Anda di halaman 1dari 58

PRESENTASI KASUS

DM TERKONTROL, ULKUS DM, HIPERTENSI

Disusun Oleh:

dr. Rafa” Assidiq

Pembimbing:

dr. Virlie Fatra Subagja

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BANJAR
JULI 2021 - APRIL 2022

1
DAFTAR ISI

BAB I.........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.....................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................3
BAB II.......................................................................................................................................4
TINJAUAN PUUSTAKA........................................................................................................4
2.1 Definisi........................................................................................................................4
2.2 Epidemiologi..............................................................................................................4
2.3 Klasifikasi...................................................................................................................5
2.4 Faktor Risiko.............................................................................................................6
2.5 Etiologi........................................................................................................................6
2.6 Patofisiologi................................................................................................................7
2.6.2 Diabetes Melitus tipe 2............................................................................................7
2.6.3 Diabetes tipe lain......................................................................................................8
2.7 Manifestasi Klinis......................................................................................................8
2.8 Diagnosis.....................................................................................................................8
2.8.1. Diagnosis diabetes melitus......................................................................................8
2.9 Penatalaksanaan......................................................................................................11
2.9.1 Tujuan penatalaksanaan.......................................................................................11
2.10 Komplikasi...............................................................................................................20

2
3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes Melitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa didalam darah tinggi
karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara adekuat. Diabetes
melitus suatu kelompok penyakit metabolik dengan kadar gula darah sepanjang hari
bervariasi, meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam 4.

WHO sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat
dituangkan dalam suatu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan
sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawai akibat dari sejumlah faktor dimana
didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin 6.

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan


angka insiden dan prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 di berbagai penjuru dunia. Berdasarkan
data badan pusat statistik Indonesia (2003) diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia
diatas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa. Dengan prevalensi Diabetes Mellitus pada daerah urban
sebesar 14,7% dan daerah rural 7,2% maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat diabetes
sejumlah 8,2 juta di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya berdasarkan pola
pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta yang berusia
diatas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi Diabetes Mellitus pada urban (14,7%) dan
rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta diabetes didaerah urban dan 8,1 juta di
daerah rural. Suatu jumlah yang sangat besar,dan merupakan beban yang sangat berat untuk
dapat ditangani sendiri oleh dokter spesialis/subspesialis bahkan oleh semua tenaga kesehatan
yang ada. Mengingat bahwa Diabetes Melitus akan memberikan dampak terhadap kualitas
sumberdaya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, semua pihak, baik
masyarakat maupun pemerintah sebaiknya ikut serta dalam usaha penaggulangan Diabetes
Mellitus,khususnya dalam upaya pencegahan 6.

4
BAB II

TINJAUAN PUUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. World Health
Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang
tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah
faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin 6.

2.2 Epidemiologi
Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 juta orang di seluruh
dunia menderita Diabetes Melitus, atau sekitar 2,8% dari total populasi. Insidensnya terus
meningkat dengan cepat, dan diperkirakan pada tahun 2030, angka ini akan bertambah
menjadi 366 juta atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. DM terdapat di seluruh dunia, namun
lebih sering (terutama tipe 2) terjadi di negara berkembang. Peningkatan prevalens terbesar
terjadi di Asia dan Afrika, sebagai akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup,
seperti pola makan “Western-style” yang tidak sehat. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, dari 24417 responden berusia >15 tahun,
10,2% mengalami Toleransi Glukosa Terganggu (kadar glukosa 140-200 mg/dl setelah puasa
selama 14 jam dan diberi glukosa oral 75 gram). Sebanyak 1,5% mengalami Diabetes Melitus
yang terdiagnosis dan 4,2% mengalami Diabetes Melitus yang tidak terdiagnosis. Baik DM
maupun TGT lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria, dan lebih sering pada
golongan dengan tingkat pendidikan dan status sosial rendah. Daerah dengan angka penderita
DM paling tinggi yaitu Kalimantan Barat dan Maluku Utara yaitu 11,1 %, sedangkan
kelompok usia penderita DM terbanyak adalah 55-64 tahun yaitu 13,5%. Beberapa hal yang
dihubungkan dengan risiko terkena DM adalah obesitas (sentral), hipertensi, kurangnya
aktivitas fisik dan konsumsi sayur-buah kurang dari 5 porsi perhari 6 .

5
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, yaitu:

1. Diabetes Melitus Tipe 1

DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat kerusakan dari
sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing (terutama malam hari), sering
lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal atau
kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup 2 .

2. Diabetes Melitus Tipe 2

DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat
normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak
ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia,
dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya
diketahui DM setelah usia 30 tahun 2.

3. Diabetes Melitus Tipe lain

a. Defek genetik pada fungsi sel beta

b. Defek genetik pada kerja insulin

c. Penyakit eksokrin pankreas

d. Endokrinopati

e. Diinduksi obat atau zat kimia

f. Infeksi

g. Imunologi 2 .

4. DM Gestasional

6
2.4 Faktor Risiko
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :

- Riwayat keluarga dengan Diabetes Mellitus


- Umur.Risiko untuk menderita prediabetes meningkat seiring dengan meningkatnya
usia.
- Riwayat pernah menderita Diabetes Mellitus gestasional
- Riwayat lahir dengan BB rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir dengan BB
rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding bayi yang lahir dengan BB
normal.

Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :

- Berat badan lebih


- Kurang aktifitas fisik
- Hipertensi
- Dislipidemia
- Diet tak sehat. Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko
menderita prediabetes dan DM tipe 2

Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes :

- Penderita polycictic ovary syndrome (PCOS)


- Penderita sindroma metabolik 6 .

2.5 Etiologi
Diabetes Tipe 2
Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus Tidak
Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalan relatif sel β dan resistensi
insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh
hati. Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi
defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin
pada rangsangan glukosa, namun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang
sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa 3.

7
2.6 Patofisiologi
2.6.1 Diabetes melitus tipe 1
Pada DM tipe I (DM tergantung insulin (IDDM), sebelumnya disebut diabetes
juvenilis), terdapat kekurangan insulin absolut sehingga pasien membutuhkan suplai
insulin dari luar. Keadaan ini disebabkan oleh lesi padasel beta pankreas karena
mekanisme autoimun, yang pada keadaan tertentu dipicu oleh infeksi virus. DM tipe I
terjadi lebih sering pada pembawaantigen HLA tertentu (HLA-DR3 dan HLA-DR4), hal
ini terdapat disposisi genetik. Diabetes melitus tipe 1, diabetes anak-anak (bahasa Inggris:
childhood-onsetdiabetes, juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM)
adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah
akibat defek sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas. IDDM
dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa, namun lebih sering didapat pada
anak-anak 5.

2.6.2 Diabetes Melitus tipe 2


Pada DM tipe II (DM yang tidak tergantung insulin (NIDDM), sebelumnya disebut
dengan DM tipe dewasa) hingga saat ini merupakan diabetes yang paling sering terjadi.
Pada tipe ini, disposisi genetik juga berperan penting. Namun terdapat defisiensi insulin
relatif; pasien tidak mutlak bergantung pada suplai insulin dari luar. Pelepasan insulin
dapat normal atau bahkan meningkat, tetapi organ target memiliki sensitifitas yang
berkurang terhadap insulin.Sebagian besar pasien DM tipe II memiliki berat badan
berlebih. Obesitas terjadi karena disposisi genetik, asupan makanan yang terlalu banyak,
dan aktifitas fisik yang terlalu sedikit. Ketidak seimbangan antara suplai dan pengeluaran
energi meningkatkan konsentrasiasam lemak di dalam darah. Hal ini selanjutnya akan
menurunkan penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak. Akibatnya, terjadi resistensi
insulin yang memaksa untuk meningkatkan pelepasan insulin. Akibat regulasi menurun
pada reseptor, resistensi insulin semakin meningkat. Obesitas merupakan pemicu yang
penting, namun bukan merupakan penyebab tunggal diabetes tipe II. Penyebab yang lebih
penting adalah adanya disposisi genetik yang menurunkan sensitifitas insulin.Sering kali,
pelepasan insulin selalu tidak pernah normal. Beberapa gen telah diidentifikasi sebagai
gen yang menigkatkan terjadinya obesitas dan DM tipe II. Diantara beberapa faktor,
kelainan genetik pada protein yang memisahkan rangkaian dimitokondria membatasi
penggunaan substrat. Jika terdapat disposisi genetik yang kuat, diabetes tipe II dapat
terjadi pada usia muda. Penurunan sensitifitas insulin terutama mempengaruhi efek insulin

8
pada metabolisme glukosa, sedangkan pengaruhnya pada metabolisme lemak dan protein
dapat dipertahankan dengan baik. Jadi, diabetes tipe II cenderung menyebabkan
hiperglikemia berat tanpa disertai gangguan metabolisme lemak 5.

2.6.3 Diabetes tipe lain


Defisiensi insulin relatif juga dapat disebabkan oleh kelainan yang sangat jarang pada
biosintesis insulin, reseptor insulin atau transmisi intrasel. Bahkan tanpa ada disposisi
genetik, diabetes dapat terjadi pada perjalanan penyakit lain, seperti pankreatitis dengan
kerusakan sel beta atau karena kerusakan toksik di selbeta. Diabetes mellitus ditingkatkan
oleh peningkatan pelepasan hormonantagonis, diantaranya somatotropin (pada
akromegali), glukokortikoid (pada penyakitCushingatau stress), epinefrin (pada stress),
progestogen dan kariomamotropin (padakehamilan), ACTH, hormon tiroid dan glukagon.
Infeksi yang berat meningkatkan pelepasan beberapa hormon yang telah disebutkan di atas
sehingga meningkatkan manifestasi diabetes mellitus. Somatostatinoma dapat
menyebabkan diabetes karena somatostatin yang diekskresikan akan menghambat
pelepasan insulin 5 .

2.7 Manifestasi Klinis


Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan mengeluhkan apa
yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan, Polidipsi dengan poliuri, juga
keluhan tambahan lain seperti sering kesemutan, rasa baal dan gatal di kulit 2 .

2.8 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosadarah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM,
pemeriksaan glukosa darah yangdianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahandarah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood),
vena,ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-
angkakriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk
tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukandengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer 6.

2.8.1. Diagnosis diabetes melitus


Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:

9
 Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, danpenurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita 2.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosaplasma sewaktu >200 mg/dL
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL denganadanya keluhan klasik.

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO denganbeban 75 gr glukosa lebih
sensitif dan spesifik dibanding denganpemeriksaan glukosa plasma puasa, namun
pemeriksaaninimemiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukanberulang-
ulangdandalam praktek sangat jarang dilakukankarena membutuhkan persiapan
khusus.Apabilahasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,bergantung
pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkanke dalam kelompok toleransi glukosa
terganggu (TGT) atauglukosa darah puasa terganggu (GDPT) 2.

Keterangan:

1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGOdidapatkan glukosa


plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).

2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaanglukosa plasma puasa


didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6– 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula
darah 2 jam < 140mg/dL 2.

Tabel 1. Kriteria diagnosis DM

10
Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaanpenyaring.
Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang menunjukkangejala atau tanda
diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untukmengidentifikasikan
mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji
diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasilpemeriksaan penyaringnya
positif, untuk memastikan diagnosis definitif 2.

Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien denganDiabetes melitus,


toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa terganggu(GDPT), sehingga
dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT danGDPT juga disebut sebagai
intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementaramenuju diabetes melitus. Kedua keadaan
tersebut merupakan faktor risiko untukterjadinya diabetes melitus dan penyakit
kardiovaskular di kemudian hari 2.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah


sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan testoleransi glukosa
oral (TTGO) standar 2.

Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring dan
diagnosis diabetes melitus.

11
Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untukmenentukan diagnosis
diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosadarah puasa terganggu. Berikut
adalah langkah-langkah penegakkan diagnosisdiabetes melitus, TGT, dan GDPT 2.

2.9 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang
diabetes.

12
2.9.1 Tujuan penatalaksanaan
 Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.
 Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
 Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik
dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku 2.

Pilar penatalaksanaan DM
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa
waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukanIntervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan
insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung
kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria,
insulin dapat segera diberikan 2.

a. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk
dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan
perilaku sehat. Untuk mencapaikeberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Berbagai haltentang edukasi dibahas lebih
mendalam di bagian promosi perilaku sehat. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah
mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada

13
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat
pelatihan khusus 2.

b. Terapi Nutrisi Medis


 Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota
tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya).
 Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya
guna mencapai sasaran terapi.
 Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes
perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin 2.

A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:


Karbohidrat
 Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
 Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
 Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
 Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama
dengan makanan keluarga yang lain
 Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
 Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas
aman konsumsi harian (Accepted- Daily Intake)
 Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari.
Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai
bagian dari kebutuhan kalori sehari 2.
Lemak
 Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan
melebih 30% total asupan energi.
 Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
 Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.

14
 Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh
dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk).
 Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari 2.
Protein
 Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.
 Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang) 2.

Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

1. Obat hipoglikemik oral


Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidasealfa.
E. DPP-IV inhibitor 2 .

A. Pemicu Sekresi Insulin


1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang.
Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari
hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal
dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang 2.

2. Glinid

15
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam
obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial 2.

B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin


Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat
edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala 2.
*golongan rosiglitazon sudah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya.

C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis),
di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang
diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan
pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin
secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping
obat tersebut 2.

D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)


Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbosetidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah
kembung dan flatulens 2.

16
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan
oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang
masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin
dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1
diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide
yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan
untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM
tipe2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang
menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau
analognya (analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4
inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat
penglepasan glukagon 2.

Cara Pemberian OHO, terdiri dari:


 OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
 Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan
 Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan

17
 Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
 Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
 Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan 2.
 DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

2. Suntikan
1. Insulin
2. Agonis GLP-1/incretin mimetic

1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

18
 Ketoasidosis diabetik
 Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
 Hiperglikemia dengan asidosis laktat
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
 Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO 2.

Jenis dan lama kerja insulin


Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
 Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
 Insulin kerja pendek (short acting insulin)
 Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
 Insulin kerja panjang (long acting insulin)
 Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).
Efek samping terapi insulin :
 Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
 Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin 2.
Dasar pemikiran terapi insulin:
 Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin
diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.
 Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau
keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada
keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.
 Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi
yang terjadi.
 Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal
(puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin.
Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah insulin
basal (insulin kerja sedang atau panjang).

19
 Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan
menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
 Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C belum
mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial (meal-related).
Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah
insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi
insulin basal dengan insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali
insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial
(basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus).
 Insulin basal juga dapat dikombinasikan denga OHO untuk menurunkan glukosa
darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan
glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose).
 Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian 2.

Cara Penyuntikan Insulin :


 Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan arah
alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.
 Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip.
 Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek dan
kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak terdapat
sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan dosis yang lain,
dapat dilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut. Teknik
pencampuran dapat dilihat dalam buku panduan tentang insulin.
 Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan dengan
benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.
 Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dan
jarumnya dapat dipakai lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yang sama.
 Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah unit/mL)
dengan semprit yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit). Dianjurkan memakai
konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100 (artinya 100 unit/mL) 2.

2. Agonis GLP-1

20
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang
tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin
menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan
glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang,
obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah 2.

2.10 Komplikasi
a. Penyulit akut
1. Ketoasidosis Diabetik
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon
pertumbuhan). Keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan
penggunaan glukosa oleh sel tubuh menurun dengan hasil akhir hiperglikemia. Berkurangnya
insulin mengakibatkan aktivitas kreb cycle menurun, asetil Ko-A dan Ko-A bebas akan
meningkat dan asetoasetil asid yang tidak dapat diteruskan dalam kreb cycle tersebut juga
meningkat. Bahan-bahan energi dari lemak yang kemudian di oksidasi untuk menjadi sumber
energi akibat sinyaling sel yang kekurangan glukosa akan mengakibatkan end produk berupa
benda keton yang bersifat asam. Disamping itu glukoneogenesis dari protein dengan asam
amino yang mempunyai ketogenic effect menambah beratnya KAD.
Gambaran klinis KAD meliputi gejala-gejala klinis dan diperkuat dengan
pemeriksaan laboratorium 2.
Gejala Klinis :
 Polidipsia, poliuria, dan kelemahan merupakan gejala tersering yang
ditemukan, dimana beratnya gejala tersebut tergantung dari beratnya
hiperglikemia dan lamanya penyakit.
 Anoreksia, mual, muntah, dan nyeri perut (lebih sering pada anak-anak) dapat
dijumpai dan ini mirip dengan kegawatan abdomen. Ketonemia diperkirakan
sebagai penyebab dari sebagian besar gejala ini. Beberapa penderita diabetes
bahkan sangat peka dengan adanya keton dan menyebabkan mual dan muntah
yang berlangsung dalam beberapa jam sampai terjadi KAD.

21
 Ileus (sekunder akibat hilangnya kalium karena diuresis osmotik) dan dilatasi
lambung dapat terjadi dan ini sebagai predisposisi terjadinya aspirasi.
 Pernapasan kussmaul (pernapasan cepat dan dalam) sebagai kompensasi
terhadap asidosis metabolik dan terjadi bila pH < 7,2.
 Secara neurologis, 20% penderita tanpa perubahan sensoris, sebagian
penderita lain dengan penurunan kesadaran dan 10% penderita bahkan sampai
koma 1.
Pemeriksaan Laboratorium :
1. Glukosa
Glukosa serum biasanya > 250 mg/dl. Kadar glukosa mencerminkan derajat
kehilangan cairan ekstraseluler. Kehilangan cairan yang berat menyebabkan aliran darah
ginjal berkurang dan menurunnya ekskresi glukosa. Diuresis osmotik akibat hiperglikemia
menyebabkan hilangnya cairan dan elektrolit, dehidrasi, dan hiperosmolaritas (umumnya
sampai 340 mOsm/kg) 2.
2. Keton
Tiga benda keton utama adalah : betahidroksibutirat, asetoasetat, dan aseton. Kadar
keton total umumnya melebihi 3 mM/L dan dapat meningkat sampai 30 mM/L (nilai normal
adalah sampai 0,15 mM/L). Kadar aseton serum meningkat 3-4 kali dari kadar asetoasetat,
namun berbeda dengan keton lainnya aseton tidak berperan dalam terjadinya asidosis.
Betahidroksibutirat dan asetoasetat menumpuk dalam serum dengan perbandingan 3:1 (KAD
ringan) sampai 15:1 (KAD berat) 2.
3. Asidosis.
Asidosis metabolik ditandai dengan kadar bikarbonat serum di bawah 15 mEq/l dan
pH arteri di bawah 7,3. Keadaan ini terutama disebabkan oleh penumpukan
betahidroksibutirat dan asetoasetat di dalam serum 2.
4. Elektrolit.
Kadar natrium serum dapat rendah, normal, atau tinggi. Hiperglikemia menyebabkan
masuknya cairan intraseluler ke ruang ekstraseluler. Hal ini menyebabkan hiponatremia
walaupun terjadi dehidrasi dan hiperosmolaritas. Hipertrigliseridemia dapat juga
menyebabkan menurunnya kadar natrium serum.
Kadar kalium serum juga dapat rendah, normal, dan tinggi. Kadar kalium
mencerminkan perpindahan kalium dari sel akibat asidosis dan derajat kontraksi
intravaskuler. Karena hal di atas dan hal lain, kadar kalium yang normal atau tinggi tidak

22
mencerminkan defisit kalium tubuh total sesungguhnya yang terjadi sekunder akibat diuresis
osmotik yang terus menerus. Kadar kalium yang rendah pada awal pemeriksaan harus
dikelola dengan cepat.
Kadar fosfat serum dapat normal pada saat masuk rumah sakit. Seperti halnya kadar
kalium kadar fosfat tidak mencerminkan defisit tubuh yang sesungguhnya, walaupun terjadi
perpindahan fosfat intraseluler ke ruang ekstraseluler, sebagai bagian dari keadaan katabolik.
Fosfat kemudian hilang melalui urin akibat diuresis osmotik 2.
Lain-lain
Kadar nitrogen ureum darah (BUN) biasanya sekitar 20-30 mg/dl. Lekosit sering
meningkat setinggi 15.000-20.000/ml pada KAD, maka dari itu tidak dapat dipakai sebagai
satu-satunya bukti adanya infeksi. Amilase serum dapat meningkat. Penyebabnya tidak
diketahui, mungkin berasal dari pankreas (namun tidak terbukti ada pankreatitis) atau
kelenjar ludah. Transaminase juga meningkat 2.
Kriteria Diagnosis
Penderita dapat didiagnosis sebagai KAD bila terdapat tanda dan gejala seperti pada
kriteria berikut ini :
 Klinis : riwayat diabetes melitus sebelumnya, kesadaran menurun, napas cepat dan
dalam (kussmaul), dan tanda-tanda dehidrasi.
 Faktor pencetus yang biasa menyertai, misalnya : infeksi akut, infark miokard akut,
stroke, dan sebagainya.
 Laboratorium :
- hiperglikemia (glukosa darah > 250 mg/dl).
- asodosis (pH < 7,3, bikarbonat < 15 mEq/l).
- ketosis (ketonuria dan ketonemia) 6.
Penatalaksanaan :
Prinsip pengobatan KAD dan KHH meliputi :
- Koreksi terhadap :
o Dehidrasi
o Hiperglikemi
o Gangguan keseimbangan elektrolit
- Pengenalan dan pengobatan terhadap faktor pencetus
- Follow up yang ketat
Terapi cairan :
Pasien dewasa :

23
Terapi cairan initial/ awal dimaksudkan untuk memperbaiki volume cairan intra dan
ekstravaskuler serta memperbaiki perfusi ginjal. Bila tidak ada kelainan / gangguan fungsi
jantung, diberikan cairan isotonis NaCl 0,9 % dengan kecepatan 15 sampai 20
ml/kgBB/jam. Pada 1 jam pertama tetesan cairan dipercepat (1-1,5 liter). Pada jam
berikutnya, terapi cairan tergantung derajat dehidrasi, kadar elektrolit serum dan diuresis
(jumlah urin). Secara umum, infus 0,45% NaCl dengan dosis 4-14 ml/kgBB/jam dapat
diberikan bila kadar Na serum normal atau meningkat. Bila kadar Na rendah, diberikan 0,9%
NaCl dengan kecepatan yang sama. Setelah fungsi ginjal membaik, terlihat dengan adanya
diuresis, segera diberikan infus Kalium sebanyak 20-30 mEq/l sampai kondisi pasien stabil
dan dapat menerima suplemen Kalium oral 8.
Terapi Insulin :
Regular Insulin (RI) melalui infus intravena berkesinambungan merupakan terapi
pilihan. Pada pasien dewasa, bila tidak ada hipokalemi (K+ <>).
Pada pasien pediatric, diberikan infus RL berkesinambungan dgn dosis 0,1 UI/kg/jam.
Dosis rendah ini biasanya dapat menurunkan kadar glukosa plasma sebesar 50-75 mg/dl per
jam, sama seperti pada pemberian regimen insulin dgn dosis yang lebih tinggi. Bila kadar
glukosa plasma tidak turun sebesar 50 mg/dl dari kadar awal, periksa keadaan hidrasi pasien.
Infus insulin dapat ditingkatkan 2 kali lipat setiap jam sampai kadar glukosa plasma turun
antara 50 sampai 75 mg/dl per jam. Bila kadar glukosa plasma mencapai 250 mg/dl pada
KAD atau 300 mg/dl pada KHH, dosis insulin diturunkan menjadi 0,05-0,1 UI/kgBB/jam (3-
6 UI/jam) dan pemberian Dextrose (5-10%). Selanjutnya kecepatan insulin atau konsentrasi
Dextrose disesuaikan untuk mempertahankan kadar glukosa plasma normal sampai asidosis
pada KAD atau gangguan mental dan keadaan hiperosmolar pada KHH dapat diatasi.
Ketonemia memerlukan perawatan yang lebih lama daripada hiperglikemi.
Pengukuran langsung terhadap b hydroxy butirate dalam darah merupakan cara yang
lebih baik untuk memantau KAD. Metoda nitroprusside hanya dapat mengukur asam
asetoasetat dan aseton. Beta-OHB, yang merupakan asam kuat dan paling sering ditemukan
pada KAD, tidak dapat diukur dengan metoda nitroprusside. Selama pengobatan, b-OHB
dirubah menjadi asam asetoasetat yang dapat memberi kesan keliru bahwa ketosis
memburuk. Selama pengobatan KAD atau KHH, darah sebaiknya diperiksa setiap 2 – 4 jam
untuk menentukan kadar elektrolit serum, glukosa, ureum, kreatinin, osmolalitas dan pH
darah vena.

24
Umumnya, tidak perlu dilakukan pemeriksaan ulang analisa gas darah arteri.
Keasaman (pH) darah vena (biasanya 0,03 U lebih rendah dari pH arteri) dan anion gap dapat
pula digunakan untuk memantau adanya asidosis pada KAD.
Pada KAD ringan, RI dapat diberikan baik secara subkutan maupun
intramuskuler setiap jam sama efektifnya dengan pemberian intravena pada KAD yang berat.
Pasien dgn KAD ringan sebaiknya diberikan dosis initial / awal RI sebesar 0,4 – 0,6 UI per
kgBB, dimana separuh dosis diberikan secara bolus intravena dan separuhnya secara s.c. atau
i.m. Selanjutnya pada jam2 berikutnya dapat diberikan 0,1/kgBB/jam RI secara subkutan atau
intramuskuler 8.
Kriteria terjadinya perbaikan pada KAD meliputi :
- Penurunan kadar glukosa plasma
- Bicarbonat serum ≥ 18 mEq/l
- pH darah vena > 7,3
Setelah KAD dapat diatasi, pemberian RI subkutan dan terapi cairan sebaiknya diteruskan
sesuai kebutuhan. Pada pasien dewasa, dosis insulin dapat dinaikkan sebesar 5 UI untuk
setiap kenaikan kadar glukosa darah diatas 150 mg/dl sampai 20 UI bila kadar glukosa
darah³ 300 mg/dl. Bila pasien sudah bisa makan, mulai diberlakukan jadwal dosis multiple
menggunakan kombinasi insulin kerja cepat dan kerja sedang / kerja panjang sesuai
kebutuhan untuk mengontrol kadar glukosa plasma 8.
Kalium :
Terapi insulin, koreksi terhadap asidosis dan penambahan cairan dapat menurunkan
kadar kalium serum. Untuk mencegah hipokalemi, penambahan kalium hendaklah dimulai
bila kadar kalium serum turun dibawah 5,5 mEq/l dengan syarat bila sudah terjadi diuresis.
Umumnya pemberian Kalium sebanyak 20-30 mEq (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) dalam setiap
liter cairan infus sudah cukup untuk mempertahankan kadar Kalium serum dalam batas
normal (4 – 5 mEq/l). Bila terjadi hipokalemi berat hendaklah dimulai bersamaan dengan
terapi cairan dan terapi insulin ditunda dulu sampai kadar kalium mencapai > 3,3 mEq/l,
untuk mencegah terjadinya aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot pernafasan 8.
Bikarbonat :
Pemberian bikarbonat pada KAD masih kontroversi. Pada pH >7.0, pemberian insulin
dapat mencegah lipolisis dan menanggulangi ketoasidosis tanpa perlu tambahan pemberian
bikarbonat. Suatu studi prospektif tidak menunjukkan perbaikan atau perubahan morbiditas
atau mortalitas penderita KAD dengan pH darah antara 6.9 – 7.1, yang diberi terapi
bikarbonat. Dan tidak ada studi yang menunjukkan manfaat pemberian bikarbonat pada

25
penderita KAD dengan pH darah.Namun pada penderita dengan asidosis yang beratdimana
pH darah menimbulkan gangguan vaskuler, maka dianjurkan pemberian 100 mmol natrium
bikarbonat yang dicampur dalam 400 ml aquadest dan diberikan dengan kecepatan 200
ml/jam. Pada penderita dengan pH darah antara 6,9 – 7,0 diberikan 50 mmol natrium
bikarbonat yang diencerkan dalam 200 ml aquadest, diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam.
Pada pH darah > 7.0, tidak diperlukan pemberian bikarbonat. Perlu diingat bahwa terapi
insulin dan bikarbonat dapat menurunkan kadar kalium serum. Oleh karena itu, suplementasi
kalium dalam cairan infushendaklah dipertahankan dan dimonitor secara ketat. Selanjutnya,
pH darah vena hendaklah diperiksa setiap setiap 2 jam sampai pH mencapai 7.0. Bila perlu
pemberian bikarbonat dapat diulang. Pada penderita pediatrik, bila pH darah masih <
style=""> 155 mEq/l 8.
Fosfat :
Kadar fosfat serum dapat menurun pada saat terapi insulin. Namun beberapa studi
prospektif tidak menunjukkan adanya manfaatpemberian fosfat pada penderita KAD. Namun
untuk mencegah terjadinya kelemahan otot jantung dan otot rangka serta depresi pernafasan
akibat hipofosfatemia, perlu diberikan suplemen fosfat terutama pada penderita yang disertai
dengan gangguan fungsi jantung, anemia atau depresi pernafasan dan pada penderita dengan
kadar fosfat serum 8.

26
27
2. Koma Hiperosmolar Non Ketotik
Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih besar dari 600 mg%
tanpa ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350 mosm. Keadaan ini jarang
mengenai anak-anak, usia muda atau diabetes tipe non insulin dependen karena pada keadaan
ini pasien akan jatuh kedalam kondisi KAD, sedangkan pada DM tipe 2 dimana kadar insulin
darah nya masih cukup untuk mencegah lipolisis tetapi tidak dapat mencegah keadaan
hiperglikemia sehingga tidak timbul hiperketonemia 2.
Kriteria diagnosis Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik adalah :

·         Hiperglikemia > 600 mg%

·         Osmolalitas serum > 350 mOsm/ kg

·         pH > 7,3

·         Bikarbonat serum > 15 mEq/L

·         Anioan gap normal

Pemeriksaan Penunjang Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik :

Pemeriksaan laboratorium Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik sangat


membantu untuk membedakan dengan ketoasidosis diabetic. Kadar glukosa darah > 600 mg
%, aseton negative, dan beberapa tambahan yang perlu diperhatikan : adanya hipertermia,
hiperkalemia, azotemia, kadar blood urea nitrogen (BUN): kreatinin = 30 : 1 (normal 10:1),
bikarbonat serum > 17,4 mEq/l. (Wahyu, 2012) Bila pemeriksaan osmolalitas serum belum
dapat dilakukan, maka dapat dipergunakan formula :

28
Tabel 3.

29
: Kriteria diagnosis Ketoasidosis dan Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik
Ketoasidosis Diabetik Keadaan Hiperosmolar
Hiperglikemik

Glukosa Plasma > 250 > 250 > 250 > 600
(mg/dl)
pH arteri 7,25-7,30 7,00- <> > 7,30
<7,24
Bikarbonat Serum 15-18 10-<15 <> > 15
(mEq/l)
Keton urin Positif Positif Positif Sedikit/negatif
Keton Serum Positif Positif Positif Sedikit/negatif
Osmolalitas serum Bervariasi Bervariasi Bervariasi > 320
efektif (mOsm/kg)
Anion gap > 10 > 12 >12 <12
Sensorium Sadar Apatis Stupor/Coma Stupor/Coma

3. Hipoglikemia
Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala klinis atau
GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium parasimpatik: lapar, mual,
tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan : lemah lesu, sulit bicara gangguan
kognitif sementara. Stadium simpatik, gejala adrenergik yaitukeringat dingin pada muka,
bibir dan gemetar dada berdebar-debar. Stadium gangguan otak berat, gejala neuroglikopenik
: pusing, gelisah, penurunan kesadaran dengan atau tanpa kejang 8.
Terapi
Stadium permulaan ( sadar )
•Berikan gula murni 30 gram ( 2 sendok makan ) atau sirop /permen atau gula murni
(bukan pemanis pengganti gula atau gula diit /gula diabetes ) dan makanan yang
mengandung karbohidrat
• Hentikan obat hipoglikemik sementara
• Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
• Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL ( bila sebelumnya tidak sadar)
• Cari penyebab

Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia );

1) Diberikan larutan destrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 mL)bolus intra vena ,

30
2) Diberikan cairan dekstrosa 10 % per infuse ,6 jam perkolf
3) Periksa GD sewaktu (GDs) ,kalau memungkinkan dengan glukometer ;
• Bila GDs < 50 mg /dL-- + bolus dekstrosa 40% 50 % ml IV
• Bila GDs < 100 mg /dL --+ bolus dekstrosa 40 % 25 % mL IV

4) periksa GDs setiap satu jam setelah pemberian dekstrosa 40%


• bila GDs < 50 mg/dL -- + bolus dekstrosa 40 % 50 mL IV
• bila GDs <100 mg/dL -- +bolus dekstrosa 40 % 25 mL IV
• bila GDs 100 – 200 mg /dL -- tanpa bolus dekstrosa 40 %
• bila GDs > 200 mg/dL – pertimbangan menurunkan kecepatam drip dekstrosa 10 %

5) Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 berturut –turut ,pemantauan GDs setiap 2 jam ,dengan
protocol sesuai diatas ,bila GDs >200 mg/dL – pertimbangkan mengganti infuse dengan
dekstrosa 5 % atau NaCI 0,9 %
6) Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut- turut ,pemantauan GDs setiap 4 jam
,dengan protocol sesuai diatas .bila GDs > 200 mg/dL – pertimbangkan mengganti infuse
dengan dekstrosa 5 % atau NaCI 0.9 %
7) Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut ,slinding scale setiap 6 jam :
GD ---- RI
( mg/dL ) (unit, subkutan )
<200 0
200-250 5
250-300 10
300-350 15
>350 20
8) bila hipoglikemia belum teratasi ,dipertimbangkan pemberian antagonis insulin seperti ;
adrenalin ,kortison dosis tinggi ,atau glikagon 0,5-1 mg IV / IM ( bila penyebabnya insulin )
9) bila pasien belum sadar ,GDs sekitar 200 mg / dL .hidrokortison 100 mgper 4 jam selama
12 jam atau deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan manitol 1,5 - 2
g/kgBB IV setiap 6-8 jam ,cari penyebab lain penurunan kesadaran 8.

b. Penyulit menahun

31
1. Mikroangiopati
Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi endotel dan trombosis

 Retinopati Diabetik
Retinopati diabetik nonproliferatif, karena hiperpermeabilitas dan inkompetens vasa.
Kapiler membentuk kantung-kantung kecil menonjol seperti titik-titik mikroaneurisma dan
vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok. Bahayanya dapat terjadi perdarahan
disetiap lapisan retina. Rusaknya sawar retina darah bagian dalam pada endotel retina
menyebabkan kebocoran cairan dan konstituen plasma ke dalam retina dan sekitarnya
menyebabkan edema yang membuat gangguan pandang. Pada retinopati diabetik
proliferatif terjadi iskemia retina yang progresif yang merangsang neovaskularisasi yang
menyebabkan kebocoran protein-protein serum dalam jumlah besar. Neovaskularisasi yang
rapuh ini berproliferasi ke bagian dalam korpus vitreum yang bila tekanan meninggi saat
berkontraksi maka bisa terjadi perdarahan masif yang berakibat penurunan penglihatan
mendadak. Dianjurkan penyandang diabetes memeriksakan matanya 3 tahun sekali sebelum
timbulnya gejala dan setiap tahun bila sudah mulai ada kerusakan mikro untuk mencegah
kebutaan. Faktor utama adalah gula darah yang terkontrol memperlambat progresivitas
kerusakan retina 3.

32
 Nefropati Diabetik
Ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau > 200 ig/menit pada
minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut menjadi proteinuria akibat
hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat glomerulus. Akibat glikasi nonenzimatik
dan AGE, advanced glication product yang ireversible dan menyebabkan hipertrofi sel dan
kemoatraktan mononuklear serta inhibisi sintesis nitric oxide sebagai vasadilator, terjadi
peningkatan tekanan intraglomerulus dan bila terjadi terus menerus dan inflamasi kronik,
nefritis yang reversible akan berubah menjadi nefropati dimana terjadi keruakan menetap dan
berkembang menjadi chronic kidney disease 3.

 Neuropati diabetik
Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi
distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan
kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah
diangnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi
adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen
10 gram, dilakukan sedikitnya setiap tahun 2 .

2. Makroangiopati
 Pembuluh darah jantung atau koroner dan otak
Kewaspadaan kemungkinan terjadinya PJK dan stroke harus ditingkatkan terutama
untuk merekayangmempunyai resiko tinggi seperti riwayata keluarga PJK atau DM
 Pembuluh darah tepi
Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes, biasanya terjadi
dengangejala tipikal intermiten atau klaudikasio, meskipun sering anpa gejala. Terkadang
ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul 2.

ULKUS DIABETIKUM
1. DEFINISI

33
Diabetes mellitus merupakan penyakit endokrin akibat defek dalam sekresi dan
kerja insulin atau keduanya sehingga terjadi defisiensi insulin relatif atau absolut dimana
tubuh mengeluarkan terlalu sedikit insulin atau insulin yang dikeluarkan resisten
sehingga mengakibatkan kelainan metabolisme kronis berupa hiperglikemia kronik
disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan
komplikasi kronik pada sistem tubuh.

Kaki diabetic atau Diabetic foot adalah kelainan pada tungkai bawah yang
merupakan komplikasi kronik diabetes mellitus. Suatu penyakit pada penderita diabetes
bagian kaki, dengan gejala dan tanda sebagai berikut:

1. Sering kesemutan/gringgingan (asmiptomatus).

2. Jarak tampak menjadi lebih pendek (klaudilasio intermil).

3. Nyeri saat istirahat.

4. Kerusakan jaringan (necrosis, ulkus).

Salah satu komplikasi yang sangat ditakuti penderita diabetes adalah Diabetic
foot. Komplikasi ini terjadi karena terjadinya kerusakan saraf, pasien tidak dapat
membedakan suhu panas dan dingin, rasa sakit pun berkurang.

2. EPIDEMIOLOGI

Di Negara maju Diabetic foot memang masih merupakan masalah kesehatan


masyarakat yang besar, tetapi dengan kemajuan cara pengelolaan, dan adanya klinik
diabetic foot yang aktif mengelola sejak pencegahan primer, nasib penyandang diabetic
foot menjadi lebih cerah. Angka kematian dan angka amputasi dapat ditekan samapai
sangat rendah, menurun sebanyak 49-85% dari sebelumnya.

Di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, masalah diabetic foot masih merupakan


masalah besar. Sebagian besar perawatan penyandang DM selalu menyangkut diabetic
foot. Angka kematian dan angka amputasi masih tinggi, masing-masing sebesar 16% dan
25% (data RSUPNCM tahun 2003). Nasib para penyandang DM pasca amputasi pun
masih sangat buruk. Sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun pasca amputasi,
dan sebanyak 37% akan meninggal 3 tahun pasca amputasi.

34
3. PATOGENESIS

Diabetes mellitus seringkali menyebabkan penyakit vaskular perifer yang


menghambat sirkulasi darah. Dalam kondisi ini, terjadi penyempitan di sekitar arteri
yang sering menyebabkan penurunan sirkulasi yang signifikan di bagian bawah tungkai
dan kaki. Sirkulasi yang buruk ikut berperan terhadap timbulnya diabetic foot dengan
menurunkan jumlah oksigen dan nutrisi yang disuplai ke kulit maupun jaringan lain,
sehingga menyebabkan luka tidak sembuh-sembuh.

Kondisi diabetic foot berasal dari suatu kombinasi dari beberapa penyebab seperti
sirkulasi darah yang buruk dan neuropati. Berbagai kelainan seperti neuropati, angiopati
yang merupakan faktor endogen dan trauma serta infeksi yang merupakan faktor eksogen
yang berperan terhadap terjadinya diabetic foot.

Angiopati diabetes disebabkan oleh beberapa faktor yaitu genetik, metabolik dan
faktor risiko yang lain. Kadar glukosa yang tinggi (hiperglikemia) ternyata mempunyai
dampak negatif yang luas bukan hanya terhadap metabolisme karbohidrat, tetapi juga
terhadap metabolisme protein dan lemak yang dapat menimbulkan pengapuran dan
penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis), akibatnya terjadi gaangguan peredaran
pembuluh darah besar dan kecil., yang mengakibatkan sirkulasi darah yang kurang baik,
pemberian makanan dan oksigenasi kurang dan mudah terjadi penyumbatan aliran darah
terutama derah kaki.

Neuropati diabetik dapat menyebabkan insensitivitas atau hilangnya kemampuan


untuk merasakan nyeri, panas, dan dingin. Diabetes yang menderita neuropati dapat
berkembang menjadi luka, parut, lepuh, atau luka karena tekanan yang tidak disadari
akibat adanya insensitivitas. Apabila cedera kecil ini tidak ditangani, maka akibatnya
dapat terjadi komplikasi dan menyebabkan ulserasi dan bahkan amputasi. neuropati juga
dapat menyebabkan deformitas seperti Bunion, Hammer Toes (ibu jari martil), dan
Charcot Foot.

35
Gambar 1. Salah satu bentuk deformitas pada diabetic foot.

Yang sangat penting bagi diabetik adalah memberi perhatian penuh untuk mencegah
kedua kaki agar tidak terkena cedera. Karena adanya konsekuensi neuropati, observasi setiap
hari terhadap kaki merupakan masalah kritis. Jika pasien diabetes melakukan penilaian
preventif perawatan kaki, maka akan mengurangi risiko yang serius bagi kondisi kakinya.
Sirkulasi yang buruk juga dapat menyebabkan pembengkakan dan kekeringan pada kaki.
Pencegahan komplikasi pada kaki adalah lebih kritis pada pasien diabetik karena sirkulasi
yang buruk merusak proses penyembuhan dan dapat menyebabkan ulkus, infeksi, dan kondisi
serius pada kaki.

Dari faktor-faktor pencetus diatas faktor utama yang paling berperan dalam timbulnya
diabetic foot adalah angiopati, neuropati dan infeksi. Infeksi sendiri sangat jarang merupakan
faktor tunggal untuk terjadinya diabetic foot. Infeksi lebih sering merupakan komplikasi yang
menyertai diabetic foot akibat iskemia atau neuropati. Secara praktis diabetic foot
dikategorikan menjadi 2 golongan :diabetic foot akibat angiopati / iskemia dan diabetic foot
akibat neuropati, dan ditambah diabetic foot akibat infeksi.

II.4.1 Diabetic foot akibat angiopati / iskemia

Penderita hiperglikemia yang lama akan menyebabkan perubahan patologi pada


pembuluh darah. Ini dapat menyebabkan penebalan tunika intima “hiperplasia membran
basalis arteria”, oklusi (penyumbatan) arteria, dan hiperkeragulabilitas atau abnormalitas
tromborsit, sehingga menghantarkan pelekatan (adhesi) dan pembekuan (agregasi).

Selain itu, hiperglikemia juga menyebabkan lekosit DM tidak normal sehingga fungsi
khemotoksis di lokasi radang terganggu. Demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid
intrasel menurun sehingga bila ada infeksi mikroorganisme (bakteri), sukar untuk
dimusnahkan oleh sistem plagositosis-bakterisid intraseluler. Hal tersebut akan diperoleh lagi

36
oleh tidak saja kekakuan arteri, namun juga diperberat oleh rheologi darah yang tidak normal.
Menurut kepustakaan, adanya peningakatan kadar fripronogen dan bertambahnya reaktivitas
trombosit, akan menyebabkan tingginya agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi darah
menjadi lambat, dan memudahkan terbentuknya trombosit pada dinding arteria yang sudah
kaku hingga akhirnya terjadi gangguan sirkulasi.

Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM antara lain berupa


penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer (yang utama). Sering terjadi pada
tungkai bawah (terutama kaki). Akibatnya, perfusi jaringan bagian distal dari tungkai menjadi
kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat berkembang menjadi nekrosis/gangren
yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang memerlukan/tindakan amputasi.

Tanda-tanda dan gejala-gejala akibat penurunan aliran darah ke tungkai meliputi


klaudikasi, nyeri yang terjadi pada telapak atau kaki depan pada saat istirahat atau di malam
hari, tidak ada denyut popliteal atau denyut tibial superior, kulit menipis atau berkilat, atrofi
jaringan lemak subkutan ,tidak ada rambut pada tungkai dan kaki bawah, penebalan kuku,
kemerahan pada area yang terkena ketika tungkai diam, atau berjuntai, dan pucat ketika kaki
diangkat.

II.4.2 Diabetic foot akibat neuropati

Pasien diabetes mellitus sering mengalami neuropati perifer, terutama pada pasien
dengan gula darah yang tidak terkontrol. Di samping itu, dari kasus ulkus/gangren diabetes,
kaki DM 50% akan mengalami infeksi akibat munculnya lingkungan gula darah yang subur
untuk berkembanguya bakteri patogen. Karena kekurangan suplai oksigen, bakteri-bakteri
yang akan tumbuh subur terutama bakteri anaerob.

Neuropati diabetik dapat menyebabkan insensitivitas atau hilangnya kemampuan


untuk merasakan nyeri, panas, dan dingin. Diabetes yang menderita neuropati dapat
berkembang menjadi luka, parut, lepuh, atau luka karena tekanan yang tidak disadari akibat
adanya insensitivitas. Apabila cedera kecil ini tidak ditangani, maka akibatnya dapat terjadi
komplikasi dan menyebabkan ulserasi dan bahkan amputasi.

Secara klinis dijumpai parestesi, hiperestesi, nyeri radikuler, hilangnya reflek tendon,
hilangnya sensibilitas, anhidrosis, pembentukan kalus, ulkus tropik, perubahan bentuk kaki

37
karena atrofi otot ataupun perubahan tulang dan sendi seperti Bunion, Hammer Toes (ibujari
martil), dan Charcot Foot. Secara radiologis akan nampak adanya demineralisasi, osteolisis
atau sendi Charcot.

Gambar 2. Predileksi paling sering terjadinya ulkus pada diabetic foot adalah bagian dorsal
ibu jari dan bagian proksimal & dorsal plantar metatarsal.

Faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya neuropati ditentukan oleh :

- Respon mekanisme proteksi sensoris terhadap trauma


- Macam, besar dan lamanya trauma
- Peranan jaringan lunak kaki

Neuropati perifer pada kaki akan menyebabkan terjadinya kerusakan saraf baik saraf
sensoris maupun otonom. Kerusakan sensoris akan menyebabkan penurunan sensoris nyeri,
panas dan raba sehingga penderita mudah terkena trauma akibat keadaan kaki yang tidak
sensitif ini. Gangguan saraf otonom disini terutama diakibatkan oleh kerusakan serabut saraf
simpatis. Gangguan saraf otonom ini akan mengakibatkan peningkatan aliran darah, produksi
keringat berkurang atau tidak ada, hilangnya tonus vaskuler.

Hilangnya tonus vaskuler disertai dengan adanya peningkatan aliran darah akan
menyebabkan distensi vena-vena kaki dan peningkatan tekanan parsial oksigen di vena.
Dengan demikian peran saraf otonom terhadap timbulnya diabetic foot neuropati dapat
disimpulkan sebagai berikut : neuropati otonom akan menyebabkan produksi keringat
berkurang, sehingga menyebabkan kulit penderita akan mengalami dehidrasi serta menjadi

38
kering dan pecah-pecah yang memudahkan infeksi, dan selanjutnya timbulnya selullitis ulkus
ataupun gangren. Selain itu neuropati otonom akan mengakibatkan penurunan nutrisi jaringan
sehingga terjadi perubahn komposisi, fungsi dan keelastisitasannya sehingga daya tahan
jaringan lunak kaki akan menurun yang memudahkan terjadinya ulkus.

Gambar 3. Gangren jari kaki.

Distribusi tempat terjadinya diabetic foot secara anatomik :3

- 50% ulkus pada ibu jari


- 30% pada ujung plantar metatarsal
- 10 – 15% pada dorsum kaki
- 5 – 10% pada pergelangan kaki
- Lebih dari 10% adalah ulkus multipel

II.4.3 Diabetic foot akibat infeksi

Pada prinsipnya penderita diabetes melitus lebih rentan terhadap infeksi


daripada orang sehat. Keadaan infeksi sering ditemukan sudah dalam kondisi serius
karena gejala klinis yang tidak begitu dirasakan dan diperhatikan penderita.

Faktor-faktor yang merupakan risiko timbulnya infeksi yaitu:

a. faktor imunologi
- produksi antibodi menurun
- peningkatan produksi steroid dari kelenjar adrenal
- daya fagositosis granulosit menurun

39
b. faktor metabolik
- hiperglikemia
- benda keton mengakibatkan asam laktat menurun daya bakterisidnya
- glikogen hepar dan kulit menurun
c. faktor angiopati diabetika
d. faktor neuropati
Beberapa bentuk infeksi diabetic foot antara lain: infeksi pada ulkus telapak kaki,
selulitis atau flegmon non supuratif dorsum pedis dan abses dalam rongga telapak kaki. Pada
ulkus yang mengalami gangren atau ulkus gangrenosa ditemukan infeksi kuman Gram
positif, negatif dan anaerob.

Pada diabetic foot yang disertai infeksi, berdasarkan letak serta penyebabnya dibagi
menjadi 3 kelompok yaitu: (Goldberg dan Neu, 1987)

1. Abses pada deep plantar space


2. Selulitis non supuratif dorsum pedis
3. Ulkus perforasi pada telapak kaki

4. KLASIFIKASI

Berdasarkan dalamnya luka, derajat infeksi dan derajat gangren, maka dibuat
klasifikasi derajat lesi pada diabetic foot menurut Wagner ( Cit. Levin dan O'Neal 1983).

Tabel 4. Klasifikasi Wagner untuk diabetic foot.

Derajat 0 Tidak ada lesi terbuka, kulit utuh dan mungkin disertai kelainan
bentuk kaki
Deraj
at I Ulkus superficial dan terbatas di kulit

Derajat II Ulkus dalam mengenai tendo sampai kulit dan tulang

Derajat III Abses yang dalam dengan atau tanpa ostemoielitis

Dearjat IV Gangren jari kaki atau kaki bagian distal dengan atau tanpa selulitis

Derajat V Gangren seluruh kaki dan sebagian tungkai bawah

40
Sedangkan bila dilihat dari gejala klinis gangguan vascular pada diabetic foot, maka seperti
gangguan vascular kronik lainnya mengikuti stadium dari Fontaine yaitu sebagai berikut :

Tabel 5. Stadium dari Fontaine

Stadium Gejala dan Tanda Klinis

I Gejala tidak spesifik seperti kesemutan, rasa berat

II Claudicatio intermitten yaitu sakit bila berjalan, hilang bila istirahat

IIa Bila keluhan sakit pada jarak jalan >200 m

IIb Bila keluhan sakit pada jarak jalan <200 m

III Rest pain : sakit meskipun waktu istirahat (malam hari)

IV Ulkus / gangrene

5. MANIFESTASI KLINIK

Gambaran klinis dibedakan:

 Neuropathic Foot yang terdiri dari: Ulkus neuropatik, Artropati neuropatik (Artropati
Charcot ), Edema neuropatik
 Neuro-ischemic-foot

Ulkus Neuropatik.

Neuropati perifer diabetik dapat memberikan small fibre neuropathy yang


berakibat gangguan somatik dan otonom. Manifestasinya berupa hilangnya sensasi panas
dan nyeri sebelum rabaan dan fibrasi terganggu. Juga saraf simpatik mengalami
denervasi yang mengganggu aliran darah disebabkan karena terjadi aliran yang berlebih
dengan arteriovenous shunting disekitar kapiler-serta dilatasi arteri perifer. Aliran darah
yang miskin makanan ini mengurangi efektivitas dari perfusi jaringan yang memang
sudah berkurang. Disamping ini neuropati merusak serabut C saraf sensorik sehingga
terjadi gangguan nosiseptor. Jadi ulkus pada kaki diabetik ini akibat iskemia, sering
terlihat adanya gambaran gas. Penyebabnya dapat karena Clostridium , E coli,
Streptococus anaerob, dan Bacteroides sp. Untuk melakukan identifikasi kasus yang
rentan ulkus, kini digunakan alat sederhana untuk screening, yaitu TCD (Tactile

41
Circumferential Discriminator) pada hallux yang korelasinya dengan menggunakan
filament dan ambang fibrasi yang cukup tinggi. Dalam menilai ulkus perlu dipastikan
dalam serta luasnya ulkus. Sering kita terkecoh karena kita anggap enteng, padahal lesi
ini merupakan puncak dari gunung es.

Klinis terlihat melebar pada kaki dan tungkai bawah pada sikap berbaring. Kaki
ada aliran lebih cepat dan vaskularitas lebih. Apabila ada ulkus maka perlu diperhatikan
kuman penyebab infeksinya. Kirim sample untuk biakan bakteri. Goldstein (1996)
Meneliti 25 orang yang secara berurutan masuk dirawat dengan ulkus. la menemukan
phylococcus sebagai isolat terpenting, termasuk MRSA pada 20 % kasus. Streptococcus
enterococcus, Enterobactericcae, dan kuman anaerob terlihat pada 40% luka. Lebih dari
80% peka terhadap Ciprofloxasin dan Levofloxasin.

Artropati Neuropatik

Deformitas kaki sering berakibat pada ulcerasi. Penderita diabetes cenderung


mempunyai jari bengkok yang menekan jari tersebut, yang berhubungan dengan menipis
dan menggesernya timbunan lemak bawah caput metatarsal pertama. Akibatnya daerah
ini rawan ulserasi dan infeksi. Bentuk yang ekstrim dari deformitas kaki ini, yaitu kaki
Charcot. Sebab terjadinya fraktur dan reabsorbsi tulang pada kaki Charcot ini belum
jelas, tetapi diduga akibat neuropati otonom (akibat gagalnya tonus vaskular akan
meningkatkan aliran darah, pembentukan shunt arteriovenosa dan resorbsi tulang padahal
penderita diabetes densitas tulang rendah) dan neuropati perifer (hilang rasa, sehingga
pasien masih aktif berjalan dan sebagainya meskipun tulang fraktur). Akibatnya ada
fraktur, kolaps sendi, dan deformitas kaki. Awalnya kaki Charcot ini akut: panas, merah,
dengan nadi yang keras, dengan atau tanpa trauma (perlu di DD dengan selulitis). Pada
stadium 4 mudah sekali terjadi ulkus dan infeksi dan gangren yang dapat berakibat
amputasi.

Neuro ischeimic foot

Gambaran tungkai ini gabungan antara kelainan arterosklerosis yang dipercepat


pada diabetes dan neuropathic foot. Keluhan klaudikasio intermitten, nyeri tungkai waktu
istirahat, dengan ulserasi dan gangren. Umumnya rest pain diwaktu malam, dan
berkurang pada sikap kaki yang tergantung. Untuk membedakan dengan ulkus
neuropatik, disini ulkusnya nyeri, satu nekrosis, dilingkari pinggiran eritemateus dan

42
tidak disertai callus. Predileksi di ibu jari, tepi medial metatarsal I, atau tepi lateral
metatarsal V, serta tumit. Perlu diperiksa pembuluh darah arteri, kalau perlu dengan
arteriografi.

Adapun perbedaan gambaran klinis antara iskemia dan neuropati pada diabetic foot :

Tabel 6. Perbedaan klinis iskemia dan neuropati pada diabetic foot

Iskemia Neuropati

Gejala Klaudikasio Biasanya tidak nyeri

Nyeri saat istirahat Kadang nyeri neuropati

Inspeksi Tergantung rubor Lengkung tinggi

Perubahan Tropik Kuku-kuku jari kaki

Tak ada perubahan tropic

Palpasi Dingin Hangat

Tak teraba nadi Nadi teraba

Ulserasi Nyeri Tak nyeri

Tumit dan jari kaki Plantar

6. DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis ulkus diabetikum ditegakkan berdasarkan :

Anamnesa

Penderita diabetes melitus mempunyai keluhan klasik yaitu poliuri, polidipsi dan
polifagi. Riwayat pemeriksaan yang telah dilakukan sebelumnya ke dokter dan laboratorium
menunjang penegakkan diagnosis. Adanya riwayat keluarga yang sakit seperti ini dapat
ditemukan, dan memang penyakit ini cenderung herediter. Anamnesis juga harus dilakukan
meliputi aktivitas harian, sepatu yang digunakan, pembentukan kalus, deformitas kaki,
keluhan neuropati, nyeri tungkai saat beraktivitas atau istirahat , durasi menderita DM,

43
penyakit komorbid, kebiasaan (merokok, alkohol), obat-obat yang sedang dikonsumsi,
riwayat menderita ulkus/amputasi sebelumnya.

Riwayat berobat yang tidak teratur mempengaruhi keadaan klinis dan prognosis
seorang pasien, sebab walaupun penanganan telah baik namun terapi diabetesnya tidak teratur
maka akan sia-sia.

Keluhan nyeri pada kaki dirasakan tidak secara langsung segera setelah trauma.
Gangguan neuropati sensorik mengkaburkan gejala apabila luka atau ulkusnya masih ringan.
Setelah luka bertambah luas dan dalam, rasa nyeri mulai dikeluhkan oleh penderita dan
menyebabkan datang berobat ke dokter atau rumah sakit. Banyak dari seluruh penderita
diabetes melitus dengan komplikasi ulkus atau bentuk infeksi lainnya, memeriksakan diri
sudah dalam keadaan lanjut, sehingga penatalaksanaannya lebih rumit dan prognosisnya lebih
buruk ( contohnya amputasi atau sepsis ).

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, seorang dokter akan menemukan ulkus ialah defek pada kulit
sebagian atau seluruh lapisannya ( superfisial atau profunda ) yang bersifat kronik, terinfeksi
dan dapat ditemukan nanah, jaringan nekrotik atau benda asing. Ulkus yang dangkal
mempunyai dasar luka dermis atau lemak / jaringan subkutis saja. Ulkus yang profunda
kedalamannya sampai otot bahkan tulang. Ulkus sering disertai hiperemi di sekitarnya yang
menunjukkan proses radang.

Abses adalah kumpulan pus atau nanah dalam rongga yang sebelumnya tidak ada.
Pada pemeriksaan fisik tampak kulit bengkak, teraba kistik dan fluktuatif. Abses yang
letaknya sangat dalam secara fisik sulit untuk didiagnosis, kecuali nanah telah mencari jalan
keluar dari sumbernya.

Flegmon atau selulitis mempunyai ciri klinis berupa udem kemerahan, non pitting
edema, teraba lebih hangat dari kulit sekitar, tak ada fluktuasi dan nyeri tekan. Hal ini
menandakan proses infeksi / radang telah mencapai jaringan lunak atau soft tissue.

Gangren merupakan jaringan yang mati karena tidak adanya perfusi darah. Klinis
tampak warna hitam, bisa disertai cairan kecoklatan, bau busuk dan teraba dingin. Jika
terdapat krepitasi di bawah kulit maka disebut dengan gas gangren.

44
Melakukan penilaian ulkus kaki merupakan hal yang sangat penting karena berkaitan
dengan keputusan dalam terapi. Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mendapatkan deskripsi
karakter ulkus, menentukan ada tidaknya infeksi, menentukan hal yang melatarbelakangi
terjadinya ulkus (neuropati, obstruksi vaskuler perifer, trauma atau deformitas), klasifikasi
ulkus dan melakukan pemeriksaan neuromuskular untuk menentukan ada/ tidaknya
deformitas, adanya pulsasi arteri tungkai dan pedis.Deskripsi ulkus DM paling tidak harus
meliputi; ukuran, kedalaman, bau, bentuk dan lokasi. Penilaian ini digunakan untuk menilai
kemajuan terapi. Pada ulkus yang dilatarbelakangi neuropati ulkus biasanya bersifat kering,
fisura, kulit hangat, kalus, warna kulit normal dan lokasi biasanya di plantar tepatnya sekitar
kaput metatarsal I-III, lesi sering berupa punch out. Sedangkan lesi akibat iskemia bersifat
sianotik, gangren, kulit dingin dan lokasi tersering adalah di jari. Bentuk ulkus perlu
digambarkan seperti; tepi, dasar, ada/tidak pus, eksudat, edema atau kalus. Kedalaman ulkus
perlu dinilai dengan bantuan probe steril. Probe dapat membantu untuk menentukan adanya
sinus, mengetahui ulkus melibatkan tendon, tulang atau sendi. Berdasarkan penelitian Reiber,
lokasi ulkus tersering adalah di permukaan jari dorsal dan plantar (52%), daerah plantar
(metatarsal dan tumit: 37%) dan daerah dorsum pedis (11%).

Sedangkan untuk menentukan faktor neuropati sebagai penyebab terjadinya ulkus


dapat digunakan pemeriksaan refleks sendi kaki, pemeriksaan sensoris, pemeriksaan dengan
garpu tala, atau dengan uji monofilamen. Uji monofilamen merupakan pemeriksaan yang
sangat sederhana dan cukup sensitif untuk mendiagnosis pasien yang memiliki risiko terkena
ulkus karena telah mengalami gangguan neuropati sensoris perifer. Hasil tes dikatakan tidak
normal apabila pasien tidak dapat merasakan sentuhan nilon monofilamen. Bagian yang
dilakukan pemeriksaan monofilamen adalah di sisi plantar (area metatarsal, tumit dan dan di
antara metatarsal dan tumit) dan sisi dorsal.

Gangguan saraf otonom menimbulkan tanda klinis keringnya kulit pada sela-sela jari
dan cruris. Selain itu terdapat fisura dan kulit pecah-pecah, sehingga mudah terluka dan
kemudian mengalami infeksi.

Pemeriksaan pulsasi merupakan hal terpenting dalam pemeriksaan vaskuler pada


penderita penyakit oklusi arteri pada ekstremitas bagian bawah. Pulsasi arteri femoralis,
arteri poplitea, dorsalis pedis, tibialis posterior harus dinilai dan kekuatannya di kategorikan
sebagai aneurisma, normal, lemah atau hilang. Pada umumnya jika pulsasi arteri tibialis
posterior dan dorsalis pedis teraba normal, perfusi pada level ini menggambarkan patensi

45
aksial normal. Penderita dengan claudicatio intermitten mempunyai gangguan arteri
femoralis superfisialis, dan karena itu meskipun teraba pulsasi pada lipat paha namun tidak
didapatkan pulsasi pada arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior. Penderita diabetik lebih
sering didapatkan menderita gangguan infra popliteal dan karena itu meskipun teraba pulsasi
pada arteri femoral dan poplitea tapi tidak didapatkan pulsasi distalnya.

Ankle brachial index (ABI) merupakan pemeriksaan non-invasif untuk mengetahui


adanya obstruksi di vaskuler perifer bawah. Pemeriksaan ABI sangat murah, mudah
dilakukan dan mempunyai sensitivitas yang cukup baik sebagai marker adanya insufisiensi
arterial. Pemeriksaan ABI dilakukan seperti kita mengukur tekanan darah menggunakan
manset tekanan darah, kemudian adanya tekanan yang berasal dari arteri akan dideteksi oleh
probe Doppler (pengganti stetoskop). Dalam keadaan normal tekanan sistolik di tungkai
bawah (ankle) sama atau sedikit lebih tinggi dibandingkan tekanan darah sistolik lengan atas
(brachial). Pada keadaan di mana terjadi stenosis arteri di tungkai bawah maka akan terjadi
penurunan tekanan. ABI dihitung berdasarkan rasio tekanan sistolik ankle dibagi tekanan
sistolik brachial. Dalam kondisi normal, harga normal dari ABI adalah >0,9, ABI 0,71–0,90
terjadi iskemia ringan, ABI 0,41–0,70 telah terjadi obstruksi vaskuler sedang, ABI 0,00–0,40
telah terjadi obstruksi vaskuler berat.

Pasien diabetes melitus dan hemodialisis yang mempunyai lesi pada arteri kaki bagian
bawah, (karena kalsifikasi pembuluh darah), maka ABI menunjukkan lebih dari 1,2 sehingga
angka ABI tersebut tidak menjadi petunjuk diagnosis. Pasien dengan ABI kurang dari 0,5
dianjurkan operasi (misalnya amputasi) karena prognosis buruk. Jika ABI >0,6 dapat
diharapkan adanya manfaat dari terapi obat dan latihan.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosis secara pasti
adalah dengan melakukan pemeriksaan lengkap yakni pemeriksaan CBC (Complete Blood
Count), pemeriksaan gula darah, fungsi ginjal, fungsi hepar, elektrolit.

Untuk menentukan patensi vaskuler dapat digunakan beberapa pemeriksaan non


invasif seperti; (ankle brachial index/ ABI) yang sudah dijelaskan pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan lainnya ialah transcutaneous oxygen tension (TcP02), USG color Doppler atau
menggunakan pemeriksaan invasif seperti; digital subtraction angiography (DSA), magnetic
resonance angiography (MRA) atau computed tomography angoigraphy (CTA).

46
Apabila diagnosis adanya penyakit obstruksi vaskuler perifer masih diragukan, atau
apabila direncanakan akan dilakukan tindakan revaskularisasi maka pemeriksaan digital
subtraction angiography, CTA atau MRA perlu dikerjakan. Gold standard untuk diagnosis
dan evaluasi obstruksi vaskuler perifer adalah DSA. Pemeriksaan DSA perlu dilakukan bila
intervensi endovascular menjadi pilihan terapi. Pemeriksaan foto polos radiologis pada pedis
juga penting untuk mengetahui ada tidaknya komplikasi osteomielitis. Pada foto tampak
gambaran destruksi tulang dan osteolitik.

7. TATALAKSANA

Prinsip dasar yang baik pengelolaan terhadap tukak diabetic adalah :

a. Evaluasi tukak yang baik : keadaan klinis luka, dalamnya luka, gambaran radiologi
(benda asing, osteomielitis, adanya gas sub kutis), lokasi, biopsy vaskularisasi (non
invasive).
b. Pengelolaan terhadap neuropati diabetik
c. Pengendalian keadaan metabolic sebaik-baiknya
d. Debridement luka yang adekuat, radikal
e. Biakan kuman (aerobic dan anaerobic)
f. Antibiotic oral-parental
g. Perawatan luka yang baik
h. Mengurangi edema
i. Non weight bearing (tirah baring, tongkat penyangga, kursi roda, alas kaki khusus, total
kontak casting)
j. Perbaikan sirkulasi, atau bedah vascular
k. Nutrisi
l. Rehabilitasi

A. Evaluasi
a. Kedalaman ulkus.
Pengobatan ulkus sangat dipengaruhi oleh derajad dan dalamnya ulkus.
Hati-hati bila menjumpai ulkus yang nampaknya kecil dan dangkal, karena
kadang - kadang hal tersebut hanya merupakan puncak dari gunung es,
dan pada pemeriksaan yang seksama penetrasi itu mungkin sudah
mencapai jaringan lebih dalam dan luas.

47
b. Pemeriksaan X foto
Pemeriksaan X foto dimaksudkan untuk mengevaluasi apakah
didapatkan benda asing, osteomielitis, gas subkutan, dan fraktur
asimptomatik.
c. lokasi Ulkus
Apabila lokasi ulkus tidak umum untuk suatu ulkus diabetik sukar
sembuh. Dengan pengelolaan yang adekuat. Dan pada anamnesis tidak diakibatkan
oleh suatu trauma perlu dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan biopsi. Hal
ini, untuk mengetahui kemungkinan terjadinya keganasan pada ulkus tersebut.
d. Evaluasi vaskuler
Untuk rencana pengelolaan lebih lanjut diperlukan evaluasi vaskuler kaki
penderita, diusahakan pemeriksaan yang tidak invasif Salah satu diantaranya
adalah membandingkan tekanan darah sistolik pergelangan kaki dengan tekanan
darah sistolik lengan atas (Ankle-Brachial pressure index), normalnya > 1,1.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Pressure index tersebut dapat dipakai
untuk memperkirakan / meramalkan penyembuhan , suatu ulkus. Pada suatu
penelitian, 87% penderita ulkus dengan pressure index lebih dari 0,6 dapat

sembuh, sedangkan penderita dengan pressure index kurang dari 0,6 yang
mengalami penyembuhan hanya 40 %.
Pengukuran tekanan oksigen transkutan dapat digunakan untuk menaksir
keadaan mikrosirkulasi jaringan. Normalnya, tPO2 jaringan kaki adalah antara
45-90 mmHg.

B. Pengelolaan terhadap Neuropati Diabetik


Pengelolaan neuropati diabetik (ND) sampai saat ini masih sering
menimbulkan frustasi, baik bagi para klinisi maupun penderita. Kegagalan
pengobatan ini oleh karena patogenesis ND masih belum jelas dan tampaknya
multi faktorial. Pada dasarnya pengelolaan ND dilakukan dengan mengontrol
gula darah dan pemberian obat - obatan kausal dan simptomatik.
a. Kontrol gula darah
Pengobatan ND yang paling memberikan harapan adalah kontrol gula

darah secara terus menerus. Suatu penelitian "multicenter randomized clinical

48
trial" pada 1441 penderita tipe I selama 6,5 tahun menyimpulkan bahwa

pengobatan DM yang intensif dapat menghambat progresitifitas neuropati

sebesar 60%.
b. Pengobatan kausal
i. Aldose reduktase inhibitor (ARI).
Pemberian ARI bertujuan untuk mengurangi penumpukkan sorbitol
di saraf perifei dan dengan demikian memperbaiki fungsi saraf
perifer, contoh: Sorbinil, tolstrat.
ii. Aminoguanidin
Aminoguanidin adalah suatu senyawa yang secara farmakologik dapat
menghambat pembentukan AGEs. Mekanisme penghambatannya melalui
reaksi antara prekursot AGEs yaitu 3 deoxyglucosone dengan
aminoauanidine membentuk 3-amino 5-triazines. Pada percobaan binatang,
pemberian aminoguanidine dapat memperbaiki kecepatan hantaran saraf motoris
maupun sensoris. Satu hal yang belum diketahui apakah senvawa int dapat
memberikan efek yang sama pada manusia.
iii. Gangliosid
Gangliosid adalah suatu kompleks glikolipid yang merupakan komponen
intrinsik dari membran sel saraf. Pada suatu percobaan klinis manusia
yang dilakukan secara doble blind versus placebo, nampak terdapat
perbaikan dari parameter elektrofisiologis dan perbaikan gejala klinis. Suatu
multicenter randomized WHO trial di empat negara juga menunjukkan
pengaruh yang positif dari ganglioside. Dosis yang dianjurkan adalah 40 mg
/ hari intra muskuler selama 8 minggu.
iv. Neurotropik
Pemberian neurotropik (vitamin B1. B6 dan B12) untuk mengobati atau
mengurangi gejala ND memberikan hasil yang berbeda-beda. Hal ini
mungkin oleh karena tidak ada bukti yang nyata bahwa defisiensi vitamin

B1, B6, B12 merupakan faktor penyebab terjadinya ND. Bahkan seorang
sarjana melaporkan bahwa pemberian Vitamin B6 dosis tinggi dapat
menyebabkan neuropati sensori.
c. Pengobatan simptomatik

49
Pada pengobatan ND biasanya yang kita obati adalah keluhannya
terutama rasa nyeri atau rasa sakit yang sangat menganggu penderita Belum
ada terapi yang spesifik untuk mengatasi masalah ini.
Penggunaan obat amitriptilin dan flupenasin baik tunggal maupun kombinasi sudah
lama dicoba untuk mengurangi rasa nyeri pada ND. Pemberian obat ini akan
lebih baik hasilnva apabila nyeri disertai gejala depresi. Amitriptilin dapat
diberikan dengan dosis 75 mg / hari dan flupenasin 1 - 3 mg / hari.
Mexiletin merupakan derivat lianokain yang dapat diberikan secara
peroral. mexiletin mempunyai sifat penghambatan saluran natrium sehingga
terjadi hambatan aktivasi saraf Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg / kg
BB / hari, sebaiknya dimulai dengan dosis kecil kemudian dinaikkan pelan -
pelan untuk mengurangi efek samping yang mungkin timbul.
Untuk rasa nyeri yang membandel dapat dicoba pemberian karbamazepin
atau fenitoin. Obat ini diduga dapat menghambat aktivitas saraf tepi yang
kuat dan iritatif.

C. Kontrol metabolik
Istilah PVD mengacu pada penyempitan arteri besar oleh aterosklerosis. Hal ini
sangat umum terjadi pada penderita DM. Terjadinya aterosklerosis adalah akibat defek
metabolik dan defek fisik. Faktor resiko terjadinya aterosklerosis antara lain adalah
hiperglikemia. hiperinsulinemia, dislipidemia, hipertensi, obesitas, hiperkoagulabilitas,
genetik, merokok. Semua faktor resiko yang dapat diobati seharusnya segera dikontrol
dengan sebaik – baiknnva untuk menghambat proses terjadinva atheroklerosis lebih
lanjut.

Intervention

Defect of insulin secretion

Insulin
Insulin Insulin secretagogue
Metformin

Hepatic glucose Carbohydrate


production 
HYPERGLYCEMIA
absorption

Alpha-glucosidase
Thiazolidinedione inhibitor
Metformin
Insulin
Glucose uptake
by muscle and adipose
tissue 

50
Gambar. Algoritma Intervensi Hiperglikemi Pada DM Tipe II

D. Debridement dan Pembalutan


Pada dasarnya, terapi ulkus diabetikum sama dengan terapi pada luka lain, yaitu
mempersiapkan bed luka yang baik untuk menunjang tumbuhnya jaringan granulasi,
sehingga proses penyembuhan luka dapat terjadi. Kita mengenalnya dengan istilah
preparasi bed luka.
Debridement merupakan tahapan yang penting dalam proses penyembuhan luka.
Buang jaringan mati, jaringan hyperkeratosis dan membuat drainase yang baik, dan jika
diperlukan dilakukan secara berulang. Perlu disadari bahwa setelah tindakan ini, luka
menjadi lebih besar dan berdarah. Harus diketahui bahwa tidak ada obat-obatan topikal
yang dapat menggantikan debridement yang baik dengan teknik yang benar dan proses
penyembuhan luka selalu dimulai dari jaringan yang bersih.
Pada beberapa kondisi tidak memerlukan tindakan debridement seperti pada gangren
yang kering, ulkus yang menyembuh dengan scar dan ulkus pada tungkai dengan
sirkulasi yang buruk.
Proses debridement adalah proses usaha menghilangkan jaringan nekrotik atau
jaringan nonvital dan jaringan yang sangat terkontaminasi dari bed luka dengan
mempertahankan secara maksimal struktur anatomi yang penting seperti saraf, pembuluh
darah, tendo dan tulang. Tujuan dasar dari debridement adalah mengurangi kontaminasi
pada luka untuk mengontrol dan mencegah infeksi.
Ada beberapa jenis debridement, yaitu: Autolytic debridement; Enzymayic
debridement; Mechanical debridement; biological debridement; surgical debridement.
Sebelum tindakan bedah (debridement), kondisi yang harus diperhatikan adalah keadaan
umum yang meliputi serum protein > 6,2 g/dl, serum albumin >3,5 g/dl, total limfosit
>1500 sel/mm3. Pemeriksaan kultur diperlukan terutama pada ulkus yang dalam dan
diambil dari jaringan yang dalam.Diperlukan debridement yang optimal sampai nampak
jaringan yang sehat. dengan cara membuang semua jaringan nekrotik. Debridement yang
tidak optimal akan menghambat penyembuhan ulkus.
Pada penanganan infeksi, debridement merupakan langkah awal yang sangat bermanfaat
untuk mengurangi lama pemberian antibiotik dan mengurangi angka amputasi. Kultur
sebaiknya dilakukan setelah atau sewaktu dilakukan debridement. Kultur yang didapat

51
dari hapusan luka luar, sudah dibuktikan memiliki korelasi yang buruk dengan kuman
pathogen sebenarnya

Pembalutan

Banyak teknik dan macam jenis pembalutan yang digunakan saat ini, tapi yang
terpenting pembalutan ideal mempunyai karakteristik sebagai berikut :

Menjaga dan melindungi kelembaban jaringan.

Merangsang penyembuhan luka.

Melindungi dari suhu luar.

Melindungi dari trauma mekanis.

Tidak memerlukan penggantian sering.

Aman digunakan, tidak toksik, tidak mensensitisasi dan hipoalergik.

Bebas dari zat yang mengotori.

Tidak melekat diluka.

Mudah dibuka tanpa rasa nyeri dan merusak luka.

Mempunyai daya serap terhadap eksudat.

Mudah untuk melakukan monitor luka.

Memudahkan pertukaran udara.

Tidak tembus mikroorganisme.

Nyaman untuk pasien.

Mudah penggunaannya.

Biaya terjangkau.

Perawatan luka dalam suasana lembab akan membantu penyembuhan luka dengan
memberikan suasana yang dibutuhkan untuk pertahanan lokal oleh makrofag, akselerasi

52
angiogenesis, dan mempercepat proses penyembuhan luka. Suasana lembab membuat
suasana optimal untuk akselerasi penyembuhan dan memacu pertumbuhan jaringan.
Kemampuan hidrokoloid secara signifikan lebih baik dari kasa NaCl 0,9%, dressing time
rata-rata dan lama rata-rata perawatan ulkus relatif lebih sedikit.

E. Biakan Ulkus
Dalam menghadapi kasus KD kita haruslah berpegang bahwa tidak semua KD
mengalami infeksi. Ulkus yang tidak ada tanda-tanda infeksi tidaklah perlu dilakukan
kultur. Kuman penyebab infeksi pada KD umumnya adalah :
 Infeksi yang ringan : aerobic gram positif ( Staphylococcus aureus. Streptococcus)
 Pada infeksi yang dalam dan mengancam penyebab biasanya polimikrobial, terdiri
dari Aerobic gram positif. Basil gram positif (E coli, Klebsiella sp, Proteus sp),
anaerob ( Bacteriodes sp, Peptostreptcoccus sp).

Untuk menentukan bakteri penyebab infeksi KD diperlukan kultur. Pengambilan


bahan kultur dengan cara swab tidak dianjurkan. Hasil kultur akan lebih dipercaya
apabila pengambilan bahan dengan cara “curettage” dari hasil ulkus setelah
debridement. Budi Riyanto (1997) mendapatkan penyebab infeksi pada KD di RSUP Dr
Kariadi Semarang yang terbanyak adalah enterobacter (18,6%), protese (10%) dan
eschericiacoli (8,6%). Sedangkan Gatot Soegiarto (1998) di RSUP Dr. Soetomo
Surabaya mendapatkan pseudomonas sp (39,15%), Enterobacter sp (23,20%),
Eschericia sp (1,6%) dan Proteus (5,8%).

F. Antibiotika
Adapun prinsip-prinsip penggunaan antibiotik pada kaki diabetik :
 Pilihlah antibiotik yang paling potent terhadap bakteri - bakteri ditempat yang
dicurigai sebagai lokasi (site infeksi).
 Harus diketahui potensi antibiotik yang kita pilih terhadap bakteri -bakteri tertentu.
Antibiotik yang mempunyai potensi balk, memungkinkan pemberian dosis yang
kecil khususnya pada infeksi yang ringan — sedang.
 Spektrum antibiotik. Pada infeksi yang dalam dan mengancam jiwa biasanya
penyebabnya polymicrobial. Sehingga gunakan antibiotik yang melawan aerob gram
positif, aerob gram negatif, dan anaerob.

53
Pada ulkus diabetika ringan/sedang antibiotika yang diberikan difokuskan pada
patogen Gram positif. Pada ulkus terinfeksi yang berat (limb or life threatening
infection) kuman lebih bersifat polimikrobial (mencakup bakteri Gram positif
berbentuk coccus, Gram negatif berbentuk batang, dan bakteri anaerob). Antibiotika
harus bersifat broadspectrum dan diberikan secara injeksi.

Pada infeksi berat yang bersifat limb threatening infection dapat diberikan beberapa
alternatif antibiotika seperti: ampicillin/sulbactam, ticarcillin/clavulanate, piperacillin/
tazobactam, Cefotaxime atau ceftazidime + clindamycin, fluoroquinolone +
clindamycin.

Sementara pada infeksi berat yang bersifat life threatening infection dapat diberikan
beberapa alternatif antibiotika seperti berikut: ampicillin/sulbactam + aztreonam,
piperacillin/tazobactam +vancomycin, vancomycin + metronbidazole+ceftazidime,
imipenem/cilastatin atau fluoroquinolone + vancomycin + metronidazole. Pada
infeksi berat pemberian antibitoika diberikan selama 2 minggu atau lebih.

Bila ulkus disertai osteomielitis penyembuhannya menjadi lebih lama dan sering
kambuh. Maka pengobatan osteomielitis di samping pemberian antibiotika juga harus
dilakukan reseksi bedah. Antibiotika diberikan secara empiris, melalui parenteral
selama beberapa minggu dan kemudain dievaluasi kembali melalui foto polos
radiologi. Apabila jaringan nekrotik tulang telah direseksi sampai bersih, pemberian
antibiotika dapat dipersingkat, biasanya memerlukan waktu 2 minggu.

G. Perbaikan sirkulasi
Sirkulasi pada KD merupakan salah satu faktor yang penting untuk penyembuhan
maka selain faktor vaskuler perlu dipertimbangkan kemungkinan gangguan rheologi
pada penderita tersebut. Penderita DM mempunyai kecenderungan untuk lebih mudah
mengalami koagulasi dibandingkan yang bukan DM akibat adanya gangguan viskositas
pada plasma, deformabilitas eritrosit, agregasi trombosit serta adanya peningkatan trogen
dan faktor von Willbrand’s.
Obat-obat yang mempunyai efek reologik bencyclame, pentoxyfilin dapat memperbaiki
eritrosit disamping mengurangi agregasi eritrosit pada trombosit. Perubahan –perubahan
ini akan memperbaiki mikrosirkulasi dengan tentunya menambah oksigenisasi pada
piringan yang sebelumnya kurang mendapat oksigen. Perbaikan mikrosirkulasi bukan

54
hanya memperbaiki oksigenasi jaringan dapat kemungkinan juga mempertinggi
efektifitas obat antibiotic , dengan demikian dapat mempercepat penyembuhan.
John MF Adam (1990) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa penderita KD yang
mendapat pemberian bencyclane / pentoxyfilin sebanyak 6 ampul sertiap hari yang
diberikan secara “continous drips” selama 10 hari, dan selanjutnya diberikan obat tablet
per oral, mempunyai lama perawatan yang lebih singkat dibandingkan kolompok control.
H. Non weight bearing
Tindakan non wight bearing diperlukan pada penderita KD karena umunnya kaki
penderita sudah tidak peka lagi terhadap rasa nyeri, sehingga apabila dipakai berjalan
maka akan menyebabkan luka bertambah besar dan dalam, serta menyebabkan bakteri
yang ada akan mengadakan penetrasi lebih dalam sehingga. menghambat penyembuhan.
Penggunaan tongkat penyangga ("crutches") dan atau kursi roda jarang mencapai non
weight bearing total dan konsisten. Cara terbaik untuk mencapainya adalah
mempergunakan gips (“contact cast”).

I. Nutrisi
Faktor nutrisi merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penyembuhan luka.
Adanya anemia dan hipoalbuminenia akan sangat berpengaruh dalain proses
penyembuhan. Perlu untuk monitor kadar Hb dan albumin darah minimal satu minggu
sekali. Usahakan Hb di atas 12 gr / dl dan albumin darah > 3,5 gr / dl (4,15). Besi,
vitamin B12, asam folat membantu sel darah merah membawa oksigen ke jaringan. Besi
juga merupakan suatu kofaktor dakam sintesis kolagen, sedangkan vitamin C dan Zinc
penting untuk perbaikan jaringan. Zinc juga berperan dalam respon imun.

Pengelolaan kaki diabetic berdasarkan kriteria Wagner.

Tabel 7. Pengelolaan berdasarkan kriteria Wagner

Derajat 0 Sepatu yang layak

Edukasi

Perawatan Podiatrik paliatif

Bedah profilaksis

Prevensi

55
Derajat I Infeksi : kultur permukaan ulkus dan antibiotic

Perawatan luka

Evaluasi Radiologi

Koreksi Stress

Pembedahan

Derajat II Terapi antibiotic

Evaluasi dimensi luka

Evaluasi radiology

Pembedahan

Derajat III Rawat Rumah Sakit untuk terapi antibiotic intravena

Debribement agresif yang dalam untuk diagnosis osteomielitis

Control metabolic

Bedah plastic menutup sebagaimana diperlukan

Derajat IV Amputasi lokal sesuai lokasi nekrosis dan vaskularitas

Derajat V Amputasi mayor dikehendaki

8. PROGNOSIS
Prognosis penderita kaki diabetik sangat tergantung dari usia karena semakin tua usia
penderita diabetes mellitus semakin mudah untuk mendapatkan masalah yang serius pada
kaki dan tungkainya, lamanya menderita diabetes mellitus, adanya infeksi yang berat, derajat
kualitas sirkulasi, dan keterampilan dari tenaga medis atau paramedis

56
DAFTAR PUSTAKA

1. Foster DW. Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit


dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.
2. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 : PERKENI
2011.
3. Price, Sylvia Anderson. Wilson, Lorraine McCarty. Patofisologi KonsepKlinis
Proses-proses PenyakitEdisi 6. Jakarta: EGC. 2005.
4. Rani Aziz. A, dkk. Panduan Pelayanan Medik,edisi II,Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta : 2006. Hal 9-14.
5. Silabernagi, Stefan. Florian Lang. Penyebab Diabetes Melitus. Teks & Atlas
BerwarnaPatofisiologi. 2002. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
6. Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. dkk. Buku Ajar IlmuPenyakit
Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: IPD FKUI. 2006.
7. Suyono, Slamet. Diabetes Melitus di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
JilidIII, Ed.IV. 2006. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FakultasKedokteran Universitas Indonesia.
8. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya, Diagnosis, dan
Strategi Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu
Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1920.

57

Anda mungkin juga menyukai