Anda di halaman 1dari 29

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................ i

KATA PENGANTAR ........................................................................... ii

DAFTAR ISI .......................................................................................... iii

BAB I Pendahuluan .............................................................................. 1

BAB II Tinjauan Pustaka ..................................................................... 2

BAB III Tinjauan Pustaka .................................................................. 13

BAB IV Analisa Kasus .......................................................................... 43

BAB V Kesimpulan ............................................................................... 47

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 49


BAB I

PENDAHULUAN

Periodik paralisis hipokalemi merupakan kelainan pada membran sel yang


sekarang ini dikenal sebagai salah satu kelompok kelainan penyakit channellopathies
pada otot skeletal. Kelainan ini dikarakteristikkan dengan terjadinya suatu episodik
kelemahan otot tiba-tiba yang diakibatkan gangguan pada kadar kalium serum.
Periodik paralisis ini dapat terjadi pada suatu keadaan hiperkalemia atau
hipokalemia. ditandai dengan kadar kalium (kalium) yang rendah (kurang dari 3.5
mmol/L) pada saat serangan, disertai riwayat episode kelemahan sampai kelumpuhan
otot skeletal. Hipokalemia dapat terjadi karena adanya faktor pencetus tertentu,
misalnya makanan dengan kadar karbohidrat tinggi, perjalanan jauh, pemberian
obat, operasi, menstruasi, konsumsi alkohol dan lain-lain. Penderita dapat mengalami
serangan hanya sekali, tetapi dapat juga serangan berkali-kali (berulang) dengan
interval waktu serangan juga bervariasi. 1

Kelemahan biasanya terjadi pada otot kaki dan tangan, tetapi kadangkadang
dapat mengenai otot mata, otot pernafasan dan otot untuk menelan, di mana kedua
keadaan terakhir ini dapat berakibat fatal. Angka kejadian adalah sekitar 1 diantara
100.000 orang, pria lebih sering dari wanita dan biasanya lebih berat. Usia terjadinya
serangan pertama bervariasi dari 1–20 tahun, frekuensi serangan terbanyak di usia
15–35 tahun dan kemudian menurun dengan peningkatan usia. Hipokalemik periodik
paralisis biasanya terjadi karena kelainan genetik otosomal dominan. Hal lain yang
dapat menyebabkan terjadinya hipokalemik periodik paralisis adalah tirotoksikosis
(thyrotoxic periodic paralysis), hiperinsulin.2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Paralisis periodik (PP) adalah sekelompok gangguan otot rangka dengan


bermacam etiologi, episodik, berlangsung sebentar, dan hiporefleks kelemahan otot
rangka, dengan atau tanpa myotonia tetapi tanpa defisit sensorik dan tanpa
kehilangan kesadaran. Pasien mengalami serangan kelemahan otot dengan durasi dan
keparahan yang bervariasi. Serangan dapat berlangsung dari beberapa menit sampai
beberapa hari. Kelemahan dalam serangan dapat general atau fokal. Dalam
perjalanan penyakitnya dari penyakit otot ini, kekuatan normal kembali setelah
serangan, tetapi kemudian kelemahan otot signifikan yang menetap sering
berkembang. Pada awal perjalanan penyakit ini, kelumpuhan periodik primer atau
yang diturunkan (familial), kekuatan otot normal di antara serangan. Setelah
bertahun-tahun serangan ini, kelemahan interiktal terjadi dan mungkin progresif.
Gangguan ini dapat diobati dan kelemahan progresif dapat dicegah atau bahkan dapat
sembuh 1,3.

2. Klasifikasi

Paralisis periodik dibagi menjadi dua golongan berdasarkan penggolongan secara


konvensional yaitu paralisis periodik primer atau familial dan paralisis periodik
sekunder. Paralisis periodik primer atau familial merupakan kelompok gangguan
akibat mutasi gen tunggal yang mengakibatkan kelainan saluran kalsium, kalium
natrium, dan klorida pada sel otot - membran. Oleh karena itu, ini juga dikenal
sebagai channelopathies atau membranopathies 1.

Paralisis periodik sekunder mungkin karena terbukti diketahui oleh beberapa


penyebab. Pada paralisis periodik sekunder, bahkan antar-iktal tingkat kalium dalam
serum tidak normal. Riwayat penggunaan ACE inhibitor, angiotensin-II-reseptor-
blocker, diuretik, atau carbenoxolone memberikan petunjuk untuk diagnosis paralisis
periodik sekunder. Karakteristik klinis atau biokimia dari gagal ginjal kronis,
tirotoksikosis, paramyotonia kongenital, atau sindrom Andersen dapat ditemukan
kelumpuhan periodik sekunder. Berikut di bawah ini penggolongan paralisis periodik
secara konvensional 1.

A. Paralisis periodik primer atau familial:

i. Paralisis periodik hipokalemik

ii. Paralisis periodik hiperkalemik

iii. Paralisis periodik normokalemik

Semua di atas diturunkan secara autosomal dominan

B. Paralisis periodik sekunder:

i. Paralisis periodik hipokalemik.

a) Tirotoksikosis

b) Thiazide atau loop-diuretic induced

c) Nefropati yang menyebabkan kehilangan kalium

d) Drug-induced: gentamicin, carbenicillin,amphotericin-B, turunan


tetrasiklin, vitamin B12 , alkohol, carbenoxolone

e) Hiperaldosteron primer atau sekunder

f) Keracunan akut akibat menelan barium karbonat sebagai rodentisida

g) Gastro-intestinal potassium loss

ii. Paralisis periodik hiperkalemik:

a) Gagal ginjal kronis

b) Terapi ACE-inhibitor dosis tinggi, atau nefropati diabetik lanjut

c) Potassium supplements jika digunakan bersama potassium sparing


diuretics (spironolactone, triamterene, amiloride) dan atau ACE-
inhibitors.
d) Andersen’s cardiodysrhythmic syndrome

e) Paramyotonia congenita-periodic paralysis terjadi spontan atau dipicu


oleh paparan suhu dingin

A. Paralisis periodik hipokalemik

Paralisis periodik hipokalemik adalah kelainan yang ditandai kelemahan otot


akut karena hipokalemia yang terjadi secara episodik. Sebagian besar paralisis
periodik hipokalemik merupakan paralisis periodik hipokalemik primer atau
familial. Paralisis periodik hipokalemik sekunder bersifat sporadik dan biasanya
berhubungan dengan penyakit tertentu atau keracunan. Salah satu kelainan ginjal
yang dapat menyebabkan paralisis periodik hipokalemik sekunder adalah asidosis
tubulus renalis distal (ATRD) yang awitan pertama biasanya terjadi pada masa
dewasa. Gejala klinis yang karakteristik adalah kelemahan otot akut yang bersifat
intermiten, gradual, biasanya pada ekstremitas bawah, dapat unilateral atau
bilateral, disertai nyeri di awal serangan. Paralisis periodik hipokalemik diterapi
dengan kalium dan mengobati penyakit dasarnya. Analisis yang cermat
diperlukan untuk mengetahui penyakit dasarnya karena sangat menentukan tata
laksana dan prognosis selanjutnya 5.

Paralisis periodik hipokalemik adalah kelainan yang ditandai dengan kadar


kalium yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat serangan, disertai
riwayat episode kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal. Hipokalemia dapat
terjadi karena adanya faktor pencetus tertentu, misalnya makanan dengan kadar
karbohidrat tinggi, istirahat sesudah latihan fisik, perjalanan jauh, pemberian
obat, operasi, menstruasi, konsumsi alkohol dan lain-lain. Kadar insulin juga
dapat mempengaruhi kelainan ini pada banyak penderita, karena insulin akan
meningkatkan aliran kalium ke dalam sel. Pada saat serangan akan terjadi
pergerakan kalium dari cairan ekstra selular masuk ke dalam sel, sehingga pada
pemeriksaan kalium darah terjadi hipokalemia. Kadar kalium biasanya dalam
batas normal diluar serangan. Pencetus untuk setiap individu berbeda, juga tidak
ada korelasi antara besarnya penurunan kadar kalium serum dengan beratnya
paralisis (kelemahan) otot skeletal 4.
Penderita dapat mengalami serangan hanya sekali, tetapi dapat juga serangan
berkali-kali (berulang) dengan interval waktu serangan juga bervariasi.
Kelemahan biasanya terjadi pada otot kaki dan tangan, tetapi kadang-kadang
dapat mengenai otot mata, otot pernafasan dan otot untuk menelan, di mana
kedua keadaan terakhir ini dapat berakibat fatal. Angka kejadian adalah sekitar 1
diantara 100.000 orang, pria lebih sering dari wanita dan biasanya lebih berat.
Usia terjadinya serangan pertama bervariasi dari 1–20 tahun, frekuensi serangan
terbanyak di usia 15–35 tahun dan kemudian menurun dengan peningkatan usia.
Hipokalemik periodik paralisis biasanya terjadi karena kelainan genetik otosomal
dominan. Hal lain yang dapat menyebabkan terjadinya hipokalemik periodik
paralisis adalah tirotoksikosis (thyrotoxic periodic paralysis), hiperinsulin 4.

Diagnosa kelainan hipokalemik periodik paralisis ditegakkan berdasarkan


kadar kalium darah rendah [kurang dari 3,5 mmol/L (0,9–3,0 mmol/L) ] pada
waktu serangan, riwayat mengalami episode flaccid paralysis dengan
pemeriksaan lain dalam batas normal. Paralisis yang terjadi pada penyakit ini
umumnya berlokasi di bahu dan panggul meliputi juga tangan dan kaki, bersifat
intermiten, serangan biasanya berakhir sebelum 24 jam, pada EMG dan biopsi
otot ditemukan miotonia, refleks Babinsky positif, kekuatan otot normal diluar
serangan. Terdapat 2 bentuk kelainan otot yang diobservasi yaitu episode
paralitik dan bentuk miopati, kedua keadaan ini dapat terjadi secara terpisah
ataupun bersama-sama. Sering terjadi bentuk paralitik murni, kombinasi episode
paralitik dan miopati yang progresifitasnya lambat jarang terjadi, demikian pula
bentuk miopatik murni jarang terjadi. Episode paralitik ditandai terutama adanya
flaccid paralysis dengan hipokalemia sehingga dapat terjadi para paresis atau
tetraparesis berpasangan dengan otot pernafasan. Pada pasien ini murni flaccid
paralysis dengan hipokalemia dan akan sembuh atau remisi sendiri 5–6 jam
kemudian, dengan pemberian kalium per oral serangan menjadi lebih ringan.
Tidak terdapat kelainan pada otot pernafasan. Jika terdapat kelainan genetik
maka pada analisa didapatkan kelainan antara lain adalah autosomal dominan
inheritance yaitu mutasi pada kromososm CACNA1S (70%) disebut hipokalemik
periodik paralisis tipe 1, mutasi lokus pada kromosom SCN4A (10%) disebut
hipokalemik periodik paralisis tipe 2 4.
B. Paralisis periodik hiperkalemik

Lebih jarang dibanding paralisis periodik hipokalemik. Mulai timbul sebelum


umur 10 tahun. Frekuensi dan berat serangan berkurang pada masa remaja dan
hilang pada saat dewasa. Frekuensi laki-laki dan wanita sama. Berbagai faktor
pencetus terjadinya paralisis periodik hiperkalemik diantaranya 6,7.

1. Lapar

2. Istirahat setelah kena dingin atau setelah latihan

3. Asupan kalium yang berlebihan

4. Infeksi

5. Kehamilan

6. Anestesi

Pada paralisis periodik hiperkalemia, karbohidrat dan garam bukan


merupakan faktor pencetus. Gejala lebih ringan dibandingkan paralisis periodik
hipokalemia. Biasanya berlangsung kurang dari 1 jam. Serangan lebih sering
terjadi pada siang hari dan biasanya terjadi waktu istirahat, misalnya sedang
duduk. Keluhan berkurang bila penderita berjalan-jalan. Kelemahan dimulai dari
tungkai lalu menjalar ke paha, punggung, tangan, lengan dan bahu. Sebelum
timbul kelemahan biasanya terdapat rasa kaku dan kesemutan pada kedua
tungkai. Jarang terjadi gangguan menelan dan napas. Sering terdapat miotonia
pada otot mata, wajah, lidah dan faring. Pada saat serangan didapatkan tonus dan
refleks fisiologis yang menurun dan tanda Chovstek yang positif. Diluar serangan
kekuatan otot normal, pada fase lanjut terdapat kelemahan otot-otot proksimal 6,7.

C. Paralisis Periodik Normokalemik

Jenis ini paling jarang ditemui. Patofisiologinya belum diketahui. Serangan lebih
berat dan lebih lama daripada paralisis periodik hiperkalemia. Serangan dapat
ditimbulkan oleh pemberian KCl dan dapat dihentikan dengan pemberian NaCl.
Serangan tidak dipicu oleh pemberian insulin, glukosa ataupun kalium 2.
Karakteristik klinis perbedaan dari paralisis periodik hiperkalemik dan paralisis
hipokalemik dapat dilihat pada tabel di bawah ini 3.

Paralisis periodik Paralisis peiodik


hiprekalemik hipokalemik

Onset Dekade pertama Dekade kedua

Pemicu Istirahat sehabis latihan, Istirahat sehabis latihan,


dingin, puasa, makanan kelebihan karbohidrat
kaya kalium

Waktu serangan Kapan pun Pada saat bangun tidur


pagi hari

Durasi serangan Beberapa menit sampai Beberapa jam sampai


beberapa jam beberapa hari

Keparahan serangan Ringan sampai sedang, Sedang sampai berat


fokal

Gejala tambahan Miotonia atau -


paramiotonia

Kalium serum Biasanya tinggi, bisa Rendah


normal

Pengobatan Acetazolamide, Acetazolamide,


dichlorphenamide, dichlorphenamide,
thiazide, beta-agonist suplemen kalium,
diuretik hemat kalium

Gen/ ion channel SCN4A: Nav1.4 (sodium CACNA1S: Cav1.1


channel subunit (calcium channel
subunit)
KCNJ2: Kir2.1 (pottasium
channel subunit) SCN4A: Nav1.4
(sodium channel
subunit)

KCNJ2: Kir2.1
(pottasium channel
subunit)

3. Etiologi

Sinyal listrik pada otot skeletal, jantung, dan saraf merupakan suatu alat
untuk mentransmisikan suatu informasi secara cepat dan jarak yang jauh. Kontraksi
otot skeletal diinisiasi dengan pelepasan ion kalsium oleh retikulum sarkoplasma,
yang kemudian terjadi aksi potensial pada motor end-plate yang dicetuskan oleh
depolarisasi dari transverse tubule (T tubule). Ketepatan dan kecepatan dari jalur
sinyal ini tergantung aksi koordinasi beberapa kelas voltage-sensitive kanal ion.
Mutasi dari gen dari kanal ion tersebut akan menyebabkan kelainan yang diturunkan
pada manusia. Dan kelainannya disebut chanelopathies yang cenderung
menimbulkan gejala yang paroksismal : miotonia atau periodik paralisis dari otot-oto
skeletal. Defek pada kanal ion tersebut dapat meningkatkan eksitasi elektrik suatu
sel, menurunkan kemampuan eksitasi, bahkan dapat menyebabkan kehilangan
kemampuan eksitasi. Dan kehilangan dari eksitasi listrik pada otot skeletal
merupakan kelainan dasar dari periodik paralisis 8.

4. Patofisiologi

A. Kalium

Kalium memiliki fungsi mempertahankan membran potensial elektrik dalam


tubuh dan menghantarkan aliran saraf di otot. Kalium mempunyai peranan yang
dominan dalam hal eksitabilitas sel, terutama sel otot jantung, saraf, dan otot
lurik. Kalium mempunyai peran vital di tingkat sel dan merupakan ion utama
intrasel. Ion ini akan masuk ke dalam sel dengan cara transport aktif, yang
memerlukan energi. Fungsi kalium akan nampak jelas bila fungsi tersebut
terutama berhubungan dengan aktivitas otot jantung, otot lurik, dan ginjal.
Eksitabilitas sel sebanding dengan rasio kadar kalium di dalam dan di luar sel.
Berarti bahwa setiap perubahan dari rasio ini akan mempengaruhi fungsi dari sel–
sel yaitu tidak berfungsinya membran sel yang tidak eksitabel, yang akan
menyebabkan timbulnya keluhan–keluhan dan gejala–gejala sehubungan dengan
tidak seimbangnya kadar kalium. Kadar kalium normal intrasel adalah 135 –150
mEq/L dan ekstrasel adalah 3,5–5,5mEq/L. Perbedaan kadar yang sangat besar
ini dapat bertahan, tergantung pada metabolisme sel. Dengan demikian situasi di
dalam sel adalah elektro negatif dan terdapat membran potensial istirahat kurang
lebih sebesar -90 mvolt 8.

B. Paralisis periodik hipokalemik

Hipokalemia merupakan kelainan elektrolit yang sering terjadi pada praktek


klinis yang didefinisikan dengan kadar kalium serum kurang dari 3,5 mEq/L,
pada hipokalemia sedang kadar kalium serum 2,5-3 mEq/L, dan hipokalemia
berat kadar kalium serumnya kurang dari 2,5 mEq/L. Keadaan ini dapat
dicetuskan melalui berbagai mekanisme, termasuk asupan yang tidak adekuat,
pengeluaran berlebihan melalui ginjal atau gastrointestinal, obat-obatan, dan
perpindahan transelular (perpindahan kalium dari serum ke intraselular). Gejala
hipokalemi ini terutama terjadi kelainan di otot. Konsentrasi kalium serum pada
3,0-3,5 mEq/L berhubungan dengan suatu keadaan klinis seperti kelemahan otot
ringan, fatigue, dan mialgia. Pada konsentrasi serum kalium 2,5-3,0 mEq/L
kelemahan otot menjadi lebih berat terutama pada bagian proximal dari tungkai.
Ketika serum kalium turun hingga dibawah dari 2,5 mEq/L maka dapat terjadi
kerusakan struktural dari otot, termasuk rhabdomiolisis dan miogobinuria.
Peningkatan osmolaritas serum dapat menjadi suatu prediktor terjadinya
rhabdomiolisis. Selain itu suatu keadaan hipokalemia dapat mengganggu kerja
dari organ lain, terutama sekali jantung yang banyak sekali mengandung otot dan
berpengaruh terhadap perubahan kadar kalium serum. Perubahan kerja jantung
ini dapat kita deteksi dari pemeriksaan elektrokardiogram (EKG). Perubahan
pada EKG ini dapat mulai terjadi pada kadar kalium serum dibawah 3,5 dan 3,0
mEq/L. Kelainan yang terjadi berupa inversi gelombang T, timbulnya gelombang
U dan ST depresi, pemanjangan dari PR, QRS, dan QT interval 1,6.

Periodik paralisis hipokalemi (HypoPP) merupakan bentuk umum dari


kejadian periodik paralisis yang diturunkan, dimana kelainan ini diturunkan
secara autosomal dominan. Dari kebanyakan kasus pada periodik paralisis
hipokalemi terjadi karena mutasi dari gen reseptor dihidropiridin pada kromosom
1q. Reseptor ini merupakan calcium channel yang bersama dengan reseptor
ryanodin berperan dalam proses coupling pada eksitasi-kontraksi otot. Fontaine
et.al telah berhasil memetakan mengenai lokus gen dari kelainan HypoPP ini
terletak tepatnya di kromosom 1q2131. Dimana gen ini mengkode subunit alfa
dari L-type calcium channel dari otot skeletal secara singkat di kode sebagai
CACNL1A3. Mutasi dari CACNL1A3 ini dapat disubsitusi oleh 3 jenis protein
arginin (Arg) yang berbeda, diantaranya Arg-528-His, Arg-1239-His, dan Arg-
1239-Gly. Pada Arg-528-His terjadi sekitar 50 % kasus pada periodik paralisis
hipokalemi familial dan kelainan ini kejadiannya lebih rendah pada wanita
dibanding pria. Pada wanita yang memiliki kelainan pada Arg-528-His dan Arg-
1239-His sekitar setengah dan sepertiganya tidak menimbulkan gejala klinis 9,10.

Sebagai gejala klinis dari periodik paralisis hipokalemi ini ditandai dengan
kelemahan dari otot-otot skeletal episodik tanpa gangguan dari sensoris ataupun
kognitif yang berhubungan dengan kadar kalium yang rendah di dalam darah dan
tidak ditemukan tanda-tanda miotonia dan tidak ada penyebab sekunder lain yang
menyebabkan hipokalemi. Gejala pada penyakit ini biasanya timbul pada usia
pubertas atau lebih, dengan serangan kelemahan yang episodik dari derajat ringan
atau berat yang menyebabkan quadriparesis dengan disertai penurunan kapasitas
vital dan hipoventilasi, gejala lain seperti fatigue dapat menjadi gejala awal yang
timbul sebelum serangan, namun hal ini tidak selalu diikuti dengan terjadinya
serangan kelemahan. Serangan sering terjadi saat malam hari atau saat bangun
dari tidur dan dicetuskan dengan asupan karbohidrat yang banyak serta riwayat
melakukan aktivitas berat sebelumnya yang tidak seperti biasanya. Serangan ini
dapat terjadi hingga beberapa jam sampai yang paling berat dapat terjadi
beberapa hari dari kelumpuhan tersebut 3,8.
Distribusi kelemahan otot dapat bervariasi. Kelemahan pada tungkai biasanya
terjadi lebih dulu daripada lengan dan sering lebih berat kelemahannya dibanding
lengan, dan bagian proksimal dari ekstremitas lebih jelas terlihat kelemahannya
dibanding bagian distalnya. Terkecuali, kelemahan ini dapat juga terjadi
sebaliknya dimana kelemahan lebih dulu terjadi pada lengan yang kemudian
diikuti kelemahan pada kedua tungkai dimana terjadi pada pasien ini. Otot-otot
lain yang jarang sekali lumpuh diantaranya otot-otot dari mata, wajah, lidah,
pharing, laring, diafragma, dan spingter, namun pada kasus tertentu kelemahan
ini dapat saja terjadi. Saat puncak dari serangan kelemahan otot, refleks tendon
menjadi menurun dan terus berkurang menjadi hilang sama sekali dan reflek
kutaneus masih tetap ada. Rasa sensoris masih baik. Setelah serangan berakhir,
kekuatan otot secara umum pulih biasanya dimulai dari otot yang terakhir kali
menjadi lemah. Miotonia tidak terjadi pada keadaan ini, dan bila terjadi dan
terlihat pada klinis atau pemeriksaan EMG menunjukkan terjadinya miotonia
maka diagnosis HypoPP kita dapat singkirkan 1,8.

Selain dari anamnesa, pemeriksaan penunjang lain seperti laboratorium darah


dalam hal ini fungsi ginjal, elektrolit darah dan urin, urinalisa urin 24 jam, kadar
hormonal seperti T4 dan TSH sangat membantu kita untuk menyingkirkan
penyebab sekunder dari hipokalemia. Keadaan lain atau penyakit yang dapat
menyebabkan hipokalemi diantaranya intake kalium yang kurang, intake
karbohidrat yang berlebihan, intoksikasi barium, kehilangan kalium karena diare,
periodik paralisis karena tirotoksikosis, renal tubular asidosis, dan
hyperaldosteronism 3.

5. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah 1,3

A. Laboratorium

1) Kadar kalium serum

Kalium serum merupakan pemeriksaan laboratorium yang paling


penting. Diantara serangan paralisis, kalium serum abnormal pada tipe
paralisis periodik sekunder, tetapi biasanya normal pada paralisis periodik
primer. Selama serangan kadar kalium serum dapat tinggi, rendah, atau di
atas batas normal dan bisa di bawah batas normal. Pemeriksaan secara
random kadar kalium serum dapat menunjukan fluktuasi yang periodik pada
paralisis periodik normokalemik.

Konsentrasi kalium serum pada 3,0-3,5 mEq/L berhubungan dengan


suatu keadaan klinis seperti kelemahan otot ringan, fatigue, dan mialgia. Pada
konsentrasi serum kalium 2,5-3,0 mEq/L kelemahan otot menjadi lebih berat
terutama pada bagian proximal dari tungkai. Ketika serum kalium turun
hingga dibawah dari 2,5 mEq/L maka dapat terjadi kerusakan struktural dari
otot, termasuk rhabdomiolisisdan miogobinuria.

2) Fungsi ginjal

3) Kadar glukosa darah pengambilan glukosa darah ke dalam sel


menyebabkan kalim berpindah dari luar sel (darah) ke dalam sel-sel
tubuh.

4) pH darah

Dibutuhkan untuk menginterpretasikan K+ yang rendah. Alkalosis biasa


menyertai hipokalemia dan menyebabkan pergeseran K+ ke dalam sel.
Asidosis menyebabkan kehilangan K+ langsung dalam urin.

5) Hormon tiroid: T3,T4 dan TSH untuk menyingkirkan penyebab sekunder


hipokalemia.

6) Kadar CPK (creatinin phospokinase) dan mioglobin serum

Kadar CPK tinggi pada paralisis periodik primer selama atau baru saja setelah
serangan. Kadar mioglobin serum juga mungkin tinggi.

B. EKG

Perubahan pada EKG ini dapat mulai terjadi pada kadar kalium serum
dibawah 3,5 dan 3,0 mEq/L. Kelainan yang terjadi berupa inversi gelombang
T, timbulnya gelombang U dan ST depresi, pemanjangan dari PR, QRS, dan
QT interval 8.

C. EMG

Di antara serangan, mungkin ada fibrilasi dan pengulangan keluaran


kompleks, meningkat dengan dingin dan menurun dengan latihan (dalam
paralisis periodik hipokalemik). Selama serangan, EMG akan menunjukkan
listrik diam, baik pada paralisis periodik hiperkalemik dan paralisis periodik
hipokalemik.

D. Biopsi otot

Biopsi otot diperlukan pada beberapa kasus yang dengan penampilan klinis
yang tidak spesifik. Pada paralisis periodik hipokalemik primer muangkin
terdapat vakuola sentral yang tunggal atau mutipel. Pada paralisis periodik
hiperkalemik sekunder, vakuala dan agregat tubular dapat ditemukan.

6. Penatalaksanaan

A. Paralisis periodik hipokalemik

Seperti pada bentuk lain dari periodik paralisis dan miotonia, kebanyakan
pasien dengan HypoPP tidak memerlukan intervensi farmakologis. Pasien kita
edukasi dan berikan informasi untuk mencegah dan menurunkan kejadian
serangan melalui menghindari kegiatan yang memerlukan kekuatan fisik yang
berat, hindari kedinginan, mengkonsumsi buah-buahan atau jus yang tinggi akan
kalium, membatasi intake karbohidrat dan garam (160 mEq/hari).

Pemberian obat-obatan seperti penghambat carbonic anhidrase dapat


diberikan untuk menurunkan frekuensi dan beratnya serangan kelemahan
episodik dan memperbaiki kekuatan otot diantara serangan. Acetazolamide
merupakan obat jenis tersebut yang banyak diresepkan, dosis dimulai dari 125
mg/hari dan secara bertahap ditingkatkan hingga dosis yang dibutuhkan
maksimum 1500 mg/hari. Pasien yang tidak berespon dengan pemberian
acetazolamide dapat diberikan penghambat carbonic anhidrase yang lebih poten
seperti, dichlorphenamide 50 hingga 150 mg/hari atau pemberian diuretik hemat
kalium seperti spironolactone atau triamterine (keduanya dalam dosis 25 hingga
100 mg/hari). Pemberian rutin kalium chlorida (KCL) 5 hingga 10 g per hari
secara oral yang dilarutkan dengan cairan tanpa pemanis dapat mencegah
timbulnya serangan pada kebanyakan pasien. Pada suatu serangan HypoPP yang
akut atau berat, KCL dapat diberikan melalui intravena dengan dosis inisial 0,05
hingga 0,1 mEq/KgBB dalam bolus pelan, diikuti dengan pemberian KCL dalam
5% manitol dengan dosis 20 hingga 40 mEq, hindari pemberian dalam larutan
glukosa sebagai cairan pembawa. Kepustakaan lain KCL dapat diberikan dengan
dosis 50 mEq/L dalam 250 cc larutan 5 % manitol 1,5.

B. Paralisis periodik hiperkalemik

Penatalaksanaan dari paralisis periodik hiperkalemik diaantaranya 1:

1. Profilaksis : acetazolamide atau diuretik thiazide dapat digunakan untuk


mencegah serangan.

2. Pengobatan saat serangan: pada kasus yang sedang tidak membutuhkan


terapi obat-obatan yang mana hanya dengan minum minuman yang manis
atau permen gula dapat mengurangi serangan. Pada kasus yang
memanjang atau serangan yang lanjut diuretik thiazide dan loop diuretik
(furosemide, bumetanide) digunakan dalam dosis yang cukup tinggi untuk
menurunkan kadar kalium menjadi normal. Jika kadar kalium darah
sangat tinggi dapat diberikan secara intravena 20 ml kalsium glukonas
20% atau drip normal saline atau secara intravena glukosa 10% ditambah
insulin. Jika gagal atau intoleransi terhadap diuretik, salbutamol dapat
diberikan secara intravena untuk mengatasi serangan.

C. Pengobatan paralisis periodik normokalemik

Pengobatan sama dengan paralisis periodik hiperkalemik, seperti 1:

1. Diet tinggi karbohidrat, seperti permen gula

2. Thiazide, seperti chlorthalidone 250-1000 mg/hari


3. Pemberian secara intravena normal saline dan kalsium glukonas

4. Pemberian secara intravena insulin dan glukosa

D. Pengobatan paralisis periodik sekunder

Prinsip utamanya adalah penyebeb utamanya harus diobati dahulu, obat-


obatan yang memperburuk kondisi dihentikan. Suplemen kalium harus diberikan
pada paralisis periodik hipokalemik. Loop diuretik, glukosa ditambah insulin
secara intravena, atau kalsium glukonas harus diberikan pada paralisis periodik
hiperkalemik 1.

a) Paralisis periodik karena tirotoksikosis: pada kelainan ini terdapat


hipokalemia, pengobatan dengan memberikan kalium klorida dengan
beta bloker dan carbimazole (Neomercazole). Acetazolamide tidak
efektif Pada kondisi emergensi propanolol secara intravena dapat
diberikan.

b) Paralisis periodik karena keracunan barium akut: diberikan larutan


magnesium sulfat 2,5 gm secara intravena bolus tunggal. Pada kasus
yang masih awal, lavase lambung dengan magnesium sulfat (2,5%) dapat
dibeikan. Bantuan ventilator dapat diberikan jika diperlukan.
Hipokalemia diatasi dengan pemberian secara intravena kalium klorida.
Natrium sulfat dapat digunakan menggantikan magnesium sulfat.

c) Paralisis periodik karena paramyotonia kongenital: biasanya terdapat


hiperkalemia dan paralisis dipicu oleh dingin. Karenanya itu, pasien
harus di tempatkan di tempat yang hangat. Pengobatan terdiri dari
pemberian oral atau secara intravena glukosa dan oral thiazide.

d) Sindrom Andersen: pasien harus dimasukkan ke ICU untuk monitoring


jantung dan pengobatan segera untuk disritmia jantung. Jika kadar
kalium serum rendah, meningkat, atau normal pengobatan untuk
hipokalemia atau hiperkalemia dilakukan berdasarkan kadar kalium
serum.
BAB III

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. AC
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 25 Tahun
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Pal 4 RT 23 Muara Bulian
Tanggal MRS : 1 Agustus 2017
Pukul : 08.30 WIB

2.2 ANAMNESA
KeluhanUtama : Lemah pada kedua kaki
Telaah :
Pasien datang ke RSUD HAMBA melalui IGD pada tanggal 1
Agustus 2017 dengan keluhan lemah pada kedua kaki. Hal ini dirasakan sejak
1 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya kelemahan pada kedua kaki di
rasakan dari telapak kaki dan tungkai bawah menjalar sampai ke paha. Pasien
hanya mampu menggerakkan ujung-ujung jari kedua kaki. Akibat kelemahan
ini pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Rasa
kesemutan dan mati rasa pada anggota tubuh yang lain tidak ada. Pasien juga
mengeluhkan mual dirasakan sejak 2 hari yang lalu. Muntah tidak ada.
Demam tidak ada. Nafsu makan berkurang tidak ada. Buang air besar dan
buang air kecil dalam batas normal.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien pernah mengalami kelemahan seperti ini pada tahun 2015. Dirawat di
rumah sakit selama 3 hari. Dengan keluhan disertai keram pada kedua tangan.
Riwayat demam, batuk pilek 2 minggu sebelumnya tidak ada.
Riwayat penyakit ginjal dan gondok tidak ada.
Hipertensi (-), DM (-), Asma (-), Penyakit jantung (-)

Riwayat Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama
dengan pasien.
KEADAAN UMUM
STATUS PRESENT KEADAAN PENYAKIT
Sensorium : Compos mentis Anemia : Tidak ada
TekananDarah : 130/60 mmHg Edema : Tidak ada
Temperatur : 36c °C Ikterus : Tidak ada
Pernafasan : 20x/menit Eritema : Tidak ada
Nadi : 106x/menit Sianosis : Tidak ada
Turgor : Baik
Dispnoe : Tidak ada
Sikap Tidur Paksa: Tidak ada

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


KEPALA LEHER
Inspeksi: Inspeksi:
Rambut : Tidak ada kelainan Struma : Tidak ada kelainan
Wajah : Tidak ada kelainan Kelenjar limfe : Tidak teraba pembesaran
Alis mata : Tidak ada kelainan Posisi trakea : Midline
Bulu mata : Tidak ada kelainan TVJ : 5-2 cmH20, bruit tidak ada
Mata : Konjungtiva palpebra
inferior anemis (-/-), Skera ikterik
(-/-), Pupil isokor
Hidung : Tidak ada kelainan
Bibir : Tidak ada kelainan
Lidah : Tidak ada kelainan
THORAK
THORAK DEPAN THORAK BELAKANG
Inspeksi Inspeksi
- Bentuk : Fusiformis - Bentuk : Fusiformis
- Dada Tertinggal : Tidak ada - Dada tertinggal : Tidak ada
- Venektasi : Tidak ada - Venektasi : Tidak ada

Palpasi Palpasi
Paru : Paru :
- Nyeri tekan : Tidak ada - Nyeritekan : Tidak ada
- Fremitus taktil : Kanan = kiri - Fremitus taktil : Kanan = kiri
Jantung :
- Ictus cordis : teraba di ICS V Perkusi
linea midclavikula sinistra 1 jari ke Paru : Sonor
medial, tidak kuat angkat.
Perkusi Auskultasi
Paru : Sonor - Suara pernafasan : Vesikuler
- Batas Relatif : ICS V dextra - Suara tambahan : Ronki(-/-),
- Batas Absolut : ICS VI dextra wheezing(-/-)
Jantung :
- Batas jantung atas : ICS II linea
parasternalis sinistra
- Batas jantung kiri : ICS V 1 jari
medial linea midclavicularis sinistra
- Batas jantung kanan : linea
parasternalis dextra.
Auskultasi
- Suara pernafasan : Vesikuler
- Suara tambahan : Ronki(-/-),
wheezing (-/-)
- Bunyi Jantung : M1 > M2
A2 > A1 P2 > P1 A2 = P2

ABDOMEN GENITALIA
Inspeksi Tidak dilakukan pemeriksaan
Simetris, Bengkak (-), Venektasi (-),

Palpasi : soepel, nyeri tekan


epigastrium (-), nyeri tekan kuadran
kanan atas (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba

Perkusi : Timpani (+)


Auskultasi: Peristaltik Usus : (+) normal

EKSTREMITAS
Ekstremitan Atas Ekstremitas Bawah
Bengkak : Tidak ada Bengkak : Tidak ada
Merah : Tidak ada Merah : Tidak ada
Pucat : Tidak ada Pucat : Tidak ada
Gangguan fungsi : Tidak ada Gangguan fungsi : Ada
2.3 STATUS NEUROLOGIS
Kesadaran : Compos Mentis Cooperatif, GCS E4M6V5
1. Tanda rangsangan selaput otak
 Kaku kuduk : (-)
 Brudzinsky I : (-)
 Brudzinsky II : (-)
 Tanda Kernig : (-)

2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial


 Tekanan darah : normal
 Bradikardi : tidak ada
 Muntah proyektil : tidak ada
 Nyeri kepala hebat: tidak ada

3. Nervus kranial:
NI : Penciuman baik

N II : Mata kiri /kanan dalam batas normal

N III, IV, VI : Bola mata dapat bergerak ke segala arah, pupil isokor, diameter
3mm/3mm,

bentuk bulat, refleks cahaya +/+

NV : Kanan Kiri

Motorik

Membuka mulut Normal Normal

Menggerakkan rahang Normal Normal

Menggigit Normal Normal


Mengunyah Normal Normal

Sensorik

Divisi oftalmika

Refleks kornea Normal Normal

Sensibilitas Normal Normal

Divisi maksila

Refleks masseter Normal Normal

Sensibilitas Normal Normal

Difisi mandibula

Sensibilitas Normal Normal

N VII :

Kanan Kiri

Raut wajah Normal Normal

Sekresi air mata Dalam batas normal

Fisura palpebra Normal Normal

Menggerakkan dahi + +

Menutup mata + +

Mencibir / bersiul + +

Memperlihatkan gigi + +

Sensasi lidah 2/3 depan + +

Hiperakusis − −

Plika nasolabialis simetris kiri dan kanan

N VIII : Pendengaran dalam batas normal

N IX, X : Refleks muntah baik, arkus faring simetris, uvula ditengah


N XI : Dapat menoleh ke kiri dan ke kanan, dapat mengangkat bahu
kiri dan kanan

N XII : Kedudukan lidah di luar tidak ada deviasi

4. Pemeriksaan fungsi motorik.


Kanan Kiri

Ekstrimitas superior

Gerakan Kurang Kurang

Kekuatan 5555 5555

Tropi Eutropi Eutropi

Tonus hipotonus hipotonus

Ekstrimitas inferior

Gerakan Kurang Kurang

Kekuatan 1111 1111

Tropi Eutropi Eutropi

Tonus hipotonus hipotonus

5. Fungsi Otonom.
Miksi defekasi dan sekresi keringat baik.

6. Refleks.
Refleks fisiologis:

Bisep : +/+

Trisep : +/+

KPR : +/+

APR : +/+
Refleks Patologis:

Hoffman – Tromner : −/−

Babinski : −/−

Chaddoks : −/−

Oppenheim : −/−

Gordon : −/−

Schaffer : −/−

7. Fungsi Luhur
Kesadaran : Baik

Tanda demensia : tidak ada

Refleks glabella : (−)

Refleks snout : (−)

Refleks menghisap : (−)

Refleks memegang : (−)

Refleks palmomental : (−)

8. Sensorik
Respon (+) terhadap rangsangan nyeri, taktil,termis, kortikal,pengenalan 2
titik dan rabaan.

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tanggal 1-08-2017
DARAH RUTIN HASIL
Hemoglobin 12,1 g/dl
Hematokrit 35,23 %
Leukosit 5,70 mm3
Trombosit 208.000 mm3
Eritrosit 4,94 1012/l
GDS 128 Mg/dl
Na 140
K 3,1
Cl 140
2.5 DIAGNOSA BANDING
Diagnosa banding :
1. Paraparese periodik e.c hipokalemia
2. Guillain Barre Syndrome
2.6 DIAGNOSA SEMENTARA
Sindrom Periodik Paralisis Hipokalemi

2.7 PENATALAKSANAAN
Farmakologis :
- IVFD RL 20 gtt/i
- Injeksi Ranitidin 1 ampul /12 jam
- Drip Ketorolak 1 ampul/12 jam
- Aspar K 3x1 tablet
Non Farmakologis:
- Bed rest
2.8 PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanam : dubia ad bonam

HASIL FOLLOW UP SELAMA DI RUANG RAWAT INAP

Tanggal S O A P

1/8/2017 Lemah pada - TD : 130/60 mmHg GERD - IVFD RL 20 gtt/i


kedua kaki, - N : 106 x/menit - Injeksi Ranitidin
nyeri pada
- RR : 20 x/menit 2x1 ampul
kaki (+), mual
(+), muntah - Suhu: 36°C - drip Ketorolac
(-) - Ekstremitas bawah : 2x1 ampul
Kedua kaki tidak dapat
di gerakkan. Nyeri (+) - Periksa darah
lengkap, kadar
gula darah
sewaktu
2/8/2017 Kedua kaki - TD : 130/64 mmHg Sindrom - IVFD RL 20 gtt/i
dan tangan - N : 114 x/menit Periodik - Injeksi Ranitidin
sulit Paralisis
- RR : 20 x/menit 2x1 ampul
digerakkan Hipokalemia
(+) - Suhu: 37°C - Injeksi Ketorolac
- Kekuatan otot 2x1 ampul
44444 44444 - Aspar K 3 x 1
11111 11111 tablet
- Periksa urine
rutin
3/8/2017 Kedua tangan - TD : 111/67 mmHg Sindrom - IVFD RL 20 gtt/i
keram (+), - N : 134 x/menit Periodik - Injeksi Ranitidin
kedua kaki Paralisis
- RR : 20 x/menit 2x1 ampul
sulit Hipokalemia
digerakkan - Suhu: 36 °C - Injeksi Ketorolac
(+) - Kekuatan otot 2x1 ampul
44444 44444 - Aspar K 3 x 1
11111 11111 tablet
-
4/8/2017 Kedua tangan - TD : 111/67 mmHg Sindrom - Ranitidin 2x1
keram (+), - N : 134 x/menit Periodik tablet
kedua kaki Paralisis
- RR : 20 x/menit - Ketorolac 2x1
sulit Hipokalemia
digerakkan - Suhu: 36 °C tablet
(+) - Kekuatan otot - Aspar K 3 x 1
44444 44444 tablet
- 11111 11111 - Boleh Pulang
BAB IV

DISKUSI

Seorang pasien berusia 25 tahun dirawat di Bangsal Penyakit Dalam RSUD


HAMBA Muara Bulian dengan keluhan utama lemah pada kedua kaki. Hal ini
dirasakan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya kelemahan pada kedua
kaki di rasakan dari telapak kaki dan tungkai bawah menjalar sampai ke paha. Pasien
hanya mampu menggerakkan ujung-ujung jari kedua kaki. Akibat kelemahan ini
pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Rasa kesemutan
dan mati rasa pada anggota tubuh yang lain tidak ada. Pasien juga mengeluhkan mual
dirasakan sejak 2 hari yang lalu. Muntah tidak ada. Demam tidak ada. Nafsu makan
berkurang tidak ada. Buang air besar dan buang air kecil dalam batas normal.

Dari pemeriksaan fisik ditemukan kelemahan motorik kedua anggota gerak


bawah,tidak ada gangguan sensoris dan otonom, didapatkan reflek fisiologis (+)
menurun dan pemeriksaan nervus kranialis dalam batas normal. Berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik ini ditegakkan dignosis klinis paraparese periodik
e.c hipokalemia. Diagnosis etiologi yaitu Periodik Paralisis Hipokalemia.

Terapi yang diberikan pada pasien berupa terapi umum dengan pemberian
IVFD RL 20 gtt/i. Terapi khusus yang diberikan adalah injeksi ranitidin 1 ampul/12
jam, drip ketorolak 1 ampul/12 jam, dan Aspar K 3x1 tablet. Pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan adalah elektromiografi. Prognosis dari kasus ini adala dubia ad
bonam.

BAB V

KESIMPULAN

Paralisis periodik merupakan sindroma klinis yang dapat menyebabkan


kelemahan yang akut pada anak-anak maupun dewasa muda. Pasien akan mengalami
kelemahan progresif dari anggota gerak baik tungkai maupun lengan tanpa adanya
gangguan sensoris.Gangguan ini secara konvensional dibagi menjadi paralisis
periodik primer atau diturunkan (familial), dan paralisis periodik sekunder. Paralisis
periodik primer atau familial merupakan kelompok gangguan akibat mutasi gen
tunggal yang mengakibatkan kelainan saluran kalsium, kalium natrium, dan klorida
pada sel otot - membran. Oleh karena itu, ini juga dikenal sebagai channelopathies
atau membranopathies.

Kalium memiliki fungsi mempertahankan membran potensial elektrik dalam


tubuh dan menghantarkan aliran saraf di otot. Kalium mempunyai peranan yang
dominan dalam hal eksitabilitas sel, terutama sel otot jantung, saraf, dan otot lurik.
Kalium mempunyai peran vital di tingkat sel dan merupakan ion utama intrasel.
Paralisis periodik dapat diobati dan kelemahan progresif dapat dicegah atau bahkan
dapat sembuh.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arya, SN. Lecture Notes: Periodic Paralysis. Journal Indian Academy of


Clinical Medicine. 2002. Vol 3 No 4.

2. Graves TD. Hanna MG. Neurological Channelopathies. Postgrad. Med. J


2005;81;20-32
3. Fialho, D & Michael GH. Periodic Paralysis. Chapter 4. 2007;77-105 

4. Widjajanti, A & SM Agutini. Hipokalemik Periodik Paralisis. 2005; 19-22

5. Souvriyanti, Elsye; Sudung OP.. Paralisis Periodik Hipokalemik pada Anak


dengan Asidosis Tubulus Renalis Distal. 2008. Vol 1. 53-59

6. Graber M. Terapi Cairan, Elektrolit dan Metabolik, ed.1. Farmedia.


Jakarta.2002

7. Kawamura S, Ikeda Y, Tomita K, et.al. A Family of Hypokalemic Periodic


Paralysis with CACNA1S Gene Mutation Showing Incomplete Penetrance in
Women. InternalMedicine Vol.43, No.3 March 2004. p 21-8 – 222

8. Cannon SC. Myotonia and Periodic Paralysis: Disorders of Voltage-Gated


Ion Channels in Neurological Theurapeutics Principles and Practice, vol.2
part 2. Mayo Foundation. United Kingdom. 2003; 225;2365-2377

9. Sternberg, D., Masionobe, T., Jurkat-Rott, K., et al., 2001, Hypokalaemic


Periodic Paralysis type 2 caused by mutasions at codon 672 in the muscle
sodium channel gene SCN4A. Barain. 124: 1091–9.

10. Sternberg, D., Tabt,i N., Haingue, B., Fontaine, B., 2004, Hypokalemic
periodic Paralysis,. Gene Reviews. Funded by NIH University of Washington,
Seattle 19 May, 1–22.

Anda mungkin juga menyukai