Anda di halaman 1dari 24

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Periodic paralysis (PP) merupakan suatu sindrom klinis langkah yang
dikarakteristikan dengan adanya episode dari paralysis yang berlangsung dalam
hitungan menit ke hari sebagai akibat dari aktivitas abnormal ion channel fluxes
di otot rangka. Mutasi dari Ion channels pada kelainan bawaan autosomal
dominant merupakan etiologi primer dari PP sindrom. Hal ini berkaitan dengan
perubahan serum potassium dan biasanya terjadi pada usia anak anak hingga
dewasa muda. Paralisis yang diketahui dengan jelas penyebabnya dan terjadi
karena underlying disease merupakan periodik paralisis sekunder.
(Dissanayake,2008)
Prevalensi pada penyakit ini adalah 1: 100.000 populasi. Diperkirakan
Prevalensi terjadinya hipokalemia sekitar 1:100.000 dan hiperkalemia 1:200.000.
kejadian paling sering terjadi pada pria dibandingkan dengan wanita.
(Dissanayake, 2008)
Mekanisme yang mendasari penyakit ini adalah malfungsi pada ion channel
pada membran otot skelet. Pada paralisis periodik terdapat serangan kelemahan
flaksid yang hilang timbul, dapat bersifat setempat maupun menyeluruh. Penderita
mengalami kelemahan bagian proksimal ekstremitas yang cepat dan progresif tapi
otot-otot kranial dan pernafasan biasanya terhindar dari kelemahan. Serangan
dapat menyebabkan kelemahan yang asimetris dengan derajat kelemahan yang
berbeda pada beberapa golongan otot saja sampai pada suatu kelumpuhan umum.
Kelemahan biasanya menghilang dalam beberapa jam, namun defisit yang
permanen bisa terjadi pada penderita yang sering mendapatkan serangan. Di luar
serangan tidak ditemukan kelainan neurologi maupun kelainan elektromiografis
(Padmaperuma,2008).
2

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana definisi, etiologi, petogenesis, manifestasi klinis, penegakan
diagnosa, terapi, serta prognosis Paralisis Periodik (PP) ?
1.3 Tujuan
Mengetahui definisi, etiologi, petogenesis, manifestasi klinis, penegakan
diagnosa, terapi, serta prognosis Paralisis Periodik (PP).
1.4 Manfaat
Mahasiswa dapat melakukan pembelajaran tentang periodik paralisis (PP) dan
mengetahui cara penegakan diagnosis serta penatalaksanaanya.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Periodik paralisis (PP) merupakan sindrom gangguan otot rangka dengan
etiologi yang bermacam-macam, bersifat episodik, berlangsung sebentar,
hiporefleks dengan atau tanpa miotonia tetapi tanpa defisit sensorik dan tanpa
kehilangan kesadaran. Pasien mengalami kelemahan otot dengan durasi dan
derajat yang bervariasi. Serangan dapat berlangsung dari beberapa menit hingga
hari. Kelemahan dalam serangan dapat general atau fokal. (Fialho, 2007).
Menurut jurnal lain, Periodic paralysis (PP) merupakan suatu sindrom
klinis langkah yang dikarakteristikan dengan adanya episode dari paralysis yang
berlangsung dalam hitungan menit ke hari sebagai akibat dari aktivitas abnormal
ion channel fluxes di otot rangka. Mutasi dari Ion channels pada kelainan bawaan
autosomal dominant merupakan etiologi primer dari PP sindrom. Hal ini berkaitan
dengan perubahan serum potassium dan biasanya terjadi pada usia anak anak
hingga dewasa muda. Paralisis yang diketahui dengan jelas penyebabnya dan
terjadi karena underlying disease merupakan periodik paralisis sekunder
(Dissanayake,2008).

2.2 Klasifikasi dan Etiologi


Paralisis periodik dibagi menjadi dua golongan yaitu paralisis periodik primer
atau familial dan paralisis periodik sekunder. Paralisis periodik primer atau
familial merupakan kelompok gangguan akibat mutasi gen tunggal yang
mengakibatkan kelainan saluran kalsium, kalium natrium, dan klorida pada sel
otot - membran. Oleh karena itu, ini juga dikenal sebagai channelopathies atau
membranopathies (Arya,2002).
Paralisis periodik sekunder biasanya disebabkan karena adanya penyebab
yang mendasari. Riwayat penggunaan ACE inhibitor, angiotensin-II-reseptor-
blocker, diuretik, atau carbenoxolone memberikan petunjuk untuk diagnosis
paralisis periodik sekunder. Karakteristik klinis atau biokimia dari gagal ginjal
kronis, tirotoksikosis, paramyotonia kongenital, atau sindrom Andersen dapat
4

ditemukan kelumpuhan periodik sekunder. Berikut di bawah ini penggolongan


paralisis periodik :
2.2.1 Paralisis periodik primer atau familial :
a. Paralisis periodik hipokalemik
b. Paralisis periodik hiperkalemik
c. Paralisis periodik normokalemik
Semua di atas diturunkan secara autosomal dominan
2.2.2 Paralisis periodik sekunder:
a. Paralisis periodik hipokalemik :
- Tirotoksikosis
- Thiazide atau loop-diuretic induced
- Nefropati yang menyebabkan kehilangan kalium
- Drug-induced : gentamicin, carbenicillin, amphotericin-B, turunan
tetrasiklin, vitamin B12 , alkohol, carbenoxolone
- Hiperaldosteron primer atau sekunder
- Keracunan akut akibat menelan barium karbonat sebagai rodentisida
- Gastro-intestinal potassium loss
b. Paralisis periodik hiperkalemik :
- Gagal ginjal kronis
- Terapi ACE-inhibitor dosis tinggi, atau nefropati diabetik lanjut
- Potassium supplements jika digunakan bersama potassium sparing
diuretics (spironolactone, triamterene, amiloride) dan atau ACE-
inhibitors
- Andersen’s cardiodysrhythmic syndrome
- Paramyotonia congenita-periodic paralysis terjadi spontan atau dipicu
oleh paparan suhu dingin

A. Paralisis periodik hipokalemik


Paralisis periodik hipokalemik adalah kelainan yang ditandai kelemahan
otot akut karena hipokalemia yang terjadi secara episodik. Sebagian besar
paralisis periodik hipokalemik merupakan paralisis periodik hipokalemik primer
atau familial. Paralisis periodik hipokalemik sekunder bersifat sporadik dan
5

biasanya berhubungan dengan penyakit tertentu atau keracunan. Salah satu


kelainan ginjal yang dapat menyebabkan paralisis periodik hipokalemik
sekunder adalah asidosis tubulus renalis distal (ATRD) yang biasanya terjadi
pada masa dewasa. Gejala klinis yang karakteristik adalah kelemahan otot akut
yang bersifat intermiten, gradual, biasanya pada ekstremitas bawah, dapat
unilateral atau bilateral, disertai nyeri di awal serangan. Paralisis periodik
hipokalemik diterapi dengan kalium dan mengobati penyakit dasarnya. Analisis
yang cermat diperlukan untuk mengetahui penyakit dasarnya karena sangat
menentukan tata laksana dan prognosis selanjutnya (souvriyanti,2008)
Paralisis periodik hipokalemik adalah kelainan yang ditandai dengan kadar
kalium yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat serangan, disertai
riwayat episode kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal. Hipokalemia dapat
terjadi karena adanya faktor pencetus tertentu, misalnya makanan dengan kadar
karbohidrat tinggi, istirahat sesudah latihan fisik, perjalanan jauh, pemberian
obat, operasi, menstruasi, konsumsi alkohol dan lain-lain. Kadar insulin juga
dapat mempengaruhi kelainan ini pada banyak penderita, karena insulin akan
meningkatkan aliran kalium ke dalam sel. Pada saat serangan akan terjadi
pergerakan kalium dari cairan ekstra selular masuk ke dalam sel, sehingga pada
pemeriksaan kalium darah terjadi hipokalemia. Kadar kalium biasanya dalam
batas normal diluar serangan. Pencetus untuk setiap individu berbeda, juga tidak
ada korelasi antara besarnya penurunan kadar kalium serum dengan beratnya
paralisis (kelemahan) otot skeletal (Widjayanti,2005)
Penderita dapat mengalami serangan hanya sekali, tetapi dapat juga
serangan berkali-kali (berulang) dengan interval waktu serangan juga bervariasi.
Kelemahan biasanya terjadi pada otot kaki dan tangan, tetapi kadang-kadang
dapat mengenai otot mata, otot pernafasan dan otot untuk menelan, di mana
kedua keadaan terakhir ini dapat berakibat fatal. Angka kejadian adalah sekitar 1
diantara 100.000 orang, pria lebih sering dari wanita dan biasanya lebih berat.
Usia terjadinya serangan pertama bervariasi dari 1–20 tahun, frekuensi serangan
terbanyak di usia 15–35 tahun dan kemudian menurun dengan peningkatan usia.
Hipokalemik periodik paralisis biasanya terjadi karena kelainan genetik
otosomal dominan. Hal lain yang dapat menyebabkan terjadinya hipokalemik
6

periodik paralisis adalah tirotoksikosis (thyrotoxic periodic paralysis),


hiperinsulin (Widjayanti,2005)
Diagnosa kelainan hipokalemik periodik paralisis ditegakkan berdasarkan
kadar kalium darah rendah [kurang dari 3,5 mmol/L (0,9–3,0 mmol/L) ] pada
waktu serangan, riwayat mengalami episode flaccid paralysis dengan
pemeriksaan lain dalam batas normal. Paralisis yang terjadi pada penyakit ini
umumnya berlokasi di bahu dan panggul meliputi juga tangan dan kaki, bersifat
intermiten, serangan biasanya berakhir sebelum 24 jam, pada EMG dan biopsi
otot ditemukan miotonia, refleks Babinsky positif, kekuatan otot normal diluar
serangan. Terdapat 2 bentuk kelainan otot yang diobservasi yaitu episode
paralitik dan bentuk miopati, kedua keadaan ini dapat terjadi secara terpisah
ataupun bersama-sama. Sering terjadi bentuk paralitik murni, kombinasi episode
paralitik dan miopati yang progresifitasnya lambat jarang terjadi, demikian pula
bentuk miopatik murni jarang terjadi. Episode paralitik ditandai terutama adanya
flaccid paralysis dengan hipokalemia sehingga dapat terjadi para paresis atau
tetraparesis berpasangan dengan otot pernafasan. Pada pasien ini murni flaccid
paralysis dengan hipokalemia dan akan sembuh atau remisi sendiri 5–6 jam
kemudian, dengan pemberian kalium per oral serangan menjadi lebih ringan.
Tidak terdapat kelainan pada otot pernafasan. Jika terdapat kelainan genetik
maka pada analisa didapatkan kelainan antara lain adalah autosomal dominan
inheritance yaitu mutasi pada kromososm CACNA1S (70%) disebut
hipokalemik periodik paralisis tipe 1, mutasi lokus pada kromosom SCN4A
(10%) disebut hipokalemik periodik paralisis tipe 2 (Widjayanti, 2005)

B. Paralisis periodik hiperkalemik


Lebih jarang dibanding paralisis periodik hipokalemik. Mulai timbul
sebelum umur 10 tahun. Frekuensi dan berat serangan berkurang pada
masa remaja dan hilang pada saat dewasa. Frekuensi laki-laki dan wanita sama.
Berbagai faktor pencetus terjadinya paralisis periodik hiperkalemik diantaranya :
1. Lapar
2. Istirahat setelah kena dingin atau setelah latihan
3. Asupan kalium yang berlebihan
7

4. Infeksi
5. Kehamilan
6. Anestesi
Pada paralisis periodik hiperkalemia, karbohidrat dan garam bukan
merupakan faktor pencetus. Gejala lebih ringan dibandingkan paralisis periodik
hipokalemia. Biasanya berlangsung kurang dari 1 jam. Serangan lebih sering
terjadi pada siang hari dan biasanya terjadi waktu istirahat, misalnya sedang
duduk. Keluhan berkurang bila penderita berjalan-jalan. Kelemahan dimulai dari
tungkai lalu menjalar ke paha, punggung, tangan, lengan dan bahu. Sebelum
timbul kelemahan biasanya terdapat rasa kaku dan kesemutan pada kedua
tungkai. Jarang terjadi gangguan menelan dan napas. Sering terdapat miotonia
pada otot mata, wajah, lidah dan faring. Pada saat serangan didapatkan tonus dan
refleks fisiologis yang menurun dan tanda Chovstek yang positif. Diluar
serangan kekuatan otot normal, pada fase lanjut terdapat kelemahan otot-otot
proksimal (Wijayanti,2005)

C. Paralisis Periodik Normokalemik


Jenis ini paling jarang ditemui. Patofisiologinya belum diketahui. Serangan
lebih berat dan lebih lama daripada paralisis periodik hiperkalemia. Serangan
dapat ditimbulkan oleh pemberian KCl dan dapat dihentikan dengan pemberian
NaCl. Serangan tidak dipicu oleh pemberian insulin, glukosa ataupun kalium.

Karakteristik klinis perbedaan dari paralisis periodik hiperkalemik dan


paralisis hipokalemik dapat dilihat pada tabel di bawah ini.:

Paralisis periodik Paralisis peiodik


hiprekalemik hipokalemik
Onset Dekade pertama Dekade kedua
Pemicu Istirahat sehabis latihan, Istirahat sehabis latihan,
dingin, puasa, makanan kaya kelebihan karbohidrat
kalium
Waktu serangan Kapan pun Pada saat bangun tidur pagi hari
Durasi serangan Beberapa menit sampai Beberapa jam sampai beberapa
beberapa jam hari
Keparahan Ringan sampai sedang, fokal Sedang sampai berat
8

Paralisis periodik Paralisis peiodik


hiprekalemik hipokalemik
serangan
Gejala tambahan Miotonia atau paramiotonia -
Kalium serum Biasanya tinggi, bisa normal Rendah
Pengobatan Acetazolamide, Acetazolamide,
dichlorphenamide, thiazide, dichlorphenamide, suplemen
beta-agonist kalium, diuretik hemat kalium
Gen/ ion channel SCN4A: Nav1.4 (sodium CACNA1S: Cav1.1 (calcium
channel subunit channel subunit)
KCNJ2: Kir2.1 (pottasium SCN4A: Nav1.4 (sodium channel
channel subunit) subunit)
KCNJ2: Kir2.1 (pottasium
channel subunit)

2.3 Patofisiologi
Depolarisasi pada membran sel otot normalnya dipicu oleh perangsangan
kanal Na+ bergerbang voltase yang menyebabkan pembukaan kanal Ca2+
bergerbang voltase dan kanal Ca2+ di retikulum sarkoplasma. Akibatnya Ca2+
intrasel akan meningkat sehingga memperantarai kontraksi otot. Repolarisasi
dipicu melalui inaktivasi kanal Na+ oleh influks Cl- dan efluks K+ . Hal tersebut
menyebabkan inaktivasi kanal Ca2+ sehingga kontraksi Ca2+ intrasel turun kembali
dan otot berelaksasi. Perlambatan inaktivasi kanal Na+ akibat mutasi pada gen
protein kanal dapat menyebabkan perlambatan relaksasi, peningkatan eksitabilitas,
dan kram (paramiotonia kongenital dan miotonia kanal Na + ). Adanya kelainan
pada kanal Na+ atau kanal K+ dapat menyebabkan paralisis bila konsentrasi K+
ekstrasel tinggi (paralisis hiperkalemia periodik). Kelainan genetik juga didapat
pada kanal Ca2+ bergerbang voltase juga menyebabkan paralisis hipokalemia
periodik. Jika terdapat kelainan pada Cl- akan terjadi miotonia. Tergantung
beratnya gangguan molekuler, pewarisan penyakit dapat bersifat dominan
(miotonia kongenital, penyakin Thomson) atau resesif (miotonia becker)
(Silbernagl, 2014). Thyrotoxic Periodic Paralysis merupakan penyakit turunan
autosomal dominan. Diakibatkan karena peningkatan aktivitas Na+-K+-ATPase.
Tiroksin meningkatkan aktivitas beta-adrenergic sehingga menyebabkan
9

augmentasi aktivitas Na+-K+-ATPase. Paralisis periodik merupakan paralisis yang


diakibatkan karena mutas gen KCNJ2 yang mengkode influx kanal kalium,
stabilisasi resting potential otot lurik dan cardiac myotomes. Tidak seperti
HypoPP dan HyperPP yang dibatasi terkait mutasi pada kanal di otot lurik,
adanya mutasi kanal kalium yang menyebabkan sindrom andersen-tawil berefek
pada jaringan multipel dan memiliki fenotip yang lebih bervariasi.
Pada paralisis periodik primer dan tiroktosikosis, paralisis flaksid terjadi
dengan relative sedikit perubahan dalam kadar kalium serum, sementara pada
paralisis periodik sekunder, ditandai dengan kadar kalium serum yang tidak
normal. Kelemahan biasanya terjadi secara umum namun bisa lokal. Otot-otot
krnanial dan pernapasan biasanya tidak terkena. Kekuatan otot normal diantara
serangan tetapi setelah beberapa tahun tingkat kelemahan yang menetap semakin
berkembang pada beberapa tipe paralisis periodik.
Mutasi genetik telah dipostulatkan sebagai penyebab dasar paralisis periodik
primer. Mutasi gen kanal Na + di lokus Thr. 704M telah terdeteksi pada pasien
paralisis periodik hiperkalemik dan paralisis periodik normokalemik. Atas dasar
ini, paralisis periodik normokalemik telah dianggap sebagai varian dari paralisis
periodik hiperkalemik. Mutasi dua puluh titik telah diidentifikasi dalam gen yang
mengkode sub-unit saluran natrium otot rangka (SCN 4A) pada pasien dengan
paralisis periodik hiperkalemik primer dan gangguan miotonik. Sekarang
dipercayai bahwa paralisis periodik hiperkalemik primer adalah kelainan otot
rangka dominan autosomal yang disebabkan oleh mutasi tunggal pada gen SCN
4A, yang menyandikan saluran tegangan + gated otot kerangka manusia yang
diberi saluran Na +. Studi genetik telah mengungkapkan mutasi pada saluran
kalsium alfa-1 saluran kalsium tegangan-gated pada keluarga paralisis periodik
primer hypokalaemic. Studi elektrofisiologi pada mutan ini dalam sistem ekspresi
yang berbeda tidak dapat menjelaskan patofisiologi penyakit6. Selain itu,
beberapa mutasi (Arg 669-Nya, Arg-672-Nya, Arg-672-Gly dan Arg-672-Ser)
dalam sensor tegangan saluran natrium otot rangka - alpha subunit (Gen SCN 4A)
telah ditemukan pada keluarga dengan paralisis periodik hipokalemik. Gating
kedua mutan histidin (Arg 669-Nya dan Arg-672-Nya) dapat dimodulasi oleh
perubahan pH intra-seluler ekstraor. Cacat inaktivasi Arg 669 His dan Arg 672
10

His dapat diatasi dengan pH rendah ke tingkat yang signifikan, menunjukkan


bahwa penurunan pH dalam sel otot dapat menyebabkan kompensasi otomatis
cacat fungsional. Hal ini dapat menjadi penjelasan terhadap penundaan atau
pencegahan serangan lumpuh dengan sedikit aktivitas fisik. Selain itu, residu
histidin dapat menjadi target untuk tindakan terapi potensial oleh acetazolamide9.
Warisan biasanya autosom dominan, tetapi dalam tipe hipokalaemik, 30% kasus
mungkin sporadis2. Patofisiologi tirotoksikosis periodic paralisis melibatkan
peningkatan aktivitas sistem Na + -K + -ATPase. Tiroksin meningkatkan aktivitas
beta-adrenergik yang mengarah ke aktivitas Na + -K + -ATPase yang
diperbesar10,11. Paralisis periodik tirotoksikosis memiliki pewarisan dominan
autosom.
11

Gambar 2.1. Diseasea of the Motor Unit and Muscle


2.4 Manifestasi Klinis
Gejala klinis secara umum :
 Mulai muncul pada dekade pertama atau kedua
 Kelemahan otot secara intermiten baik fokal atau general
 Myotonia
12

 Mual
 Penurunan energi (lemas)
 Penurunan kemampuan dalam bersosial, berkeluarga, bersekolah, dan
aktivitas lainnya
Gejala klinis HypoPP :
 Biasanya menyerang pada usia 15 – 35 tahun
 Episode paralisis fokal atau general pada otot rangka (jam/hari)
 Hipokalemi (<2,5 mEq/L)
 Paling banyak terjadi pada otot proksimal anggota gerak bawah dan
dapat memberat secara progresif
 Serangan akut dapat menyerang berulang dalam harian, mingguan, atau
bulanan
 Serangan dapat menyerang secara spontan tapi juga dapat dipicu oleh
karena makanan kaya karbohidrat, alkohol, dan istirahat setelah
olahraga berat.
Gejala klinis HyperPP :
 Mulai muncul pada usia dekade pertama
 Menyerang anggota gerak dan meningkatkan serum kalium selama
serangan, tapi ada beberapa pasien memiliki kadar serum kalium
normal selama serangan
 Dipicu karena mengkonsumsi kalium yang terlalu tinggi, istirahat
setelah olahraga, puasa, paparan dingin, stres emosional, kehamilan
 Biasanya muncul pada 2 jam pada pagi hari bangun tidur
 Lebih dari 80% pasien > 40 tahun akan mengalami kelemahan anggota
gerak secara permanen dan sepertiga lainnya berkembang menjadi
miopati progresif kronik
 Serangan pada HyperPP terjadi lebih sering dan durasinya lebih pendek
daripada serangan pada HypoPP
Gejala klinis Andersen-Tawil Syndrome :
 Trias : kelemahan otot secara flasid dalam waktu episodik (paralisis
periodik), abnormalitas jantung (aritmia ventrikuler, pemanjangan
13

interval QT, dan gelombang U prominen), dan gejala skeletal lain (low-
set ears, ocular hipertelorism, mandibula membesar, klinodakti pada
jari ke lima, syndactyl, berbadan pendek, skoliosis, dan dahi melebar).
 Muncul pada usia dekade pertama atau kedua dengan gejala jantung
(palpitasi atau sinkop) atau kelemahan yang muncul secara spontan
diawali dengan istirahat yang lama atau istirahat setelah olahraga
 Gejala jantung yang dapat timbul seperti premature ventricular
contractioun, complex ventricular ectopy, polymorphic ventricular
tachycardia, dan bidirectional VT.
2.5

Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis PP dapat ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, ECG, dan EMG. Pada beberapa pasien juga
membutuhkan biopsi otot.
A. Anamnesa
 Riwayat kelemahan pada otot : kelemahan akan muncul mulai bagian
proksimal ke distal, dan dapat di lokalisasi paralisisnya pada satu atau
dua anggota gerak. Pada lain waktu mungkin anggota gerak lain yang
mengalami kelemahan. Paralisis dapat terjadi 1- 24 jam atau beberapa
hari dan dapat terjadi bisa harian atau tahunan. Pada beberapa pasien
terjadi kelemahan yang progresif dan permanen tanpa riwayat
sebelumnya mengalami paralisis pada waktu muda. Pada kasus berat,
otot respirasi dan otot yang dipersarafi oleh saraf kranial dapat
terkena. Kematian dapat terjadi jika tidak ditangani dengan cepat dan
tepat.
 Usia : pada anak-anak banyak terjadi hypercalemic primary periodic
pralysis dan paramyotonia congenita. Pada usia pubertas tapi kurang
14

dari 25-30 tahun terjadi hypercalemic primary periodic pralysis. Usia


diatas 25 tahun banyak terjadi paralisis periodik sekunder.
 Riwayat Penyakit Keluarga : riwayat penyakit keluarga dapat
mempengaruhi dengan kuat terjadinya paralisis periodik primer 33%.
 Waktu : paralisis periodik muncul biasanya setelah bangun tidur atau
terjadi pada istirahat setelah olahraga. Jarang terjadi pada aktivitas
sedng atau berat, yang dapat membedakan dengan miastenia gravis.
 Intensitas : serangan dapat terjadi secara ringan dan berat. Selama
serangan ringan, pasien mengeluhkan lelah dan lemah otot yang dapat
hilang dalma hitungan jam. Pada serangan berat, pasien secara penuh
tidak dapat bergerak.
 Riwayat konsumsi obat : tanyakan kepada pasien apakah baru-baru ini
mengkonumsi obat diuretik, ACE-inhibitor, ARB, carbenoloxon-
sodium, gentamicin carbenicilin. Apakah ada riwayat gastroenteritis,
oliguria, anuria, perdarahan post partum berat, atau abortus sepsis.
B. Pemeriksaan Fisik
Biasanya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik pasien paralisis
periodik primer. Pada pasien paralisis periodik sekunder, gejala penyakit yang
mendasari yang akan tampak pada pemeriksaan fisik. Misalkan pada penyakit
tirotoksikosis, gagal ginjal kronis, nefropati diabetikum, glomerulonefritis akut,
nekrosis tubular akut. Serangan awal paralisis periodik dapat terjadi sebelum,
bersamaan, atau segera setalah keluhan underlying disease muncul (Arya, 2002).
C. Pemeriksaan Laboratorium
 Kadar serum kalium
Biasanya ditemukan normal pada paralisis periodik primer dan
abnormal pada paralisis periodik sekunder. Pada saat serangan kadar
kalium dalam serum dapat ditemukan meningkat, menurun, atau diatas
hingga dibawah rata-rata ambang normal. Pengecekan kadar serum
kalium dapat menunjukkan fluktuasi pada paralisis periodik
normokalium.
 Urinalisa, gula darah, urea darah, serum kreatinin
15

Untuk menyingkirkan adanya nefropati diabetikum, gagal ginjal akut


atau kronis, dan tirotoksikosis
 T3 dan T4 free
Pada Thyrotoxic periodic paralysis dapat ditemukan meningkat
 TSH
Pada Thyrotoxic periodic paralysis kadar TSH dapat ditemukan
menurun
 CPK dan serum myoglobin
Ditemukan tinggi pada paralisis periodik primer selama atau setelah
serangan.
 EKG
Pada paralisis periodik Andersen’s cardio-dysrhythmic pemeriksaan
EKG dan monitor holter akan menunjukkan disritmia jantung.
 EMG
Selama serangan, akan tampak gambaran fibrilasi dan kompleks
secara repetitif, yang ditingkatkan oleh dingin dan dapat diturunkan
karena olahraga (hipokalemi paralisis periodik). Selama serangan
EMG dapat menunjukkan gelombang yang tenang baik pada
hiperkalemi dan hipokalemi paralisis periodik.
 Biopsi Otot
Biopsi otot dibutuhkan pada beberapa kasus dengan gambaran
atipikal. Pada paralisis periodik primer dapat ditemukan single atau
multipel vakuola yang terletak di sentral dan teragregrasi.
 Tes Genetik
Diagnosis PP dapat dikonfirmasikan dengan pengujian genetic.
Pengujian genetik mengidentifikasi mutasi patogen heterozigot pada
60% hingga 70% pasien yang memenuhi kriteria klinis.
- HypoPP : gennya CACNA1S (CaV.1) atau SCN4A dan
kromosomnya adalah 1q31-32 atau 17q23-25
- HyperPP : gennya adalah SCN4A (NaV 1.4) dan kromosomnya
17q23-25
16

- Sindrom Andersen-Tawil : gennya adalah KCNJ2 (Kir2.1) dan


kromosomnya adalah 17q23.
- HypoPP tirotoksik : KCNJ18, yang dapat dilihat pada hingga 3%
pasien dengan HypoPP, dan KCNE3, yang awalnya dikaitkan
dengan HypoPP, tetapi yang hubungannya saat ini kontroversial.
Dengan tidak adanya mutasi genetik yang diidentifikasi pada
sekitar 30% pasien, subtipe paralisis periodik dapat dibedakan atas
dasar presentasi klinis, kadar kalium serum selama serangan, dan pola
kelainan pada tes latihan panjang. Jika PP primer dicurigai tetapi tidak
dapat dikonfirmasi dengan tes genetik, pemeriksaan lebih lanjut harus
dilakukan untuk mengkonfirmasi bahwa gejala tidak sekunder dari
kondisi lain seperti tirotoksikosis atau penyebab sekunder defisiensi
kalium darah atau kelebihan. Tes elektrodiagnostik telah menjadi
andalan untuk menunjukkan bukti perubahan serat otot dalam
rangsangan pada saluran patologi otot. Pada jarum electromyography
(EMG), gelombang tajam positif dan myotonia, ditandai dengan
waxing spontan dan memudarnya unit motor amplitudo dan frekuensi,
dapat dilihat di PMC dan HyperPP. PP, tes latihan panjang telah
sebagian besar menggantikan manuver provokatif, yang menyebabkan
tubuh penuh (Arya, 2002).
17

D. Tes Provokatif
 Tes Glukosa oral 5 mg/kg atau glukosa iv 3 mg/kg selama satu jam
diberikan. Dilakukan monitor EKG untuk melihat kadar serum kalium
selama 15-30 menit dan di follow up 12 jam setelah pemberian
glukosa. Jika serangan tipikal, dapat dikonfirmasikan sebagai
hipokalemi paralisis periodik. Lebih direkomendasikan menggunakan
oral.
 Tes kalium klorida oral 1-2 mEq/kg. Jika serangan paralisis periodik
terprovokasi dalam 1,5 – 3 jam maka di diagnosis paralisis periodik
hiperkalemi atau normokalemi. Tes kalium secara loading iv (kalium
klorida 0,005 - 0,15 mg/kg) dapat menginduksi kelemahan pada
beberapa kasus. Lebih direkomendasikan menggunakan oral.
 Tes air dingin : handuk yang sudah diberikan air dingin diletakkan
pada mata pasien yang tertutup dalam satu menit. Lalu minta pasien
18

untuk membuka mata dan melirik keatas untuk 2 detik lalu kebawah.
Sklera akan terlihat diatas kornea (lig lag) merupakan hiperkalemia
atau normokalemia paralisis periodik.
 Epinefrin, nor-epinefrin, kortikosteroid : pemberian secara parenteral
dapat memprovokasi serangan serangan hipokalemi paralisis periodik.
 Tes terapeutik
Jika pemberian furosemid PO/IV atau normal salin IV atau kalsium
glukonas IV 20% 10 ml atau salbutamol IM/SC dapat menimbulkan
serangan, dan kadar serum kalium normal atau diatas/dibawah
ambang batas, diagnosis paralisis periodik normokalemi dapat
dipertimbangkan (Arya, 2002).
 Analisis DNA
19

2.6 Diagnosis Banding

2.7 Tatalaksana
Tatalaksana diberikan sesuai dengan tipe dari paralisis periodik yaitu
hiperkalemia, hipokalemia, atau normokalemia.
A. Paralisis Periodik Hipokalemi
 Profilaksis
Acetazolamide (Diamox tablet 250 mg) ½ -4 tablet/hari PO
Diuretik hemat kalium seperti triamteren 25-100 mg OD atau
spironolakton 100 mg OD atau amiloride 5 mg OD
20

Dichlorphenamide (DCP) atau karbonik anhidrase inhibitor lain


juga direkomendasikan
ESO asetazolamid : perasaan geli, hipersensitivitas, dan dalam
konsumsi dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan
pembentukan batu pada renal. Peringatan untuk ibu hamil dan
menyusui. Kontraindikasi untuk COAD karena dapat
menyebabkan asidosis dan gagal napas.
 Tatalaksana selama serangan
Kalium klorida PO 0,2-0,4 mmol/kg tiap 30 menit hingga paralisis
membaik ( 1 mmol = 75 mg Kcl) atau 5-10 mg PO kalium klorida
diberikan dan diulang dalam 1 jam dengan fungsi renal normal.
Jika kalium kloride PO tidak efektif, berikan secara IV infus 0,1
mmol/kg dalam 10% manitol (500 ml). 1 ampul kalium klorida
mengandung 150 mg atau 2 mmol. Pemberian IV kontraindikasi
untuk renal failure. Kalium klorida tidak boleh diberikan dengan
glukosa 5% atau normal salin (Cannon, 2017).

B. Paralisis Periodik Hiperkalemi


 Profilaksis
Acetazolamid atau thiazid
 Tatalaksana selama serangan
Pada kasus ringan tidak membutuhkan terapi selama konsumsi
minuman manis atau permen manis dapat meredakan serangan.
Pada serangan yang lebih lama atau berat, thiazid dan loop diuretik
(furosemid, bumetanide) dapat digunakan pada dosis tinggi untuk
menurunkan kadara kalium serum hingga menjadi normal. Jika
kadara serum kalium sangat tinggi, IV 20 ml dari kalsium glukonas
20% atau IV drip normal salin, atau IV 10% glukosa + insulin
dapat diberikan. Pada kasus intoleransi diuretik, salbutamol dapat
diberikan IV untuk menghentikan serangan (Cannon, 2017)
21

C. Paralisis Periodik Normokalemi


Prinsip terapi yang diberikan sama degngan terapi pada paralisis
periodik hiperkalemia seperti
 Diet tinggi karbohidrat ex : permen gula
 Thiazid ex: chlorthalidone 250-1000 mg/hari
 IV normal salin dan kalsium glukonas
 IV insulin dan glukosa
D. Tatalaksana Paralisis Periodik Sekunder
 Penyebab primer harus teratasi
 Obat yang memicu terjadinya gejala harus dihentikan
 Periodik paralisis hipokalemi : diberikan suplementasi kalium pada
 Paralisis periodik hiperkalemi : loop diuretik, IV glukosa + insulin
atau kalsium glukonas
 Paralisis periodik thyrotoksikosis : diberikan suplementasi kalium
kloride dengan beta bloker dan carbimazole (neomercazol).
Acetazolamid tidak efektif. Pada kondisi emergensi diberikan
propanolol
 Paralisis periodik karena toksisitas barium : diberikan magnesium
sulfat 2,5 mg IV single bolus. Dapat diberikan ventilator jika
dibutuhkan. Pada kasus hipokalemia tetap diberikan kalium klorida
IV.
 Paralisis periodik karena paramiotonia kongenita : biasanya terjadi
pada kondisi hiperkalemia dan paralisisnya dicetuskan karena
dingin. Sehingga pasien diberikan terapi pada ruang hangat, dan
diberikan PO atau IV glukosa dan thiazid oral.
 Sindrom Andersen : pasien harus dirawat diruang ICU untuk
monitor jantung dan diterapi untuk disaritmia jantung. Kadar serum
kalium dapat rendah, meningkat, atau normal. Terapi nya
disesuaikan dengan kadar kaliumnya(Cannon, 2017).
22

2.8 Prognosis
Hiperkalemik periodik paralisis dan paramyotonia kongenital
- Ketika tidak dihubungkan dengan kelemahan, kelainan ini biasanya tidak
mengganggu pekerjaan.
- Myotonia bisa memerlukan pengobatan
- Harapan hidup tidak diketahui.
Hipokalemik periodik paralisis
- Pasien yang tidak diobati bisa mengalami kelemahan proksimal menetap,
yang bisa mengganggu aktivitas
- Beberapa kematian sudah dilaporkan, paling banyak dihubungkan dengan
aspirasi pneumonia atau ketidakmampuan membersihkan sekresi
23

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Periodik paralisis merupakan sindroma klinis yang dapat menyebabkan
kelemahan yang akut pada anak-anak maupun dewasa muda. Pasien akan
mengalami kelemahan progresif dari anggota gerak baik tungkai maupun lengan
tanpa adanya gangguan sensoris yang diikuti oleh suatu keadaan hipokalemia
pada HypoPP. Gangguan ini secara konvensional dibagi menjadi paralisis
periodik primer atau diturunkan dan paralisis periodik sekunder. Paralisis periodik
primer merupakan kelompok gangguan akibat mutasi gen tunggal yang
mengakibatkan kelainan saluran kalsium, kalium natrium, dan klorida pada sel
otot – membran. Kalium memiliki fungsi mempertahankan membran potensial
elektrik dalam tubuh dan menghantarkan aliran saraf di otot. Kalium mempunyai
peranan yang dominan dalam hal eksitabilitas sel, terutama sel otot jantung, saraf
dan otot lurik. Keadaan hipokalemia yang berat dapat mengganggu fungsi organ
lain seperti jantung hingga terjadi gangguan irama jantung yang bila tidak
ditangani akan memperburuk keadaan pasien hingga mengancam nyawa.

3.2 Saran
1. Dalam penegakan diagnosis paralisis periodik diperlukan anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan sarana pemeriksaan penunjang yang memadai.
2. Perlunya KIE pada pasien dan keluarganya terkait perubahan gaya hidup
dan kepatuhan terapi untuk penyembuhan penyakit dan pencegahan
terjadinya serangan berulang.
24

Daftar Pustaka
1. Arya, SN. Lecture Notes: Periodic Paralysis. Journal Indian Academy of
Clinical Medicine. 2002; 3(4): 374-82.
2. Cannon sc. The Diagnosis and Treatment of Periodic Paralysis.
Neurotherapeutics. 2017;4(2):522−530.

3. Dissanayke, HA. Padmaperuma, PACD. Mini review: Periodic paralysis:


what clinician needs to know? . Endocrinology and Metabolism
International Journal. 2018.
4. Silbernagl, s. 2006. In: silbernagl, s., lang, f. Editor. Teks dan atlas
berwarna patofisiologi. Jakarta : egc
5. Souvriyanti E, Sudung OP. Paralisis Periodik Hipokalemik pada Anak
dengan Asidosis Tubulus Renalis Distal. 2008. p. 53-59.
6. Widjajanti A, Agustini SM. Hipokalemik Periodik Paralisis. 2005. p. 19-
22.

Anda mungkin juga menyukai