Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Periodik paralisis merupakan kelainan pada membran otot yang sekarang ini

dikenal sebagai salah satu kelompok kelainan penyakit chanellopathies pada otot

skeletal. Kelainan ini dikarakteristikan dengan terjadinya suatu kelemahan

episodik tiba-tiba yang disertai gangguan pada kadar kalium serum. Paralisis

periodik adalah suatu sindrom klinis ditandai dengan kelemahan/paralisis otot

akut. Penyakit yang berat dapat dimulai pada masa anak-anak, sedangkan kasus

yang ringan seringkali mulai pada dekade ketiga. Penyakit ini sebagian besar

bersifat herediter dan diturunkan secara autosomal dominan. Prevalensi 1 per

100.000 populasi.

Mekanisme yang mendasari penyakit ini adalah malfungsi pada ion channel

pada membran otot skelet. Pada paralisis periodik terdapat serangan kelemahan

flaksid yang hilang timbul, dapat bersifat setempat maupun menyeluruh. Penderita

mengalami kelemahan bagian proksimal ekstremitas yang cepat dan progresif tapi

otot-otot kranial dan pernafasan biasanya terhindar dari kelemahan. Serangan

dapat menyebabkan kelemahan yang asimetris dengan derajat kelemahan yang

berbeda pada beberapa golongan otot saja sampai pada suatu kelumpuhan umum.

Kelemahan biasanya menghilang dalam beberapa jam, namun defisit yang

permanen bisa terjadi pada penderita yang sering mendapatkan serangan. Di luar

serangan tidak ditemukan kelainan neurologi.

Periodik paralisis di klasifikasikan menjadi primer dan sekunder. Paralisis

periodik primer memiliki karakteristik : bersifat herediter, sebagian besar

1
berhubungan dengan perubahan kadar kalium dalam darah, kadang disertai

miotonia, adanya gangguan pada ion channels. Paralisis periodik primer meliputi

paralisis periodik hipokalemia, hiperkalemia dan paramiotonia. Paralisis periodik

tirotoksikosis adalah paralisis periodik sekunder. Atas dasar kadar kalium darah

pada saat serangan, dibedakan 3 jenis paralisis periodik yaitu : paralisis periodik

hipokalemia, paralisis periodik hiperkalemia dan paralisis periodik normokalemi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Paralisis Periodik (PP) adalah sekelompok gangguan otot rangka dengan

bermacam etiologi, bersifat episodik, berlangsung sebentar, hiporefleks, dengan

atau tanpa miotonia tetapi tanpa defisit sensorik dan tanpa kehilangan kesadaran.

Paralisis periodik adalah gangguan otot rangka di mana pasien mengalami

serangan kelemahan otot dengan durasi dan derajat yang bervariasi. Serangan

dapat berlangsung dari beberapa menit sampai beberapa hari. Kelemahan dalam

serangan dapat general atau fokal. Dalam perjalanan penyakitnya dari penyakit

otot ini, kekuatan normal kembali setelah serangan, tetapi kemudian kelemahan

otot signifikan yang menetap sering berkembang.1 Pada awal perjalanan penyakit

ini, kelumpuhan bersifat periodik dan kekuatan otot normal diantara serangan.

Setelah bertahun-tahun serangan ini, kelemahan interiktal terjadi dan mungkin

progresif. Gangguan ini dapat diobati dan kelemahan progresif dapat dicegah atau

bahkan dapat sembuh.1,2

2.2 Klasifikasi

Paralisis periodik dibagi menjadi dua golongan berdasarkan penggolongan

secara konvensional yaitu paralisis periodik primer atau familial dan paralisis

periodik sekunder. Paralisis periodik primer atau familial merupakan kelompok

gangguan akibat mutasi gen tunggal yang mengakibatkan kelainan saluran

kalsium, kalium natrium, dan klorida pada sel otot - membran. Oleh karena itu, ini

3
juga dikenal sebagai channelopathies atau membranopathies.2 Paralisis periodik

sekunder mungkin karena terbukti diketahui oleh beberapa penyebab. Riwayat

penggunaan ACE inhibitor, angiotensin-II-reseptor-blocker, diuretik, atau

carbenoxolone memberikan petunjuk untuk diagnosis paralisis periodik sekunder.

Karakteristik klinis atau biokimia dari gagal ginjal kronis, tirotoksikosis,

paramyotonia kongenital, atau sindrom Andersen dapat ditemukan kelumpuhan

periodik sekunder. Berikut di bawah ini penggolongan paralisis periodik secara

konvensional.2

2.2.1 Paralisis periodik primer atau familial :

a. Paralisis periodik hipokalemik

b. Paralisis periodik hiperkalemik

c. Paralisis periodik normokalemik

Semua di atas diturunkan secara autosomal dominan

2.2.2 Paralisis periodik sekunder:

a. Paralisis periodik hipokalemik :

- Tirotoksikosis

- Thiazide atau loop-diuretic induced

- Nefropati yang menyebabkan kehilangan kalium

- Drug-induced : gentamicin, carbenicillin, amphotericin-B,

turunan tetrasiklin, vitamin B12 , alkohol, carbenoxolone

- Hiperaldosteron primer atau sekunder

- Keracunan akut akibat menelan barium karbonat sebagai

rodentisida

- Gastro-intestinal potassium loss

4
b. Paralisis periodik hiperkalemik :

- Gagal ginjal kronis

- Terapi ACE-inhibitor dosis tinggi, atau nefropati diabetik

lanjut

- Potassium supplements jika digunakan bersama potassium

sparing diuretics (spironolactone, triamterene, amiloride) dan

atau ACE-inhibitors

- Andersen’s cardiodysrhythmic syndrome

- Paramyotonia congenita-periodic paralysis terjadi spontan

atau dipicu oleh paparan suhu dingin

2.2.3 Paralisis periodik hipokalemik

Paralisis periodik hipokalemik adalah kelainan yang ditandai kelemahan

otot akut karena hipokalemia yang terjadi secara episodik. Sebagian besar

paralisis periodik hipokalemik merupakan paralisis periodik hipokalemik primer

atau familial. Paralisis periodik hipokalemik sekunder bersifat sporadik dan

biasanya berhubungan dengan penyakit tertentu atau keracunan. Salah satu

kelainan ginjal yang dapat menyebabkan paralisis periodik hipokalemik

sekunder adalah asidosis tubulus renalis distal (ATRD) yang biasanya terjadi

pada masa dewasa. Gejala klinis yang karakteristik adalah kelemahan otot akut

yang bersifat intermiten, gradual, biasanya pada ekstremitas bawah, dapat

unilateral atau bilateral, disertai nyeri di awal serangan. Paralisis periodik

hipokalemik diterapi dengan kalium dan mengobati penyakit dasarnya. Analisis

5
yang cermat diperlukan untuk mengetahui penyakit dasarnya karena sangat

menentukan tata laksana dan prognosis selanjutnya.3

Paralisis periodik hipokalemik adalah kelainan yang ditandai dengan kadar

kalium yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat serangan, disertai

riwayat episode kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal. Hipokalemia dapat

terjadi karena adanya faktor pencetus tertentu, misalnya makanan dengan kadar

karbohidrat tinggi, istirahat sesudah latihan fisik, perjalanan jauh, pemberian

obat, operasi, menstruasi, konsumsi alkohol dan lain-lain. Kadar insulin juga

dapat mempengaruhi kelainan ini pada banyak penderita, karena insulin akan

meningkatkan aliran kalium ke dalam sel. Pada saat serangan akan terjadi

pergerakan kalium dari cairan ekstra selular masuk ke dalam sel, sehingga pada

pemeriksaan kalium darah terjadi hipokalemia. Kadar kalium biasanya dalam

batas normal diluar serangan. Pencetus untuk setiap individu berbeda, juga tidak

ada korelasi antara besarnya penurunan kadar kalium serum dengan beratnya

paralisis (kelemahan) otot skeletal.4

Penderita dapat mengalami serangan hanya sekali, tetapi dapat juga

serangan berkali-kali (berulang) dengan interval waktu serangan juga bervariasi.

Kelemahan biasanya terjadi pada otot kaki dan tangan, tetapi kadang-kadang

dapat mengenai otot mata, otot pernafasan dan otot untuk menelan, di mana

kedua keadaan terakhir ini dapat berakibat fatal. Angka kejadian adalah sekitar 1

diantara 100.000 orang, pria lebih sering dari wanita dan biasanya lebih berat.

Usia terjadinya serangan pertama bervariasi dari 1–20 tahun, frekuensi serangan

terbanyak di usia 15–35 tahun dan kemudian menurun dengan peningkatan usia.

Hipokalemik periodik paralisis biasanya terjadi karena kelainan genetik

6
otosomal dominan. Hal lain yang dapat menyebabkan terjadinya hipokalemik

periodik paralisis adalah tirotoksikosis (thyrotoxic periodic paralysis),

hiperinsulin.4

Diagnosa kelainan hipokalemik periodik paralisis ditegakkan berdasarkan

kadar kalium darah rendah [kurang dari 3,5 mmol/L (0,9–3,0 mmol/L) ] pada

waktu serangan, riwayat mengalami episode flaccid paralysis dengan

pemeriksaan lain dalam batas normal. Paralisis yang terjadi pada penyakit ini

umumnya berlokasi di bahu dan panggul meliputi juga tangan dan kaki, bersifat

intermiten, serangan biasanya berakhir sebelum 24 jam, pada EMG dan biopsi

otot ditemukan miotonia, refleks Babinsky positif, kekuatan otot normal diluar

serangan. Terdapat 2 bentuk kelainan otot yang diobservasi yaitu episode

paralitik dan bentuk miopati, kedua keadaan ini dapat terjadi secara terpisah

ataupun bersama-sama. Sering terjadi bentuk paralitik murni, kombinasi episode

paralitik dan miopati yang progresifitasnya lambat jarang terjadi, demikian pula

bentuk miopatik murni jarang terjadi. Episode paralitik ditandai terutama adanya

flaccid paralysis dengan hipokalemia sehingga dapat terjadi para paresis atau

tetraparesis berpasangan dengan otot pernafasan. Pada pasien ini murni flaccid

paralysis dengan hipokalemia dan akan sembuh atau remisi sendiri 5–6 jam

kemudian, dengan pemberian kalium per oral serangan menjadi lebih ringan.

Tidak terdapat kelainan pada otot pernafasan. Jika terdapat kelainan genetik

maka pada analisa didapatkan kelainan antara lain adalah autosomal dominan

inheritance yaitu mutasi pada kromososm CACNA1S (70%) disebut

hipokalemik periodik paralisis tipe 1, mutasi lokus pada kromosom SCN4A

(10%) disebut hipokalemik periodik paralisis tipe 2.4

7
2.2.4 Paralisis periodik hiperkalemik

Lebih jarang dibanding paralisis periodik hipokalemik. Mulai timbul

sebelum umur 10 tahun. Frekuensi dan berat serangan berkurang pada

masa remaja dan hilang pada saat dewasa. Frekuensi laki-laki dan wanita sama.

Berbagai faktor pencetus terjadinya paralisis periodik hiperkalemik diantaranya :


5,6

1. Lapar

2. Istirahat setelah kena dingin atau setelah latihan

3. Asupan kalium yang berlebihan

4. Infeksi

5. Kehamilan

6. Anestesi

Pada paralisis periodik hiperkalemia, karbohidrat dan garam bukan

merupakan faktor pencetus. Gejala lebih ringan dibandingkan paralisis periodik

hipokalemia. Biasanya berlangsung kurang dari 1 jam. Serangan lebih sering

terjadi pada siang hari dan biasanya terjadi waktu istirahat, misalnya sedang

duduk. Keluhan berkurang bila penderita berjalan-jalan. Kelemahan dimulai dari

tungkai lalu menjalar ke paha, punggung, tangan, lengan dan bahu. Sebelum

timbul kelemahan biasanya terdapat rasa kaku dan kesemutan pada kedua

tungkai. Jarang terjadi gangguan menelan dan napas. Sering terdapat miotonia

pada otot mata, wajah, lidah dan faring. Pada saat serangan didapatkan tonus dan

refleks fisiologis yang menurun dan tanda Chovstek yang positif. Diluar

8
serangan kekuatan otot normal, pada fase lanjut terdapat kelemahan otot-otot

proksimal.5,6

2.2.5 Paralisis Periodik Normokalemik

Jenis ini paling jarang ditemui. Patofisiologinya belum diketahui. Serangan

lebih berat dan lebih lama daripada paralisis periodik hiperkalemia. Serangan

dapat ditimbulkan oleh pemberian KCl dan dapat dihentikan dengan pemberian

NaCl. Serangan tidak dipicu oleh pemberian insulin, glukosa ataupun kalium. 7

Karakteristik klinis perbedaan dari paralisis periodik hiperkalemik dan paralisis

hipokalemik dapat dilihat pada tabel di bawah ini.1

Paralisis periodik Paralisis peiodik hipokalemik

hiprekalemik

Onset Dekade pertama Dekade kedua

Pemicu Istirahat sehabis latihan, Istirahat sehabis latihan,

dingin, puasa, makanan kaya kelebihan karbohidrat

kalium

Waktu serangan Kapan pun Pada saat bangun tidur pagi hari

Durasi serangan Beberapa menit sampai Beberapa jam sampai beberapa

beberapa jam hari

Keparahan Ringan sampai sedang, fokal Sedang sampai berat

serangan

Gejala tambahan Miotonia atau paramiotonia -

Kalium serum Biasanya tinggi, bisa normal Rendah

Pengobatan Acetazolamide, Acetazolamide,


9
dichlorphenamide, thiazide, dichlorphenamide, suplemen

beta-agonist kalium, diuretik hemat kalium

Gen/ ion channel SCN4A: Nav1.4 (sodium CACNA1S: Cav1.1 (calcium

channel subunit channel subunit)

KCNJ2: Kir2.1 (pottasium SCN4A: Nav1.4 (sodium channel

channel subunit) subunit)

KCNJ2: Kir2.1 (pottasium

channel subunit)

2.3 Etiologi

Sinyal listrik pada otot skeletal, jantung dan saraf merupakan suatu alat untuk

mentransmisikan suatu informasi secara cepat dan jarak yang jauh. Kontraksi otot

skeletal diinisiasi dengan pelepasan ion kalsium oleh retikulum sarkoplasma, yang

kemudian terjadi aksi potensial pada motor end-plate yang dicetuskan oleh

depolarisasi dari transverse tubule (T tubule). Ketepatan dan kecepatan dari jalur

sinyal ini tergantung aksi koordinasi beberapa kelas kanal ion voltage-sensitive.

Mutasi dari gen dari kanal ion tersebut akan menyebabkan kelainan yang

diturunkan pada manusia. Dan kelainannya disebut chanelopathies yang

cenderung menimbulkan gejala yang paroksismal : miotonia atau periodik

paralisis dari otot-oto skeletal. Defek pada kanal ion tersebut dapat meningkatkan

eksitasi elektrik suatu sel, menurunkan kemampuan eksitasi, bahkan dapat

menyebabkan kehilangan kemampuan eksitasi. Dan kehilangan dari eksitasi listrik

pada otot skeletal merupakan kelainan dasar dari periodik paralisis.8

10
Potensial Aksi

Ketika sel saraf mendapat stimulus, aksi potensial dimulai. Kanal natrium

terbuka, menyebabkan ion Na+ masuk ke dalam sel. Ini merupakan proses difusi

pasif. Setelah impuls melewati bagian tertentu sel saraf, pompa sodium dan

potasium memompa keluar 3 ion natrium untuk setiap 2 ion kalium yang dipompa

kembali ke dalam sel.

Gambar 1. Anatomi Sel saraf

Selama depolarisasi pada potensial aksi, ion natrium masuk ke dalam otot

(melalui tubulus T) dan sel saraf (melalui kanal natrium) secara pasif, dimana

kelistrikan/voltage nya antara -70 sampai -90 mV (saat istirahat) hingga +30

sampai +35 mV pada puncak potensial aksi. Secara teknis, sel saraf mengalami

depolarisasi ketika voltage mencapai 0 mV. Selama repolarisasi, ion kalium

meninggalkan sel saraf. Selama pemulihan (recovery), ion natrium dan kalium

dipompa kembali ke posisi awalnya dengan mekanisme transpor aktif

11
menggunakan ATP. Sel saraf dan otot harus mencapai potensi ambang sebelum

masing-masing dapat meneruskan impuls atau kontraksi.

Gambar 2. Mekanisme potensial aksi

2.4 Patofisiologi

2.4.1 Kalium

Kalium memiliki fungsi mempertahankan membran potensial elektrik dalam

tubuh dan menghantarkan aliran saraf di otot. Kalium mempunyai peranan yang

dominan dalam hal eksitabilitas sel, terutama sel otot jantung, saraf, dan otot lurik.

Kalium mempunyai peran vital di tingkat sel dan merupakan ion utama intrasel.

Ion ini akan masuk ke dalam sel dengan cara transport aktif, yang memerlukan

energi. Fungsi kalium akan nampak jelas bila fungsi tersebut terutama

berhubungan dengan aktivitas otot jantung, otot lurik, dan ginjal. Eksitabilitas sel

sebanding dengan rasio kadar kalium di dalam dan di luar sel. Berarti bahwa

setiap perubahan dari rasio ini akan mempengaruhi fungsi dari sel–sel yaitu tidak

berfungsinya membran sel yang tidak eksitabel, yang akan menyebabkan

12
timbulnya keluhan–keluhan dan gejala–gejala sehubungan dengan

tidak seimbangnya kadar kalium. Kadar kalium normal intrasel adalah 135 –150

mEq/L dan ekstrasel adalah 3,5–5,5mEq/L. Perbedaan kadar yang sangat besar ini

dapat bertahan, tergantung pada metabolisme sel. Dengan demikian situasi di

dalam sel adalah elektro negatif dan terdapat membran potensial istirahat kurang

lebih sebesar -90 mvolt. 8

2.4.2 Paralisis periodik hipokalemik

Hipokalemia merupakan kelainan elektrolit yang sering terjadi pada praktek

klinis yang didefinisikan dengan kadar kalium serum kurang dari 3,5 mEq/L, pada

hipokalemia sedang kadar kalium serum 2,5-3 mEq/L, dan hipokalemia berat

kadar kalium serumnya kurang dari 2,5 mEq/L. Keadaan ini dapat dicetuskan

melalui berbagai mekanisme, termasuk asupan yang tidak adekuat, pengeluaran

berlebihan melalui ginjal atau gastrointestinal, obat-obatan, dan perpindahan

transelular (perpindahan kalium dari serum ke intraselular). Gejala hipokalemi ini

terutama terjadi kelainan di otot. Konsentrasi kalium serum pada 3,0-3,5 mEq/L

berhubungan dengan suatu keadaan klinis seperti kelemahan otot ringan, fatigue,

dan mialgia. Pada konsentrasi serum kalium 2,5-3,0 mEq/L kelemahan otot

menjadi lebih berat terutama pada bagian proximal dari tungkai. Ketika serum

kalium turun hingga dibawah dari 2,5 mEq/L maka dapat terjadi kerusakan

struktural dari otot, termasuk rhabdomiolisis dan mioglobinuria. Peningkatan

osmolaritas serum dapat menjadi suatu prediktor terjadinya rhabdomiolisis. Selain

itu suatu keadaan hipokalemia dapat mengganggu kerja dari organ lain, terutama

sekali jantung yang banyak sekali mengandung otot dan berpengaruh terhadap

perubahan kadar kalium serum. Perubahan kerja jantung ini dapat kita deteksi dari
13
pemeriksaan elektrokardiogram (EKG). Perubahan pada EKG ini dapat mulai

terjadi pada kadar kalium serum dibawah 3,5 dan 3,0 mEq/L. Kelainan yang

terjadi berupa inversi gelombang T, timbulnya gelombang U dan ST depresi,

pemanjangan dari PR, QRS, dan QT interval. 2,5

Periodik paralisis hipokalemi (HypoPP) merupakan bentuk umum dari

kejadian periodik paralisis yang diturunkan, dimana kelainan ini diturunkan secara

autosomal dominan. Dari kebanyakan kasus pada periodik paralisis hipokalemi

terjadi karena mutasi dari gen reseptor dihidropiridin pada kromosom 1q.

Reseptor ini merupakan calcium channel yang bersama dengan reseptor ryanodin

berperan dalam proses coupling pada eksitasi-kontraksi otot. Fontaine et.al telah

berhasil memetakan mengenai lokus gen dari kelainan HypoPP ini terletak

tepatnya di kromosom 1q2131. Dimana gen ini mengkode subunit alfa dari L-type

calcium channel dari otot skeletal secara singkat di kode sebagai CACNL1A3.

Mutasi dari CACNL1A3 ini dapat disubsitusi oleh 3 jenis protein arginin (Arg)

yang berbeda, diantaranya Arg-528-His, Arg-1239-His, dan Arg-1239-Gly. Pada

Arg-528-His terjadi sekitar 50 % kasus pada periodik paralisis hipokalemi familial

dan kelainan ini kejadiannya lebih rendah pada wanita dibanding pria. Pada

wanita yang memiliki kelainan pada Arg-528-His dan Arg-1239-His sekitar

setengah dan sepertiganya tidak menimbulkan gejala klinis.9,10

Sebagai gejala klinis dari periodik paralisis hipokalemi ini ditandai dengan

kelemahan dari otot-otot skeletal episodik tanpa gangguan dari sensoris ataupun

kognitif yang berhubungan dengan kadar kalium yang rendah di dalam darah dan

tidak ditemukan tanda-tanda miotonia dan tidak ada penyebab sekunder lain yang

menyebabkan hipokalemi. Gejala pada penyakit ini biasanya timbul pada usia

14
pubertas atau lebih, dengan serangan kelemahan yang episodik dari derajat ringan

atau berat yang menyebabkan quadriparesis dengan disertai penurunan kapasitas

vital dan hipoventilasi, gejala lain seperti fatigue dapat menjadi gejala awal yang

timbul sebelum serangan, namun hal ini tidak selalu diikuti dengan terjadinya

serangan kelemahan. Serangan sering terjadi saat malam hari atau saat bangun

dari tidur dan dicetuskan dengan asupan karbohidrat yang banyak serta riwayat

melakukan aktivitas berat sebelumnya yang tidak seperti biasanya. Serangan ini

dapat terjadi hingga beberapa jam sampai yang paling berat dapat terjadi beberapa

hari dari kelumpuhan tersebut.1,8

Distribusi kelemahan otot dapat bervariasi. Kelemahan pada tungkai

biasanya terjadi lebih dulu daripada lengan dan sering lebih berat kelemahannya

dibanding lengan, dan bagian proksimal dari ekstremitas lebih jelas terlihat

kelemahannya dibanding bagian distalnya. Terkecuali, kelemahan ini dapat juga

terjadi sebaliknya dimana kelemahan lebih dulu terjadi pada lengan yang

kemudian diikuti kelemahan pada kedua tungkai dimana terjadi pada pasien ini.

Otot-otot lain yang jarang sekali lumpuh diantaranya otot-otot dari mata, wajah,

lidah, pharing, laring, diafragma, dan spingter, namun pada kasus tertentu

kelemahan ini dapat saja terjadi. Saat puncak dari serangan kelemahan otot,

refleks tendon menjadi menurun dan terus berkurang menjadi hilang sama sekali

dan reflek kutaneus masih tetap ada. Rasa sensoris masih baik. Setelah serangan

berakhir, kekuatan otot secara umum pulih biasanya dimulai dari otot yang

terakhir kali menjadi lemah. Miotonia tidak terjadi pada keadaan ini, dan bila

terjadi dan terlihat pada klinis atau pemeriksaan EMG menunjukkan terjadinya

miotonia maka diagnosis HipoPP kita dapat singkirkan.3,8

15
Selain dari anamnesa, pemeriksaan penunjang lain seperti laboratorium

darah dalam hal ini fungsi ginjal, elektrolit darah dan urin, urinalisa urin 24 jam,

kadar hormonal seperti T4 dan TSH sangat membantu kita untuk menyingkirkan

penyebab sekunder dari hipokalemia. Keadaan lain atau penyakit yang dapat

menyebabkan hipokalemi diantaranya intake kalium yang kurang, intake

karbohidrat yang berlebihan, intoksikasi barium, kehilangan kalium karena diare,

periodik paralisis karena tirotoksikosis, renal tubular asidosis, dan

hyperaldosteronism.1

2.5 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah 1,2

2.5.1 Laboratorium

a. Kadar kalium serum

Kalium serum merupakan pemeriksaan laboratorium yang

paling penting. Diantara serangan paralisis, kalium serum abnormal

pada tipe paralisis periodik sekunder, tetapi biasanya normal pada

paralisis periodik primer. Selama serangan kadar kalium serum dapat

tinggi, rendah, atau di atas batas normal dan bisa di bawah batas

normal. Pemeriksaan secara random kadar kalium serum dapat

menunjukan fluktuasi yang periodik pada paralisis periodik

normokalemik. Konsentrasi kalium serum pada 3,0-3,5 mEq/L

berhubungan dengan suatu keadaan klinis seperti kelemahan otot

ringan, fatigue, dan mialgia. Pada konsentrasi serum kalium 2,5-3,0

mEq/L kelemahan otot menjadi lebih berat terutama pada bagian

16
proximal dari tungkai. Ketika serum kalium turun hingga dibawah dari

2,5 mEq/L maka dapat terjadi kerusakan struktural dari otot, termasuk

rhabdomiolisisdan mioglobinuria.

b. Fungsi ginjal

c. Kadar glukosa darah pengambilan glukosa darah ke dalam sel

menyebabkan kalim berpindah dari luar sel (darah) ke dalam sel-sel

tubuh.

d. pH darah

Dibutuhkan untuk menginterpretasikan K+ yang rendah. Alkalosis

biasa menyertai hipokalemia dan menyebabkan pergeseran K+ ke

dalam sel. Asidosis menyebabkan kehilangan K+ langsung dalam urin.

e. Hormon tiroid : T3,T4 dan TSH untuk menyingkirkan penyebab

sekunder hipokalemia.

f. Kadar CPK (creatinin phospokinase) dan mioglobin serum

Kadar CPK tinggi pada paralisis periodik primer selama atau

baru saja setelah serangan. Kadar mioglobin serum juga mungkin

tinggi.

2.5.2 EKG

Perubahan pada EKG ini dapat mulai terjadi pada kadar kalium serum

dibawah 3,5 dan 3,0 mEq/L. Kelainan yang terjadi berupa inversi gelombang

T, timbulnya gelombang U dan ST depresi, pemanjangan dari PR, QRS, dan

QT interval. 8

2.5.3 EMG

17
Di antara serangan, mungkin ada fibrilasi dan pengulangan keluaran

kompleks, meningkat dengan dingin dan menurun dengan latihan (dalam

paralisis periodik hipokalemik). Selama serangan, EMG akan menunjukkan

listrik diam, baik pada paralisis periodik hiperkalemik dan paralisis periodik

hipokalemik.

2.5.4 Biopsi otot

Biopsi otot diperlukan pada beberapa kasus yang dengan penampilan

klinis yang tidak spesifik. Pada paralisis periodik hipokalemik primer

muangkin terdapat vakuola sentral yang tunggal atau mutipel. Pada paralisis

periodik hiperkalemik sekunder, vakuala dan agregat tubular dapat

ditemukan.

2.6 Penatalaksanaan

2.6.1 Paralisis periodik hipokalemik

Seperti pada bentuk lain dari periodik paralisis dan miotonia, kebanyakan

pasien dengan HypoPP tidak memerlukan intervensi farmakologis. Pasien kita

edukasi dan berikan informasi untuk mencegah dan menurunkan kejadian

serangan melalui menghindari kegiatan yang memerlukan kekuatan fisik yang

berat, hindari kedinginan, mengkonsumsi buah-buahan atau jus yang tinggi akan

kalium, membatasi intake karbohidrat dan garam (160 mEq/hari).

Pemberian obat-obatan seperti penghambat carbonic anhidrase dapat

diberikan untuk menurunkan frekuensi dan beratnya serangan kelemahan episodik

dan memperbaiki kekuatan otot diantara serangan. Acetazolamide merupakan obat

jenis tersebut yang banyak diresepkan, dosis dimulai dari 125 mg/hari dan secara

18
bertahap ditingkatkan hingga dosis yang dibutuhkan maksimum 1500 mg/hari.

Pasien yang tidak berespon dengan pemberian acetazolamide dapat diberikan

penghambat carbonic anhidrase yang lebih poten seperti, dichlorphenamide 50

hingga 150 mg/hari atau pemberian diuretik hemat kalium seperti spironolactone

atau triamterine (keduanya dalam dosis 25 hingga 100 mg/hari). Pemberian rutin

kalium chlorida (KCL) 5 hingga 10 g per hari secara oral yang dilarutkan dengan

cairan tanpa pemanis dapat mencegah timbulnya serangan pada kebanyakan

pasien. Pada suatu serangan HypoPP yang akut atau berat, KCL dapat diberikan

melalui intravena dengan dosis inisial 0,05 hingga 0,1 mEq/KgBB dalam bolus

pelan, diikuti dengan pemberian KCL dalam 5% manitol dengan dosis 20 hingga

40 mEq, hindari pemberian dalam larutan glukosa sebagai cairan pembawa.

Kepustakaan lain KCL dapat diberikan dengan dosis 50 mEq/L dalam 250 cc

larutan 5 % manitol. Bisa juga dilakukan pemberian KCL dosis koreksi dengan

menghitung (K target – K)x0,3xBB. 2.4

2.6.2 Paralisis periodik hiperkalemik

Penatalaksanaan dari paralisis periodik hiperkalemik diantaranya : 3

a. Profilaksis : acetazolamide atau diuretik thiazide dapat digunakan untuk

mencegah serangan.

b. Pengobatan saat serangan: pada kasus yang sedang tidak membutuhkan

terapi obat-obatan yang mana hanya dengan minum minuman yang manis

atau permen gula dapat mengurangi serangan. Pada kasus yang

memanjang atau serangan yang lanjut diuretik thiazide dan loop diuretik

(furosemide, bumetanide) digunakan dalam dosis yang cukup tinggi untuk

menurunkan kadar kalium menjadi normal. Jika kadar kalium darah sangat
19
tinggi dapat diberikan secara intravena 20 ml kalsium glukonas 20% atau

drip normal saline atau secara intravena glukosa 10% ditambah insulin.

Jika gagal atau intoleransi terhadap diuretik, salbutamol dapat diberikan

secara intravena untuk mengatasi serangan.

2.6.3 Pengobatan paralisis periodik normokalemik

Penatalaksanaan sama dengan paralisis periodik hiperkalemik, seperti: 3

a. Diet tinggi karbohidrat, seperti permen gula

b. Thiazide, seperti chlorthalidone 250-1000 mg/hari

c. Pemberian secara intravena normal saline dan kalsium glukonas

d. Pemberian secara intravena insulin dan glukosa

2.6.4 Pengobatan paralisis periodik sekunder

Prinsip utamanya adalah penyebeb utamanya harus diobati dahulu, obat-

obatan yang memperburuk kondisi dihentikan. Suplemen kalium harus diberikan

pada paralisis periodik hipokalemik. Loop diuretik, glukosa ditambah insulin

secara intravena, atau kalsium glukonas harus diberikan pada paralisis periodik

hiperkalemik.3

a. Paralisis periodik karena tirotoksikosis: pada kelainan ini terdapat

hipokalemia, pengobatan dengan memberikan kalium klorida dengan beta

bloker dan carbimazole (Neomercazole). Acetazolamide tidak efektif Pada

kondisi emergensi propanolol secara intravena dapat diberikan.

b. Paralisis periodik karena keracunan barium akut: diberikan larutan

magnesium sulfat 2,5 gm secara intravena bolus tunggal. Pada kasus yang

20
masih awal, lavase lambung dengan magnesium sulfat (2,5%) dapat

dibeikan. Bantuan ventilator dapat diberikan jika diperlukan. Hipokalemia

diatasi dengan pemberian secara intravena kalium klorida. Natrium sulfat

dapat digunakan menggantikan magnesium sulfat.

c. Paralisis periodik karena paramyotonia kongenital: biasanya terdapat

hiperkalemia dan paralisis dipicu oleh dingin. Karenanya itu, pasien harus

di tempatkan di tempat yang hangat. Pengobatan terdiri dari pemberian

oral atau secara intravena glukosa dan oral thiazide.

d. Sindrom Andersen: pasien harus dimasukkan ke ICU untuk monitoring

jantung dan pengobatan segera untuk disritmia jantung. Jika kadar kalium

serum rendah, meningkat, atau normal pengobatan untuk hipokalemia atau

hiperkalemia dilakukan berdasarkan kadar kalium serum.

2.7 Prognosis

Hiperkalemik periodik paralisis dan paramyotonia kongenital

- Ketika tidak dihubungkan dengan kelemahan, kelainan ini biasanya tidak

mengganggu pekerjaan.

- Myotonia bisa memerlukan pengobatan

- Harapan hidup tidak diketahui.

Hipokalemik periodik paralisis

- Pasien yang tidak diobati bisa mengalami kelemahan proksimal menetap,

yang bisa mengganggu aktivitas

- Beberapa kematian sudah dilaporkan, paling banyak dihubungkan dengan

aspirasi pneumonia atau ketidakmampuan membersihkan sekresi

21
22
BAB 3

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. M

Umur : 15 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Koto Balingka, Pasaman Barat

Pekerjaan : Pelajar

Agama : Islam

Tanggal Masuk: 2 Desember 2016

ANAMNESA

Seorang pasien perempuan usia 15 tahun masuk bangsal Neurologi RSUP Dr M

Djamil padang dengan:

Keluhan Utama :

Lemah pada keempat anggota gerak.

Riwayat Penyakit Sekarang :

- Lemah keempat anggota gerak sejak 1 minggu yang lalu, terjadi berangsur-

angsur. Kelemahan awalnya dirasakan dikedua tungkai lalu mengenai kedua

lengan. Kelemahan dirasakan semakin bertambah berat dimana pasien hanya

dapat menggerakkan jari-jari kaki dan menggeser lengan. Sekarang

kelemahan dirasakan sudah berkurang.

- Gangguan rasa kebas tidak ada.

23
- Demam (-)

- Mual (-) muntah (-)

- Sesak nafas (-)

- Riwayat kelopak mata jatuh (-)

- BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu :

- Riwayat lemah keempat anggota gerak sejak umur 3,5 tahun, kontrol ke

dokter di RS Simpang Empat Pasaman.

Riwayat Penyakit Keluarga:

Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama.

Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien seorang pelajar dengan aktivitas fisik sedang.

PEMERIKSAAN FISIK

Vital Sign

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Composmentis Cooperative GCS15 (E 4V 6M5)

Tekanan darah : 110 / 70 mmHg

Frekuensi nadi : 88x/menit, teratur

Frekuensi nafas : 20 x/menit

Suhu : 36,80C

24
Tinggi Badan : 120 cm

Berat Badan : 28 kg

Status Gizi : sedang

Status Internus

Kulit : Tidak ada kelainan

Rambut : Hitam, tidak mudah rontok

Kepala : Tidak ditemukan kelainan

KGB : Tidak ada pembesaran KGB

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Telinga : Tidak ada kelainan

Hidung : Tidak ada kelainan

Tenggorokan : Tidak hiperemis

Mulut : Karies tidak ada

Thoraks

Paru :

Inspeksi : Simetris kiri dan kanan

Palpasi : Fremitus kiri dan kanan sama

Perkusi : Sonor

Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada

Jantung :

Inspeksi : Iktus tidak terlihat

Palpasi : Iktus teraba pada 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : Batas jantung kanan : linea sternalis dextra

Batas jantung kiri : 1 jari medial linea LMCS RIC V

25
Batas jantung atas : Linea parasternalis RIC II

Auskultasi : Bunyi jantung murni, irama teratur, bising tidak ada

Abdomen : Inspeksi : Perut tidak membuncit

Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Punggung : deformitas tidak ada, gibus tidak ada

Status Neurologikus :

 Tanda rangsangan selaput otak

Kaku kuduk :- Brudzinsky II : -

Brudzinsky I : - Kernig :-

 Tanda peningkatan Tekanan Intra Kranial

Pupil isokor Ø ukuran 3 mm/3mm

N. I (Olfaktorius)
Penciuman Kanan Kiri
Subjektif Baik Baik
Objektif (dengan bahan) Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. II (Optikus)
Penglihatan Kanan Kiri
Tajam penglihatan Baik Baik

Lapangan pandang Normal Normal

Melihat warna Baik Baik


Funduskopi Normal Normal

26
N. III (Okulomotorius)
Kanan Kiri
Bola mata Bulat Bulat
Ptosis - -
Gerakan bulbus Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah

Strabismus - -

Nistagmus - -

Ekso/endotalmus - -

Pupil
 Bentuk Isokor Isokor
 Refleks cahaya + +
 Refleks akomodasi + +
 Refleks konvergensi + +

N. IV (Trochlearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah + +
Sikap bulbus Ortho Ortho

Diplopia - -

N. VI (Abdusen)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral + +
Sikap bulbus Ortho Ortho

Diplopia - -

N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik
 Membuka mulut + +
 Menggerakkan rahang + +
 Menggigit + +
 Mengunyah + +
Sensorik
 Divisi oftalmika
- Refleks kornea + +

27
- Sensibilitas + +
 Divisi maksila
- Refleks masetter - -
- Sensibilitas + +
 Divisi mandibula
- Sensibilitas + +

N. VII (Fasialis)
Kanan Kiri
Raut wajah Simetris Simetris
Sekresi air mata + +
Fissura palpebra + +

Menggerakkan dahi + +
Menutup mata + +

Mencibir/ bersiul + +

Memperlihatkan gigi + +

Sensasi lidah 2/3 depan + +

N. VIII (Vestibularis)
Kanan Kiri
Suara berbisik + +

Detik arloji + +

Rinne tes Tidak diperiksa Tidak diperiksa

Weber tes Tidak diperiksa

Schwabach tes Tidak diperiksa


- Memanjang
- Memendek
Nistagmus
- Pendular
- Vertikal - -
- Siklikal - -
- -
Pengaruh posisi kepala - -

N. IX (Glossopharyngeus)
Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang + +
Refleks muntah + +

28
N. X (Vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Simetris Simetris
Uvula Simetris Simetris
Menelan + +
Artikulasi Jelas Jelas
Suara + +
Nadi Regular Regular

N. XI (Asesorius)
Menoleh ke kanan +
Menoleh ke kiri +
Mengangkat bahu ke +
kanan
Mengangkat bahu ke kiri +

N. XII (Hipoglosus)
Kanan Kiri
Kedudukan lidah dalam Deviasi - Deviasi -
Kedudukan lidah dijulurkan Deviasi - Deviasi -
Tremor - -
Fasikulasi - -
Atropi - -

Pemeriksaan koordinasi
Cara berjalan Normogait Normogait
Romberg tes Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Ataksia Tidak diperiksa Tidak diperiksa

Rebound Tidak diperiksa Tidak diperiksa


phenomen
Test tumit lutut Tidak diperiksa Tidak diperiksa

29
Pemeriksaan fungsi motorik

a. Badan Respirasi Spontan


Duduk Baik
b. Berdiri dan Gerakan spontan -
berjalan Tremor -
Atetosis -
Mioklonik -
Khorea -
c. Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Kekuatan 444 444 444 444
Tropi Eutrofi eutrofi eutrofi eutrofi

Tonus Eutonus eutonus eutonus eutonus

Pemeriksaan sensibilitas: eksteroseptif dan proprioseptif baik.

Sistem refleks
a. Fisiologis Kanan Kiri Kanan Kiri
Kornea (+) (+) Biseps + +
Berbangkis Triseps + +
Laring KPR + +
Masetter APR + +
Dinding perut Bulbokvernosus
 Atas - - Cremaster
 Tengah - - Sfingter

 Bawah - -

b.Patologis Kanan Kiri Kanan Kiri


Lengan Babinski (-) -)
Hoffmann- (-) (-) Chaddocks (-) (-)
Tromner
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Klonus paha (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)

30
Fungsi otonom
- Miksi : unhibited bladder -
- Defekasi : baik
- Sekresi keringat : baik

Fungsi luhur : Baik


Kesadaran Tanda Dementia
 Reaksi bicara Baik  Reflek glabella -
 Fungsi intelek Baik  Reflek Snout -
 Reaksi emosi Baik  Reflek menghisap -
 Reflek memegang -
 Reflek -
palmomental

Pemeriksaan Laboratorium

Hb : 15,3 gr/dl
Ht : 40%
Leukosit : 14690/mm3
Trombosit : 375.000/mm3

Na/K/Cl : 142/2,4/112

GDS : 94 gr/dl

Ur/Cr :40/1

31
Kesan: hipokalemia

EKG: sinus rhytm, HR 88x/’, ST change (-) gel T normal. Kesan dalam batas

normal.

DIAGNOSA

Diagnosis Klinik : Tetraparese Tipe LMN

Diagnosis Topik : Ion Channel Gate

Diagnosis Etiologi : Hipokalemia

Diagnosis Sekunder : -

Diagnosa Banding : Sindroma Guillan Barre

PENATALAKSANAAN

Umum : IVFD Asering 12 jam/ kolf

Diet MB rendah karbohidrat 1500 kkal

Khusus: Drip KCl 18 mEq dalam 300cc asering kecepatan 8 jam/kolf

KSR 2x600 mg

Ranitidin 2x50 mg iv

RENCANA PEMERIKSAAN SELANJUTNYA

1. Kalium post koreksi

2. Fungsi Ginjal

3. EMG

4. Fungsi tiroid: FT4 dan TSH

32
PROGNOSIS

Quo Ad Vitam : bonam

Quo Ad Functionam : dubia ad bonam

Follow Up

Tanggal Na/K/Cl Koreksi

3/12/2016 139/2,7/113 15 mEq  1 flc

4/12/2016 141/2,6/112 15 mEq  1 flc

5/12/2016 142/3,2/116 14,4 Meq  1 flc

7/12/2016 138/3,3/110 KSR 2x600 mg

Follow Up Etiologi:

1. Dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal yaitu cek kadar Ur/Cr : 24/1,3 dan

pemeriksaan urin dalam batas normal.

2. AGD : asidosis metabolik terkompensasi sebagian.

3. Dikonsulkan ke penyakit dalam dengan assessment Periodik Paralisis ec

hipokalemia; hipakalemia ec renal loss dd/ ekstrarenal loss.

BAB 4
33
DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien perempuan berusia 15 tahun dengan

diagnosis periodik paralisis pada tanggal 2 Desember 2016.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan keluhan lemah keempat

anggota gerak yang terjadi berangsur-angsur mulai dari tungkai sampai lengan.

Tidak ditemukan gangguan rasa kebas, gangguan BAB dan BAK. Tidak ada

demam maupun diare sebelum terjadi kelemahan. Selanjutnya dari pemeriksaan

fisik tidak ditemukan gangguan nervus kranialis. Fungsi motorik terganggu,

dengan kekuatan otot ekstremitas masing-masingnya 4, dengan penurunan refleks

fisiologis. Gangguan sensorik dan otonom tidak ditemukan.

Keadaan diatas bisa merujuk ke berbagai kelainan, terutama kelainan

lower motor neuron. SGB masih bisa dijadikan diagnosa banding karena pola

kelemahan yang terjadi sesuai juga dengan pola SGB, namun tidak ada demam

atau diare yang mendahului pada kasus ini.

Telah dilakukan pemeriksaan penunjang berupa labor darah untuk melihat

kelainan elektrolit dan ditemukan kadar kalium darah yang rendah. Maka

ditegakkanlah diagnosis periodik paralisis. Untuk mencari etiologi, dianjurkan

dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid dan fungsi ginjal. Pada pasien ini tidak

ditemukan adanya kelainan.

Paralisis Periodik (PP) adalah sekelompok gangguan otot rangka dengan

bermacam etiologi, bersifat episodik, berlangsung sebentar, hiporefleks, dengan

atau tanpa miotonia tetapi tanpa defisit sensorik dan tanpa kehilangan kesadaran.

Paralisis periodik adalah gangguan otot rangka di mana pasien mengalami


34
serangan kelemahan otot dengan durasi dan derajat yang bervariasi. Serangan

dapat berlangsung dari beberapa menit sampai beberapa hari. Gangguan ini

disebabkan oleh gangguan kadar kalium dalam darah.

Penatalaksanaan kasus ini adalah koreksi kalium dengan pemberian Drip

KCl 18 mEq dalam 300cc asering kecepatan 8 jam/kolf dan KSR 2x600 mg.

Setelah koreksi dilakukan juga pemeriksaan kalium post koreksi sampai tercapai

batas normal. Untuk penelusuran etiologi, pada pasien ini telah dilakukan

pemeriksaan fungsi ginjal, dimana hasil labor darah dan urin dikonsulkan ke

bagian penyakit dalam dan di assessment dengan hipokalemia ec renal loss untuk

selanjutnya ditelusuri kembali.

35

Anda mungkin juga menyukai