Anda di halaman 1dari 60

Case Report Session

PENYAKIT JANTUNG REMATIK

Oleh:
Kenty Regina 1840312455

Preseptor
DR. Dr. Yusri Dianne Jurnalis, Sp A (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUP DR. M DJAMIL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2019
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................... 2
DAFTAR TABEL….……............................................................................... 3
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 4
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 4
1.2. Batasan Masalah............................................................................... 5
1.3. Tujuan Penulisan ............................................................................. 5
1.4. Manfaat Penulisan............................................................................ 5
1.5. Metode Penulisan............................................................................. 5
BAB II.TINJAUAN PUSTAKA ……........................................................... 6
2.1. Demam rematik dan Penyakit Jantung Rematik ........…….............. 6
2.2. Gagal Jantung Kongestif .…………………………………............. 21
BAB III. LAPORAN KASUS ...................................................................... 33
BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN …………………………….. 51
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 56
LAMPIRAN..................................................................................................... 59

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 : Kriteria Jones sebagai pedoman diagnosis rheumatic fever 19
Tabel 2.2 : Kriteria diagnosis WHO 2002-2003 dalam Mendiagnosis 20
Rheumatic Fever dan RHD
Tabel 2.3 : Manifestasi klinis gagal jantung menurut American Heart 26
Association
Tabel 2.4 : Obat-obatan profilaksis primer untuk rheumatic fever 29
Tabel 2.5 : Obat-obatan Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever 30
Tabel 2.6 : Durasi Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever 30
Tabel 2.7 : Obat-obatan untuk Mengatasi Gagal Jantung pada Rheumatic 32
Fever
Tabel 2.8 : Tirah Baring yang Dianjurkan pada Rheumatic Fever 32

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit jantung reumatik (Rheumatic Heart Disease) merupakan penyakit
jantung didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik
(PJR) merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam reumatik
akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%) dan aorta (25%).1,2
Malfungsi katup dapat menimbulkan kegagalan pompa baik karena kelebihan
beban tekanan atau kelebihan beban volume dan menyebabkan gagal jantung
kongestif.3 Penyebab penyakit ini adalah reaksi autoimun yang disebabkan
demam rematik. Infeksi strepptococcus β-hemolitikus grup A pada tenggorokan
selalu mendahului terjadinya demam rematik. Data dari WHO menyebutkan
bahwa faringitis adalah infeksi yang paling umum disebabkan oleh Streptokokus
β-hemolitikus grup A baik negara berkembang maupun negara maju.3
Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 15,6 juta orang di dunia dengan
penyakit jantung rematik dan 1,9 juta lainnya dengan riwayat demam rematik akut
tanpa karditis. Terdapat sekitar 470.000 kasus baru demam rematik akut setiap
tahun dan lebih dari 230.000 kematian pertahun akibat PJR.1,2 Berdasarkan data
dari RS Jantung Harapan Kita, peningkatan kasus gagal jantung akibat penyakit
jantung rematik dimulai pada 1997 dengan 248 kasus, kemudian melaju dengan
cepat hingga mencapai puncak pada tahun 2000 dengan 532 kasus. 4 Telah
diketahui bahwa dalam hal terjadinya demam rematik terdapat beberapa
predisposisi antara lain terdapat riwayat demam rematik dalam keluarga, umur
antara 5-20 tahun dan jarang pada usia kurang dari 2 tahun, dan lain-lain.4
Dengan data perkembangan seperti ini, penyakit jantung kongestif oleh
kelainan katup yang disebabkan penyakit reumatik akan menyebabkan
permasalahan yang signifikan bagi mayarakat. Dalam kurun beberapa tahun ke
depan, angka statistik ini memiliki kemungkinan bergerak naik bila tidak
memperhatikan faktor risiko utama yang menjadi awal mula penyakit ini. Hal ini
memnyebabkan dibutuhkan pemahaman seputar gagal jantung kongestif akibat
penyakit jantung rematik yang disebabkan demam rematik akut.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


1.2 Batasan Masalah
Case report session ini membahas mengenai definisi, klasifikasi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, dan penatalaksanaan dari penyakit jantung
rematik.
1.3 Tujuan Penulisan
Mengetahui definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
dan penatalaksanaan dari penyakit jantung rematik.
1.4 Manfaat Penulisan
Menambah pengetahuan tentang definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, dan penatalaksanaan dari penyakit jantung rematik.
1.5 Metode Penulisan
Penulisan Case report session ini merujuk pada berbagai kepustakaan dan
literatur.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Demam Reumatik


2.1.1 Definisi
Demam rematik merupakan suatu penyakit peradangan yang berkembang
sebagai suatu komplikasi dari suatu infeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A
di faring yang tidak mendapatkan pengobatan atau mendapatkan pengobatan yang
kurang adekuat. Demam rematik bukan merupakan suatu infeksi, tetapi
merupakan suatu reaksi peradangan terhadap infeksi, yang menyerang berbagai
bagian tubuh (misalnya persendian, jantung, kulit).5,6
2.1.2 Etiologi
Terdapat bukti-bukti yang mendukung adanya hubungan antara infeksi
saluran nafas bagian atas oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan
demam rematik akut serta penyakit jantung rematik. Sebanyak 2/3 dari pasien
yang menderita demam rematik akut, mempunyai riwayat infeksi saluran nafas
bagian atas beberapa minggu sebelumnya, dan angka insidens dari demam
rematik akut hampir sama dengan infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A.
Pasien dengan demam rematik akut hampir selalu mempunyai hasil serologi yang
menunjukan adanya infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A baru-baru ini.
Titer antibodi pasien-pasien tersebut lebih tinggi dibandingkan pasien-pasien
dengan infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A tanpa diikuti demam rematik
akut. Wabah faringitis oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A pada kelompok-
kelompok masyarakat yang tertutup seperti di asrama dan pangkalan militer, dapat
pula diikuti oleh wabah demam rematik akut. Terapi antimikroba yang digunakan
untuk mengeliminasi Streptococcus β-hemolyticus grup A dari faring dapat pula
mencegah episode awal dari demam rematik akut, dan sebagai upaya jangka
panjang, pengobatan profilaksis yang diberikan untuk mencegah terjadinya
faringitis oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A kembali, juga dapat mencegah
kekambuhan dari demam rematik akut.5,6,7,8,9
Streptococcus β-hemolyticus grup A merupakan bakteri kokus gram-positif,
yang sering berkolonisasi di kulit dan orofaring. Bakteri ini dapat menimbulkan
penyakit-penyakit supuratif, seperti faringitis, impetigo, selulitis, miositis dan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


pneumonia. Streptococcus β-hemolyticus grup A juga dapat menimbulkan
penyakit-penyakit non-supuratif seperti demam reumatik, post-streptokokus
glomerulonefritis akut. Streptococcus β-hemolyticus grup A mengeluarkan toksin
sitolitik yaitu streptolisin S dan O. Dari kedua jenis toksin ini, streptolisin O
menimbulkan titer antibodi yang cukup tinggi dan persisten sehingga menjadi
marker berguna untuk mendeteksi adanya infeksi Streptococcus β-hemolyticus
grup A dan komplikasinya yang bersifat non-supuratif. 5,6,7,8,9
Hubungan pasti antara infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan
timbulnya demam rematik tidak jelas, tetapi terdapat dugaan dimana bakteri ini
„mempermainkan‟ sistem imun tubuh. Streptococcus β-hemolyticus grup A
memiliki protein yang serupa dengan protein yang ditemukan pada jaringan-
jaringan tertentu tubuh manusia. Oleh sebab itu, sel sistem imun yang biasanya
menyerang bakteri Streptococcus β-hemolyticus grup A dapat memperlakukan
jaringan-jaringan tubuh tersebut, terutama jaringan jantung, persendian, kulit dan
sistem saraf pusat, sebagai suatu agen infeksi. Reaksi sistem imun inilah yang
menyebabkan proses peradangan. 5,6,7,8,9
Tidak semua serotipe Streptococcus β-hemolyticus grup A dapat
menyebabkan demam rematik. Terdapat suatu konsep rhematogenicity dari
terinfeksinya penyakit ini. Serotipe Streptococcus β-hemolyticus grup A tertentu
(M tipe 1, 3, 5, 6, 18, 24) sering diisolasikan dari pasien dengan demam reumatik
akut dibandingan serotipe lainnya. 5,6,7,8,9
Seperti yang telah terurai diatas, demam reumatik dipercaya timbul akibat
suatu respon autoimun, namun patogenesis pastinya masih belum jelas. Demam
reumatik hanya timbul pada anak-anak dan remaja yang sebelumnya telah
menderita faringitis oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A, dan hanya infeksi
faring tersebut yang dapat mencetuskan atau mereaktivasi demam rematik. 5,6,7,8,9
2.1.3 Faktor Resiko
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya demam rematik
adalah:5,6,9
 Riwayat keluarga. Beberapa orang memiliki gen yang membuat mereka
menjadi lebih rentan untuk terkena demam rematik.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7


 Serotipe Streptococcus β-hemolyticus grup A. Beberapa strain tertentu
lebih berperan dalam timbulnya demam rematik dibandingkan strain
lainnya.
 Faktor-faktor lingkungan. Resiko penting yang juga berperan dalam
terjadinya demam rematik berhubungan dengan kepadatan penduduk,
sanitasi yang buruk, dan kondisi-kondisi lain yang dapat mempermudah
transmisi cepat atau paparan berulang dari Streptococcus β-hemolyticus
grup A. 6,8
2.1.4 Epidemiologi
Evolusi dari demam rematik cukup signifikan. Angka kejadian penyakit ini
pada awal abad ke-20 sangat tinggi (100-200 kasus per 100.000 penduduk di
Amerika Serikat pada tahun 1900 dan 50 per 100.000 pada tahun 1940). Dulu
demam rematik merupakan salah satu penyebab terbesar dari kematian pada anak-
anak dan remaja, dan penyebab penyakit jantung didapat pada dewasa muda.
Hingga awal tahun 1980 terjadi penurunan tajam sekitar 0,5 per 100.000 di
Amerika Serikat. Sejak saat itu, telah terjadi wabah demam rematik di beberapa
daerah. Di Eropa telah terjadi penurunan serupa dari angka kejadian demam
rematik dan telah menjadi penyakit yang jarang ditemui. Penjelasan dari
penurunan tajam dari insidensi demam reumatik akut dan penyakit jantung
reumatik di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya tidak jelas.1,2,4,5
Menurut sejarah, demam reumatik akut telah dikaitkan dengan kemiskinan,
terutama didaerah-daerah perkotaan. Kemungkinan penyebab dari penurunan
tersebut pada era sebelum tersedianya antibiotik, adalah karena perbaikan kondisi
lingkungan hidup. Beberapa penelitian menunjukan bahwa berbagai manifestasi
dari kemiskinan, kepadatan, yang sangat berperan dalam penyebaran infeksi
Streptococcus β-hemolyticus grup A, adalah yang paling berkaitan dengan
insidensi demam reumatik akut. Penurunan insidensi demam reumatik akut di
negara-negara maju pada 4 dekade terakhir ini juga disebabkan karena
ketersediaan pelayanan kesehatan yang memadai dan penggunaan antibiotik.
Terapi antibiotik untuk faringitis oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A
penting perannya dalam pencegahan serangan awal dan juga pencegahan terhadap
kekambuhannya. Sebagai tambahan, penurunan tersebut juga menunjukan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


prevalensi strain Streptococcus β-hemolyticus grup A yang bersifat reumatogenik
menjadi non-reumatogentik. 1,2,4,5
Di negara-negara berkembang, demam rematik merupakan suatu epidemik
dan menetap sebagai penyebab utama dari penyakit jantung didapat. Penyakit ini
juga merupakan penyebab utama dari kematian kelompok usia dibawah 50 tahun,
dan insidensi annual dari demam rematik adalah 100-200 kali lebih besar
dibanding di negara-negara maju. demam rematik biasanya terjadi pada anak-anak
usia 5-15 tahun. Jarang terjadi sebelum usia 3 tahun dan 92% kasus terjadi hingga
usia 18 tahun. Demam rematik merupakan komplikasi dari infeksi Streptococcus
β-hemolyticus grup A pada orang yang terpredisposisi. Kurang dari 2-3% dari
orang yang sebelumnya sehat terkena demam rematik yang diikuti faringitis
streptokok. Demam rematik tidak terjadi setelah pioderma streptokok. 1,2,4,5
Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti,
meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa
prevalensi penyakit jantung rematik berkisar 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak
sekolah. Dengan demikian, secara kasar dapat diperkirakan bahwa prevalensi
demam rematik di Indonesia pasti lebih tinggi dari angka tersebut, mengingat
penyakit jantung rematik merupakan akibat dari demam rematik.6
2.1.5 Patogenesis
Hubungan patogenik antara infeksi saluran napas bagian atas oleh
Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan demam reumatik akut masih belum
jelas. Salah satu rintangan terbesar dari usaha untuk memahami patogenesis
demam rematik akut dan penyakit jantung rematik adalah tidak terdapatnya
binatang percobaan. Banyak teori dari demam rematik akut dan penyakit jantung
reumatik yang telah diusulkan, namun hanya 2 yang dapat dipertimbangkan yaitu
the cytotoxicity theory dan teori imunologik.5,7,8
The cytotoxicity theory berpendapat bahwa suatu toxin dari Streptococcus β-
hemolyticus grup A terlibat dalam patogenesis demam rematik akut dan penyakit
jantung reumatik. Toksin ini akan beredar melalui pembuluh darah dan
mempengaruhi sistem tubuh lainnya. Streptococcus β-hemolyticus grup A
memproduksi berbagai enzim yang bersifat sitotoksik untuk sel jantung mamalia,
seperti streptolisin O, yang mempunyai efek sitotoksik langsung terhadap sel

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


mamalia dalam kultur jaringan. Pendukung terbanyak dari teori cytotoxicity
berpusat pada enzim ini. Namun, salah satu masalah utama dari hipotesis ini
adalah ketidakmampuannya untuk menjelaskan periode laten antara faringitis oleh
Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan onset dari demam reumatik akut. 5,7,8
Teori imunologik menyatakan adanya suatu immune-mediated patogenesis
untuk demam rematik akut dan penyakit jantung rematik. Munculnya teori ini
oleh karena adanya persamaan manifestasi klinik dari demam rematik akut dengan
penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh proses imunopatogenik dan adanya
periode laten antara infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan demam
rematik akut.4 Teori ini menyatakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh sistem
imun tubuh yang bertindak tidak sesuai. Sel imun tubuh (antibody), yang dibuat
secara spesifik untuk mengenali dan menghancurksn agen penyebab penyakit
yang memasuki tubuh – dalam hal ini, Streptococcus β-hemolyticus grup A.
Antibodi ini mampu mengenali bakteri ini karena bakteri ini mengandung marker
spesifik sebagai tanda pengenal yang disebut antigen. Determinan antigenik antara
komponen Streptococcus β-hemolyticus Grup A (protein M, membran protoblas,
karbohidrat dinding sel grup A, kapsul hialuronat) dan jaringan spesifik mamalia
(jantung, otak, persendian) serupa. Sebagai contoh, beberapa M protein (M1, M5,
M6, M19) berbagi epitop dengan tropomiosin dan miosin pada manusia. Oleh
karena adanya persamaan antara antigen Streptococcus β-hemolyticus grup A dan
antigen sel-sel tubuh tertentu, maka antibodi tersebut dapat salah mengenali dan
menyerang sel tubuh sendiri.5,6,7,8
Infeksi saluran nafas bagian atas oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A
adalah pencetus utama dari individu yang terpredisposisi. Usaha terakhir untuk
menerangkan suspektabilitas pejamu terhadap kuman ini adalah gen respon imun
yang ditemukan pada sekitar 15% seluruh populasi. Respon imun yang dicetuskan
oleh kolonisasi Streptococcus β-hemolyticus grup A di faring meliputi: (1)
sensitisasi dari limfosit B oleh antigen streptokokus. (2) pembentukan antibodi
antistreptokokus. (3) pembentukan kompleks imun yang mengalami reaksi silang
dengan antigen sarkolema jantung. (4) respon inflamasi dari miokardium dan
katup jantung. 5,6,7,8

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10


2.1.6 Gejala Klinis
Karena tidak terdapatnya manifestasi klinis dan temuan laboratorium yang
patognomik untuk demam rematik akut, T. Ducket Jones, pada tahun 1944,
mengusulkan pedoman untuk mendiagnosis demam rematik akut dan untuk
mencegah overdiagnosis. Kriteria Jones, yang telah direvisi pada tahun 1992 oleh
American Heart Association, dibuat dengan maksud untuk mendiagnosis serangan
pertama dari demam rematik akut dan bukan untuk serangan ulangan. Terdapat 5
kriteria mayor dan 4 kriteria minor dan persyaratan absolut (mikrobiologik atau
serologik) dari bukti adanya infeksi Streptococcus β-hemolyticus Grup A baru-
baru ini. Diagnosis dari demam rematik akut akut dapat ditegakan dari kriteria
Jones jika seorang pasien memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor serta memenuhi persyaratan absolut. Meskipun dengan aplikasi
ketat dari kriteria Jones, overdiagnosis atau underdiagnosis dari demam rematik
akut masih dapat terjadi.8,9
Ada tiga keadaan dimana diagnosis demam rematik akut dapat dibuat tanpa
penetapan ketat dari kriteria Jones. Korea mungkin timbul sebagai manifestasi
klinis satu-satunya dari demam reumatik akut. Keadaan yang sama mirip dengan
seorang pasien yang dengan karditis dan baru datang berobat pertama kali
berbulan-bulan setelah onset demam reumatik. Beberapa pasien dengan serangan
ulangan dapat memenuhi kriteria Jones, beberapa lainnya tidak. 8,9
a. Manifestasi Mayor
Terdapat 5 kriteria mayor. Adanya 2 kriteria mayor dengan bukti
(mikrobiologik atau serologik) dari infeksi Streptococcus β-hemolyticus Grup A
sebelumnya memenuhi kriteria Jones.
1. Poliartritis Migran
Artritis timbul pada 75% pasien dengan demam rematik akut dan sering
melibatkan sendi-sendi besar, terutama sendi lutut, pergelangan kaki, pergelangan
tangan, dan siku. Keterlibatan tulang belakang, sendi-sendi kecil dari tangan dan
kaki, atau sendi panggul sangat jarang. Persendian yang terkena rematik secara
umum ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan, kemerahan, teraba panas, dan
keterbatasan gerak aktif; bahkan jika bersinggungan dengan sprei menimbulkan
perasaan tidak enak. Nyeri ini dapat berlanjut dan dapat tampak tidak sesuai

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


dengan temuan klinis lainnya. Keterlibatan sendi pada demam rematik akut
bersifat migratory atau berpindah-pindah, sendi yang mengalami peradangan yang
sangat berat dapat menjadi normal dalam waktu 1-3 hari tanpa pengobatan,
sementara sendi-sendi lainnya mulai meradang. Sehingga dapat ditemukan artritis
yang saling tumpang tindih pada beberapa sendi pada waktu yang bersamaan.
Keluhan ini dapat menetap hingga berminggu-minggu (2-4 minggu). Artritis
monoartikuler jarang terjadi kecuali jika terapi anti-inflamasi diberikan sejak awal
sehingga mencegah progresifitas dari poliartritis migran. 5,6,7,8,9
Jika seorang anak dengan demam dan artritis dicurigai menderita demam
rematik akut, biasanya akan membantu jika pemberian salisilat ditunda dan pasien
diobservasi untuk poliartritis. Respon dramatis terhadap dosis salisilat yang kecil
pun adalah salah satu karakteristik untuk artritis dan tidak adanya respon itu
menandakan diagnosis alternatif yang lain. Rematik artritis tidak menyebabkan
deformitas dan kerusakan sendi jangka panjang. Cairan sinovial pada demam
rematik akut biasanya mengandung 10.000-100.000 sel darah putih/mm3 dengan
sel dominan neutrofil, protein sebanyak 4 g/dL, kadar glukosa yang normal dan
terjadi pembentukan gumpalan musin. Akhir-akhir ini artritis merupakan
manifestasi awal dari demam rematik akut dan terdapat hubungan sementara
dengan tingginya titer antibodi dari Streptococcus β-hemolyticus Grup A. Ada
hubungan yang jelas antara beratnya artritis dengan beratnya keterlibatan jantung.
5,6,7,8,9

2. Karditis
Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat
karena merupakan satu-satunya manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian
penderita pada fase akut dan dapat menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi
penyakit jantung rematik.7 Diagnosis karditis rematik dapat ditegakan secara
klinis berdasarkan adanya salah satu tanda berikut: (a) bising baru atau perubahan
sifat bising organik, (b) kardiomegali, (c) pankarditis, dan gagal jantung kongestif.
7
Pankarditis adalah peradangan aktif miokardium, perikardium dan
endokardium.7 Miokarditis dan atau perikarditis tanpa bukti adanya endokarditis
jarang disebabkan oleh penyakit jantung rematik. Kebanyakan kasus melibatkan
kerusakan pada katup mitral atau kombinasi dari katup mitral dan aorta.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


Kerusakan pada katup aorta saja atau kerusakan katup sebelah kanan sangat
jarang. Sedangkan efek jangka panjang dari kerusakan jantung yang lebih berat
merupakan akibat dari kerusakan katup ini. 5,6,7,8,9
Pada beberapa anak dengan peradangan jantung tidak menunjukan adanya
gejala klinis, dan riwayat peradangan sebelumnya baru diketahui bertahun-tahun
kemudian saat kerusakan jantung telah terjadi. Beberapa anak akan merasakan
jantungnya berdebar-debar. Sedangkan lainnya akan mengeluh nyeri pada dada
yang disebabkan oleh peradangan selaput yang menyelimuti jantung
(perikarditis). Kegagalan jantung dapat terjadi, dan menyebabkan anak tersebut
menjadi cepat lelah dan sesak nafas, dengan mual, muntah, nyeri perut atau batuk
kering.6
Rematik karditis akut biasanya ditandai dengan danya takikardia dan
murmur jantung, dengan atau tanpa bukti danya keterlibatan miokardium atau
perkardium. Bising jantung merupakan manifestasi karditis rematik yang
seringkali muncul pertama kali, sementara tanda dan gejala perikarditis serta gagal
jantung kongestif biasanya baru timbul pada keadaan yang lebih berat. Bising
pada demam rematik dapat berupa bising pansistol didaerah apeks (regurgitasi
mitral), bising awal diastol di daerah basal (regurgitasi aorta), dan bising mid-
diastol pada apeks (bising Carey-Coombs) yang timbul akibat adanya dilatasi
ventrikel kiri. Selain itu, rematik karditis ringan hingga berat dapat menyebabkan
kardiomegali dan penyakit jantung kongestif dengan hepatomegali dan edema
perifer dan pulmonal. Penemuan ekokardiografi meliputi effusi perikardium,
penurunan kontraktilitas ventrikular, dan regurgitasi aorta dan atau mitral. Hasil
ekokardiografi yang menunjukan adanya suatu regurgitasi katup tanpa diserta
bukti auskultasi tidak cukup untuk memenuhi kriteria Jones untuk karditis.6
Karditis timbul pada 50-60% kasus demam reumatik akut. Serangan
ulangan demam reumatik akut pada pasien yang sebelumnya terkena karditis pada
serangan pertama kemungkinan untuk terkena karditis lagi pada serangan ulangan
sangat tinggi. Dampak utama dari rematik karditis adalah penyakit katup yang
bersifat kronik progresif, khususnya stenosis katup, yang mungkin akan
membutuhkan penggantian katup dan dapat merupakan suatu predisposisi
timbulnya endokarditis terinfeksi.6

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


3. Korea Sydenhem
Korea sydenham terjadi pada 10-15% pasien dengan demam rematik akut
dan biasanya bermanifestasi sebagai suatu gangguan gerakan yang bersifat tiba-
tiba, tidak disadari, tidak berirama, klonik dan tanpa tujuan serta perilaku
neurologik yang terisolasi dan halus. Emosi yang labil, inkoordinasi, kinerja
sekolah yang buruk, gerakan tak terkendali, dan wajah meringis, yang dicetuskan
oleh stress dan hilang dengan tidur merupakan ciri-ciri dari kelainan ini.7 Gerakan
tersentak-sentak dan tak terkendali ini mempunyai onset yang tersembunyi dan
membahayakan, tetapi biasanya baru timbul setelah gejala lainnya telah
menghilang, dan menetap hingga berbulan-bulan (4-8 bulan) sebelum dikenali.
Gerakan ini melibatkan seluruh otot-otot tubuh kecuali otot mata. Biasanya
dimulai dengan ekstremitas atas lalu menyebar ke ekstremitas bawah dan wajah.
Korea sering bersifat unilateral. Masa laten dari infeksi akut Streptococcus β-
hemolyticus Grup A menjadi korea lebih lama dibanding menjadi artritis atau
karditis dan dapat mencapai berbulan-bulan. Pemeriksaan klinis yang dapat
dilakukan untuk memperoleh ciri-ciri dari korea meliputi (1) demonstrasi dari
milkmaid’s grip’ (pemeras susu) yaitu kontraksi irreguler dari otot-otot tangan
sambil memeras jari pemeriksa, (2) gerakan menyendok dan pronasi dari tangan
saat lengan penderita di ekstensikan, (3) gerakan seperti cacing dari lidah saat
dijulurkan, (4) pemeriksaan tulisan tangan untuk menilai gerakan motorik halus.
Diagnosis ditegakan berdasarkan temuan klinis dengan bukti yang mendukung
adanya antibodi Streptococcus β-hemolyticus Grup A. Namun, pada pasien
dengan periode laten yang lama dari sejak timbulnya infeksi Streptococcus β-
hemolyticus Grup A, kadar antibodi kemungkinan telah menurun hingga kadar
normal. Meskipun penyakit akut ini menyedihkan, korea jarang, bahkan hampir
tidak pernah terdapat gejala sisa yang permanen.6 Korea syndenham merupakan
satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting sehingga dapat dianggap
sebagai petanda adanya demam rematik meskipun tidak ditemukan kriteria lain.
5,6,7,8,9

4. Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan ruam yang jarang (<3% pasien dengan
demam reumatik akut) namun khas pada demam reumatik akut. Ini meliputi lesi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


makular, eritematous dan serpiginous (menyebar, progresif) dengan bagian tengah
yang pucat, namun tidak gatal. Terjadi terutama di bagian trunkus dan
ekstremitas, tetapi tidak mengenai wajah.4,8 Kelainan ini dapat berpindah-pindah
dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lain, dapat dicetuskan oleh pemberian
panas, dan memucat jika ditekan. Tanda mayor ini hanya ditemukan pada kasus
yang berat. 5,6,7,8,9
5. Nodul Subkutan
Nodul subkutan sangat jarang terjadi (<1% pasien dengan demam
reumatik akut) dan meliputi nodul-nodul keras berdiameter kurang lebih 1 cm
sepanjang permukaan ekstensor dari tendon dekat prominen tulang, pada kulit
kepala serta kolumna vertebralis, tidak terasa nyeri dan mudah digerakan.
Terdapat hubungan secara signifikan antara munculnya nodul-nodul ini dengan
penyakit jantung reumatik. 5,6,7,8,9
b. Manifestasi Minor
1) Riwayat demam rematik sebelumnya. Ini dapat digunakan sebagai
salah satu kriteria minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu
diagnosis yang didasarkan pada kriteria objektif yang sama. Akan tetapi,
riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah
diidap seorang penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit
dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis.6
2) Arthralgia. Arthralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa
disertai peradangan atau keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus
dibedakan dengan nyeri pada otot atau jaringan periartikular lainnya, atau
dengan nyeri sendi malam hari yang lazim terjadi pada anak-anak normal.
Arthralgia tidak dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis
sudah dipakai sebagai kriteria mayor.6
3) Demam. Demam pada demem rematik adalah ringan, meskipun ada
kalanya mencapai 39C, terutapa jika terdapat artritis. Manifestasi ini lazim
berlangsung sebagai suatu suatu demam derajat ringan selama beberapa
minggu. Demam merupakan petanda infeksi yang tidak spesifik, dan karena
dapat dijumpai pada begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini tidak
memiliki arti diagnosis banding yang bermakna.6

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


4) Peningkatan kadar reaktan fase akut. Berupa kenaikan laju endap
darahm kadar protein C-reaktif serta leukositosis merupakan indikator non
spesifik dari peradangan atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut ini
hampir selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali jika korea
merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu diingat
bahwa laju endap darah juga meningkat pada kasus anemia dan gagal
jantung kongestif. Adapun protein C-reaktif tidak meningkat pada anemia,
akan tetapi mengalami kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap
darah dan kadar protein C reaktif dapat meningkat pada semua kasus
infeksi, namun apabila protein C reaktif tidak bertambah, maka
kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut dapat dipertanyakan.6
5) Interval P-R yang memanjang. Biasanya menunjukan adanya
keterlambatan abnormal sistem konduksi pada nodus arterioventrikel dan
sering juga dijumpai pada demam rematik, perubahan gambaran EKG ini
tidak spesifik untuk demam rematik. Selain itu, interval P-R yang
memanjang juga bukan pertanda yang memadai adanya karditis rematik.6
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
 Kultur tenggorokan. Pengambilan sampel dengan cara mengusap kedua
tonsil dan laring bagian posterior kemudian dibiak dalam medium agar
darah domba, untuk melihat adanya infeksi Streptococcus β-hemolyticus
grup A. Koloni yang terbentuk pada medium biakan dapat diperiksa
dengan latex agglutination, florescent antibody assay, koagulasi atau
teknik presipitasi untuk membuktikan adanya infeksi Streptococcus β-
hemolyticus grup A. kultur tenggorokan untuk Streptococcus β-
hemolyticus grup A biasanya memberikan hasil negatif saat gejala dari
demam reumatik atau penyakit jantung reumatik telah muncul. Usahakan
untuk dapat mengisolasikan bakteri sebelum pemberian terapi antibiotik
untuk membantu mengkonfirmasikan diagnosis faringitis oleh
Streptococcus β-hemolyticus grup A dan dapat ditentukan serotip jenis apa
jika berhasil.6

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16


 Rapid antigen detection test. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen
dari Streptococcus β-hemolyticus grup A secara cepat, sehingga diagnosis
dapat segera ditegakan dan terapi antibiotik dapat segera diberikan saat
pasien masih berada dikamar pemeriksaan dokter. Spesifisitas dari
pemeriksaan ini lebih dari 95%, namun sensitivitasnya hanya 60-90%.
Oleh karena itu, pengambilan kultur tenggorokan dianjurkan.6
 Antibodi antistreptokokus. Tanda-tanda klinik dari demam reumatik
dimulai saat tingkat antibodi antistreptokokus mencapai puncaknya. Oleh
karena itu, pemeriksaan ini berguna untuk mengkonfirmasi apakah
sebelumnya pernah terinfeksi oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A.
Antibodi antistreptokokus ini terutama berguna pada pasien dengan
manifestasi klinis korea karena ini merupakan satu-satunya tanda
diagnostik. Sensitifitas terhadap infeksi yang baru terjadi dapat
ditingkatkan dengan memeriksa beberapa jenis antibodi. Untuk memeriksa
apakah terjadi peningkatan titer antibodi maka pemeriksaan dilakukan
dengan jarak 2 minggu. Antibodi antistreptokokus ekstraseluler yang
paling sering diperiksa adalah antistreptolisin O (ASO) dan anti-Dnase B,
antihialuronidase, antistreptokinase, antistreptokokal esterase, dan anti-
nicotinamide adenine dinucleotide (anti-NAD). Tes antibodi terhadap
komponen seluler antigen Streptococcus β-hemolyticus grup Ameliputi
antistreptococcal polusaccharide, antiteicholic acid antibody, dan anti-M
protein antibody. Secara umum, antibodi terhadap antigen streptokokus
ekstraseluler meningkat selama bulan pertama setelah infeksi dan
membentuk gambaran plateau selama 3-6 bulan sebelum kembali ke kadar
normal setelah 6-12 bulan. Saat titer ASO mencapai puncaknya (2-3
minggu setelah onset demam rematik), sensitifitas pemeriksaan ini sebesar
80-85%. Anti-Dnase B mempunyai sensitifitas sedikit lebih tinggi (90%)
untuk memastikan demam rematik atau glomerulonefritis akut.
Antihialuronidase pada pasien demam reumatik dengan titer ASO yang
normal sering abnormal, dapat muncul terlebih dahulu, dan menetap lebih
lama dibanding peningkatan titer ASO selama demam reumatik. 5,6,7,8,9

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17


 Acute-phase reactants: C-reactive protein dan lanju endap darah
meningkat pada penderita demam rematik oleh karena proses inflamasi
dari penyakit tersebut. Kedua pemeriksaan ini memiliki sensitifitas yang
tinggi namun spesifitas yang rendah terhadap demam rematik.6
 Heart reactive antibodies: Tropomiosin meningkat pada penderita dengan
demam rematik akut.6
 Rapid detection test for D8/17: Teknik immunofluorescence ini dapat
mengidentifikasi B-cell marker D8/17 bernilai positif 90% pada penderita
demam rematik dan dapat berguna untuk mengidentifikasi seseorang yang
beresiko terkena demam rematik.6
b. Pencitraan
 Foto thoraks
Kardiomegali, kongesti pulmonal, dan temuan lainnya yang
berkaitan dengan kegagalan jantung terlihat pada foto thoraks seseorang
dengan demam rematik. Saat pasien tersebut demam dan menunjukan
distres pernapasan, foto thoraks membantu membedakan antara gagal
jantung kongestif dan rematik pneumonia.6
 Ekokardiografi
Pada penderita penyakit jantung reumatik akut, ekokardiografi
mengidentifikasi dan menilai insufisiensi katup dan disfungsi ventrikel.6
c. EKG
Sinus takikardi sering ditemukan bersamaan dengan penyakit
jantung rematik. Dapat juga disertai dengan blok jantung derajat I, II atau
III. Pada penderita yang disertai perikarditis akut, akan ditemukan ST
elevasi yang terlihat pada lead II, III, aVF dan V4-V6. Penyakit jantung
rematik juga dapat menyebabkan flutter atrium, takikardi atrium
multifokal, atau fibrilasi atrium dari penyakit katup mitral kronik dan
dilatasi atrium. Katerisasi jantung tidak diindikasikan untuk demam
rematik akut.6
d. Pemeriksaan Histologi
Pemeriksaa patologi anatomi terhadap katup yang mengalami
insufisiensi dapat ditemukan lesi verrucous pada garis penutupan. Ashcoff

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 18


bodies (fokus perivaskuler yang merupakan kolagen eosinofil yang
dikelilingi limfosit, sel plasma, dan makrofag) ditemukan di perikardium,
regio perivaskular dari miokardium, dan endokardium. Ashcoff bodies
tampak granulomatous dengan fokus sentral fibrinoid yang pada akhirnya
akan digantikan oleh nodul-nodul jaringan parut.6
e. Pemeriksaan Serologis
Titer antistreptolisin O (ASTO) merupakan pemeriksaan diagnostik
standard untuk demam rematik, sebagai salah satu bukti yang mendukung
adanya infeksi streptokokus. Titer ASTO dianggap meningkat apabila
mencapai 250 unit Todd pada orang dewasa atau 333 unit Todd pada anak-
anak pada usia diatas 5 tahun, dan dapat dijumpai pada sekitar 70-80%
kasus demam rematik akut. Infeksi streptokokus juga dapat dibuktikan
dengan melakukan biakan usapan tenggorokan. Biakan positif pada 50%
kasus demam rematik akut. Bagaimanapun biakan yang negatif tidak dapat
mengesampingkan kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut.6
2.1.8 Diagnosis
Seperti yang telah dijelaskan diatas, diagnosis demam rematik lazim
ditegakan berdasarkan kriteria Jones. Kriteria Jones memuat kelompok mayor dan
minor yang pada dasarnya merupakan manifestasi klinik dan laboratorik demam
rematik. Pada perkembangan selanjutnya, kriteria ini kemudian diperbaiki oleh
American Heart Association dengan menambahkan bukti adanya infeksi
streptokokus sebelumnya. 11
Tabel 2.1 Kriteria Jones sebagai pedoman diagnosis rheumatic fever6,10,11

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 19


Apabila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya,
kemungkinan besar menandakan adanya demam rematik. Tanpa dukungan bukti
adanya infeksi streptokokus, maka diagnosis demam rematik harus selalu
diragukan, kecuali pada kasus demam reumatik dengan manifestasi mayor tunggal
berupa korea Syndenham atau karditis derajat ringan, yang biasanya terjadi jika
demam reumatik baru muncul setelah masa laten yang lama dari infeksi
streptokokus.5,6,11
Perlu diingat kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya sebagai suatu
pedoman dalam menentukan diagnosis demam reumatik. Kriteria ini bermanfaat
untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis, baik berupa
overdiagnosis maupun underdiagnosis.6
Tabel 2.2 Kriteria diagnosis WHO 2002-2003 dalam Mendiagnosis Rheumatic
Fever dan RHD10
Kriteria Diagnosis Kriteria
Rheumatic fever serangan pertama - Dua mayor
- Atau satu mayor dan dua minor
- Ditambah bukti infeksi SBHGA
sebelumnya
Rheumatic fever serangan ulang tanpa - Dua mayor
RHD - Atau satu mayor dan dua minor
- Ditambah bukti infeksi SBHGA
sebelumnya
Rheumatic fever serangan ulang dengan - Dua minor
RHD - Ditambah dengan bukti infeksi
SBHGA sebelumnya
 Chorea reumatik - Tidak diperlukan kriteria mayor
 Karditis reumatik insidious lainnya atau bukti infeksi
SBHGA
 RHD - Tidak diperlukan kriteria lainnya
untuk mendiagnosis sebagai
RHD

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20


2.2 Gagal Jantung Kongestif
2.2.1. Definisi

Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.
Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat di masa depan karena semakin
bertambahnya usia harapan hidup dan berkembangnya terapi penanganan infark
miokard mengakibatkan perbaikan harapan hidup penderita dengan penurunan
fungsi jantung.5,12,13
Gagal jantung kongestif atau congestive heart failure (CHF) adalah kondisi
dimana fungsi jantung sebagai pompa untuk menghantarkan darah yang kaya
oksigen ke tubuh tidak cukup untuk memenuhi keperluan tubuh. Suatu definisi
objektif yang sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung kronik hampir
tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas mengenai
disfungsi ventrikel. Sebenarnya istilah gagal jantung menunjukkan berkurangnya
kemampuan jantung untuk mempertahankan beban kerjanya. 5,12,13
2.2.2. Epidemiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Di negara berkembang
yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit
jantung akibat malnutrisi. Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit
jantung rematik, yaitu penyakit katup regurgitasi mitral dan stenosis aorta.
Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume
(peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan
(peningkatan afterload). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal
jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel
kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul
bersamaan. 3,4,6
Gagal jantung kongestif lebih banyak terjadi pada usia lanjut.8 Salah satu
penelitian menunjukkan bahwa gagal jantung terjadi pada 1% dari penduduk usia
50 tahun, sekitar 5% dari mereka berusia 75 tahun atau lebih, dan 25% dari
mereka yang berusia 85 tahun atau lebih. Karena jumlah orang tua terus
meningkat, jumlah orang yang didiagnosis dengan kondisi ini akan terus
meningkat. Di Amerika Serikat, hampir 5 juta orang telah didiagnosis gagal

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21


jantung dan ada sekitar 550.000 kasus baru setiap tahunnya. Kondisi ini lebih
umum di antara Amerika Afrika dari kulit putih. Hal ini menunjukkan adanya
keterkaitan antara usia dan gagal jantung kongestif.3,4,6
Selain usia, insidensi gagal jantung kongestif juga dipengaruhi oleh faktor
lain. Salah satunya, insidensi gagal jantung kongestif digolongkan berdasarkan
jenis kelamin. Dari survei registrasi rumah sakit didapatkan angka perawatan di
rumah sakit, dengan angka kejadian 4.7% pada perempuan dan 5.1% pada laki-
laki. 3,4,6
Kualitas dan kelangsungan hidup penderita gagal jantung kongestif sangat
dipengaruhi oleh diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Oleh karena itu,
prognosis pada penderita gagal jantung kongestif bervariasi pada tiap penderita.
Berdasarkan salah satu penelitian, angka kematian akibat gagal jantung adalah
sekitar 10% setelah 1 tahun. Sekitar setengah dari mereka dengan gagal jantung
kongestif mati dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis mereka.6 Sumber lain
mengatakan bahwa seperdua dari pasien gagal jantung kongestif meninggal dalam
waktu 4 tahun setelah didiagnosis, dan terdapat lebih dari 50% penderita gagal
jantung kongestif berat meninggal dalam tahun pertama. 3,4,6
2.2.3 Etiologi

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi


cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung. Di negara maju
penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan
di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung
katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Pada beberapa keadaan, sangat sulit
untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang
terjadi bersamaan pada penderita. Penyakit jantung koroner pada Framingham
Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27%
pada wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan
faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung.7,12
Selain itu, berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan
kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan
gagal jantung. Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal
jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 22


melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi
ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan
meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk
terjadinya aritmia baik aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi
yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan
perkembangan gagal jantung. 7,12
Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang bukan
disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung
kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan
menjadi empat kategori fungsional yaitu dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif
dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana
terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel
kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat
seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa. 7,12
Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal
dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai dengan adanya
kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi septum yang
asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati
hipertrofik obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta
compliance ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan
kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel.6,7,12
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun
saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama
terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi
mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan
preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan
afterload). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan
dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada
penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul
bersamaan. 6,7,12
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal
jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 23


Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi
(penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 – 3%
dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi
tiamin. Obat – obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi
seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan
gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung. 6,7,12
2.2.4 Manifestasi Klinis
Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi gangguan
pada jantung, otot skeletal dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta
perubahan neurohormonal yang kompleks.6,7,12
Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang
menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung. Hal ini menyebabkan aktivasi
mekanisme kompensasi neurohormonal, Sistem Renin – Angiotensin –
Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang
bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat
terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga
cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas
serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul
berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi
simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit,
hipertofi dan nekrosis miokard fokal. 6,7,12
Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor
renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang
pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan
merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium
dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek
pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung. 6,7,12
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial
Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap
peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatasi. Pada otot skelet dan fungsi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 24


ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang
kompleks. 6,7,12
Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang
menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi
mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron
(sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk
memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.
Aktivasi .sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac
output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta
vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). 6,7,12
Apabila hal ini timbul berlanjutan, dapat menyebabkan gangguan pada
fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
apoptosis miosit,hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA
menyebabkan peningkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan
aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol
eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat
saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.
6,7,12

Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan


sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada
disfungsi endotel pada gagal jantung. Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide
yang berstruktur hampir sama yang memiliki efek yang luas terhadap jantung,
ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di
atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan
vasodilatasi. 6,7,12
Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNP) juga dihasilkan di jantung,
khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide
terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap
natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial and brain natriuretic peptide
meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan
bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron
dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. 6,7,12

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 25


Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada
gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan pada
pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.Endotelin disekresikan
oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang
poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang
bertanggung jawab atas retensi natrium. 6,7,12
Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan
derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan arteri pulmonal
pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit
jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati
hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid.
Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung
memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung
sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski
dapat timbul sendiri. 6,7,12
Tabel 2.3 Manifestasi klinis gagal jantung menurut American Heart Association
6,7,12

Manifestasi Klinis Umum Deskripsi Mekanisme

Sesak napas (juga disebut Sesak napas selama melakukan Darah dikatakan “backs up” di
dyspnea) aktivitas (paling sering), saat pembuluh darah paru
istirahat, atau saat tidur, yang (pembuluh darah yang kembali
mungkin datang tiba-tiba dan dari paru ke jantung) karena
membangunkan. Pasien sering jantung tidak dapat
mengalami kesulitan bernapas mengkompensasi suplai
sambil berbaring datar dan darah.Hal ini menyebabkan
mungkin perlu untuk menopang cairan bocor ke paru-paru.
tubuh bagian atas dan kepala di
dua bantal. Pasien sering
mengeluh bangun lelah atau
merasa cemas dan gelisah.

Batuk atau mengi yang Batuk yang menghasilkan lendir Cairan menumpuk di paru-
persisten darah-diwarnai putih atau pink. paru (lihat di atas).

Penumpukan kelebihan cairan Bengkak pada pergelangan Aliran darah dari jantung yang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 26


dalam jaringan tubuh (edema) kaki, kaki atau perut atau melambat tertahan dan
penambahan berat badan. menyebabkan cairan untuk
menumpuk dalam
jaringan. Ginjal kurang mampu
membuang natrium dan air,
juga menyebabkan retensi
cairan di dalam jaringan.

Kelelahan Perasaan lelah sepanjang waktu Jantung tidak dapat memompa


dan kesulitan dengan kegiatan cukup darah untuk memenuhi
sehari-hari, seperti belanja, naik kebutuhan jaringan tubuh.
tangga, membawa belanjaan
atau berjalan.

Kurangnya nafsu makan dan Perasaan penuh atau sakit perut. Sistem pencernaan menerima
mual darah yang kurang,
menyebabkan masalah dengan
pencernaan.

Kebingungan dan gangguan Kehilangan memori dan Perubahan pada tingkat zat
berpikir perasaan menjadi disorientasi. tertentu dalam darah, seperti
sodium, dapat menyebabkan
kebingungan.

Peningkatan denyut jantung Jantung berdebar-debar, yang Untuk "menebus" kerugian


merasa seperti jantung Anda dalam memompa kapasitas,
balap atau berdenyut. jantung berdetak lebih cepat.

Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung Kongestif


Diagnosis CHF membutuhkan adanya minimal 2 kriteria besar atau 1
kriteria utama dalam hubungannya dengan 2 kriteria minor, yaitu :6,7,12
Kriteria Mayor, terdiri dari :
 Paroksismal nocturnal dyspnea
 Distensi vena pada leher
 Rales
 Kardiomegali (ukuran peningkatan jantung pada radiografi dada)
 Edema paru akut
 S3 ( Suara jantung ketiga )
 Peningkatan tekanan vena sentral (> 16 cm H2O di atrium kanan)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 27


 Hepatojugular refluks
 Berat badan > 4.5 kg dalam 5 hari di tanggapan terhadap pengobatan
Kriteria Minor, terdiri dari :
 Bilateral ankle edema
 Batuk nokturnal
 Dyspnea pada aktivitas biasa
 Hepatomegali
 Efusi pleura
 Penurunan kapasitas vital oleh sepertiga dari maksimum terekam
 Takikardia (denyut jantung> 120 denyut / menit)
2.3 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar
bertujuan untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A,
menekan inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk
gagal jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan untuk mencegah
rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan memantau komplikasi serta
gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis pada saat dewasa. Selain terapi
medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien harus dikontrol. Selain itu,
ada juga pilihan terapi operatif sebagai penanganan kasus-kasus parah.
2.3.1 Terapi Antibiotik
a. Profilaksis Primer
Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang sangat
penting untuk mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen Streptococcus
beta hemolyticus grup A. Eradikasi dari bakteri Streptococcus beta hemolyticus
grup A pada faring seharusnya diikuti dengan profilaksis sekunder jangka panjang
sebagai perlindungan terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A
faring yang berulang.10
Pemilihan regimen terapi sebaiknya mempertimbangkan aspek bakteriologi
dan efektifitas antibiotik, kemudahan pasien untuk mematuhi regimen yang
ditentukan (frekuensi, durasi, dan kemampuan pasien meminum obat), harga, dan
juga efek samping.5,10,14

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 28


Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan amoxicilin oral
adalah obat pilihan untuk terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring
pada pasien tanpa riwayat alergi terhadap penisilin. Setelah terapi antibiotik
selama 24 jam, pasien tidak lagi dianggap dapat menularkan bakteri Streptococcus
beta hemolyticus group A. Penisilin V pottasium lebih dipilih dibanding dengan
penisilin G benzathine karena lebih resisten terhadap asam lambung. Namun
terapi dengan penisilin G benzathine lebih dipilih pada pasien yang tidak dapat
menyelesaikan terapi oral 10 hari, pasien dengan riwayat rheumatic fever atau
gagal jantung rematik, dan pada mereka yang tinggal di lingkungan dengan faktor
risiko terkena rheumatic fever (lingkungan padat penduduk, status sosio-ekonomi
rendah). 5,10,13,14
Tabel 2.4. Obat-obatan profilaksis primer untuk rheumatic fever11

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 29


b. Profilaksis Sekunder
Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan atau munculnya
rheumatic heart disease. Pencegahan terhadap infeksi Streptococcus beta
hemolyticus grup A pada faring yang berulang adalah metode yang paing efektif
untuk mencegah rheumatic heart disease yang parah.11
Tabel 2.5 Obat-obatan Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever11

Tabel 2.6. Durasi Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever11

b. Terapi Anti Inflamasi


Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis) biasanya merespon
cepat terhadap terapi anti inflamasi. Anti inflamasi yang menjadi lini utama
adalah aspirin. Untuk pasien dengan karditis yang buruk atau dengan gagal
jantung dan kardiomegali, obat yang dipilih adalah kortikosteroid. Kortikosteroid
juga menjadi pilihan terapi pada pasien yang tidak membaik dengan aspirin dan
terus mengalami perburukan.11,15

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 30


Penggunaan kortikosteroid dan aspirin sebaiknya menunggu sampai
diagnosis rheumatic fever ditegakan. Pada anak-anak dosis aspirin adalah 100-125
mg/kg/hari, setelah mencapai konsentrasi stabil selama 2 minggu, dosis dapat
diturunkan menjadi 60-70 mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang alergi
terhadap aspirin bisa digunakan naproxen 10-20 mg/kg/hari.5,11,15
Obat kortikosteroid yang menjadi pilihan utama adalah prednisone dengan
dosis 2 mg/kg/hari, maksimal 80 mg/hari selama 2 minggu, diberikan 1 kali
sehari. Setelah terapi 2-3 minggu dosis diturunkan 20-25% setiap minggu. Pada
kondisi yang mengancam nyawa, terapi IV methylprednisolone dengan dosis 30
mg/kg/hari. Durasi terapi dari anti inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap
terapi. 5,11,15
c. Terapi Gagal Jantung
Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap tirah
baring, restriksi cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada beberapa pasien
dengan gejala yang berat, terapi diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin bisa
digunakan. Awalnya, pasien harus melakukan diet restriksi garam ditambah
dengan diuretik. Apabila hal ini tidak efektif, bisa ditambahkan ACE Inhibitor dan
atau digoxin. 10,12,15
Tabel 2.7.Obat-obatan untuk Mengatasi Gagal Jantung pada Rheumatic
Fever10,12,15

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 31


d. Diet dan Aktivitas
Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa restriksi
kecuali pada pasien gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan natrium harus
dikurangi. Suplemen kalium diperlukan apabila pasien diberikan kortikosteroid
atau diuretik.16,17
Tirah baring sebagai terapi rheumatic fever pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1940, namun belum diteliti lebih lanjut sejak saat itu. Pada praktek klinis
sehari-hari, kegiatan fisik harus direstriksi sampai tanda-tanda fase akut terlewati,
baru kemudian aktivitas bisa dimulai secara bertahap.17 Sesuai dengan anjuran
Taranta dan Marcowitz tirah baring yang dianjurkan adalah sebagai berikut : 16,17
Tabel 2.8. Tirah Baring yang Dianjurkan pada Rheumatic Fever

e. Terapi Operatif
Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus mengalami
perburukan meskipun telah mendapat terapi medis yang agresif untuk penanganan
rheumatic heart disease, operasi untuk mengurangi defisiensi katup mungkin bisa
menjadi pilihan untuk menyelamatkan nyawa pasien. Pasien yang simptomatik,
dengan disfungsi ventrikel atau mengalami gangguan katup yang berat, juga
memerlukan tindakan intervensi. 12,16,17
a. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal, dapat
dilakukan ballon mitral valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak memungkinkan,
perlu dilakukan operasi.12
b. Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral akut (mungkin
akibat ruptur khordae)/kronik yang berat dengan rheumatic heart disease yang tak
teratasi dengan obat, perlu segera dioperasi untuk reparasi atau penggantian katup.
12

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 32


c. Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat langka. Intervensi
dengan balon biasanya kurang berhasil, sehingga operasi lebih banyak
dikerjakan.12
d. Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri atau kombinasi
dengan lesi lain, biasanya ditangani dengan penggantian katup. 12
2.4 Prognosis
Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi mengalami
kekambuhan. Resiko kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejak
episode awal. Semakin muda rheumatic fever terjadi, kecenderungan kambuh
semakin besar. Kekambuhan rheumatic fever secara umum mirip dengan serangan
awal, namun risiko karditis dan kerusakan katup lebih besar. 12
Manifestasi rheumatic fever pada 80% kasus mereda dalam 12 minggu.
Insiden RHD setelah 10 tahun adalah sebesar 34% pada pasien dengan tanpa
serangan rheumatic fever berulang, tetapi pada pasien dengan serangan rheumatic
fever yang berulang kejadian RHD meningkat menjadi 60%.12

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 33


BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. TA
Umur/Tanggal lahir : 17 tahun/02 Agustus 2005
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Nama Ibu : Ny. N
Alamat : Teluk Kabung, Bungus, Padang
Tanggal Masuk : 29 Juli 2019
Tanggal Pemeriksaan : 16 Agustus 2019
No.Rekam medis : 00.94.69.90

II. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) serta ibu kandung
pasien (alloanamnesis). Anak laki-laki berusia 17 tahun dibawa orangtua ke IGD
RSUP Dr. M Djamil Padang pada tanggal 29 Juli 2019 dengan :
A. Keluhan Utama
Sesak nafas semakin bertambah sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
B. Riwayat Penyakit Sekarang

 Sesak nafas mulai dirasakan sejak 5 hari yang lalu, sesak semakin
bertambah dengan aktivitas, sesak tidak dipengaruhi cuaca dan makanan,
anak lebih nyaman tidur dengan 3 bantal, sesak dirasakan semakin
bertambah sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak nafas dirasakan
saat aktivitas ringan
 Demam sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, demam tinggi, terus
menerus, tidak menggigil, tidak berkeringat, tidak disertai kejang
 Nyeri sendi dirasakan sejak 5 hari yang lalu di seluruh sendi ekstremitas,
tidak berpindah pindah.
 Tidak ada riwayat gerakan sendiri yang tidak disadari
 Tidak ada benjolan di bawah kulit
 Tidak ada riwayat bercak kemerahan di kulit

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 34


 Nafsu makan sangat berkurang sejak sakit, anak hanya mau makan
sedikit
 BAK warna dan jumlah biasa
 BAB warna dan konsistensi biasa
 Tidak ada batuk pilek
 Mual dan muntah disangkal
C. Riwayat Penyakit Dahulu
 Anak telah dikenal menderita Penyakit Jantung Rematik sejak 2016,
mendapat pengobatan selama 2 tahun, dan putus obat selama 1 tahun
terakhir, anak tidak pernah kontrol selama 1 tahun ini

 Anak telah dilakukan ekocardiografi (13 Desember 2017) dengan hasil


Situs Solitus, AR Severe, MR Moderate ec Prolaps Ujung AML, EF 63%,
TAPSE 2,6, good LV, RV Function

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti pasien.
E. Riwayat Persalinan
 Lama hamil : Cukup bulan (38-39 minggu)
 Cara lahir : Spontan
 Ditolong oleh : Bidan
 Berat lahir : 3.000 gram
 Panjang lahir : 48 cm
 Saat lahir : Langsung menangis kuat
Kesan : Riwayat persalinan normal, cukup bulan, tidak ada
asfiksia janin
F. Riwayat Makanan dan Minuman
 Bayi: ASI umur 0 – 24 bulan
Susu formula (-)
Buah biskuit umur 6 – 12 bulan
Bubur susu umur 6 – 12 bulan
Nasi tim umur 6 – 12 bulan
 Anak: Nasi keluarga sejak usia 1 tahun, 3 kali/hari, menghabiskan 1 porsi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 35


Daging : 1 kali / minggu
Ikan : 2 kali / minggu
Telur : 3 kali / minggu
Sayur : 4 kali / minggu ( hanya mau sayur bayam)
Buah : 2 kali / minggu
Kesan: kualitas dan kuantitas makanan cukup baik
G. Riwayat Imunisasi
Imunisasi Dasar (Umur) Booster (Umur)
BCG 2 bulan (+ scar) -
DPT 1 2 bulan -
2 4 bulan -
3 6 bulan -
Polio 1 2 bulan 5 tahun
2 4 bulan -
3 6 bulan -
Hepatitis B 1 0 bulan -
2 1 bulan -
3 6 bulan -
Haemofilus influenza B 1 - -
2 - -
3 - -
Campak 9 bulan -
Kesan: Imunisasi dasar lengkap sesuai usia
H. Riwayat Tumbuh Kembang
Riwayat
Pertumbuhan Riwayat Gangguan
Umur Umur
dan Perkembangan Mental
Perkembangan
Tertawa 4 bulan Isap jempol -
Miring 5 bulan Gigit kuku -
Tengkurap 6 bulan Sering mimpi -
Duduk 9 bulan Mengompol -

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 36


Merangkak 9,5 bulan Aktif sekali -
Berdiri 10 bulan Apatik -
Lari 11 bulan Membangkang -
Gigi pertama 9 bulan Ketakutan -
Bicara 12 bulan Pergaulan jelek -
Membaca 5 tahun Kesukaran belajar -
Prestasi di
Baik
sekolah
Kesan: Riwayat pertumbuhan dan perkembangan normal sesuai usia.
I. Riwayat Keluarga

Ayah Ibu
Nama Tn. I Ny.N
Umur 50 tahun 42 tahun
Pendidikan SMP SMP
Pekerjaan Karyawan Swasta IRT
Penghasilan Rp 2.000.000,- -
Perkawinan 1 1
Penyakit yang pernah diderita Tidak ada Tidak ada

No. Saudara Kandung Umur Keadaan Sekarang


1 Perempuan 21 tahun Sehat
2 Laki-laki 16 tahun Pasien
3 Laki-laki 14 tahun Sehat
4 Laki-laki 11 tahun Sehat
I. Riwayat Perumahan dan Lingkungan
 Rumah tempat tinggal : Semi permanen
 Sumber air minum : Air galon
 Jamban : Di dalam rumah
 Pekarangan : Luas
 Sampah : Dibuang ke TPA
Kesan : Sanitasi dan higiene cukup baik

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 37


III. PEMERIKSAAN FISIK (16 Agustus 2019)
Keadaan umum : Sakit sedang BB/U : 81 %
Kesadaran : Komposmentis TB/U : 97 %
Tekanan darah : 140/40 mmHg BB/TB : 88 %
Frekuensi nadi : 88 x/menit Status gizi : gizi kurang
Frekuensi napas : 21 x/menit Edema : tidak ada
Suhu : 36,7ºC Ikterus : tidak ada
BB : 49,5 kg Anemia : tidak ada
PB : 170 cm Sianosis : tidak ada
Kulit : akral teraba hangat, CRT < 2 detik
Kelenjar getah bening :tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening leher, aksila,
inguinal
Kepala : bulat, simetris, normocephal
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, refleks
cahaya (+/+), diameter 3mm/3mm
Telinga : tidak ditemukan kelainan, sekret tidak ada
Hidung : Deviasi septum tidak ada, napas cuping hidung tidak ada,
p erdarahan mukosa hidung tidak ada, sekret tidak ada
Tenggorok : Tonsil T1-T1, detritus tidak ada, tonsil dan faring tidak
hiperemis
Gigi dan mulut : mukosa, bibir, palatum dan buccal basah, sianosis
sirkumoral tidak ada
Leher : trakea di tengah, tidak ada pembesaran KGB Colli,
JVP 5 + 3 cmH2O
Thoraks : normochest, retraksi tidak ada
Paru :
Inspeksi : simetris kiri = kanan statis dan dinamis, retraksi dinding
dada tidak ada
Palpasi : fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor kiri = kanan
Auskultasi : suara napas vesikuler, ronkhi-/-, wheezing -/-

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 38


Jantung :
Inspeksi : iktus cordis terlihat 2 jari lateral LMCS RIC VI
Palpasi : iktus cordis teraba di 2 jari lateral LMCS RIC VI
Perkusi : batas atas (RIC II), kanan (LSD), kiri (2 jari lateral
LMCS kiri RIC VI)
Auskultasi : bunyi jantung S1 dan S2 reguler, bising jantung ada
terdengar bising pansistolik grade 4/6, punctum maksimum
di lateral RIC VI
Abdomen:
Inspeksi : datar, distensi tidak ada
Palpasi : supel, hepar teraba ¼-¼, tepi tumpul, lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal 6 kali/menit

Punggung : tidak ada kelainan


Genitalia : tidak diperiksa
Anggota gerak : akral hangat, perfusi baik, CRT < 2 detik, tidak ada edem
pretibial

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Hematologi (29 Juli 2019)
 Hb : 12,8 g/dL
 Leukosit : 21.000 / mm3
 Eritrosit : 5,2 juta
 Trombosit : 303.000 /mm3
 Hematokrit : 36 %
 Hitung jenis : 0/0/1/79/12/8
 Eritrosit : normositik normokrom
 Leukosit : jumlah meningkat, neutrofilia shift to the right
 Trombosit : jumlah cukup, morfologi normal
Kesan : leukositosis dengan neutrofilia shift to the right

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 39


Kimia Klinik (29 Juli 2019)
 GDR : 125 mg/dl
 Ureum : 29 mg/dl
 Kreatinin : 0,9 mg/dl
 Kalsium : 7,9 mg/dL
 Natrium : 129 mmol/L
 Kalium : 4,6 mmol/L
 Klorida : 100 mmol/L
Kesan : kalsium total menurun, natrium menurun

Hematologi (30 Juli 2019)


 LED : 40 mm
Kesan : LED meningkat
Urinalisa (30 Juli 2019)
 Makroskopis
o Warna : Kuning
o Kekeruhan : Positif
o BJ : 1.030
o pH : 5,0
 Mikroskopis
o Leukosit : 1-2/LPB
o Eritrosit : 38-40/LPB
o Silinder : Negatif
o Kristal : Negatif
o Epitel : Gepeng (+)

 Kimia
o Protein : Positif Tiga (+++)
o Glukosa : Negatif
o Bilirubin : Positif Satu (+)
o Urobilinogen : Positif
Kesan : hematuria, proteinuria, bilirubinuria

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 40


Uji Imunologis Serologis (30 Juli 2019)
 ASTO (Rapid) : Reagen habis
 CRP : Negatif
Kesan : CRP Negatif

Analisis Gas Darah (30 Juli 2019)


 pH : 7,47
 pCO2 : 29,0 mmHg
 pO2 : 98,4 mmHg
 HCO3- : 23,5
 BE : 0,7
 SPO2 : 96,6 %
Kesan : Alkalosis respiratorik

Urinalisa (31 Juli 2019)


 Makroskopis
o Warna : Kuning
o Kekeruhan : Positif
o BJ : 1.015
o pH : 5,0
 Mikroskopis
o Leukosit : 0-1/LPB
o Eritrosit : 0-1/LPB
o Silinder : Negatif
o Kristal : Negatif
o Epitel : Gepeng (+)
 Kimia
o Protein : Positif (+)
o Glukosa : Negatif
o Bilirubin : Positif (+)
o Urobilinogen : Positif
Kesan : proteinuria

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 41


Hematologi (01 Agustus 2019)
 Hb : 13,6 g/dL
 Leukosit : 15.120 / mm3
 Eritrosit : 5,8 juta
 Trombosit : 416.000 /mm3
 Hematokrit : 41 %
 Retikulosit : 0,8 %
 MCV : 72 fL
 MCH : 24 pg
 MCHC : 33 %
 Hitung jenis : 0/0/11/61/20/8
 ANC (IT Rasio) : 0,15
 Eritrosit : normositik normokrom
 Leukosit : jumlah meningkat, neutrofilia shift to the left,
limfosit atipik (+)
 Trombosit : jumlah meningkat, morfologi normal
Kesan : leukositosis dengan neutrofilia shift to the left,
trombositosis
Elektrolit (01 Agustus 2019)
 Kalsium : 8,4 mg/dl
 Natrium : 129 Mmol/L
 Kalium : 4,3 mmol/L
 Klorida : 98 mmol/L
Kesan : natrium menurun
Uji Imunologis Serologis (01 Agustus 2019)
 CRP : Positif
 Procalsitonin : 5,9 ng/ml
Kesan : high risk to severe sepsis

Elektrolit (02 Agustus 2019)


 Natrium : 129 mmol/L

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 42


 Kalium : 5,3 mmol/L
 Klorida : 94 mmol/L
Kesan : natrium menurun, kalium menurun, klorida
menurun
Pemeriksaan Mikrobiologi (05 Agustus 2019)
 Organisme : No growth

Hematologi (06 Agustus 2019)


 Hb : 11 g/dL
 Leukosit : 34.290 / mm3
 Eritrosit : 4,5 juta
 Trombosit : 381.000 /mm3
 Hematokrit : 33 %
 Retikulosit : 1,0 %
 LED : 94 mm
 MCV : 72 fl
 MCH : 24
 MCHC : 34
 Hitung jenis : 0/0/6/78/10/6
 Eritrosit : anisositosis normokrom
 Leukosit : jumlah meningkat, neutrofilia shift to the right
 Trombosit : jumlah cukup, morfologi normal
Kesan : leukositosis dengan neutrofilia shift to the right

Kimia Klinik (06 Agustus 2019)


 Kalsium : 8,7 mg/dL
 Natrium : 128 mmol/L
 Kalium : 5,5 mmol/L
 Klorida : 96 mmol/L

Kesan : natrium menurun, kalium meningkat, klorida menurun

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 43


Urinalisa (07 Agustus 2019)
 Makroskopis
o Warna : Kuning
o Kekeruhan : Negatif
o BJ : 1.010
o pH : 5,5
 Mikroskopis
o Leukosit : 0-1/LPB
o Eritrosit : 0-1/LPB
o Silinder : Negatif
o Kristal : Negatif
o Epitel : Gepeng
 Kimia
o Protein : Positif
o Glukosa : Negatif
o Bilirubin : Negatif
o Urobilinogen : Positif
Kesan : Proteinuria
Pemeriksaan Dahak (08 Agustus 2019)
 BTA : Negatif

Hematologi (09 Agustus 2019)


 Hb : 11,8 g/dL
 Leukosit : 22.880 / mm3
 Trombosit : 444.000 /mm3
 Hematokrit : 37 %
Kesan : leukositosis, trombositosis
Kimia Klinik (09 Agustus 2019)
 Kalsium : 9,3 mg/dl
 Natrium : 136 mmol/L
 Kalium : 4,5 mmol/L
 Klorida : 101 mmol/L

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 44


Kesan : hasil dalam batas normal

Kimia Klinik (16 Agustus 2019)


 GDR : 118 mg/dl
 Kalsium : 8,7 mg/dL
 Natrium : 133 mmol/L
 Kalium : 4,7 mmol/L
 Klorida : 99 mmol/L
Kesan : natrium menurun

PEMERIKSAAN RADIOLOGI (29 Juli 2019)

Kesan : Kardiomegali dengan bendungan paru

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 45


PEMERIKSAAN EKG (29 JULI 2019)

Kesan : PR Interval memanjang, gambaran hipertrofi ventrikel kiri

V. DAFTAR MASALAH
 Sesak Nafas
 Demam

VI. DIAGNOSIS KERJA


 CHF factor class II-III ec PJR putus pengobatan
 Gizi Kurang

VII. TATALAKSANA
 Tata Laksana Gawat Darurat
 Terapi oksigen 2-3 liter via nasal canule
 Pemasangan NGT dan Folley Catheter
 Injeksi Furosemid 1 x 1 ampul i.v
 Captopril 3 x 12,5 mg p.o

 Tata Laksana Nutrisi


 Os sementara puasa
 IVFD Kaen 1B 75 cc/jam

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 46


 Tata Laksana Medikamentosa

 Paracetamol 3 x 500 mg p.o. (T ≥ 38.5oC)

 Furosemid 1x1 amp i.v.

 Captopril 3x 12,5 mg p.o.

VIII. EDUKASI

 Pasien bed rest total

 Pasien dipuasakan dahulu

 Pasien wajib kontrol rutin setelah stabil untuk mencegah kambuh

IX. PROGNOSIS
 Dubia ad bonam

FOLLOW UP PASIEN
17/08/2019 S/ Anak tidak demam, mual muntah tidak ada, anak tidak
sesak, intake masuk toleransi baik, BAK ada, anak
terkadang mengeluh berdebar-debar. Anak dalam
O/ terapi prednison hari ke-10.
Ku kesadaran TD HR RR T Sat02
Sedang CM 150/40 109 x/i 24x/i 37⁰ C 99%
Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak
ikterik
Thoraks : Retraksi (-), Rh (-/-), Wh (-/-). Bising
sistolik grade 3/6 terdengar di 1 jari medial LMCS
RIC III-IV
Abdomen: distensi (-)
Ekstremitas : CRT < 2‟, akral hangat
A/ BB 49,5 kg
RDA 1980 – 2470 kkal

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 47


CHF Fc II-III ec DRA Relaps + PJR
P/ LV dilated, MR Moderate, AR moderate
Gizi Kurang
Sepsis
Inj Ceftriaxone 2 x 2 gr iv
Inj Furosemid 2 x 40 mg iv
Captopril 3 x 12,5 mg p.o
Paracetamol 3 x 500 mg p.o
Calc 1 x 1 gram p.o
Prednison 5-5-6 tab/hari (2 mg/kgbb/hari)
Lactulac syr 1 cth
MB 2300 kkal
MC 1x250 cc
18/08/2019 S/ Anak tidak demam, tidak ada sesak atau palpitasi,
intake masuk toleransi baik, BAB dan BAK tidak ada
O/ keluhan.
Ku kesadaran TD HR RR T Sat02
Sedang CM 130/50 109 x/i 20x/i 36,8⁰ C

99%
Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak
ikterik
Thoraks : Retraksi (-), Rh (-/-), Wh (-/-). Bising
sistolik grade 3/6 terdengar di 1 jari medial LMCS
RIC III-IV
Abdomen: distensi (-)
A/ Ekstremitas : CRT < 2‟, akral hangat
BB 49,5 kg
P/
RDA 1980 – 2470 kkal
CHF Fc II-III ec DRA Relaps + PJR
LV dilated, MR Moderate, AR moderate
Inj Ceftriaxone 2 x 2 gr iv
Inj Furosemid 2 x 40 mg iv

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 48


Captopril 3 x 12,5 mg p.o
Paracetamol 3 x 500 mg p.o
Calc 1 x 1 gram p.o
Prednison 5-5-6 tab/hari (2 mg/kgbb/hari)
Lactulac syr 1 cth
MB 2300 kkal
MC 1x250 cc
19/08/2019 S/ Saat ini anak tidak demam, tidak ada sesak atau
berdebar-debar, intake masuk toleransi baik, BAB dan
BAK tidak ada keluhan. Anak masuk antibiotik
O/ amphicilline sulbactam hari ke-13.
Ku kesadaran TD HR RR T Sat02
Sedang CM 130/50 110 x/i 20x/i 36,5⁰ C

99%
Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak
ikterik
Thoraks : Retraksi (-), Rh (-/-), Wh (-/-). Bising
sistolik grade 3/6 terdengar di 1 jari medial LMCS
RIC III-IV
Abdomen: distensi (-)
A/ Ekstremitas : CRT < 2‟, akral hangat
BB 49,5 kg
RDA 1980 – 2470 kkal
P/
CHF Fc II-III ec DRA Relaps + PJR
LV dilated, MR Moderate, AR moderate
Gizi kurang
Sepsis dalam perbaikan
Furosemid 2 x 40 mg p.o
Captopril 3 x 12,5 mg p.o
Paracetamol 3 x 500 mg p.o
Calc 1x1 gram p.o
Prednison 5-5-4 tab/hari (2 mg/kgbb/hari)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 49


Lactulac syr 1 cth
Asetosal 4 x 750 mg p.o
MB 2300 kkal
MC 1x250 cc
20/08/2019 S/ Pasien tidak ada demam lagi, tidak ada sesak nafas,
antibiotik telah di stop 1 hari yang lalu, intake masuk
toleransi baik
O/ Ku kesadaran TD HR RR T Sat02
Sedang CM 130/50 98 x/i 20x/i 36,5⁰ C 99%
Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak
ikterik
Thoraks : Retraksi (-), Rh (-/-), Wh (-/-). Bising
sistolik grade 3/6 terdengar di 1 jari medial LMCS
RIC III-IV
Abdomen: distensi (-)
Ekstremitas : CRT < 2‟, akral hangat
A/ BB 49,5 kg
CHF Fc II-III ec DRA Relaps + PJR
LV dilated, MR Moderate, AR moderate
P/
Gizi kurang
Sepsis dalam perbaikan
Furosemid 2 x 40 mg p.o
Captopril 3 x 12,5 mg p.o
Paracetamol 3 x 500 mg p.o
Calc 1x1 gram p.o
Prednison 5-5-4 tab/hari (2 mg/kgbb/hari)
Lactulac syr 1 cth
Asetosal 4 x 750 mg p.o
MB 2300 kkal
MC 1x250 cc
Pulang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 50


BAB IV
ANALISIS KASUS DAN PEMBAHASAN

Seorang anak laki-laki berusia 17 tahun dirawat di Bangsal Anak RSUP Dr.
M.Djamil pada tanggal 29 Juli 2019 dengan diagnosis kerja CHF Factor Class II-
III ec PJR putus pengobatan dengan gizi kurang. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan anamnesis, pasien sesak nafas semakin bertambah sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit, dimana sesak semakin bertambah dengan aktivitas,
dapat dirasakan dengan aktivitas ringan, tidak dipengaruhi cuaca dan makanan,
serta anak lebih nyaman tidur dengan 3 bantal. Sesak dipengaruhi posisi namun
tidak cuaca, dan tidak disertai batuk , pilek, mual dan muntah. Selain itu, pasien
juga mengeluhkan demam tinggi yang terus menerus serta nyeri sendi di seluruh
ekstremitas yang tidak berpindah sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Anak
telah dikenal dengan penyakit jantung rematik sejak tahun 2016 anak didiagnosa
dengan penyakit jantung rematik, namun anak putus obat selama 1 tahun terakhir.
Gagal jantung merupakan sindroma klinis (sekumpulan tanda dan gejala),
yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung, dimana jantung tidak
sanggup memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolik jaringan.
Gagal jantung ditandai oleh sesak (dyspnea d’effort, orthopnea, paroxysmal
nocturnal dypsnea, cheyne-stokes respiration) dan fatigue (saat istirahat atau saat
aktivitas).
Keluhan sesak disertai edema dapat berasal dari organ paru, jantung, ginjal,
serta dari hati. Dari anamesis didapatkan sesak yang dipengaruhi aktivitas
merupakan khas sesak yang disebabkan oleh organ jantung. Kemudian dilanjutkan
dengan dilakukannya pemeriksan fisik serta pemeriksaan penunjang sehingga
dapat dipastikan sesak pada penderita bukan berasal dari organ paru, ginjal atau
pun hati.
Ditinjau dari sudut klinis secara simptomatologis di kenal gambaran klinis
berupa gagal jantung kiri dengan gejala badan lemah, cepat lelah, berdebar, sesak
napas dan batuk. serta tanda objektif berupa takhikardia, dyspnea (dyspnea
d’effort, orthopnea, paroxysmal nocturnal dypsnea, cheyne-stokes respiration),

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 51


ronkhi basah halus di basal paru, bunyi jantung III, dan pembesaran jantung.
Gagal jantung kanan dengan gejala edema tumit dan tungkai bawah, acites,
bendungan vena jugularis dan gagal jantung kongestif merupakan gabungan dari
kedua bentuk klinik gagal jantung kiri dan kanan.
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan dyspnea d’effort,
orthopnea, paroxysmal nocturnal dypsnea, bendungan vena jugularis sehingga
memenuhi gejala gagal jantung kongestif. Berdasarkan klasisfikasi New York
Heart Asscociation sebagai 4 kelas (NYHA1-4) dimana dyspnea dan fatigue
sebagai penilaian. Pada kelas 1 tidak ada keluhan, Kelas 2 symptom muncul pada
pekerjaan biasa, Kelas 3 symptom muncul pada pekerjaan ringan serta kelas 4
symptom muncul pada saat istirahat Pada pasien ini tampak terjadi perburukan
dari 5 terakhir sampai 2 hari SMRS terdapat perubahan kelas I mulai dari sanggup
beraktivitas seperti biasa, menjadi terbatas dalam bekerja dan merasakan sesak
nafas saat aktivitas ringan (kelas II-III).
Berdasarkan kriteria Framingham minimal satu kriteria mayor dan dua
kriteria minor yaitu: Kriteria mayor berupa paroksisimal nocturnal dispneu,
distensi vena leher, ronki paru, kardiomegali, edema paru akut, Gallop s3,
peninggian tekanan vena jugularis, Refluks hepatojugular. Dan kriteria minor
berupa edema ekstremitas, batuk malam hari dispnea d‟effort, hepatomegali, Efusi
pleura, penurunan kapasitas vital, takikardi ( >120 x/menit). Pada anak yang lebih
besar dapat ditemukan gejala gagal jantung kiri berupa takipnea, distress
pernafasan, wheezing, fatigue, ekstremitas yang dingin, dan gangguan dalam
beraktivitas, sementara gejala jantung kanan yaitu hepatosplenomegaly, distensi
vena jugular, edema, asites atau efusi pleura.
Hasil pemeriksaan fisik menunjukan tekanan darah 140/40 mmHg, nadi 88
kali/menit, nafas 21 kali/menit, suhu 36,7⁰C, dengan JVP 5+3 cmH2O, dengan
hasil pemeriksaan fisik jantung menunjukan ictus cordis tampak dan teraba 2 jari
lateral LMCS RIC VI, disertai bising jantung pansistolik grade 4/6 dengan
punctum maksimum di lateral LMCS RIC VI. Bising jantung pansistolik pada
pasien ini diakibatkan kelainan katup jantung yaitu mitral regurgitasi. Murmur
merupakan gejala yang biasanya ditemukan pada insufisiensi katup jantung,
dengan nada yang tinggi dan timbul pada bagian aksila kiri. Insufisiensi katup

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 52


mitral berhubungan dengan disfungsi dari katup itu sendiri, chordae, dan otot-
otot papillary. Kelainan katup jantung pada pasien ini disebabkan oleh penyakit
jantung rematik, akibat kelainan katup menetap yang diakibatkan demam rematik
akut sebelumnya. Pada hasil pemeriksaan rontgen dada didapatkan kesan
kardiomegali dengan bendungan paru. Pada pasien ini didapatkan tiga kriteria
mayor framingham. Pertama terdapatnya orthopnea dari hasil anamnesis. Kedua,
dari hasil pemeriksaan fisik perkusi jantung yang dibuktikan melalui rontgen
thoraks, didapatkan adanya pembesaran jantung (kardiomegali). Batas jantung
kanan terdapat pada linea sternalis dekstra, batas kiri pada lateral LMCS RIC VI,
dan batas atas pada RIC II. Ketiga terdapat peninggian tekanan vena jugularis
yaitu (5+3) cmH2O. Sedangkan untuk kriteria minor didapatkan batuk malam hari
dispnea on exertion dan hepatomegali dengan perabaan yang tumpul. Oleh karena
itu pada pasien ini dapat disimpulkan diagnosis fungsionalnya adalah Congestive
Heart Failure (CHF).
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 30 Juli 2019 dengan kesan LED
meningkat, leukositosis dengan neutrofilia shift to the right dan tanggal 01 agustus
2019 menunjukan CRP positif dengan procalsitonin 5,9 ng/ml (high risk to severe
sepsis). Namun tidak dapat dilakukan pemeriksaan ASTO (Rapid) dikarenakan
reagen yang habis. Dimana untuk mendiagnosis pasien dengan rheumatic heart
disease tidak diperlukan kriteria lainnya sesuai dengan kriteria 2002-2003. Pada
pemeriksaan EKG tanggal 29 Juli 2019 didapatkan hasil pemanjangan PR interval
dengan kesan hipertropi ventrikel kiri, dimana hal ini sesuai dengan kriteria minor
Jones untuk penyakit jantung rematik.
Etiologi dari penyakit gagal jantung dapat berupa penyakit jantung bawaan,
penyakit jantung rematik, penyakit jantung hipertensi, penyakit jantung koroner,
penyakit jantung anemik, penyakit jantung tiroid, cardiomiopati, cor pulmonale
serta kehamilan. Penyakit gagal jantung yang terjadi pada usia < 50 tahun,
terbanyak adalah disebabkan oleh penyakit jantung reumatik dan penyakit jantung
tiroid, dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan adalah riwayat sakit
jantung reumatik sejak tahun 2016. Pada gambaran rontgen thorax didapatkan
kesan kardiomegali dengan bendungan paru. Pada ekokardiografi didapatkan
Situs Solitus, AR Severe, MR Moderate ec Prolaps Ujung AML, EF 63%, TAPSE

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 53


2,6, good LV, RV Function. Hal ini sesuai dengan epidemiologi dimana kelainan
katup jantung pada pasien ini disebabkan oleh penyakit jantung rematik, akibat
kelainan katup menetap yang diakibatkan demam rematik akut sebelumnya,
terutama mengenai katup mitral (75%) dan katup aorta (25%).
Patofisiologi munculnya gagal jantung berupa beban pengisian (preload)
dan beban tahanan (afterload) pada ventricle yang mengalami dilatasi dan
hipertropi memungkinkan daya kontraksi jantung yang lebih kuat sehingga terjadi
kenaikan curah jantung. Disamping itu karena pembebanan jantung yang lebih
besar akan membangkitkan reaksi hemostasis melalui peningkatan rangsangan
simpatik. Perangsangan ini menyebabkan kadar katekolamin sehingga memacu
terjadinya takikardia dengan tujuan meningkatnya curah jantung. Bila curah
jantung menurun maka akan terjadi redistribusi cairan badan dan elektrolit (Na)
melalui pengaturan cairan oleh ginjal vasokonstriksi perifer dengan tujuan untuk
memperbesar venous return. Dilatasi, hipertropi, takikardia, redistribusi cairan
adalah mekanisme kompensasi jantung. Bila semua mekanisme ini telah
digunakan namun kebutuhan belum terpenuhi, maka terjadi gagal jantung.
Mengingat pada pasien ini, terdapat riwayat sakit jantung rematik sejak
lebih kurang 3 tahun yang lalu yang didahului demam tinggi dan nyeri pada sendi.
Adanya malfungsi katup pada penyakit jantung rematik dapat menimbulkan
kegagalan pompa, baik oleh kelebihan beban tekanan atau dengan kelebihan
beban volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri
sehingga sebagai produk akhir dari malfungsi katup akibat penyakit jantung
reumatik adalah gagal jantung kongestif.
Penatalaksanaan pada gagal jantung tergantung etiologi, hemodinamik,
gejala klinis serta beratnya gagal jantung. Pengobatan terdiri dari 5 komponen
berupa penanganan secara umum, mengobati penyakit dasar, mencegah kerusakan
lebih lanjut pada jantung, dan mengendalikan derajat CHF. Secara umum gagal
jantung kelas II-III dengan karditis disertai kardikomegali dan gagal jantung perlu
untuk membatasi aktivitas dengan istirahat tirah selama gejala gagal jantung
masih ditemukan dan mobilisasi bertahap selama 3 bulan. Diet makanan pada
penyakit jantung pada rumah sakit umumnya berupa diet jantung. Diet jantung
terdiri dari diet jantung I berupa makanan cair, diet jantung II merupakan bubur

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 54


saring, diet jantung III merupakan bubur, diet jantung IV berupa makanan nasi.
Namun ketika pasien dibawa ke IGD pasien sementara dipuasakan dan diberi
asupan IVFD Kaen 1B 75cc/jam. Kemudian ketika sudah di rawatan diubah
menjadi MB (makanan biasa) sebanyak 2300 kkal dan makanan cair sebanyak
250 cc.
Pengobatan berdasarkan gejala berupa pembatasan asupan cairan karena
cairan yang banyak akan diabsorpsi oleh tubuh dan menambah jumlah cairan pada
tubuh sehingga memperberat kerja jantung. Pemberian diuretik sangat diperlukan
untuk mengeluarkan cairan yang ada dari tubuh dalam kasus ini di gunakan
furosemide sebagai diuretik serta pemberian aspilet (asetil salilisat) untuk
mencegah terjadinya agregasi trombosit pada pembuluh darah koroner. Pada
pasien ini diberikan 1 ampul furosemid untuk tata laksana gawat darurat (20mg/2
ml) dan 2 x 20 mg iv furosemid dengan dosis 0,5-2 mg/kg/hari sebagai tata
laksana rawatan di bangsal akut anak. Pasien diberikan captopril golongan ACE
inhibitors sebagai vasodilator yang dimulai dengan dosis 0,5 mg/kg, dinaikan
bertahap 0,5 – 3 mg/kg/hari dibagi 3 dosis ( 3 x 12,5 mg p.o). Pasien juga
diberikan prednison 5-5-6 tab/hari yang merupakan kortikosteroid pilihan utama
pada anak dengan karditis buruk dan gagal jantung yaitu dosis 2 mg/kg/hari
dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 2 minggu diberikan 1 x 1 hari.
Prognosis ditegakkan berdasarkan dari kemampuan pompa jantung untuk
kompensasi serta perbaikan gejala klinik setelah di terapi. Secara klinis, pada
pasien ini terdapat perbaikan sehingga prognosis quo ad vitam adalah dubia ad
bonam. Tetapi secara fungsional, pada penyakit jantung rematik telah terjadi
kerusakan katup yang permanen sehingga prognosis quo ad fungsionam adalah
dubia ad malam.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 55


DAFTAR PUSTAKA
1. Pasyanti NI, Yonata A. Congestive Heart Failure NYHA IV ec Penyakit
Jantung Rematik dengan Hipertensi Grade II. April 2017. Journal Medula
Unila. Volume 7 (II). pg 75 - 80
2. Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander
RW, O‟Rourke et al. Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill :
New York, 2001; pg. 1657 – 65
3. Mahmud. Congestive Heart Failure. 2008. Available from URL:
http://www.scribd.com/doc/3670294/Congestive-Heart-Failure
4. Mustakim, MRD. Congestive Heart Failure ec Rheumatic Heart Disease.
2014. Journal Agromed Unila. 1(2). pg. 119-125
5. Park M, George R. Cardiac Arrhytmias. Dalam : Park M, George R, ed.
Pediatric cardiology for practitioner 6th ed Philadelphia : Mosby, 2014, p.
667-712
6. Sudoyo. W. Aru, Buku Ajar penyakit Dalam. FKUI, Jakarta; 2006
7. Lilly LS, Lee CT, dan Williams GH. Mechanisms of Cardiac Arrhythmias.
In: Pathophysiology of heart disease. 5th Ed. Boston: Lippincote Williams
& Wilkins; 2011:261-278
8. Behrman, Klegman, Arvin, Rheumatic Fever in: Nelson Text Book of
Pediatrics, 17th edition, USA, 2006, 1140-1144
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Panduan Praktik
Klinis (PPK) Dan Clinical Pathway (CP) Penyakit Jantung Dan Pembuluh
Darah. Edisi Pertama. 2016; 243-246
10. WHO. Rhematic fever and Rheumatic Heart Disease. Report of a WHO
expert Consultation. 2004. [Online]. Melalui:
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/resources/en/cvd_trs923.pdf
11. Armstrong, C. AHA Guidelines on Prevention of Rheumatic Fever and
Diagnosis and Treatment of Acute Streptococcal Pharyngitis. Am Fam
Physician. 2010 1;81(3):346-359.
12. Rilantono, LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2013;331-335

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 56


13. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis, Ed. 2.
Jakarta:Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011:41-42.
14. Mishra T.K., Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease:
current scenario. JIACM. 2007;8(4):324-30.
15. Kumar, R.K., Tandon R. Rheumatic Fever & Rheumatic Heart Disease:
The last 50 years. Indian J Med Res. 2013:137; 643-658.
16. Chin TK. 2014. Pediatric Rheumatic Heart disease. Medscape. [Online]
Melalui: http://emedicine.medscape.com/article/891897-overview#a0199
17. Ciliers, A.M. Rheumatic Fever and Its Management. BMJ.
2006;333(7579): 1153-1156

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 57


LAMPIRAN
FOTO PASIEN

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 58


Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 59
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 60

Anda mungkin juga menyukai