Oleh:
Preseptor
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang dapat terjadi pada saluran cerna atas
maupun bawah, yang dibatasi oleh ligament treitz. Perdarahan saluran cerna pada anak
menyebabkan ketakutan dan kecemasan pada orang tua. Perdarahan dapat terjadi dimanapun
sepanjang saluran cerna dan sulit untuk menentukan lokasinya. Kondisi tersebut dapat
menyebabkan anemia dan berpotensi menimbulkan kegawatan yang mengancam jiwa.1,2
Insiden perdarahan saluran cerna atas cukup jarang terjadi dibandingkan perdarahan
saluran cerna bawah pada pediatrik, yaitu 1-2 kasus per 10.000 anak tiap tahun.3 Data yang
dikumpulkan oleh Nation Wide Emergency Department tahun 2006 sampai 2011, dari 450.000
pasien kegawatan anak 20% datang dengan perdarahan saluran cerna atas dan 30% datang
dengan perdarahan saluran cerna bawah. Insiden terbanyak adalah anak berusia 11-15 (50,8%)
tahun dan anak perempuan (54,5%) lebih banyak daripada laki-laki (45,5%). Mortalitas dari
perdarahan saluran cerna atas pada anak 4,8%, sedangkan saluran cerna bawah 0,6%.2
Perdarahan saluran cerna atas terjadi pada esofagus, lambung, dan duodenum yang dibatasi
oleh ligamentum treitz. Penyebab paling sering perdarahan saluran cerna atas pada anak yang
lebih besar sering disebabkan oleh duodenal ulcers, esofagitis, dan varises esofagus.4,5
Prioritas utama yang harus dilakukan pada kondisi darurat pasien dengan perdarahan cerna
adalah menilai airways, breathing, dan circulation pasien. Ada beberapa kasus perdarahan
saluran cerna yang dapat berhenti sendiri dan hanya memerlukan observasi, sebagian lain
memerlukan tindakan invasif dan agresif menggunakan endoskopi. Tindakan suportif dengan
stabilisasi status hemodinamik, koreksi setiap koagulasi atau trombositopenia diperlukan sebelum
prosedur diagnostik dilakukan.5
1.2 Batasan Masalah
Case Report ini membahas mengenai perdarahan saluran cerna dan demam tifoid pada
anak.
1.3 Tujuan Penulisan
Case Report bertujuan menambah pengetahuan mengenai perdarahan saluran cerna dan
demam tifoid pada anak.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan dari case report ini menggunakan metode anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
tinjauan pustaka dengan sumber dari berbagai literatur.
2.2.3.1 Gastritis
a. Definisi
Gastritis merupakan hasil dari imbalans dari faktor defensif dan agresif ditandai oleh
adanya sel-sel inflamasi. Intensitas dari respon inflamasi bervariasi, inflamasi ringan dapat sulit
dibedakan dari mukosa normal sehingga butuh peran patologis. Umumnya kasus gastritis yang
tidak dapat dijelaskan penyebabnya adalah akibat infeksi Helicobacter pylori. 16
b. Epidemiologi
Infeksi H. Pylori merupakan penyakit yang sering terjadi di dunia, dengan hampir 50%
populasi dunia terinfeksi. Infeksi H. pylori di negara berkembang pada anak-anak hampir 80%.16
c. Etiologi
Gastritis diklasifikasikan menjadi gastritis infeksi, gastritis rekatif, dan gastritis
granulomatosa.16
1. Gastropati reaktif
Kondisi ini biasanya perubahan akibat respon terhadap iskemia, bahan kimia, dan
trauma yang termasuk dalam gastritis ini adalah gastropati akibat Obat Antiinflamasi
Nonsteroid (OAINS) yang didasari oleh mekanisme inhibisi oleh cyclo-oxygenase (COX)
enzim. Selain itu disebabaan oleh gangguan mukosa akibat stress yang biasanya terjadi
pada anak-anak dengan kondisi kritis, termasuk bayi prematur. Kondisi ini juga termasuk
gastropati neonatus. Gangguan mukosa lambung jarang diidentifikasi pada bayi baru
lahir, bahkan pada bayi prematur yang sakit. Hal ini dapat disebabkan endoskopi
dilakukan pada bayi. Prevalensi tinggi gastropati hemoragik telah dilaporkan pada
neonatus yang sakit di unit perawatan intensif.
2. Gastritis Infeksi
Umumnya kasus gastritis disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori. H. Pylori
merupakan bakteri gram negatif mikroaerofilik yang ditemukan pada lapisan mukosa
epitel lambung. Infeksi terhadap patogen ini merupakan infeksi yang umum terjadi,
tercatat hampir 50% populasi di dunia pernah terinfeksi patogen ini. Rute transmisi dari
patogen ini dapat melalui fekal-oral, oral-oral, dan gastric-oral. Transmisi melalui udara
masih dievaluasi. Infeksi bakteri lain adalah infeksi akibat Helicobacter Helmanii
maupun infeksi bakteri tuberculosis. Jamur, virus, dan parasite lain juga dapat
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
menyebabkan gastritis, seperti citomegalovirus (CMV), Eipsteinn Barr (EBV), Candida
albicans, dan Giardia lambia, namun kondisi ini umumnya terjadi pada koondisi
imunodefisiensi.
3. Gastritis Granulomatosa
Perubahan endoskopi dan histologis dari gastritis dapat dilihat pada Crohn’s
disease dan kolitis ulseratif. Crohn’s disease merupakan penyebab gastritis granulomatosa
tersering.
d. Diagnosis
Pemeriksaan histologis penting untuk mendiagnosis gastritis dan menentukan diagnosis
banding. Kondisi yang umum terjadi pada anak-anak adalah nyeri abdomen yang rekuren.
Kondisi ini terjadi pada 15% dari usia 4 hingga 16 tahun. Pemeriksaan histologi dapat ditemukan
kolonisasi H. pylori melalui pewarnaan giemsa dan pewarnaan cresyl violet. Pemeriksaan kultur
dapat ditemukan H. Pylori melalui spesimen biopsi. Standar praktis diagnosis infeksi H. Pylori
dengan kultur dan tes urease yang positif akibat tingginya kadar enzim urease.16
e. Tatalaksana
Sejauh ini belum terpapar kesepakatan dari para ahli gastroenterologi tentang pengobatan
infeksi H. pylori pada anak. Kelompok ahli merekomendasi pengobatan eradikasi H. pylori pada
anak dengan dispepsia fungsional dengan uji tapis positif, sedangkan kelompok lain
merekomendasi hanya pada anak dengan ulkus. Berbagai jenis obat yang pernah digunakan
adalah bismut, ranitidin bismut sitrat, H2 antagonis, PPI, dan beberapa antibiotik. Terapi yang
diberikan sebaiknya sederhana, dapat ditoleransi dengan baik, dan memiliki tingkat eradikasi
lebih dari 80%. Selain untuk mencegah terjadinya resistensi, penggunaan berbagai jenis obat
akan memberikan hasil yang lebih efektif karena terdapat mekanisme sinergis dari obat-obat
tersebut. Tingkat eradikasi yang dicapai dengan menggunakan kombinasi 3 jenis obat (PPI,
klaritromisin dan amoksisilin) dilaporkan sebesar 87- 92%, sedangkan bila hanya menggunakan
2 jenis obat (PPI dan amoksisilin) sebesar 70%. Kombinasi amoksisilin, bismut, dan
metronidazol juga memberikan tingkat eradikasi yang tinggi, yaitu sebesar 96%. Kombinasi 3
jenis obat yang menggunakan PPI atau bismut direkomendasikan sebagai obat pilihan pertama.
PPI lebih mudah diteloransi oleh anak dibanding dengan bismut. Bismut-salisilat tidak
dianjurkan penggunaannya pada anak berumur di bawah 16 tahun karena ditakutkan terjadinya
sindrom Reye. Kombinasi obat yang menggunakan PPI ternyata memperlihatkan penyembuhan
ulkus yang lebih cepat.17
Konsensus para Ahli Gastroenterologi di Amerika dan Eropa merekomendasi penggunaan
3 jenis obat yang terdiri dari PPI, dan kombinasi 2 antibiotik selama 7 hari. Kombinasi obat yang
2.2.3.3 Esofagitis
a. Definisi
Esofagitis merupakan suatu keadaan inflamasi pada mukosa esofagus dengan gejala klinis
adanya rasa terbakar, nyeri dada, and disfagia. Dinding esofagus memiliki pertahanan yang
rendah terhadap kerusakan akibat asam lambung yang dapat menyebabkan baik esofagitis erosif
maupun non-erosif.22
b. Epidemiologi
Refluks gastroesofageal adalah gangguan esofagus yang paling umum. Sekitar 50% bayi
berusia 2-3 bulan dan 67% bayi berusia 4 bulan mengalami regurgitasi setiap hari. Sekitar 8%
bayi memiliki jumlah asam lambung yang abnormal pada temuan pemeriksaan pH yang
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
menghasilkan tanda atau gejala GERD). Esofagitis histologis dapat diamati pada 61-83% bayi
dengan esofagitis signifikan secara klinis.23
Paparan zat korosif (yaitu, alkali, asam, pemutih) merupakan 3-5% dari konsumsi yang
dilaporkan secara tidak sengaja, atau sekitar 5.000-10.000 kasus per tahun di Amerika Serikat.
Esofagitis korosif dari konsumsi yang tidak disengaja biasanya terjadi pada anak-anak di bawah
5 tahun, sedangkan konsumsi yang disengaja pada remaja dapat menyarankan upaya bunuh diri.
23
Menurut penelitian terbaru, prevalensi esofagitis eosinofilik adalah 0,5-1 kasus per 1000
orang, dan insidensinya adalah 10 kasus per 10.000 kasus per tahun. Rasio laki-laki-perempuan
3: 1 diamati pada eosinofilik esofagitis. Sebuah studi retrospektif dari 558 anak-anak dengan
esofagitis eosinofilik menemukan bahwa 22,8% anak-anak dengan diagnosis baru berusia lebih
muda dari 5 tahun.23
c. Etiologi
Refluks gastroesofageal
Refluks gastroesofageal merupakan penyebab tersering esofagitis pada bayi dan anak.
Bayi dapat menderita esofagitis peptik tanpa gejala klinis refluks gastroesofageal (silent
GERD). GERD ringan sering terjadi, dengan gejala memuncak pada bayi di bawah 6 bulan.
Menurunnya tonus sfingter esofagus bawah dan perubahan motilitas berdampak pada waktu
permbersihan esofagus dan menyebabkan refluks gastroesofageal. Faktor-faktor yang
menurunkan tonus sfingter esofagus bawah termasuk diet kaya lemak, kafein, cokelat, dan
alkohol. Peningkatan tekanan intraabdomen pada obesitas dan kehamilan, perubahan hormon
selama kehamilan, dan merokok juga meningkatkan risiko refluks gastroesofageal.23
Paparan zat korosif
Tertelan zat atau benda, baik yang dimaksudkan seperti obat-obatan, atau konsumsi
kaustik tanpa disengaja seperti cairan pencuci piring.24
Infeksi
Esofagitis infeksius bisa disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, atau protozoa. Mayoritas
esofagitis infektif terjadi pada anak imunokompromais, namun esofagitis juga bisa terjadi
pada anak imunokompeten. HSV dan sitomegalovirus merupakan patogen virus yang paling
sering. Candida juga penyebab infeksi esofagitis yang paling umum. Infeksi esofagitis karena
candida memiliki tampilan klasik berupa plak putih pada mukosa, yang tidak dapat dicuci
atau disapu, tidak seperti sisa makanan atau susu, dan yang sering meluas hingga sepertiga
bagian atas esofagus.23,24
Radiasi
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum. Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika. 26,29
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik. 26,29
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.26,29
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S. typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus. 26,29
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus,
dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi,
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
dan gangguan organ lainnya. 26,29
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga
endotoksin dari Salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler,
yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi
sistem imunologis. 26,29
bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit),
lidah berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, sopor, koma, delirium atau psikosis. Roseolae
jarang ditemukan pada orang Indonesia.27
2.2.4.5 Pemeriksaan Penunjang Demam Tifoid
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok, yaitu : 34
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia,
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi
lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif,
aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. Gambaran sumsum
tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid sistem normal, jumlah megakariosit
dalam batas normal.26,29, 32
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan
ke dalam tabung tanpa antikoagulan. 32
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut,
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit). 32
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :32
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Maksud
uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam
tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pada
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi
akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit. 32
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat
digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di
negara berkembang.32
Ada 4 interpretasi hasil: 32
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan
modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik.32
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila
dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas
uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji
Widal positif.Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan
bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat. 32
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain,
murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan
alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas
kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa
antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil
selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah
penerimaan serum pasien.32
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. SEI
Umur : 13 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 02 Agustus 2005
Agama : Islam
Nama ayah : Tn. I
Nama Ibu : Ny. E
Alamat : Asrama TNI-AD Ganting Blok E No. 18, Padang
Tanggal Masuk : 27/07/2019
No.Rekam medis : 01.05.64.00
II. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) serta ayah dan ibu
kandung pasien (alloanamnesis).
Seorang anak perempuan berusia 13 tahun dirawat di bangsal anak RSUP Dr.M.
Djamil Padang pada tanggal 27 Juli 2019 dengan :
A. Keluhan Utama
Tampak pucat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Tampak pucat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pucat
dirasakan bertambah 1 hari ini
Demam sejak 3 minggu yang lalu, demam hilang timbul, demam dirasakan
terutama menjelang sore hingga malam hari, tidak menggigil, tidak
berkeringat, demam tidak disertai kejang
BAB encer sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, frekuensi 2 kali/hari,
warna kehitaman, jumlah sekitar ½ - 1 gelas, konsistensi air lebih banyak
dari ampas, tidak berlendir
Muntah sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, frekuensi ± 5 kali per
hari, jumlah ½ gelas, tidak menyemprot, berisi sisa makanan dan minuman
Penurunan nafsu makan dirasakan sejak 2 hari ini, riwayat penurunan
nafsu makan sebelumnya disangkal
Nyeri ulu hati sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit disertai nyeri di
perut bawah pusar sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, tidak melilit,
terkadang perut dirasakan kembung
Riwayat lemah letih lesu ada sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit,
riwayat mudah lelah saat istirahat sebelumnya disangkal
Tidak ada tanda perdarahan di gusi, kulit, maupun hidung
Riwayat keluar cacing saat BAB disangkal, riwayat sering gatal di anus
saat malam disangkal
Batuk tidak ada sesak tidak ada, riwayat minum obat-obatan jangka
panjang disangkal
BAK jumlah dan warna biasa
Riwayat nyeri perut berulang disangkal
Riwayat sering makan terlambat disangkal. Riwayat mengomsumsi mie
pedas dan makanan pedas ada, anak mengatakan ada memakan pecel ayam
1 hari sebelum masuk rumah sakit yang sangat pedas, dan menyebabkan
sakit perut serta mencret
Riwayat konsumsi minuman dingin kaki lima ada sehari-hari saat anak
sekolah ada, sekitar 2 minggu sebelum masuk rumah sakit
Riwayat lidah putih dengan tepi merah ada 2 minggu sebelum masuk
rumah sakit
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengeluhkan hal seperti ini sebelumnya
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti pasien
E. Riwayat Persalinan
Lama hamil : Cukup bulan (38-39 minggu)
Cara lahir : Spontan
Ditolong oleh : Bidan
Berat lahir : 4.100 g
Panjang lahir : lupa
Saat lahir : Langsung menangis kuat
Kesan : Riwayat persalinan normal, cukup bulan, tidak ada
asfiksia janin
F. Riwayat Makanan dan Minuman
Bayi: Susu formula usia 0 – 12 bulan
Nasi tim sejak usia 6 bulan
Susu formula (-)
Anak: Nasi keluarga sejak usia 1 tahun, 3 kali/hari, menghabiskan 1 porsi
Daging : 2 kali / minggu
Ikan : 3 kali / minggu
Telur : 3 kali / minggu
Sayur : 7 kali / minggu
Buah : 4 kali / minggu
Kesan: kualitas dan kuantitas makanan cukup
G. Riwayat Imunisasi
Riwayat
Pertumbuhan Riwayat Gangguan
Umur Umur
dan Perkembangan Mental
Perkembangan
Tertawa 2 bulan Isap jempol -
Miring 2,5 bulan Gigit kuku -
Tengkurap 3 bulan Sering mimpi -
Duduk 6 bulan Mengompol -
Merangkak 7 bulan Aktif sekali -
Berdiri 8 bulan Apatik -
Lari 9 bulan Membangkang -
Gigi pertama 9 bulan Ketakutan -
Bicara 12 bulan Pergaulan jelek -
Membaca 5 tahun Kesukaran belajar -
Prestasi di
Baik
sekolah
Kesan: Riwayat pertumbuhan dan perkembangan normal sesuai usia.
I. Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Nama Tn. I Ny.E
Umur 54 tahun 54 tahun
Pendidikan SMA SMA
Pekerjaan Swasta IRT
Penghasilan Rp 800.000,- -
Perkawinan 1 1
Penyakit yang pernah diderita Asma Tidak ada
Uji Tubex TF : 6
Procalsitonin : 0,5 ng/mL
Kesan : Tubex TF positif kuat
Low risk to severe sepsis
V. TATALAKSANA
Tata Laksana Gawat Darurat
Os puasa sementara
Pemasangan NGT dan Folley Catheter
IVFD 2A 20 tpm (makro) 2000cc/hari = 83 cc/jam
Ranitidine 2 x 50 mg (iv)
Omeprazole 2 x 50 mg (iv)
Transfusi PRC 1 x 250 cc
Tata Laksana Nutrisi
MC Free Lactose 6 x 100 kkal
MCG 6 x 300 cc
IVFD Kaen 1B 57 cc/jam
Tata Laksana Medikamentosa
Ranitidine 2 x 45 mg (iv)
Omeprazole 1 x 45 mg (iv)
Ceftriaxone 1 x 100 mg (iv)
Transfusi PRC 2 x 250 cc (bila Hb ≤ 8 gram/dl)
P/ Peptikum
Demam Tifoid dalam pengobatan
MC 6 x 300 cc
IVFD Kaen 1B 57 cc/jam
Ranitidine 2 x 45 mg (iv)
Omeprazole 1 x 45 mg (iv)
Ceftriaxone 1 x 100 mg (iv)
Rencana endoskopi (03/08/2019)
Kultur feses
02/08/2019 S/ Anak tidak demam, tidak kejang, tidak sesak, BAK
cukup, warna kuning jernih, BAB ada tidak ada
O/
keluhan, antibiotik ceftriaxone hari ke-2
Ku kesadaran TD HR RR T
Sedang CM 95/60 100 x/i 20 x/i 36,8⁰ C
Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera tidak ikterik
Thoraks : Retraksi epigastrium (-), Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: distensi (-), BU (+) normal
Ekstremitas : CRT < 2’, akral hangat
A/ BB = 44 kg
Riwayat melena ec Gastritis Erosif dd/ ulkus
P/ peptikum
Demam tifoid dalam pengobatan
MC 6 x 300 cc (puasa mulai jam 03.00 malam)
Rencana endoskopi (03/08/2019)
IVFD Kaen 1B 57 cc/jam
Ranitidine 2 x 45 mg (iv)
Omeprazole 1 x 45 mg (iv)
Ceftriaxone 1 x 100 mg (iv)
03/08/19 S/ Anak tidak demam, tidak kejang, tidak sesak, BAK
tidak ada keluhan, BAB belum ada, antibiotik
O/ ceftriaxone hari ke-3. Pasien disiapkan untuk
gastroduodenoskopi di ok.
Ku kesadaran TD HR RR T
Sedang CM 90/50 96 x/i 20 x/i 37⁰ C
Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera tidak ikterik
Thoraks : Retraksi epigastrium (-), Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: distensi (-), BU (+) normal
A/
Ekstremitas : CRT < 2’, akral hangat
BB = 42 kg
P/ Esofagitis + Gastritis Hemoragik Demam tifoid
dalam pengobatan
MC 6 x 300 cc
IVFD Kaen 1B 57 cc/jam
BAB IV
DISKUSI
DAFTAR PUSTAKA
1. Poddar U. Diagnostic and therapeutic approach to upper gastrointestinal
bleeding. Paediatr Int Child Health. 2019 Feb;39(1):18-22.
2. Pinandhito GA, Widowati T, Damayanti W. Profil dan Temuan Klinis Pasien
Perdarahan Saluran Cerna di Departemen Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito
2009-2015. Sari Pediatri. 2017; 19(4):196-200.
3. Tengguna L. Perdarahan Saluran Cerna pada Anak. CDK-257.
2017;44(10):695-9.
4. Jafari et all. Etiology of Gastrointestinal Bleeding in Children Reffered to
Pediatric Wards of Mashhad Hospitals, Iran. Electronic Physician.
2018;10(2):6341-5.
5. Romano C, et all. Pediatric gastrointestinal bleeding: Perspectives from the
Italian Society of Pediatric Gastroenterology. World J Gastroenterol 2017
February 28; 23(8): 1328-1337.
6. Snell RS. Clinical Anatomy By Regions. Vol 9. Philadelpia: Wolters
Kluwer.2008.
7. Paulsen F, Waschke J. Sobotta Atlas of Human Anatomy 15th edition.
Elsevier. 2011. Hal 89
8. Gilger MA, Bure KWV. Upper Gastrointestinal Bleeding. In: Walker, Goutlet,
Klienmann, eds. pediatricsgastrointestinal disease 6 th ed.
9. Nasher O, Devadason D, Stewart R J. Upper Gastrointestinal Bleeding in
Children: A Tertiary United Kingdom Children’s Hospital Experience. 2017;
4(95):1-6.
10. Effendi J, Waleleng BJ, Sugeng C. Profil Pasien Perdarahan Saluran Cerna
Bagian Atas yang Dirawat di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode
2013-2015. Jurnal e-Clinic. 2016; 4(2):1-4
11. Panitia PKB IKA LXI. Kegawatan pada Bayi dan Anak. Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2012: 24-31.
12. Khan S, Orenstein SR. Esophageal Varices. Dalam: Nelson Textbook of
Pediatrics.Kliegman Stanton,Geme St, Schor.2016;326:1793
13. World Gastroenterology organization. Esophageal Varices.2014.p1-13
14. Soeparto P, Ranuh R. Buku Ajar Gastroenterologi Hepatologi IDAI. UKK
Gastroenterologi Hepatologi IDAI. 2009.
15. Gershman G. Therapeutic upper GI endoscopy. In : Practical Pediatric
Gastrointestinal Endoscopy. 2012:82-102
16. Gilger MA, Bure KWV. Upper Gastrointestinal Bleeding. In: Walker, Goutlet,
Klienmann, eds. pediatricsgastrointestinal disease 6 th ed.
17. Hegar B. Infeksi helicobacter pada anak. Indonesia. Sari pediatric. 2016;
2(2):82-89
18. Richardson MM, Chessman K Hammon, Chant C.PSAP VII Book 11
(Gastroenterology and Nutrition): Pharmacotherapy Self-Assessment
Program. American: PSAP VII Book 11 (Gastroenterology and Nutrition):
Pharmacotherapy Self-Assessment Program; 2012.
19. Sierra D, Wood M, Kolli Sneha, Felipez LM. Pediatric in Review. American
Academy of Pediatrics. 2018; 39(2): 542-7
20. Blanchard SS, Czinn SJ. Peptic Ulcer Disease in Children. In Kliegman RM,
Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics, 19th
Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2007: 1291-4
21. Hojsak I. Helicobacter pylori Gastritis and Peptic Ulcer Diseases.
Dalam:Textbook of Peciatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition; A
Comprehensive Guide to Practice. Switzerland: Springer International
Publishing. 2016:143-55.
22. Grossi L, Ciccaglione AF, Marzio L. Esophagitis and its causes: Who is
“guilty” when acid isfound “not guilty”?.World J Gastroenteroly.2017;
23(17): 3011-6.
23. Diamond GH. Pediatric Esophaghitis. Medscape Reference Update Sep 20th
17. Available from http://emedicine.medscape.com/article/288911-print
disitasi 16 Agustus 2019.
24. Thomson M. Esophagitis. In: Walker, Goutlet, Klienmann, eds.
pediatricsgastrointestinal disease 6 th ed.
25. Fitch MT, Joing SA, Wang VJ. Tintinalli’s Emergency Medicine Manual. 8 th
edition. Chapter 133. Editors Cydulka, RK. 2018. p. 719-725
26. Wibisono E, Ade S, Leonard N. Demam Tifoid. Dalam: Kapita Selekta
Kedokteran Jilid 2. Ed 4. Jakarta: Media Aesculapius. 2014; h. 721-723
27. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2008; h. 338-45.
28. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi
1. Jakarta: Salemba Medika; 2002:1-43
29. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa
Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta:
EGC ; 2000.
30. Djoko Widodo. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Jakarta: Internal Publishing
31. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam
Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:
2003. h. 2-20
32. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada
anak. Surabaya: FK UNAIR; 2010. h. 1-10
33. Aden, R. Seputar Penyakit dan Gangguan Lain Pada Anak. Yogyakarta:
Siklus Hanggar Kreator; 2010
34. Sumarmo S. Poorwo Soedarmo, Herry Garna, Sri Rezeki S. Hadinegoro,
Hindra Irawan Satari, et al. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi
kedua. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. h. 338-346
35. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian Demam
Tifoid. 2006
36. Hegar B. Infeksi Helicobacter Pylori pada Anak. Dalam: Sari Pediatri.
Jakarta; 2000; 2:2: h. 82-89