Disusun Oleh:
Pembimbing:
1
DAFTAR ISI
BAB I.........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.....................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................3
BAB II.......................................................................................................................................4
TINJAUAN PUUSTAKA........................................................................................................4
2.1 Definisi........................................................................................................................4
2.2 Epidemiologi..............................................................................................................4
2.3 Klasifikasi...................................................................................................................5
2.4 Faktor Risiko.............................................................................................................6
2.5 Etiologi........................................................................................................................6
2.6 Patofisiologi................................................................................................................7
2.6.2 Diabetes Melitus tipe 2............................................................................................7
2.6.3 Diabetes tipe lain......................................................................................................8
2.7 Manifestasi Klinis......................................................................................................8
2.8 Diagnosis.....................................................................................................................8
2.8.1. Diagnosis diabetes melitus......................................................................................8
2.9 Penatalaksanaan......................................................................................................11
2.9.1 Tujuan penatalaksanaan.......................................................................................11
2.10 Komplikasi...............................................................................................................20
2
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes Melitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa didalam darah tinggi
karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara adekuat. Diabetes
melitus suatu kelompok penyakit metabolik dengan kadar gula darah sepanjang hari
bervariasi, meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam 4.
WHO sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat
dituangkan dalam suatu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan
sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawai akibat dari sejumlah faktor dimana
didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin 6.
4
BAB II
TINJAUAN PUUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. World Health
Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang
tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah
faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin 6.
2.2 Epidemiologi
Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 juta orang di seluruh
dunia menderita Diabetes Melitus, atau sekitar 2,8% dari total populasi. Insidensnya terus
meningkat dengan cepat, dan diperkirakan pada tahun 2030, angka ini akan bertambah
menjadi 366 juta atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. DM terdapat di seluruh dunia, namun
lebih sering (terutama tipe 2) terjadi di negara berkembang. Peningkatan prevalens terbesar
terjadi di Asia dan Afrika, sebagai akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup,
seperti pola makan “Western-style” yang tidak sehat. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, dari 24417 responden berusia >15 tahun,
10,2% mengalami Toleransi Glukosa Terganggu (kadar glukosa 140-200 mg/dl setelah puasa
selama 14 jam dan diberi glukosa oral 75 gram). Sebanyak 1,5% mengalami Diabetes Melitus
yang terdiagnosis dan 4,2% mengalami Diabetes Melitus yang tidak terdiagnosis. Baik DM
maupun TGT lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria, dan lebih sering pada
golongan dengan tingkat pendidikan dan status sosial rendah. Daerah dengan angka penderita
DM paling tinggi yaitu Kalimantan Barat dan Maluku Utara yaitu 11,1 %, sedangkan
kelompok usia penderita DM terbanyak adalah 55-64 tahun yaitu 13,5%. Beberapa hal yang
dihubungkan dengan risiko terkena DM adalah obesitas (sentral), hipertensi, kurangnya
aktivitas fisik dan konsumsi sayur-buah kurang dari 5 porsi perhari 6 .
5
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, yaitu:
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat kerusakan dari
sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing (terutama malam hari), sering
lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal atau
kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup 2 .
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat
normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak
ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia,
dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya
diketahui DM setelah usia 30 tahun 2.
d. Endokrinopati
f. Infeksi
g. Imunologi 2 .
4. DM Gestasional
6
2.4 Faktor Risiko
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :
2.5 Etiologi
Diabetes Tipe 2
Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus Tidak
Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalan relatif sel β dan resistensi
insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh
hati. Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi
defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin
pada rangsangan glukosa, namun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang
sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa 3.
7
2.6 Patofisiologi
2.6.1 Diabetes melitus tipe 1
Pada DM tipe I (DM tergantung insulin (IDDM), sebelumnya disebut diabetes
juvenilis), terdapat kekurangan insulin absolut sehingga pasien membutuhkan suplai
insulin dari luar. Keadaan ini disebabkan oleh lesi padasel beta pankreas karena
mekanisme autoimun, yang pada keadaan tertentu dipicu oleh infeksi virus. DM tipe I
terjadi lebih sering pada pembawaantigen HLA tertentu (HLA-DR3 dan HLA-DR4), hal
ini terdapat disposisi genetik. Diabetes melitus tipe 1, diabetes anak-anak (bahasa Inggris:
childhood-onsetdiabetes, juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM)
adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah
akibat defek sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas. IDDM
dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa, namun lebih sering didapat pada
anak-anak 5.
8
pada metabolisme glukosa, sedangkan pengaruhnya pada metabolisme lemak dan protein
dapat dipertahankan dengan baik. Jadi, diabetes tipe II cenderung menyebabkan
hiperglikemia berat tanpa disertai gangguan metabolisme lemak 5.
2.8 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosadarah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM,
pemeriksaan glukosa darah yangdianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahandarah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood),
vena,ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-
angkakriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk
tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukandengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer 6.
9
Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, danpenurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita 2.
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosaplasma sewaktu >200 mg/dL
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO denganbeban 75 gr glukosa lebih
sensitif dan spesifik dibanding denganpemeriksaan glukosa plasma puasa, namun
pemeriksaaninimemiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukanberulang-
ulangdandalam praktek sangat jarang dilakukankarena membutuhkan persiapan
khusus.Apabilahasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,bergantung
pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkanke dalam kelompok toleransi glukosa
terganggu (TGT) atauglukosa darah puasa terganggu (GDPT) 2.
Keterangan:
10
Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaanpenyaring.
Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang menunjukkangejala atau tanda
diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untukmengidentifikasikan
mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji
diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasilpemeriksaan penyaringnya
positif, untuk memastikan diagnosis definitif 2.
Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring dan
diagnosis diabetes melitus.
11
Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untukmenentukan diagnosis
diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosadarah puasa terganggu. Berikut
adalah langkah-langkah penegakkan diagnosisdiabetes melitus, TGT, dan GDPT 2.
2.9 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang
diabetes.
12
2.9.1 Tujuan penatalaksanaan
Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.
Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik
dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku 2.
Pilar penatalaksanaan DM
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa
waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukanIntervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan
insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung
kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria,
insulin dapat segera diberikan 2.
a. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk
dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan
perilaku sehat. Untuk mencapaikeberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Berbagai haltentang edukasi dibahas lebih
mendalam di bagian promosi perilaku sehat. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah
mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada
13
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat
pelatihan khusus 2.
14
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh
dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk).
Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari 2.
Protein
Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.
Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang) 2.
Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
2. Glinid
15
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam
obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial 2.
C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis),
di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang
diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan
pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin
secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping
obat tersebut 2.
16
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan
oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang
masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin
dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1
diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide
yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan
untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM
tipe2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang
menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau
analognya (analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4
inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat
penglepasan glukagon 2.
17
Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan 2.
DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
2. Suntikan
1. Insulin
2. Agonis GLP-1/incretin mimetic
1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
18
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO 2.
19
Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan
menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C belum
mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial (meal-related).
Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah
insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi
insulin basal dengan insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali
insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial
(basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus).
Insulin basal juga dapat dikombinasikan denga OHO untuk menurunkan glukosa
darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan
glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose).
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian 2.
2. Agonis GLP-1
20
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang
tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin
menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan
glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang,
obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah 2.
2.10 Komplikasi
a. Penyulit akut
1. Ketoasidosis Diabetik
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon
pertumbuhan). Keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan
penggunaan glukosa oleh sel tubuh menurun dengan hasil akhir hiperglikemia. Berkurangnya
insulin mengakibatkan aktivitas kreb cycle menurun, asetil Ko-A dan Ko-A bebas akan
meningkat dan asetoasetil asid yang tidak dapat diteruskan dalam kreb cycle tersebut juga
meningkat. Bahan-bahan energi dari lemak yang kemudian di oksidasi untuk menjadi sumber
energi akibat sinyaling sel yang kekurangan glukosa akan mengakibatkan end produk berupa
benda keton yang bersifat asam. Disamping itu glukoneogenesis dari protein dengan asam
amino yang mempunyai ketogenic effect menambah beratnya KAD.
Gambaran klinis KAD meliputi gejala-gejala klinis dan diperkuat dengan
pemeriksaan laboratorium 2.
Gejala Klinis :
Polidipsia, poliuria, dan kelemahan merupakan gejala tersering yang
ditemukan, dimana beratnya gejala tersebut tergantung dari beratnya
hiperglikemia dan lamanya penyakit.
Anoreksia, mual, muntah, dan nyeri perut (lebih sering pada anak-anak) dapat
dijumpai dan ini mirip dengan kegawatan abdomen. Ketonemia diperkirakan
sebagai penyebab dari sebagian besar gejala ini. Beberapa penderita diabetes
bahkan sangat peka dengan adanya keton dan menyebabkan mual dan muntah
yang berlangsung dalam beberapa jam sampai terjadi KAD.
21
Ileus (sekunder akibat hilangnya kalium karena diuresis osmotik) dan dilatasi
lambung dapat terjadi dan ini sebagai predisposisi terjadinya aspirasi.
Pernapasan kussmaul (pernapasan cepat dan dalam) sebagai kompensasi
terhadap asidosis metabolik dan terjadi bila pH < 7,2.
Secara neurologis, 20% penderita tanpa perubahan sensoris, sebagian
penderita lain dengan penurunan kesadaran dan 10% penderita bahkan sampai
koma 1.
Pemeriksaan Laboratorium :
1. Glukosa
Glukosa serum biasanya > 250 mg/dl. Kadar glukosa mencerminkan derajat
kehilangan cairan ekstraseluler. Kehilangan cairan yang berat menyebabkan aliran darah
ginjal berkurang dan menurunnya ekskresi glukosa. Diuresis osmotik akibat hiperglikemia
menyebabkan hilangnya cairan dan elektrolit, dehidrasi, dan hiperosmolaritas (umumnya
sampai 340 mOsm/kg) 2.
2. Keton
Tiga benda keton utama adalah : betahidroksibutirat, asetoasetat, dan aseton. Kadar
keton total umumnya melebihi 3 mM/L dan dapat meningkat sampai 30 mM/L (nilai normal
adalah sampai 0,15 mM/L). Kadar aseton serum meningkat 3-4 kali dari kadar asetoasetat,
namun berbeda dengan keton lainnya aseton tidak berperan dalam terjadinya asidosis.
Betahidroksibutirat dan asetoasetat menumpuk dalam serum dengan perbandingan 3:1 (KAD
ringan) sampai 15:1 (KAD berat) 2.
3. Asidosis.
Asidosis metabolik ditandai dengan kadar bikarbonat serum di bawah 15 mEq/l dan
pH arteri di bawah 7,3. Keadaan ini terutama disebabkan oleh penumpukan
betahidroksibutirat dan asetoasetat di dalam serum 2.
4. Elektrolit.
Kadar natrium serum dapat rendah, normal, atau tinggi. Hiperglikemia menyebabkan
masuknya cairan intraseluler ke ruang ekstraseluler. Hal ini menyebabkan hiponatremia
walaupun terjadi dehidrasi dan hiperosmolaritas. Hipertrigliseridemia dapat juga
menyebabkan menurunnya kadar natrium serum.
Kadar kalium serum juga dapat rendah, normal, dan tinggi. Kadar kalium
mencerminkan perpindahan kalium dari sel akibat asidosis dan derajat kontraksi
intravaskuler. Karena hal di atas dan hal lain, kadar kalium yang normal atau tinggi tidak
22
mencerminkan defisit kalium tubuh total sesungguhnya yang terjadi sekunder akibat diuresis
osmotik yang terus menerus. Kadar kalium yang rendah pada awal pemeriksaan harus
dikelola dengan cepat.
Kadar fosfat serum dapat normal pada saat masuk rumah sakit. Seperti halnya kadar
kalium kadar fosfat tidak mencerminkan defisit tubuh yang sesungguhnya, walaupun terjadi
perpindahan fosfat intraseluler ke ruang ekstraseluler, sebagai bagian dari keadaan katabolik.
Fosfat kemudian hilang melalui urin akibat diuresis osmotik 2.
Lain-lain
Kadar nitrogen ureum darah (BUN) biasanya sekitar 20-30 mg/dl. Lekosit sering
meningkat setinggi 15.000-20.000/ml pada KAD, maka dari itu tidak dapat dipakai sebagai
satu-satunya bukti adanya infeksi. Amilase serum dapat meningkat. Penyebabnya tidak
diketahui, mungkin berasal dari pankreas (namun tidak terbukti ada pankreatitis) atau
kelenjar ludah. Transaminase juga meningkat 2.
Kriteria Diagnosis
Penderita dapat didiagnosis sebagai KAD bila terdapat tanda dan gejala seperti pada
kriteria berikut ini :
Klinis : riwayat diabetes melitus sebelumnya, kesadaran menurun, napas cepat dan
dalam (kussmaul), dan tanda-tanda dehidrasi.
Faktor pencetus yang biasa menyertai, misalnya : infeksi akut, infark miokard akut,
stroke, dan sebagainya.
Laboratorium :
- hiperglikemia (glukosa darah > 250 mg/dl).
- asodosis (pH < 7,3, bikarbonat < 15 mEq/l).
- ketosis (ketonuria dan ketonemia) 6.
Penatalaksanaan :
Prinsip pengobatan KAD dan KHH meliputi :
- Koreksi terhadap :
o Dehidrasi
o Hiperglikemi
o Gangguan keseimbangan elektrolit
- Pengenalan dan pengobatan terhadap faktor pencetus
- Follow up yang ketat
Terapi cairan :
Pasien dewasa :
23
Terapi cairan initial/ awal dimaksudkan untuk memperbaiki volume cairan intra dan
ekstravaskuler serta memperbaiki perfusi ginjal. Bila tidak ada kelainan / gangguan fungsi
jantung, diberikan cairan isotonis NaCl 0,9 % dengan kecepatan 15 sampai 20
ml/kgBB/jam. Pada 1 jam pertama tetesan cairan dipercepat (1-1,5 liter). Pada jam
berikutnya, terapi cairan tergantung derajat dehidrasi, kadar elektrolit serum dan diuresis
(jumlah urin). Secara umum, infus 0,45% NaCl dengan dosis 4-14 ml/kgBB/jam dapat
diberikan bila kadar Na serum normal atau meningkat. Bila kadar Na rendah, diberikan 0,9%
NaCl dengan kecepatan yang sama. Setelah fungsi ginjal membaik, terlihat dengan adanya
diuresis, segera diberikan infus Kalium sebanyak 20-30 mEq/l sampai kondisi pasien stabil
dan dapat menerima suplemen Kalium oral 8.
Terapi Insulin :
Regular Insulin (RI) melalui infus intravena berkesinambungan merupakan terapi
pilihan. Pada pasien dewasa, bila tidak ada hipokalemi (K+ <>).
Pada pasien pediatric, diberikan infus RL berkesinambungan dgn dosis 0,1 UI/kg/jam.
Dosis rendah ini biasanya dapat menurunkan kadar glukosa plasma sebesar 50-75 mg/dl per
jam, sama seperti pada pemberian regimen insulin dgn dosis yang lebih tinggi. Bila kadar
glukosa plasma tidak turun sebesar 50 mg/dl dari kadar awal, periksa keadaan hidrasi pasien.
Infus insulin dapat ditingkatkan 2 kali lipat setiap jam sampai kadar glukosa plasma turun
antara 50 sampai 75 mg/dl per jam. Bila kadar glukosa plasma mencapai 250 mg/dl pada
KAD atau 300 mg/dl pada KHH, dosis insulin diturunkan menjadi 0,05-0,1 UI/kgBB/jam (3-
6 UI/jam) dan pemberian Dextrose (5-10%). Selanjutnya kecepatan insulin atau konsentrasi
Dextrose disesuaikan untuk mempertahankan kadar glukosa plasma normal sampai asidosis
pada KAD atau gangguan mental dan keadaan hiperosmolar pada KHH dapat diatasi.
Ketonemia memerlukan perawatan yang lebih lama daripada hiperglikemi.
Pengukuran langsung terhadap b hydroxy butirate dalam darah merupakan cara yang
lebih baik untuk memantau KAD. Metoda nitroprusside hanya dapat mengukur asam
asetoasetat dan aseton. Beta-OHB, yang merupakan asam kuat dan paling sering ditemukan
pada KAD, tidak dapat diukur dengan metoda nitroprusside. Selama pengobatan, b-OHB
dirubah menjadi asam asetoasetat yang dapat memberi kesan keliru bahwa ketosis
memburuk. Selama pengobatan KAD atau KHH, darah sebaiknya diperiksa setiap 2 – 4 jam
untuk menentukan kadar elektrolit serum, glukosa, ureum, kreatinin, osmolalitas dan pH
darah vena.
24
Umumnya, tidak perlu dilakukan pemeriksaan ulang analisa gas darah arteri.
Keasaman (pH) darah vena (biasanya 0,03 U lebih rendah dari pH arteri) dan anion gap dapat
pula digunakan untuk memantau adanya asidosis pada KAD.
Pada KAD ringan, RI dapat diberikan baik secara subkutan maupun
intramuskuler setiap jam sama efektifnya dengan pemberian intravena pada KAD yang berat.
Pasien dgn KAD ringan sebaiknya diberikan dosis initial / awal RI sebesar 0,4 – 0,6 UI per
kgBB, dimana separuh dosis diberikan secara bolus intravena dan separuhnya secara s.c. atau
i.m. Selanjutnya pada jam2 berikutnya dapat diberikan 0,1/kgBB/jam RI secara subkutan atau
intramuskuler 8.
Kriteria terjadinya perbaikan pada KAD meliputi :
- Penurunan kadar glukosa plasma
- Bicarbonat serum ≥ 18 mEq/l
- pH darah vena > 7,3
Setelah KAD dapat diatasi, pemberian RI subkutan dan terapi cairan sebaiknya diteruskan
sesuai kebutuhan. Pada pasien dewasa, dosis insulin dapat dinaikkan sebesar 5 UI untuk
setiap kenaikan kadar glukosa darah diatas 150 mg/dl sampai 20 UI bila kadar glukosa
darah³ 300 mg/dl. Bila pasien sudah bisa makan, mulai diberlakukan jadwal dosis multiple
menggunakan kombinasi insulin kerja cepat dan kerja sedang / kerja panjang sesuai
kebutuhan untuk mengontrol kadar glukosa plasma 8.
Kalium :
Terapi insulin, koreksi terhadap asidosis dan penambahan cairan dapat menurunkan
kadar kalium serum. Untuk mencegah hipokalemi, penambahan kalium hendaklah dimulai
bila kadar kalium serum turun dibawah 5,5 mEq/l dengan syarat bila sudah terjadi diuresis.
Umumnya pemberian Kalium sebanyak 20-30 mEq (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) dalam setiap
liter cairan infus sudah cukup untuk mempertahankan kadar Kalium serum dalam batas
normal (4 – 5 mEq/l). Bila terjadi hipokalemi berat hendaklah dimulai bersamaan dengan
terapi cairan dan terapi insulin ditunda dulu sampai kadar kalium mencapai > 3,3 mEq/l,
untuk mencegah terjadinya aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot pernafasan 8.
Bikarbonat :
Pemberian bikarbonat pada KAD masih kontroversi. Pada pH >7.0, pemberian insulin
dapat mencegah lipolisis dan menanggulangi ketoasidosis tanpa perlu tambahan pemberian
bikarbonat. Suatu studi prospektif tidak menunjukkan perbaikan atau perubahan morbiditas
atau mortalitas penderita KAD dengan pH darah antara 6.9 – 7.1, yang diberi terapi
bikarbonat. Dan tidak ada studi yang menunjukkan manfaat pemberian bikarbonat pada
25
penderita KAD dengan pH darah.Namun pada penderita dengan asidosis yang beratdimana
pH darah menimbulkan gangguan vaskuler, maka dianjurkan pemberian 100 mmol natrium
bikarbonat yang dicampur dalam 400 ml aquadest dan diberikan dengan kecepatan 200
ml/jam. Pada penderita dengan pH darah antara 6,9 – 7,0 diberikan 50 mmol natrium
bikarbonat yang diencerkan dalam 200 ml aquadest, diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam.
Pada pH darah > 7.0, tidak diperlukan pemberian bikarbonat. Perlu diingat bahwa terapi
insulin dan bikarbonat dapat menurunkan kadar kalium serum. Oleh karena itu, suplementasi
kalium dalam cairan infushendaklah dipertahankan dan dimonitor secara ketat. Selanjutnya,
pH darah vena hendaklah diperiksa setiap setiap 2 jam sampai pH mencapai 7.0. Bila perlu
pemberian bikarbonat dapat diulang. Pada penderita pediatrik, bila pH darah masih <
style=""> 155 mEq/l 8.
Fosfat :
Kadar fosfat serum dapat menurun pada saat terapi insulin. Namun beberapa studi
prospektif tidak menunjukkan adanya manfaatpemberian fosfat pada penderita KAD. Namun
untuk mencegah terjadinya kelemahan otot jantung dan otot rangka serta depresi pernafasan
akibat hipofosfatemia, perlu diberikan suplemen fosfat terutama pada penderita yang disertai
dengan gangguan fungsi jantung, anemia atau depresi pernafasan dan pada penderita dengan
kadar fosfat serum 8.
26
27
2. Koma Hiperosmolar Non Ketotik
Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih besar dari 600 mg%
tanpa ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350 mosm. Keadaan ini jarang
mengenai anak-anak, usia muda atau diabetes tipe non insulin dependen karena pada keadaan
ini pasien akan jatuh kedalam kondisi KAD, sedangkan pada DM tipe 2 dimana kadar insulin
darah nya masih cukup untuk mencegah lipolisis tetapi tidak dapat mencegah keadaan
hiperglikemia sehingga tidak timbul hiperketonemia 2.
Kriteria diagnosis Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik adalah :
28
Tabel 3.
29
: Kriteria diagnosis Ketoasidosis dan Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik
Ketoasidosis Diabetik Keadaan Hiperosmolar
Hiperglikemik
Glukosa Plasma > 250 > 250 > 250 > 600
(mg/dl)
pH arteri 7,25-7,30 7,00- <> > 7,30
<7,24
Bikarbonat Serum 15-18 10-<15 <> > 15
(mEq/l)
Keton urin Positif Positif Positif Sedikit/negatif
Keton Serum Positif Positif Positif Sedikit/negatif
Osmolalitas serum Bervariasi Bervariasi Bervariasi > 320
efektif (mOsm/kg)
Anion gap > 10 > 12 >12 <12
Sensorium Sadar Apatis Stupor/Coma Stupor/Coma
3. Hipoglikemia
Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala klinis atau
GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium parasimpatik: lapar, mual,
tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan : lemah lesu, sulit bicara gangguan
kognitif sementara. Stadium simpatik, gejala adrenergik yaitukeringat dingin pada muka,
bibir dan gemetar dada berdebar-debar. Stadium gangguan otak berat, gejala neuroglikopenik
: pusing, gelisah, penurunan kesadaran dengan atau tanpa kejang 8.
Terapi
Stadium permulaan ( sadar )
•Berikan gula murni 30 gram ( 2 sendok makan ) atau sirop /permen atau gula murni
(bukan pemanis pengganti gula atau gula diit /gula diabetes ) dan makanan yang
mengandung karbohidrat
• Hentikan obat hipoglikemik sementara
• Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
• Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL ( bila sebelumnya tidak sadar)
• Cari penyebab
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia );
1) Diberikan larutan destrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 mL)bolus intra vena ,
30
2) Diberikan cairan dekstrosa 10 % per infuse ,6 jam perkolf
3) Periksa GD sewaktu (GDs) ,kalau memungkinkan dengan glukometer ;
• Bila GDs < 50 mg /dL-- + bolus dekstrosa 40% 50 % ml IV
• Bila GDs < 100 mg /dL --+ bolus dekstrosa 40 % 25 % mL IV
5) Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 berturut –turut ,pemantauan GDs setiap 2 jam ,dengan
protocol sesuai diatas ,bila GDs >200 mg/dL – pertimbangkan mengganti infuse dengan
dekstrosa 5 % atau NaCI 0,9 %
6) Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut- turut ,pemantauan GDs setiap 4 jam
,dengan protocol sesuai diatas .bila GDs > 200 mg/dL – pertimbangkan mengganti infuse
dengan dekstrosa 5 % atau NaCI 0.9 %
7) Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut ,slinding scale setiap 6 jam :
GD ---- RI
( mg/dL ) (unit, subkutan )
<200 0
200-250 5
250-300 10
300-350 15
>350 20
8) bila hipoglikemia belum teratasi ,dipertimbangkan pemberian antagonis insulin seperti ;
adrenalin ,kortison dosis tinggi ,atau glikagon 0,5-1 mg IV / IM ( bila penyebabnya insulin )
9) bila pasien belum sadar ,GDs sekitar 200 mg / dL .hidrokortison 100 mgper 4 jam selama
12 jam atau deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan manitol 1,5 - 2
g/kgBB IV setiap 6-8 jam ,cari penyebab lain penurunan kesadaran 8.
b. Penyulit menahun
31
1. Mikroangiopati
Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi endotel dan trombosis
Retinopati Diabetik
Retinopati diabetik nonproliferatif, karena hiperpermeabilitas dan inkompetens vasa.
Kapiler membentuk kantung-kantung kecil menonjol seperti titik-titik mikroaneurisma dan
vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok. Bahayanya dapat terjadi perdarahan
disetiap lapisan retina. Rusaknya sawar retina darah bagian dalam pada endotel retina
menyebabkan kebocoran cairan dan konstituen plasma ke dalam retina dan sekitarnya
menyebabkan edema yang membuat gangguan pandang. Pada retinopati diabetik
proliferatif terjadi iskemia retina yang progresif yang merangsang neovaskularisasi yang
menyebabkan kebocoran protein-protein serum dalam jumlah besar. Neovaskularisasi yang
rapuh ini berproliferasi ke bagian dalam korpus vitreum yang bila tekanan meninggi saat
berkontraksi maka bisa terjadi perdarahan masif yang berakibat penurunan penglihatan
mendadak. Dianjurkan penyandang diabetes memeriksakan matanya 3 tahun sekali sebelum
timbulnya gejala dan setiap tahun bila sudah mulai ada kerusakan mikro untuk mencegah
kebutaan. Faktor utama adalah gula darah yang terkontrol memperlambat progresivitas
kerusakan retina 3.
32
Nefropati Diabetik
Ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau > 200 ig/menit pada
minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut menjadi proteinuria akibat
hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat glomerulus. Akibat glikasi nonenzimatik
dan AGE, advanced glication product yang ireversible dan menyebabkan hipertrofi sel dan
kemoatraktan mononuklear serta inhibisi sintesis nitric oxide sebagai vasadilator, terjadi
peningkatan tekanan intraglomerulus dan bila terjadi terus menerus dan inflamasi kronik,
nefritis yang reversible akan berubah menjadi nefropati dimana terjadi keruakan menetap dan
berkembang menjadi chronic kidney disease 3.
Neuropati diabetik
Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi
distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan
kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah
diangnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi
adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen
10 gram, dilakukan sedikitnya setiap tahun 2 .
2. Makroangiopati
Pembuluh darah jantung atau koroner dan otak
Kewaspadaan kemungkinan terjadinya PJK dan stroke harus ditingkatkan terutama
untuk merekayangmempunyai resiko tinggi seperti riwayata keluarga PJK atau DM
Pembuluh darah tepi
Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes, biasanya terjadi
dengangejala tipikal intermiten atau klaudikasio, meskipun sering anpa gejala. Terkadang
ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul 2.
ULKUS DIABETIKUM
1. DEFINISI
33
Diabetes mellitus merupakan penyakit endokrin akibat defek dalam sekresi dan
kerja insulin atau keduanya sehingga terjadi defisiensi insulin relatif atau absolut dimana
tubuh mengeluarkan terlalu sedikit insulin atau insulin yang dikeluarkan resisten
sehingga mengakibatkan kelainan metabolisme kronis berupa hiperglikemia kronik
disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan
komplikasi kronik pada sistem tubuh.
Kaki diabetic atau Diabetic foot adalah kelainan pada tungkai bawah yang
merupakan komplikasi kronik diabetes mellitus. Suatu penyakit pada penderita diabetes
bagian kaki, dengan gejala dan tanda sebagai berikut:
Salah satu komplikasi yang sangat ditakuti penderita diabetes adalah Diabetic
foot. Komplikasi ini terjadi karena terjadinya kerusakan saraf, pasien tidak dapat
membedakan suhu panas dan dingin, rasa sakit pun berkurang.
2. EPIDEMIOLOGI
34
3. PATOGENESIS
Kondisi diabetic foot berasal dari suatu kombinasi dari beberapa penyebab seperti
sirkulasi darah yang buruk dan neuropati. Berbagai kelainan seperti neuropati, angiopati
yang merupakan faktor endogen dan trauma serta infeksi yang merupakan faktor eksogen
yang berperan terhadap terjadinya diabetic foot.
Angiopati diabetes disebabkan oleh beberapa faktor yaitu genetik, metabolik dan
faktor risiko yang lain. Kadar glukosa yang tinggi (hiperglikemia) ternyata mempunyai
dampak negatif yang luas bukan hanya terhadap metabolisme karbohidrat, tetapi juga
terhadap metabolisme protein dan lemak yang dapat menimbulkan pengapuran dan
penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis), akibatnya terjadi gaangguan peredaran
pembuluh darah besar dan kecil., yang mengakibatkan sirkulasi darah yang kurang baik,
pemberian makanan dan oksigenasi kurang dan mudah terjadi penyumbatan aliran darah
terutama derah kaki.
35
Gambar 1. Salah satu bentuk deformitas pada diabetic foot.
Yang sangat penting bagi diabetik adalah memberi perhatian penuh untuk mencegah
kedua kaki agar tidak terkena cedera. Karena adanya konsekuensi neuropati, observasi setiap
hari terhadap kaki merupakan masalah kritis. Jika pasien diabetes melakukan penilaian
preventif perawatan kaki, maka akan mengurangi risiko yang serius bagi kondisi kakinya.
Sirkulasi yang buruk juga dapat menyebabkan pembengkakan dan kekeringan pada kaki.
Pencegahan komplikasi pada kaki adalah lebih kritis pada pasien diabetik karena sirkulasi
yang buruk merusak proses penyembuhan dan dapat menyebabkan ulkus, infeksi, dan kondisi
serius pada kaki.
Dari faktor-faktor pencetus diatas faktor utama yang paling berperan dalam timbulnya
diabetic foot adalah angiopati, neuropati dan infeksi. Infeksi sendiri sangat jarang merupakan
faktor tunggal untuk terjadinya diabetic foot. Infeksi lebih sering merupakan komplikasi yang
menyertai diabetic foot akibat iskemia atau neuropati. Secara praktis diabetic foot
dikategorikan menjadi 2 golongan :diabetic foot akibat angiopati / iskemia dan diabetic foot
akibat neuropati, dan ditambah diabetic foot akibat infeksi.
Selain itu, hiperglikemia juga menyebabkan lekosit DM tidak normal sehingga fungsi
khemotoksis di lokasi radang terganggu. Demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid
intrasel menurun sehingga bila ada infeksi mikroorganisme (bakteri), sukar untuk
dimusnahkan oleh sistem plagositosis-bakterisid intraseluler. Hal tersebut akan diperoleh lagi
36
oleh tidak saja kekakuan arteri, namun juga diperberat oleh rheologi darah yang tidak normal.
Menurut kepustakaan, adanya peningakatan kadar fripronogen dan bertambahnya reaktivitas
trombosit, akan menyebabkan tingginya agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi darah
menjadi lambat, dan memudahkan terbentuknya trombosit pada dinding arteria yang sudah
kaku hingga akhirnya terjadi gangguan sirkulasi.
Pasien diabetes mellitus sering mengalami neuropati perifer, terutama pada pasien
dengan gula darah yang tidak terkontrol. Di samping itu, dari kasus ulkus/gangren diabetes,
kaki DM 50% akan mengalami infeksi akibat munculnya lingkungan gula darah yang subur
untuk berkembanguya bakteri patogen. Karena kekurangan suplai oksigen, bakteri-bakteri
yang akan tumbuh subur terutama bakteri anaerob.
Secara klinis dijumpai parestesi, hiperestesi, nyeri radikuler, hilangnya reflek tendon,
hilangnya sensibilitas, anhidrosis, pembentukan kalus, ulkus tropik, perubahan bentuk kaki
37
karena atrofi otot ataupun perubahan tulang dan sendi seperti Bunion, Hammer Toes (ibujari
martil), dan Charcot Foot. Secara radiologis akan nampak adanya demineralisasi, osteolisis
atau sendi Charcot.
Gambar 2. Predileksi paling sering terjadinya ulkus pada diabetic foot adalah bagian dorsal
ibu jari dan bagian proksimal & dorsal plantar metatarsal.
Neuropati perifer pada kaki akan menyebabkan terjadinya kerusakan saraf baik saraf
sensoris maupun otonom. Kerusakan sensoris akan menyebabkan penurunan sensoris nyeri,
panas dan raba sehingga penderita mudah terkena trauma akibat keadaan kaki yang tidak
sensitif ini. Gangguan saraf otonom disini terutama diakibatkan oleh kerusakan serabut saraf
simpatis. Gangguan saraf otonom ini akan mengakibatkan peningkatan aliran darah, produksi
keringat berkurang atau tidak ada, hilangnya tonus vaskuler.
Hilangnya tonus vaskuler disertai dengan adanya peningkatan aliran darah akan
menyebabkan distensi vena-vena kaki dan peningkatan tekanan parsial oksigen di vena.
Dengan demikian peran saraf otonom terhadap timbulnya diabetic foot neuropati dapat
disimpulkan sebagai berikut : neuropati otonom akan menyebabkan produksi keringat
berkurang, sehingga menyebabkan kulit penderita akan mengalami dehidrasi serta menjadi
38
kering dan pecah-pecah yang memudahkan infeksi, dan selanjutnya timbulnya selullitis ulkus
ataupun gangren. Selain itu neuropati otonom akan mengakibatkan penurunan nutrisi jaringan
sehingga terjadi perubahn komposisi, fungsi dan keelastisitasannya sehingga daya tahan
jaringan lunak kaki akan menurun yang memudahkan terjadinya ulkus.
a. faktor imunologi
- produksi antibodi menurun
- peningkatan produksi steroid dari kelenjar adrenal
- daya fagositosis granulosit menurun
39
b. faktor metabolik
- hiperglikemia
- benda keton mengakibatkan asam laktat menurun daya bakterisidnya
- glikogen hepar dan kulit menurun
c. faktor angiopati diabetika
d. faktor neuropati
Beberapa bentuk infeksi diabetic foot antara lain: infeksi pada ulkus telapak kaki,
selulitis atau flegmon non supuratif dorsum pedis dan abses dalam rongga telapak kaki. Pada
ulkus yang mengalami gangren atau ulkus gangrenosa ditemukan infeksi kuman Gram
positif, negatif dan anaerob.
Pada diabetic foot yang disertai infeksi, berdasarkan letak serta penyebabnya dibagi
menjadi 3 kelompok yaitu: (Goldberg dan Neu, 1987)
4. KLASIFIKASI
Berdasarkan dalamnya luka, derajat infeksi dan derajat gangren, maka dibuat
klasifikasi derajat lesi pada diabetic foot menurut Wagner ( Cit. Levin dan O'Neal 1983).
Derajat 0 Tidak ada lesi terbuka, kulit utuh dan mungkin disertai kelainan
bentuk kaki
Deraj
at I Ulkus superficial dan terbatas di kulit
Dearjat IV Gangren jari kaki atau kaki bagian distal dengan atau tanpa selulitis
40
Sedangkan bila dilihat dari gejala klinis gangguan vascular pada diabetic foot, maka seperti
gangguan vascular kronik lainnya mengikuti stadium dari Fontaine yaitu sebagai berikut :
IV Ulkus / gangrene
5. MANIFESTASI KLINIK
Neuropathic Foot yang terdiri dari: Ulkus neuropatik, Artropati neuropatik (Artropati
Charcot ), Edema neuropatik
Neuro-ischemic-foot
Ulkus Neuropatik.
41
Circumferential Discriminator) pada hallux yang korelasinya dengan menggunakan
filament dan ambang fibrasi yang cukup tinggi. Dalam menilai ulkus perlu dipastikan
dalam serta luasnya ulkus. Sering kita terkecoh karena kita anggap enteng, padahal lesi
ini merupakan puncak dari gunung es.
Klinis terlihat melebar pada kaki dan tungkai bawah pada sikap berbaring. Kaki
ada aliran lebih cepat dan vaskularitas lebih. Apabila ada ulkus maka perlu diperhatikan
kuman penyebab infeksinya. Kirim sample untuk biakan bakteri. Goldstein (1996)
Meneliti 25 orang yang secara berurutan masuk dirawat dengan ulkus. la menemukan
phylococcus sebagai isolat terpenting, termasuk MRSA pada 20 % kasus. Streptococcus
enterococcus, Enterobactericcae, dan kuman anaerob terlihat pada 40% luka. Lebih dari
80% peka terhadap Ciprofloxasin dan Levofloxasin.
Artropati Neuropatik
42
tidak disertai callus. Predileksi di ibu jari, tepi medial metatarsal I, atau tepi lateral
metatarsal V, serta tumit. Perlu diperiksa pembuluh darah arteri, kalau perlu dengan
arteriografi.
Adapun perbedaan gambaran klinis antara iskemia dan neuropati pada diabetic foot :
Iskemia Neuropati
6. DIAGNOSIS
Anamnesa
Penderita diabetes melitus mempunyai keluhan klasik yaitu poliuri, polidipsi dan
polifagi. Riwayat pemeriksaan yang telah dilakukan sebelumnya ke dokter dan laboratorium
menunjang penegakkan diagnosis. Adanya riwayat keluarga yang sakit seperti ini dapat
ditemukan, dan memang penyakit ini cenderung herediter. Anamnesis juga harus dilakukan
meliputi aktivitas harian, sepatu yang digunakan, pembentukan kalus, deformitas kaki,
keluhan neuropati, nyeri tungkai saat beraktivitas atau istirahat , durasi menderita DM,
43
penyakit komorbid, kebiasaan (merokok, alkohol), obat-obat yang sedang dikonsumsi,
riwayat menderita ulkus/amputasi sebelumnya.
Riwayat berobat yang tidak teratur mempengaruhi keadaan klinis dan prognosis
seorang pasien, sebab walaupun penanganan telah baik namun terapi diabetesnya tidak teratur
maka akan sia-sia.
Keluhan nyeri pada kaki dirasakan tidak secara langsung segera setelah trauma.
Gangguan neuropati sensorik mengkaburkan gejala apabila luka atau ulkusnya masih ringan.
Setelah luka bertambah luas dan dalam, rasa nyeri mulai dikeluhkan oleh penderita dan
menyebabkan datang berobat ke dokter atau rumah sakit. Banyak dari seluruh penderita
diabetes melitus dengan komplikasi ulkus atau bentuk infeksi lainnya, memeriksakan diri
sudah dalam keadaan lanjut, sehingga penatalaksanaannya lebih rumit dan prognosisnya lebih
buruk ( contohnya amputasi atau sepsis ).
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, seorang dokter akan menemukan ulkus ialah defek pada kulit
sebagian atau seluruh lapisannya ( superfisial atau profunda ) yang bersifat kronik, terinfeksi
dan dapat ditemukan nanah, jaringan nekrotik atau benda asing. Ulkus yang dangkal
mempunyai dasar luka dermis atau lemak / jaringan subkutis saja. Ulkus yang profunda
kedalamannya sampai otot bahkan tulang. Ulkus sering disertai hiperemi di sekitarnya yang
menunjukkan proses radang.
Abses adalah kumpulan pus atau nanah dalam rongga yang sebelumnya tidak ada.
Pada pemeriksaan fisik tampak kulit bengkak, teraba kistik dan fluktuatif. Abses yang
letaknya sangat dalam secara fisik sulit untuk didiagnosis, kecuali nanah telah mencari jalan
keluar dari sumbernya.
Flegmon atau selulitis mempunyai ciri klinis berupa udem kemerahan, non pitting
edema, teraba lebih hangat dari kulit sekitar, tak ada fluktuasi dan nyeri tekan. Hal ini
menandakan proses infeksi / radang telah mencapai jaringan lunak atau soft tissue.
Gangren merupakan jaringan yang mati karena tidak adanya perfusi darah. Klinis
tampak warna hitam, bisa disertai cairan kecoklatan, bau busuk dan teraba dingin. Jika
terdapat krepitasi di bawah kulit maka disebut dengan gas gangren.
44
Melakukan penilaian ulkus kaki merupakan hal yang sangat penting karena berkaitan
dengan keputusan dalam terapi. Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mendapatkan deskripsi
karakter ulkus, menentukan ada tidaknya infeksi, menentukan hal yang melatarbelakangi
terjadinya ulkus (neuropati, obstruksi vaskuler perifer, trauma atau deformitas), klasifikasi
ulkus dan melakukan pemeriksaan neuromuskular untuk menentukan ada/ tidaknya
deformitas, adanya pulsasi arteri tungkai dan pedis.Deskripsi ulkus DM paling tidak harus
meliputi; ukuran, kedalaman, bau, bentuk dan lokasi. Penilaian ini digunakan untuk menilai
kemajuan terapi. Pada ulkus yang dilatarbelakangi neuropati ulkus biasanya bersifat kering,
fisura, kulit hangat, kalus, warna kulit normal dan lokasi biasanya di plantar tepatnya sekitar
kaput metatarsal I-III, lesi sering berupa punch out. Sedangkan lesi akibat iskemia bersifat
sianotik, gangren, kulit dingin dan lokasi tersering adalah di jari. Bentuk ulkus perlu
digambarkan seperti; tepi, dasar, ada/tidak pus, eksudat, edema atau kalus. Kedalaman ulkus
perlu dinilai dengan bantuan probe steril. Probe dapat membantu untuk menentukan adanya
sinus, mengetahui ulkus melibatkan tendon, tulang atau sendi. Berdasarkan penelitian Reiber,
lokasi ulkus tersering adalah di permukaan jari dorsal dan plantar (52%), daerah plantar
(metatarsal dan tumit: 37%) dan daerah dorsum pedis (11%).
Gangguan saraf otonom menimbulkan tanda klinis keringnya kulit pada sela-sela jari
dan cruris. Selain itu terdapat fisura dan kulit pecah-pecah, sehingga mudah terluka dan
kemudian mengalami infeksi.
45
aksial normal. Penderita dengan claudicatio intermitten mempunyai gangguan arteri
femoralis superfisialis, dan karena itu meskipun teraba pulsasi pada lipat paha namun tidak
didapatkan pulsasi pada arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior. Penderita diabetik lebih
sering didapatkan menderita gangguan infra popliteal dan karena itu meskipun teraba pulsasi
pada arteri femoral dan poplitea tapi tidak didapatkan pulsasi distalnya.
Pasien diabetes melitus dan hemodialisis yang mempunyai lesi pada arteri kaki bagian
bawah, (karena kalsifikasi pembuluh darah), maka ABI menunjukkan lebih dari 1,2 sehingga
angka ABI tersebut tidak menjadi petunjuk diagnosis. Pasien dengan ABI kurang dari 0,5
dianjurkan operasi (misalnya amputasi) karena prognosis buruk. Jika ABI >0,6 dapat
diharapkan adanya manfaat dari terapi obat dan latihan.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosis secara pasti
adalah dengan melakukan pemeriksaan lengkap yakni pemeriksaan CBC (Complete Blood
Count), pemeriksaan gula darah, fungsi ginjal, fungsi hepar, elektrolit.
46
Apabila diagnosis adanya penyakit obstruksi vaskuler perifer masih diragukan, atau
apabila direncanakan akan dilakukan tindakan revaskularisasi maka pemeriksaan digital
subtraction angiography, CTA atau MRA perlu dikerjakan. Gold standard untuk diagnosis
dan evaluasi obstruksi vaskuler perifer adalah DSA. Pemeriksaan DSA perlu dilakukan bila
intervensi endovascular menjadi pilihan terapi. Pemeriksaan foto polos radiologis pada pedis
juga penting untuk mengetahui ada tidaknya komplikasi osteomielitis. Pada foto tampak
gambaran destruksi tulang dan osteolitik.
7. TATALAKSANA
a. Evaluasi tukak yang baik : keadaan klinis luka, dalamnya luka, gambaran radiologi
(benda asing, osteomielitis, adanya gas sub kutis), lokasi, biopsy vaskularisasi (non
invasive).
b. Pengelolaan terhadap neuropati diabetik
c. Pengendalian keadaan metabolic sebaik-baiknya
d. Debridement luka yang adekuat, radikal
e. Biakan kuman (aerobic dan anaerobic)
f. Antibiotic oral-parental
g. Perawatan luka yang baik
h. Mengurangi edema
i. Non weight bearing (tirah baring, tongkat penyangga, kursi roda, alas kaki khusus, total
kontak casting)
j. Perbaikan sirkulasi, atau bedah vascular
k. Nutrisi
l. Rehabilitasi
A. Evaluasi
a. Kedalaman ulkus.
Pengobatan ulkus sangat dipengaruhi oleh derajad dan dalamnya ulkus.
Hati-hati bila menjumpai ulkus yang nampaknya kecil dan dangkal, karena
kadang - kadang hal tersebut hanya merupakan puncak dari gunung es,
dan pada pemeriksaan yang seksama penetrasi itu mungkin sudah
mencapai jaringan lebih dalam dan luas.
47
b. Pemeriksaan X foto
Pemeriksaan X foto dimaksudkan untuk mengevaluasi apakah
didapatkan benda asing, osteomielitis, gas subkutan, dan fraktur
asimptomatik.
c. lokasi Ulkus
Apabila lokasi ulkus tidak umum untuk suatu ulkus diabetik sukar
sembuh. Dengan pengelolaan yang adekuat. Dan pada anamnesis tidak diakibatkan
oleh suatu trauma perlu dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan biopsi. Hal
ini, untuk mengetahui kemungkinan terjadinya keganasan pada ulkus tersebut.
d. Evaluasi vaskuler
Untuk rencana pengelolaan lebih lanjut diperlukan evaluasi vaskuler kaki
penderita, diusahakan pemeriksaan yang tidak invasif Salah satu diantaranya
adalah membandingkan tekanan darah sistolik pergelangan kaki dengan tekanan
darah sistolik lengan atas (Ankle-Brachial pressure index), normalnya > 1,1.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Pressure index tersebut dapat dipakai
untuk memperkirakan / meramalkan penyembuhan , suatu ulkus. Pada suatu
penelitian, 87% penderita ulkus dengan pressure index lebih dari 0,6 dapat
sembuh, sedangkan penderita dengan pressure index kurang dari 0,6 yang
mengalami penyembuhan hanya 40 %.
Pengukuran tekanan oksigen transkutan dapat digunakan untuk menaksir
keadaan mikrosirkulasi jaringan. Normalnya, tPO2 jaringan kaki adalah antara
45-90 mmHg.
48
trial" pada 1441 penderita tipe I selama 6,5 tahun menyimpulkan bahwa
sebesar 60%.
b. Pengobatan kausal
i. Aldose reduktase inhibitor (ARI).
Pemberian ARI bertujuan untuk mengurangi penumpukkan sorbitol
di saraf perifei dan dengan demikian memperbaiki fungsi saraf
perifer, contoh: Sorbinil, tolstrat.
ii. Aminoguanidin
Aminoguanidin adalah suatu senyawa yang secara farmakologik dapat
menghambat pembentukan AGEs. Mekanisme penghambatannya melalui
reaksi antara prekursot AGEs yaitu 3 deoxyglucosone dengan
aminoauanidine membentuk 3-amino 5-triazines. Pada percobaan binatang,
pemberian aminoguanidine dapat memperbaiki kecepatan hantaran saraf motoris
maupun sensoris. Satu hal yang belum diketahui apakah senvawa int dapat
memberikan efek yang sama pada manusia.
iii. Gangliosid
Gangliosid adalah suatu kompleks glikolipid yang merupakan komponen
intrinsik dari membran sel saraf. Pada suatu percobaan klinis manusia
yang dilakukan secara doble blind versus placebo, nampak terdapat
perbaikan dari parameter elektrofisiologis dan perbaikan gejala klinis. Suatu
multicenter randomized WHO trial di empat negara juga menunjukkan
pengaruh yang positif dari ganglioside. Dosis yang dianjurkan adalah 40 mg
/ hari intra muskuler selama 8 minggu.
iv. Neurotropik
Pemberian neurotropik (vitamin B1. B6 dan B12) untuk mengobati atau
mengurangi gejala ND memberikan hasil yang berbeda-beda. Hal ini
mungkin oleh karena tidak ada bukti yang nyata bahwa defisiensi vitamin
B1, B6, B12 merupakan faktor penyebab terjadinya ND. Bahkan seorang
sarjana melaporkan bahwa pemberian Vitamin B6 dosis tinggi dapat
menyebabkan neuropati sensori.
c. Pengobatan simptomatik
49
Pada pengobatan ND biasanya yang kita obati adalah keluhannya
terutama rasa nyeri atau rasa sakit yang sangat menganggu penderita Belum
ada terapi yang spesifik untuk mengatasi masalah ini.
Penggunaan obat amitriptilin dan flupenasin baik tunggal maupun kombinasi sudah
lama dicoba untuk mengurangi rasa nyeri pada ND. Pemberian obat ini akan
lebih baik hasilnva apabila nyeri disertai gejala depresi. Amitriptilin dapat
diberikan dengan dosis 75 mg / hari dan flupenasin 1 - 3 mg / hari.
Mexiletin merupakan derivat lianokain yang dapat diberikan secara
peroral. mexiletin mempunyai sifat penghambatan saluran natrium sehingga
terjadi hambatan aktivasi saraf Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg / kg
BB / hari, sebaiknya dimulai dengan dosis kecil kemudian dinaikkan pelan -
pelan untuk mengurangi efek samping yang mungkin timbul.
Untuk rasa nyeri yang membandel dapat dicoba pemberian karbamazepin
atau fenitoin. Obat ini diduga dapat menghambat aktivitas saraf tepi yang
kuat dan iritatif.
C. Kontrol metabolik
Istilah PVD mengacu pada penyempitan arteri besar oleh aterosklerosis. Hal ini
sangat umum terjadi pada penderita DM. Terjadinya aterosklerosis adalah akibat defek
metabolik dan defek fisik. Faktor resiko terjadinya aterosklerosis antara lain adalah
hiperglikemia. hiperinsulinemia, dislipidemia, hipertensi, obesitas, hiperkoagulabilitas,
genetik, merokok. Semua faktor resiko yang dapat diobati seharusnya segera dikontrol
dengan sebaik – baiknnva untuk menghambat proses terjadinva atheroklerosis lebih
lanjut.
Intervention
Insulin
Insulin Insulin secretagogue
Metformin
Alpha-glucosidase
Thiazolidinedione inhibitor
Metformin
Insulin
Glucose uptake
by muscle and adipose
tissue
50
Gambar. Algoritma Intervensi Hiperglikemi Pada DM Tipe II
51
dari hapusan luka luar, sudah dibuktikan memiliki korelasi yang buruk dengan kuman
pathogen sebenarnya
Pembalutan
Banyak teknik dan macam jenis pembalutan yang digunakan saat ini, tapi yang
terpenting pembalutan ideal mempunyai karakteristik sebagai berikut :
Mudah penggunaannya.
Biaya terjangkau.
Perawatan luka dalam suasana lembab akan membantu penyembuhan luka dengan
memberikan suasana yang dibutuhkan untuk pertahanan lokal oleh makrofag, akselerasi
52
angiogenesis, dan mempercepat proses penyembuhan luka. Suasana lembab membuat
suasana optimal untuk akselerasi penyembuhan dan memacu pertumbuhan jaringan.
Kemampuan hidrokoloid secara signifikan lebih baik dari kasa NaCl 0,9%, dressing time
rata-rata dan lama rata-rata perawatan ulkus relatif lebih sedikit.
E. Biakan Ulkus
Dalam menghadapi kasus KD kita haruslah berpegang bahwa tidak semua KD
mengalami infeksi. Ulkus yang tidak ada tanda-tanda infeksi tidaklah perlu dilakukan
kultur. Kuman penyebab infeksi pada KD umumnya adalah :
Infeksi yang ringan : aerobic gram positif ( Staphylococcus aureus. Streptococcus)
Pada infeksi yang dalam dan mengancam penyebab biasanya polimikrobial, terdiri
dari Aerobic gram positif. Basil gram positif (E coli, Klebsiella sp, Proteus sp),
anaerob ( Bacteriodes sp, Peptostreptcoccus sp).
F. Antibiotika
Adapun prinsip-prinsip penggunaan antibiotik pada kaki diabetik :
Pilihlah antibiotik yang paling potent terhadap bakteri - bakteri ditempat yang
dicurigai sebagai lokasi (site infeksi).
Harus diketahui potensi antibiotik yang kita pilih terhadap bakteri -bakteri tertentu.
Antibiotik yang mempunyai potensi balk, memungkinkan pemberian dosis yang
kecil khususnya pada infeksi yang ringan — sedang.
Spektrum antibiotik. Pada infeksi yang dalam dan mengancam jiwa biasanya
penyebabnya polymicrobial. Sehingga gunakan antibiotik yang melawan aerob gram
positif, aerob gram negatif, dan anaerob.
53
Pada ulkus diabetika ringan/sedang antibiotika yang diberikan difokuskan pada
patogen Gram positif. Pada ulkus terinfeksi yang berat (limb or life threatening
infection) kuman lebih bersifat polimikrobial (mencakup bakteri Gram positif
berbentuk coccus, Gram negatif berbentuk batang, dan bakteri anaerob). Antibiotika
harus bersifat broadspectrum dan diberikan secara injeksi.
Pada infeksi berat yang bersifat limb threatening infection dapat diberikan beberapa
alternatif antibiotika seperti: ampicillin/sulbactam, ticarcillin/clavulanate, piperacillin/
tazobactam, Cefotaxime atau ceftazidime + clindamycin, fluoroquinolone +
clindamycin.
Sementara pada infeksi berat yang bersifat life threatening infection dapat diberikan
beberapa alternatif antibiotika seperti berikut: ampicillin/sulbactam + aztreonam,
piperacillin/tazobactam +vancomycin, vancomycin + metronbidazole+ceftazidime,
imipenem/cilastatin atau fluoroquinolone + vancomycin + metronidazole. Pada
infeksi berat pemberian antibitoika diberikan selama 2 minggu atau lebih.
Bila ulkus disertai osteomielitis penyembuhannya menjadi lebih lama dan sering
kambuh. Maka pengobatan osteomielitis di samping pemberian antibiotika juga harus
dilakukan reseksi bedah. Antibiotika diberikan secara empiris, melalui parenteral
selama beberapa minggu dan kemudain dievaluasi kembali melalui foto polos
radiologi. Apabila jaringan nekrotik tulang telah direseksi sampai bersih, pemberian
antibiotika dapat dipersingkat, biasanya memerlukan waktu 2 minggu.
G. Perbaikan sirkulasi
Sirkulasi pada KD merupakan salah satu faktor yang penting untuk penyembuhan
maka selain faktor vaskuler perlu dipertimbangkan kemungkinan gangguan rheologi
pada penderita tersebut. Penderita DM mempunyai kecenderungan untuk lebih mudah
mengalami koagulasi dibandingkan yang bukan DM akibat adanya gangguan viskositas
pada plasma, deformabilitas eritrosit, agregasi trombosit serta adanya peningkatan trogen
dan faktor von Willbrand’s.
Obat-obat yang mempunyai efek reologik bencyclame, pentoxyfilin dapat memperbaiki
eritrosit disamping mengurangi agregasi eritrosit pada trombosit. Perubahan –perubahan
ini akan memperbaiki mikrosirkulasi dengan tentunya menambah oksigenisasi pada
piringan yang sebelumnya kurang mendapat oksigen. Perbaikan mikrosirkulasi bukan
54
hanya memperbaiki oksigenasi jaringan dapat kemungkinan juga mempertinggi
efektifitas obat antibiotic , dengan demikian dapat mempercepat penyembuhan.
John MF Adam (1990) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa penderita KD yang
mendapat pemberian bencyclane / pentoxyfilin sebanyak 6 ampul sertiap hari yang
diberikan secara “continous drips” selama 10 hari, dan selanjutnya diberikan obat tablet
per oral, mempunyai lama perawatan yang lebih singkat dibandingkan kolompok control.
H. Non weight bearing
Tindakan non wight bearing diperlukan pada penderita KD karena umunnya kaki
penderita sudah tidak peka lagi terhadap rasa nyeri, sehingga apabila dipakai berjalan
maka akan menyebabkan luka bertambah besar dan dalam, serta menyebabkan bakteri
yang ada akan mengadakan penetrasi lebih dalam sehingga. menghambat penyembuhan.
Penggunaan tongkat penyangga ("crutches") dan atau kursi roda jarang mencapai non
weight bearing total dan konsisten. Cara terbaik untuk mencapainya adalah
mempergunakan gips (“contact cast”).
I. Nutrisi
Faktor nutrisi merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penyembuhan luka.
Adanya anemia dan hipoalbuminenia akan sangat berpengaruh dalain proses
penyembuhan. Perlu untuk monitor kadar Hb dan albumin darah minimal satu minggu
sekali. Usahakan Hb di atas 12 gr / dl dan albumin darah > 3,5 gr / dl (4,15). Besi,
vitamin B12, asam folat membantu sel darah merah membawa oksigen ke jaringan. Besi
juga merupakan suatu kofaktor dakam sintesis kolagen, sedangkan vitamin C dan Zinc
penting untuk perbaikan jaringan. Zinc juga berperan dalam respon imun.
Edukasi
Bedah profilaksis
Prevensi
55
Derajat I Infeksi : kultur permukaan ulkus dan antibiotic
Perawatan luka
Evaluasi Radiologi
Koreksi Stress
Pembedahan
Evaluasi radiology
Pembedahan
Control metabolic
8. PROGNOSIS
Prognosis penderita kaki diabetik sangat tergantung dari usia karena semakin tua usia
penderita diabetes mellitus semakin mudah untuk mendapatkan masalah yang serius pada
kaki dan tungkainya, lamanya menderita diabetes mellitus, adanya infeksi yang berat, derajat
kualitas sirkulasi, dan keterampilan dari tenaga medis atau paramedis
56
DAFTAR PUSTAKA
57