Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Paralisis Hipokalemia”. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas
menjalani Kepanitraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Radiologi RSUD dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.
Selama penyelesaian referat ini penulis mendapatkan bantuan, bimbingan,
dan arahan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan
terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah meluangkan banyak waktu
untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan
referat ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada keluarga, sahabat, dan
rekan-rekan yang telah memberikan motivasi dan doa dalam menyelesaikan
referat ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini.
Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari
pembaca sekalian demi kesempurnaan referat ini. Harapan penulis semoga referat
ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan umumnya dan profesi
kedokteran khususnya. Semoga Allah SWT selalu memberikan Rahmat dan
Hidayah-Nya bagi kita semua.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.....................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................ii
BAB I..............................................................................................................1
PENDAHULUAN..........................................................................................1
BAB II............................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................2
2.1.1 Definisi...........................................................................................2
2.1.2 Epidemiologi..................................................................................2
2.1.3 Etiologi...........................................................................................3
2.1.4 Patofisiologi....................................................................................4
2.1.5 Manifestasi Klinis...........................................................................6
2.1.6 Diagnosis........................................................................................7
2.1.7 Tatalaksana.....................................................................................9
2.1.8 Komplikasi...................................................................................11
2.1.9 Prognosis......................................................................................12
BAB III.........................................................................................................13
KESIMPULAN............................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Hipokalemia periodik paralise adalah kelainan yang ditandai dengan kadar
potassium (kalium) yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat serangan,
disertai riwayat episode kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal. Periodik
paralisis merupakan kelainan pada membran yang sekarang ini dikenal sebagai
salah satu kelompok kelainan penyakit chanellopathies pada otot skeletal.
Kelainan ini dikarakteristikkan dengan terjadinya suatu episodik kelemahan tiba-
tiba yang disertai gangguan pada kadar kalium serum.3, 17
Periodik paralisa ini dapat terjadi pada suatu keadaan hiperkalemia atau
hipokalemia. Periodik paralisis hipokalemi (HypoKPP) merupakan sindrom klinis
yang jarang terjadi tetapi berpotensial mengancam jiwa. Sindrom paralisis
hipokalemi ini disebabkan oleh penyebab yang heterogen dimana karakteristik
dari sindroma ini ditandai dengan hipokalemi dan kelemahan sistemik yang akut.
Kebanyakan kasus terjadi secara familial atau disebut juga hipokalemi periodik
paralisis primer.3, 17
1.2 Epidemiologi
2
1.3 Etiologi
Hipokalemia periodik paralise biasanya disebabkan oleh kelainan genetik
autosomal dominan. Hal lain yang dapat menyebabakan terjadinya hipokalemia
periodic paralise adalah tirotoksikosis. Penyebab lain hipokalemia meliputi:3, 17
1. Peningkatan ekskresi (atau kerugian) dari kalium dari tubuh.
2. Beberapa obat dapat menyebabkan kehilangan kalium yang dapat
menyebabkan hipokalemia. Obat yang umum termasuk diuretik loop
(seperti Furosemide). Obat lain termasuk steroid, licorice, kadang-
kadang aspirin, dan antibiotik tertentu.
3. Ginjal (ginjal) disfungsi - ginjal tidak dapat bekerja dengan baik
karena suatu kondisi yang disebut Asidosis Tubular Ginjal (RTA).
Ginjal akan mengeluarkan terlalu banyak kalium. Obat yang
menyebabkan RTA termasuk Cisplatin dan Amfoterisin B.
4. Kehilangan cairan tubuh karena muntah yang berlebihan, diare, atau
berkeringat.
5. Endokrin atau hormonal masalah (seperti tingkat aldosteron
meningkat) - aldosteron adalah hormon yang mengatur kadar
potasium. Penyakit tertentu dari sistem endokrin, seperti
aldosteronisme, atau sindrom Cushing, dapat menyebabkan kehilangan
kalium.
6. Miskin diet asupan kalium Adapun penyebab lain dari timbulnya
penyakit hipokalemia: muntah berulang-ulang, diare kronik, hilang
melalui kemih (mineral kortikoid berlebihan obat-obat diuretik).
3
KCNJ18, kode untuk saluran kalium (Kir) penyearah ke dalam, juga telah
diidentifikasi. Acquired HypoKPP telah dikaitkan dengan tirotoksikosis. Bentuk
familial dan HypoKPP tirotoksik merupakan HypoKPP primer. Kelemahan otot
periodik juga dapat terjadi akibat hipokalemia akibat kehilangan kalium ginjal dan
gastrointestinal seperti pada asidosis tubulus ginjal, gastroenteritis, atau sekunder
akibat penyebab endokrin.3, 5, 6
1.4 Patofisiologi
Kalium adalah kation utama cairan intrasel. Kenyataannya 98 % dari
simpanan tubuh (3000-4000 mEq) berada didalam sel dan 2 % sisanya (kira-kira
70 mEq) terutama dalam pada kompetemen ECF. Kadar kalium serum normal
adalah 3,5-5,5 mEq/L dan sangat berlawanan dengan kadar di dalam sel yang
sekitar 160 mEq/L. Kalium merupakan bagian terbesar dari zat terlarut intrasel,
sehingga berperan penting dalam menahan cairan di dalam sel dan
mempertahankan volume sel. Kalium ECF, meskipun hanya merupakan bagian
kecil dari kalium total, tetapi sangat berpengaruh dalam fungsi neuromuskular.
Perbedaan kadar kalium dalam kompartemen ICF dan ECF dipertahankan oleh
suatu pompa Na-K aktif yang terdapat dimembran sel.3, 7
Rasio kadar kalium ICF terhadap ECF adalah penentuan utama potensial
membran sel pada jaringan yang dapat tereksitasi, seperti otot jantung dan otot
rangka. Potensial membran istirahat mempersiapkan pembentukan potensial aksi
yang penting untuk fungsi saraf dan otot yang normal. Kadar kalium ECF jauh
lebih rendah dibandingkan kadar di dalam sel, sehingga sedikit perubahan pada
kompartemen ECF akan mengubah rasio kalium secara bermakna. Sebaliknya,
hanya perubahan kalium ICF dalam jumlah besar yang dapat mengubah rasio ini
secara bermakna. Salah satu akibat dari hal ini adalah efek toksik dari
hiperkalemia berat yang dapat dikurangi kegawatannya dengan meingnduksi
pemindahan kalium dari ECF ke ICF. Selain berperan penting dalam
mempertahankan fungsi nueromuskular yang normal, kalium adalah suatu
kofaktor yang penting dalam sejumlah proses metabolik.3, 7
Homeostasis kalium tubuh dipengaruhi oleh distribusi kalium antara ECF
dan ICF, juga keseimbangan antara asupan dan pengeluaran. Beberapa faktor
hormonal dan nonhormonal juga berperan penting dalam pengaturan ini, termasuk
4
aldostreon, katekolamin, insulin, dan variabel asam-basa. Pada orang dewasa yang
sehat, asupan kalium harian adalah sekitar 50-100 mEq. Sehabis makan, semua
kalium diabsorpsi akan masuk kedalam sel dalam beberapa menit, setelah itu
ekskresi kalium yang terutama terjadi melalui ginjal akan berlangsung beberapa
jam. Sebagian kecil (<20%) akan diekskresikan melalui keringat dan feses. Dari
saat perpindahan kalium kedalam sel setelah makan sampai terjadinya ekskresi
kalium melalui ginjal merupakan rangkaian mekanisme yang penting untuk
mencegah hiperkalemia yang berbahaya. Ekskresi kalium melalui ginjal
dipengaruhi oleh aldosteron, natrium tubulus distal dan laju pengeluaran urine.
Sekresi aldosteron dirangsang oleh jumlah natrium yang mencapai tubulus distal
dan peningkatan kalium serum diatas normal, dan tertekan bila kadarnya
menurun. Sebagian besar kalium yang di filtrasikan oleh gromerulus akan di
reabsorpsi pada tubulus proksimal. Aldosteron yang meningkat menyebabkan
lebih banyak kalium terekskresi kedalam tubulus distal sebagai penukaran bagi
reabsorpsi natrium atau H+. Kalium yang terekskresi akan diekskresikan dalam
urine. Sekresi kalium dalam tubulus distal juga bergantung pada arus pengaliran,
sehingga peningkatan jumlah cairan yang terbentuk pada tubulus distal (poliuria)
juga akan meningkatkan sekresi kalium.3, 7, 8
Keseimbangan asam basa dan pengaruh hormon mempengaruhi distribusi
kalium antara ECF dan ICF. Asidosis cenderung untuk memindahkan kalium
keluar dari sel, sedangkan alkalosis cenderung memindahkan dari ECF ke ICF.
Tingkat pemindahan ini akan meingkat jika terjadi gangguan metabolisme asam-
basa, dan lebih berat pada alkalosis dibandingkan dengan asidosis. Beberapa
hormon juga berpengaruh terhadap pemindahan kalium antara ICF dan ECF.
Insulin dan Epinefrin merangsang perpindahan kalium ke dalam sel. Sebaliknya,
agonis alfa-adrenergik menghambat masuknya kalium kedalam sel. Hal ini
berperan penting dalam klinik untuk menangani ketoasidosis diabetik.7, 8
Meskipun masih belum jelas, ada banyak pengamatan dari studi
eksperimental yang berbeda untuk menjelaskan kemungkinan mekanisme yang
mendasari dibalik kelemahan otot dengan cacat saluran kalsium yang mendasari:
Mutasi saluran kalsium bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi. Studi
elektrofisiologis telah menunjukkan aktivasi saluran kalsium yang lebih
5
lambat dan kepadatan arus kalsium yang berkurang. Namun, pengamatan
ini tidak berkorelasi dengan episode depolarisasi, hipokalemia, dan
serangan kelemahan otot.3, 4
Dalam studi eksperimental, biopsi otot yang diambil dari tiga pasien
HypoKPP yang mengalami mutasi R528H saluran kalsium (Cav1.1)
menunjukkan fungsi abnormal saluran K+ (KATP) sensitif ATP
sarkolema, didukung oleh fakta bahwa magnesium adenosine diphosphate
(MgADP) tidak merangsang saluran. Saluran KATP menunjukkan
pembukaan yang berkurang dan keadaan konduktansi yang berkurang,
yaitu arus K yang berkurang. Arus K yang berkurang lebih mungkin
terkait dengan depolarisasi dengan hipokalemia. Homeostasis Ca2+ yang
berubah akibat mutasi saluran kalsium kemungkinan merupakan alasan di
balik perubahan fungsi saluran KATP. Pengamatan ini mengisyaratkan
adanya kemungkinan channelopathy sekunder pada pasien dengan
HypoKPP.3, 4
6
8. Gangguan metabolisme protein
9. Poliuria dan polidipsia
10. Alkalosismetabolik
Gejala klinis pada nomor 1, 2, 3, 4 di atas merupakan gejala pada otot
yang timbul jika kadar kalium kurang dari 3 mEq/ltr.
1.6 Diagnosis
Diagnosis didapatkan dari anamnesis seperti adanya riwayat pada keluarga
karena erat kaitannya dengan genetik, lalu gejala klinis, serta pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Meskipun kelainan genetik tetap ada sepanjang umur
individu yang terkena, usia rata-rata presentasi serangan adalah dekade pertama
atau kedua kehidupan, biasanya akhir masa kanak-kanak atau remaja. Frekuensi
serangan cenderung menurun seiring bertambahnya usia. Namun, dalam kasus
HipoKPP tirotoksik, onset biasanya terjadi setelah usia 20 tahun.3, 4
Faktor pemicu yang paling konsisten adalah istirahat setelah olahraga berat
dan konsumsi makanan kaya karbohidrat. Diduga bahwa faktor pemicu ini
menyebabkan peningkatan kadar epinefrin plasma atau kadar insulin,
menyebabkan pergeseran kalium intraseluler, yang mengakibatkan kadar kalium
serum lebih rendah, sehingga memicu episode kelemahan. Faktor pemicu
tambahan yang diidentifikasi, kurang konsisten, adalah kegembiraan, stres,
ketakutan, dingin, asupan garam, penggunaan glukokortikoid, penggunaan
alkohol, atau prosedur anestesi.3, 4
Pasien biasanya datang dengan serangan kelemahan otot berat yang
menyeluruh, dengan keterlibatan otot proksimal lebih jelas daripada distal dan
penurunan kadar kalium serum (kalium serum kurang dari 2,5 mmol/L). Biasanya,
pasien pergi tidur dalam keadaan sehat normal dan bangun di tengah malam atau
pagi hari, mengalami serangan kelemahan otot. Banyak pasien juga mengalami
gejala prodromal seperti kelelahan, parestesia, perubahan perilaku sehari sebelum
serangan kelemahan otot. Namun, bila tidak lengkap, sebagian besar melibatkan
tungkai bawah daripada tungkai atas. Otot bulbar, okular, dan pernapasan
biasanya tidak ada, tetapi keterlibatan otot pernapasan dapat berakibat fatal bila
terlibat dalam kasus yang parah. Pola kelemahan otot serupa pada HipoKPP
familial dan tirotoksik, dan tanda-tanda hipertiroidisme secara klinis jelas pada
7
sebagian besar kasus HipoKPP tirotoksik tetapi tidak selalu ada. Dan serangan
kelemahan otot terjadi selama keadaan hipertiroidisme dan tidak pernah ketika
fungsi tiroid normal.3, 9
Frekuensi serangan kelemahan sangat bervariasi dan jarang terjadi.
Beberapa pasien mungkin mendapatkan serangan hanya sekali seumur hidup,
sementara yang lain mungkin mendapatkan beberapa kali seminggu. Wanita
cenderung memiliki lebih sedikit serangan daripada pria. Dan durasi setiap
serangan juga bervariasi, mulai dari menit hingga hari dan dapat berlangsung
hingga beberapa jam sebelum sembuh secara spontan.3
Pemeriksaan neurologis pasien selama serangan menunjukkan kelemahan
otot umum, biasanya keterlibatan otot proksimal lebih dari distal dan ketika kaki
yang tidak lengkap lebih sering terlibat daripada lengan. Hiporefleksia atau
arefleksia adalah tipikal. Temuan pemeriksaan neurologis biasanya normal di
antara serangan. Miotonia jarang terjadi, tidak seperti paralisis periodik
hiperkalemia, di mana miotonik adalah temuan umum.3, 17
Beberapa individu mungkin mengalami bentuk kelemahan otot yang lebih
ringan antara serangan yang berfluktuasi dan membaik dengan olahraga ringan.
Dalam serangkaian kasus dari 71 pasien yang didiagnosis kelumpuhan periodik
hipokalemia, pasien tanpa mutasi, dibandingkan dengan pasien dengan mutasi,
ditemukan memiliki presentasi penyakit pada usia tua, tidak adanya diet sebagai
faktor pencetus, dan biopsi otot tidak menunjukkan miopati vakuolar. Variasi
fenotipik juga dicatat pada pasien yang mengalami mutasi dalam rangkaian kasus
ini. Pasien dengan mutasi saluran natrium mengalami serangan dengan durasi
yang lebih pendek, dan perubahan vakuolar lebih sering terjadi pada mutasi
saluran kalsium, sementara agregat tubular terlihat lebih banyak pada mutasi
saluran natrium.3, 17
Diagnosis ditegakkan apabila timbul kelemahan otot disertai kadar kalium
plasma yang rendah dan kelemahan otot membaik setelah pemberian kalium.
Pemeriksaan transtubular potassium concentration gradient (TPCG) atau
transtubular K + concentration ([K+]) gradient (TTKG) digunakan untuk
membedakan penyebab PPH, apakah akibat kehilangan kalium melalui urin atau
karena proses perpindahan kalium ke ruang intraselular (chanellopathy).
8
Pemeriksaan TTKG dilakukan saat terjadi serangan. Dalam kondisi normal, ginjal
akan merespons hipokalemia dengan cara menurunkan ekskresi kalium untuk
menjaga homeostasis. Jika dalam keadaan kalium plasma rendah, tetapi dijumpai
ekskresi kalium urin yang tinggi (lebih dari 20 mmol/L), PPH terjadi akibat proses
di ginjal.10
Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan adalah:
1. Kadar K dalam serum.
2. Kadar K, Na, Cl dalam urin 24 jam.
3. Kadar Mg dalam serum.
4. Analisis gas darah.
5. Elektrokardiografi.
Penurunan kadar serum, tetapi tidak selalu dibawah normal selama
serangan. Pasien punya pengalaman retensi urin dengan penigkatan kadar sodium,
kalium dan klorida urin. Penurunan kadar fosfor serum secara bertahap juga
terjadi. Kadar fosfokinase (CPK) meningakat selama serangan. ECG bisa
menunnjukkan sinus bradikardi dan bukti hipokalemi (gelombang T datar,
gelombang U di lead II, V2, V3 dan V4 dan depresi segment ST).
1.7 Tatalaksana
Terapi PPH biasanya simtomatik, bertujuan menghilangkan gejala
kelemahan otot yang disebabkan hipokalemia. Terapi PPH mencakup pemberian
kalium oral, modifikasi diet dan gaya hidup untuk menghindari pencetus, serta
farmakoterapi. Serangan paralitik paralisis periodik hipokalemia paling baik
diobati dengan pemberian kalium oral atau bahkan jus buah yang mengandung
kalium.10, 11
Asupan natrium yang rendah dan pemberian cetazolamide, 125-250 mg
bid atau tid pada anak usia sekolah, seringkali efektif dalam menghilangkan
serangan atau setidaknya mengurangi frekuensi dan keparahannya. Spironolakton,
dalam dosis 100-200 mg / hari PO pada anak usia sekolah, mungkin bermanfaat
juga. Paralisis periodik hipokalemik familial biasanya berespons baik terhadap
terapi. Terapi dapat mencegah kelemahan otot lebih lanjut. Komplikasi akut
meliputi aritmia jantung, kesulitan bernapas, bicara, dan menelan, serta kelemahan
9
otot progresif. Komplikasi hipokalemia kronis berupa kerusakan ginjal, batu
ginjal, nefritis interstisial, dan kista ginjal.10, 12
Selama serangan, suplemen oral kalsium lebih baik dari suplemen IV.
Garam kalium oral pada dosis 0,25 mEq/kg seharusnya diberikan setiap 30 menit
sampai kelemahan membaik. Kalium Klorida IV 0,05-0,1 mEq/kgBBdalam
manitol 5% bolus adalah lebih baik sebagai lanjutan infus. Monitoring ECG dan
pengukuran kalium serum berturut dianjurkan.13
Untuk profilaksis, asetazolamid diberikan pada dosis 125-1500 mg/hari
dalam dosis terbagi. Dichlorphenamide 50-150 mg/hari telah menunjukkan
keefektifan yang sama. Potasium-sparing diuretik seperti triamterene (25-100
mg/hari) dan spironolakton (25-100 mg/hari) adalah obat lini kedua untuk
digunakan pasien yang mempunyai kelemahan buruk (worsens weakness) atau
mereka yang tidak respon dengan penghambat karbonik anhidrase. Karena
diuretik ini potassium sparing, suplemen kalium bisa tidak dibutuhkan.13
Pemberian K melalui oral atau iv untuk penderita berat.
Pemberian kalium lebih disenangi dalam bentuk oral karena lebih mudah.
Pemberian 40-60 mEq dapat menaikkan kadar kalium sebesar 1-1,5
mEq/L, sedangkan pemberian 135-160 mEq dapat menaikkan kadar
kalium sebesar 2,5-3,5 mEq/L.
Bila ada intoksikasi digitalis, aritmia, atau kadar K serum
Bila kadar kalium dalam serum > 3 mEq/L, koreksi K cukup per oral.
Monitor kadar kalium tiap 2-4 jam untuk menghindari hiperkalemia
terutama pada pemberian secara intravena.
Pemberian K intravena dalam bentuk larutan KCl disarankan melalui vena
yang besar dengan kecepatan 10-20 mEq/jam, kecuali disertai aritmia atau
kelumpuhan otot pernafasan, diberikan dengan kecepatan 40-100
mEq/jam. KCl dilarutkan sebanyak 20 mEq dalam 100 cc NaCl isotonic.
Acetazolamide untuk mencegah serangan.
Triamterene atau spironolactone apabila acetazolamide tidak memberikan
efek pada orang tertentu.
Diet rendah karbohidrat dan rendah natrium bisa menurunkan frekuensi
serangan.
10
Penatalaksanaan dari periodik paralisis hipokalemia berfokus pada
pemulihan gejala akut dan pencegahan serangan berikutnya. Menghindari
makanan tinggi karbohidrat dan aktivitas yang berat, mengkonsumsi
acetazolamide (Diamox) atau carbonic anhydrase inhibitor lainnya juga dapat
menolong mencegah serangan kelemahan. Pengobatan awal pasien dengan
periodik paralisis hipokalemia familial adalah dengan suplemen kalium oral yang
dapat diulang dengan interval 15-30 menit. tergantung dari respon pasien. Dosis
kalium harian dapat mencapai 100-150 meq kalium bikarbonat.14, 15
Penggantian kalium melalui jalur intravena harus diberikan jika pasien
tidak bisa mengkonsumsi suplemen kalium oral. Dosis kalium intravena yang
diberikan adalah 0,05-0,1 meq/KgBB dalam manitol 5%, dibolus dahulu sebelum
diberikan secara infus. Manitol harus digunakan sebagai pelarut, karena natrium
dalam cairan normo saline dan dextrose 5% dapat memperburuk serangan. Kalium
infus hanya boleh diberikan sebanyak 10 meq selama 20-60 menit, kecuali pada
kondisi aritmia jantung atau gangguan respirasi. Hal ini bertujuan untuk
menghindari hiperkalemia yang dapat mengakibatkan pindahnya kalium dari
kompartmen intraselular ke dalam darah. Pemeriksaan EKG dan kadar kalium
serial juga harus dilakukan.14, 16
Profilaksis untuk mencegah berulangnya serangan periodik paralisis
adalah dengan pemberian spironolakton 100-200 mg/hari dan acetazolamide 250-
750 mg/hari. Salah satu obat lain yang efektif mencegah episode kelemahan pada
periodik paralisis adalah Dichlorphenamide. Selain itu, pasien dan dokter juga
harus memperhatikan secara cermat semua jenis obat baru dan rencana terapi.
Prognosis untuk periodik paralisis bervariasi, tetapi kualitas hidup dapat normal.14
1.8 Komplikasi
Komplikasi yang mengancam jiwa segera berikut selama serangan
kelemahan otot dapat terjadi seperti aritmia jantung karena hipokalemia. Lalu bisa
juga terjadi insufisiensi pernapasan karena kelumpuhan otot pernapasan. Berikut
merupakan beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan:3
a) Aritmia (ekstrasistol atrial atau ventrikel) dapat terjadi pada keadaan
hipokalemia terutama bila mendapat obat digitalis
b) Paralisis otot pernafasan
11
c) Kelemahan otot sampai kuadriplegia.
d) Rabdomiolisis
e) Hipotensi ortostatik
f) Ileus paralitik
g) Hiporefleksi
1.9 Prognosis
Hipokalemia periodik paralisis karena kelainan genetik perlu pengobatan
seumur hidup dengan mengkonsumsi suplemen kalium adekuat biasanya dapat
mengkoreksi hipokalemia memberikan prognosis yang baik. Pada hipokalemia
berat, tanpa penatalaksanaan yang tepat, penurunan kadar kalium secara drastis
dapat menyebabkan masalah aritmia jantung serta paralisis otot yang serius
terutama otot pernafasan yang dapat berakibat fatal.3
Prognosis HypoKPP bervariasi antar individu. Serangan kelemahan otot
merespon dengan baik terhadap pemberian kalium oral. Serangan berulang dari
kelemahan otot dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan dan meningkatkan
penerimaan rumah sakit.17
12
BAB III
KESIMPULAN
13
DAFTAR PUSTAKA
14
10. Ismy J. Periodik paralisis hipokalemia pada anak usia 15. Jurnal Kedokteran
Syiah Kuala. 2020;20(2):115-120.
11. Sarnat HB. Metabolic Myopathies. Dalam: Kliegman, Stanton, Geme S,
Schor, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-20. Philadelphia:
Elsevier; 2016. h. 2987–8.
12. Pardede SO, Fahriani R. Paralisis Periodik Hipokalemik Familial. Cermin
Dunia Kedokteran. 2012;39:727–30.
13. Robinson JE, Morin VI, Douglas MJ, Wilson RD. 2010. Familial hypokalemic
periodic paralysis and Wolff parkinson-white syndrome in pregnancy. Canada
Journal Anaesth. 47:160–164.
14. Dinata G S, et al. Profil Pasien Periodik Paralisis Hipokalemia Di Bangsal
Saraf RSUP DR M Djamil. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018;7(2):92-95
15. Matthews E, Portaro S, Ke Q, Sud E, Haworth A, Davis MB, et al.
Acetazolamide efficacy in hypokalemic periodic paralysis and the predictive
role of genotype. Neurology 2011; 77: 1960-1964
16. Charles G, Zheng C, Lehmann-Horn F, Jurkat –Rott K, Levitt J.
Characterization of hyperkalemic periodic paralysis: a survey of genetically
diagnosed individuals. Journal of Neurology 2013; 260: 2606-2613.
17. Weber F, Lehmann-Horn F. Hypokalemic Periodic Paralysis. 2002 Apr 30
[Updated 2018 Jul 26]. In: Adam MP, Ardinger HH, Pagon RA, et al., editors.
GeneReviews® [Internet]. Seattle (WA): University of Washington, Seattle;
1993-2021. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK1338/
15