Anda di halaman 1dari 32

Case Report Session

PARALISIS PERIODIK

Oleh :

Kenty Regina 1840312455

Preseptor :

dr. Marsal, Sp.S

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUD ADNAAN WD

PAYAKUMBUH

2019
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sinyal listrik pada skeletal, jantung dan saraf merupakan suatu alat untuk
mentrasmisikan suatu informasi secara cepat informasi secara cepat dan jarah
yang jauh. Kontraksi otot skeletal diinisiasi dengan pelepasan ion kalsium oleh
retikulum sarkoplasma, yang kemudian terjadi potensial aksi pada motor end plate
yang dicetuskan oleh depolarisasi dari transverse tubule (T tubule). Ketepatan dan
kecepatan dari jalur sinyal ini tergantung aksi koordinasi beberapa kelas voltage-
sensitive kanal ion. Mutasi dari gen dari kanal ion tersebut akan menyebabkan
kelainan yang diturunkan pada manusia. Kelainan tersebut merupakan
chanelopathies yang cenderung menimbulkan gejala yang paroksismal, miotonia
atau periodik paralisis dari otot-otot skeletal. Defek pada kanal ion tersebut dapat
meningkatkan eksitasi elektrik suatu sel, menurunkan kemampuan eksitasi,
bahkan dapat menyebabkan kehilangan kemampuan eksitasi. Dan kehilangan dari
eksitasi listrik pada otot skeletal merupakan kelainan dasar dari periodik
paralisis.1

Periodik paralisis hipokalemia digambarkan sebagai serangan berulang


kelemahan otot yang dihubungkan dengan punurunan kadar kalium darah. Ada
dua jenis HKPP yaitu tiroksikosis HKPP yang berhubungan dangan tiroksikosis
dan HKPP familial yang merupakan kelainan genetik autosomal dominan.1 Angka
kejadiannya sekitar 1 diantara 100.000 orang, dengan pria lebih sering daripada
wanita dan biasanya lebih berat. Frekuensi serangan terbanyak di usia 15 sampai
35 tahun dan kemudian menurun dengan peningkatan usia.2
Kelemahan otot biasanya terjadi pada keempat anggota gerak. Bila kelainan
belum komplit, kelemahan yang terjadi lebih dominan pada anggota gerak bawah.
Fungsi respirasi, menelan, dan motilitas okuler biasanya tidak terganggu.
Gangguan pada fungsi tersebut mungkin akan terjadi pada saat serangan yang
sangat berat dan dapat mengancam nyawa.1,2
1.2 Batasan Masalah

Laporan kasus ini membahas mengenai definisi, klasifikasi, epidemiologi,


etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, prinsip diagnostik klinis hingga
penatalaksanaan awal kasus periodik paralisis hipokalemia dalam batasan
pelayanan primer yang menjadi kompetensi dokter umum.

1.3 Tujuan Penulisan


Laporan kasus ini ditulis untuk memahami lebih jauh mengenai periodik
paralasis hipokalemia dan penatalaksanaannya di tingkat pelayanan primer.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan laporan kasus ini menggunakan pustaka yang merujuk pada
beberapa buku, guidelines dan jurnal-jurnal penelitian yang terkait dengan kasus
yang dibahas.

1.5 Manfaat Penelitian


Laporan kasus ini dibuat dengan harapan akan menambah pengetahuan dan
memperluas pemahaman mengenai periodik paralisis hipokalemia bagi penulis
dan seluruh tenaga kesehatan yang bekerja di layanan primer. Serta memberikan
kontribusi ilmiah kepada institusi pendidikan dan instansi terkait.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
2.1.1 Kalium
Kalium memiliki fungsi mempertahankan membran potensial elektrik
dalam tubuh dan menghantarkan aliran saraf di otot. Kalium mempunyai peranan
yang dominan dalam hal eksitabilitas sel, terutama sel otot jantung, saraf, dan otot
3
lurik.
Kalium mempunyai peran vital di tingkat sel dan merupakan ion utama
intrasel. Ion ini akan masuk ke dalam sel dengan cara transport aktif, yang
memerlukan energi. Fungsi K nampak jelas terutama berhubungan dengan
aktivitas otot jantung, otot lurik, dan ginjal. Eksitabilitas sel sebanding dengan
rasio kadar K di dalam dan di luar sel. Berarti bahwa setiap perubahan dari rasio
ini akan mempengaruhi fungsi dari sel – sel yang akan menyebabkan timbulnya
keluhan keluhan dan gejala – gejala sehubungan dengan tidak seimbangnya kadar
3,4
kalium

Kadar kalium normal intrasel adalah 135 – 150 mEq/L dan ekstrasel adalah
3,5 – 5,5 mEq/L. Perbedaan kadar yang sangat besar ini dapat bertahan,
tergantung pada metabolisme sel. Dengan demikian situasi di dalam sel adalah
elektronegatif dan terdapat membrane potensial istirahat kurang lebih sebesar -90
mvolt.

2.1.2 Periodik paralisis hipokalemi

Periodik paralisis hipokalemi adalah kelainan yang ditandai dengan


kadar potassium (kalium) yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat
serangan, disertai riwayat episode kelemahan sampai kelumpuhan otot
skeletal. Pada hipokalemia sedang kadar kalium serum 2,5-3 mEq/L, dan
hipokalemia berat kadar kalium serumnya kurang dari 2,5 mEq/L. 4
2.2 EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian adalah sekitar 1 diantara 100.000 orang, pria lebih


sering dari wanita dan biasanya lebih berat. Usia terjadinya serangan pertama
bervariasi dari 1-20 tahun, frekuensi serangan terbanyak di usia 15-35 tahun
dan kemudian menurun dengan peningkatan usia, berbeda dengan Tirotoksik
periodik paralisis biasanya sering mengenai laki-laki muda ras Asian,
termasuk Cina, Jepang, Vietnam, Filiphina dan Korea pada usia 20 – 40 tahun.
Insiden di Amerika Utara dilaporkan sebanyak 0,1-0,2% pasien. Meskipun
hipertiroid sering mengenai wanita, tapi tirotoksik perodik paralisis sering
mengenai laki – laki. Insiden tirotoksik periodik paralisis menurun di Jepang,
namun meningkat pada kota-kota di benua Amerika.

2.3 ETIOLOGI

Hipokalemia periodik paralise biasanya disebabkan oleh kelainan


genetik autosomal dominan. Hal lain yang dapat menyebabakan terjadinya
hipokalemia periodic paralise adalah tirotoksikosis.1

Penyebab lain hipokalemia meliputi:

1. Peningkatan ekskresi kalium berlebihan dari tubuh .


2. Beberapa obat dapat menyebabkan kehilangan kalium yang dapat
menyebabkan hipokalemia. Obat yang umum termasuk diuretik loop
(seperti Furosemide). Obat lain termasuk steroid, licorice, kadang-kadang
aspirin, dan antibiotik tertentu.
3. Ginjal (ginjal) disfungsi - ginjal tidak dapat bekerja dengan baik karena
suatu kondisi yang disebut Asidosis Tubular Ginjal (RTA). Ginjal akan
mengeluarkan terlalu banyak kalium. Obat yang menyebabkan RTA
termasuk Cisplatin dan Amfoterisin B.
4. Kehilangan cairan tubuh karena muntah yang berlebihan, diare, atau
berkeringat.
5. Endokrin atau masalah hormonal (seperti tingkat aldosteron meningkat) -
aldosteron adalah hormon yang mengatur kadar potasium. Penyakit
tertentu dari sistem endokrin, seperti aldosteronisme, atau sindrom
Cushing, dapat menyebabkan kehilangan kalium.
6. Miskin diet asupan kalium

2.4 KLASIFIKASI
Paralisis periodik dibagi menjadi dua golongan berdasarkan
penggolongan secara konvensional yaitu paralisis periodik primer atau
familial dan paralisis periodik sekunder. Paralisis periodik primer atau familial
merupakan kelompok gangguan akibat mutasi gen tunggal yang
mengakibatkan kelainan saluran K, Na, Cl pada sel otot - membran. Oleh
karena itu, ini juga dikenal sebagai channelopathies atau membranopathies 1.
Paralisis periodik sekunder diketahui oleh beberapa penyebab. Pada
paralisis periodik sekunder, tingkat kalium dalam serum tidak normal.
Riwayat penggunaan ACE inhibitor, angiotensin-II-reseptor-blocker, diuretik,
atau carbenoxolone memberikan petunjuk untuk diagnosis paralisis periodik
sekunder. Karakteristik klinis atau biokimia dari gagal ginjal kronis,
tirotoksikosis, paramyotonia kongenital, atau sindrom Andersen dapat
ditemukan kelumpuhan periodik sekunder. Berikut di bawah ini penggolongan
paralisis periodik secara konvensional 1.
A. Paralisis periodik primer atau familial:
1. Paralisis periodik hipokalemik
2. Paralisis periodik hiperkalemik
3. Paralisis periodik normokalemik
Semua di atas diturunkan secara autosomal dominan
B. Paralisis periodik sekunder:
1. Paralisis periodik hipokalemik.
a) Tirotoksikosis
b) Thiazide atau loop-diuretic induced
c) Nefropati yang menyebabkan kehilangan kalium
d) Drug-induced: gentamicin, carbenicillin,amphotericin-B, turunan
tetrasiklin, vitamin B12 , alkohol, carbenoxolone
e) Hiperaldosteron primer atau sekunder
f) Keracunan akut akibat menelan barium karbonat sebagai
rodentisida
g) Gastro-intestinal potassium loss
2. Paralisis periodik hiperkalemik:
a) Gagal ginjal kronis
b) Terapi ACE-inhibitor dosis tinggi, atau nefropati diabetik lanjut
c) Potassium supplements jika digunakan bersama potassium sparing
diuretics (spironolactone, triamterene, amiloride) dan atau ACE-
inhibitors.
d) Andersen’s cardiodysrhythmic syndrome
e) Paramyotonia congenita-periodic paralysis terjadi spontan atau
dipicu oleh paparan suhu dingin
2.5 PATOFISIOLOGI

Kalium adalah kation utama cairan intrasel. Kenyataannya 98 % dari


simpanan tubuh (3000-4000 mEq) berada didalam sel dan 2 % sisanya (kira-
kira 70 mEq) terutama dalam pada kompetemen ECF. Kadar kalium serum
normal adalah 3,5-5,5 mEq/L dan sangat berlawanan dengan kadar di dalam
sel yang sekitar 160 mEq/L. Kalium merupakan bagian terbesar dari zat
terlarut intrasel, sehingga berperan penting dalam menahan cairan di dalam sel
dan mempertahankan volume sel. Kalium ECF, meskipun hanya merupakan
bagian kecil dari kalium total, tetapi sangat berpengaruh dalam fungsi
neuromuskular. Perbedaan kadar kalium dalam kompartemen ICF dan ECF
dipertahankan oleh suatu pompa Na-K aktif yang terdapat dimembran sel.2

Rasio kadar kalium ICF terhadap ECF adalah penentuan utama


potensial membran sel pada jaringan yang dapat tereksitasi, seperti otot
jantung dan otot rangka. Potensial membran istirahat mempersiapkan
pembentukan potensial aksi yang penting untuk fungsi saraf dan otot yang
normal. Kadar kalium ECF jauh lebih rendah dibandingkan kadar di dalam
sel, sehingga sedikit perubahan pada kompartemen ECF akan mengubah rasio
kalium secara bermakna. Sebaliknya, hanya perubahan kalium ICF dalam
jumlah besar yang dapat mengubah rasio ini secara bermakna. Salah satu
akibat dari hal ini adalah efek toksik dari hiperkalemia berat yang dapat
dikurangi kegawatannya dengan meingnduksi pemindahan kalium dari ECF
ke ICF. Selain berperan penting dalam mempertahankan fungsi
nueromuskular yang normal, kalium adalah suatu kofaktor yang penting dalam
sejumlah proses metabolik.2

Homeostasis kalium tubuh dipengaruhi oleh distribusi kalium antara


ECF dan ICF, juga keseimbangan antara asupan dan pengeluaran. Beberapa
faktor hormonal dan nonhormonal juga berperan penting dalam pengaturan
ini, termasuk aldostreon, katekolamin, insulin, dan variabel asam-basa.2

Pada orang dewasa yang sehat, asupan kalium harian adalah sekitar
50-100 mEq. Sehabis makan, semua kalium diabsorpsi akan masuk kedalam
sel dalam beberapa menit, setelah itu ekskresi kalium yang terutama terjadi
melalui ginjal akan berlangsung beberapa jam. Sebagian kecil (<20%) akan
diekskresikan melalui keringat dan feses. Dari saat perpindahan kalium
kedalam sel setelah makan sampai terjadinya ekskresi kalium melalui ginjal
merupakan rangkaian mekanisme yang penting untuk mencegah hiperkalemia
yang berbahaya. Ekskresi kalium melalui ginjal dipengaruhi oleh aldosteron,
natrium tubulus distal dan laju pengeluaran urine. Sekresi aldosteron
dirangsang oleh jumlah natrium yang mencapai tubulus distal dan peningkatan
kalium serum diatas normal, dan tertekan bila kadarnya menurun. Sebagian
besar kalium yang di filtrasikan oleh gromerulus akan di reabsorpsi pada
tubulus proksimal. Aldosteron yang meningkat menyebabkan lebih banyak
kalium yang terekskresi kedalam tubulus distal sebagai penukaran bagi
reabsorpsi natrium atau H+. Kalium yang terekskresi akan diekskresikan
dalam urine. Sekresi kalium dalam tubulus distal juga bergantung pada arus
pengaliran, sehingga peningkatan jumlah cairan yang terbentuk pada tubulus
distal (poliuria) juga akan meningkatkan sekresi kalium.2

Keseimbangan asam basa dan pengaruh hormon mempengaruhi


distribusi kalium antara ECF dan ICF. Asidosis cenderung untuk
memindahkan kalium keluar dari sel, sedangkan alkalosis cenderung
memindahkan dari ECF ke ICF. Tingkat pemindahan ini akan meingkat jika
terjadi gangguan metabolisme asam-basa, dan lebih berat pada alkalosis
dibandingkan dengan asidosis. Beberapa hormon juga berpengaruh terhadap
pemindahan kalium antara ICF dan ECF. Insulin dan Epinefrin merangsang
perpindahan kalium ke dalam sel. Sebaliknya, agonis alfa-adrenergik
menghambat masuknya kalium kedalam sel. Hal ini berperan penting dalam
klinik untuk menangani ketoasidosis diabetik.2

Klasifikasi PP untuk kepentingan klinis, ditunjukkan pada tabel 1,


termasuk tipe hipokalemik, hiperkalemik dan paramyotonia.2

Tabel 2. Periodik paralisis primer.3


Sodium channel Hiperkalemi PP

Paramyotonia kongenital

Potassium-aggravated myotonia

Calcium channel Hipokalemik PP

Chloride channel Becker myotonia kongenital

Thomson myotonia congenital


Dasar fisiologis kelemahan otot flaksid adalah tidak adanya eksitabilitas
membran otot (yakni, sarkolema). Perubahan kadar kalium serum bukan
defek utama pada PP primer; perubahan metabolismse kaliuim adalah akibat
PP. Pada primer dan tirotoksikosis PP, paralisis flaksid terjadi dengan relatif
sedikit perubahan dalam kadar kalium serum, sementara pada PP sekunder,
ditandai kadar kalium serum tidak normal.

Tidak ada mekanisme tunggal yang bertanggung jawab untuk kelainan


pada kelompok penyakit ini. Mekanisme itu heterogen tetapi punya bagian
yang common traits. Kelemahan biasanya secara umum tetapi bisa lokal. Otot
– otot kranial dan pernapsan biasanya tidak terkena. Reflek regang tidak ada
atau berkurang selama serangan. Serat otot secara elektrik tidak ada
hantaran selama serangan.

Kekuatan otot normal diantara serangan tetapi, setelah beberapa tahun,


tingkat kelemahan yang menetap semakin berkembang pada beberapa tipe PP
(khususnya PP primer). Semua bentuk PP primer kecuali Becker myotonia
kongenital (MC) juga terkait autosomal dominan atau sporadik (paling sering
muncul dari point mutation).

Ion channel yang sensitif tegangan secara tertutup meregulasi


pergantian potensial aksi (perubahan singkat dan reversibel tegangan mebran
sel). Disana terdapat permeabelitas ion channel yang selektif dan bervariasi.
Energi-tergantung voltase ion channel terutama gradien konsentrasi. Selama
berlangsungnya potensial aksi ion natrium bergerak melintasi membran
melalui voltage-gated ion channel.

Masa istirahat membran serat otot dipolarisasi terutama oleh


pergerakan klorida melalui channel klorida dan dipolarisasi kembali oleh
gerakan kalium. Natrium, klorida dan kalsium channelopati sebagai sebuah
grup, dihubungkan dengan myotonia dan PP. Subunit fungsional channel
natrium, kalsium dan kalium adalah homolog. Natrium channelopati lebih
dipahami daripada kalsium atau klorida channelopati.3
2.6 GEJALA KLINIS

Gejala biasanya muncul pada kadar kalium <2,5 mEq/L. Kelemahan


yang menetap bisa berkembang kemudian dalam beberapa bentuk. Kasus yang
berat muncul pada awal masa kanak-kanak dan kasus yang ringan mungkin
muncul selambat-lambatnya dekade ketiga. Sebagian besar kasus muncul
sebelum umur 16 tahun. Kelemahan bisa mulai dari kelemahan sepintas pada
sekelompok otot yang terisolasi sampai kelemahan umum yang berat.
Serangan berat dimulai pada pagi hari, sering dengan latihan yang berat atau
makan tinggi karbohidrat pada hari sebelumnya.

Pasien bangun dengan kelemahan simetris berat, sering dengan


keterlibatan batang tubuh. Serangan ringan bisa sering dan hanya melibatkan
suatu kelompok otot pentig, dan bisa unilateral, parsial, atau monomelic.8

Hal ini bisa mempengaruhi kaki secara predominan; kadang – kadang,


otot ektensor dipengaruhi lebih dari fleksor. Durasi bervariasi dari beberapa
jam sampai hampir 8 hari tetapi jarang lebih dari 72 jam. Serangannya
intermiten dan infrekuen pada awalnya tetapi bisa meningkat frekuensinya
sampai serangan terjadi hampir setiap hari. Frekuensi mulai berkurang oleh
usia 30 tahun; hal ini jarang terjadi setelah umur 50 tahun.

Pengeluaran urin menurun selama serangan karena akumulasi air


intrasel meningkat. Myotonia interictal tidak sesering hyper PP. Otot
proksimal wasting daripada hipertropi, bisa terlihat pada pasien dengan
kelemahan permanen.3

Hipokalemia periodik Paralise

1. Kelemahan pada otot


2. Perasaan lelah
3. Nyeri otot
4. Restless legs syndrome
5. Tekanan darah dapat meningkat
6. Kelumpuhan atau rabdomiolisis (jika penurunan K amat berat)
7. Gangguan toleransi glukosa
8. Gangguan metabolisme protein
9. Poliuria dan polidipsia
10. Alkalosismetabolik

Gejala klinis nomor 1, 2, 3, 4 di atas merupakan gejala pada otot yang


timbul jika kadar kalium kurang dari 3 mEq/ltr.

2.7 DIAGNOSIS

Lama Keparahan Gambaran yang


Gejala Umur onset Pemicu
serangan serangan berhubungan
Hiperkalemik Dekade Beberapa · Rendah · Jarang · Perioral dan
periodik pertama menit sampai pemasukan parah tungkai parestesia
paralisis kehidupan kurang dari 2 karbohidrat
jam (paling (puasa) · Myotonia
sering frekuent
kurang dari 1 · Dingin
· Pseudohipertrofi
jam)
· Istirahat yang otot tiba-tiba
diikuti dengan
latihan
· Alkohol
· Infeksi
· Stress emosional
· Trauma
· Periode
menstruasi

Hipokalemik · Bervariasi, · Beberapa Istirahat sehabis · Severe Myotonik lid lag


periodik anak – anak jam sampai latihan, tiba – tiba
paralisis sampai hampir · Paralisis
dekade semingu Makanan tinggi komplet Myotonia diantara
ketiga karboihdrat, serangan jarang
· Khas tidak
· Sebagian lebih dari 72 Dingin Parsial unilateral,
kasus jam monomelik
sebelum 16
Kelemahan otot
tahun menetap pada
akhir penyakit.

Potasium- Dekade Tidak ada · Dingin Serangan Hipertrofi otot


associated pertama kelemahan kekakuan
myotonia · Istirahat setelah ringan - berat
latihan

Paramyotonia Dekade 2 – 24 jam Dingin Jarang parah Pseudohipertrofi


congenital pertama otot
Paradoksal
myotonia
Jarang kelemahan
menetap

Tirotoksikosis Dekade Beberapa Sama seperti Sama seperti Bisa berkembang


periodik ketiga dan jam sampai 7 hipokalemik PP hipokalemik menjadi
paralisis keempat hari PP kelemahan otot
hiperinsulinemia menetap
Hipokalemia
selama serangan

Tabel 3. Perbedaan gambaran bentuk umum periodik paralisis.4

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium
1. Kadar elektrolit serum dan urin
- Konsentrasi kalium serum pada 3,0-3,5 mEq/L berhubungan dengan
suatu keadaan klinis seperti kelemahan otot ringan, fatigue, dan
mialgia.6
- Pada konsentrasi serum kalium 2,5-3,0 mEq/L kelemahan otot
menjadi lebih berat terutama pada bagian proximal dari tungkai.
- Ketika serum kalium turun hingga dibawah dari 2,5 mEq/L maka
dapat terjadi kerusakan struktural dari otot, termasuk rhabdomiolisis
dan mioglobinuria.
2. Fungsi Ginjal
3. Kadar Glukosa Darah
4. pH Darah
- Alkalosis biasa menyertai hipokalemia dan menyebabkan pergeseran
K+ masuk sel.
- Asidosis menyebabkan kehilangan K+ langsung dalam urin.
5. Hormon tiroid: T3,T4 dan TSH
untuk menyingkirkan penyebab sekunder hipokalemia.

B. EKG (Elektrokardiografi)

Normal

Mild hipokalemia

Severe hipokalemia

EKG bisa menunnjukkan sinus bradikardi dan bukti hipokalemi


(gelombang T datar, gelombang U di lead II, V2,V3 dan V4 dan depresi
segment ST).4

C. EMG (Elektromiografi)
Di antara serangan, mungkin ada fibrilasi dan pengulangan keluaran
kompleks, meningkat dengan dingin dan menurun dengan latihan (dalam
paralisis periodik hipokalemik). Selama serangan, EMG akan
menunjukkan listrik diam, baik pada paralisis periodik hiperkalemik dan
paralisis periodik hipokalemik.

2.9 DIAGNOSIS BANDING

Neuropati motor dan sensori herediter. Anderson sindroma: sindroma


ini, dicirikan dengan kalium-sensitif PP, dan aritmia jantung adalah kelainan
terkait autosomal dominan. Kadar kalium bisa meningkat atau berkurang
selama serangan. 5
1. Kehilangan K melalui ginjal.
a. Kalium dalam urin > 15 mEq/24 jam.

b. Ekskresi kalium disertai poliuria (obat-obat diuretik, diuretic osmotik).

2. Kehilangan K yang tidak melalui ginjal.


a. Kehilangan melalui saluran cerna (diare).

b. Kehilangan melalui keringat berlebihan.

c. Diet rendah kalium.

d. Muntah.

e. Perpindahan kalium ke dalam sel (alkalosis, insulin agonis beta,


paralisis periodik, leukemia).

2.10 PENTALAKSANAAN
1. Selama serangan, suplemen oral kalsium lebih baik dari suplemen IV.
Yang terakhir diberikan untuk pasien yang mual atau tidak bisa menelan.
Garam kalium oral pada dosis 0,25 mEq/kg seharusnya diberikan setiap 30
menit sampai kelemahan improves. Avoiding IV fluid is prudent.6
2. Kalium Klorida IV 0,05-0,1 mEq/kgBB dalam dextrose 5% bolus adalah
lebih baik sebagai lanjutan infus. Monitoring ECG dan pengukuran kalium
serum berturut dianjurkan.
3. Untuk profilaksis, asetazolamid diberikan pada dosis 125-1500 mg/hari
dalam dosis terbagi. Dichlorphenamide 50-150 mg/hari telah menunjukkan
keefektifan yang sama. Potasium-sparing diuretik seperti triamterene (25-
100 mg/hari) dan spironolakton (25-100 mg/hari) adalah obat lini kedua
untuk digunakan pasien yang mempunyai kelemahan buruk (worsens
weakness) atau mereka yang tidak respon dengan penghambat karbonik
anhidrase. Karena diuretik ini potassium sparing, suplemen kalium bisa
tidak dibutuhkan.6
4. Pemberian K melalui oral atau iv untuk penderita berat.
5. Pemberian kalium lebih disenangi dalam bentuk oral karena lebih mudah.
Pemberian 40-60 mEq dapat menaikkan kadar kalium sebesar 1-1,5
mEq/L, sedangkan pemberian 135-160 mEq dapat menaikkan kadar
kalium sebesar 2,5-3,5 mEq/L.
6. Bila kadar kalium dalam serum > 3 mEq/L, koreksi K cukup per oral.
7. Monitor kadar kalium tiap 2-4 jam untuk menghindari hiperkalemia
terutama
pada pemberian secara intravena.
8. Pemberian K intravena dalam bentuk larutan KCl disarankan melalui vena
yang besar dengan kecepatan 10-20 mEq/jam, kecuali disertai aritmia atau
kelumpuhan otot pernafasan, diberikan dengan kecepatan 40-100
mEq/jam. KCl dilarutkan sebanyak 20 mEq dalam 100 cc NaCl isotonik.6
9. Bila kadar K plasma sangat rendah, bisa langsung di koreksi secara IV
dengan kecepatan pemberian 10 meq/ jam, dikoreksi dengan rumus [K
normal – Kpasien] x 1/3 BB
10. Acetazolamide untuk mencegah serangan.6
11. Triamterene atau spironolactone apabila acetazolamide tidak memberikan
efek pada orang tertentu.6
12. Diet rendah karbohidrat dan rendah natrium bisa menurunkan frekuensi
serangan.6
13. Koreksi Magnesium (Mg)
Hipokalemia tidak dapat dikoreksi apabila konsentrasi Mg rendah,
sehingga perlu juga diperiksa. Peran Mg dalam fungsi seluler adalah
berperan dalam pertukaran ion Ca, Na dan K transmembran pada fase
depolarisasi dan repolarisasi, melalui aktivasi enzim Ca-ATPase dan Na-
ATPase. Defisiensi Mg akan menurunkan konsentrasi kalium dalam sel
dan meningkatkan konsentrasi Na dan Ca dalam sel yang pada akhirnya
mengurangi ATP intraseluler, sehingga Mg dianggap sebagai stabilisator
membrane sel. Mg juga merupakan regulator dari berbagai kanal ion.
Konsentrasi Mg yang rendah intraseluler membuat K keluar sel sehingga
mengganggu konduksi dan metabolisme sel. Pada pasien dengan
hipomagnesium, monitoring untuk serum Mg yang ingin dicapai adalah
antara 2 – 4 mmol/liter.

2.11 KOMPLIKASI
1. Batu ginjal akibat efek samping acetazolamide.
2. Arrhytmia.
3. Kelemahan otot progresif.

2.12 PROGNOSA

Baik apabila penderita mengurangi faktor pencetus seperti mengurangi


asupan karbohidrat, hindari alkohol dll. Serta pengobatan yang teratur. Pasien
yang tidak diobati bisa mengalami kelemahan proksimal menetap, yang bisa
mengganggu aktivitas. Beberapa kematian sudah dilaporkan, paling banyak
dihubungkan dengan aspirasi pneumonia atau ketidakmampuan membersihkan
sekresi.7
BAB III
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN :

Nama : Nn. EJ
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 20 tahun
Suku bangsa : Minangkabau
Alamat : Padang Karambia
Pekerjaan : Mahasiswi

Autoanamnesis :
Seorang pasien Nn. EJ umur 20 tahun dirawat di bangsal Neurologi RSUD
Adnaan WD hari rawatan ke-3 (01/12/2019) dengan :

Keluhan Utama :
Lemah seluruh anggota gerak sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang :


 Lemah seluruh anggota gerak sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit,
lemah dirasakan tiba-tiba saat pasien bangun tidur di pagi hari, lemah
disertai kaku, tegang, berat dan tidak dapat digerakan pada keempat
anggota gerak, terutama otot paha, betis dan jari-jari. Keluhan ini diawali
rasa berat dan kaku pada jari-jari 1 hari sebelum masuk rumah sakit,
biasanya muncul saat pasien kelelahan dan sesudah aktivitas berat
 Mual dan muntah ada, dirasakan sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit,
frekuensi 1 kali, volume ± 100 cc, muntah apa yang dimakan
 Kebas yang berbatas tegas tidak ada
 BAK warna dan jumlah biasa
 BAB warna, frekuensi dan konsistensi biasa
 Demam tidak ada
 Nyeri tenggorok tidak ada
 Tidak ada keluhan gangguan penglihatan
 Tidak ada keluhan sesak nafas
 Tidak ada keluhan mulut mencong dan bicara pelo

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Riwayat dirawat di rumah sakit dengan keluhan yang sama sebelumnya
ada sebanyak 2 kali, yakni pada bulan Maret dan September tahun 2019.
Pasien dirawat di RSUD Adnaan WD Payakumbuh dengan diagnosis
Paralisis Periodik ec Hipokalemia
 Tidak ada riwayat demam, batuk, pilek sebelumnya
 Tidak ada riwayat BAB encer sebelumnya
 Tidak ada riwayat keluhan yang bersifat fluktuatif, suara sengau, maupun
kelopak mata yang sering jatuh
 Riwayat trauma sebelumnya tidak ada
 Riwayat tumor dan keganasan tidak ada
 Riwayat penyakit jantung, hipertensi, diabetes mellitus tidak ada
 Riwayat menderita penyakit jantung tidak ada

Riwayat penyakit keluarga :


 Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama tidak ada
 Riwayat keluarga dengan penyakit diabetes mellitus tidak ada
 Riwayat keluarga dengan hipertensi tidak ada stroke tidak ada
 Riwayat keluarga dengan penyakit jantung tidak ada
 Riwayat menderita penyakit jantung tidak ada
 Riwayat keluarga dengan penyakit stroke tidak ada
 Riwayat penyakit kolesterol tinggi tidak ada

Riwayat pribadi dan sosial :


 Pasien seorang mahasiswi di universitas negeri di Padang, aktivitas harian
sedang
 Riwayat merokok dan konsumsi alkohol tidak ada
PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 03 Desember 2019)

Umum

Keadaan umum : Sedang


Kesadaran : CM
Kooperatif : kooperatif
Nadi/ irama : 92x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Suhu : 37oC
Keadaan gizi : baik
Tinggi badan : 156 cm
Berat badan : 56 kg
Turgor kulit : baik
Kulit dan kuku : pucat tidak ada, sianosis tidak ada
Kelenjar getah bening
Leher : tidak teraba pembesaran KGB
Aksila : tidak teraba pembesaran KGB
Inguinal : tidak teraba pembesaran KGB
Toraks
Paru
Inspeksi : simetris kiri dan kanan
Palpasi : fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : irama reguler, bising tidak ada, gallop tidak ada
Abdomen
Inspeksi : tidak tampak membuncit
Palpasi : supel, hepar dan lien tak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus normal
Korpus vertebrae
Inspeksi : deformitas tidak ada
Palpasi : gibus tidak ada

Status neurologikus

1. Tanda rangsangan selaput otak


 Kaku kuduk : tidak ada
 Brudzinsky I : tidak ada
 Brudzinsky II : tidak ada
 Tanda Kernig : tidak ada
2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial
 Pupil isokor, diameter 3mm/3mm , reflek cahaya (+/+)
 Muntah proyektil tidak ada
3. Pemeriksaan nervus kranialis
N. I (Olfaktorius)
Penciuman Kanan Kiri
Subjektif (+) (+)
Objektif (dengan bahan) Tidak diperiksa Tidak diperiksa

N. II (Optikus)
Penglihatan Kanan Kiri
Tajam penglihatan (+) (+)

Lapangan pandang (+) (+)

Melihat warna (+) (+)


Funduskopi Tidak diperiksa Tidak diperiksa
N. III (Okulomotorius)
Kanan Kiri
Bola mata Ortho Ortho
Ptosis (-) (-)
Gerakan bulbus Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah

Strabismus (-) (-)

Nistagmus (-) (-)

Ekso/endotalmus (-) (-)

Pupil
 Bentuk Bulat Bulat
 Refleks cahaya (+) (+)
 Refleks akomodasi (+) (+)
 Refleks konvergensi (+) (+)

N. IV (Trochlearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah (+) (+)
Sikap bulbus Ortho Ortho

Diplopia (-) (-)

N. VI (Abdusen)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral (+) (+)
Sikap bulbus Ortho Ortho

Diplopia (-) (-)

N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik
 Membuka mulut (+) (+)
 Menggerakkan rahang (+) (+)
 Menggigit (+) (+)
 Mengunyah (+) (+)
Sensorik
 Divisi oftalmika
- Refleks kornea (+) (+)
- Sensibilitas (+) (+)
 Divisi maksila
- Refleks masetter (+) (+)
- Sensibilitas (+) (+)
 Divisi mandibula
- Sensibilitas (+) (+)

N. VII (Fasialis)
Kanan Kiri
Raut wajah Simetris
Sekresi air mata Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Fissura palpebra (+) (+)

Menggerakkan dahi (+) (+)

Menutup mata (+) (+)

Mencibir/ bersiul (+) (+)

Memperlihatkan gigi (+) (+)

Sensasi lidah 2/3 depan (+) (+)

Hiperakusis (-) (-)

Plica nasolabialis Sama kiri dan kanan

N. VIII (Vestibularis)
Kanan Kiri
Suara berbisik (+) (+)

Detik arloji (+) (+)

Rinne tes Tidak diperiksa

Weber tes Tidak diperiksa

Schwabach tes Tidak diperiksa


- Memanjang
- Memendek
Nistagmus (-) (-)
- Pendular
- Vertikal
- Siklikal
Pengaruh posisi kepala (-) (-)
N. IX (Glossopharyngeus)
Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang (+)
Refleks muntah (Gag Rx) (+)

N. X (Vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Simetris
Uvula Di tengah
Menelan Tidak ada disfagia
Suara Tidak sengau
Nadi Teratur, 92x/menit

N. XI (Asesorius)
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan (+) (+)
Menoleh ke kiri (+) (+)
Mengangkat bahu kanan (+) (+)
Mengangkat bahu kiri (+) (+)

N. XII (Hipoglosus)
Kanan Kiri
Kedudukan lidah dalam Tidak ada deviasi
Kedudukan lidah dijulurkan Tidak ada deviasi
Tremor (-)
Fasikulasi (-)
Atropi (-)

4. Pemeriksaan koordinasi
Cara berjalan Belum bisa Tes jari hidung Normal
dilakukan
Romberg tes Belum bisa Tes hidung jari Normal
dilakukan
Rebound Normal Supinasi-pronasi Normal
phenomen
Test tumit lutut Normal
5. Pemeriksaan fungsi motorik
a. Badan Respirasi Teratur
Duduk Normal
b. Berdiri dan Gerakan spontan Belum dapat
berjalan Tremor dinilai
Atetosis (-)
Mioklonik (-)
Khorea (-)
(-)

c. Ekstremitas Superior Inferior


Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Normal Normal Normal Normal
Kekuatan 555 555 333 444
Tropi Eutropi Eutropi Eutropi Eutropi

Tonus Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus

6. Pemeriksaan sensibilitas
Sensibiltas taktil ++/++
Sensibilitas nyeri ++/++

Sensiblitas termis ++/++

Sensibilitas kortikal

Stereognosis ++/++

Pengenalan 2 titik ++/++

Pengenalan rabaan ++/++

7. Sistem refleks
a. Fisiologis Kanan Kiri Kanan Kiri
Kornea (+) (+) Biseps (++) (++)
Berbangkis (+) (+) Triseps (++) (++)
Laring (+) KPR (++) (++)
Masetter (+) (+) APR (++) (++)
Dinding perut Bulbokvernosus Tidak diperiksa
 Atas (+) (+) Cremaster Tidak diperiksa
 Tengah (+) (+) Sfingter Tidak diperiksa

 Bawah (+) (+)


b.Patologis Kanan Kiri Kanan Kiri
Lengan Babinski (-) (-)
Hoffmann- (-) (-) Chaddocks (-) (-)
Tromner
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Klonus paha (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)
Tungkai (-) (-)

8. Fungsi otonom
- Miksi : baik
- Defekasi : baik
- Sekresi keringat : baik
9. Fungsi luhur : Baik
Kesadaran Tanda Dementia
Reaksi bicara Spontan Reflek glabela (-)

Fungsi intelek Baik Reflek snout (-)

Reaksi emosi Normal Reflek menghisap (-)

Reflek memengang (-)

Reflek palmomental (-)

Pemeriksaan Penunjang

a. Darah rutin
Hb : 13,3 gr/dl
Ht : 37 %
Leukosit : 7.600
Trombosit : 179.000/mm2
Kesan : dalam batas normal
b. Elektrolit
Natrium : 146 mmol/L
Kalium : 1,9 mmol/L
Klorida : 118 mmol/L
Kesan : hipokalemia

c. EKG

 EKG : Sinus rhytm, irama reguler, HR 83 kali/menit, PR interval 0,20 mm,


QRS 0,06 mm, normoaxist, P wave 0,12 mm, ST segment changed (-), T
inverted (-), T flat di lead II, U wave pada lead II, aVL, aVF, V2, V3, LVH
(-), RVH (-)
Kesan : hipokalemia

Diagnosis :
Diagnosis Klinis : Periodik Paralisis ec Hipokalemia
Diagnosis Topik : Ion channel gate
Diagnosis Etiologi : Idiopatik
Diagnosis Sekunder : (-)

Diagnosis Banding
(-)
Prognosis :
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

Terapi :
- Umum :
 Awasi keadaan umum (ABCDS)
 IVFD RL 8 jam/kolf
 Diet MB tinggi kalium 1700 kkal/24 jam (pisang, air kelapa)
 Bedrest

- Khusus :
 drip KCL 1 flackon 25 mEq dalam IVFD RL habis dalam 24 jam selama 2
hari
 KSR 2 x 600 mg (p.o)
 Mecobalamin 2 x 1 tab
Follow Up tanggal 04/12/2019 (Hari rawatan ke-4)
S/ Lemah anggota gerak bawah (-) sudah bisa duduk dan berjalan berpegangan
Kebas (-), kuduk masih terasa sedikit berat
BAB dan BAK tidak ada keluhan
Jantung berdebar (-).
O/ KU : sedang, Kesadaran : CMC, TD : 100/70, HR : 88, RR : 18, T : 36.7⁰C

SI : Pulmo : Vesikuler, rhongki tidak ada, wheezing tidak ada

Jantung : Irama regular, Murmur tidak ada, gallop tidak ada

SN : GCS 15: E4M6V5

Peningkatan TIK (-), TRM (-)

Mata : pupil isokor, Ø 3mm/3mm, RC +/+,

Motorik : 555/555 555/555

Sensorik (+) proprioseptif dan eksteroseptif baik

Otonom baik, Reflek fisiologis ++/++ ++/++, Reflek patologis --/-- --/--

A/ Periodik Paralisis ec Hipokalemia (perbaikan)

P/

- Umum : Awasi keadaan umum (ABCD)


Diet MB tinggi kalium 1700 kkal/24 jam (pisang,
air kelapa)
Khusus : KSR 2 x 1 tab p.o
Mevrabal 2 x 1 p.o
Koreksi KCL 1 flackon (25 mEq) dalam 300 cc RL
7 tpm
BAB IV

DISKUSI

Seorang perempuan berusia 20 tahun dirawat di Bangsal Saraf RSUD


Adnaan WD Payakumbuh dengan keluhan utama lemah seluruh anggota gerak
sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit. Lemah dirasakan tiba-tiba saat pasien
bangun tidur di pagi hari, lemah disertai kaku, tegang, berat dan tidak dapat
digerakan pada keempat anggota gerak, terutama otot paha, betis dan jari-jari.
Keluhan ini diawali rasa berat dan kaku pada jari-jari 1 hari sebelum masuk
rumah sakit, biasanya muncul saat pasien kelelahan dan sesudah aktivitas berat.
Pada pasien tidak ada keluhan kesemutan maupun keluhan kebas yang berbatas
tegas. Tidak terdapat adanya mulut mencong, bicara pelo dan hilangnya
penglihatan. Sebagai gejala klinis dari periodik paralisis ditandai dengan
kelemahan dari otot-otot skeletal episodik tanpa gangguan dari sensoris ataupun
kognitif yang berhubungan dengan kadar kalium yang rendah di dalam darah dan
tidak ditemukan tanda-tanda miotonia dan tidak ada penyebab sekunder lain yang
menyebabkan hipokalemi. Paralisis yang terlokalisasi juga bisa menyertai
kelemahan. Hal ini merupakan keluhan yang juga dialami oleh pasien dan sesuai
dengan karakteristik periodik paralisis yang biasanya terjadi saat pasien bangun
tidur atau istirahat setelah melakukan aktivitas.1,3

Dari pemeriksaan fisik ditemukan kelemahan motorik pada keempat


ekstremitas, terutama tungkai kanan bawah yang dapat digerakan namun tidak
mampu melawan tahanan, tidak ada gangguan sensoris dan otonom, didapatkan
reflek fisiologis dan pemeriksaan nervus kranialis dalam batas normal.
Pemeriksaan laboratorium elektrolit didapatkan nilai kalium 1,9 mmol/L, yang
mana keadaan periodik paralisis akibat hipokalemia akan mulai memunculkan
manifestasi klinis ketika kadar kalium darah < 2,5 mmol/L. Pada pemeriksaan
elektrokardiografi didapatkan gambaran gelombang U yang prominent dan T flat
pada pasien ini. Hal ini sesuai dengan teori gambaran EKG pada pasien dengan
hipokalemi yang mana dapat ditemukan gelombang U, gelombang T datar atau
bifasik, dan depresi segmen ST. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan penunjang
ditegakkan dignosis klinis pasien ini adalah hipokalemia periodik paralisis.
Diagnosis topik yaitu Ion Channel Gate. Diagnosis etiologi yaitu idiopatik primer
yang didiagnosa banding dengan sebab sekunder, namun tidak ada diagnosis
sekunder pada pasien ini.4,5

Terapi yang diberikan pada pasien berupa terapi umum dengan pengawasan
terhadap keadaan umum pasien (ABCD), pemberian IVFD RL 8jam/kolf, dan diet
MB tinggi kalium 1700 kkal/24 jam. Selain melakukan koreksi terhadap kalium
pasien, pasien juga diedukasi untuk mengonsumsi makanan rendah karbohidrat
dan tinggi kalium. Diet rendah karbohidrat dikaitkan dengan berpindahnya
kalium dari cairan ekstraseluler ke dalam intraseluler bersamaan dengan kenaikan
kadar insulin darah untuk memasukan glukosa ke dalam sel. Terapi khusus yang
diberikan adalah Koreksi KCL 1 flaccon (25 mEq) dilarutkan dalam 300 cc RL
habis dalam 24 jam selama 2 hari. Berdasarkan teori, ada banyak metode koreksi
kalium berdasarkan kadar kalium darah pasien. Koreksi kalium dapat dilakukan
dengan pemberian bersama IVFD D5% dan KCL dihabiskan dalam 3-4 jam, dapat
juga dengan IVFD RL seperti yang dilakukan pada pasien ini. Harus diperhatikan
pengecekan kalium ulang agar tidak memunculkan manifestasi hiperkalemia
seperti gangguan irama jantung. Pada pasien juga diberikan mecobalamin atau
mevrabal yakni vitamin B12 sebagai neuroproteksi. Prognosis dari kasus ini adala
dubia ad bonam, karena dapat dicegah dengan intake kalium yang baik dan dapat
diobati dengan koreksi kalium.1,2,3
DAFTAR PUSTAKA

1. Browmn RH, Mendell JR., Braundwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser
SL, Longob DL, Jameson JR. 2012. Muscular dystrophies and other
muscle diseases. Harrison’s 9.-Principles of internal medicine. 15 th Eds.
USA: McGraw-Hill. pp.2538.
2. Kalita J, Nair PP, Kumar G. 2016. Renal tubular acidosis presenting as
respiratory paralysis: Report of a case and review of literature. Neurol
India. 58:106–108.
3. Lin SH, Lin YF, Halperin ML.2004. Hypokalemia and paralysis. Q J Med.
94:133–139.
4. Maurya PK, Kalita J, Misra UK. 2014. Spectrum of hypokalaemic periodic
paralysis in a tertiary care centre in India. Postgrad Med J. 86:692–695
5. Mujais SK and Katz AI. 2009. Kalium deficiency. In: Seldin DW,
Giebsich G, 3 th eds. The KIDNEY Physiology & patophysiology.
Philadelphia: Lippincott Williams & wilkins. pp. 1615 – 1646.
6. Robinson JE, Morin VI, Douglas MJ, Wilson RD. 2012. Familial
hypokalemic periodic paralysis and Wolff parkinson-white syndrome in
pregnancy. Canada Journal Anaesth. 47:160–164.
7. Saban I and Canonica A. 2015. Hypokalaemic periodic paralysis
associated with controlled thyrotoxicosis. Schweiz MedWochenchhr. 130.

Anda mungkin juga menyukai