PARALISIS PERIODIK
Oleh :
Preseptor :
RSUD ADNAAN WD
PAYAKUMBUH
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
Sinyal listrik pada skeletal, jantung dan saraf merupakan suatu alat untuk
mentrasmisikan suatu informasi secara cepat informasi secara cepat dan jarah
yang jauh. Kontraksi otot skeletal diinisiasi dengan pelepasan ion kalsium oleh
retikulum sarkoplasma, yang kemudian terjadi potensial aksi pada motor end plate
yang dicetuskan oleh depolarisasi dari transverse tubule (T tubule). Ketepatan dan
kecepatan dari jalur sinyal ini tergantung aksi koordinasi beberapa kelas voltage-
sensitive kanal ion. Mutasi dari gen dari kanal ion tersebut akan menyebabkan
kelainan yang diturunkan pada manusia. Kelainan tersebut merupakan
chanelopathies yang cenderung menimbulkan gejala yang paroksismal, miotonia
atau periodik paralisis dari otot-otot skeletal. Defek pada kanal ion tersebut dapat
meningkatkan eksitasi elektrik suatu sel, menurunkan kemampuan eksitasi,
bahkan dapat menyebabkan kehilangan kemampuan eksitasi. Dan kehilangan dari
eksitasi listrik pada otot skeletal merupakan kelainan dasar dari periodik
paralisis.1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
2.1.1 Kalium
Kalium memiliki fungsi mempertahankan membran potensial elektrik
dalam tubuh dan menghantarkan aliran saraf di otot. Kalium mempunyai peranan
yang dominan dalam hal eksitabilitas sel, terutama sel otot jantung, saraf, dan otot
3
lurik.
Kalium mempunyai peran vital di tingkat sel dan merupakan ion utama
intrasel. Ion ini akan masuk ke dalam sel dengan cara transport aktif, yang
memerlukan energi. Fungsi K nampak jelas terutama berhubungan dengan
aktivitas otot jantung, otot lurik, dan ginjal. Eksitabilitas sel sebanding dengan
rasio kadar K di dalam dan di luar sel. Berarti bahwa setiap perubahan dari rasio
ini akan mempengaruhi fungsi dari sel – sel yang akan menyebabkan timbulnya
keluhan keluhan dan gejala – gejala sehubungan dengan tidak seimbangnya kadar
3,4
kalium
Kadar kalium normal intrasel adalah 135 – 150 mEq/L dan ekstrasel adalah
3,5 – 5,5 mEq/L. Perbedaan kadar yang sangat besar ini dapat bertahan,
tergantung pada metabolisme sel. Dengan demikian situasi di dalam sel adalah
elektronegatif dan terdapat membrane potensial istirahat kurang lebih sebesar -90
mvolt.
2.3 ETIOLOGI
2.4 KLASIFIKASI
Paralisis periodik dibagi menjadi dua golongan berdasarkan
penggolongan secara konvensional yaitu paralisis periodik primer atau
familial dan paralisis periodik sekunder. Paralisis periodik primer atau familial
merupakan kelompok gangguan akibat mutasi gen tunggal yang
mengakibatkan kelainan saluran K, Na, Cl pada sel otot - membran. Oleh
karena itu, ini juga dikenal sebagai channelopathies atau membranopathies 1.
Paralisis periodik sekunder diketahui oleh beberapa penyebab. Pada
paralisis periodik sekunder, tingkat kalium dalam serum tidak normal.
Riwayat penggunaan ACE inhibitor, angiotensin-II-reseptor-blocker, diuretik,
atau carbenoxolone memberikan petunjuk untuk diagnosis paralisis periodik
sekunder. Karakteristik klinis atau biokimia dari gagal ginjal kronis,
tirotoksikosis, paramyotonia kongenital, atau sindrom Andersen dapat
ditemukan kelumpuhan periodik sekunder. Berikut di bawah ini penggolongan
paralisis periodik secara konvensional 1.
A. Paralisis periodik primer atau familial:
1. Paralisis periodik hipokalemik
2. Paralisis periodik hiperkalemik
3. Paralisis periodik normokalemik
Semua di atas diturunkan secara autosomal dominan
B. Paralisis periodik sekunder:
1. Paralisis periodik hipokalemik.
a) Tirotoksikosis
b) Thiazide atau loop-diuretic induced
c) Nefropati yang menyebabkan kehilangan kalium
d) Drug-induced: gentamicin, carbenicillin,amphotericin-B, turunan
tetrasiklin, vitamin B12 , alkohol, carbenoxolone
e) Hiperaldosteron primer atau sekunder
f) Keracunan akut akibat menelan barium karbonat sebagai
rodentisida
g) Gastro-intestinal potassium loss
2. Paralisis periodik hiperkalemik:
a) Gagal ginjal kronis
b) Terapi ACE-inhibitor dosis tinggi, atau nefropati diabetik lanjut
c) Potassium supplements jika digunakan bersama potassium sparing
diuretics (spironolactone, triamterene, amiloride) dan atau ACE-
inhibitors.
d) Andersen’s cardiodysrhythmic syndrome
e) Paramyotonia congenita-periodic paralysis terjadi spontan atau
dipicu oleh paparan suhu dingin
2.5 PATOFISIOLOGI
Pada orang dewasa yang sehat, asupan kalium harian adalah sekitar
50-100 mEq. Sehabis makan, semua kalium diabsorpsi akan masuk kedalam
sel dalam beberapa menit, setelah itu ekskresi kalium yang terutama terjadi
melalui ginjal akan berlangsung beberapa jam. Sebagian kecil (<20%) akan
diekskresikan melalui keringat dan feses. Dari saat perpindahan kalium
kedalam sel setelah makan sampai terjadinya ekskresi kalium melalui ginjal
merupakan rangkaian mekanisme yang penting untuk mencegah hiperkalemia
yang berbahaya. Ekskresi kalium melalui ginjal dipengaruhi oleh aldosteron,
natrium tubulus distal dan laju pengeluaran urine. Sekresi aldosteron
dirangsang oleh jumlah natrium yang mencapai tubulus distal dan peningkatan
kalium serum diatas normal, dan tertekan bila kadarnya menurun. Sebagian
besar kalium yang di filtrasikan oleh gromerulus akan di reabsorpsi pada
tubulus proksimal. Aldosteron yang meningkat menyebabkan lebih banyak
kalium yang terekskresi kedalam tubulus distal sebagai penukaran bagi
reabsorpsi natrium atau H+. Kalium yang terekskresi akan diekskresikan
dalam urine. Sekresi kalium dalam tubulus distal juga bergantung pada arus
pengaliran, sehingga peningkatan jumlah cairan yang terbentuk pada tubulus
distal (poliuria) juga akan meningkatkan sekresi kalium.2
Paramyotonia kongenital
Potassium-aggravated myotonia
2.7 DIAGNOSIS
B. EKG (Elektrokardiografi)
Normal
Mild hipokalemia
Severe hipokalemia
C. EMG (Elektromiografi)
Di antara serangan, mungkin ada fibrilasi dan pengulangan keluaran
kompleks, meningkat dengan dingin dan menurun dengan latihan (dalam
paralisis periodik hipokalemik). Selama serangan, EMG akan
menunjukkan listrik diam, baik pada paralisis periodik hiperkalemik dan
paralisis periodik hipokalemik.
d. Muntah.
2.10 PENTALAKSANAAN
1. Selama serangan, suplemen oral kalsium lebih baik dari suplemen IV.
Yang terakhir diberikan untuk pasien yang mual atau tidak bisa menelan.
Garam kalium oral pada dosis 0,25 mEq/kg seharusnya diberikan setiap 30
menit sampai kelemahan improves. Avoiding IV fluid is prudent.6
2. Kalium Klorida IV 0,05-0,1 mEq/kgBB dalam dextrose 5% bolus adalah
lebih baik sebagai lanjutan infus. Monitoring ECG dan pengukuran kalium
serum berturut dianjurkan.
3. Untuk profilaksis, asetazolamid diberikan pada dosis 125-1500 mg/hari
dalam dosis terbagi. Dichlorphenamide 50-150 mg/hari telah menunjukkan
keefektifan yang sama. Potasium-sparing diuretik seperti triamterene (25-
100 mg/hari) dan spironolakton (25-100 mg/hari) adalah obat lini kedua
untuk digunakan pasien yang mempunyai kelemahan buruk (worsens
weakness) atau mereka yang tidak respon dengan penghambat karbonik
anhidrase. Karena diuretik ini potassium sparing, suplemen kalium bisa
tidak dibutuhkan.6
4. Pemberian K melalui oral atau iv untuk penderita berat.
5. Pemberian kalium lebih disenangi dalam bentuk oral karena lebih mudah.
Pemberian 40-60 mEq dapat menaikkan kadar kalium sebesar 1-1,5
mEq/L, sedangkan pemberian 135-160 mEq dapat menaikkan kadar
kalium sebesar 2,5-3,5 mEq/L.
6. Bila kadar kalium dalam serum > 3 mEq/L, koreksi K cukup per oral.
7. Monitor kadar kalium tiap 2-4 jam untuk menghindari hiperkalemia
terutama
pada pemberian secara intravena.
8. Pemberian K intravena dalam bentuk larutan KCl disarankan melalui vena
yang besar dengan kecepatan 10-20 mEq/jam, kecuali disertai aritmia atau
kelumpuhan otot pernafasan, diberikan dengan kecepatan 40-100
mEq/jam. KCl dilarutkan sebanyak 20 mEq dalam 100 cc NaCl isotonik.6
9. Bila kadar K plasma sangat rendah, bisa langsung di koreksi secara IV
dengan kecepatan pemberian 10 meq/ jam, dikoreksi dengan rumus [K
normal – Kpasien] x 1/3 BB
10. Acetazolamide untuk mencegah serangan.6
11. Triamterene atau spironolactone apabila acetazolamide tidak memberikan
efek pada orang tertentu.6
12. Diet rendah karbohidrat dan rendah natrium bisa menurunkan frekuensi
serangan.6
13. Koreksi Magnesium (Mg)
Hipokalemia tidak dapat dikoreksi apabila konsentrasi Mg rendah,
sehingga perlu juga diperiksa. Peran Mg dalam fungsi seluler adalah
berperan dalam pertukaran ion Ca, Na dan K transmembran pada fase
depolarisasi dan repolarisasi, melalui aktivasi enzim Ca-ATPase dan Na-
ATPase. Defisiensi Mg akan menurunkan konsentrasi kalium dalam sel
dan meningkatkan konsentrasi Na dan Ca dalam sel yang pada akhirnya
mengurangi ATP intraseluler, sehingga Mg dianggap sebagai stabilisator
membrane sel. Mg juga merupakan regulator dari berbagai kanal ion.
Konsentrasi Mg yang rendah intraseluler membuat K keluar sel sehingga
mengganggu konduksi dan metabolisme sel. Pada pasien dengan
hipomagnesium, monitoring untuk serum Mg yang ingin dicapai adalah
antara 2 – 4 mmol/liter.
2.11 KOMPLIKASI
1. Batu ginjal akibat efek samping acetazolamide.
2. Arrhytmia.
3. Kelemahan otot progresif.
2.12 PROGNOSA
IDENTITAS PASIEN :
Nama : Nn. EJ
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 20 tahun
Suku bangsa : Minangkabau
Alamat : Padang Karambia
Pekerjaan : Mahasiswi
Autoanamnesis :
Seorang pasien Nn. EJ umur 20 tahun dirawat di bangsal Neurologi RSUD
Adnaan WD hari rawatan ke-3 (01/12/2019) dengan :
Keluhan Utama :
Lemah seluruh anggota gerak sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit.
Umum
Status neurologikus
N. II (Optikus)
Penglihatan Kanan Kiri
Tajam penglihatan (+) (+)
Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Refleks cahaya (+) (+)
Refleks akomodasi (+) (+)
Refleks konvergensi (+) (+)
N. IV (Trochlearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah (+) (+)
Sikap bulbus Ortho Ortho
N. VI (Abdusen)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral (+) (+)
Sikap bulbus Ortho Ortho
N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik
Membuka mulut (+) (+)
Menggerakkan rahang (+) (+)
Menggigit (+) (+)
Mengunyah (+) (+)
Sensorik
Divisi oftalmika
- Refleks kornea (+) (+)
- Sensibilitas (+) (+)
Divisi maksila
- Refleks masetter (+) (+)
- Sensibilitas (+) (+)
Divisi mandibula
- Sensibilitas (+) (+)
N. VII (Fasialis)
Kanan Kiri
Raut wajah Simetris
Sekresi air mata Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Fissura palpebra (+) (+)
N. VIII (Vestibularis)
Kanan Kiri
Suara berbisik (+) (+)
N. X (Vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Simetris
Uvula Di tengah
Menelan Tidak ada disfagia
Suara Tidak sengau
Nadi Teratur, 92x/menit
N. XI (Asesorius)
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan (+) (+)
Menoleh ke kiri (+) (+)
Mengangkat bahu kanan (+) (+)
Mengangkat bahu kiri (+) (+)
N. XII (Hipoglosus)
Kanan Kiri
Kedudukan lidah dalam Tidak ada deviasi
Kedudukan lidah dijulurkan Tidak ada deviasi
Tremor (-)
Fasikulasi (-)
Atropi (-)
4. Pemeriksaan koordinasi
Cara berjalan Belum bisa Tes jari hidung Normal
dilakukan
Romberg tes Belum bisa Tes hidung jari Normal
dilakukan
Rebound Normal Supinasi-pronasi Normal
phenomen
Test tumit lutut Normal
5. Pemeriksaan fungsi motorik
a. Badan Respirasi Teratur
Duduk Normal
b. Berdiri dan Gerakan spontan Belum dapat
berjalan Tremor dinilai
Atetosis (-)
Mioklonik (-)
Khorea (-)
(-)
6. Pemeriksaan sensibilitas
Sensibiltas taktil ++/++
Sensibilitas nyeri ++/++
Sensibilitas kortikal
Stereognosis ++/++
7. Sistem refleks
a. Fisiologis Kanan Kiri Kanan Kiri
Kornea (+) (+) Biseps (++) (++)
Berbangkis (+) (+) Triseps (++) (++)
Laring (+) KPR (++) (++)
Masetter (+) (+) APR (++) (++)
Dinding perut Bulbokvernosus Tidak diperiksa
Atas (+) (+) Cremaster Tidak diperiksa
Tengah (+) (+) Sfingter Tidak diperiksa
8. Fungsi otonom
- Miksi : baik
- Defekasi : baik
- Sekresi keringat : baik
9. Fungsi luhur : Baik
Kesadaran Tanda Dementia
Reaksi bicara Spontan Reflek glabela (-)
Pemeriksaan Penunjang
a. Darah rutin
Hb : 13,3 gr/dl
Ht : 37 %
Leukosit : 7.600
Trombosit : 179.000/mm2
Kesan : dalam batas normal
b. Elektrolit
Natrium : 146 mmol/L
Kalium : 1,9 mmol/L
Klorida : 118 mmol/L
Kesan : hipokalemia
c. EKG
Diagnosis :
Diagnosis Klinis : Periodik Paralisis ec Hipokalemia
Diagnosis Topik : Ion channel gate
Diagnosis Etiologi : Idiopatik
Diagnosis Sekunder : (-)
Diagnosis Banding
(-)
Prognosis :
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Terapi :
- Umum :
Awasi keadaan umum (ABCDS)
IVFD RL 8 jam/kolf
Diet MB tinggi kalium 1700 kkal/24 jam (pisang, air kelapa)
Bedrest
- Khusus :
drip KCL 1 flackon 25 mEq dalam IVFD RL habis dalam 24 jam selama 2
hari
KSR 2 x 600 mg (p.o)
Mecobalamin 2 x 1 tab
Follow Up tanggal 04/12/2019 (Hari rawatan ke-4)
S/ Lemah anggota gerak bawah (-) sudah bisa duduk dan berjalan berpegangan
Kebas (-), kuduk masih terasa sedikit berat
BAB dan BAK tidak ada keluhan
Jantung berdebar (-).
O/ KU : sedang, Kesadaran : CMC, TD : 100/70, HR : 88, RR : 18, T : 36.7⁰C
Otonom baik, Reflek fisiologis ++/++ ++/++, Reflek patologis --/-- --/--
P/
DISKUSI
Terapi yang diberikan pada pasien berupa terapi umum dengan pengawasan
terhadap keadaan umum pasien (ABCD), pemberian IVFD RL 8jam/kolf, dan diet
MB tinggi kalium 1700 kkal/24 jam. Selain melakukan koreksi terhadap kalium
pasien, pasien juga diedukasi untuk mengonsumsi makanan rendah karbohidrat
dan tinggi kalium. Diet rendah karbohidrat dikaitkan dengan berpindahnya
kalium dari cairan ekstraseluler ke dalam intraseluler bersamaan dengan kenaikan
kadar insulin darah untuk memasukan glukosa ke dalam sel. Terapi khusus yang
diberikan adalah Koreksi KCL 1 flaccon (25 mEq) dilarutkan dalam 300 cc RL
habis dalam 24 jam selama 2 hari. Berdasarkan teori, ada banyak metode koreksi
kalium berdasarkan kadar kalium darah pasien. Koreksi kalium dapat dilakukan
dengan pemberian bersama IVFD D5% dan KCL dihabiskan dalam 3-4 jam, dapat
juga dengan IVFD RL seperti yang dilakukan pada pasien ini. Harus diperhatikan
pengecekan kalium ulang agar tidak memunculkan manifestasi hiperkalemia
seperti gangguan irama jantung. Pada pasien juga diberikan mecobalamin atau
mevrabal yakni vitamin B12 sebagai neuroproteksi. Prognosis dari kasus ini adala
dubia ad bonam, karena dapat dicegah dengan intake kalium yang baik dan dapat
diobati dengan koreksi kalium.1,2,3
DAFTAR PUSTAKA
1. Browmn RH, Mendell JR., Braundwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser
SL, Longob DL, Jameson JR. 2012. Muscular dystrophies and other
muscle diseases. Harrison’s 9.-Principles of internal medicine. 15 th Eds.
USA: McGraw-Hill. pp.2538.
2. Kalita J, Nair PP, Kumar G. 2016. Renal tubular acidosis presenting as
respiratory paralysis: Report of a case and review of literature. Neurol
India. 58:106–108.
3. Lin SH, Lin YF, Halperin ML.2004. Hypokalemia and paralysis. Q J Med.
94:133–139.
4. Maurya PK, Kalita J, Misra UK. 2014. Spectrum of hypokalaemic periodic
paralysis in a tertiary care centre in India. Postgrad Med J. 86:692–695
5. Mujais SK and Katz AI. 2009. Kalium deficiency. In: Seldin DW,
Giebsich G, 3 th eds. The KIDNEY Physiology & patophysiology.
Philadelphia: Lippincott Williams & wilkins. pp. 1615 – 1646.
6. Robinson JE, Morin VI, Douglas MJ, Wilson RD. 2012. Familial
hypokalemic periodic paralysis and Wolff parkinson-white syndrome in
pregnancy. Canada Journal Anaesth. 47:160–164.
7. Saban I and Canonica A. 2015. Hypokalaemic periodic paralysis
associated with controlled thyrotoxicosis. Schweiz MedWochenchhr. 130.