Anda di halaman 1dari 79

HUBUNGAN HIPERBILIRUBINEMIA DENGAN APPENDISITIS

AKUT

THE CORRELATION BETWEEN HYPERBILIRUBINEMIA AND


ACUTE APPENDICITIS

AGUS ENDRAWANTO

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU


PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
HUBUNGAN HIPERBILIRUBINEMIA DENGAN APPENDISITIS

AKUT

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi Biomedik

Disusun dan Diajukan Oleh

AGUS ENDRAWANTO

kepada

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU


PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Agus Endrawanto


No.Stambuk : P1502710006
Program Studi : Biomedik
Konsentrasi : Program Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu
Fakultas KedokteranUniversitas Hasanuddin

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan
tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau
dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya
orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut

Makassar, 22 Oktober 2015

Yang menyatakan,

Agus Endrawanto
PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan karuniaNya, serta salam dan shalawat kepada
Nabi Besar Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan tesis ini.
Tesis ini berjudul ”Hubungan Hiperbilirubinemia dengan Appendisitis
Akut”, diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program
Pendidikan Dokter Spesialis dalam bidang Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin, pada Konsentrasi Pendidikan Dokter Spesialis
Terpadu Program Studi Biomedik, Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin Makassar.
Terima kasih saya ucapkan kepada Rektor Universitas Hasanuddin,
Direktur Pascasarjana, Dekan Fakultas Kedokteran, Ketua Departemen Ilmu
Bedah, Ketua Program Studi Ilmu Bedah, Ketua Program Pendidikan Dokter
Spesialis dan Ketua Konsentrasi Program Pendidikan Dokter Spesialis dan
Combine Degree Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin atas
kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan PPDS dan Combine Degree Fakultas
Kedokteran, Universitas Hasanuddin Makassar.
Terima kasih saya ucapkan kepada para Guru Besar dan seluruh staf
pengajar Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin yang dengan kesabaran senantiasa membimbing dan
memberikan dorongan semangat kepada penulis selama masa pendidikan
dokter spesialis bedah. Semoga ilmu yang saya dapatkan selama pendidikan
ini dapat saya amalkan dan manfaatkan sebaik baiknya untuk kepentingan
masyarakat luas.
Saya ucapkan banyak terima kasih kepada pembimbing saya,
dr.Mappincara, Sp.B-KBD., dr.Samuel Sampetoding, Sp.B-KBD.,
Dr.dr.Burhanuddin Bahar, MSc., dr. Muhammad Irwan Gunawan,
Sp.B(K)Onk., dr. Mulawardi, Sp.B(K)V yang telah memberikan waktu dan
pikiran beliau untuk membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Tak
lupa saya ucapkan terima kasih banyak kepada rekan-rekan residen bedah
yang telah membantu dalam menyelesaikan karya akhir ini.
Terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan kepada kedua orang
tua saya ayahanda H.Mistam dan ibunda Hj. Sukarti, Amd.Keb yang selalu
dengan penuh kesabaran,pengertian, do’a, cinta , motivasi dan dukungannya
dalam menyelesaikan pendidikan baik secara moril maupun materiil, kakak
saya dr.Widiyanti, Sp.OG.,M.Kes., dan adik saya dr.Ratna Wulandari,
Sp.KK.,M.Kes yang telah banyak member dukungan dan kasih sayangnya.
Mertua saya ayahanda H. Sakaria, S.Kom dan ibunda Hj. Walai.SKM., ,
serta seluruh sanak saudara yang senantiasa memberikan dukungan dalam
bentuk doa, dorongan, dan semangat yang sangat berarti bagi penulis
selama mengikuti pendidikan.
Kepada istri saya tercinta dr. Desti Priani, serta anak saya tercinta
Muhammad Raif Anaqi, terima kasih atas segala doa, dukungan, serta kasih
sayangnya yang dengan penuh kesabaran dan pengorbanan mendampingi
saya sehingga dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan baik. Semoga
saya dapat menebus semua waktu yang hilang dalam momen - momen
penting kehidupan kalian dimana saya tidak turut ambil bagian selama
menjalani pendidikan ini.
Terima kasih kepada teman sejawat peserta Program Pendidikan Dokter
Spesialis Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,
seluruh staf pegawai Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin terutama kepada Mbak Nunung Mujiwanti, ibu Andi
Esse Tenri Uleng, Marlina Rajab dan seluruh paramedis di RS Wahidin
Sudirohusodo, RS Pendidikan UNHAS, beserta Rumah Sakit jejaring lainnya
atas kerjasamanya selama penulis menjalani pendidikan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini tidak lepas
dari kekurangan dan kelemahan akibat keterbatasan kemampuan maupun
pengetahuan penulis, untuk itu penulis mengucapkan permohonan maaf
yang sebesar besarnya.
Akhir kata saya ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang turut berperan serta dalam penyelesaian karya akhir ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Hanya Allah SWT yang dapat membalas semua amal kebaikan yang
telah diberikan kepada penulis. Semoga rahmat dan karuniaNya senantiasa
dilimpahkan kepada kita semua. Amin Ya Rabbal Alamin.

Makassar, 22 Oktober 2014

Agus Endrawanto
HUBUNGAN HIPERBILIRUBINEMIA DENGAN APPENDISITIS AKUT

Agus Endrawanto,Mappincara,Samuel Sampetoding

Departemen Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin

ABSTRAK

Peningkatan dari serum bilirubin telah dilaporkan terjadi pada apendisitis akut, tapi
pentingnya peningkatan serum bilirubin belum ditekankan untuk diagnosis
appendisitis akut dan appendisitis perforasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui
hubungan antara hiperbilirubinemia dengan appendisitis akut. Desain penelitian yang
digunakan, yaitu kajian analitik dengan rancangan potong lintang. Penelitian
dilaksanakan selama Juli – Desember 2014 . Lokasi penelitian, yaitu RSUP
Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar. Sampel diambil dengan teknik purposive.
Jumlah sampel yang diperoleh sebanyak 36 subjek ( 21 laki-laki dan 15 perempuan).
Umur rata-rata sampel, yaitu 29,2 tahun dengan usia minimum 17 tahun dan
maksimum 68 tahun. Data dianalisis dengan menggunakan computer program SPSS
versi 16.0 dan uji chi-Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui uji
statistik chi-Square terdapat hubungan antara kadar bilirubin total dengan nilai
p=0,017 (p<0.05) dan bilirubin direk dengan nilai p=0,010 (p<0.05) dengan hasil
patologi anatomi appendisitis akut dan appendisitis perforasi. Dengan uji validitas
receiver operating characteristic (ROC) diperoleh hasil bahwa hiperbilirubinemia
tidak signifikan sebagai marker untuk memprediksi perforasi pada appendisitis akut
dengan nilai sensitivitas serum bilirubin total sebesar 67,7 % dan spesifisitas 20 %,
sensitivitas serum bilirubin direk sebesar 64,5 % dan spesivisitas 0 %. Artinya , ada
hubungan antara hiperbilirubinemia dengan appendicitis akut , tetapi
hiperbilirubinemia tidak signifikan sebagai marker untuk memprediksi appendisitis
perforasi.

Kata Kunci : Appendisitis akut, Hiperbilirubinemia


THE CORRELATION BETWEEN HYPERBILIRUBINEMIA AND
ACUTE APPENDICITIS

Agus Endrawanto,Mappincara,Samuel Sampetoding

Department of Surgery, Hasanuddin University Medical College

ABSTRACT

Increase of bilirubin serum was detected for acute appendicitis , but the importance
of increasing bilirubin serum has not been emphasized for diagnose acute
appendicitis and appendicitis perforation. This research aimed to understand the
correlation between hyperbilirubinemia and acute appendicitis. The research design
was analytical with the cross-sectional study. The research was conducted in
Dr.Wahidin Sudirohusodo Hospital, Makassar from July through December 2014.
The samples were choosen using the purposive sampling technique. The data were
analyzed using the computer SPSS program, version 16.0.The subject comprised 36
people consisting of 21 male and 15 female, whose mean age was 29,2 years (the
minimum age was 17 years and maximum is 68 years). The result of the chi-square
test revealed that there was a correlation between the levels of the total bilirubine
(the value of p = 0,017;p<0,05) and the direct bilirubine (the value of p=0,010
;p<0,05), and the result of the anatomical pathology of the acute appendicitis as well
as the perforation appendicitis.The result of the validity test of the Receiver
Operating Characteristic showed that hyperbilirubinemia was insignificant as the
marker to predict the perforation in the acute , since the sensitivity value of the total
bilirubine serum was 67,7 % and the specivicity was 20 %, while the sensitivity of
the direct bilirubine serum was 64,5% and the spesivicity was 0%. Thus, the
research indicated that there was a correlation between between hyperbilirubinemia
and acute appendicitis but hyperbilirubinemia was insignificant as the marker to
predict perforation appendicitis.

Keywords :Acute Appendicitis, Hyperbilirubinemia


DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………...……… iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS………………………………………….. iv

PRAKATA…………………………………………...…………………………. v

ABSTRAK…………………………………………...……………………….... viii

DAFTAR ISI…………………………………………...………………………. x

DAFTAR TABEL…………………………………………...…………………. xiii

DAFTAR GAMBAR…………………………………………...……………… xiv

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………...…………… xv

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN……………………………. xvi

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang………………………………………...……... 1

1.2. Rumusan Masalah……………..…………………...….….... 3

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum………………………………………..…. 3

1.3.2. Tujuan Khusus…………………………………….….... 4

1.4. Hipotesis…………………………………...……...…….……... 4

1.5. Manfaat Penelitian…………………………………...…...…... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Insiden …………………………………………….…………. 5

2.2. Etiologi………………………………..…………………….... 6

2.3. Patofisiologi ……………………………………..….……….. 8

2.4. Anatomi dan Fisiologi ……………................................… 12


2.5. Gambaran Klinis ………………………………...……….... 14

2.6. Pemeriksaan Penunjang.…………………………………. 17

2.7. Penilaian Sistem Skor Appendisitis Akut……………….. 20

2.8. Kerangka Teori.………………………….……………..….. 29

2.9. Kerangka Konsep.……………………………………….... 30

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian ………..………..………..………..…….. 31

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ………..…….……..……. 31

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ………..………..…….. 31

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1. Kriteria Inklusi ………..………..………..…….…..... 32

3.4.2. Kriteria Eksklusi …..………..…….…..………...…… 32

3.5. Izin Penelitian dan Kelayakan Etik ………..…….…..….... 32

3.6. Cara Penelitian ………..………..…..…….…….….…….… 33

3.7. Alur Penelitian …….…….…….…………..……...…..……. 36

3.8. Identifikasi Variabel ………..………..………..….…..……. 37

3.9. Definisi Operasional ………..………..……….…….…..…. 37

3.10. Pengolahan dan Analisa Data …..…..……….…….….... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN…..…..……….…….…..………..…..….…. 39

BAB V PEMBAHASAN …..…..……….…….…..………..…..……….… 49

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan …..…..……….…….…..………..…..………... 53

6.2. Saran …..…..……….………..…..……….…….…...……… 54


DAFTAR PUSTAKA …………………………………………...…………... 55

LAMPIRAN…………………………………………...……………………… 59
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Sistem Skoring Kalesaran…...........…...........…...........…........ 19

Tabel 2 Sistem Skoring Alvarado…...........…...........…...........…........ 21

Tabel 3 Nilai normal serum bilirubin dan enzim hepar......................... 35

Tabel 4 Statistik Deskriptif Umur..................................................…..... 39

Tabel 5 Rerata Usia berdasarkan Hasil Patologi Anatomi.................... 39

Tabel 6 Sebaran Jenis Kelamin berdasarkan Hasil Patologi Anatomi.. 40

Tabel 7 Statistik Deskriptif Hasil Laboratorium….......……..…………… 41

Tabel 8 Jumlah Leukosit berdasarkan Hasil Patologi Anatomi............. 42

Tabel 9 Kadar Serum Bilirubin Total berdasarkan Hasil Patologi

Anatomi .................................................................................. 43

Tabel 10 Kadar Serum Bilirubin Direk berdasarkan Hasil Patologi

Anatomi................................................................................... 44

Tabel 11 Data Sampel Penelitian ........................................................... 61


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skematis Proses Immunologis.............................................. 10

Gambar 2. Variasi letak Appendiks.......................................................... 12

Gambar 3. Variasi letak Appendiks dan vaskularisasi............................. 13

Gambar 4. Marker Insisi pada titik Mc.Burney......................................... 16

Gambar 5. Obturator sign atau Cope’s sign............................................. 16

Gambar 6. Psoas Sign ............................................................................ 17

Gambar 7. Target Sign pada USG Abdomen............................................ 18

Gambar 8. Target Sign pada CT scan Abdomen..................................... 19


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat pernyataan persetujuan pemeriksaan laboratorium


bilirubin
Lampiran 2 : Form pengambilan data sampel
Lampiran 3 : Data sampel penelitian
Lampiran 4 : Rekomendasi persetujuan etik
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang/Singkatan Arti dan Keterangan

ALP : Alkaline Phospatase

ATP : Adenosin Tri Phospat

cm : Centimeter

cmH2O : Centimeter Hidrogen Dioksida

CRP : C-Reactive Protein

CT Scan : Computed Tomography Scan

E.Coli : Escherichia coli

EDTA : Ethylenediaminetetraacetic Acid

Et al : Et Alia

GALT : Gut-Associated Lymphoid Tissues

HBsAg : Hepatitis B surface Antigen

IgA : Imunoglobulin A

IL-6 : Interleukin-6

mg/l : Milligram per liter

mg/dl : Milligram per desiliter

ml : Milliliter

mm3 : Millimeter Kubik

ROC : Receiver Operating Characteristic

Rpm : Rotasi Per Menit


SGOT : Serum Glutamic Oxaloacetic

SGPT : Serum Glutamic Pyruvic Transaminase

SPSS : Statistical Package for Social Science

TNF-α : Tumor Necrosis Factor-Alpha

USG : Ultrasonography

U/L : Units per Liter

WBC : White Blood Cell

°C : Derajat Celcius

% : Persen
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Appendisitis akut adalah peradangan yang terjadi pada appendiks

yang merupakan keadaan akut abdomen dan memerlukan penanganan

segera untuk menghindari keadaan yang lebih buruk dan komplikasi yang

diakibatkannya. Diagnosa appendisitis akut masih sulit dan merupakan

salah satu masalah dibidang bedah, meskipun banyak kemajuan dari

pemeriksaan radiologi dan laboratorium. (Veerabhadra R,2012)

Berdasarkan pengalaman klinis selama ini 80% diagnosa

appendisitis akut ditegakkan berdasarkan kombinasi anamnesa,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. (Veerabhadra R,2012 ).

Meskipun sebagian besar pasien dengan appendisitis akut dapat dengan

mudah didiagnosis, pada beberapa kasus tanda dan gejala pada pasien

dapat bervariasi dan diagnosis pasti sulit ditegakkan. Hal ini terutama jika

appendix terletak di retrocaecal atau retroileal. Persentasi appendektomi

negatif didapatkan sekitar 15 - 50 %. Keterlambatan diagnosis dapat

meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas sekitar 11,2 % - 30 % yang

berakibat perforasi intestinal (Asfar S et al., 2009)

Sebagai tambahan diagnosis klinis dan mengurangi frekuensi

negatif appendektomi yang tidak perlu, pemeriksaan laboratorium yang

penting seperti WBC count, CRP, dan lain-lain nilainya perlu ditekankan.

1
Pada pemeriksaan laboratorium yaitu hitung leukosit > 10.000/mm3, dan

hitung jenis leukosit dengan pergeseran ke kiri yaitu peningkatan

persentase neutrophil dengan ketepatan diagnosis sangat bervariasi dan

dipengaruhi oleh kecermatan, ketelitian dan pengalaman pemeriksa.

Akurasi diagnostik pada penderita perempuan lebih rendah dibandingkan

laki-laki. Namun sepertiga kasus (terutama orang tua) leukosit dan hitung

jenis leukosit dalam batas normal ataupun peninggian leukosit dan

persentase neutrofil tidak berbanding lurus dengan keparahan apendisitis.

(Brucinardi FC et al., 2010 )

CRP merupakan salah satu komponen protein fase akut yang akan

meningkat 4–8 jam setelah terjadinya proses inflamasi, yang dapat

digunakan sebagai indikator yang cukup sensitif terhadap reaksi non

spesifik dari infeksi bakteri, peradangan dan kerusakan jaringan pada

protein fase akut yang lain. (Deodhare SG,2012 )

Penggunaan Ultrasonography (USG) sebagai alat diagnostik untuk

apendisitis telah diketahui secara luas. Beberapa upaya telah dilakukan

dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas mendiagnosis apendisitis akut

dengan membuat sistem skor diagnosis, yang bertujuan menurunkan

insiden appendisitis negatif, seperti instrumen skoring Alvarado. Namun

saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium sebagai marker diagnosis pre

operatif untuk apendisitis perforasi (Baidya N et al., 2009).

Saat ini, peningkatan dari serum bilirubin telah dilaporkan pada

appendisitis akut, tapi pentingnya peningkatan total bilirubin belum

2
ditekankan untuk diagnosis appendisitis akut dan apendisitis perforasi

(Veerabhadra R). Saat mikroba menyerang tubuh manusia leukosit

berfungsi sebagai pertahanan tubuh, hal ini menyebabkan peningkatan

jumlah leukosit. Invasi bakteri pada appendix menyebabkan transmigrasi

bakteri dan melepaskan Pro-inflamatory cytokines seperti TNF-α, IL-6, dan

cytokines. Sitokin ini mencapai hepar melalui vena mesenterika superior

dan vena porta kemudian menyebabkan inflamasi, abses atau disfungsi

hepar baik langsung maupun tidak langsung disebakan oleh perubahan

aliran darah hepar. Invasi bakteri ke parenkim hepar mengganggu

fisiologi dan ekskresi dari cairan empedu sehingga menyebabkan

hiperbilirubinemia (Chand N & Sanyal A, 2007).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka dirumuskan masalah sebagai berikut :

Berapakah nilai peningkatan kadar serum bilirubin pada appendisitis

akut?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum.

Untuk mengetahui hubungan antara hiperbilirubinemia dengan

appendisitis akut dan untuk mengevaluasi kredibilitas

hiperbilirubinemia sebagai marker diagnosis untuk apendisitis akut

dan memprediksi adanya appendisitis perforasi

3
2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui jumlah rata – rata leukosit pada pasien

appendisitis akut dan appendisitis perforasi

b. Untuk mengetahui peningkatan nilai serum bilirubin total dan

serum bilirubin direk pada pasien appendisitis akut dan

appendisitis perforasi.

c. Untuk mengetahui apakah peningkatan nilai serum bilirubin total

dan serum bilirubin direk berbanding lurus dengan keparahan

appendisitis.

d. Untuk mengetahui sensitifitas, spesifisitas dan akurasi serum

bilirubin total dan srum bilirubin direk pada appendisitis akut.

1.4. Hipotesis Penelitian

Ada hubungan terjadinya peningkatan serum bilirubin total dan

serum bilirubin direk terhadap appendisitis akut.

1.5. Manfaat Penelitian

Dengan adanya cara diagnosis appendisitis akut berdasarkan

gejala klinis dan laboratorium sederhana, murah, dan mudah dengan

tingkat akurasi yang tinggi, diharapkan akan mengurangi kesalahan

diagnosis pada kasus nyeri abdomen akut, menentukan jenis tindakan,

sehingga dapat menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitasnya.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Insiden

Appendisitis akut merupakan kasus terbanyak dari akut abdomen,

1% dari semua kasus bedah, sangat jarang pada infant, insidens

bertambah sesuai dengan umur, dengan puncak pada umur 10–30 tahun,

ratio laki-laki dibandingkan dengan perempuan pada usia remaja 3:2 dan

menjadi 1:1 sesudah usia 25 tahun. Angka mortalitas yang tinggi dari

appendisitis akut mengalami penurunan dalam beberapa dekade. Angka

mortalitas pasien appendisitis akut dengan peritonitis lokal menurun dari

5% menjadi 0%. Angka mortalitas pasien appendisitis akut dengan

peritonitis umum menurun dari 40,6% menjadi 7,5% (Grace P et al.,

2002).

Beberapa penelitian juga menyebutkan adanya insidens

appendisitis di negara maju seperti Amerika dan Inggris yang kurang

mengkonsumsi serat lebih besar dibandingkan di Afrika dan Asia. Di

Amerika Serikat sekitar 7% penduduk mengalami apendiktomi dengan

insidens 1,1/1000 penduduk pertahun. Terdapat 15–30% (30–45% pada

wanita) gambaran histopatologi yang normal pada hasil appendektomi.

Keadaan ini menambah komplikasi pasca operasi, seperti adhesi,

konsekuensi beban sosial-ekonomi, kehilangan jumlah hari kerja, dan

produktivitas (Jerry l et al., 2005).

5
Di Asia, terjadinya appendisitis akut cenderung mengalami

peningkatan karena adanya perubahan pola makan yang mengikuti pola

makan barat. Di Indonesia, penderita pria ditemukan sebanyak 242 kasus

sedangkan wanita 218 kasus dari 460 kasus (Ruchiyat Y et al., 1998).

2.2 Etiologi.

Terjadinya appendisitis disebabkan oleh banyak faktor, namun

secara garis besarnya beberapa ahli menyatakan bahwa appendisitis akut

umumnya disebabkan oleh beberapa faktor pencetus seperti pola makan

diet rendah serat, infeksi bakteri, obstruksi lumen appendiks, dan

konstipasi. Namun pada dasarnya kondisi ini disebabkan adanya obstruksi

lumen appendiks yang kemudian menimbulkan proses inflamasi dan

infeksi bahkan dapat menimbulkan peritonitis akibat kebocoran lumen

appendiks (Humes., 2002 ;Oscar J et al., 2005).

Diet Rendah Serat.

Diet rendah serat juga merupakan salah satu faktor pencetus

terjadinya appendisitis yang dapat menimbulkan obstruksi pada lumen

apendiks. Diet berperan utama pada pembentukan sifat feses, yang mana

penting pada pembentukan fekalit. Fekalit ditemukan 40% pada kasus

appendisitis sederhana (simpel), sedangkan pada appendisitis akut

dengan gangren tanpa ruptur terdapat 65% dan appendisitis akut dengan

gangren disertai ruptur terdapat 90%. Diet rendah serat dapat

menyebabkan feses menjadi memadat, lebih lengket dan makin

6
membesar, sehingga membutuhkan proses transit dalam kolon yang lama

(Senagor A., 2004 ; Zinner JM., 2003).

Obstruksi.

Faktor obstruksi ditemukan dalam 60-70 % kasus. Sekitar 60 %

obstruksi disebabkan oleh hiperplasi kelenjar limfe submukosa, 35%

disebabkan oleh fekalit, dan 5% disebabkan oleh faktor obstruksi yang

lain. Obstruksi berakibat terjadinya proses inflamasi, sekresi mukosa yang

terhambat keluar dan terkumpul selama adanya obstruksi lumen

appendiks menyebabkan distensi lumen sehingga timbul peningkatan

tekanan intraluminer dan akibatnya terjadi obstruksi arterial-vena, iskemia

dan kongesti dinding appendiks, hipoksia, serta terjadinya infeksi anaerob

(Anderson D., 2006).

Infeksi bakteri dan amuba.

Flora bakteri pada appendiks sama dengan di kolon, dengan

ditemukannya bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat

dalam appendisitis sama dengan penyakit kolon lainnya. Pada tahap

appendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama E. coli, Bacteroides

fragilis, Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat

ditemukan. Beberapa penelitian berpendapat bahwa Entamoeba, Trichuris

trichiura, dan Enterobius vermikularis yang berkembang di kripte glandula

intestinal dapat menyebabkan erosi mukosa appendiks dan perdarahan.

Parasit ini memproduksi enzim yang dapat menyebabkan nekrosis

mukosa sehingga terjadi ulkus (Humes., 2002 ; Oscar J et al., 2005).

7
2.3 Patofisiologi.

Pada keadaan normal tekanan dalam lumen appendiks antara 15 –

25 cmH2O dan meningkat menjadi 30 – 50 cmH2O pada waktu kontraksi.

Pada keadaan normal tekanan pada lumen sekum antara 3 – 4 cmH2O,

sehingga terjadi perbedaan tekanan yang berakibat cairan di dalam lumen

appendiks terdorong masuk sekum. Mukosa normal appendiks dapat

mensekresi cairan 1-2 ml dalam 24 jam. Lendir itu secara normal

dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke dalam sekum.

Hambatan aliran dalam muara appendiks berperan besar dalam

patogenesis appendisitis (Hardin M.,1999 ; Oscar J et al., 2005).

Appendiks juga berperan sebagai sistem immun pada sistem

gastrointestinal. Sekresi immunoglobulin diproduksi oleh Gut-Associated

Lymphoid Tissues (GALT) dan hasil sekresi yang dominan adalah IgA.

Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung infeksi. Antibodi ini

mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, dan mencegah penetrasi

enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Pemikiran bahwa appendiks

adalah bagian dari sistem GALT yang mensekresi globulin kurang banyak

berkembang. Jaringan limfoid pertama kali terlihat di submukosa

appendiks sekitar 2 minggu setelah kelahiran. Jumlah jaringan limfoid

meningkat selama pubertas, dan menetap dalam waktu 10 tahun

berikutnya, kemudian mulai menurun dengan pertambahan umur. Setelah

umur 60 tahun, tidak ada jaringan limfoid yang terdapat di submukosa

appendiks. Namun demikian pengangkatan appendiks tidak

8
mempengaruhi sistem imun tubuh, sebab jaringan limfoid disini kecil jika

dibandingkan jumlah di saluran pencernaan dan seluruh tubuh (Norton J.,

2001).

Faktor terpenting terjadinya appendisitis adalah adanya obstruksi

lumen appendiks baik oleh fekalit, infeksi bakteri maupun amuba,

hiperplasia jaringan limfoid, benda asing dalam tubuh, kanker primer dan

striktur. Namun yang paling sering menyebabkan obstruksi lumen

appendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid yang

menimbulkan ulserasi mukosa sampai kerusakan lapisan dinding

appendiks, terjadi perpindahan kuman dari lumen masuk kedalam

submukosa maka terjadilah keadaan yang disebut appendisitis fokal

(appendisitis kataralis). Dengan adanya kuman dalam submukosa maka

tubuh akan bereaksi berupa peradangan supurativa yang menghasilkan

pus maka terjadilah keadaan yang disebut appendisitis

supuratif/plegmenosa. Keluarnya pus dari dinding yang masuk ke dalam

lumen appendiks akan mengakibatkan tekanan intraluminer meningkat,

sehingga desakan pada dinding appendiks bertambah besar

menyebabkan gangguan pada sistem vasa dinding apendiks. Mula-mula

akan terjadi penekanan pada vasa limfatika, kemudian vena dan terakhir

arteri, akibatnya terjadi edema dan iskemia, infark, lalu menjadi gangren

didaerah antemesenterial yang relatif miskin vaskularisasi. Gangren

biasanya di tengah-tengah apendiks dan berbentuk ellipsoid. Keadaan ini

disebut appendisitis gangrenosa. Proses awal ini terjadi dalam waktu 12 –

9
24 jam pertama. Bila keadaan ini akan terus berlanjut dimana dinding

appendiks akan mengalami perforasi, sehingga material intraluminer yang

infeksius akan tercurah kedalam rongga peritoneum. Hasil akhir dari

proses peradangan tersebut tergantung dari kemampuan organ dan

omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, apabila fungsi omentum baik,

tempat yang mengalami perforasi akan ditutup oleh omentum (“Walling off

“), maka terjadilah infitrat periappendikular. Apabila terjadi pernanahan

maka akan terbentuk suatu rongga yang berisi nanah di sekitar appendiks,

terjadilah abses periappendikular. Apabila omentum belum berfungsi baik,

material infeksius akan menyebar di sekitar appendiks dan terjadi

peritonitis lokal. Namun jika infeksi tidak bisa diatasi akan terjadi peritonitis

umum. Pada anak-anak omentum belum berkembang dengan sempurna,

sering mengakibatkan appendiks cepat mengalami komplikasi (Debas H.,

2004; Baidya N., 2009).

Gambar 1. Skematis Proses Immunologis (Reeves G.,2009).

10
Infeksi / Obstruksi Lumen, dll

Bendungan aliran mucus mukosa



↑ Tekanan intra lumen apendik
↓ Appendisitis Akut
Gangguan aliran darah Fokal / Kataralis

Edema dan ulserasi mukosa
perpindahan kuman dari
lumen masuk kedalam
submukosa
Obstruksi vena, Tranlokasi kuman Appendisitis Akut
↓ Supuratif/
Peradangan Supuratif  Pus Purulenta/Phlegmonosa

Gangguan Aliran Arteri


Appendisitis Akut
Infark Dinding Apendiks
Ganggrenosa
Ganggren

Dinding Apendiks
Rapuh
Mikro / Makro Perforasi

Mekanisme Walling Of

Berhasil Gagal

Peri Apendikular Infiltrat Peritonitis

Skema 1. Patofisiologi Appendisitis (Wagner J. 2009 )

Pemakaian antibiotika akan mengubah perlangsungan proses

tersebut sehingga terjadi keadaan seperti appendisitis rekurens,

appendisitis kronis, atau yang lain. Appendisitis rekurens adalah

appendisitis secara klinis memberikan serangan berulang, intra operasi

maupun pemeriksaan histopatologis didapatkan tanda peradangan akut.

Sedangkan appendisitis kronis adalah appendisitis secara klinis serangan

sudah lebih dari 2 minggu, penemuan intra operasi maupun pemeriksaan

11
histopatologis ditemukan inflamasi kronis berupa perlekatan, tertekuk,

terputar, kinking, stenosis partial, berisi mucus, atau fragmentasi oleh

jaringan parut. Gambaran ini merupakan “gross pathology” dari

appendisitis kronik (Wagner J ., 2009; Hardin M., 2009).

2.4 Anatomi dan Fisiologi

Appendiks vermiformis merupakan organ berbentuk tabung dengan

panjang kurang lebih 10 cm ( 3-15 cm), berpangkal di caecum dan

merupakan pertemuan ketiga taenia coli ( taenia libera, taenia colica,

taenia omentum) berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian

proksimal dan melebar di distal. Namun pada bayi , appendiks berbentuk

kerucut , lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya.

Appendiks manusia merupakan organ sisa yang fungsinya tidak diketahui.

Hubungan antara dasar appendiks dengan sekum bersifat konstan atau

menetap, walaupun ujung bebasnya dapat ditemukan dalam berbagai

posisi yaitu pelvis, retrosekal, retroileal, diquadran kiri bawah, quadran

kanan bawah atau subileal (Baidya N., 2009).

Gambar 2. Variasi letak Appendiks (Hardin M. 1999).

12
Suplai darah appendiks berasal dari arteri appendikularis yang

merupakan cabang dari arteri ileocoelica. Arteri ini berjalan disepanjang

mesoappendiks posterior sampai ileum terminal. Arteri appendikularis

merupakan arteri tanpa kolateral atau end artery. Jika arteri ini tersumbat

akan terjadi trombosis pada infeksi appendiks maka akan menyebabkan

gangrene. Persarafan appendiks terbagi atas persarafan simpatis dan

parasimpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus

yang mengikuti arteri mesenterica superior dan arteri appendikularis.

Sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus thoracalis. Karena itu

nyeri viseral pada appendiks bermula disekitar umbilicus (Baidya N., 2009;

Syamsuhidayjat., 2003).

Gambar 3. Variasi letak Appendiks dan vaskularisasi (Hardin M. 1999).

Fisiologi Appendiks

Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu

normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke

13
sekum. Lendir dalam appendiks bersifat basa mengandung amilase dan

musin. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut

Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna

termasuk appendiks ialah IgA. Immunoglobulin tersebut sangat efektif

sebagai perlindungan terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan

appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan

limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran

cerna dan di seluruh tubuh. ( Sjamsuhidayat., 2005)

Appendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur

kedalam caecum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya

cenderung kecil, maka appendiks cenderung menjadi tersumbat dan

terutama rentan terhadap infeksi ( Sjamsuhidayat., 2005)

2.5 Gambaran Klinis

Anamnesis

Gejala klinik dari appendisitis akut adalah anoreksia, nyeri daerah

periumbilical disertai mual, nyeri perut kanan bawah dan muntah. Nyeri

perut awalnya berasal dari daerah epigastrium bawah atau umbilicus

biasanya berat dan menetap, kadang disertai dengan kram (nyeri

visceral). Setelah periode yang bervariasi antara 1–12 jam, tetapi

umumnya 4–6 jam, nyeri berlokasi di perut kanan bawah (nyeri somatik).

Hal ini disebabkan karena proses inflamasi telah berkembang ke lapisan

serosa appendiks dan turun ke daerah peritoneum parietal. Kebanyakan

14
pasien disertai dengan riwayat obstipasi sebelum onset nyeri perut. Diare

terjadi pada beberapa pasien, umumnya anak-anak. Dapat pula terjadi

apabila appendiks terletak di pelvis dekat dengan rectum. Hampir 95%

dari appendisitis akut dimana anoreksia merupakan gejala awal yang

diikuti dengan nyeri perut lalu muntah.

Pemeriksaan Fisis

Pada pasien appendisitis yang tidak mengalami komplikasi, tanda-

tanda vital tidak mengalami perubahan. Perubahan suhu jarang lebih dari

1°C. Tekanan darah rata-rata normal atau sedikit mengalami perubahan.

Perubahan tekanan darah yang besar biasanya menandai terjadinya

komplikasi atau diagnosa lain sebaiknya dipertimbangkan.

Pada inspeksi tidak tampak kelainan. Penonjolan pada perut kanan

bawah bila sudah ada abses atau infiltrat. Kembung dan tidak ikut gerak

napas bila sudah ada perforasi atau peritonitis. Pada palpasi didapatkan

nyeri tekan perut kanan bawah terutama titik Mc Burney ( titik Mc. Burney

merupakan sepertiga lateral jarak umbilicus dan spina iliaka anterior

superior ). Teraba massa diperut kanan bawah bila sudah terbentuk

abses. Defans muscular lokal sampai menyeluruh bila sudah terjadi

peritonitis (Douglas W.,2002; Skandalakis J., 2002).

Gambar 4. Marker Insisi pada titik Mc.Burney (Wagner J.2009).

15
Blumberg’s sign ( rebound tenderness, Release sign ) yaitu dengan

cara menekan perlahan pada fossa iliaka kanan seirama dengan gerakan

expirasi nafas lalu melepaskan secara tiba-tiba, positif bila menimbulkan

nyeri, ini menandakan adanya inflamasi dari peritoneum parietale.

Rovsing’s sign yaitu dengan cara menekan perut kiri bawah lalu dorong ke

kanan, positif bila menimbulkan nyeri, ini disebabkan karena udara yang

terdorong dari colon descenden kearah proksimal sampai caecum

menyebabkan peregangan pada caecum dan daerah sekitarnya.

Obturator sign atau Cope’s sign yaitu dengan fleksi dan endorotasi sendi

panggul akan menimbulkan nyeri. Terjadi bila appendiks berada di pelvis

dekat otot obturator. Dasar anatomi dari obturator sign adalah inflamasi

yang terjadi pada appendiks di daerah pelvis melengket dengan musculus

obturator internus yang mengalami regangan.

Gambar 5. Obturator sign atau Cope’s sign (Wagner J.2009).

Psoas sign yaitu hiperefleksi pangkal paha akan menimbulkan

nyeri. Terjadi bila appendiks berada di daerah retrosekal, dekat otot

psoas. Dasar anatomi pada psoas sign adalah inflamasi appendiks yang

berlokasi di retroperitoneal melengket dengan musculus psoas yang

meregang pada manuver ini.

16
Gambar 6. Psoas Sign (Wagner J.2009).

Pada perkusi akan ditemukan pekak hepar yang menghilang bila

sudah terjadi perforasi. Peristaltik normal kecuali bila ada peritonitis, bising

usus biasanya menghilang. Pada colok dubur didapatkan nyeri pada

posisi jam 10 dan 11 bila letak pelvinal, sphingter ani longgar bila terjadi

peritonitis (Grace P., 2002 ; Emmanuel J., 2003).

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium.

Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting untuk

menilai awal keluhan nyeri kuadran kanan bawah dalam menegakkan

diagnosa appendisitis akut, namun masih bersifat kurang spesifik, dalam

menegakkan diagnosa. Jumlah lekosit untuk appendisitis akut adalah

>10.000/mm3 dengan pergeseran ke kiri pada hemogramnya (>70%

netrofil). Pada penderita appendisitis akut ditemukan jumlah lekosit antara

12.000-20.000/mm3 dan bila terjadi perforasi atau peritonitis jumlah lekosit

antara 20.000-30.000/mm3 (70-90%), walaupun hal ini bukan hasil yang

karakteristik. Kontroversinya adalah beberapa penderita dengan

appendisitis akut, memiliki jumlah lekosit dan granulosit tetap normal. Nilai

17
senstifitas dan spesifisits CRP cukup tinggi, yaitu 80 - 90% dan lebih dari

90%. Nilai normal CRP <0,8 mg/dl, nilai patologis dalam serum >10 mg/l

(> 1mg/dl). Peningkatan kadar CRP lebih dari 1 mg/dl menunjukkan

sensitivitas 89,5%, spesifitas 100% dan akurasi 90,9% untuk diagnose

appendisitis akut. Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan untuk

menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen pada

pemeriksaan urinalisa (Asfar S.,2009; Imam S.,2006 ; Christos K., 2005).

Pemeriksaan radiologi.

Foto Abdomen

Kadang ditemukan fekalit, perselubungan di fossa iliaka kanan, udara

bebas di subdiafragma kanan.

Ultrasonografi Abdomen.

Terlihat target sign dari appendiks yang meradang, massa infiltrat atau

abses dan merupakan penuntun untuk drainase abses perkutan dengan

diameter appendiks > 6mm. Akurasi 71-97%.

Gambar 7. Target Sign pada Usg Abdomen (Senagore A. 2004).

18
Computed Tomography Scan

CT scan mempunyai akurasi yang tinggi dalam mendiagnosa Appendisitis.

Biasanya digunakan pada pasien dewasa yang dicurigai Appendisitis. CT

scan memiliki sensitifitas 90 % dan spesifisitas 80 -90 % dalam

mendiagnosa Appendisitis akut. (Veerabhadra R.,2012 )

Gambar 8. Target Sign pada CT scan Abdomen (Veerabhadra R. 2012).

2.7 Penilaian Sistem Skor Appendisitis Akut.

Telah dikemukakan cara untuk menurunkan insidens appendektomi

negatif, salah satunya adalah dengan membuat sistem skoring.salah

satunya adalah sistem skoring Kalesaran dan Skoring Alvarado

TEMUAN SKOR ( + ) SKOR ( - )

MUAL 7 - 10

MUNTAH 11 - 5

DEMAM 7 - 27

NYERI BATUK 15 - 20

19
NYERI KETOK 5 - 23

DEFANS LOKAL 10 - 13

LEUKOSITOSIS >10.000 = 5 < 10.000 = -11

Tabel 1. Sistem Skoring Kalesaran.

Kalesaran et al (1995), telah menemukan 3 gejala, 3 tanda,

dan 1 temuan laboratorium dalam menentukan diagnosis

appendisitis akut. Berdasarkan 7 item tersebut, Kalesaran et al

(1995), telah menentukan titik batas (“Cut off Point”). Jika nilai

diatas +20 harus segera di operasi, karena titik batas tersebut

mempunyai sensitifitas dan spesifitas yang tinggi, yaitu masing-

masing 85,71% dan 92,30% dari hasil analisa metode Bayes. Skor

-49 sampai +20 tidak perlu segera dioperasi, hendaknya diamati

saja untuk melihat perkembangan selanjutnya.

Skor Alvarado adalah suatu sistem skoring yang digunakan

untuk menetapkan ada atau tidaknya diagnosis appendisitis akut

(penyakit usus buntu). Skor Alvarado merupakan delapan

komponen skor yang terdiri dari enam komponen klinik dan dua

komponen laboratorium dengan total skor maksimal 10. Dibawah

adalah tabel skor Alvarado:

20
Tabel Skor Alvarado Skor

Gejala Klinis
· Nyeri abdominal pindah ke fossa iliaka kanan 1
· Nafsu makan menurun 1
· Mual dan atau muntah 1

Tanda Klinis
· Nyeri lepas 1
· Nyeri tekan fossa iliaka kanan 2
· Demam (suhu > 37,2⁰ C) 1

Pemeriksaan Laboratoris
· Leukositosis (leukosit > 10.000/ml) 2
· Shift to the left (neutrofil > 75%) 1

TOTAL 10

Tabel 2. Sistem Skoring Alvarado.

Interpretasi:

Skor 7-10 = Appendisitis akut

Skor 5-6 = Curiga appendisitis akut

Skor 1-4 = Bukan appendisitis akut

Liver Function Tests

Baru – baru ini dikemukakan bahwa hiperbilirubin atau peningkatan

kadar serum bilirubin dihubungkan dengan appendicitis akut.Diduga ada

hubungan yang nyata antara hiperbilirubinemia dengan appendisitis akut

dan komplikasinya seperti appendisitis perforasi. (Berk et al., 2001)

Bilirubin

Bilirubin ( tetrapyrrole, dulu dikenal sebagai hematoidin) adalah

produk akhir dari degradasi metabolism haem, prosthetic group of

haemoglobin, myoglobin, cytochrome P450s dan berbagai macam haemo

21
protein lainnya dalam proses pemecahan eritrosit oleh sel

retikuloendotelial. Sebagian besar ( 85-90 %) terjadi dari penguraian

hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti

mioglobin. Level dari serum bilirubin menunjukkan keseimbangan dari

produksi dan ekskresi dari produk tersebut. (William C et al., 2001)

Sel retikuloendotelial menyerap kompleks haptoglobin dengan

hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini

kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis

berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tetrapirol

bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air

(bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin

dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air.

Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati ,hepatosit

melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan

mengikat bilirubin ke asam glukoronat, proses konjugasi ini melibatkan

enzim glukoroniltransferase(bilirubin terkonjugasi / direk)(Sacher.,2004).

Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut

masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus

,bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen

dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses.

Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik,

dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini

umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke

22
usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat

ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin (Sacher., 2004).

Evaluasi laboratorium dari serum bilirubin dideteksi dalam dua produk:

1. Indirek atau Unconjugated bilirubin ( sebelum dimetabolisme hepar)

2. Direk atau Conjugated bilirubin (setelah dimetabolisme hepar)

(William C et al., 2001)

Pada dewasa normal level serum bilirubin < 1mg/dl. Ikterus akan

muncul pada dewasa bila serum bilirubin > 2mg/dl dan pada bayi yang

baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya > 7mg/dl (Cloherty et al.,

2008).

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin

yang melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau

disebabkan oleh kegagalan hati(karena rusak) untuk mengekskresikan

bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan

hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan

hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam

darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu(sekitar 2-2,5mg/dl),

senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi

kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice (Murray et al., 2009).

Karena potensi bilirubin sebagai produk limbah beracun, sistem

hepatik menghilangkan dari tubuh melalui saluran bilier. Ada berbagai

langkah yang terlibat dalam proses ini yaitu : uptake hepatosellular,

intracellular binding, konjugasi dan ekskresi. (Berk et al., 2001). Dari data

23
berdasarkan metode analisis modern diketahui bahwa plasma normal

hampir tidak mengandung bilirubin conjugated. 10-20 % bilirubin dalam

plasma normal yang menimbulkan reaksi peningkatan cepat (Diazo)

adalah reaksi artefak kinetik Van Den Berg dengan berbagai modifikasi ,

ini merupakan metode yang paling sering digunakan untuk penilaian

kuantitatif bilirubin dalam laboratorium klinis. (Berk et al., 2001)

Memang, ketika reaksi langsung sebagian kecil kurang dari 15

persen dari jumlah total bilirubin di hampir setiap konsentrasi total bilirubin,

pada dasarnya semua bilirubin dalam sampel dapat dianggap sebagai

unconjugated

bilirubin. (Emmanuel A et al., 2011).

Conjugated bilirubin ( mono- dan di-glucronide ) diekskresikan

melintasi membran canalicular plasma ke dalam canaliculus oleh sebuah

atp dependant transport process dimediasi oleh sebuah membran

canalicular protein yang disebut multi-drug resistant associated proteins.

Mekanisme transportasi ekskresi canalicular dari conjugated bilirubin

sangat sensitif terhadap cedera. Dengan demikian, pada penyakit

hepatocellular, kolestasis atau obstruksi mekanis di saluran empedu,

conjugated bilirubin dalam hepatosit, dicegah dari mengambil jalur normal

mereka ke dalam canaliculi dan turun pada saluran empedu, mungkin

reflux ke dalam aliran darah, sehingga menghasilkan campuran atau lebih

sering sebagai conjugated hiperbilirubinemia (Emmanuel A et al., 2011).

Hiperbilirubinemia terjadi karena hemolitik, penyakit hepatocellular

24
atau penyakit kolestatik. Hiperbilirubinemia kolestatik dan

hiperbilirubinemia hepatocellular berhubungan dengan peningkatan enzim

hati. Dalam hal ini bilirubin didominasi conjugated bilirubin (mixed type).

Kenaikan serum bilirubin (tanpa elevasi enzim) mungkin disebabkan

faktor familial atau karena hemolisis. (Emmanuel A et al., 2011).

Kolestasis adalah kegagalan empedu normal untuk mencapai

duodenum. Hal ini mungkin karena kelainan patologi antara hepatosit dan

ampula vater. Kolestasis intrahepatik termasuk kondisi tersebut dimana

tidak ada obstruksi yang dapat dibuktikan ke saluran empedu.

Penyebabnya adalah obat, hormon, primary biliary sirosis dan sepsis.

Sepsis mencapai ke hati oleh berbagai rute tapi salah satu rute yang

paling umum adalah melalui vena porta dari saluran gastro-intestinal.

Kondisi peradangan apapun dapat menyebabkan transmigrasi /

translokasi bakteri ; toxin atau sitokin dapat mensupresi fungsi

hepatocellular dan menyebabkan berkurangnya ekskresi empedu dari

canaliculi. ( Chan N et al., 2007)

Hiperbilirubinemia dan appendisitis

Hiperbilirubinemia, didefinisikan sebagai jumlah bilirubin yang

berlebihan dalam darah, yang disebabkan karena produksi bilirubin yang

meningkat atau meningkatnya clearance bilirubin. Hiperbilirubinemia tidak

terlalu dikenal potensinya sebagai penanda laboratorium untuk membantu

diagnosis preoperatif appendisitis akut dan sebagai prediktor perforasi

25
pada appendisitis akut. Kedua mekanisme ,baik peningkatan produksi dan

perubahan clearance bilirubin, menyebabkan akumulasi bilirubin dan

mungkin memainkan peran dalam hiperbilirubinemia pada pasien dengan

appendisitis perforasi. (Emmanuel A et al., 2011)

Berbagai infeksi bakteri telah diketahui sering menyertai gangguan

fungsi hepatik yaitu kelainan pada pembentukan asam empedu dan aliran

empedu. Ini akhirnya dapat mengakibatkan hiperbilirubinemia, yang efek

sampingnya dikenal dalam proses infeksi bakteri dan terutama pada

pasien sepsis. (Berk et al., 2001). Pasien dengan infeksi bakteri

ekstrahepatik, seperti di apendisitis perforasi, menunjukkan proinflamasi

sitokin dan nitrat oksida yang memicu kolestasis dengan merusak fungsi

hepatocellular dan fungsi saluran empedu (Emmanuel A et al.,2011)

Jenis bakteri yang paling umum didapatkan pada dinding

appendiks pada pasien dengan appendisitis akut adalah Escherichia coli

dan Bacteroides fragilis, keduanya telah terbukti mengganggu

mikrosirkulasi hepatosit, termasuk kerusakan sinusoidal seperti

ditunjukkan pada tikus percobaan. (Emmanuel A et al., 2011)

E. Coli yang terkait lipopolysaccharida telah terbukti memiliki efek

pada penyerapan hepatosit dan ekskresi asam empedu. Endotoksin

E.Coli menyebabkan gangguan bergantung pada dosis choleresis

(produksi empedu dari hati), yang telah ditunjukkan pada tikus percobaan.

Selain itu, infeksi E. Coli telah merangsang hemolisis reguler erythrocytes.

Hal ini menyebabkan beban peningkatan bilirubin dalam individu yang

26
terinfeksi, yang mungkin menyebabkan hiperbilirubinemia (Emmanuel A et

al., 2011). Kesimpulannya, patofisiologi peningkatan serum bilirubin pada

appendisitis akut dan appendisitis perforasi seperti bagan dibawah ini

Appendisitis akut ( respon inflamasi menyebabkan appendiks menjadi

oedematous and iskemik)

Menyebabkan transmigrasi/translokasi bakteri / toxins /cytokines

Mengakibatkan endotoxemia / bakteriemia

Invasi bakteri ke parenkim hepar mengganggu fisiologi dan ekskresi dari

cairan empedu

Hiperbilirubinemia

Mekanisme cedera hepatik pada sepsis bisa karena bakteri, racun

atau sitokin. Di awal sepsis dengan sirkulasi hiperdinamik, bakteri, racun

atau sitokin terlibat seperti di akhir sepsis, iskemik yang disebabkan

penurunan fungsi hepatik akibat penurunan aliran darah ke hepar. Di

kedua kondisi di atas , cedera pada hepar menyebabkan disfungsi

hepatosit dan tubulus mengarah pada mixed type hiperbilirubinemia

(hepatocellular dan intra hepatik kolestasis).Kolestasis pada infeksi bakteri

yang parah, khususnya di masa kanak-kanak atau post operasi, dianggap

proses hepatocellular alami. Ini dapat juga terkait dengan efek cholestatic

27
endotoksin Natrium-kalium-ATPase (Emmanuel A et al., 2011)

Semua unsur dari empedu menunjukkan tingkat peningkatan dalam

serum. Konjugasi zat empedu utuh tetapi ekskresi rusak. Serum alkali

fosfatase meningkat. peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan

sintesis atau pelepasan enzim dari hati atau membrane empedu.

Kerusakan minimal hepatocellular mungkin dapat diduga dengan

mencatat nilai minimal peningkatan transaminase dan kadang-kadang

serum bilirubin. Beberapa laporan kasus menggambarkan

hiperbilirubinemia dan jaundice sebagai sebuah pengamatan klinis pada

pasien dengan appendisitis akut. (Emmanuel A et al., 2011)

28
2.8. KERANGKA TEORI.

Appendisitis akut
( respon inflamasi yang menyebabkan appendix oedem dan
iskemik)

Terjadi translokasi / transmigrasi


bakteri/toxin/sitokin

Mengakibatkan endotoksemia / bakteremia

Invasi bakteri ke parenkim hepar mengganggu fisiologi


ekskresi cairan empedu

HIPERBILIRUBINEMIA

Penyakit Hepar
Anemia hemolitik
Cholelithiasis, Cholangitis,Cholesistitis
Keganasan di hepar dan gall bladder

29
2.9. KERANGKA KONSEP

NYERI PERUT KANAN


BAWAH dan

Umur,JenisKelamin,Status
Gizi,Penyakit Kronis,
Penyakit Imunodefisiensi,
Keganasan,
Drug Induced
(Variabel Kontrol)

PENYAKIT
PROSES HEPAR,KEGANASAN PADA
INFLAMASI HEPAR,PENYAKIT PADA
AKUT TRAKTUS BILIER,
KOLELITHIASIS,
ANEMIA
HEMOLITIK,PENYAKIT
INFEKSI LAINNYA
(Variabel Perancu)
(

Peningkatan HIPERBILIRUBINEMIA
Lekosit, Neutrofil (Variabel Bebas)
( Variabel
Moderate )

>1 mg/L

APPENDISITIS AKUT
(Variabel Tergantung)

30
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian.

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan rancangan studi

cross sectional untuk mengetahui adanya hubungan peningkatan

serum bilirubin pada penderita appendisitis akut

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian.

Penelitian dilaksanakan di RSUP dr. Wahiddin Sudirohusodho

Makassar mulai bulan Juli – Desember 2014.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian.

Populasi penelitian adalah semua penderita yang datang ke Instalasi

Gawat Darurat RSUP dr. Wahiddin Sudirohusodo Makassar. Sampel

Penelitian adalah anggota populasi yang memenuhi kriteria inklusi.

Besarnya sampel dihitung dengan menggunakan Tabel ISAAC

MICHAEL. Berdasarkan perkiraan jumlah sampel 7 sampel

perbulan,maka berdasarkan tabel Isaac Michael didapatkan dalam 6

bulan terdapat :

- Populasi = 7 x 6 penderita = 42 dibulatkan 40

- Sampel = 36, pada α 5%

31
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1 Kriteria Inklusi

1. Semua pasien dewasa yang masuk dengan diagnosa klinis

appendisitis akut.

2. Hanya pasien yang memiliki hasil histopatologi appendisitis akut

dan appendisitis akut perforasi

3.4.2 Kriteria Eksklusi

1. Semua pasien yang memiliki riwayat :

o Jaundice atau penyakit hepar

o Chronic alcoholism (yaitu pengonsumsi alkohol >40 g/hari

untuk pria dan >20 g/hari untuk wanita selama 10 tahun)

o Anemia hemolitik

o Penyakit pada traktus bilier kongenital ataupun didapat

2. Semua pasien dengan HBsAg positif.

3. Semua pasien dengan kolelithiasis, kolesistitis , kolangitis dan

penyakit infeksi lainnya.

4. Semua pasien dengan kanker pada sistem hepato-bilier.

3.5 Izin Penelitian Dan Kelayakan Etik

Pemberian informasi dan permintaan ijin ( inform consent) dari

penderita atau keluarga penderita dimasukkan pada penelitian ini.

Persetujuan kelaikan etik penelitian dari komisi etik penelitian biomedis

32
pada manusia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

dilakukan pada penelitian ini.

3.6 Cara Penelitian.

Penderita dengan keluhan nyeri perut kanan bawah akan dilakukan

beberapa tahap pemeriksaan yaitu :

Tahap I : Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, Penilaian berdasarkan

skor diagnostik (Skor Kalesaran), serta Pemeriksaan

laboratorium seperti darah rutin, serum bilirubin, tes fungsi

hepar ( SGPT, SGOT, ALP), HBsAg, dan urin rutin.

Tahap II : Penderita yang telah menandatangani surat persetujuan

operasi dan surat persetujuan dilakukan penelitian akan

dilakukan operasi apendektomi.

Tahap III : Pemeriksaan material apendiks yang dikeluarkan, yang

terdiri dari pemeriksaan makroskospis oleh dokter yang

melakukan pembedahan (Residen semester Lima keatas)

dan pemeriksaan mikroskopis histopatologi oleh dokter

ahli Patologi Anatomi.

Prosedur Pemeriksaan Serum Bilirubin :

1. Cara pengambilan darah vena

a. Voler lengan atas dibersihkan dengan menggunakan alkohol 70

% dan biarkan sampai kering.

b. Jarum dipasang pada holder dan ikatan pembendung dipasang

33
pada lengan atas.

c. Jarum ditusukkkan dengan menggunakan tangan kanan hingga

ujung jarum masuk ke dalam vena dengan posisi lubang jarum

menghadap ke atas.

d. Tabung dimasukkan ke dalam holder tunggu beberapa saat

hingga tercapai volume darah yang diinginkan, lepaskan tabung

kemudian masukkan tabung EDTA tunggu sampai terisi darah

hingga tanda batas, lepas perlahan – lahan tabung EDTA, bolak

balik tabung agar tercampur rata dengan antikoagulan.

e. Kapas yang telah dibasahi alkohol 70% di letakkan di atas jarum

dan jarum di cabut dari lengan.

f. Tabung diberi label ( barcode ) yang sesuai dengan identitas

pasien.

2. Cara Membuat Serum

a. Darah dalam tabung vakuntainer didiamkan selama 10 menit.

b. Tabung disentrifius dengan kecepatan 3000 rpm selama 10

menit.

c. Lapisan jernih berwarna kuning muda yang berada di bagian atas

di pisahkan dengan menggunakan pipet dan dimasukkan pada

tabung lain yang bersih dan diberi label ( barcode ) yang sesuai.

3. Cara Kerja Pemeriksaan Kadar Bilirubin total.

a. Metode : Dichlorophenyl diazonium.

b. Prinsip : Bilirubin indirek yang terikat oleh albumin dibebaskan

34
dengan adanya detergen. Bilirubin total akan bereaksi dengan

garam 2,5-dichloro penyldiazonin akan membentuk warna

merah.

c. Prosedur :

o Tabung reaksi diletakkan ke dalam alat auto analyser untuk

pemeriksaan LFT merk ABX Pentra 400

o Pada layar monitor alat autoanalyzer di ketik data pasien dan

nama parameter bilirubin kemudian tekan start condition lalu

start.

o Alat akan bekerja secara otomatis sampai keluar hasil.

3. Nilai Normal

Nilai normal serum bilirubin dan enzim hepar :

(Tabel 3. Nilai normal serum bilirubin dan enzim hepar)

35
3.7 Alur Penelitian

Nyeri Perut Kanan Bawah

Umur & Jenis Kelamin

Anamnesis Pemeriksaan Fisik Laboratorium (DR, LFT,


Bilirubin, HBsAg, Urinalisa)

Kadar Serum
Bilirubin

Skor Diagnostik Klinis

Apendektomi

Histopatologi

Apendisitis Akut

ANALISIS STATISTIK

PEMBAHASAN &
KESIMPULAN

36
3.8 Identifikasi Variabel

Variabel Bebas : Hiperbilirubinemia

Variabel Tergantung : Appendisitis Akut

Variabel Kontrol : Umur, Jenis Kelamin, Status Gizi, Penyakit

Kronis, Penyakit Imunodefisiensi,

Keganasan.Drug induced

Variable Moderator : Leukosit dan Neutrofil.

Variabel Perancu : Penyakit hepar, keganasan pada hepar,

Penyakit pada traktus bilier, kolelithiasis,

anemia hemolitik, penyakit infeksi lainnya

3.9 Definisi Operasional.

Appendisitis Akut :

Adalah peradangan appendiks yang ditetapkan bila pada

pemeriksaan histopatologis ditemukan sebukan sel-sel radang

akut

Appendisitis Komplikata :

Adalah appendiks dengan komplikasi berupa ganggrenosa, abses,

perforasi baik makro maupun mikro perforasi yang dapat

menimbulkan perforasi lokal abses maupun peritonitis.

Kelainan Mikroskopis :

Adalah temuan appendiks berdassarkan hasil pemeriksaan

histopatologi

37
Skor Diagnostik Klinis :

Adalah skor yang ditetapkan melalui data klinis ( Anamnesis,

pemeriksaan fisik ) dan pemeriksaan laboratorium berdasarkan

skor kalesaran.

Pemeriksaan Serum Bilirubin :

Adalah suatu pemeriksaan untuk menilai jumlah bilirubin serum

total dan direk dengan menggunakan Metode Dichlorophenyl

diazonium. Dengan nilai Normal Serum bilirubin total : 0.3 – 1.0

mg/dl dan serum bilirubin direk 0.1 – 0.3 mg/dl.

Hiperbilirubinemia :

Adalah peningkatan kadar bilirubin total >1 mg/dl dan peningkatan

kadar bilirubin direk >0,3 mg/dl.

3.10 Pengolahan dan Analisa Data.

Data yang dikumpulkan diolah melalui program statistik SPSS

Window versi 16 (Komputer), dan hasil olah data disajikan dalam

bentuk tabel dan persentase.

38
BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan mulai bulan Juli 2014 - Desember 2014

dengan jumlah sampel yang terkumpul sebanyak 36 penderita

appendisitis akut yang telah menjalani operasi appendektomi dan telah

memenuhi kriteria inklusi. Kemudian data tersebut dikumpulkan agar

dapat dilakukan uji statistik.

Tabel 4. Statistik Deskriptif Umur

Standar

N Minimum Maksimum Rerata Deviasi

Umur 36 17 68 29,2 10,2

Besar sampel yang dianalisa adalah sebanyak 36 penderita

appendisitis akut yang telah menjalani operasi appendektomi. Dari uji

statistik deskriptif diketahui usia sampel bervariasi antara 17 sampai

dengan 68 tahun, dengan nilai rerata 29,2 ± 10,2 (lihat tabel 4).

Tabel 5. Rerata Usia berdasarkan Hasil Patologi Anatomi

Hasil Patologi Usia


Anatomi (tahun) Standar
Rata-Rata Deviasi P
Appendisitis Akut 30 10.7
Appendisitis Akut 0.624
Perforasi 24.4 4.5

39
Pada tabel 5 didapatkan tidak ada perbedaan umur menurut tingkat

keparahan (p>0,05), namun ada kecenderungan bahwa appendisitis akut

perforasi ditemukan pada umur yang lebih muda (24,4 tahun).

Tabel 6. Sebaran Jenis Kelamin berdasarkan Hasil Patologi Anatomi

Hasil Patologi Anatomi

Semua Appendisitis Appendisitis Akut


Jenis Kelamin
Akut Perforasi P

n N % N %

Laki-laki 21 18 58.1 3 60
0.935
Perempuan 15 13 41.9 2 40

Berdasarkan uji statistik deskriptif didapatkan pasien laki-laki

sebanyak 21 orang dan pasien perempuan sebanyak 15 orang. dengan

sebaran pasien laki-laki dengan appendisitis akut sebanyak 18 sampel

(58,1%) dan pasien laki-laki dengan appendisitis akut peforasi sebanyak 3

sampel ( 60 %), sedangkan sebaran pasien perempuan dengan

appendisitis akut sebanyak 13 sampel atau (41,9 %) dan pasien

perempuan dengan appendisitis akut perforasi sebanyak 2 sampel atau

40%. Setelah dilakukan uji statistik Chi-Square didapatkan didapatkan

p=0,935 (p>0,05) yang berarti tidak terdapat hubungan antara jenis

kelamin dan hasil patologi anatomi. (lihat tabel 6)

40
Tabel 7 Statistik Deskriptif Hasil Laboratorium

Standar

Parameter Rata-rata deviasi

Leukosit (/mm3) 14800 2786

SGOT (U/L) 28.4 2.7

SGPT (U/L) 23.4 1.9

Bilirubin total

(mg/dL) 0.7 0.3

Bilirubin direct

(mg/dL) 0.2 0.1

Berdasarkan uji statistik deskriptif hasil laboratorium dari 36 sampel

didapatkan rata-rata leukosit 14.800 ± 2.786/mm3, SGOT 28,4±2,7 U/L,

SGPT 23,4±1,9 U/L, bilirubin total 0,7±0,3 mg/dL, dan bilirubin direct

0,2±0,1 mg/dL . (lihat tabel 7)

Tabel 8. Jumlah Leukosit berdasarkan Hasil Patologi Anatomi

Leukosit
Hasil Patologi Anatomi
N Rata-Rata Standar Deviasi P

Appendisitis Akut 31 14000 1901.7

Appendisitis Akut 0.055

Perforasi 5 19900 1775.4

41
Pada tabel 8 didapatkan jumlah rata-rata leukosit appendisitis akut dan

appendisitis akut perforasi masing-masing adalah 14.000±1901,7/mm3

dan 19.900±1775,4/mm3. Setelah dilakukan uji statistik Chi-Square

didapatkan didapatkan p=0,055, sehingga tidak ada hubungan yang

bermakna antara jumlah leukosit dengan hasil patologi anatomi (p>0,05)

Tabel 9. Kadar Serum Bilirubin Total berdasarkan Hasil Patologi Anatomi

Hasil Patologi Anatomi

Bilirubin Appendisitis Akut


Appendisitis Akut P
Total Perforasi

N % N %

>1.0 4 80 8 25.8
0.017
≤1.0 1 20 23 74.2

Berdasarkan uji statistik deskriptif didapatkan pada appendisitis akut

perforasi kadar serum bilirubin total >1,0 mg/dL ditemukan pada 4 sampel

atau 80% dan kadar serum bilirubin total ≤1,0 ditemukan pada 1 sampel

atau 20%. Sedangkan pada appendisitis akut kadar serum bilirubin total

>1,0 mg/dL ditemukan pada 8 sampel atau 25,8% dan kadar serum

bilirubin total ≤1,0 ditemukan pada 23 sampel atau 74,2%. Setelah

dilakukan uji statistik Chi-Square didapatkan didapatkan p=0,017 yang

berarti terdapat hubungan antara kadar serum bilirubin total dengan hasil

patologi anatomi (p<0,05) .( lihat tabel 9)

42
Tabel 10. Kadar Serum Bilirubin Direk berdasarkan Hasil Patologi Anatomi

Hasil Patologi Anatomi

Bilirubin Appendisitis Akut


Appendisitis Akut P
Direct Perforasi

N % N %

>0.3 4 80 7 22,6 0.01

≤0.3 1 20 24 77,4 0

Berdasarkan uji statistik deskriptif didapatkan pada appendisitis akut

perforasi kadar serum bilirubin direk >0,3 mg/dL ditemukan pada 4 sampel

atau 80% dan kadar serum bilirubin direk ≤ 0,3 ditemukan pada 1 sampel

atau 20%. Sedangkan pada appendisitis akut kadar bilirubin direk > 0,3

mg/dL ditemukan pada 7 sampel atau 22,6% dan kadar serum bilirubin

direk ≤0,3 ditemukan pada 24 sampel atau 77,4%. Setelah dilakukan uji

statistik Chi-Square didapatkan didapatkan p=0,010 yang berarti terdapat

hubungan yang bermakna antara kadar bilirubin direk dengan hasil

patologi anatomi (p<0,05) .( lihat tabel 10)

43
Kurva ROC Bilirubin Total

Area Under Curve = 0,268

44
Sensitivitas bilirubin total serum sebagai marker untuk memprediksi

appendisitis akut dan appendisitis akut perforasi adalah 67,7 % dan

spesifisitas 20 %.

45
Kurva ROC Bilirubin direk

Area Under Curve = 0,148

46
Sensitivitas bilirubin direk serum sebagai marker untuk memprediksi

appendisitis akut dan appendisitis akut perforasi adalah 64,5 % dan

spesifisitas 0 %.

47
BAB V
PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian ini, didapatkan besarnya sampel yang

diteliti sebanyak 36 sampel dengan umur rerata 29,2±10,2 yang

memenuhi kriteria inklusi. Veerabhadra (2012) melaporkan di

India umur rerata pasien appendisitis akut 23,1 ±11,99 Ini sesuai

dengan yang dilaporkan Grace P et al (2002) dengan insiden

tertingi terdapat pada umur 10-30 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pula sampel

berjenis kelamin laki-laki yang mengalami appendisitis adalah

sebanyak 21 orang (58,3%) dan sampel berjenis kelamin

perempuan sebanyak 15 orang (41,6%). Hal ini sesuai dengan

penelitian Veerabhadra (2012) bahwa ratio laki- laki dibanding

perempuan adalah 56 % : 44 %. Grace P et al (2002) bahwa

ratio laki-laki dibandingkan dengan perempuan yang mengalami

appendisitis akut pada usia remaja 3:2 dan menjadi 1:1 sesudah

usia 25 tahun.

Pada tabel 6. berdasarkan uji statistik deskriptif didapatkan

pasien laki-laki sebanyak 21 orang dan pasien perempuan

sebanyak 15 orang dengan sebaran pasien laki-laki dengan

appendisitis akut sebanyak 18 sampel atau 85,7% dan pasien

laki-laki dengan appendisitis akut peforasi sebanyak 3 sampel

atau 14,3%, sedangkan sebaran pasien perempuan dengan

48
appendisitis akut sebanyak 13 sampel atau 86,7% dan pasien

perempuan dengan appendisitis akut perforasi sebanyak 2

sampel atau 13,3%. Setelah dilakukan uji statistik Chi-Square

didapatkan didapatkan p=0,935 (p>0,05) yang berarti tidak

terdapat hubungan antara jenis kelamin dan hasil patologi

anatomi.

Pada tabel 8 didapatkan rata-rata leukosit pada appendisitis

akut dan appendisitis akut perforasi masing-masing adalah

14.000±1901,7/mm3 dan 19.900±1775,4/mm3. Setelah dilakukan uji

statistik Chi-Square didapatkan didapatkan p=0,055, sehingga tidak

ada hubungan yang bermakna antara jumlah leukosit dengan hasil

patologi anatomi (p>0,05). Hal ini sesuai dengan laporan Asfar S.

(2000), Imam S (2006) dan Christos K. (2005) bahwa pemeriksaan

laboratorium masih merupakan bagian penting untuk menilai awal

keluhan nyeri kuadran kanan bawah dalam menegakkan diagnosa

apendisitis akut, namun masih bersifat kurang spesifik, dalam

menegakkan diagnosa. Jumlah lekosit untuk apendisitis akut adalah

>10.000/mm3 dengan pergeseran ke kiri pada hemogramnya (>70%

netrofil). Pada penderita apendisitis akut ditemukan jumlah lekosit

antara 12.000-20.000/mm3 dan bila terjadi perforasi atau peritonitis

jumlah lekosit antara 20.000-30.000/mm3 (70-90%), walaupun hal ini

bukan hasil yang karakteristik. Kontroversinya adalah beberapa

penderita dengan apendisitis akut, memiliki jumlah lekosit dan

49
granulosit tetap normal.

Pada tabel 9. berdasarkan uji statistik deskriptif didapatkan

pada appendisitis akut perforasi kadar bilirubin total >1,0 mg/dL

ditemukan pada 4 sampel atau 80% dan kadar bilirubin total ≤1,0

ditemukan pada 1 sampel atau 20%. Sedangkan pada appendicitis

akut kadar bilirubin total >1,0 mg/dL ditemukan pada 8 sampel atau

25,8% dan kadar bilirubin total ≤1,0 mg/dl ditemukan pada 23

sampel atau 74,2%. Setelah dilakukan uji statistik Chi-Square

didapatkan didapatkan p=0,017 yang berarti terdapat hubungan

bermakna antara kadar bilirubin total dengan hasil patologi anatomi

(p<0,05) . Hong Y.R et al (2012) dan Veerabhadra (2012)

melaporkan adanya hubungan yang bermakna antara kadar serum

bilirubin total dan appendicitis akut dengan nilai p=0,0001.

Pada tabel 10. berdasarkan uji statistik deskriptif didapatkan

pada appendisitis akut perforasi kadar bilirubin direk >0,3 mg/dL

ditemukan pada 4 sampel atau 80% dan kadar bilirubin total ≤0,3

mg/dl ditemukan pada 1 sampel atau 20%. Sedangkan pada

appendisitis akut kadar bilirubin direk >0,3 mg/dL ditemukan pada 7

sampel atau 22,6% dan kadar bilirubin direk ≤0,3 ditemukan pada

24 sampel atau 77,4%. Setelah dilakukan uji statistik Chi-Square

didapatkan didapatkan p=0,010 yang berarti terdapat hubungan

yang bermakna antara kadar bilirubin direk dengan hasil patologi

anatomi (p<0,05) .Veerabhadra (2012) melaporkan adanya

50
hubungan yang bermakna antara kadar serum bilirubin direk dan

appendisitis akut .

Menurut Berk (2001), diduga ada hubungan yang nyata

antara hiperbilirubinemia dengan appendisitis akut dan

komplikasinya seperti appendisitis perforasi. Selaras dengan yang

diungkapkan Emmanuel A. et al (2011), bahwa pasien dengan

infeksi bakteri ekstrahepatik, seperti di apendisitis perforasi,

menunjukkan proinflamasi sitokin dan nitrat oksida yang memicu

kolestasis dengan merusak fungsi hepatocellular dan fungsi saluran

empedu. Semua unsur dari empedu menunjukkan tingkat

peningkatan dalam serum. Konjugasi zat empedu utuh tetapi

ekskresi rusak. Serum alkali fosfatase meningkat. peningkatan ini

disebabkan oleh peningkatan sintesis atau pelepasan enzim dari

hati atau membran empedu. Kerusakan minimal hepatocellular

mungkin dapat diduga dengan mencatat nilai minimal peningkatan

transaminase dan kadang-kadang serum bilirubin. Beberapa laporan

kasus menggambarkan hiperbilirubinemia dan jaundice sebagai

sebuah pengamatan klinis pada pasien dengan appendicitis akut.

Berdasarkan uji validitas dengan kurva ROC (Receiver

Operating Characteristic) sensitivitas serum bilirubin total sebagai

marker untuk memprediksi appendisitis akut dan appendisitis akut

perforasi adalah 67,7 % dan spesifisitas 20 %. Sedangkan

sensitivitas serum bilirubin direk sebagai marker untuk

51
memprediksi appendisitis akut dan appendisitis akut perforasi

adalah 64,5 % dan spesifisitas 0 %. Veerabhadra (2012)

melaporkan sensitivitas dan spesifisitas serum bilirubin sebagai

marker untuk memprediksi appendisitis akut dan appendisitis akut

perforasi adalah 71,6 % dan spesifisitas 15,79 %

52
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
1) Didapatkan 36 penderita appendisitis akut dan telah dilakukan

tindakan appendektomi serta pemeriksaan histopatologi

appendiks, didapatkan pasien laki-laki sebanyak 21 orang dan

pasien perempuan sebanyak 15 orang.

2) Dengan uji statistik chi-Square didapatkan p=0,017 yang berarti

terdapat hubungan yang bermakna antara kadar bilirubin total

dengan hasil patologi anatomi (p<0,05)

3) Setelah dilakukan uji statistik chi-Square didapatkan p=0,010

yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara kadar

bilirubin direct dengan hasil patologi anatomi (p<0,05)

4) Dari uji validitas ROC (Receiver Operating Characteristic) dapat

disimpulkan hiperbilirubinemia tidak signifikan sebagai marker

untuk memprediksi perforasi pada appendisitis akut. Sensitivitas

serum bilirubin total marker untuk memprediksi appendisitis

akut dan appendisitis akut perforasi adalah 67,7 % dan

spesifisitas 20 %. Sensitivitas serum bilirubin direk sebagai

marker untuk memprediksi appendisitis akut dan appendisitis

akut perforasi adalah 64,5 % dan spesivisitas 0 %

53
6.2 Saran

1. Diperlukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel

yang lebih besar dan waktu yang lebih lama untuk lebih

representative dalam menilai akurasi hiperbilirubinemia

sebagai marker appendisitis dan appendisitis perforasi

2. Diperlukan penelitian lanjutan dengan desain penelitian

cohort tentang pemeriksaan bilirubin serial (dengan

selang waktu tertentu) sebelum dilakukan tindakan

operasi agar dapat diketahui akurasi yang lebih tepat dari

hiperbilirubinemia sebagai marker appendisitis dan

appendisitis perforasi.

54
DAFTAR PUSTAKA

Asfar S. et al. (2009). In Would Measurement Of C-Reactive Protein


Reduce The Rate Of Negative Exploration For Acute Appendicitis?.
Diakses 8 Agustus 2014. Available from: The Internet Journal Of
Surgery http://www.emedicine.com
Baidya Nirajlal, Ms., Rodrigues Gabriel, Ms, Dnb., Rao Anand, Ms., Khan
Sohil Ahmed, Mpharm In Evaluation Of Alvarado Score In Acute
Appendicitis: A Prospective Study. Available In www.emedicine.com
The Internet Journal Of Surgery. 2009

Berk P.D & Wolkoff A.W. Bilirubin Metabolism and Hyperbilirubinemia. In:
Kasper DL, Braunwald Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo
DL, Jameson JL, et al. Harrison‟s Textbook of Internal Medicine.
16th ed. Vol. II. New York: McGraw Hill Medical Publishing Division;
2001. p. 919.

Brunicardi F.C., Andersen Dana K., Billiar Timothy R., Dunn David L.,
Hunter John G., Pollock R.E. Chapter 30 : The Appendix. Schwartz’s
Manual Of Surgery 9th Ed. The Mcgraw-Hill-New-York. 2010.
Pg.784-799.

Chand N, Sanyal AJ. Sepsis induced cholestasis. J Hepatol 2007; 45:


203-41.

Douglas W. Wilmore, M.D., F.A.C.S., Mitchell P. Fink, M.D., F.A.C.S.,


William H. Pearce, Nathaniel J. Soper . In Appendectomy. Acs
Principles And Practise.Th. 2005.

Debas Haile T. In Appendix. Pathophysiology And


Management.Gastrointestinal Surgery. Springer-Verlag New York.
2004. Pg.311-317.

Deodhare S.G., C-Reactive Protein : Clinical Application. Pathology,


Microbiology And Clinical Pathology Series. Available In
www.pathoindiarrticle.com , Update 2001. 31 Oktober 2012.

Emmanuel A, Murchan P, Wilson I, Balfe P. The value of


hyperbilirubinaemia in the diagnosis of acute appendicitis. Ann R
Coll Surg Engl 2011; 93(3): 213-7.

Emmanuel Jean C. Dr. In Appendix. Surgical Care At The District Hospital.


World Health Organization 2003.Chapter 7-10.

Estrada JJ, Petrosyan M, Krumenacker J Jr, Huang S, Moh P.


Hyperbilirubinemia in Appendicitis: A New Predicator of Perforation.

55
Journal of Gastrointestinal Surgery 2007; 11: 714–5.

Grace Pierce A & Borley Neil R.In Acute Appendicitis. Surgery At A


Glance A Blackwell Publishing Company.Blackwell Science.
2002.Pg 96.

Humes D.J., Simpson J., Acute Appendicitis. Clinical Review.


Http://www.bmjjournals.com. Available On 5 Oktober 2012.

Han Ki Hoon, Kyung Hee Hong, Park Jae Hyeong, Jesang Ko, Kang Duk
Hyun, Choi Joon Kee, Hong Myeong Ki, Park Seong Wook, Park
Jung Seung. C Reactive Protein Promotes Monocyte
Chemoattractant Protein-1-Mediated Chemotaxis Through
Upregulating Cc Chemokine Receptor 2 Expression In Human
Monocytes.American Heart Association. 2004. Http://
Circ.Ahajournals.Org. Available On 12 Agustus 2012.

Husebekk Anne, Hansson Lars-Olof. CRP - Structure And Function.


Department Of Immunology And Transfusion Medicine, University
Hospital Of Tromsø, Norway, Department Of Medical Sciences,
University Hospital, Uppsala, Sweden.
Www.Medscape.Com.Available In 27 September 2009.

Hardin Mike D. Acute Appendisitis : Review And Update. American Family


Physician. November 1999. Available On www.medscape.com 12
Juli 2012.

Hong Y.R, Chung C.W, Kim J.W, Kwon CI, Ahn D.H, Kwon S.W, Kim S.K

Hyperbilirubinemia Is a Significant Indicator for the Severity of Acute


1
Appendicitis , Departments of Surgery and Gastroenterology,
Bundang CHA Hospital, CHA University College of Medicine,
Seongnam, Korea ., J Korean Soc Coloproctol 2012;28(5):247-252

Irina C, Potempa Lawrence, Wander Rosemary. Production Of Modified C-


Reactive Protein In U937-Derived Macrophages. The Sociaty For
Experimental Biology And Medicine. 2005. Pg 762-769.

Jamaluddin M, Hussain SMA, Ahmad H., Hyperbilirubinaemia a predictive


factor for complicated acute appendicitis: a study in a tertiary care
hospital., (JPMA 63: 1374; 2013)

Jehan Emir, Peran C- Reactive Protein Dalam Menentukan Diagnose


Appendisitis Akut. Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.Th 2003.

Jerry L. Old, M.D., Reginald W. Dusing, M.D., Wendell Yap, M.D., And

56
Jared Dirks, M.D. Imaging For Suspected Appendicitis In American
Family Physician. January 1, 2005 Vol. 71, Number 1.Pg.71-78.

John Maa. “The Appendix”. In Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM,
Mattox KL, eds. Sabiston Textbook of Surgery. 18th ed.
Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2008. p: 1333-1347.

Kevin p. Lally, MD, Charles S. Cox Jr., MD, Richard J Andressy MD.
Appendix. In: Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL,
eds. Sabiston Text Book of Surgery. The biological basis of modern
surgical practice, Book-I. 11th ed. A Heart Court Asia PTE LTD;
2001. p. 917.

Khan S., Elevated serum bilirubin in acute appendicitis: A new diagnostic


tool

Department of surgery., Nepalgunj Medical College, Nepalgunj,


Nepal., Kathmandu University Medical Journal (2008), Vol. 6, No. 2,
Issue 22, 161-165

Labeda Ibrahim, Akurasi Diagnosis Appendicitis Akut Berdasarkan Sistem


Skor Kalesaran. Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Makassar. Th.1998.

Norton Jeffry A., Bollinger Randal R., Chang Alfred E., Lowry Stephen F.,
Mulvihill Sean J., Pass Harvey I., Thompson Robert W. In Appendix.
Basic Science And Clinical Evidence. Springer Verlag New York.
2001. Pg.647-665.

Oscar Joe Hines, Md., Francisco Talavera, Pharmd, Phd., Michael A


Grosso, Md, Paolo Zamboni, Md., John Geibel, Md, Dsc, Ma,. In
Appendicitis. Available at www.emedicine.com. Available On
Desember 12,2013.

Reeves Glenn Dr, Immunology Haps (Hunter Area Pathology Service). In


Acute Appendicitis. www.emedicine.com. Available On Januari
2,2012.

Sherlock S, Dooley J. Assessment of Liver Function. In: Liver and


hepatobiliary Diseases. 11th Ed. Oxford: Black Well Publishing
Company; 2002. p 20.

Skandalakis John E., Colborn Gene L., Weidman Thomas A., Foster
Roger S., Jr., Kingsnorth Andrew N., Skandalakis Lee J.,
Skandalakis Panajiotis N., Mirilas Petros S. In Appendix.
Skandalakis' Surgical Anatomy. Springer Verlag New York. 2002.
Chp 17.

57
Senagore Anthony J.In Appendictomy. Gale Encyclopedia Of Surgery: A
Guide For Patients And Caregivers. Farmington Hills.2004.Pg.123.

Sjamsuhidajat R., Jong Wim De. In Usus Halus, Appendik, Colon Dan
Anorektum. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Peberbit Buku
Kedokteran Egc Jakarta. 2003. Hal.615-681.

Veerabhadra R , evaluation of hyperbilirubinemia as a new diagnostic


marker for acute appendicitis and its role in the prediction of
appendicular perforation”, department of surgery mahadevappa
rampure medical college, gulbarga, karnataka 2012 Gen Surg
MRMC 2012

William C, Mayers, MD., Rocco Ricciardi, MD. Liver Function. In:


Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL, eds.
Sabiston Text Book of Surgery. The biological basis of modern
surgical practice, Book-I. 11th ed. A Heart Court Asia PTE LTD;
2001. p.1010.

Wrightson William R.. In Appendix. Current Concepts In General Surgery:


A Resident Review. Landes Bioscience Georgetown, Texas U.S.A.
2006 . Pg.107-110.

Wagner James M., Mckinney W.P., Carpenter J.L. Does This Adult Patient
Have Appendicitis? The American Medical Associated 2009. Cp5.
Pg. 53-60.

Zinner J.M., Schwartz I.,S., Ellis Harold, Ashley Stanley W., Mcfadden
David W., In Appendix And Appendictomy. Maingot’s Abdominal
Operation.10th Ed.Pg.1191-1227.

58
Lampiran 1.
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM
BILIRUBIN
Kami yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : .................................................................................

Umur : .................................................................................

Alamat : .................................................................................

1. Menyatakan persetujuan untuk pemeriksaan laboratorium bilirubin untuk

kepentingan penelitian.

2. Apabila terjadi hal-hal akibat dari pemeriksaan ini diluar kemampuan dokter

untuk mengatasinya, kami tidak akan keberatan atau menuntut berupa

apapun.

3. Surat pernyataan ini kami tanda tangani dengan penuh kesadaran.

.......................................................2014

Nama Tanda Tangan

1. ..................................... 1. ............................................................

59
Lampiran 2 : Form pengambilan data sampel

Laporan Kasus Penelitian

Hubungan Hiperbilirubinemia Dengan Appendisitis Akut

IDENTITAS

Nama Responden :

Tanggal Lahir :

Alamat :

Telp/HP :

REGISTRASI

No Responden :

HASILPEMERIKSAAN

Kadar Bilirubin :

Hasil Patologi Anatomi :

Tanggal Pemeriksaan :

Makassar , 2014

Pemeriksa

dr. Agus Endrawanto

60
Lampiran 3
Tabel 11. Data Sampel Penelitian
No Nama Umur Jenis Kelamin Leukosit SGOT SGPT Bilirubin Total Bilirubin Direk Hasil PA
1 Nn KA 22 P 12,100 26 23 0,3 0,1 Appendisitis Akut
2 Nn EA 23 P 12,700 26 21 0,5 0,3 Appendisitis Akut
3 RA 22 L 21,700 29 26 1,1 0,5 Appendisitis Akut Perforasi
4 Nn DS 21 P 13,100 26 21 0,4 0,1 Appendisitis Akut
5 UW 27 L 15,700 27 25 0,3 0,1 Appendisitis Akut
6 DD 25 L 21,700 38 26 0,9 0,4 Appendisitis Akut Perforasi
7 NU 18 P 17,400 29 24 0,5 0,2 Appendisitis Akut
8 RA 28 P 13,300 28 26 0,5 0,2 Appendisitis Akut
9 RN 29 L 13,100 31 24 0,8 0,3 Appendisitis Akut
10 NS 19 P 18,200 28 23 1,0 0,5 Appendisitis Akut Perforasi
11 HI 23 P 11,700 28 21 0,6 0,3 Appendisitis Akut
12 NS 36 L 17,100 31 26 0,6 0,2 Appendisitis Akut
13 AK 36 L 17,100 31 24 0,5 0,2 Appendisitis Akut
14 AA 25 L 19,900 34 24 0,7 0,3 Appendisitis Akut Perforasi
15 EE 27 P 12,100 27 23 0,4 0,1 Appendisitis Akut
16 NI 26 P 13,100 27 24 0,6 0,2 Appendisitis Akut
17 AN 19 L 17,100 24 21 0,5 0,3 Appendisitis Akut
18 NH 43 P 12,900 31 26 0,4 0,2 Appendisitis Akut
19 SY 18 L 17,600 25 21 0,6 0,3 Appendisitis Akut
20 UR 21 L 12,400 26 21 0,3 0,1 Appendisitis Akut
21 DN 21 P 12,300 28 24 0,3 0,1 Appendisitis Akut
22 RI 37 L 16,300 32 24 0,3 0,1 Appendisitis Akut
23 NI 31 P 18,100 28 25 0,9 0,4 Appendisitis Akut Perforasi
24 WU 38 L 15,100 29 25 0,5 0,2 Appendisitis Akut
25 TS 68 P 15,600 28 24 0,6 0,2 Appendisitis Akut
26 HI 50 L 15,400 31 22 0,5 0,2 Appendisitis Akut
27 KI 28 P 12,100 27 25 0,6 0,3 Appendisitis Akut
28 AH 31 L 13,500 27 23 0,3 0,1 Appendisitis Akut
29 RU 28 L 12,200 29 25 0,2 0,1 Appendisitis Akut
30 YS 31 P 13,400 27 22 0,3 0,1 Appendisitis Akut
31 AS 35 L 14,100 31 26 0,8 0,3 Appendisitis Akut
32 CK 27 L 12,100 26 21 0,4 0,1 Appendisitis Akut
33 SE 25 L 12,700 28 20 0,6 0,2 Appendisitis Akut
34 BS 36 L 13,400 29 24 0,4 0,2 Appendisitis Akut
35 GS 41 L 15,200 27 23 0,5 0,3 Appendisitis Akut
36 BU 17 L 12,300 24 19 0,5 0,2 Appendisitis Akut

61
Lampiran 4. Rekomendasi Persetujuan Etik

62

Anda mungkin juga menyukai