Anda di halaman 1dari 49

Case Report Session

ESOFAGITIS DAN GASTRITIS HEMORAGIK

Oleh:

Kenty Regina 1840312455

Preseptor

dr. Yorva Sayoeti, Sp A (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUP DR. M DJAMIL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG

2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang dapat terjadi pada saluran cerna atas
maupun bawah, yang dibatasi oleh ligament treitz. Perdarahan saluran cerna pada anak
menyebabkan ketakutan dan kecemasan pada orang tua. Perdarahan dapat terjadi dimanapun
sepanjang saluran cerna dan sulit untuk menentukan lokasinya. Kondisi tersebut dapat
menyebabkan anemia dan berpotensi menimbulkan kegawatan yang mengancam jiwa.1,2
Insiden perdarahan saluran cerna atas cukup jarang terjadi dibandingkan perdarahan
saluran cerna bawah pada pediatrik, yaitu 1-2 kasus per 10.000 anak tiap tahun.3 Data yang
dikumpulkan oleh Nation Wide Emergency Department tahun 2006 sampai 2011, dari 450.000
pasien kegawatan anak 20% datang dengan perdarahan saluran cerna atas dan 30% datang
dengan perdarahan saluran cerna bawah. Insiden terbanyak adalah anak berusia 11-15 (50,8%)
tahun dan anak perempuan (54,5%) lebih banyak daripada laki-laki (45,5%). Mortalitas dari
perdarahan saluran cerna atas pada anak 4,8%, sedangkan saluran cerna bawah 0,6%.2
Perdarahan saluran cerna atas terjadi pada esofagus, lambung, dan duodenum yang dibatasi
oleh ligamentum treitz. Penyebab paling sering perdarahan saluran cerna atas pada anak yang
lebih besar sering disebabkan oleh duodenal ulcers, esofagitis, dan varises esofagus.4,5
Prioritas utama yang harus dilakukan pada kondisi darurat pasien dengan perdarahan cerna
adalah menilai airways, breathing, dan circulation pasien. Ada beberapa kasus perdarahan
saluran cerna yang dapat berhenti sendiri dan hanya memerlukan observasi, sebagian lain
memerlukan tindakan invasif dan agresif menggunakan endoskopi. Tindakan suportif dengan
stabilisasi status hemodinamik, koreksi setiap koagulasi atau trombositopenia diperlukan sebelum
prosedur diagnostik dilakukan.5
1.2 Batasan Masalah
Case Report ini membahas mengenai perdarahan saluran cerna dan demam tifoid pada
anak.
1.3 Tujuan Penulisan
Case Report bertujuan menambah pengetahuan mengenai perdarahan saluran cerna dan
demam tifoid pada anak.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan dari case report ini menggunakan metode anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
tinjauan pustaka dengan sumber dari berbagai literatur.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Saluran Cerna
Saluran cerna dimulai dari kavum oral yang terletak pada bagian inferior wajah di bawah
fossa nasalis dan berakhir di rektum dan anus yang terletak pada bagian 1/3 proksimal pelvis dan
2/3 distal rongga subperitoneal. Saluran ini dimulai dari kavum oral melewati faring. Esofagus
adalah organ tubular fibromuskuler berukuran 1,5-2,5 cm dan terdiri dari lapisan tunika serosa,
muskularis, submukosa, dan mukosa. Lambung adalah organ intraperitoneal yang terletak di
regio epigastrium dan memiliki bagian forniks, fundus, dan pilorus. Semua cabang arteri yang
mendarahi lambung berasal dari arteri seliaka. Usus halus memiliki diameter 2,5-3 cm dan
memiliki panjang 60% dari panjang keseluruhan saluran cerna. Jejunum dan ileum tidak
memiliki batas yang jelas walaupun secara mikroskopis jejunum memiliki lebih banyak lipatan
sirkular dan tidak ada peyer’s patches. Sembilan puluh persen proses absorpsi terjadi di usus
halus. Usus halus didarahi oleh 15 arteri intestinal yang merupakan percabangan dari arteri
mesenterika superior.6
2.1.1 Esofagus
Esofagus merupakan suatu tabung sepanjang 10 inci (25 cm) yang menghubungkan faring
dan lambung serta berlokasi di depan kolumna vertebra dan di belakang trakea (gambar 2.1).6
2.1.2 Lambung
Lambung merupakan bagian yang berdilatasi dari canal alimentary antara esofagus dan
usus halus (gambar 2.1). Organ ini terletak pada kuadran kiri atas, epigastrik, dan regio
umbilikal, dan berlokasi umumnya di dalam iga. Organ mengarah ke bawah dan kanan serta
sedikit ke atas.6

Gambar 2.1 Saluran Perncernaan6


2.1.3 Usus Halus

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


Usus halus merupakan organ dengan ukuran relatif kecil. Organ ini dibagi menjadi 3
bagian; duodenum, jejenum, dan ileum. Duodenum merupakan bagian pertama dari usus halus
dan umumnya terletak di posterior dinding abdomen. Bentuk organ ini C-shaped dan memanjang
dari lambung, mengelilingi kaput pankreas dan menyatu dengan jejunum. Setengah panjangnya
duodenum menerima cairan empedu dan aliran dari duktus pankreas. Panjang jejunum dan ileum
adalah 20 kaki (6m), dua perlima bagian ini merupakan jejunum. Jejunum dimulai dari
duodenojejunal junction, dan ileum berakhir pada ileosekal junction. Jejunum terletak pada
bagian kiri atas kavitas abdomen, di mana ileum terletak pada bagian kanan bawah kavitas
abdomen dan kavitas pelvis.6
2.1.4 Usus besar
Usus besar terdiri atas sekum, apendiks, kolon asenden, kolon transversum, kolon
desenden, kolon sigmoid, rektum, dan anal kanal. Arkus usus besar menyelubungi saluran usus
halus serta lebih terfiksasi dari usus halus.6
Sekum merupakan suatu kantung buntu yang diproyeksikan pada regio iliaka kanan bawah
di bawah ileosekal junction. Apendiks merupakan suatu tabung yang berbentuk cacing yang
berasal dari sisi medial. Kolon asending memanjang ke atas dari sekum ke permukaan inferior
dari lobus kanan hepar, terletak di kuadran kanan atas dan bawah. Saat mencapai hepar, organ ini
berlekuk ke kiri, membentuk fleksura kolika dekstra. Kolon transversum melintasi abdomen pada
regio umbilikalis dari fleksura kolika dekstra menuju fleksura kolika sinistra. Organ ini
membentuk kurva -U yang lebar. bagian yang mengenai regio limpa, melekuk ke bawah,
membentuk fleksura kolika sinistra untuk menjadi kolon desenden. Kolon desenden memanjang
dari fleksura kolika sinistra menuju pelvis organ ini menempati kuadran kiri atas dan bawah.6
Kolon sigmoid dimulai pelvik inlet, merupakan kelanjutan kolon desenden. Organ ini
terjurai ke dalam kavitas pelvis dan membentuk lengkung.6 Rektum terletak pada bagian posterior
dari kavitas pelvis dan merupakan lanjutan kolon sigmoid dan turun ke depan sakrum melewati
pelvic floor. Organ ini berlanjut menjadi anal kanal pada perineum.6
Ligamentum treitz adalah batas penentu antara perdarahan saluran cerna bagian atas dan
bagian bawah. Klasifikasi ini memiliki relevansi klinis, karena kedua bentuk perdaraham ini
memiliki penyebab umum yang berbeda dan memerlukan langkah diagnostik yang
berbeda.Ligamentum treitz bersamaan dengan ligamentum suspensorium duodeni adalah pelekat
antara pars asendens duodenum dengan aorta dekat asal A.Mesenterica superior, sebelum transisi
duodenum ke intraperitoneal jejunum, yang disebut dengan flexura duodenojejunalis.7
Sekum terletak pada intraperitoneal fossa iliaca kanan, berbentuk sakular dengan
melekatnya salah satu organ limfoid yaitu apendiks vermiformis. Kolon memiliki panjang rata-

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


rata 140cm, terbagi menjadi kolon asenden, transversum, desenden dan kolon sigmoid.
Selanjutnya yaitu rektum dan anus, berbentuk tubular dengan rata-rata panjang 12cm dan
diameter 5 cm.6

2.2 Perdarahan Saluran Cerna Atas


2.2.1 Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah kehilangan darah dalam lumen
saluran cerna, dimulai dari esofagus sampai dengan duodenum di daerah ligamentum treitz. 8
Perdarahan saluran cerna adalah salah satu masalah yang serius di bidang gastroenterologi
pediatrik yang membutuhkan diagnosis dan tatalaksana segera. Perdarahan saluran cerna bagian
atas ditandai dengan gejala berupa hematemesis dan melena. Hematemesis yang terjadi adalah
muntah darah yang berwarna merah segar ataupun berwarna hitam seperti kopi dengan sumber
perdarahan di antara esofagus dan ligamentum treitz. Emesis berwarna seperti kopi biasanya
disebabkan karna efek sekunder koagulatif dari asam lambung. Melena adalah tinja yang ke luar
berupa cairan berwarna hitam seperti aspal dan merupakan manifestasi perdarahan saluran cerna
atas. Warna hitam pekat disebabkan oleh hematin, yaitu produk oksidatif heme yang diproduksi
oleh bakteri usus. Melena dapat bertahan selama tiga hingga lima hari dan karenanya tidak dapat
digunakan sebagai indikasi perdarahan yang sedang berlangsung.1,9
2.2.2 Epidemiologi
Perdarahan saluran cerna bagian atas pada anak merupakan kondisi yang jarang pada anak
dengan estimasi insiden yaitu 1–2/10,000 per tahunnya.9 Insiden pendarahan saluran cerna lebih
banyak terjadi pada anak laki-laki (54,5%) dibandingkan dengan anak perempuan (45,8%).
Insiden perdarahan saluran cerna pada anak-anak di dunia adalah 100-150 perawatan di rumah
sakit per 100.000 populasi pertahun anak dan sebanyak 0,5% dari insiden tersebut merupakan
kegawatan pada anak. Penelitian tentang perdarahan saluran cerna di ruang rawatan intensif
didapatkan 6% sampai 25% kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas.1,8,10 Kejadian
perdarahan saluran cerna paling banyak terjadi pada usia 11-15 tahun dan paling sedikit pada
anak dengan usia kurang 1 tahun. Penyebab perdarahan SCBA terbanyak di Indonesia, yaitu
pecahnya varises esofagus, sedangkan di negara barat penyebab perdarahan SCBA terbanyak
(95%) ialah non-varises dengan sebanyak 50-70% kasus karena perdarahan ulkus peptikum.2

2.2.3 Klasifikasi Perdarahan SCBA secara umum


Perdarahan saluran cerna atas dibagi berdasarkan usia. Klasifikasi ini dapat dilihat pada
tabel 2.1
Tabel 2.1. Klasifikasi perdarahan saluran cerna bagian atas berdasarkan usia11
Bayi baru lahir 1 bulan – 2 tahun 2 – 16 tahun
Tertelan darah ibu Gastritis Ulkus akut
Faktor pembekuan Esofagitis Gastritis
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Esofagitis Ulkus akut Esofagitis
Gastritis Sindrom Mallory Welss Sindrom Mallory welss
Duodenitis Varises Varises
Malformasi vaskuler Vaskuler abnormal Duplikasi saluran cerna
Duplikasi saluran cerna Vaskuler abnormal

2.2.3.1 Gastritis
a. Definisi
Gastritis merupakan hasil dari imbalans dari faktor defensif dan agresif ditandai oleh
adanya sel-sel inflamasi. Intensitas dari respon inflamasi bervariasi, inflamasi ringan dapat sulit
dibedakan dari mukosa normal sehingga butuh peran patologis. Umumnya kasus gastritis yang
tidak dapat dijelaskan penyebabnya adalah akibat infeksi Helicobacter pylori. 16
b. Epidemiologi
Infeksi H. Pylori merupakan penyakit yang sering terjadi di dunia, dengan hampir 50%
populasi dunia terinfeksi. Infeksi H. pylori di negara berkembang pada anak-anak hampir 80%.16
c. Etiologi
Gastritis diklasifikasikan menjadi gastritis infeksi, gastritis rekatif, dan gastritis
granulomatosa.16
1. Gastropati reaktif
Kondisi ini biasanya perubahan akibat respon terhadap iskemia, bahan kimia, dan
trauma yang termasuk dalam gastritis ini adalah gastropati akibat Obat Antiinflamasi
Nonsteroid (OAINS) yang didasari oleh mekanisme inhibisi oleh cyclo-oxygenase (COX)
enzim. Selain itu disebabaan oleh gangguan mukosa akibat stress yang biasanya terjadi
pada anak-anak dengan kondisi kritis, termasuk bayi prematur. Kondisi ini juga termasuk
gastropati neonatus. Gangguan mukosa lambung jarang diidentifikasi pada bayi baru
lahir, bahkan pada bayi prematur yang sakit. Hal ini dapat disebabkan endoskopi
dilakukan pada bayi. Prevalensi tinggi gastropati hemoragik telah dilaporkan pada
neonatus yang sakit di unit perawatan intensif.
2. Gastritis Infeksi
Umumnya kasus gastritis disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori. H. Pylori
merupakan bakteri gram negatif mikroaerofilik yang ditemukan pada lapisan mukosa
epitel lambung. Infeksi terhadap patogen ini merupakan infeksi yang umum terjadi,
tercatat hampir 50% populasi di dunia pernah terinfeksi patogen ini. Rute transmisi dari
patogen ini dapat melalui fekal-oral, oral-oral, dan gastric-oral. Transmisi melalui udara
masih dievaluasi. Infeksi bakteri lain adalah infeksi akibat Helicobacter Helmanii
maupun infeksi bakteri tuberculosis. Jamur, virus, dan parasite lain juga dapat
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
menyebabkan gastritis, seperti citomegalovirus (CMV), Eipsteinn Barr (EBV), Candida
albicans, dan Giardia lambia, namun kondisi ini umumnya terjadi pada koondisi
imunodefisiensi.
3. Gastritis Granulomatosa
Perubahan endoskopi dan histologis dari gastritis dapat dilihat pada Crohn’s
disease dan kolitis ulseratif. Crohn’s disease merupakan penyebab gastritis granulomatosa
tersering.
d. Diagnosis
Pemeriksaan histologis penting untuk mendiagnosis gastritis dan menentukan diagnosis
banding. Kondisi yang umum terjadi pada anak-anak adalah nyeri abdomen yang rekuren.
Kondisi ini terjadi pada 15% dari usia 4 hingga 16 tahun. Pemeriksaan histologi dapat ditemukan
kolonisasi H. pylori melalui pewarnaan giemsa dan pewarnaan cresyl violet. Pemeriksaan kultur
dapat ditemukan H. Pylori melalui spesimen biopsi. Standar praktis diagnosis infeksi H. Pylori
dengan kultur dan tes urease yang positif akibat tingginya kadar enzim urease.16
e. Tatalaksana
Sejauh ini belum terpapar kesepakatan dari para ahli gastroenterologi tentang pengobatan
infeksi H. pylori pada anak. Kelompok ahli merekomendasi pengobatan eradikasi H. pylori pada
anak dengan dispepsia fungsional dengan uji tapis positif, sedangkan kelompok lain
merekomendasi hanya pada anak dengan ulkus. Berbagai jenis obat yang pernah digunakan
adalah bismut, ranitidin bismut sitrat, H2 antagonis, PPI, dan beberapa antibiotik. Terapi yang
diberikan sebaiknya sederhana, dapat ditoleransi dengan baik, dan memiliki tingkat eradikasi
lebih dari 80%. Selain untuk mencegah terjadinya resistensi, penggunaan berbagai jenis obat
akan memberikan hasil yang lebih efektif karena terdapat mekanisme sinergis dari obat-obat
tersebut. Tingkat eradikasi yang dicapai dengan menggunakan kombinasi 3 jenis obat (PPI,
klaritromisin dan amoksisilin) dilaporkan sebesar 87- 92%, sedangkan bila hanya menggunakan
2 jenis obat (PPI dan amoksisilin) sebesar 70%. Kombinasi amoksisilin, bismut, dan
metronidazol juga memberikan tingkat eradikasi yang tinggi, yaitu sebesar 96%. Kombinasi 3
jenis obat yang menggunakan PPI atau bismut direkomendasikan sebagai obat pilihan pertama.
PPI lebih mudah diteloransi oleh anak dibanding dengan bismut. Bismut-salisilat tidak
dianjurkan penggunaannya pada anak berumur di bawah 16 tahun karena ditakutkan terjadinya
sindrom Reye. Kombinasi obat yang menggunakan PPI ternyata memperlihatkan penyembuhan
ulkus yang lebih cepat.17
Konsensus para Ahli Gastroenterologi di Amerika dan Eropa merekomendasi penggunaan
3 jenis obat yang terdiri dari PPI, dan kombinasi 2 antibiotik selama 7 hari. Kombinasi obat yang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


direkomendasi- kan adalah (1) PPI, metronidazol, dan klaritromisin, atau (2) PPI, amoksisilin
(bila diduga ada resistensi terhadap metronidazol), atau (3) PPI, amoksisilin, dan metronidazol
(bila ada resistensi terhadap klaritromisin). Negara Belanda dan Belgia menggunakan kombinasi
omeprazole 0.6 mg/kg dua kali sehari, amoksisilin 30 mg/kg dua kali sehari, dan klaritromisin 15
mg/kg dua kali sehari, selama 7 hari.17
Kejadian resistensi terhadap amoksisilin rendah, sedangkan kejadian resistensi terhadap
golongan makrolid (klaritromisin) dan metronidazol cenderung meningkat sejalan dengan
meningkatnya penggunaan obat-obat tersebut. Daerah yang memiliki angka kejadian resistensi
terhadap metronidazol lebih dari 30%, dianjurkan untuk langsung memberikan amoksisilin. Data
terakhir memperlihatkan penggunaan lanzoprazol sebagai PPI. Kombinasi lanzoprazol,
amoksisilin/ metronidazol dan klaritromisin memberikan tingkat eradikasi yang baik (87%),
tetapi penggunaannya pada anak belum dilaporkan secara luas.17

2.2.3.2 Ulkus Peptikum


a. Definisi
Ulkus peptikum adalah lesi mukosa yang dalam berupa kerusakan lapisan mukosa
muskularis dinding lambung ataupun duodenum. Ulkus lambung umumnya terletak pada mukosa
zona transisi antrum sepanjang kurvatura minor, dan 90% ulkus duodenum ditemukan pada
duodenum bulb.18
b. Epidemiologi
Ulkus peptikum tetap menjadi penyebab paling umum dari SCBA, terhitung 21% hingga
40% dari semua episode perdarahan. Insiden ulkus peptikum pada anak-anak lebih rendah dari
pada pada orang dewasa. Beberapa penelitian internasional melaporkan kejadian pada anak-anak
bervariasi dari 2% hingga 8%. Ulkus duodenum lebih sering dibandingkan dengan ulkus gastrik
dengan infeksi H. pylori, tetapi insiden perdarahan diantara keduanya sama. 18 Insiden ulkus
peptikum diperkirakan antara 0,5 dan 4,4 dari 100.000 orang. Angka ini meningkat dengan
penggunaan NSAID, kortikosteroid, dan obat imunosupresif. Prevalensinya serupa antara kedua
jenis kelamin, dengan kejadian ulkus peptikum meningkat setelah usia 10 tahun. Perbedaan ras
dan etnis telah dicatat dalam populasi anak-anak, dengan populasi kulit hitam dan Meksiko
Amerika non-hispanik lebih terpengaruh dari pada populasi kulit putih.19
c. Patofisiologi
Mukosa usus terdiri dari 3 lapisan: epitel, lamina propria, dan mukosa muskularis. Ulkus
peptik terjadi ketika radang lambung atau duodenum menyebabkan defek pada mukosa
muskularis. Isi asam lambung, yang biasanya membantu pencernaan, menjadi korosif ketika ada
peningkatan produksi asam atau gangguan faktor pelindung. Sel-sel parietal lambung

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


memproduksi asam lambung melalui pompa proton (Hþ / Kþ ATPase) sebagai respon terhadap
asetilkolin dari eferen vagal, histamin dari selenterokromafin dan gastrin dari sel G.19
Mekanisme untuk melindungi mukosa lambung termasuk lapisan lendir, zona penyangga
pH-netral, lapisanepitel, dan suplai darah lambung yang kaya. Lapisan lendir terdiri dari musin
yang disekresikan oleh sel foveolar permukaan. Lapisan lendir ini bertindak sebagai penghalang
difusi dan mendahului zona penyangga pH-netral yang terdiri dari bikarbonat yang disekresikan
oleh sel epitel. Pelepasan prostaglandin memediasi sekresi musin dari sel foveolar permukaan
dan pelepasan bikarbonat dari sel epitel. Sel epitel memiliki persimpangan ketat yang bertindak
sebagai penghalang perlindungan tambahan. Pasokan darah lambung yang kaya mendistribusikan
kembali proton berlebih yang mencapai lamina propria. Tukak lambung terbentuk ketika faktor-
faktor yang merusak mengatasi mekanisme perlindungan.19
d. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala penyakit ulkus peptikum bervariasi tergantung usia pasien. Hematemesis
atau melena dilaporkan pada setengah dari pasien dengan ulkus peptikum. Anak-anak usia
sekolah dan remaja lebih sering datang dengan nyeri epigastrium dan mual. Dispepsia, nyeri
epigastrium, terlihat pada anak yang lebih besar. Bayi dan anak kecil biasanya mengalami
kesulitan makan, muntah, episode menangis, hematemesis, atau melena. Perforasi lambung dapat
menjadi presentasi awal pada periode neonatal.19,20
Sulit untuk membedakan antara ulkus lambung dan duodenum berdasarkan riwayat saja.
Khas ulkus peptikum adalah rasa perih pada epigastrium atau terbakar segera setelah makan dan
ulkus duodenum hadir dengan rasa sakit 2 sampai 3 jam setelah makan. Presentasi penyakit ulkus
peptikum yang parah dapat meliputi perforasiusus, perdarahan gastrointestinal berat dengan erosi
pembuluh darah, atau pankreatitis dengan erosiusus posterior.19
e. Pemeriksaan Penunjang
Esofagogastroduodenoskopi adalah metode pilihan untuk menegakkan diagnosis penyakit
ulkus peptikum. Esofagogastroduodenoskopi dapat dilakukan dengan aman di segala usia oleh
ahli gastroenterologi anak yang berpengalaman. Endoskopi memungkinkan visualisasi langsung
esofagus, lambung, dan duodenum, mengidentifikasi lesi spesifik. Endoskopi juga memberikan
peluang untuk terapi hemostatik termasuk injeksi dan penggunaan probe pemanas atau
elektrokoagulasi jika perlu. Tes immunoassay enzim tinja untuk H. pylori tersedia dan memiliki
beragam utilitas pada anak-anak.20
Uji infeksi H. pylori pada anak dilakukan berdasarkan kondisi pasien dan dengan
prosedur diagnostik adekuat menurut European Society for Pediatric Gastroenterology,
Hepatology and Nutrition / The North American Society for Pediatric Gastroenterology,

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


Hepatology and Nutrition (ESPGHAN/NASPGHAN) guidelines. Pemeriksaan yang dilakukan
untuk mendeteksi H. Pylori dapat dibagi menjadi invasif dan tidak invasif. Pemeriksaan yang
tidak invasif dengan cara Urea Breath Test dan tes antigen feses. Prinsip dari Urea Breath Test
adalah sifat enzim urease yang dihasilkan H. pylori yang mengubah urea menjadi karbon
dioksida dan amonia. Pemeriksaan ini membutuhkan pasien yang kooperatif dan puasa sebelum
pemeriksaan. Tes antigen feses dilakukan berdasarkan adanya makromolekul bakteri seperti
protein dan DNA pada feses pasien. Tes invasif yang dilakukan membutuhkan endoskopi dan
biopsi jaringan lambung untuk mendeteksi bakteri dan termasuk kultur, tes urea cepat,
histopatologi, polymerase chain reaction (PCR), dan tes fluoresence in situ hybridization.21
f. Tatalaksana
Tatalaksana perdarahan akut termasuk memantau nadi, tekanan darah, dan hematokrit
untuk memastikan kestabilan hemodinamik dan menghindari anemia. Pasien dengan suspek
perdarahan ulkus peptikum seharusnya mendapat terapi Proton Pump Inhibitor (PPI) intavena
dosis tinggi, yang dapat menurunkan risiko perdarahan berulang. Beberapa rumah sakit juga
menggunakan octreotide, yang menurunkan aliran darah splenikus dan produksi asam lambung.20
Ulkus peptikum mempunyai dua tujuan, yaitu menyembuhkan ulkus dan eliminasi
penyebab utama. Lini pertama untuk ukus peptikum pada anak adalah antagonis reseptor H2 dan
PPI. Pemberian medikamentosa berdasarkan pengendalian produksi asam lambung agar pH
lambung meningkat di atas kisaran daya proteolitik pepsin sehingga lesi yang terjadi dapat
sembuh. Medikamentosa yang paling sering digunakan adalah ranitidin dan omeprazol. Dosis
ranitidin iv 1,5 mg/kg, untuk peroral 6-8 mg/kg/hari dibagi 2-3 kali. Omeprazol oral/iv 0,3-3,5
mg/kg. Pemberian Proton Pump Inhibitor (PPI) pada perdarahan saluran cerna akut secara
signifikan lebih efektif menurunkan risiko perdarahan berulang pasca hemostatis dibandingkan
antagonis reseptor H2.20

2.2.3.3 Esofagitis
a. Definisi
Esofagitis merupakan suatu keadaan inflamasi pada mukosa esofagus dengan gejala klinis
adanya rasa terbakar, nyeri dada, and disfagia. Dinding esofagus memiliki pertahanan yang
rendah terhadap kerusakan akibat asam lambung yang dapat menyebabkan baik esofagitis erosif
maupun non-erosif.22
b. Epidemiologi
Refluks gastroesofageal adalah gangguan esofagus yang paling umum. Sekitar 50% bayi
berusia 2-3 bulan dan 67% bayi berusia 4 bulan mengalami regurgitasi setiap hari. Sekitar 8%
bayi memiliki jumlah asam lambung yang abnormal pada temuan pemeriksaan pH yang
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
menghasilkan tanda atau gejala GERD). Esofagitis histologis dapat diamati pada 61-83% bayi
dengan esofagitis signifikan secara klinis.23
Paparan zat korosif (yaitu, alkali, asam, pemutih) merupakan 3-5% dari konsumsi yang
dilaporkan secara tidak sengaja, atau sekitar 5.000-10.000 kasus per tahun di Amerika Serikat.
Esofagitis korosif dari konsumsi yang tidak disengaja biasanya terjadi pada anak-anak di bawah
5 tahun, sedangkan konsumsi yang disengaja pada remaja dapat menyarankan upaya bunuh diri.
23

Menurut penelitian terbaru, prevalensi esofagitis eosinofilik adalah 0,5-1 kasus per 1000
orang, dan insidensinya adalah 10 kasus per 10.000 kasus per tahun. Rasio laki-laki-perempuan
3: 1 diamati pada eosinofilik esofagitis. Sebuah studi retrospektif dari 558 anak-anak dengan
esofagitis eosinofilik menemukan bahwa 22,8% anak-anak dengan diagnosis baru berusia lebih
muda dari 5 tahun.23
c. Etiologi
 Refluks gastroesofageal
Refluks gastroesofageal merupakan penyebab tersering esofagitis pada bayi dan anak.
Bayi dapat menderita esofagitis peptik tanpa gejala klinis refluks gastroesofageal (silent
GERD). GERD ringan sering terjadi, dengan gejala memuncak pada bayi di bawah 6 bulan.
Menurunnya tonus sfingter esofagus bawah dan perubahan motilitas berdampak pada waktu
permbersihan esofagus dan menyebabkan refluks gastroesofageal. Faktor-faktor yang
menurunkan tonus sfingter esofagus bawah termasuk diet kaya lemak, kafein, cokelat, dan
alkohol. Peningkatan tekanan intraabdomen pada obesitas dan kehamilan, perubahan hormon
selama kehamilan, dan merokok juga meningkatkan risiko refluks gastroesofageal.23
 Paparan zat korosif
Tertelan zat atau benda, baik yang dimaksudkan seperti obat-obatan, atau konsumsi
kaustik tanpa disengaja seperti cairan pencuci piring.24
 Infeksi
Esofagitis infeksius bisa disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, atau protozoa. Mayoritas
esofagitis infektif terjadi pada anak imunokompromais, namun esofagitis juga bisa terjadi
pada anak imunokompeten. HSV dan sitomegalovirus merupakan patogen virus yang paling
sering. Candida juga penyebab infeksi esofagitis yang paling umum. Infeksi esofagitis karena
candida memiliki tampilan klasik berupa plak putih pada mukosa, yang tidak dapat dicuci
atau disapu, tidak seperti sisa makanan atau susu, dan yang sering meluas hingga sepertiga
bagian atas esofagus.23,24
 Radiasi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


Esofagitis karena radiasi bukan merupakan kejadian umum, karena esofagus relatif tahan
terhadap cedera radiasi dibandingkan dengan sisa saluran gastrointestinal. Namun, dosis
radiasi yang lebih tinggi dari 30 Gy dapat menyebabkan rasa terbakar pada retrosternal,
disfagia, dan esofagitis. Dosis 50 Gy menyebabkan esofagitis berat, dan dosis 60 Gy
menyebabkan striktur esofagus, fistula, atau keduanya.23
 Lain-lain
Penyebab lain dari esofagitis adalah trauma oleh karena pemasangan nasogastric tube
(NGT), alergi makanan dan esofagitis eosinofil, penyakit sistemik seperti Crohn’s disease,
skleroderma, poliarteritis nodosa, serta esofagitis karena kemoterapi.23
d. Manifestasi Klinis
Esofagitis memiliki spektrum gejala klinis yang luas dan berbeda untuk setiap kelompok
umurnya. Regurgitasi, nausea dan muntah merupakan gejala spesifik yang paling sering terlihat
pada bayi. Hematemesis, melena, anemia, sulit makan, rewel merupakan gejala yang biasa
timbul pada bayi dengan esophagitis yang berhubungan dengan refluk gastro. Anak yang lebih
besar didapatkan keluhan disfagia, mual, muntah, sulit makan, heartburn, dan nyeri
epigastrium. Gejala dapat disertai juga dengan hematemesis dan melena.24
e. Diagnosis
Penting menentukan sejumlah masalah penting, yaitu keberadaan, keparahan, luasnya,
etiologi, dan potensi komplikasi esofagitis. Oleh karena itu, anamnesis merupakan salah satu
kunci dalam menentukan diagnosis esophagitis. Memang, dalam kasus GERD tanpa komplikasi,
tidak ada investigasi yang dapat diindikasikan, dan langkah-langkah terapeutik sederhana atau
bahkan uji coba obat anti-refluks lini pertama seperti ranitidin dapat menjadi manuver diagnostik
dan terapi lini pertama. Analisis pH esofagus ambulan akan memberikan indikasi sifat dan
keparahan refluks asam atau alkali, sedangkan endoskopi dengan biopsi mengungkapkan sifat
dan keparahan esofagitis dan patologi lain pada saluran gastrointestinal atas, dan penyelidikan
seperti seri barium gastrointestinal atas hanya akan memberi tahu kita tentang kelainan anatomi
dan jelas merupakan metode yang tidak memadai untuk melihat esofagitis.24
f. Tatalaksana
Tatalaksana esofagitis dilakukan berdasarkan penyebab yang mendasarinya, dimana
diagnosis penyakit dasar yang akurat ditemukan berdasarkan endoskopi saluran cerna atas dan
pemeriksaan histologi. Pengobatan simtomatik dapat termasuk antasida untuk esofagitis refluks
ringan atau esofagitis virus pada host imunokompeten. Indikasi rawat inap jika pasien mengalami
perdarahan yang signifikan, kompromi hemodinamik, obstruksi, perforasi, atau gangguan
pernapasan atau tidak dapat makan sendiri.23

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


 Refluks gastroesofageal
Tatalaksana refluks gastroesofageal ringan dengan cara memposisikan kepala lebih tinggi,
pemberian makanan dengan jumlah yang lebih sedikit namun sering, dan berpuasa setidaknya
2 jam sebelum tidur.Terapi medikamentosa seperti bloker-H2 bisa memperbaiki esofagitis,
tetapi efeknya pada refluks gastroesofageal tidak bisa dinilai dengan pH karena bloker-H 2
menetralisasi asam lambung. Ranitidin dosis tinggi (6-7 mg/kgBB/dosis 3 kali sehari)
ditunjukkan memiliki efektivitas yang sama dengan omeprazol pada esofagitis refluks
refrakter pada anak-anak dengan dan tanpa gangguan perkembangan. Inhibitor Pompa Proton
(PPI) harus digunakan ketika refluks esofagitis didiagnosis karena efek PPI lebih
berkelanjutan dan kuat.23,24
 Esophagitis korosif
Tatalaksana pada esophagitis korosif mengikuti dari penyebab terjadinya esofagitis.
Penyebab terseringnya adalah tertelan atau konsumsi cairan basa seperti cairan pembersih
rumah tangga. Jika terjadi gangguan pernapasan yang berat dapat dilakukan pemasangan
intubasi endotracheal. Jika tertelan cairan asam atau basa, melakukan induksi muntah atau
bilas lambung tidak diperbolehkan karena dapat memperluas cedera pada esofagus. Anak-
anak perlu dilakukan observasi, pemberian intravena hidrasi sampai dilakukan endoskopi,
serta perlu dilakukan pemantauan tanda-tanda vital dan distress pernapasan. Pemberain
antibiotik spektrum luas pada cedera yang berat dapat diberikan untuk menghindari infeksi
sekunder.23
 Esofagitis infeksi
Pemberian antivirus, atau antibiotik dapat dilakukan tergantung etiologi terjadinya
esofagitis infeksi.23

2.3 Evaluasi Anemia Pada Perdarahan


Anemia dapat bersifat kronik dan tidak berhubungan dengan keluhan utama dapat pula
diakibatkan perdarahan akut. Manifestasi klinis dan gejala pasien ditentukan oleh kecepatan
perkembangan anemia, perluasan anemia, usia pasien, kemampuan kompensasi sistem
kardiovaskuler dalam penurunan kapasitas oksigen. Keluhan pasien biasanya lemah lesu,
kelelahan, palpitasi, gejala orthostatik, dan dispnea dengan aktivitas minimal. Pasien juga
mengalami konjunctiva, kulit dan ujung-ujung kuku yang pucat. Takipnea saat istirahat dan
hipotensi adalah late signs. Pasien dengan gejala perdarahan dapat tidak menunjukan lokasi
perdarahan yang jelas.25
Penurunan jumlah eritrosit, hemoglobin, hematokrit adalah penunjang diagnostik untuk
anemia. Evaluasi awal untuk anemia yang baru didiagnosis meliputi pemeriksaan darah rutin,
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
indeks RBC, hitung retikulosit, pemeriksaan darah samar feses, dan pemeriksaan apusan darah
tepi. Mean corpuscular volume dan hitung retikulosit dapat membantu menglasifikasikan jenis
anemia dan diagnosis banding.25

2.4 Demam Tifoid


Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam tifoid
adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau
tanpa gangguan kesadaran.26,27
2.2.4.1 Epidemiologi Demam Tifoid
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.29Di negara berkembang,
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/
tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.28
Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai natural reservoir).
Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui sekret saluran
nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada di
luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu,
atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi hanya dapat hidup kurang
dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp
63°C).26
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan yang
tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama
dengan tinja (melalui rute oral fekal). Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu
hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-
fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan
sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.26

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


2.2.4.2 Etiologi Demam Tifoid

Gambar 2.2. Mikroskopik Salmonella typhii


Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi.
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B (S.
Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii). Salmonella typhi sama dengan Salmonella
yang lain adalah bakteri Gram- negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk
spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida,
flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida.
Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding
sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang
berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.26
2.2.4.3 Patogenesis Demam Tifoid
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism,
yaitu: 26,29
1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch
2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus
limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial
3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah
4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan
meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit
dan air ke dalam lumen intestinal.
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos
masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui,

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah
bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post
gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.
26,29

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum. Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika. 26,29
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik. 26,29
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.26,29
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S. typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus. 26,29
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus,
dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi,
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
dan gangguan organ lainnya. 26,29
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga
endotoksin dari Salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler,
yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi
sistem imunologis. 26,29

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


Gambar 2.3. Patogenesis Demam Tifoid
2.2.4.4 Manifestasi Klinis Demam Tifoid
Manifestasi klinis pada demam tifoid bisa bervariasi dari yang ringan hingga berat, dari
asimptomatik sampai dengan gejala yang khas. Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama
10-14 hari. Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dangejala serupa
dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi, dan epistaksis. Sifat demam adalah meningkat perlahan- lahan terutama pada
sore hingga malam hari. 27
Gejala klinis yang ditemukan pada minggu kedua menjadi lebih jelas berupa demam,

bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit),
lidah berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, sopor, koma, delirium atau psikosis. Roseolae
jarang ditemukan pada orang Indonesia.27
2.2.4.5 Pemeriksaan Penunjang Demam Tifoid
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok, yaitu : 34
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia,
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi
lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif,
aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. Gambaran sumsum
tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid sistem normal, jumlah megakariosit
dalam batas normal.26,29, 32
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan
ke dalam tabung tanpa antikoagulan. 32
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut,
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit). 32

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :32
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Maksud
uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam
tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih
lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih
cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6
bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul
lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap
S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan
diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi. 32
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu : 32
 Faktor yang berhubungan dengan penderita :
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam
akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
 Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.

Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:32


A) Negatif Palsu
a) Pemeriksaan terlalu dini → antibodi Belum terbentuk
b) gizi buruk,imunodefisensi,keganasan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


c) Th/ a.b. Dini → antibodi tdk terbentuk
B) Positif Palsu
1. salmonella grup D e.g. Enteritidis
2. Enterobacteriaceae
3. Antigen dari pabrik yg berbeda
4. Silent infection (endemis )

b) Tes TUBEX

Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi
akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit. 32

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat
digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di
negara berkembang.32
Ada 4 interpretasi hasil: 32
 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut: 32


 Immunodominan yang kuat
 Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan H
kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel B.
 Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga respon
antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
 Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat melalui
aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
 Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan baik di
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
alam maupun diantara mikroorganisme

Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX: 34


 Mendeteksi infeksi akut Salmonella
 Muncul pada hari ke 3 demam
 Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
 Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
 Hasil dapat diperoleh lebih cepat

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT


Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada
demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada
fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid
yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan

antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan

modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik.32
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila
dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas
uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji

Widal positif.Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan
bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat. 32
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain,
murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan
alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas
kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa
antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil
selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah
penerimaan serum pasien.32
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG,
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis. 32
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
humanimmobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah
distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 32
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas. 32

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.
typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau
dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih
mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan
pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. 32
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa
faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah
yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah. 32
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL.Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk
kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit
dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.
typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut. 32
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan
pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-
80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50%
pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita
yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah
dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.Bakteri dalam feses ditemukan
meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun
secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum
tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi
dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama
perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan
kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan
kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil
yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko
aspirasi terutama pada anak.Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa
sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur
sumsum tulang.32,33
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media
yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat
minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu
pengambilan spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi,
pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala
berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk
dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.32
4. Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan
teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase
chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S.
typhi.32
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi
risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila
prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam
spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam
spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya
yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari
spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.32
2.2.4. 5 Diagnosis Demam Tifoid
Demam tifoid biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul
setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan,
dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan
manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise,
anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta
gangguan status mental.32
Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian
pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak
yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu
panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen
dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan
suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan
dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada
kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung
singkat (2- 3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda
klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.32
Diagnosis pasti demam tifoid berdasarkanpemeriksaan laboratorium
didasarkan pada 3 prinsip, yaitu isolasi bakteri, deteksi antigen mikroba, titrasi
antibodi terhadap organisme penyebab. Kultur darah merupakan gold standard
metode diagnostik dan hasilnya positif pada 60-80% dari pasien. Untuk daerah
endemik dimana sering terjadi penggunaan antibiotik yang tinggi, sensitivitas
kultur darah rendah. 32
2.2.4.6 Diagnosis Banding Demam Tifoid
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara
klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis,
bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh
mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, infeksi
saluran kemih, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan.
Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin
dapat sebagai dignosis banding.26
2.2.4.7 Penatalaksanaan Demam Tifoid
1. Non Medika Mentosa31
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat
adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus
setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu
tubuh yaitu denganpemberian kompres hangat pada daerah tubuhakan
memberikan sinyal ke hipotalamusmelalui sumsum tulang belakang.
Ketikareseptor yang peka terhadap panas dihipotalamus dirangsang, sistem
efektormengeluarkan sinyal yang memulaiberkeringat dan vasodilatasi
perifer.Perubahan ukuran pembuluh darah diatur olehpusat vasomotor pada
medulla oblongata daritangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamikbagian anterior
sehingga terjadi vasodilatasi.Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan
pembuangan/ kehilangan energi/ panas melaluikulit meningkat (berkeringat),
diharapkanakan terjadi penurunan suhu tubuh sehinggamencapai keadaan normal
kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus.
Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha
menurunkannya begitu juga sebaliknya.33
2. Medika Mentosa Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran
cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk
diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat
diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.33
a) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :26,29,30

Kloramfenikol, masih merupakan pilihan untuk mengobati demam
tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4x500 mg per hari dapat diberikan
secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.
Penyuntikan intra muscular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini
tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.30

Tiamfenikol, dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid
hamper sama dengan kloramfenikol akan tetapi komplikasi hematologi
seperti kemungkinan terjadinya anemia apalstik lebih rendah dari
kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4x500 mg.30

Kotrimoksazol, efektivitas obat ini hamper sama dengan kloramfenikol,
dosis untuk dewasa 2x2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400
mg dan 80 mg trimethoprim) diberikan selama 2 minggu.30

Ampisilin dan Amoksilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan
demam lebih rendah dari kloramfenikol. Dosis yang diberikan sekitar 50-
150mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.30

Sefalosporin Generasi ketiga. Golongan yang terbukti efektif untuk
demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah 3-4 gram
dalam dextrose 100cc diberikan selama setengah jam per infus sekali sehari,
diberikan selama 3-5 hari. 30

Azitromisin, secara signifikan mengurangi kegagalan klinis dan durasi
rawat inap. Jika dibandingkan seftriakson, penggunaan azitromisin dapat
mengurangi angka relaps. Azitromisin mampu menghasilkan konsentrasi
dalam darah cenderung rendah. Antibiotika akan terkonsentrasi dalam sel,
sehingga antibiotika ini menjadi ideal untuk digunakan dalam pengobatan
infeksi oleh s. typhi yang merupakan kuman intraselular. Keuntungan lain
adalah azitromisin tersedia dalam bentuk sediaan oral maupun suntikan
intravena.30
b) Kombinasi obat antibiotika
Indikasi kombinasi obat antibiotika hanya pada kondisi tertentu seperti
toksik tifoid, peritonitis atau perforasi serta syok septik, yang pernah terbukti
ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman salmonella. 30
c) Pengobatan demam tifoid pada wanita hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ketiga kehamilan karena
dikhawatirkan dapat terjadi partus premature, kematian fetus intrauterine, dan
grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester
pertama kehamilan karena kemungkinan efek teratogenic terhadap fetus pada
manusia. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksilin dan seftriakson. 30
2.2.4.7 Komplikasi Demam Tifoid
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :29
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan
benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan
tanda – tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada
bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang
dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang
dibuat dalam keadaan tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang, dan
nyeri tekan.
2. Komplikasi diluar usus halus
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan
oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul pada
awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru,
efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua
dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka
penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa
kesadaran menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak
dalam batas normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya
jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan
pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas
sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella
havana dan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis
tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering
terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain
: sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I,
aritmia, supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi
melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis
dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering
dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal
ginjal maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit
demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier
temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10%
pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu
setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk
sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier
adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis.
Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin
memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.
2.2.4.7 Pencegahan Demam Tifoid
Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:27
 Cuci tangan
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan
demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air
(diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau
mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih
tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air.
 Hindari minum air yang tidak dimasak
Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik
tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar
botol atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di
dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak
menelan air di pancuran kamar mandi.
 Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak
daripada yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-
hal sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah
buah dan sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan
sayuran tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak
segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk
mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas.
 Pilih makanan yang masih panas
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang.
Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57°C
beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi.
Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari
membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.
Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid,
berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
 Sering cuci tangan.
Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari
penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan
sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum
makan dan setelah menggunakan toilet.
 Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali
sehari.
 Hindari memegang makanan.
Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata
bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau
fasilitas kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes
memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.
 Gunakan barang pribadi yang terpisah.
Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci
dengan menggunakan air dan sabun.
2.2.4.8 Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi
Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan
mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman,
perbaikan sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai.
Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi
berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid.26,27
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni: 26,27
 Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)
Vaksin yang mengandung Salmonella typhigalur Ty 21a. Diberikan per oral
tiga kali dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan
pada wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam,
sedang minum antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada
anak berumur diatas 2 tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.
 Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhiyang dimatikan yang
mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa
0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2
dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek
samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan
nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan demam,
hamil, dan riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak
beredar lagi, mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan
yang pendek.
 Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella.
Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5
tahun selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25
mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara
intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini
dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam,
dan anak kecil 2 tahun.
2.2.4.8 Prognosis Demam Tifoid
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan
terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang,
angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan,
dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau
perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.35,36
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi
≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier
pada anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-
5% dari seluruh pasien demam tifoid. 35,36

BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. SEI
Umur : 13 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 02 Agustus 2005
Agama : Islam
Nama ayah : Tn. I
Nama Ibu : Ny. E
Alamat : Asrama TNI-AD Ganting Blok E No. 18, Padang
Tanggal Masuk : 27/07/2019
No.Rekam medis : 01.05.64.00

II. ANAMNESIS

Anamnesis diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) serta ayah dan ibu
kandung pasien (alloanamnesis).
Seorang anak perempuan berusia 13 tahun dirawat di bangsal anak RSUP Dr.M.
Djamil Padang pada tanggal 27 Juli 2019 dengan :
A. Keluhan Utama
Tampak pucat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
 Tampak pucat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pucat
dirasakan bertambah 1 hari ini
 Demam sejak 3 minggu yang lalu, demam hilang timbul, demam dirasakan
terutama menjelang sore hingga malam hari, tidak menggigil, tidak
berkeringat, demam tidak disertai kejang
 BAB encer sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, frekuensi 2 kali/hari,
warna kehitaman, jumlah sekitar ½ - 1 gelas, konsistensi air lebih banyak
dari ampas, tidak berlendir
 Muntah sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, frekuensi ± 5 kali per
hari, jumlah ½ gelas, tidak menyemprot, berisi sisa makanan dan minuman
 Penurunan nafsu makan dirasakan sejak 2 hari ini, riwayat penurunan
nafsu makan sebelumnya disangkal
 Nyeri ulu hati sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit disertai nyeri di
perut bawah pusar sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, tidak melilit,
terkadang perut dirasakan kembung
 Riwayat lemah letih lesu ada sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit,
riwayat mudah lelah saat istirahat sebelumnya disangkal
 Tidak ada tanda perdarahan di gusi, kulit, maupun hidung
 Riwayat keluar cacing saat BAB disangkal, riwayat sering gatal di anus
saat malam disangkal
 Batuk tidak ada sesak tidak ada, riwayat minum obat-obatan jangka
panjang disangkal
 BAK jumlah dan warna biasa
 Riwayat nyeri perut berulang disangkal
 Riwayat sering makan terlambat disangkal. Riwayat mengomsumsi mie
pedas dan makanan pedas ada, anak mengatakan ada memakan pecel ayam
1 hari sebelum masuk rumah sakit yang sangat pedas, dan menyebabkan
sakit perut serta mencret
 Riwayat konsumsi minuman dingin kaki lima ada sehari-hari saat anak
sekolah ada, sekitar 2 minggu sebelum masuk rumah sakit
 Riwayat lidah putih dengan tepi merah ada 2 minggu sebelum masuk
rumah sakit
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengeluhkan hal seperti ini sebelumnya
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti pasien
E. Riwayat Persalinan
 Lama hamil : Cukup bulan (38-39 minggu)
 Cara lahir : Spontan
 Ditolong oleh : Bidan
 Berat lahir : 4.100 g
 Panjang lahir : lupa
 Saat lahir : Langsung menangis kuat
Kesan : Riwayat persalinan normal, cukup bulan, tidak ada
asfiksia janin
F. Riwayat Makanan dan Minuman
 Bayi: Susu formula usia 0 – 12 bulan
Nasi tim sejak usia 6 bulan
Susu formula (-)
 Anak: Nasi keluarga sejak usia 1 tahun, 3 kali/hari, menghabiskan 1 porsi
Daging : 2 kali / minggu
Ikan : 3 kali / minggu
Telur : 3 kali / minggu
Sayur : 7 kali / minggu
Buah : 4 kali / minggu
Kesan: kualitas dan kuantitas makanan cukup
G. Riwayat Imunisasi

Imunisasi Dasar (Umur) Booster (Umur)


BCG 1 bulan (+ scar) -
DPT 1 2 bulan -
2 4 bulan -
3 6 bulan -
Polio 1 2 bulan 5 tahun
2 4 bulan -
3 6 bulan -
Hepatitis B 1 0 bulan -
2 1 bulan -
3 6 bulan -
Haemofilus influenza B 1 -
2 -
3 -
Campak 9 bulan -
Kesan: Imunisasi dasar lengkap

H. Riwayat Tumbuh Kembang

Riwayat
Pertumbuhan Riwayat Gangguan
Umur Umur
dan Perkembangan Mental
Perkembangan
Tertawa 2 bulan Isap jempol -
Miring 2,5 bulan Gigit kuku -
Tengkurap 3 bulan Sering mimpi -
Duduk 6 bulan Mengompol -
Merangkak 7 bulan Aktif sekali -
Berdiri 8 bulan Apatik -
Lari 9 bulan Membangkang -
Gigi pertama 9 bulan Ketakutan -
Bicara 12 bulan Pergaulan jelek -
Membaca 5 tahun Kesukaran belajar -
Prestasi di
Baik
sekolah
Kesan: Riwayat pertumbuhan dan perkembangan normal sesuai usia.

I. Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Nama Tn. I Ny.E
Umur 54 tahun 54 tahun
Pendidikan SMA SMA
Pekerjaan Swasta IRT
Penghasilan Rp 800.000,- -
Perkawinan 1 1
Penyakit yang pernah diderita Asma Tidak ada

No. Saudara Kandung Umur Keadaan Sekarang


1 Laki-laki 30 tahun Sehat
2 Laki-laki 29 tahun Sehat
3 Perempuan 22 tahun Sehat
4 Laki-laki 16 tahun Sehat
6 Perempuan 13 tahun Pasien

J. Riwayat Perumahan dan Lingkungan


 Rumah tempat tinggal : Rumah permanen
 Sumber air minum : PDAM
 Jamban : Di dalam rumah
 Pekarangan : Luas
 Sampah : Dibuang ke TPA
Kesan : Higiene dan sanitasi cukup baik

III. PEMERIKSAAN FISIK (31 Juli 2019)

Keadaan umum : Sakit sedang BB/U : 102 %


Kesadaran : Komposmentis TB/U : 96,25 %
Tekanan darah : 110/80 mmHg BB/TB : 113 %
Frekuensi nadi : 91 x/menit Status gizi : overweight
Frekuensi napas : 19 x/menit Edema : tidak ada
Suhu : 36,8ºC Ikterus : tidak ada
BB : 50 kg Anemia : ada
PB : 154 cm Sianosis : tidak ada
Kulit : tampak pucat, akral teraba hangat
Kelenjar getah bening: tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening leher,
aksila, inguinal
Kepala : normocephal, simetris
Rambut : hitam, tidak mudah rontok
Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera tidak ikterik
Telinga : tidak ditemukan kelainan, sekret (-)
Hidung : tidak ditemukan kelainan
Tenggorok : tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis
Gigi dan mulut : mukosa mulut dan bibir basah
Toraks : normochest, retraksi tidak ada
Paru :
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris kiri = kanan
Palpasi : fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor kiri = kanan
Auskultasi : suara napas bronkovesikuler, ronkhi-/-, wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : iktus cordis teraba di 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas atas (RIC II), kanan (LSD), kiri (1 jari medial
LMCS kiri RIC V)
Auskultasi : irama teratur, bising tidak ada
Abdomen:
Inspeksi : distensi tidak ada
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : tidak ada kelainan
Genitalia : A2M3P2
Anggota gerak : akral hangat, perfusi baik, CRT < 2 detik
IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hematologi (27 Juli 2019)

Hb : 6,3 g/dL

Leukosit : 9.890 / mm3

Eritrosit : 2,32 juta

Trombosit : 295.000 /mm3

Hematokrit : 20 %

Hitung jenis : 1/1/2/61/31/4

Retikulosit : 1,96 %

PT : 10,5 detik

APTT : 29,5 detik
Kesan : anemia berat

Kimia Klinik (27 Juli 2019)


 Bilirubin total : 0,2 mg/dl
 Bilirubin direk : 0,1 mg/dl
 Bilirubin indirek : 0,1 mg/dl
 SGOT : 22 u/l
 SGPT : 13 u/l
 LFG : 122
 GDS : 176 mg/dL
 LDH : 507 u/L
 Ureum : 25 mg/dL
 Kreatinin : 0,7 mg/dL
 Kalsium : 8 mg/dL
 Natrium : 136 mmol/L
 Kalium : 4,7 mmol/L
 Klorida : 105 mmol/L
Kesan : kalium total menurun

Urinalisa (27 Agustus 2019)


 Makroskopis
o Warna : Kuning
o Kekeruhan : Positif
o BJ : 1.015
o pH : 6,0
 Mikroskopis
o Leukosit : 6-8/LPB
o Eritrosit : 0-1/LPB
o Silinder : Negatif
o Kristal : Negatif
o Epitel : Gepeng
 Kimia
o Protein : Negatif
o Glukosa : Negatif
o Bilirubin : Negatif
o Urobilinogen : Positif
Kesan : ditemukan leukosit 6-8/LPB

Hematologi (29 Juli 2019)



Hb : 8 g/dL

Leukosit : 7.540 / mm3

Eritrosit : 2,83 juta

Trombosit : 275.000 /mm3

Hematokrit : 24 %

Retikulosit : 3,7 %

Hitung jenis : 0/0/1/66/30/3

MCV : 85 fL

MCH : 28 pg

MCHC : 33%
Kesan : Anemia normositik normokrom, neutrofilia shift to the right
: Tidak ditemukan blast

Serologis (01 Agustus 2019)

Uji Tubex TF : 6
Procalsitonin : 0,5 ng/mL
Kesan : Tubex TF positif kuat
Low risk to severe sepsis

VI. DIAGNOSIS KERJA


Anemia Gravis ec Melena ec Suspect Ulkus Peptikum + Demam Tifoid
VII. DIAGNOSIS BANDING
Anemia Gravis ec Melena ec Suspect Gastritis Erosif + Demam Tifoid

V. TATALAKSANA
 Tata Laksana Gawat Darurat
 Os puasa sementara
 Pemasangan NGT dan Folley Catheter
 IVFD 2A 20 tpm (makro) 2000cc/hari = 83 cc/jam
 Ranitidine 2 x 50 mg (iv)
 Omeprazole 2 x 50 mg (iv)
 Transfusi PRC 1 x 250 cc
 Tata Laksana Nutrisi
 MC Free Lactose 6 x 100 kkal
 MCG 6 x 300 cc
 IVFD Kaen 1B 57 cc/jam
 Tata Laksana Medikamentosa
 Ranitidine 2 x 45 mg (iv)
 Omeprazole 1 x 45 mg (iv)
 Ceftriaxone 1 x 100 mg (iv)
 Transfusi PRC 2 x 250 cc (bila Hb ≤ 8 gram/dl)

VI. RENCANA PEMERIKSAAN


 Rencana pemeriksaan endoskopi (gastroduodenoskopi)
 Rencana pemeriksaan profil lipid, elektrolit, albumin, PT/APTT,
SGOT/SGPT

VII. FOLLOW UP PASIEN


01/08/2019 S/ Anak tidak demam, tidak kejang, tidak sesak, BAK
cukup, warna sedikit kemerahan, BAB kuning
O/
berlendir, antibiotik ceftriaxone hari ke-1
Ku kesadaran TD HR RR T
Sedang CM 90/50 96 x/i 20 x/i 37⁰ C
Mata : konjungtiva anemis +/+, sclera tidak ikterik
Thoraks : Retraksi epigastrium (-), Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: distensi (-), BU (+) normal
Ekstremitas : CRT < 2’, akral hangat
A/ BB = 45 kg
 Riwayat melena ec Gastritis Erosif dd/ Ulkus

P/ Peptikum
 Demam Tifoid dalam pengobatan
 MC 6 x 300 cc
 IVFD Kaen 1B 57 cc/jam
 Ranitidine 2 x 45 mg (iv)
 Omeprazole 1 x 45 mg (iv)
 Ceftriaxone 1 x 100 mg (iv)
 Rencana endoskopi (03/08/2019)
 Kultur feses
02/08/2019 S/ Anak tidak demam, tidak kejang, tidak sesak, BAK
cukup, warna kuning jernih, BAB ada tidak ada
O/
keluhan, antibiotik ceftriaxone hari ke-2
Ku kesadaran TD HR RR T
Sedang CM 95/60 100 x/i 20 x/i 36,8⁰ C
Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera tidak ikterik
Thoraks : Retraksi epigastrium (-), Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: distensi (-), BU (+) normal
Ekstremitas : CRT < 2’, akral hangat
A/ BB = 44 kg
 Riwayat melena ec Gastritis Erosif dd/ ulkus

P/ peptikum
 Demam tifoid dalam pengobatan
 MC 6 x 300 cc (puasa mulai jam 03.00 malam)
 Rencana endoskopi (03/08/2019)
 IVFD Kaen 1B 57 cc/jam
 Ranitidine 2 x 45 mg (iv)
 Omeprazole 1 x 45 mg (iv)
 Ceftriaxone 1 x 100 mg (iv)
03/08/19 S/ Anak tidak demam, tidak kejang, tidak sesak, BAK
tidak ada keluhan, BAB belum ada, antibiotik
O/ ceftriaxone hari ke-3. Pasien disiapkan untuk
gastroduodenoskopi di ok.
Ku kesadaran TD HR RR T
Sedang CM 90/50 96 x/i 20 x/i 37⁰ C
Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera tidak ikterik
Thoraks : Retraksi epigastrium (-), Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: distensi (-), BU (+) normal
A/
Ekstremitas : CRT < 2’, akral hangat
BB = 42 kg
P/  Esofagitis + Gastritis Hemoragik Demam tifoid
dalam pengobatan
MC 6 x 300 cc
 IVFD Kaen 1B 57 cc/jam
BAB IV
DISKUSI

Seorang anak perempuan berusia 13 tahun dirawat di Bangsal Anak RSUP


Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 27 Agustus 2019 dengan diagnosis kerja
Anemia Gravis ec Melena ec Suspect Ulkus Peptikum + Demam Tifoid.
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium. Berdasarkan anamnesis, pasien tampak pucat sejak 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit, dimana pucat dirasakan bertambah sejak 1 hari ini.
Pucat merupakan manifestasi yang muncul akibat adanya perdarahan yang
berlangsung, diawali pucat di konjunctiva, kulit dan ujung-ujung kuku.
Manifestasi klinis dan gejala anemia ini ditentukan oleh kecepatan perkembangan
anemia, perluasan anemia, usia pasien, kemampuan kompensasi sistem
kardiovaskuler dalam penurunan kapasitas oksigen. Anemia adalah berkurangnya
kadar Hb dalam darah sehingga terjadi gangguan perfusi O2 ke jaringan tubuh.
Disebut anemia gravis yang artinya berat dan nilai Hb di bawah 7 g/dl sehingga
25
memerlukan tambahan umumnya melalui transfusi. Dimana pada kasus ini,
dilakukan pemberian transfusi 1 x 250 cc PRC untuk mengatasi anemia pasien.
Selain itu, pasien juga mengeluhkan demam sejak 3 minggu yang lalu,
demam hilang timbul, dirasakan terutama menjelang sore hingga malam hari,
tidak menggigil dan tidak berkeringat, serta tidak disertai kejang. Dari anamnesis
juga didapatkan pasien mengeluhkan BAB encer warna kehitaman dan muntah
sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, disertai perut terasa kembung dan nyeri.
Keluhan demam terutama pada sore menjelang malam hari merupakan gejala
yang khas untuk demam tifoid, yang disebabkan oleh infeksi Salmonella
thyphosa. Bakteri gram negatif ini akan menyebabkan sistem imunitas melepasan
mediator inflamasi yang dapat menimbulkan reaksi inflamasi sistemik, seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut, serta diare diselingi
konstipasi. Bakteri yang menempel di lapisan Peyer Patch juga dapat menunjukan
manifestasi perdarahan saluran cerna akibat erosi pembuluh darah sekitar Peyer
Patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel-sel
polimorfonuklear di dinding usus.26,29
Ini merupakan kali pertama pasien mengeluhkan gejala tersebut di atas.
Sebelumnya, pasien menyangkal sering terlambat makan. Pasien mengatakan ada
mengomsumsi mie dan makanan pedas, dan mengatakan sebelumnya ada
memakan pecel ayam yang sangat pedas lalu menyebabkan anak sakit perut serta
mencret 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga menyatakan adanya
konsumsi minuman dingin di jajanan kaki lima saat sekolah. Salmonella
Thyphosa sebagai bakteri penyebab demam tifoid dapat hidup di lingkungan luar
tubuh, selama beberapa minggu dan menempel di pakaian, di kotoran, air, es,
debu, dll. Terjadinya penularan biasanya melalui makanan atau minuman yang
tercemar, oleh kuman yang disekresikan penderita biasanya melalui tinja. 26,29
Pasien sebelumnya dibawa ke puskesmas oleh keluarga pasien, dan dinyatakan
menderita demam tifoid. Keluarga kemudian memberi buah bit dan obat-obatan
merek China dengan alasan kultural dan kebiasaan. Pasien kemudian dibawa ke
IGD RSUP dr. M. Djamil karena tampak semakin pucat sejak 1 hari ini.
Keluhan dan klinis pucat disebabkan adanya sumber perdarahan. Dimana,
pada kasus ini, klinis perdarahan dengan sumber saluran cerna ditunjukan oleh
adanya buang air besar yang berwarna kehitaman, yang dikenal sebagai melena.
Melena adalah tinja yang keluar berupa cairan berwarna hitam seperti aspal dan
merupakan manifestasi perdarahan saluran cerna atas. Warna hitam pekat
disebabkan oleh hematin, yaitu produk oksidatif heme yang diproduksi oleh
bakteri usus.1,9 Perdarahan saluran cerna atas ini awalnya diduga disebabkan oleh
ulkus peptikum yang didiagnosis banding dengan gastritis erosif. Ulkus peptikum
adalah lesi mukosa yang dalam berupa kerusakan lapisan mukosa muskularis
dinding lambung ataupun duodenum. Gastritis erosif adalah kondisi yang ditandai
oleh adanya sel-sel inflamasi disertai proses erosi pada mukosa lambung, sebagai
respon terhadap iskemia, bahan kimia, dan trauma.16,18
Namun, setelah dilakukan pemeriksaan Gastruduodenoskopi pada tanggal
06 Agustus 2019 sebagai pemeriksaan gold standard untuk penegakan diagnosis
perdarahan saluran cerna, didapatkan diagnosa pasien adalah gastritis hemoragik
dan esofagitis. Peradangan mukosa lambung disertai klinis hemoragik umumnya
ditandai dengan nyeri perut yang rekuren. Namun, pasien menyatakan tidak
pernah merasakan nyeri perut berulang sebelumnya. Esofagitis merupakan
inflamasi pada esofagus, yang ditandai rasa terbakar, nyeri dada, disfagia, mual
muntah serta melena dan nyeri epigastrium pada anak usia > 10 tahun. Esofagitis
dapat terjadi akibat lemahnya pertahanan esofagus terhadap refluks asam dari
lambung.22
Pasien kemudian dipuasakan sementara, dilakukan pemasangan NGT untuk
dekompresi dan observasi perdarahan terutama jika berasal dari gaster kemudian
dilakukan pemasangan kateter folley untuk mengontrol balanced cairan.
Kemudian dilakukan pemasangan IVFD 2A 2000cc/hari (BB 50 kg), sebanyak 83
cc/ jam. Cairan infus 2A merupakan kombinasi dari kristaloid dan koloid yang
mengandung glukosa 5% dan natrium klorida 0,9%, dengan perbandingan 1:1.
Pasien juga diberikan IVFD Kaen 1B yang mengandung Natrium, Klorida,
Dextrose.
Pasien juga diberikan injeksi Ranitidine 2 x 50 mg dan injeksi Omeprazole
2 x 50 mg. Ulkus peptikum mempunyai dua tujuan, yaitu menyembuhkan ulkus
dan eliminasi penyebab utama. Lini pertama untuk ukus peptikum pada anak
adalah antagonis reseptor H2 dan PPI. Pemberian medikamentosa berdasarkan
pengendalian produksi asam lambung agar pH lambung meningkat di atas kisaran
daya proteolitik pepsin sehingga lesi yang terjadi dapat sembuh. Medikamentosa
yang paling sering digunakan adalah ranitidin dan omeprazol. Dosis ranitidin iv
1,5 mg/kg, untuk peroral 6-8 mg/kg/hari dibagi 2-3 kali. Omeprazol oral/iv 0,3-
3,5 mg/kg. Pemberian Proton Pump Inhibitor (PPI) pada perdarahan saluran cerna
akut secara signifikan lebih efektif menurunkan risiko perdarahan berulang pasca
hemostatis dibandingkan antagonis reseptor H2.20 Pasien juga diberikan injeksi
ceftriaxone 1 x 100 mg, sebagai antibiotik pilihan untuk terapi demam tifoid.
Demam tifoid ditegakkan berdasarkan pemeriksaan Tubex test tanggal 01 Agustus
2019, dengan hasil 6 yang mengindikasikan positif kuat demam tifoid. Klinis
yang mendukung termasuk demam sore hari, riwayat lidah putih dengan pinggir
merah, riwayat konsumsi jajanan pinggir jalan, nyeri epigastrium.26

DAFTAR PUSTAKA
1. Poddar U. Diagnostic and therapeutic approach to upper gastrointestinal
bleeding. Paediatr Int Child Health. 2019 Feb;39(1):18-22.
2. Pinandhito GA, Widowati T, Damayanti W. Profil dan Temuan Klinis Pasien
Perdarahan Saluran Cerna di Departemen Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito
2009-2015. Sari Pediatri. 2017; 19(4):196-200.
3. Tengguna L. Perdarahan Saluran Cerna pada Anak. CDK-257.
2017;44(10):695-9.
4. Jafari et all. Etiology of Gastrointestinal Bleeding in Children Reffered to
Pediatric Wards of Mashhad Hospitals, Iran. Electronic Physician.
2018;10(2):6341-5.
5. Romano C, et all. Pediatric gastrointestinal bleeding: Perspectives from the
Italian Society of Pediatric Gastroenterology. World J Gastroenterol 2017
February 28; 23(8): 1328-1337.
6. Snell RS. Clinical Anatomy By Regions. Vol 9. Philadelpia: Wolters
Kluwer.2008.
7. Paulsen F, Waschke J. Sobotta Atlas of Human Anatomy 15th edition.
Elsevier. 2011. Hal 89
8. Gilger MA, Bure KWV. Upper Gastrointestinal Bleeding. In: Walker, Goutlet,
Klienmann, eds. pediatricsgastrointestinal disease 6 th ed.
9. Nasher O, Devadason D, Stewart R J. Upper Gastrointestinal Bleeding in
Children: A Tertiary United Kingdom Children’s Hospital Experience. 2017;
4(95):1-6.
10. Effendi J, Waleleng BJ, Sugeng C. Profil Pasien Perdarahan Saluran Cerna
Bagian Atas yang Dirawat di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode
2013-2015. Jurnal e-Clinic. 2016; 4(2):1-4
11. Panitia PKB IKA LXI. Kegawatan pada Bayi dan Anak. Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2012: 24-31.
12. Khan S, Orenstein SR. Esophageal Varices. Dalam: Nelson Textbook of
Pediatrics.Kliegman Stanton,Geme St, Schor.2016;326:1793
13. World Gastroenterology organization. Esophageal Varices.2014.p1-13
14. Soeparto P, Ranuh R. Buku Ajar Gastroenterologi Hepatologi IDAI. UKK
Gastroenterologi Hepatologi IDAI. 2009.
15. Gershman G. Therapeutic upper GI endoscopy. In : Practical Pediatric
Gastrointestinal Endoscopy. 2012:82-102
16. Gilger MA, Bure KWV. Upper Gastrointestinal Bleeding. In: Walker, Goutlet,
Klienmann, eds. pediatricsgastrointestinal disease 6 th ed.
17. Hegar B. Infeksi helicobacter pada anak. Indonesia. Sari pediatric. 2016;
2(2):82-89
18. Richardson MM, Chessman K Hammon, Chant C.PSAP VII Book 11
(Gastroenterology and Nutrition): Pharmacotherapy Self-Assessment
Program. American: PSAP VII Book 11 (Gastroenterology and Nutrition):
Pharmacotherapy Self-Assessment Program; 2012.
19. Sierra D, Wood M, Kolli Sneha, Felipez LM. Pediatric in Review. American
Academy of Pediatrics. 2018; 39(2): 542-7
20. Blanchard SS, Czinn SJ. Peptic Ulcer Disease in Children. In Kliegman RM,
Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics, 19th
Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2007: 1291-4
21. Hojsak I. Helicobacter pylori Gastritis and Peptic Ulcer Diseases.
Dalam:Textbook of Peciatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition; A
Comprehensive Guide to Practice. Switzerland: Springer International
Publishing. 2016:143-55.
22. Grossi L, Ciccaglione AF, Marzio L. Esophagitis and its causes: Who is
“guilty” when acid isfound “not guilty”?.World J Gastroenteroly.2017;
23(17): 3011-6.
23. Diamond GH. Pediatric Esophaghitis. Medscape Reference Update Sep 20th
17. Available from http://emedicine.medscape.com/article/288911-print
disitasi 16 Agustus 2019.
24. Thomson M. Esophagitis. In: Walker, Goutlet, Klienmann, eds.
pediatricsgastrointestinal disease 6 th ed.
25. Fitch MT, Joing SA, Wang VJ. Tintinalli’s Emergency Medicine Manual. 8 th
edition. Chapter 133. Editors Cydulka, RK. 2018. p. 719-725
26. Wibisono E, Ade S, Leonard N. Demam Tifoid. Dalam: Kapita Selekta
Kedokteran Jilid 2. Ed 4. Jakarta: Media Aesculapius. 2014; h. 721-723
27. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2008; h. 338-45.
28. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi
1. Jakarta: Salemba Medika; 2002:1-43
29. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa
Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta:
EGC ; 2000.
30. Djoko Widodo. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Jakarta: Internal Publishing
31. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam
Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:
2003. h. 2-20
32. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada
anak. Surabaya: FK UNAIR; 2010. h. 1-10
33. Aden, R. Seputar Penyakit dan Gangguan Lain Pada Anak. Yogyakarta:
Siklus Hanggar Kreator; 2010
34. Sumarmo S. Poorwo Soedarmo, Herry Garna, Sri Rezeki S. Hadinegoro,
Hindra Irawan Satari, et al. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi
kedua. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. h. 338-346
35. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian Demam
Tifoid. 2006
36. Hegar B. Infeksi Helicobacter Pylori pada Anak. Dalam: Sari Pediatri.
Jakarta; 2000; 2:2: h. 82-89

Anda mungkin juga menyukai