Anda di halaman 1dari 40

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Saluran kemih secara normalnya steril dan tidak ada organisme infeksius.
Namun infeksi bakterial saluran kemih umum terjadi khususnya pada perempuan.
Insidensi infeksi saluran kemih dikatakan terjadi 8% pada anak perempuan dan
2% pada anak laki-laki mengalami infeksi saluran kemih saat masa anak-anak.1
Infeksi saluran kemih ini kebanyakan dialami oleh populasi wanita. Telah
dihitung bahwa sekitar sepertiga wanita dewasa pernah mengalami gejala cystitis
setidaknya sekali dalam hidupnya, dan juga dapat terjadi episode berulang.
Sebuah penelitian di Portsmouth dan South East Hampshire, Inggris mendapatkan
angka kejadian infeksi saluran kemih 20 kali lebih banyak dari yang diyakini
sebelumnya . Jika faktor resikonya tidak dapat diidentifikasi maka hal ini akan
menjadi masalah serius, yang bisa berlanjut menjadi kerusakan ginjal yang
partikular dan gagal ginjal.2
Infeksi saluran kemih ini ditandai dengan ditemukannya peningkatan jumlah
kuman dan leukosit dalam urin yang juga diikuti gejala klinis sering dan tidak
dapat menahan berkemih serta ada rasa nyeri pada saat berkemih. Dalam
kenyataannya sebagian besar infeksi saluran kemih disebabkan Escherichia coli
dan bakteri Gram-negatif yang berkembang secara cepat dalam urin. Penyebab
tersering infeksi saluran kemih (80%) oleh basilus Gram negatif koliform dari
kelompok Enterobacteriaceae.3
Sejak ditemukannya bakteriuria asimptomatik yang mempunyai gejala
yang mengarah ke infeksi saluran kemih bagian bawah, bakteriuria asimptomatik
kemudian dianggap sebagai peranan penting dari infeksi saluran kemih.
Bakteriuria ditentukan bila jumlah kuman dalam urin lebih dari 100.000 cfu/ml.
Walaupun 20-40% perempuan dengan gejala klinis infeksi saluran kemih hanya
didapatkan jumlah kuman kurang dari 100.000 cfu/ml, bahkan beberapa penelitian
2

melaporkan jumlah kuman 100 cfu/ml. Lebih dari 10% perempuan dengan ISK ,
yang tidak menimbulkan gejala juga menunjukkan jumlah kuman yang
meningkat. Peningkatan jumlah bakteri juga akan berhubungan dengan keluhan
dengan terjadinya piuria.3 Leukosituria bermakna apabila didapatkan >5 per
lapangan pandang atau >10 leukosit per mm3.6
Bakteriuria tanpa gejala klinik ( asymptomatic bacteriuria ) didapatkan
pada 5% perempuan pada usia muda dan meningkat sampai dengan 22-43%
sesuai dengan bertambahnya umur. Keadaan ini tidak menimbulkan masalah yang
bermakna, kecuali pada keadaan khusus seperti kehamilan, tindakan pada infeksi
saluran kemih, dan transplantasi ginjal. Keadaan ini juga lebih sering terjadi pada
pasien dengan pemasangan kateter menetap.3 Menurut penelitian sebelumnya
yang dilakukan tahun 2003, pada anak sekolah dasar usia 9-12 tahun didapatkan
hasil prevalensi 1% pada laki-laki dan 77 % pada anak perempuan yang
didapatkan bakteriuria asimptomatik. Dan pada penelitian sebelumnya tahun 2011
di sebuah sekolah di Brazil didapatkan hasil bahwa prevalensi infeksi saluran
kemih terjadi pada anak usia sekolah , yang lebih banyak terjadi pada perempuan
dengan kelas sosial yang lebih rendah.4
Pada umumnya saluran kemih steril di atas uretra sebelah distal walaupun
bakteri dapat masuk terutama dari organ yang berdekatan. Infeksi yang terjadi
melalui fekal-perineal-uretral adalah salah satu alternatif penularan. Escherichia
coli yang terdapat dalam jumlah banyak di rektum menjadi salah satu penyebab
utama infeksi saluran kemih. Organ lain yang terlibat adalah kandung kemih,
perineum, vestibula vagina, uretra, dan jaringan parauretral. Infeksi asendens
melalui uretra adalah keluhan yang paling sering dijumpai, yang dapat terjadi
secara spontan atau terjadi setelah hubungan seksual atau kateterisasi. Daerah
periuretral akan dipenuhi oleh koloni besar bakteri, yang kemudian akan menjalar
ke atas melalui uretra untuk memasuki kandung kemih dan melekat pada
urotelium . Cara masuknya kuman belum diketahui secara pasti, hanya diduga
bakteri akan mengalami refluks setelah berkemih, dapat menjalar belawanan
dengan aliran kemih karena terjadinya arus turbulensi, atau aliran balik ke arah
kandung kemih.3
3

Faktor-faktor penyebab infeksi saluran kemih beberapa diantaranya adalah,


pada wanita yang mempunyai uretra yang pendek, anak-anak dengan defek
anatomi kelainan kongenital implantasi ureter pada dinding kandung kemih
seringkali menyebabkan infeksi saluran kemih atas berulang akibat aliran balik
urin ke saluran kemih atas saat berkemih (refluks vesikoureter), walaupun reluks
bisa membaik atau hilang seiring pertumbuhan pasien. Pada wanita hamil juga
beresiko terkena infeksi saluran kemih karena ureter dan pelvis ginjal berdilatasi ,
mengganggu aliran urin. Pada pasien-pasien dengan diabetes juga dapat terkena
karena imunitas pasien yang rendah. Dan pada orang dengan tumor saluran
kemih, perut atau panggul dapat terkena infeksi saluran kemih. Batu pada saluran
kemih juga meningkatkan resiko infeksi.1
Faktor-faktor lain yang dapat menjadi presisposisi terjadinya infeksi
saluran kemih adalah kebiasaan jarang minum,menghasilkan jumlah urin yang
tidak adekuat sehingga memudahkan terjadinya infeksi saluran kemih. Kebiasaan
lainnya yang sangat sering dilakukan adalah menahan buang air kecil, padahal hal
itu bisa menjadi faktor terjadinya infeksi saluran kemih. Pada seseorang yang
menahan buang air kecilnya ataupun buang air kecilnya tidak sempurna dapat
menyebabkan terjadinya stagnansi urin yang menyebabkan kuman dapat
berkolonisasi.
Faktor-faktor tersebutlah yang dapat menjadi pemicu terjadinya infeksi
saluran kemih. Kebiasaan-kebiasaan tersebut sangat banyak ditemui pada
masyarakat khususnya pada remaja atau perempuan yang memiliki aktivitas
seharian diluar rumah sehingga mungkin mereka malas atau sering menahan
buang air kecilnya selain mungkin disebabkan karena toilet yang mungkin tidak
nyaman bagi mereka karena masalah kebersihannya.
Oleh karena hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian Pola
Kebiasaan Menahan Berkemih Terhadap Kejadian Leukosituria .
4

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan masalah
sebagai berikut : “ Apakah hubungan antara pola kebiasaan menahan
buang air kecil dengan kejadian leukosituria?”

1.3. Tujuan Penelitian


1. TUJUAN UMUM
Untuk mengetahui hubungan antara pola kebiasaan menahan buang air
kecil dengan kejadian leukosituria
2. TUJUAN KHUSUS
a. Untuk melihat gambaran kebiasaan menahan buang air kecil pada
siswi kelas 2 SMA Kemala Bhayangkari I Medan
b. Untuk mengetahui kejadian leukosituria pada siswi kelas 2 SMA
Kemala Bhayangkari I Medan
c. Untuk mengetahui hubungan antara pola kebiasaan menahan buang air
kecil dengan kejadian leukosituria pada siswi kelas 2 SMA Kemala
Bhayangkari I Medan

1.4. Manfaat Penelitian


1. Bagi Peneliti
Meningkatkan wawasan dan pengetahuan serta pengalaman yang nyata
dalam melakukan penelitian kesehatan khususnya mengenai leukosituria
dan pola kebiasaan menahan buang air kecil
2. Bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian diharapkan dapat dipakai sebagai data untuk penelitian
lebih lanjut mengenai pengaruh kebiasaan menahan buang air kecil
terhadap leukosituria
3. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pembelajaran
bagi siswi dan remaja khususnya mengenai pola kebiasaan menahan buang
air kecil dan akibatnya
5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Berkemih


Berkemih merupakan suatu refleks spinal yang difasilitasi dan juga dihambat
oleh pusat-pusat susunan saraf yang lebih tinggi. Pada awalnya urin yang sudah
terbentuk di ginjal akan disalurkan ke ureter melalui kandung kemih. Pada
dasarnya urin tersebut tidak mengalir melalui ureter hanya karena ada tarikan
gravitasi, namun kontraksi otot polos ureter (peristaltik) yang sebenarnya
mendorong maju urin dari ginjal ke kandung kemih.5
Secara anatomis ureter akan menembus dinding kandung kemih secara oblik,
melewati dinding kandung kemih beberapa sentimeter sebelum membuka
kedalam rongga kandung kemih. Dengan susunan anatomis yang seperti itu akan
mencegah aliran balik urin dari kandung kemih ke ginjal ketika tekanan kandung
kemih meningkat. Pada saat kandung kemihnya terisi , ujung dari ureter didalam
kandung kemih tertekan hingga menutup. Namun , urin masih dapat masuk karena
adanya kontraksi ureter yang menghasilkan tekanan yang cukup untuk mengatasi
resistensi dan akan mendorong urin melewati ujung yang tertutup.5
Kandung kemih sebenarnya dapat menampung fluktuasi volume urin yang
besar.Otot-otot polos didalamnya juga dilapisi epitel khusus. Luas permukaan
epitelnya dapat bertambah dan berkurang karena proses teratur daur ulang
membran sewaktu kandung kemih terisi dan mengosongkan dirinya. Seperti sifat
otot polos lainnya, otot pada kandung kemih dapat tegang sedemikian besar tanpa
menyebabkan peningkatan tegangan dinding kandung kemih. Dan dinding
kandung kemih yang sangat berlipat-lipat menjadi rata sewaktu pengisian
kandung kemih untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan.5
Otot polos kandung kemih banyak mengandung serat parasimpatis, yang mana
apabila terstimulasi akan menyebabkan kontraksi kandung kemih. Pintu keluar
dari kandung kemih ada dua sfingter , sfingter uretra internus dan sfingter uretra
eksternus, yang apabila saluran keluar terbuka maka akan menyebabkan kontraksi
kandung kemih dan mengosongkan urin. Sfingter uretra internus terdiri dari otot
6

polos dan karenanya tidak berada dalam kontrol volunter. Sfingter uretra
eksternus adalah otot rangka yang berada dibawah kontrol sadar.5
Berkemih diatur dalam dua mekanisme yaitu refleks berkemih dan kontrol
volunter. Refleks berkemih terpicu ketika reseptor regang dalam dinding kandung
kemih terangsang. Kandung kemih pada orang dewasa dapat menampung hingga
250 sampai 400 ml urin.Semakin besar tegangan melebihi dari ukuran ini semakin
meningkatkan pengaktifan reseptor. Serat-serat aferen dari resesptor regang akan
membawa impuls ke medulla spinalis melalui anatrneuron yang akan merangsang
saraf parasimpatis untuk kandung kemih dan menghambat neuron motorik ke
singter eksternus. Stimulasi pada saraf parasimpatis menyebabkan kandung kemih
mengalami kontraksi.5
Perubahan pada bentuk kandung kemih selama kontaksi akan secara mekanis
membuka sfingter internus. Secara otomatis sfingter eksternus melemas karena
otot motoriknya dihambat. Ketika dua sfingter terbuka maka urin terdorong
melalui uretra karena gaya yang ditimbulkan oleh kontraksi kandung kemih.5
7

Kontrol refleks Kontrol volunter

Kandung Korteks serebri


kemih terisi

Reseptor
regang

Saraf Neuron motorik ke


parasimatis sfingter eksternus

Sfingter uretra eksternus


Kandung
membuka ketika neuron
kemih
motorik dihambat

Sfingter uretra internus


Kontraksi Sfingter uretra eksternus
secara mekanis terbuka
kandung tertutup ketika neuron
ketika kandung kemih
kemih motorik terangsang
berkontraksi

Berkemih Tidak berkemih

Gambar 1.1. Refleks dan kontrol berkemih

Kontrol volunter berkemih


Pengisian kandung kemih akan merangsang refleks berkemih dan juga akan
menyadarkan yang bersangkutan untuk berkeinginan berkemih. Persepsi
penuhnya kandung kemih muncul sebelum sfingter eksternus secara refleks
melemas , memberi tanda bahwa miksi akan segera terjadi. Akibatnya kontrol
volunter berkemih akan mengalahkan refleks berkemih sehingga pengosongan
8

kandung kemih akan terjadi dengan sesuai keinginan si yang bersangkutan .


Apabila yang bersangkutan ingin menunda untuk berkemih maka dia akan sengaja
mengencangkan sfingter eksternus dan diafragma pelvis. Impuls eksitatorik
volunter dari korteks serebri mengalahkan sinyal inhibotorik refleks dari reseptor
regang ke neuron motorik sehingga akan menyebabkan otot sfingter uretra
eksternus akan berkontraksi dan tidak ada urin yang keluar.5
Namun berkemih tidak dapat ditahan selamanya , karena kandung kemih terus
terisi dan oleh karena itu sinyal refleks dari reseptor regang akan meningkat
seiring waktu. Akhirnya sinyal inhibitorik refleks ke neuron motorik sfingter
eksternus menjadi sangat kuat dan tidak dapat lagi diatasi oleh sinyal eksitatorik
volunter sehingga sfingter melemas dan kandung kemih mengosongkan diri.5
Berkemih juga dapat dimulai dengan sengaja meskipun kandung kemih tidak
teregang, dengan secara sengaja melemaskan sfingter uretra eksternus dan
diafragma pelvis dan turunnya dasar panggul memungkinkan kandung kemih
turun dan secara simultan menarik membuka sfingter uretra internus dan akan
meregangkan kandung kemih , kandung kemih akan berkontraksi terjadilah
refleks berkemih. Dan kontraksi kandung kemih yang sengaja ini dapat dibantu
kontaksi abdomen dan diafragma pernafasan, dengan terjadinya peningkatan
tekanan intraabdomen maka akan menekan kandung kemih kebawah dan
mempermudah pengosongan.5

INFEKSI SALURAN KEMIH


2.2 Definisi
Pada umumnya kejadian infeksi pada organ urogenitalia seringkali dijumpai
pada praktek dokter sehari-hari mulai dari infeksi ringan yang baru diketahui pada
saat pemeriksaan urin, maupun infeksi berat yang mengancam jiwa. Pada
dasarnya infeksi ini dimulai dari infeksi pada saluran kemih yang kemudian
menjalar ke organ genitalia bahkan sampai ke ginjal.Infeksi itu sendiri adalah
merupakan reaksi inflamasi sel urothelium yang melapisi saluran kemih.6 Pada
terminologi lain mengatakan infeksi saluran kemih merupakan istilah umum yang
menunjukkan keberadaan mikroorganisme dalam urin.7
9

o ISTILAH-ISTILAH DALAM INFEKSI SALURAN KEMIH


Banyak istilah-istilah dalam infeksi saluran kemih yang perlu kita ketahui ,
seperti yang diuraikan berikut ini ;
Infeksi Saluran Kemih Uncomplicated (sederhana) adalah infeksi saluran kemih
pada pasien tanpa disertai kelainan anatomi maupun kelainan struktur saluran
kemih.6
Infeksi Saluran Kemih Complicated (rumit) adalah infeksi saluran kemih yang
terjadi pada pasien yang menderita kelainan anatomik/struktur saluran
kemih,atau adanya penyakit sistemik. Kelainan ini akan menyulitkan
pemberantasan kuman oleh antibiotika.6
First infection (infeksi pertama kali) atau isolated infection adalah infeksi saluran
kemih yang baru pertama kali diderita atau infeksi yang didapatkan setelah
sekurang-kurangnya 6 bulan telah bebas dari infeksi saluran kemih.6
Unresolved bakteriuria adalah infeksi yang tidak mempan dengan pemberian
antibiotika. Kegagalan ini biasanya terjadi karena mikroorganisme penyebab
infeksi telah resisten (kebal) terhadap pemberian antibiotika yang dipilih.6
Infeksi berulang adalah timbulnya kembali bakteriuria setelah sebelumnya dapat
dibasmi dengan terapi antibiotika pada infeksi yang pertama. Timbulnya infeksi
berulang ini dapat berasal dari re-infeksi atau bakteriuria persistent . Pada re-
infeksi , kuman berasal dari luar saluran kemih, sedangkan bakteriuria persistent
bakteri penyebab infeksi berasal dari dalam saluran kemih.6
Istilah bakteriuria berkaitan dengan infeksi saluran kemih, bakteriuria
merupakan suatu keadaan adanya bakteri dalam urin.8 Bakteriuria ditentukan
apabila jumlah kuman dalam urin lebih dari 100.000 cfu/ml.3 Jadi, bakteriuria
merupakan suatu keadaan adanya bakteri didalam urin yang jumlah bakteri dalam
urinnya lebih dari 100.000 cfu/ml yang juga disebut bakteriuria bermakna.3
Bakteriuria juga ada yang simptomatis dan yang asimptomatis. Bakteriuria
bermakna mungkin tanpa disertai pesentasi klinis infeksi saluran kemih
dinamakan bakteriuria asimtomatik ( covert bacteriuria ). Sebaliknya, bakteriuria
bermakna disertai presentasi klinis infeksi saluran kemih dinamakan bakteriuria
bermakna simtomatik.7
10

2.3 Epidemiologi
Infeksi saluran kemih merupakan infeksi yang bisa menyerang berbagai usia.
Infeksi saluran kemih dapat menyerang pasien mulai dari bayi yang baru lahir
hingga orang yang sudah tua. Pada umumnya wanita lebih sering mengalami
episode infeksi saluran kemih daripada pria, hal ini karena uretra wanita lebih
pendek daripada pria. Namun pada masa neonatus infeksi saluran kemih lebih
banyak terdapat pada laki-laki (2,7%) yang tidak menjalani sirkumsisi daripada
bayi perempuan (0,7%). Dengan bertambahnya usia insiden infeksi saluran kemih
terbalik, yaitu pada masa sekolah, infeksi saluran kemih pada anak perempuan 3%
sedangkan anak laki-laki 1,1% . Insiden infeksi saluran kemih ini pada usia
remaja anak perempuan meningkat 3,3 sampai 5,8% .6
Menurut sumber lain mengatakan sekitar 8% anak perempuan dan 2% anak
laki-laki mengalami infeksi saluran kemih saat masa kanak-kanak. Anak laki-laki
mengalami lebih banyak infeksi sebelum usia tiga bulan, karena mereka
mempunyai lebih banyak malformasi kongenital saluran kemih dibandingkan
anak perempuan.1
Pada wanita yang lebih rentan terkena infeksi saluran kemih, pada wanita
dewasa , khususnya yang aktif secara seksual mempunyai resiko yang lebih tinggi
daripada pria . Sekitar 50% wanita mengalami satu kali infeksi saluran kemih
pada suatu waktu dalam hidupnya. Setelah usia 60 tahun, infeksi pada pria
meningkat karena meningkatnya insiden pembesaran prostat. 6% wanita hamil
mempunyai bakteri dalam urinnya . Bila tidak diterapi, 20% dari wanita ini akan
berlanjut menjadi pielonefritis (infeksi ginjal).1
Pada penelitian yang dilakukan disebuah sekolah di Brazil, data yang
didapatkan adalah prevalensi tertinggi infeksi saluran kemih pada anak usia
sekolah yang lebih tinggi pada anak perempuan dan dengan kelas sosial yang
lebih rendah.4
Pada sebuah penelitian di sebuah rumah sakit di daerah Jakarta, didapatkan
hasil prevalensi leukosituria pada tersangka infeksi saluran kemih berjumlah 87
pasien dengan karakteristik leukosituria tersangka infeksi saluran kemih yang
diteliti adalah berusia 46-55 tahun(44,8%), perempuan (67,8%) .9
11

Begitu juga pada kejadian bakteriuria yang merupakan bagian dari infeksi
saluran kemih, angka kejadian bakteriuria juga didapatkan lebih banyak pada
perempuan. Bakteriuria asimptomatik pada wanita usia 18-40 tahun adalah 5-6%
dan angka itu meningkat menjadi 20% pada wanita usia lanjut.6 Begitu juga pada
sumber lain mengatakan prevalensi bakteriuria asimtomatik lebih sering
ditemukan pada perempuan. Prevalensi selama periode sekolah ( school girls ) 1%
meningkat menjadi 5% selama periode aktif secara seksual.7 Pada penelitian yang
dilakukan di Narketpally, Nalgonda District di Andhra Pradesh , dari 200 anak, 33
(16,5%) menunjukkan signifikan bakteriuria dengan dominan perempuan lebih
laki-laki.10 Tidak berbeda jauh dari penelitian yang dilakukan di Australia, Di
antara 213 peserta, bakteriuria ≥103 CFU / ml adalah lebih umum pada wanita
inkontinensia.11
2.4 Etiologi dan Faktor Resiko
Bakteri yang memasuki saluran kemih melalui uretra menyebabkan sebagian
besar infeksi saluran kemih.Bila sudah berada didalam kandung kemih, infeksinya
sering naik ke ginjal.Kelainan apapun yang menghambat aliran urin akan
meningkatkan resiko terkena infeksi. 1
Faktor predisposisi yang memungkinkan terjadinya infeksi saluran kemih
adalah pada kelompok-kelompok tertentu yang memiliki resiko tinggi mengalami
infeksi saluran kemih yaitu :
 Wanita mempunyai uretra yang pendek.Infeksi sering terjadi saat
bersenggama
 Anak-anak dengan defek anatomi-kelainan kongenital implantasi ureter
pada dinding kandung kemih seringkali menyebabkan infeksi saluran
kemih atas berulang akibat aliran balik urin ke saluran kemih atas saat
berkemih (refluks vesikoureter). Refluks membaik atau hilang seiring
pertmbuhan pasien.
 Wanita hamil ; ureter dan pelvis ginjal berdilatasi, sehingga mengganggu
aliran urin
 Pasien dengan diabetes dan pasien dengan imunitas yang rendah
12

 Orang dengan tumor saluran kemih, parut atau panggul dapat terkena
infeksi saluran kemih. Batu pada saluran kemih juga meningkatkan risiko
terkena infeksi
 Pasien dengan kateter jangka panjang (selang drainase) yang dipasang
untuk mendrainase kandung kemih. 1
Pada umumnya kebanyakan infeksi saluran kemih disebabkan oleh Eschericia
coli dan bakteri Gram-negatif yang berkembang secara cepat dalam urin.
Penyebab tersering infeksi saluran kemih (80%) oleh basillus Gram negatif
koliform dari kelompok Enterobacteriaceae. E.coli merupakan penyebab
tersering infeksi dikomunitas dan rumah sakit, diikuti oleh Klebsiella dan
Enterobacter . Basillus Gram negatif non koliform yang telah resisten terhadap
antibiotika seperti Pseudomonas aruginosa dan spesies Acinetobacter hampir
selalu terdapat pada infeksi nosokomial dirumah sakit, sama halnya seperti
Stafilokokus koagulasi-negatif dan S.aureus . Pada kelompok Gram positif ,
Stafilokokus saprophyticus dalah penyebab infeksi saluran kemih pada perempuan
yang aktif secara seksual. Streptococcus pneumoniae dan Hemophilus influenza
juga sering ditemukan pada infeksi saluran kemih ditingkat pelayanan kesehatan
primer .Infeksi saluran kemih dapat juga terjadi karena Ureaplasma urealyticum
dan Chlamydia trcachomatis , dan terutama pada pasien dengan tranplantasi
ginjal dan sumsum tulang sering ditemukan mikrorganisme lain seperti
mikroorganisme lain seperti dida, virus (polioma dan adenovirus) .3
Pada penelitian tentang infeksi saluran kemih pada anak dirumah sakit di
Banda Aceh didapatkan bakteri penyebab yang paling sering adalah Pseudomonas
aeruginosa (28,556%), kemudian Eschericia coli (21,43%) , Klebsiella sp
(21,43%), dan Staphylococcus aureus (14,29%) .12 Sementara pada penelitian di
sebuah rumah sakit di Manado, didapatkan insiden tertinggi infeksi saluran kemih
terjadi pada usia 50-59 tahun, dan lebih sering pada perempuan, dengan kuman
penyebab tersering adalah Eschericia coli .13
Prevalensi infeksi asimtomatik meningkat mencapai 30%, baik pada laki-laki
maupun perempuan bila disertai faktor predisposisi seperti pada tabel berikut
13

Tabel 2.4. Faktor Predisposisi Infeksi Saluran Kemih


Faktor Predisposisi Infeksi Saluran Kemih
 Litiasis
 Obstruksi saluran kemih
 Penyakit ginjal polikistik
 Nekrosis papilar
 Diabetes melitus pasca transpalantasi ginjal
 Nefropati analgesik
 Penyakit Sickle –cell
 Senggama
 Kehamilan dan peserta KB dengan tablet progesteron
 Kateterisasi

Faktor resiko lainnya dari infeksi saluran kemih adalah riwayat diabetes
melitus, riwayat kencing batu (urolitiasis), higiene pribadi buruk, riwayat
keputihan , kehamilan, riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya, riwayat
pemakaian kontrasepsi diafragma, kebiasaan menahan kencing, hubungan seksual,
anomali struktur saluran kemih. 14
2.5. Patogenesis dan Patofisiologi Infeksi Saluran Kemih
Saluran kemih seharusnya steril atau terbebas dari mikroorganisme. Infeksi
saluran kemih terjadi karena mikroorganisme masuk ke dalam saluran kemih dan
berkembang biak didalam media urin.Mikroorganisme memasuki saluran kemih
melalui berbagai cara : (1) ascending, (2) hematogen seperti pada penularan
M.tuberculosis atau S.aureus , (3) limfogen , dan (4) langsung dari organ
sekitarnya yang sebelumnya telah terjadi infeksi. 6 Infeksi melalui fekal-perineal-
utetral merupakan salah satu alternatif penularan. E.coli yang terdapat dalam
jumlah banyak direktum menjadi salah satu penyebab utama infeksi saluran
kemih.3
Cara ascending merupakan cara masuknya mikroorganisme yang paling
sering. Kuman yang menyebabkan infeksi saluran kemih biasanya merupakan
kuman yang berasal dari flora normal usus dan hidupnya komensal didalam
14

introitus vagina , prepusium penis, kulit perineum, dan sekitar anus.6 Infeksi
asendens yang melalui uretra paling sering dijumpai, yang mana dapat terjadi
secara spontan atau terjadi setelah berhubungan seksual atau kateterisasi.Pada
daerah periuretra akan dipenuhi oleh koloni besar bakteri , yang setelah itu akan
menjalar keatas melalui uretra memasuki kandung kemih dan melekat pada
urotelium.3 Ada dugaan lain bahwa bakteri akan mengalami refluks setelah
berkemih, dapat menjalar berlawanan dengan arah aliran kemih karena terjadinya
arus turbulensi, atau aliran balik ke arah kandung kemih.3
Infeksi saluran kemih dapat terjadi karena adanya gangguan keseimbangan
antara mikroorganisme penyebab infeksi (uropatogen) sebagai agent dan epitel
saluran kemih sebagai host . Gangguan keseimbangan ini disebabkan oleh karena
pertahanan tubuh dari host yang menurun atau karena virulensi agent yang
meningkat.6
2.5.1 Faktor host
Host mempunyai kemampuan untuk menahan mikroorganisme agar tidak
masuk ke dalam saluran kemih, yang disebabkan oleh beberapa faktor , yaitu
diantara adalah pertahanan lokal dari host dan peranan dari sistem kekebalan
tubuh yang terdiri dari imunitas humoral maupun imunitas seluler. Beberapa
macam pertahanan tubuh seperti yang terdapat pada tabel . Diabetes melitus, usia
lanjut, kehamilan, penyakit-penyakit imunosupresif merupakan keadaan-keadaan
yang memudahkan terjadinya infeksi saluran kemih dan juga dapat menyulitkan
pengobatannya .6
Tabel 2.5.1. Pertahanan tubuh lokal terhadap infeksi
Pertahanan Tubuh Lokal terhadap Infeksi
Beberapa faktor pertahanan lokal dari tubuh terhadap infeksi :
 Mekanisme pengosongan urin yang teratur dari buli-buli dan gerakan
peristaltik ureter ( wash out mechanism )
 Derajat keasaman (pH) urin yang rendah
 Adanya ureum didalam urin
 Osmolalitas urin yang cukup tinggi
15

 Estrogen pada wanita yang usia produktif


 Panjang uretra pada pria
 Adanya zat antibakteria pada kelenjar prostat atau PAF (prostatic
antibacterial factor) yang terdiri atas unsur Zn
 Uromukoid (protein Tammm-Horsfall) yang menghambat penempelan
bakteri pada urotelium

Salah satu kuman penyebab infeksi saluran kemih yang mudah berkembang
biak di dalam urine yaitu E.coli , walaupun disisi lain urin bersifat bakterisidal
terhadap hampir sebagian besar kuman dan spesies E.coli . Derajat keasaman
urin,osmolalitas, kandungan urea dan asam organik, serta protein-protein yang ada
dalam urin bersifat bakterisidal.6
Protein Tamm-Horsfall (THP) atau uromukoid merupakan protein didalam
urin yang bertindak sebagai bakterisidal. Protein tersebut disintesa oleh sel epitel
tubuli pars ascenden Loop of Henle dan epitel tubulus distalis. Setelah
diisekresikan didala urin, uromukoid ini mengikat fimbria bakteri tipe I dan S
sehingga mencegah bakteri menempelpada urotelium. Sayangnya protein ini tidak
dapat berikatan dengan fili P sehingga bakteri yang mempunyai jenis fili ini,
mampu menempel pada urotelium. Bakteri jenis ini sangat virulen dibandingkan
dengan jenis bakteri lain. Pada yang usia lanjut, produksi uromukoid ini menurun
sehingga mudah sekali terjangkit infeksi saluran kemih. Selain itu, uromukoid
tersebut mengadakan ikatan dengan neutrofil sehingga meningkatkan daya
fagositosisnya.6
Pertahanan sistem saluran kemih yang paling baik itu sebenarnya adalah
mekanisme wash out urine. Yang dimaksud wash out urine itu adalah urin yang
mampu membersihkan kuman-kuman yang ada didalam urin. Terganggunya
mekanisme tersebut menyebabkan kuman menjadi mudah sekali bereplikasi dan
menempel pada urotelium. Agar aliran urin menjadi adekuat dan mampu
menjamin mekanisme wash out , maka jumlah urin harus dalam kondisi yang
cukup dan tidak ada hambatan dalam saluran kemih. Maka oleh sebab itu,
kebiasaan jarang minum pada orang yang gagal ginjal, sehingga menghasilkan
16

jumlah urin yang tidak adekuat, sehingga menjadi hal yang memudahkan
terjadinya infeksi saluran kemih.6 Pada sebuah penelitian didapatkan banyak yang
tidak mengetahui bahwa sebenarnya beberapa kebiasaan sederhana yang dapat
membantu mencegah infeksi saluran kemih, hanya 19,3% yang mengetahui
minum banyak air dapat membantu mencuci saluran kemih , dan membantu
mencegah infeksi saluran kemih. 15
Keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi aliran urin dan menghalangi
mekanisme wash out adalah adanya hal-hal sebagai berikut :
1. Stagnansi atau stasis urin
2. Didapatkannya benda asing didalam saluran kemih yang dapat dipakai
sebagai tempat persembunyian oleh kuman.
Stagnansi urin bisa saja terjadi pada beberapa keadaan sebagai berikut :
1. Miksi yang tidak teratur atau sering menahan buang air kecil
2. Obstruksi saluran kemih seperti BPH, striktura uretra , batu saluran kemih,
atau obstruksi karena sebab lain,
3. Adanya kantong-kantong didalam saluran kemih yang tidak dapat
mengalir dengan baik, misalkan pada divertikula ,
4. Adanya dilatasi atau refluks sistem urinaria
Batu saluran kemih, benda asing didalam saluran kemih yang mana
diantaranya adalah pemakaian kateter menetap dan jaringan atau sel-sel kanker
yang nekrosis kesemuanya merupakan tempat persembunyian bakteri sehingga
sulit untuk dibersihkan oleh aliran urin.6
2.5.2 Faktor dari Mikroorganisme
Pada permukaannya bakteri dilengkapi dengan fili atau fimbriae. Fungsi fili
adalah untuk menempel pada urotelium melalui reseptor yang ada di permukaan
urotelium. Dari jenisnya, ada 2 jenis bakteri yang mempunyai virulensi berbeda ,
yaitu bakteri tipe fili 1 yang banyak menimbulkan infeksi pada sistitis dan tipe fili
P yang sering menimbulkan infeksi berat pielonefritis akut. Selain itu beberapa
bakteri mempunyai sifat yang dapat membentuk antigen, menghasilkan toksin
(hemolisin), dan menghasilkan enzim urease yang dapat merubah suasana urin
menjadi basa.6
17

2.6 Gambaran Klinis Infeksi Saluran Kemih


Gambaran klinis dari infeksi saluran kemih bervariasi mulai dari yang tanpa
gejala sampai gejala berat dan sangat berat akibat kerusakan pada organ lainnya.
Pada umumnya infeksi akut yang mengenai organ padat seperti ginjal,prostat,
epididimis, dan testis yang memberikan keluhan yang hebat sedangkan infeksi
pada organ-orga berongga seperti buli-buli, ureter, dan pielum yang memberikan
keluhan yang lebih ringan.6
Gejala yang ditemukan dapat berupa disuria (nyeri buang air kecil), frekuensi
(buang air kecil sering tapi sedikit-sedikit, urgency (perasaan ingin buang air
kecil), nyeri suprapubik, dan hematuria. Dan pada kasus infeksi saluran kemih
yang tanpa komplikasi tidak boleh terdapat gejala demam, nausea, vomitus,atau
pun nyeri tekan kostovertebralis.16
2.7. Diagnosis Infeksi Saluran Kemih
2.7.1. Anamnesis
Diagnosis infeksi saluran kemih tentu dimulai dari anamnesa gambaran
klinis dan riwayat penyakit pasien. Keluhan pasien biasanya adalah demam,
susah buang air kecil nyeri diakhir buang air kecil , sering buang air kecil,
nokturia, anyang-anyangan, nyeri pinggang dan nyeri suprapubik .14
2.7.2. Pemeriksaan Fisik
 Demam
 Flank pain (nyeri ketok pinggang belakang / kostovertebral angle )
 Nyeri tekan suprapubik .14
2.7.3. Pemeriksaan Urin
Pemeriksaan urin merupakan pemeriksaan yang sangat penting pada
diagnosis infeksi saluran kemih.6 Pemeriksaan analisa urin rutin, pemeriksaan
mikroskop urin segar tanpa putar, kultur urin , serta jumlah kuman /mL urin
merupakan protokol standar untuk pendekatan diagnosis infeksi saluran kemih. 7
Sampel bahan
Sampel bahan untuk pemeriksaan ditampung didalam botol steril dengan
menggunakan teknik steril sehingga bakteri dari kulit tidak mengkontaminasi
18

bahan sampel, kemudian dikirim ke laboratorium atau dibekukan.1 Supaya


mencegah terkontamiasi , urin dapat diambil dengan cara :
1. Aspirasi suprapubik yang sering dilakukan pada bayi
2. Kateterisasi per-uretram pada wanita untuk menghindari kotaminasi oleh
kuman-kuman disekitar introitus vagina
1
3. Miksi dengan pengambilan urin porsi tengah atau midstream urine
Urinalisis merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan , urinalisis
dapat dikerjakan melalui metode pemeriksaan dipstik dan pemeriksaan secara
6
mikroskopik urin yang telah disentrifugasi. Urinalisis merupakan pemeriksaan
yang relatif sederhana, dan digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan
gangguan buang air kecil.17 Dari dipstik dapat diperoleh informasi tentang pH,
berat jenis, adanya eritrosit, leukosit, protein, glukosa, ketone, bilirubin, dan
urobilinubin dalam urin. Urin memilki pH yang bersiifat asam, dengan pH rata-
rata :5,5-6,5, jika pH ditemukan relatif basa kemungkinan terdapat infeksi oleh
bakteri pemecah urea. 6
Nitrat dan leukosit didalam urin identik dengan infeksi atau inflamasi.6
Leukosit itu merupakan sel darah putih yang diproduksi oleh jaringan hemopoetik
untuk jenis bergraula (PMN) dan jaringan limfatik untuk jenis yang tidak
bergranula (MN), yang berfungsi sebagai sistem pertahanan tubuh terhadap
infeksi.18 Leukosituria harus dievaluasi sehubungan dengan ada tidaknya tanda-
tanda klinis infeksi saluran kemih, suatu reaksi inflamasi, dan patogen
diidentifikasi dengan jelas.19 Jika ditemukan leukosituria pada urin setelah
dikultur ternyata steril (piuria steril), kemungkinan adalah pemberian terapi
infeksi saluran kemih yang belum tuntas, keganasan atau batu saluran kemih, atau
mungkin tuberkulosis. Leukosituria bermakna apabila didapatkan >5 per lapangan
pandang atau >10 leukosit per mmᶟ. 6
Urinalisis pada diagnosis infeksi saluran kemih dengan cara pengambilan
sampel urin yang bersih biasanya akan memperlihatkan piuria atau sel-sel leukosit
PMN dalam urin , bakteriuria, leukosit esterase dan senyawa nitrit .16
Dikatakan bakteriuria apabila dijumpai lebih dari 100.000 cfu (colony forming
unit) per mL pada pengambilan contoh urin porsi tengah, sedangkan pada
19

pengambilan urin melalui aspirasi suprapubik disebut bakteriuria bermakna


apabila dijumpai > 1000 cfu per mL. 6
2.7.4. Kultur urin
Pemeriksaan kultur urin dapat dilakukan untuk menentukan keberadaan
kuman, jenis kuman, dan sekaligus menentukan antibiotik yang cocok untuk
membunuh kuman penyebab infeksi tersebut .6 Pemeriksaan kultur urin bertujuan
menemukan kuman yang patogen spesifik dan kendati pemeriksaan ini hanya
dilakukan pada pasie rawat inap, pasien yang tidak berhasil diobati dengan terapi
antibiotik atau pada kasus infeksi saluran kemih dengan komplikasi lain.16
Pada penelitian sebelumnya untuk uji diagnosis antara kultur urin dengan
pemeriksaan mikroskopis leukosituria adalah 7,89%, 98,3%,75%,58,82% .20
2.7.5. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah lengkap juga diperlukan untuk menunjukkan adanya
proses infeksi atau inflamasi. Jika didapatkan leukositosis , peningkatan laju
endap darah, atau didapatkannya sel-sel muda pada sediaan hapusan darah
menandakan adanya proses inflamasi akut .6
Adapun pemeriksaan lanjutan pada kasus infeksi saluran kemih yaitu dengan
pencitraan , namun ada indikasi klinis yang kuat untuk dilakukannya pemeriksaan
lanjutan. Indikasinya adalah sebagai berikut; infeksi saluran kemih yang kambuh,
pasien laki-laki, gejala urologi seperti kolik ginjal, piuria , hematuria, hematuria
persisten, mikroorganisme jarang seperti Pseudomonas spp dan Proteus spp ,
infeksi saluran kemih berulang dengan interval < 6 minggu.7 Pemeriksaan
lanjutan ini dilakukan pada infeksi saluran kemih complicated . Pemeriksaannya
adalah sebagai berikut :
2.7.6. Foto polos abdomen
Untuk mengetahui adanya batu radioopak pada saluran kemih atau adanya
distribusi gas yang abnormal pada pielonefritis akut.6
2.7.7. PIV
Pemeriksaan rutin yang dilakukan untuk mengevaluasi pasien infeksi
saluran kemih complicated terutama untuk mengetahui adanya pielonefritis
akut dan adanya obstruksi saluran kemih.6
20

2.7.8. Voiding sistouretrografi


Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui adanya refluks vesiko-
ureter, buli-buli neurogenik, atau divertikulum uretra pada wanita yang sering
infeksi saluran kemih berulang.6
2.7.9. Ultrasonografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui adanya hidronefrosis,
pionefrosis, atau abses pada perirenal/ginjal .6
2.7.10. CT scan
Pemeriksaan ini lebih sensitif daripada PIV atau ultrasonografi dalam
mendeteksi penyebab infeksi saluran kemih, tapi memerlukan biaya yang mahal. 6
2.8. Hubungan Pola Kebiasaan Menahan Buang Air Kecil dengan
Leukosituria
Seperti teori yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa infeksi saluran
kemih paling banyak terjadi pada wanita daripada pria,dikarenakan wanita
memiliki uretra yang lebih pendek daripada pria. Hal ini terbukti dengan
penelitian insiden infeksi saluran kemih pada anak perempuan usia remaja pun
ditemukan lebih banyak daripada remaja laki-laki . Begitu juga pada bakteriuria
juga ditemukan lebih banyak pada perempuan daripada pada laki-laki.6
Uretra wanita yang secara anatomis lebih pendek menjadi faktor yang sangat
mendukung masuknya bakteri penyebab infeksi saluran kemih. Seperti teori
sebelumnya bahwa infeksi saluran kemih dapat terjadi dikarenakan
ketidakseimbangan antara faktor host dan agent .
Faktor agent adalah faktor dari kuman itu sendiri. Bakteri penyebab infeksi
saluran kemih seperti Klebsiella sp , Staphylococcus aureus, dan yang paling
sering adalah Eschericia coli.13 Cara masuknya bakteri penyebab infeksi saluran
kemih bisa melalui cara ascending yaitu masuk melalui uretra , bakteri banyak
berkolonisasi di daerah periuretra, dan akan menjalar ke atas memasuk kandung
kemih, dan akan melekat pada urotelium.3 Bakteri memiliki fili yang akan
membantunya menempel pada urotelium. Dan pada beberapa bakteri juga
memiliki sifat yang akan membentuk antigen yang akan menghasilkan toksin dan
akan menghasilkan enzim urease yang akan merubah suasana urin menjadi basa.6
21

Sementara faktor host itu adalah faktor dari individu itu sendiri yaitu keadaan
imun ataupun kebiasaan individu. Faktor kebiasaan yang sangat mempengaruhi
adalah mekanisme wash out urine . Mekanisme wash out urine adalah suatu
mekanisme pengosongan urin yang mampu membersihkan kuman yang ada
didalam urin. Apabila mekanisme ini terganggu maka kuman akan mudah sekali
bereplikasi dan menempel pada urotelium. Namun untuk menghasilkan
mekanisme wash out urine yang memadai maka konsumsi air minum juga harus
adekuat sehingga menghasilkan urin yang cukup dan menjamin mekanisme wash
out urine. Mekanisme wash out juga berkaitan dengan kebiasaan menahan buang
air kecil yang dapat menyebabkan stagnansi urin, yang akan memudahkan bakteri
berkembang biak didalam urin.6 Peningkatan jumlah bakteri berhubungan dengan
keluhan terjadinya piuria atau adanya leukosit yang banyak didalam urin. Pada
penelitian sebelumnya juga dikemukakan bahwa banyak yang belum mengetahui
kebiasaan sederhana ini dapat memicu terjadinya bakteriuria dan leukosituria .15
2.9 Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan , kecukupan
asupan cairan dan keteraturan frekuensi buang air kecil . Kekuatan arus kemih
yang dikeluarkan akan membantu pengenceran serta pengeluaran organisme
penyebab infeksi. Dengan cara tersebut gejala dapat berkurang sampai sekitar
40% .6
22

BAB 3
KERANGKA TEORI , KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS
PENELITIAN

3.1 Kerangka Teori

Cara invasi mikroorganisme melalui uretra

Cara ascending

Faktor Host dipengaruhi Faktor agent

Pili pada permukaan bakteri


Pertahanan Sistem kekebalan
lokal tubuh
Menempel pada urotelium

Pertahanan sistem saluran kemih

Jika tidak seimbang


Wash out urine

Infeksi Saluran Kemih


Yang menghalangi wash out urine

Stagnansi urin Benda asing pada saluran Pemeriksaan urin :


kemih Bakteriuria

Leukosituria

Miksi yang tidak teratur / menahan


buang air kecil

Gambar 3.1 Kerangka Teori


23

3.2 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel dependen

Pola Kebiasaan
Kejadian Leukosituria
Menahan Buang Air
Kecil

Gambar3.2. Kerangka Konsep Penelitian

3.3 Hipotesis
Dari landasan teori yang dikemukakan sebelumnya, hipotesis penelitian ini
adalah ada hubungan antara pola kebiasaan menahan buang air kecil dengan
kejadian leukosituria.
24

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik dengan desain cross sectional , yaitu untuk
mengetahui adanya tidaknya hubungan antara pola kebiasaan menahan buang air
kecil dengan kejadian leukosituria. Cross sectional adalah peneliti melakukan
observasi atau pengukuran variabel pada satu saat tertentu.21

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan ( Agustus - November 2016) di SMA


Kemala Bhayangkari I Medan.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi

Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah siswi kelas 2 SMA


Kemala Bhayangkari I Medan pada saat dilakukan penelitian.

4.3.2. Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik total


sampling , yaitu dari semua populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi .

4.3.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria Inklusi

a. Siswi kelas 2 SMA Kemala Bhayangkari 1 Medan

b. Tidak sedang dalam keadaan haid


25

c. Bersedia untuk diteliti dan menandatangani Inform consent

2. Kriteria Eksklusi

a. Siswi yang tidak hadir pada saat dilakukan penelitian

b. Ada riwayat menderita tuberkulosis, penyakit ginjal ataupun

keganasan seperti tumor atau kanker pada saluran kemih, dan

batu saluran kemih, dan sedang menjalani pengobatan infeksi

saluran kemih

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Data diperoleh dari subjek yang telah bersedia diteliti melalui pengisian
kuesioner dan observasi langsung subjek penelitian. Mengukur pola kebiasaan
menahan buang air kecil menggunakan kuesioner terstruktur. Kuesioner tersebut
dibuat dalam bentuk tabel yang akan diisi berapa kali subjek buang air kecil
dalam sehari, asupan air responden dalam sehari dan pertanyaan tentang kebiasaan
menahan buang air kecil, sehingga dapat diukur apakah ada kebiasaan menahan
buang air kecil atau tidak. Mengetahui kejadian leukosituria menggunakan
pemeriksaan laboratorium kadar leukosit dalam urin dari subjek penelitian. Jenis
data yang diambil adalah data primer. Tahap pengumpulan data antara lain :

1. Mendatangi lokasi penelitian yang sudah diberi izin oleh pihak bersangkutan

yaitu pihak sekolah pada saat melakukan survei awal penelitian

2. Menentukan sampel yang akan diberikan kuesioner dan melakukan

penampungan urin dengan metode total sampling

3. Menanyakan kesediaan sampel untuk mengisi kuesioner kemudian melakukan

penampungan urin dan meyakinkan bahwa identitas sampel tidak akan

dipublikasikan kepada media apapun dan siapapun

4. Bila responden bersedia melakukan pengisian kuesioner dan penampungan urin


26

maka diberikan kuesioner yang terstruktur dan dapat dimengerti oleh responden

5. Kemudian dilakukan penampungan urin responden dan segera dikirim langsung

ke Laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan leukosit urin

4.5. Metode Analisis Data

Data dianalisis menggunakan program Statistic Package for Social Sciences


(SPSS) dengan jenis analisis data :

a. Analisa Univariat
Analisa univariat dilakukan untuk mengetahui karakteristik setiap variabel
penelitian , yang akan menghasilkan distribusi frekuensi & persentase tiap
variabel.22 Dalam penelitian ini analisa univariat dilakukan untuk
memperoleh gambaran distribusi frekuensi pola kebiasaan menahan buang
air kecil responden dan distribusi frekuensi kejadian leukosituria .
b. Analisa Bivariat
Analisa bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap 2 variabel yang
22
diduga berhubungan atau berkorelasi dalam hal ini adalah antara pola
kebiasaan menahan buang air kecil dengan leukosituria. Uji hipotesis
dilakukan dengan menggunakan uji analisis chi square dengan nilai p ≤
0,05 untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan pola kebiasaan
menahan buang air kecil dengan leukosituria. Dan untuk mengetahui
hubungan tersebut signifikan atau tidak.
27

4.6 Definisi Operasional

Variabel independen

Variabel Definisi Cara Alat ukur Hasil ukur Skala


Ukur ukur

Pola Pola Pengisian Kuesioner Ada menahan Katego-


Kebiasaan kebiasaan kuesioner buang air kecil atau
rikal
Menahan menahan tidak menahan
buang air buang air kecil
Buang Air
kecil
Kecil
responden
selama
satu hari

Variabel dependen

Variabel Definisi Cara Alat ukur Hasil ukur Skala


Ukur ukur

Leukositu- Suatu Pemerik- Kadar Kadar leukosit Nominal


keadaan leukosit dalam urin:
ria saan urin
adanya dalam
o Leukosituria:
leukosit urin
>10 per mm3
didalam
urin o Tidak
leukosituria
28

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Pengambilan data penelitian ini dilakukan di SMA Kemala Bhayangkari 1


Medan yang terletak di Jl. K.H. Wahid Hasyim No.1, Medan, Sumatera Utara

5.1.2. Karakteristik Responden

Pada penelitian ini, karakteristik responden merupakan siswi Kelas 2 di


SMA.Kemala Bhayangkari 1 Medan, dapat dibedakan berdasarkan umur. Untuk
lebih jelas dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Umur Responden

NO Umur Jumlah (orang) Persentase (%)


1. 15 37 33,3
2. 16 69 62,2
3. 17 5 4,5
Total 111 100

Dari tabel 5.1. dapat diketahui bahwa mayoritas umur responden

berumur 16 tahun yaitu sejumlah 37 orang ( 33,3% ), kemudian berumur 15

tahun yaitu sejumlah 69 orang ( 62,2% ), sedangkan kelompok umur 17 tahun

paling sedikit yaitu sejumlah 5 orang (4,5%). Nilai tengah data kelompok

menurut umur adalah kelompok umur 16 tahun.


29

5.1.3. Hasil Analisis Data

a. Prevalensi Pola Kebiasaan Menahan Buang Air Kecil

Pada penelitian ini responden dibagi menjadi empat kelompok, yaitu

kelompok tidak pernah menahan buang air kecil (0 kali dalam seminggu),

kelompok kadang menahan buang air kecil (1-2 kali dalam seminggu), kelompok
sering menahan buang air kecil (3-4 kali dalam seminggu), dan kelompok sangat
sering menahan buang air kecil (5-7 kali dalam seminggu). Jumlah responden
masing-masing dalam kelompok dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 5.2. Distribusi frekuensi Prevalensi Pola Kebiasaan Menahan

Buang Air Kecil

Jumlah (orang) Persentase (%)


Tidak Pernah Menahan
buang air kecil 15 13,5
Kadang menahan buang
air kecil 74 66,7
Sering menahan buang
air kecil 20 18,0
Sangat sering menahan
buang air kecil 2 1,8
Total 111 100

Tabel 5.2. menunjukkan bahwa dari 111 responden penelitian, didapati

mayoritas responden penelitian berada dalam kelompok kadang menahan

buang air kecil yaitu sejumlah 74 orang (66,7%), diikuti kelompok sering

menahan buang air kecil sejumlah 20 orang (18,0%), kemudian kelompok


30

tidak pernah menahan buang air kecil sejumlah 15 orang (13,5%), dan

kelompok sangat sering menahan buang air kecil sejumlah 2 orang (1,8%).
Dengan didapatkan hasil bahwa kebiasaan kadang menahan buang air kecil
persentase lebih banyak , mungkin dikarenakan aktivitas siswi disekolah yang
sibuk sehingga siswi suka menahan buang air kecil.

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Prevalensi Pola Kebiasaan Menahan

Buang Air Kecil

Jumlah (orang) Persentase (%)


Tidak menahan
buang air kecil 15 13,5
Menahan buang air kecil 96 86,5
Total 111 100

Pada tabel 5.3. yang merupakan tabel sederhana dari tabel 5.2 untuk

membedakan kebiasaan menahan buang air kecil. Dalam tabel tersebut


berdasarkan pada tabel 5.2., maka kelompok tidak pernah menahan
buang air kecil dimasukkan pada kelompok tidak menahan buang air kecil ,
sedangkan kelompok kadang menahan,sering menahan, dan sangat sering
menahan dimasukkan pada kelompok menahan buang air kecil.Maka ditemukan
kelompok tidak menahan buang air kecil berjumlah 15 orang (13,5%), sedangkan
kelompok menahan buang air kecil berjumlah 96 orang (86,5%)

b. Prevalensi Leukosituria

Dari 111orang responden penelitian, dinilai ada tidaknya kejadian

leukosituria .Jumlah responden yang memiliki kejadian lekosituria dan tidak

memiliki kejadian leukosituria dapat dilihat pada table dibawah ini :


31

Tabel 5.4. Distribusi frekuensi Prevalensi Leukosituria

Jumlah orang Persentase (%)


Leukosituria 73 65,8
Tidak Leukosituria 38 34,2
Total 111 100

Tabel 5.4. menunjukkan bahwa dari 111 orang responden penelitian,


didapati mayoritas responden penelitian berada dalam kelompok leukosituria yaitu
sejumlah 73 orang (65,8%), kemudian diikuti oleh kelompok tidak leukosituria
yaitu sejumlah 38 orang (34,2%).

c. Hasil Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara pola
kebiasaan menahan buang air kecil dengan kejadian leukosituria. Data hasil
penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 5.5. Hubungan antara Pola Kebiasaan Menahan Buang Air Kecil

dengan Kejadian Leukosituria

Leukosituria % Tidak % Jumlah %


Leukosituria
Tidak menahan 5 6,8 10 26,3 15 13,5
Buang air kecil
Menahan 68 93,2 28 73,7 96 86,5
Buang air kecil
Jumlah 73 100 38 100 111 100
32

Dari tabel 5.5. dapat dilihat bahwa dari 15 orang responden yang tidak
menahan buang air kecil 5 orang diantaranya leukosituria sementara 10 orang
lainnya tidak leukosituria. Sementara dari 96 orang responden yang menahan
buang air keci 68 orang diantaranya leukosituria sedangkan 28 orang lainnya tidak
leukosituria.

Setelah dilakukan uji hipotesis nonparametrik dengan metode Chi Square

dengan tingkat kemaknaan 0,05 (α = 5 %) , diperoleh nilai p ( p value ) adalah


0,004 ( p< 0,05) yang berarti bahwa ada hubungan antara pola kebiasaan menahan
buang air kecil dengan leukosituria.

5.3. Pembahasan

Infeksi saluran kemih merupakan infeksi pada daerah urogenitalia yang


ditandai dengan peningkatan jumlah kuman dan leukosit didalam urin seseorang.
Bakteriuria merupakan suatu keadaan adanya bakteri didalam urin yang berkaitan
dengan adanya leukosituria, yaitu adanya leukosit yang meningkat didalam urin,
dimana leukosit merupakan sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi. Sementara
faktor-faktor penyebab infeksi saluran kemih yaitu pada wanita yang mempunyai
uretra lebih pendek, sementara faktor kebiasaan yang berperan yaitu kebiasaan
menahan buang air kecil. Banyak faktor lainnya yang dapat menjadi pemicu
terjadinya infeksi saluran kemih khususnya bakteriuria dan leukosituria yang
menjadi salah satu tandanya. Dengan mengetahui faktor-faktor resiko yang
berperan dalam terjadinya leukosituria maka pencegahan menjadi langkah penting
dalam penanganannya.

Bakteriuria memiliki hubungan yang erat dengan leukosituria, sesuai dengan


penelitian sebelumnya yang dilakukan pada anak usia SD di Malalayang, bahwa
dalam menilai infeksi saluran kemih dengan melakukan pemeriksaan urinalisis
dengan menemukan leukosit yang banyak didalam urin respondennya.23 Pada
penelitian lainnya yang dilakukan pada anak dikelurahan Sindulang,dalam menilai
terjadinya infeksi saluran kemih dilakukan dengan pemeriksaan urinalisis adanya
kadar leukosit yang meningkat pada urin responden penelitiannya.24 Sedangkan
33

pada penelitian lainnya yang dilakukan di London,menilai infeksi saluran kemih


juga salah satunya melalui penilaian leukosituria 25, begitu juga dengan penelitian
di Korea bahwa salah satu pemeriksaan untuk menilai infeksi saluran kemih yaitu
leukosituria.26 Dan sama halnya dengan penelitian lainnya didapatkan leukosituria
selain bakteriuria dan pemeriksaan nitrit yang positif .27

Penelitian ini mencoba mencari hubungan antara pola kebiasaan menahan


buang air kecil dengan kejadian leukosituria. Pola kebiasaan menahan buang air
kecil diduga berhubungan dengan kejadian leukosituria. Hal ini sejalan dengan
penelitian sebelumnya, bahwa ada pengaruh menahan buang air kecil dengan
infeksi saluran kemih.28

Peneliti tidak menemukan penelitian-penelitian sebelumnya yang secara


khusus mencari hubungan antara pola kebiasaan menahan buang air kecil dengan
kejadian leukosituria . Dugaan peneliti bahwa kedua variabel ini berhubungan
berdasarkan pada studi literatur yang peneliti lakukan. Bahwa dari studi literatur
ditemukan kebiasaan menahan buang air kecil memiliki peran dalam
mempengaruhi mekanisme wash out urine yaitu suatu mekanisme dalam
membersihkan kuman didalam urin, jika terjadi gangguan pada mekanisme itu
akan menyebabkan kuman mudah bereplikasi. Keberadaan kuman didalam urin
dapat ditentukan melalui salah satu pemeriksaan urin yaitu pemeriksaan kadar
leukosit yang banyak didalam urin atau leukosituria, dikatakan leukosituria
apabila secara mikroskopik didapatkan >10 per mm3 atau terdapat >5 leukosit per
lapangan pandang besar.6

Pada penelitian ini ditemukan adanya hubungan antara pola kebiasaan


menahan buang air kecil dengan kejadian leukosituria ( p=0,004 CI 95%) , pada
sebuah penelitian didaerah Jawa bahwa dijumpai dari 8 responden dengan
kebiasaan menahan buang air kecil ada 6 responden (75%) mengalami Kristal
batu saluran kemih, dan sebanyak 2 responden (25,0%) tidak mengalami kristal
batu saluran kemih 29, walaupun penelitian tersebut tidak secara khusus mencari
hubungan yang sama dengan peneliti namun secara teori ada kesamaan pada
34

kebiasaan menahan buang air kecil yang menjadi faktor resiko stagnansi urin yang
pada penelitian tersebut menyebabkan batu saluran kemih sementara pada
penelitian ini menyebabkan terjadinya leukosituria.

Pada penelitian ini, dilakukan pengambilan sampel urin untuk menilai


leukosituria pada masing-masing responden, dan spesimen urin dikirimkan ke
laboratorium untuk dinilai dan menurut penelitian sebelumnya bahwa tidak
adanya perbedaan jumlah leukosit yang signifikan pada penundaan pemeriksaan
sampel urin30, sehingga dengan mengacu pada penelitian tersebut dalam masalah
pengiriman sampel yang mungkin memakan waktu tidak menjadi masalah dalam
penilaian leukosit dalam sampel urin.

Dalam penelitian ini berbeda dari penelitian yang dilakukan sebelumnya dari
segi mencari hubungan antara menahan buang air kecil dengan leukosituria
sementara pada penelitian sebelumnya mencari hubungan menahan buang air
kecil dengan bakteriuria ataupun dengan batu saluran kemih.Karakteristik usia
responden juga pada penelitian ini memiliki keseragaman yaitu usia 16 tahun
sementara pada peneitian sebelumnya ditemukan lebih bervariasi dari segi usia
responden, dan dari segi aktivitas atau pekerjaan pada penelitian ini memiliki
keseragaman yaitu siswi kelas 2 SMA sementara pada penelitian sebelumnya
aktivitas dan pekerjaannya lebih bervariasi.

Meskipun pada penelitian ini ditemukan adanya hubungan antara pola


kebiasaan menahan buang air kecil dengan kejadian leukosituria , dimana
kebiasaan menahan buang air kecil dapat menjadi faktor resiko terjadinya
leukosituria yang juga erat kaitannya dengan bakteriuria, dan sesuai dengan studi
literatur yang peneliti lakukan. Walaupun demikian sebaiknya dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai kebiasaan menahan buang air kecil dengan
leukosituria ataupun dengan bakteriuria sehingga dapat ditemukan hasil yang
lebih baik dalam hal penelitian.
35

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Gambaran kebiasaan tidak menahan buang air kecil pada responden

penelitian adalah sebesar 13,5%, sementara gambaran kebiasaan kadang

menahan buang air kecil sebesar 66,7%, gambaran kebiasaan sering

menahan buang air kecil sebesar 18,0%, dan gambaran kebiasaan sangat

sering menahan buang air kecil sebesar 1,8%.

2. Kejadian leukosituria pada responden penelitian sebesar 65,8% sementara

tidak leukosituria sebesar 34,2%.

3. Adanya hubungan antara pola kebiasaan menahan buang air kecil dengan

kejadian leukosituria , baik dianalisis dengan uji Chi Square ( p = 0,004 )

6.2. Saran

1. Bagi Masyarakat dan Pelajar

Bagi masyarakat khususnya bagi pelajar dengan menegetahui bahwa

adanya hubungan antara kebiasaan menahan buang air kecil dengan

kejadian leukosituria yang artinya kebiasaan menahan buang air kecil

dapat menjadi resiko terjadinya leukosituria yaitu suatu keadaan

banyaknya leukosit didalam urin ,dimana urin yang tertahan tersebut

dapat menjadi tempat perkembangbiakan bakteri yang salah satu tandanya

dijumpai leukosit yang banyak didalam urin, maka oleh karena itu
36

diperlukan adanya edukasi bagi masyarakat khususnya pelajar

mengenai hal tersebut.

2. Bagi Tenaga Kesehatan

Dengan mengetahui bahwa banyak siswi yang sering menahan buang air

kecil dan juga ternyata berhubungan dengan kejadian leukosituria maka

disarankan agar tenaga kesehatan dapat memberikan edukasi kepada

masyarakat mengenai kebiasaan untuk tidak menahan buang air kecil

agar mencegah terjadinya leukosituria ataupun infeksi saluran kemih.

3. Bagi Penelitian

Untuk penelitian berikutnya, sebaiknya lebih banyak lagi dilakukan

penelitian lebih lanjut mengenai kebiasaan menahan buang air kecil

dengan leukosituria atau pun bakteriuria dikarenakan penelitian tentang

hal ini masih sedikit dilakukan padahal kebiasaan ini sangat sering

dilakukan di masyarakat.
37

DAFTAR PUSTAKA

1. Setyawati I and Aisyah S . Panduan Kesehatan Wanita. Jakara : Binarupa

Aksara Publisher ; 2014. h.84-85.

2. Minardi D, d’Anzeo G, Cantoro D, Conti A, Muzzonigro G . Urinary Tract


Infection in Women: Etiology and Treatment Options. Int J Gen Med .2011
(4) :333-343.
3. Anwar M, Baziad A, Prabowo RP. Ilmu Kandungan. Edisi Ketiga . Jakarta :
PT.Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo ; 2011. h.365-370.
4. Vaz GT, Vasconcelos MM, Oliveira EA, Ferreira AL, Magalhaes PG, Silva
FM, Lima EM . Prevalence of Lower Urinary Tract Symptoms in School-
age Children . Pediatr Nephrol 2012 (27) : 602.
5. Yesdelita N. Fisiologi Manusia. Edisi Keenam . Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC ; 2012. h.594-597.
6. Purnomo BB. Dasar-dasar Urologi. Edisi Ketiga . Jakarta : CV Sagung Seto;
2014. h.34-35,51-57.
7. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keenam. Jilid II. Jakarta :Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam ; 2014. h.2129-2136.
8. Hartanto YB, Nirmala WK, Ardy, Setiono S, Dharmawan D, Yoavita, etc.
KAMUS SAKU KEDOKTERAN DORLAND. Edisi 28. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2012.
9. Hasanah N . Evaluasi Leukosituria pada Tersangka Infeksi Saluran Kemih di
Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Periode Juli-Desember
2014.Universitas Negeri Islam Hidayatullah . 2015 : 1-66.
10. Kondapaneni SL . Screening for Asymptomatic Bacteriuria in School-going
38

Children. Indian J Pubic Health. April-June,2012 : 56 ( 2) : 169-170.


11. Walsh CA, Siddins A, Parkin K, Mukerjee C, Moore KH . Prevalence of
“low-count” bacteriuria in female urinary Incontinence versus continent
female controls: a cross-sectional study. Int Urogynecol J.2011( 22): 1267–
1272.
12. Harris S, Sarindah A, Yusni, Raihan . Kejadian Infeksi Saluran Kemih di
Ruang Rawat Inap Anak RSUD.Dr.Zainoel Abidin Banda Aceh. Sari
Pediatri . 2012 : 14 ( No. 4) : 235-240.
13. Sumolang SA, Porotu’o J, Soeliongan S. Pola Bakteri Pada Penderita
Infeksi Saluran Kemih di BLU RSUP Prof.dr.R.D.Kandou Manado.
Jurnal e- Biomedik (eBM) . Maret 2013 : Volume 1 (Nomor 1) : 597-
601.
14. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Panduan Praktis Klinis
Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Menteri Kesehatan
Republik Indonesia ; 2014. h.448-450.
15. Lawindi EL, Sayed, Shafei EL, Hayek, Noor. Assesment of Urinary Tract
Infections Risk Factor and Knowledge among Attendees of Theodor Bilharz
Research Institute, Giza, Egypt. International Public Health Forum. March
2014 : Vol.1 (no.1) : 27-28.
16. Ali Z . Sinopsis Organ System Ginjal. Jakarta : Karisma Publishing Group ;
2014. h.144-145.
17. Gibson K, Toscano J . Urinary Tract Infection Update. Am J Clin Med.
2012;Vol.9 ( no.2) : 82-85.
18. Sutedjo AY . Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Edisi Revisi .Yogyakarta : Penerbit Amara Books ; 2012. h.30.
19. Utsch B, Klaus G . Urynalisis in Children and Adolescents. Dtsch Arztebl
39

Int. 2014 : 111: 617-26.


20. Susilo FCD .Uji Diagnostik Leukosituria dan Bakteriuria Mikroskopis
Langsung Sampel Urin Untuk Mendeteksi Infeksi Saluran Kemih. Jurnal
Media Medika Muda. 2013 : 1-16.
21. Sastroasmoro S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian. Edisi Keempat . Jakarta :
CV.Sagung Seto ; 2011. h.112.
22. Notoatmodjo S . Metodologi Penelitian Kesehatan. Ed Rev. Jakarta : Rineka
Cipta ; 2012. h.182-183.
23. Fitricilia M, Umboh A, Kaunang D. Hubungan Enuresis dengan Infeksi

Saluran Kemih pada Anak Usia 6-8 Tahun di SD Negeri Malalayang. Jurnal

e-Biomedik (eBM). Maret 2013 : Volume 1 (Nomor 1) : 461-465.

24. Kusumanarwasti C, Umboh A, Rompis J. Hubungan Kebiasaan Mandi di

Sungai dengan Infeksi Saluran Kemih pada Anak di Kelurahan Sindulang 1.

2012 : 1-6.

25. Gill K, Horsley H, Kupelian SA, Baio G, Lorio DM, Sathiananamoorthy S, et

all., Urinary ATP as an Indicator of Infection and Inflammation of the

Urinary Tract in Patients with Lower Urinary Tract Symptoms. BMC

Urology (2015): 15:7 : 2-9.

26. Lee EH, Kim KD, Kang KH, Park K. The Diagnosis of Febrile Urinary Tract

Infection in Children may be Facilitated by Urinary Biomarkers. Pediatr

Nephrol; 2015 : 30: 123-130.

27. Meister L, Morley JE, Scheer D, Sinert R. History and Physical Examination

Plus Laboratory Testing for the Diagnosis of Adult Female Urinary Tract
40

Infection. Society for Academic Emergency Medicine; 2013 :632-643.

28. Atmaji L.P. Hubungan Antara Kebiasaan Kurang Minum dengan Air Putih

dan Menahan BAK( BUANG AIR KEMIH) Terhadap Penyakit ISK

( Infeksi Saluran Kemih) pada Sopir Bus di Pangkalan Terminal. Universitas

Muhammadiyah Surabaya. 2015 : 1-38.

29. Sulistyowati R, Setiani O, Nurjazulli. Faktor Resiko yang Berhubungan

dengan Kejadian Kristal Batu Saluran Kemih di Desa Mrisi Kecamatan

Tanggungharjo Kabupaten Grobogan. Jurnal Kesehatan Lingkungan

Indonesia.Oktober 2013 : Vol.12 No.2 : 99-105.

30. Savitri S. Pengaruh Penundaan Pemeriksaan Spesimen Urin Terhadap Hasil

Pemeriksaan Leukosit Urin.Universitas Sebelas Maret. 2015 : 1-45.

Anda mungkin juga menyukai