‬ َ ‫ك قَب َْل ه ََر ِم‬ ٍ ‫اِ ْغتَنِ ْم خَ ْمسًا قَ ْب َل َخ ْم‬
َ َ‫ َشبَاب‬: ‫س‬
َ‫ك قَب َْل َش ْغلِكَ َو َحيَاتَكَ قَب َْل َموْ تِك‬ َ ‫فَ ْق ِر‬
َ ‫ك َو فَ َرا َغ‬
“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara : [1] Waktu mudamu sebelum
datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, [3]
Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum
datang masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al-
Hakim dalam Al-Mustadroknya)
2. Bila terjadi wabah di suatu tempat, maka penduduk setempat dilarang
meninggalkan daerahnya dan orang luar dilarang berkunjung sampai
wabah berlalu. (Al-Hadits) Inilah konsep isolasi daerah wabah yang sudah
diajarkan oleh Nabi SAW sejak dahulu.

3.
ْ‫يف َوفِى ُك ٍّل َخ ْي ٌر احْ ِرص‬ ‫ْال ُم ْؤ ِم ُن ْالقَ ِوىُّ خَ ْي ٌر َوأَ َحبُّ إِلَى هَّللا ِ ِمنَ ْال ُم ْؤ ِم ِن الض َِّع ِـ‬
َ‫ت َكان‬ُ ‫ك َش ْى ٌء فَالَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَ َع ْل‬ َ َ‫صاب‬َ َ‫َعلَى َما يَ ْنفَعُكَ َوا ْست َِع ْن بِاهَّلل ِ َوالَ تَ ْع ِج ْز َوإِ ْن أ‬
‫ َولَ ِك ْن قُلْ قَ َد ُر هَّللا ِ َو َما َشا َء فَ َع َل فَإ ِ َّن لَوْ تَ ْفتَ ُح َع َم َل ال َّش ْيطَا ِن‬.‫َك َذا َو َك َذا‬
"Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin
yang lemah. Namun masing-masing ada kebaikan. Semangatlah meraih apa yang
manfaat untukmu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap
lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah janganlah mengatakan, "Seandainya
aku berbuat begini dan begitu, niscaya hasilnya akan lain." Akan tetapi
katakanlah, "Allah telah mentakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki Dia
Perbuat." Sebab, mengandai-andai itu membuka pintu setan." (HR. Muslim)
4.

ۡ‫اط ۡالخ َۡـي ِل تُ ۡر ِهب ُۡونَ بِ ٖه َع ُد َّو هّٰللا ِ َو َع ُد َّو ُكم‬


ِ َ‫استَطَ ۡعتُمۡ ِّم ۡن قُ َّو ٍة َّو ِم ۡن ِّرب‬ ۡ ‫َواَ ِع ُّد ۡوا لَهُمۡ َّما‬
‫هّٰللا‬ ۡ ‫َر ۡينَ ِم ۡن ُد ۡونِ ِهمۡ‌ اَل ت َۡعلَ ُم ۡونَهُ ُ‌م هّٰللَا ُ يَ ۡعلَ ُمهُمۡ‌ؕ َو َما تُ ۡـنفِقُ ۡوا ِم ۡن‬ ٰ
ِ ‫شى ٍء فِ ۡى َسبِ ۡي ِل‬ ِ ‫َواخ‬
۶۰﴿ َ‫ف اِلَ ۡي ُكمۡ َواَ ۡنـتُمۡ اَل تُ ۡظلَ ُم ۡون‬ َّ ‫﴾ي َُو‬
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang
selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.
Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan
cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Q.S. Al-Anfal (8) :
60)
5.

‫ض َّرهُ َذلِكَ ْاليَوْ َم ُس ٌّم َوالَ ِسحْ ٌر‬


ُ َ‫ لَ ْم ي‬،ً‫ت َعجْ َوة‬ َ َ‫َم ْن ت‬
ٍ ‫صب ََّح بِ َسب ِْع تَ َم َرا‬
“Barangsiapa mengkonsumsi tujuh butir kurma Ajwah pada pagi hari, maka pada
hari itu ia tidak akan terkena racun maupun sihir” (HR. Bukhori)
Dari beberapa hadits dan ayat Al-Qur'an tersebut di atas kita dapat melihat
bahwa Islam sangat menganjurkan aspek pencegahan terhadap penyakit. Karena
biaya yang dikeluarkan untuk aspek pencegahan akan jauh lebih murah
dibandingkan dengan pengobatan penyakit. Hal ini telah dibuktikan kebenarannya
oleh ilmu kedokteran modern. Islam memberi kebebasan dalam hal teknik
pencegahan sesuai dengan perkembangan teknologi yang ada saat itu.
Islam tidak pernah membatasi kemajuan teknologi, namun hanya memberi
batasan atau rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar. Ini terbukti dengan
pernyataan Nabi SAW ketika ada yang bertanya kepada beliau mengenai
perkawinan pohon kurma. Saat itu beliau memberi nasehat dan ternyata kurma
menjadi tidak berbuah saat dilaksanakan nasehat tersebut. Islam hanya
mengajarkan rambu-rambu yang bersifat umum dan baku, seperti larangan
berobat dengan yang haram, larangan berobat ke dukun atau ahli sihir namun
mengenai hal-hal yang bersifat teknis sepenuhnya diserahkan kepada
perkembangan ilmu sains sesuai perkembangan zamannya. Dengan prinsip ini
tidak heran bahwa para ilmuwan muslim pernah mencapai puncak kejayaannya
dalam hal sains tidak berapa lama setelah Nabi SAW wafat.
Tidak ada dalil dari Al-Qur'an atau Hadits Nabi yang spesifik
menyebutkan perlunya vaksinasi. Namun tidak adanya dalil qauliyah bukan
berarti vaksinasi bertentangan dengan ajaran Nabi SAW. Hal ini adalah karena
vaksinasi termasuk ranah kauniyah. Ranah ilmu pengetahuan modern yang
diperoleh berdasarkan pencarian oleh manusia. Berdasarkan penelitian yang tekun
dan seksama, sebagaimana sudah disebutkan di atas. Oleh karena itu pakar
mengenai vaksinasi tentu saja adalah para dokter dan peneliti di bidang
vaksinologi, bukan wartawan, sarjana hukum, ahli statistik, atau yang lainnya.
(Yunuarso, 2012)
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada responden yang datang
berkunjung ke Posyandu Rosmerah dan yang berada di wilayah Rw 010 Tanah Tinggi,
Jakarta Pusat dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Gambaran pengetahuan ibu di wilayah posyandu rosmerah sebagian besar


memiliki pengetahuan yang kurang.
2. Gambaran perilaku imunisasi dasar di wilayah posyandu rosmerah sudah
cukup baik karena sebagian besar melakukan imunisasi dasar secara
lengkap.
3. Tidak ada hubungan pengetahuan ibu terhadap perilaku imunisasi dasar di
wilayah posyandu rosmerah.
4. Menurut pandangan islam hubungan pengetahuan ibu dengan perilaku
imunisasi dasar, bahwa diketahui orang yang berpengetahuan itu memiliki
kedudukan yang tinggi di mata Allah SWT sebagaimana dijelaskan dalam
Q.S. Al-Mujadilah (58) ayat 11. Selain itu, imunisasi dalam pandangan
islam hukumnya boleh dan tidak terlarang karena imunisasi termasuk
penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi sesuai dengan sabda
Rasulullah SAW.
6.2. Saran
1. Bagi Responden
Bagi responden usahakan untuk membaca Kartu Menuju Sehat (KMS)
agar dapat menambah pengetahuan mengenai tujuan, manfaat, jadwal, dan jenis-
jenis imunisasi sehingga dapat menjaga kesehatan anak dengan baik salah satunya
dengan cara memberikan imunisasi dasar yang lengkap.
2. Bagi Penelitian Selanjutnya
Bagi penelitian selanjutnya diharapkan untuk terus mengembangkan
penelitian mengenai hubungan pengetahuan terhadap imunisasi dasar agar data
yang dihasilkan lebih bervariasi dan memajukan wawasan ilmu kedokteran.
3. Bagi Masyarakat
Masyarakat diharapkan agar menambah wawasan mengenai pentingnya
melakukan imunisasi dasar yang lengkap guna untuk mencegah terjadinya
penyakit.
4. Bagi Mubaligh
Untuk para mubaliqh diharapkan dalam dakwahnya hendak
menyampaikan kepada masyarakat muslim agar berpengetahuan yang baik karena
orang yang berpengetahuan memiliki kedudukan yang tinggi di mata Allah SWT
dan senantiasa menjaga kesehatan dengan melakukan imunisasi secara lengkap
sebagai upaya pencegahan agar tidak terkena penyakit karena Allah menyukai
orang yang menjaga kebersihan dan kesehatan diri.

Anda mungkin juga menyukai