Anda di halaman 1dari 31

Referat

Gangguan Penggunaan Zat Fokus pada Opioid

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun Oleh:
Satrya Dita Al Qorny
2007501010039

Pembimbing:
dr. Syahrial, Sp. KJ(K)

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN JIWA


FK UNSYIAH/RSUD ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Gangguan Penggunaan Zat Fokus pada Opioid”. Referat ini disusun
sebagai salah satu tugas menjalani Kepanitraan Klinik Senior pada
Bagian/SMF........ RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh, Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala.
Selama penyelesaian referat ini penulis mendapatkan bantuan, bimbingan,
dan arahan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan
terimakasih kepada dr. Syahrial, Sp. KJ(K) yang telah meluangkan banyak
waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam
menyelesaikan referat ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
keluarga, sahabat, dan rekan-rekan yang telah memberikan motivasi dan doa
dalam menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini.
Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari
pembaca sekalian demi kesempurnaan referat ini. Harapan penulis semoga referat
ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan umumnya dan profesi
kedokteran khususnya. Semoga Allah SWT selalu memberikan Rahmat dan
Hidayah-Nya bagi kita semua.

Banda Aceh, 21 Juli 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.....................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................ii
BAB I..............................................................................................................1
PENDAHULUAN..........................................................................................1
BAB II............................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................2
2.1 Penyalahgunaan Opioid.....................................................................2
2.1.1 Definisi Opioid............................................................................2
2.1.2 Epidemiologi...............................................................................3
2.1.3 Klasifikasi Senyawa Opioid........................................................3
2.1.4 Farmakokinetik.........................................................................10
2.1.5 Farmakodinamik.......................................................................12
2.1.6 Intoksikasi Opioid.....................................................................14
2.1.7 Diagnosis Banding Intoksikasi Opioid.....................................15
2.1.8 Ketergantungan Opioid............................................................15
2.1.9 Terapi Ketergantungan Opioid.................................................17
2.1.10 Putus Zat Opioid......................................................................18
2.2 Regulasi Terkait Penyalahgunaan Zat..............................................20
BAB III.........................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................27

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan penggunaan zat adalah suatu perilaku yang menyimpang


dari norma-norma yang umumnya berlaku pada bebagai kebudayaan di
dunia. Pada tahun 2016, diperkirakan terdapat 275 juta orang di seluruh
dunia (sekitar 5, dari populasi dunia berusia 15-64 tahun) yang pernah
menyalahgunakan NAPZA setidaknya satu kali. Terdiri dari 192 juta
pengguna ganja, 34 juta pengguna opioid, 34 juta pengguna amfetamina dan
stimulan yang diresepkan, 21 juta pengguna ekstasi, 19 juta pengguna opiat,
dan 18 juta kokain. Di antara sekian banyak penyalah guna terdapat 31 juta
orang yang sangat membutuhkan perawatan karena telah menderita
gangguan penyalahgunaan NAPZA. Menurut data WHO, setidaknya
terdapat 450 ribu orang yang meninggal akibat penyalahgunaan NAPZA di
tahun 2015. Opioid masih merupakan penyebab utama yang paling merusak,
menyebabkan sekitar 76% kematian dari penderita gangguan
penyalahgunaan narkoba.1, 2
Opioid merupakan derivat semisintetik dari opium dan molekul lain
yang dapat mengaktivasi reseptor opioid. Contoh obat yang termasuk dalam
golongan opioid adalah metadon, oksikodon, dan buprenorfin. Opiat/opioid
adalah bahan kimia psikoaktif yang bekerja dengan mengikat reseptor
opioid, yang ditemukan terutama di sistem saraf pusat, sistem perifer dan
saluran cerna yang mengakibatkan depresi susunan saraf pusat (SSP),
analgesik, dan euphoria. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa opioid
menimbulkan efek euforia melalui reseptor opioid presinaptik.3
Dampak gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat
psikoaktif tidak saja berpengaruh pada kesehatan jasmani, fungsi mental,
kehidupan emosi dan sosial yang bersangkutan, tapi juga merugikan
keluarga, masyarakat, dan negara karena permasalahannya begitu luas dan
rumit. Gangguan ini ditanggulangi secara multi disiplin, lintas sektoral,
menyeluruh, terkoordinasi, dan konsisten.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyalahgunaan Opioid

2.1.1 Definisi Opioid


Opiat/opioid adalah bahan kimia psikoaktif yang bekerja dengan mengikat
reseptor opioid, yang ditemukan terutama di sistem saraf pusat, sistem perifer dan
saluran cerna yang mengakibatkan depresi susunan saraf pusat (SSP), analgesik,
dan euphoria.3
Opioid adalah kelompok obat yang sering dipergunakan pada penanganan
pasien dengan nyeri yang berat. Berawal dari tumbuhan Papaver somniferum atau
yang sering disebut dengan poppy atau opium yang diekstrak dan digunakan
secara luas pada peradaban kuno Persia, Mesir dan Mesopotamia. Kata opium
sendiri berasal dari bahasa yunani yang berarti jus. Telah dicatat bahwa
penggunaan opium yang pertama kali adalah pada salah satu teks kuno bangsa
Sumeria pada tahun 4000 SM.4

Gambar 1. Tanaman Papaver somniferum

Opium digunakan dengan dihirup atau dengan cara ditusukkan pada kulit
yang akan memberikan efek analgesia, selain itu juga akan menyebabkan depresi
pernafasan dan kematian sesuai dengan derajat absorbsi yang diberikan. Opium
merupakan campuran bahan kimia yang mengandung gula, protein, lemak, air,
lilin nabati alami, lateks, dan beberapa alkaloid. Adapun alkaloid yang terkandung

2
3

antara lain morfin (10%-15%), kodein (1%-3%), noskapin (4%-8%), papaverin


(1%-3%), dan thebain (1%-2%). Beberapa dari alkaloid-alkaloid tersebut banyak
digunakan untuk pengobatan diantaranya: untuk nyeri (morfin dan kodein), untuk
batuk (kodein dan noskapin) dan untuk mengobati spasme visceral (papaverin).
Morfin berhasil diisolasi oleh Seturner pada tahun 1803, kemudian dilanjutkan
dengan kodein tahun 1832 lalu papaverin tahun 1848. Istilah opioid digunakan
untuk semua obat baik alami maupun sintetik yang dapat menduduki reseptor
opioid di tubuh manusia. Istilah opiat digunakan untuk semua obat ynag diekstrak
dari umbuhan opium yang menempati dan bekerja pada reseptor opioid.4

2.1.2 Epidemiologi
Kecanduan opioid menimpa individu dari semua latar belakang sosial
ekonomi dan pendidikan. Empat juta orang mengakui penggunaan opioid
nonmedis. Dari tahun 2002 hingga 2011, sekitar 25 juta orang di Amerika Serikat
mulai menggunakan pereda nyeri nonmedis. Lebih dari 11 juta orang
menyalahgunakan obat-obatan tersebut. Kunjungan unit gawat darurat karena
komplikasi dan overdosis telah meningkat setiap tahun sejak 2010. Tingkat
kunjungan IGD yang melibatkan opioid lebih dari tiga kali lipat dari tahun 1999
hingga 2013. Pada tahun 2017, overdosis opioid dinyatakan sebagai keadaan
darurat nasional di Amerika Serikat.5 Data mengenai penyalahgunaan opioid di
Indonesia belum diketahui pasti. Tetapi dilaporkan kecenderungan penurunan
penyalahgunaan heroin dari tahun 2008 (1.534) hingga tahun 2012 (486).6

2.1.3 Klasifikasi Senyawa Opioid


Opiat/ opioid diklasifikasikan berdasarkan efek pada reseptornya. Opiat/
opioid yang setelah berikatan dengan reseptor mengaktifkan pensinyalan sekunder
dinamakan agonis; mengaktifkan tetapi tidak sekuat agonis disebut agonis parsial;
dan yang tidak memberikan efek atau memberikan efek yang berlawanan dengan
agonis digolongkan sebagai antagonis.
Pembagiaannya adalah sebagai berikut:
1. Agonis opioid kuat: morfin, heroin, meperidin, metadon, alfentanil,
fentanil, remifentanil, sufentanil
2. Agonis opioid rendah-sedang: kodein, oksikodon, propoksifen
4

3. Agonis parsial opioid: buprenorfin, butorfanol, nalbufin, pentazosin


4. Antagonis opioid: nalokson, naltrekson

1) Agonis reseptor µ
a) Morfin
Morfin merupakan obat prototype opiod yang menjadi perbandingan pada
semua jenis obat golongan agonis opioid. Efek dari morfin berupa analgesia,
euforia, sedasi, berkurangnya konsentrasi, nausea, perasaan berat pada
ekstremitas, mulut yang kering dan priritus terutama pada daerah sekitar hidung.
Jenis nyeri tumpul yang continu lebih efektif dihilangkan dengan morfin daripada
jenis nyeri yang tajam dan intermiten. Efek analgesia dari morfin lebih efektif bila
diberikan sebelum stimulus nyeri diberikan. Sementara bila tidak ada rangsangan
nyeri, morfin lebih memberikan efek disforia daripada euforia.4
b) Kodein
Merupakan obat antitusif kuat yang sering digunakan pada praktek medis
sehari-hari. Sekitar 10% kodein dimetilasi di hepar menjadi morfin. Hal ini
membuat kodein efektif sebagai analgesik oral. Jika diberikan im efek analgesia
120 mg kodein setara dengan 10 mg morfin. Pemberian kodein secara iv tidak
disarankan oleh karena kejadian hipotensi yang dikaitkan dengan efek pelepasan
histaminnya cukup besar.4
c) Oksikodon
Oksikodon adalah opioid derivat dari thebain yang ditemukan di Jerman
tahun 1916 sebagai salah satu opioid semi sintetik. Terapi oksikodon untuk nyeri
sedang hingga berat sudah terbukti dan oleh European Association for Palliative
Care, oksikodon digunakan sebagai second line alternative drug setelah morfin.
Gejala withdrawal sering didapatkan pada pengguna oksikodon jangka panjang
yang mengalami henti obat seketika. Oleh karena itu disarankan untuk
menghentikan oksikodon bertahap.4
d) Heroin
Heroin atau juga dikenal sebagai diasetilmorfin adalah opioid sintetik
sebagai hasil asetilasi dari morfin. Penetrasi cepat ke otak adalah salah satu
keistimewaan obat ini oleh karena kelarutan lemak serta struktur kimianya yang
5

unik. Heroin sudah tidak beredar lagi di Amerika Serikat oleh karena potensi
ketergantungan fisiknya yang cukup tinggi.4
e) Fentanyl
Fentanyl adalah opioid sintetik yang secara struktur mirip dengan
meperidin. Potensial analgesiknya 75-125 kali lebih besar daripada morfin.
Mempunyai onset dan durasi yang lebih cepat jika dibandingkan dengan morfin
hal ini dikarenakan kelarutan lemak fentanyl yang tinggi.4
Fentanyl dimetabolisme dengan cara metilasi menjadi norfentanyl,
hydroksipropionil-fentanyl dan hidroksinorpropionil-fentanyl. Diekskresi melalui
urin dan dapat dideteksi 72 jam setelah pemberian iv. Namun <10% tetap tidak
termetabolisme dan diekskresikan melalui urin. Setelah pemberian bolus iv,
fentanyl tersebar terutama pada organ yang kaya vaskularisasi seperti otak, paru-
paru dan jantung. Dosis fentanyl 2-20 µg/kgBB seringkali diberikan sebagai
ajuvan anestesi inhalasi pada saat operasi. Pemberian intratekal juga memberikan
respon yang memuaskan terutama pada dosis 25 µg. Terdapat juga sediaan oral
transmukosa fentanyl 15-20 µg/kgBB untuk anak-anak 2-8 tahun yang diberikan
45 menit sebelum induksi anestesi. Fentanyl juga diberikan transdermal dengan
sediaan 12,5-100 µg yang ditujukan terutama pasien postoperatif serta pasien
dengan nyeri kanker. Jika dibandingkan dengan morfin, fentanyl kurang
menyebabkan pelepasan histamin namun lebih sering mencetuskan bradikardi.
Pemberian fentanyl iv secara cepat dapat mencetuskan otot rigid, batuk bahkan
kejang. Fentanyl juga dapat meningkatkan tekanan intrakranial hingga 6-9 mmHg
oleh karena efek vasodilatasi.4
f) Sufentanyl
Sufentanyl merupakan analog dari fentanyl dan mempunyai kekuatan
analgesi 5-10 kali lebih besar daripada fentanyl. Dimetabolisme terutama di hepar
melalui proses N-dealkilasi dan O-demetilasi. Ekskresi terutama di urine dan
faeses dengan <1% dari sufentanyl tidak berubah. Pada pemberian sufentanyl
dengan dosis 0,1-0,4 µg/kgBB memberikan waktu yang lebih lama serta efek
depresi pernafasan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan dosis fentanyl 1-4
µg/kgBB. Jika dibandingkan dengan opioid yang lain, sufentanyl mempunyai
beberapa kelebihan terutama penurunan kebutuhan oksigen metabolisme di otak
6

serta aliran darah otak cenderung menurun atau hampir tidak mengalami
perubahan yang berarti.4
g) Alfentanyl
Alfentanyl merupakan nalog dari fentanyl yang mempunyai potensi 1/5
sampai 1/10 dari fentanyl. Keunikan dari alfentanyl adalah onset dan durasi yang
lebih cepat jika dibandingkan dengan fentanyl. Alfentanyl dimetabolisme melalui
piperidin Ndealkilasi menjadi noralfentanyl serta melalui amida N-dealkilasi
menjadi N-fenilpropionamid. Sebagian besar diekskresi melalui urin dengan <1%
yang tidak berubah. Alfentanyl sering dipakai pada manipulasi singkat seperti
intubasi trakeal ataupun blok retrobulbar dengan dosis 1030 µg/kgBB. Jika
dibandingkan dengan opioid yang lain, kejadian Post Operative Nausea Vomitting
(PONV) lebih rendah pada pemakaian alfentanyl.4
h) Remifentanyl
Remifentanyl adalah agonis selektif reseptor opioid µ dengan potensi
analgesi menyerupai fentanyl (15-20 kali lebih poten daripada alfentanyl).
Struktur kimia remifentanyl tergolong unik karena meskipun tergolong derivat
fenilpiperidin, remifentanyl mempunyai gugus ester. Sehingga metabolism
remifentanyl juga terjadi oleh hidrolisis enzim esterase di plasma maupun jaringan
yang lain menjadi metabolit yang inaktif. Onset yang cepat, waktu pulih yang
singkat dan efek yang relative non kumulatif menjadikan remifentanyl opioid
yang sering dipakai intraoperasi di negara-negara maju saat ini. Hasil metabolisme
remifentanyl adalah asam remifentanyl, yang juga agonis reseptor u dengan
potensi 1/300-1/4600 dari asalnya. Hasil metabolit yang lain adalah N-dealkilasi
remifentanyl yang juga diekskresikan terutama melalui urin. Dosis 0,25-1
µg/kgBB memberikan efek analgesia yang memuaskan. Namun pemberian
remifentanyl intratekal tidak disarankan oleh karena adanya glisin pada vehikulum
obat ini. Glisin mempunyai efek menginhibisi neurotransmitter pada medulla
spinalis.4
i) Meperidin atau petidin
Meperidin atau petidin merupakan opioid sintetik yang bekerja agonis
terhadap reseptor u (mu) dan k (kappa) sebagai derivat dari fenilpiperidin. Adapun
beberapa analog golongan ini antara lain fentanil, alfentanyl, sufentanyl dan
7

remifentanyl. Secara struktur, meperidin mempunyai bentuk menyerupai atropin


sehingga beberapa efek atropine juga dimiliki oleh atropine ini seperti takikardi,
midriasis dan antispasmodic. Meperidin mempunyai potensi 1/10 morfin dengan
durasi kerja 2-4 jam. Meperidin diabsorbsi baik pada GIT tapi mempunyai
efektifitas ½ jika dibandingkan dengan pemberian IM.4
Metabolisme meperidin terutama di hepar dengan merubahnya melalui
proses dimetilasi 90% menjadi normeperidin dan ekskresinya terutama melalui
urin. Normeperidin mempunyai waktu paruh eliminasi 15 jam dan dapat dideteksi
di urin 3 hari setelah pemakaian. Normeperidin mempunyai potensi ½ meperidin
sebagai analgesik dan menstimulasi sistem saraf pusat. Kejang, mioklonus,
delirium dan halusinasi yang dapat terjadi setelah pemberian meperidin adalah
sebagai akibat efek stimulasi saraf pusat oleh normeperidin. Sekitar 60%
meperidin terikat pada protein, sehingga pada pasien tua terjadi peningkatan
jumlah obat bebas pada plasma dan mencetuskan terjadinya peningkatan
sensitifitas pada opioid. Konsentrasi plasma 0,7µg dianggap mampu secara efektif
meghilangkan nyeri post operatif. Selain sebagai analgesia yang poten, meperidin
juga mempunyai efek anti menggigil postoperatif yang jika dibiarkan lama dapat
meningkatkan konsumsi oksigen pada tubuh. Efek anti menggigil postoperatif dari
meperidin didapatkan sebagai salah satu kerjanya pada reseptor k2. Selain itu
klonidin, ondansetron, dan butorfanol juga merupakan obat-obatan yang dipakai
untuk mengatasi menggigil setelah operasi. Pemberian meperidin dengan obat-
obatan antidepresan dapat mencetuskan sindrom serotonin yaitu suatu
ketidakstabilan sistem saraf otonom yang ditandai hipertensi, takikardi,
diaphoresis, hipertermi, perubahan perilaku, agitasi dan perasaan bingung.4
j) Methadon
Methadon merupakan agonis opioid sintetik yang digunakan untuk
penanganan nyeri kronik berat terutama penanganan ketergantungan opioid oleh
karena efek ketergantungannya yang rendah, penyerapan lewat oral yang bagus,
onsetnya relatif cepat dan durasinya lama. Methadone 20mg iv dapat
menghasilkan analgesia hingga >24jam. Dimetabolisme terutama di hepar
menjadi metabolit inaktif yang selanjutnya akan diekskresikan melalui urin dan
empedu.4
8

k) Levorfanol
Levorfanol adalah golongan morfinian sintetik yang digunakan sebagai
salah satu terapi nyeri berat. Obat ini pertama kali ditemukan di Jerman tahun
1948. Levorfanol mempunyai afinitas yang sama pada reseptor opiat seperti
morfin tetapi mempunyai efek cross tolerance yang lebih rendah jika
dibandingkan morfin.4

2) Agonis parsial reseptor µ


a) Tramadol
Bekerja sentral, agonis terhadap reseptor u serta hanya bisa diantagonis
oleh nalokson sebesar 30%. Tramadol dibuat sebagai rasemik yaitu campuran
antara enansiomer dimana enansiomer yang satu berfungsi menghambat reuptake
norepinefrin sedangkan yang satu lagi bekerja menghambat reuptake serotonin.
Tramadol dimetabolisme di hepar melalui enzim P-450 menjadi
Odismetiltramadol. Dosis tramadol 3mg/kgBB oral, im, maupun iv efektif untuk
penanganan nyeri sedang hingga berat. Selain itu tramadol juga dapat digunakan
sebagai agent anti menggigil postoperatif. Salah satu efek sampingnya yang sering
terjadi adalah mual dan muntah.4

3) Agonis – antagonis campuran


a) Nalbifin
Nalbufin adalah agonis-antagonis opioid yang secara kimia mirip dengan
oksimorfon dan nalokson. Nalbufin dimetabolisme terutama di hepar. Efek
samping yang paling sering adalah sedasi pada pemberian nalbufin. Tidak seperti
pentazosin dan butorfanol, nalbufin tidak menyebabkan pelepasan katekolamin
sehingga hemodinamik pasien relatif stabil. Oleh karena itu nalbufin merupakan
pilihan yang tepat untuk digunakan pada pasien dengan gangguan jantung, seperti
pada tindakan kateterisasi jantung.4
b) Pentazosin
Pentazosin diserap baik melalui rute oral maupun perenteral yang
kemudian dimetabolisme di hepar meluiproses oksidasi menjadi glukoronid
inaktif yangakan diekskresikan terutama melalui urin dankemudian empedu.
Dengan dosis 10-30mg iv atau 50mg oral, setara dengan kodein 60 mg, mampu
9

mengatasi nyeri sedang. Efek samping yang seringdari pentazosin adalah sedasi
yang kemudiandiikuti dengan diaforesis dan pusing. Pentazosin menyebabkan
pelepasan katekolamin pada tubuhkita sehingga Pentazosin sebesar 20-30 mg
immempunyai efek analgesia, sedasi dan depresi pernafasan yang setara dengan
10 mg morfin. Tidak seperti morfin, pentazosin tidak memilikiefek miosis pada
pupil mata.4
c) Butorfanol
Butorfanol adalah agonis dan antagonis opioid yang menyerupai
pentazosin. Efek agonisnya 20 kali lebih besar dan efek antagonisnya 10 hingga
30 kali lebih besar jika dibandingkan dengan pentazosin. Butorfanol memiliki
afinitas yang lemah sebagai antagonis pada reseptor u dan afinitas yang sedang
pada reseptor k untuk menghasilkan analgesia dan efek anti menggigil. Pada
prakteknya butorfanol 2-3 mg im menghasilkan efek analgesia dan depresi
pernafasan setara dengan morfin 10 mg. Butorfanol terutama dimetabolisme
menjadi metabolit inaktif hidroksibutorfanol yang diekskresi terutama di empedu
dan sebagian kecil pada urin. Efek samping yang paling sering adalah sedasi,
mual dan diaphoresis. Efek pelepasan katekolamin yang dimiliki pentazosin juga
dimilikioleh butorfanol ini sehingga akan didapat peningkatan laju nadi dan
tekanan darah pada pasien.4

4) Antagonis reseptor µ
a) Nalokson
Nalokson adalah antagonis nonselektif pada ketiga reseptor opioid.
Dengan dosis 1-4µg/kgBB iv dapat membalikkan efek overdosis akibat obat-
obatan opioid. Durasi kerja nalokson sekitar 30-45 menit, sehingga pemberian
continuous 5 µg/kgBB iv/jam perlu dilanjutkan untuk mendapatkan efek yang
maksimal. Nalokson dimetabolisme erutama di hepar melalui proses konjugasi
dengan asam glukoronat menjadi nalokson-3-glukoronid. Pemberian nalokson iv
yang cepat dapat menimbulkan mual dan muntah. Oleh karena itu pemberian
bolus harus pelan yaitu 2-3 menit. Efek stimulasi kardiovaskuler juga sering
ditemukan pada pemberian nalokson ini sebagai akibat dari meningkatnya
aktifitas sistem saraf simpatis dan rangsangan nyeri yang kembali terasa.
10

Peningkatan aktifitas sistem saraf simpatis ini dimanifestasikan dengan takikardi,


hipertensi, edema paru serta disritmia jantung.4
Nalokson diberikan kepada pasien dengan kecurigaan overdosis opioid.
Kecurigaan overdosis opioid ditandai dengan depresi pernapasan, hipotensi dan
penurunan kesadaran. Nalokson juga digunakan kombinasi dengan buprenorphine
sebagai terapi maintenance. Induksi buprenorphine/nalokson (Suboxone) hanya
untuk pasien yang ketergantungan pada opioid (opioid use disorder) use kerja-
pendek (misalnya Heroin) dan tidak untuk mereka yang ketergantungan pada
opioid kerja-panjang (misalnya Metadon). Monoterapi buprenorphine
direkomendasikan untuk induksi untuk opioid jangka panjang. Beberapa upaya
dapat dilakukan dokter layanan primer untuk terapi pasien dengan opioid use
disorder. Zat ini bekerja dengan menghalangi efek dari narkotika di otak. Zat ini
mungkin tidak bekerja dengan baik untuk memblokir efek dari jenis tertentu dari
narkotika (campuran agonis/antagonis seperti buprenorphine, pentazocine).17
b) Naltrekson
Naltrekson bekerja hampir sama dengan nalokson dan sering diberikan
secara oral. Efeknya dapat bertahan lama hingga lebih dari 24 jam. Naltrekson
termasuk dalam kelas obat yang dikenal sebagai antagonis opiat. Zat ini bekerja di
otak untuk mencegah efek opiat (misalnya, perasaan kesejahteraan, nyeri). Hal ini
juga mengurangi keinginan untuk Kembali menggunakan opioid.4

2.1.4 Farmakokinetik
a) Absorbsi
Sebagian besar analgesik opioid mampu diserap bagus melalui rute
subkutan, intramuscular dan oral. Oleh karena efek first pass metabolism opioid
pada aliran darah di hepar maka dosis oral opioid membutuhkan dosis yang lebih
besar untuk mencapai efek terapeutik, seperti pada morfin. Beberapa jenis opioid
dipercaya lebih efektif jika diberikan melalui rute oral karena kecil yang melalui
first pass metabolism seperti kodein dan oksikodon. Insuflasi melalui nasal juga
bisa menjadi rute pilihan untuk menghindari first pass metabolism. Rute yang lain
yaitu melalui mukosa oral serta transdermal yang diyakini dapat memberikan
analgesik yang poten hingga dalam hitungan hari.4
b) Distribusi
11

Penyerapan opioid pada organ sangat bervariasi. Meskipun tiap jenis


opioid mempunyai afinitas yang berbeda terhadap protein, opioid dapat secara
cepat meninggalkan kompartemen darah, kemudian berkumpul menuju jaringan
yang mempunyai perfusi darah yang tinggi seperti otak, paru-paru, hepar, ginjal
dan limpa. Konsentrasi opioid pada otot sebenarnya lebih kecil, namun jaringan
otot mempunyai volume yang besar sehingga banyak juga yang terakumulasi
disana. Meskipun aliran darah pada jaringan lemak rendah, namun akumulasi
pada jaringan lemak ini adalah suatu hal yang penting oleh karena akan terjadi
redistribusi kembali oleh opioid yang larut baik dengan lemak, seperti fentanyl.4
c) Metabolisme
Sebagian besar opioid akan diubah menjadi metabolit yang lebih polar
sebagian besar glukoronid, yang kemudian akan diekskresikanmelalui ginjal.
Sebagai contoh morfin, sebagian besar akan dikonjugasi menjadi morfin-
6glukoronid, suatu kompenen yang mempunyai efek neuroeksitatori. Efek
neuroeksitatori ini bukan dimediasi oleh reseptor opioid melainkan oleh system
GABA/glisinergik. Kurang lebih 10% dari morfin akan diubah menjadi M6G,
suatu metabolit aktif dengan efek analgesik 4 hingga 6 kali lebih poten jika
dibandingkan dengan morfin. Namun metabolit yang lebih polar ini mempunyai
keterbatasan untuk menembus sawar darah otak. Akumulasi yang berlebihan dari
obat ini seperti pada pasien dengan gagal ginjal ataupun pemakaian dosis besar
tentunya akan menyebabkan berbagai macam efek samping. Kejang oleh karena
efek neuroeksitasi dari M3G serta efek kerja yang memanjang dari opioid yang
dihasilkan oleh M6G.4, 14
Golongan ester seperti heroin dan remifentanyl dihidrolisa secara cepat
oleh enzim esterase jaringan. Heroin (diasetilmorfin) dihidrolisa menjadi
monoasetilmorfin dan pada akhirnya menjadi morfin yang kemudian dikonjugasi
oleh asam glukoronat. Metabolisme oksidatif hepatik merupakan rute primer
degradasi opioid golongan fenilpiperidin seperti meperidin, fentanyl, alfentanyl
dan sufentanyl. Hasil metabolit dimetilasi dari meperidin yaitu normeperidin
dapat terakumulasi pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal ataupun pada
pemakaian dosis yang tinggi. Normeperidin dapat menyebabkan kejang apabila
terakumulasi dalam jumlah yang cukup tinggi. Sebaliknya fentanyl tidak memiliki
12

metabolit aktif. Isozim P450 CYP3A4 memetabolisme fentanyl melalui prosesN-


dealkilasi di hepar. CYP3A4 juga terdapat dimukosa usus halus dan memberikan
kontribusipada proses first pass metabolism jika fentanyldiberikan secara oral.
Kodein, oksikodon, danhidrokodon dimetabolisme di hepar oleh isozimP450
CYP2D6 yang akan menghasilkan metabolitdengan efek yang lebih besar.
Sebagai contoh, kodein dimetilasi menjadi morfin.4, 14
d) Ekskresi
Metabolit yang polar, termasuk konjugasi glukoronid dari analgesik
opioid, sebagian besar diekskresi melalui urin. Sejumlah kecil dari bagian yang
yang tidak diubah dapat ditemukan juga di urin. Selain itu konjugasi glukoronid
juga ditemukan di empedu, namun sirkulasi enterohepatik hanya berperan kecil
dalam proses ekskresi.4

2.1.5 Farmakodinamik
Sebagian besar analgesik opioid bekerja pada reseptor u. Efek analgesia,
euphoria, depresi system pernafasan dan ketergantungan fisik yang dipunyai
morin sebagian besar didapat oleh karena efek dari reseptor u.
 Perubahan pada sistem kardiovaskuler.
Pemberian opioid dapat mnyebabkan depresi pada otot miokard jantung
serta hipotensi pada system kardiovaskuler. Selain itu tonus simpatis juga
dihambat oleh opioid menyebabkan tonus vena perifer menurun, sehingga
kejadian hipotensi ortostatik sering pada pasien dengan pemberian opioid.
Bradikardi juga dapat terjadi oleh karena overstimulasi nukleus vagus pada
medulla oblongata. Konduksi nodus sinoatrial juga dihambat oleh morfin, hal ini
menyebabkan menurunnya kejadian ventrikel fibrilasi pada pasien yang telah
diberikan morfin. Opioid, terutama morfin juga dapat memberikan efek pelepasan
histamin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah perifer yang kemudian
terjadi penurunan tekanan darah. Namun sebaliknya fentanyl dan sufentanyl tidak
menyebabkan pelepasan histamin.4, 14
 Perubahan pada sistem ventilasi pernafasan.
Opioid sebagai salah satu agonis opioid (terutama yang berikatan pada
reseptor u2) dapat memberikan efek depresi pernafasan melalui pusat pengaturan
ventilasi pernafasan di batang otak. Menyebabkan menurunnya kadar asetilkolin
13

pada neuron didaerah pusat pernafasan medulla sehingga menurun juga respon
terhadap CO2. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kadar PaCO2 saat istirahat
serta bergesernya kurva repon CO2 ke kanan. Oleh karena itu pemberian
fisostigmin dapat mengembalikan efek depresi pernafasan pada pemberian opioid
tanpa mengurangi efek analgesianya. Agonis opioid juga mempebgaruhi pons dan
pusat ventilasi medulla yang mengatur irama pernafasan kita, sehingga
memperlama waktu jedah tiap waktu bernafas. Selain itu morfin juga
menyebabkan penurunan gerakan sillier pada jalan nafas yang dose-dependent.4, 14
 Penurunan respon batuk.
Efek antitusif juga didapat pada opioid terutama pada kodein yang
terubstitusi pada posisi atom karbon nomor 3 serta pada isomer dekstro opioid
yaitu dekstrometorfan namun tidak mempunyai efek analgesi.4
 Sistem saraf pusat.
Selain efek sentralnya pada sistem saraf pusat pengatur pernafasan, opioid
juga memberikan perubahan gambaran EEG. Terdapat perubahan gambaran
gelombang alfa yang cepat dan gelombang delta yang lambat. Terjadi tonus otot
thorakal dan abdominal yang rigid pada pemberian opioid yang cepat terutama
pada pemberian iv. Tertutupnya plika vokalis yang tiba-tiba juga menjadi salah
satu hal yang ditakuti pada pemberian agonis opioid terutama sufentanil. Hal ini
dihubungkan dengan interaksinya pada neuron dopaminergik dan GABA. Inhibisi
pelepasan GABA pada daerah striatal serta peningkatan produksi dopamin
merupakan respon seluler yang menyebabkan kejadian rigiditas. Efek eksitatori
opioid pada nukleus Edinger-westphal nervus okulomotorius merupakan
penyebab pinpoint pada pupil mata pasien yang menerima agonis opioid. Selain
itu morfin juga memberikan efek sedasi yang dose dependent.4, 14
 Efek pada Sistem gastrointestinal dan hepatobilier.
Spasme pada otot polos bilier dapat terjadi pada pemberian opioid.
Tekanan intrabillier dapat meningkat hingga 53% pada pemberian morfin dan
99% pada pemberian fentanyl. Kontraksi otot polos duktus pankreatikus dapat
menyebabkan peningkatan kadar amilase dan lipase pada plasma darah, dan
terkadang dapat menjadi membingungkan diagnosis pada pankreatitis akut. (5,6) .
Opioid juga menurunkan gerakan peristaltik pada usus besar dan usus halus, serta
14

meningkatkan tonus sfingter pylorus, katup ileocaecal serta sfingter anus. Hal ini
menyebabkan transit makanan yang cukup lama sehingga penyerapan air
meningkat dan menyebabkan konstipasi. Dahulu kala pertama opium digunakan
oleh manusia sebagai obat diare sebelum populer efek analgesianya. Pengosongan
lambung juga tertunda akibat penggunaan opioid sehingga resiko aspirasi juga
meningkat pada penggunaan opioid. Mual dan muntah juga dapat tercetuskan
pada pemberian morfin olehkarena stimulasi opioid pada CTZ (Chemo Trigger
Zone) yang terdapat pada lantai ventrikel IV otak. Hal ini disebabkan oleh karena
efek agonis parsial opioid pada reseptor dopaminergik di CTZ.4, 14
 Sistem urogenital.
Opioid dapat meningkatkan tonus dan aktivitas peristaltik dari ureter.
Selain itu tonus otot detrussor akan meningkat namun sfingter vesika juga
meningkat, hal ini menyebabkan kesulitan pasien untuk miksi. Morfin juga
mempunyai efek antidiuretik oleh karena pelepasan hormon arginin vasopressin.4
 Perubahan Kulit.
Pembuluh darah pada kulit akan melebar setelah pemberian morfin,
sehingga terjadi kemerahan dan rasa hangat pada kulit wajah, leher, dan dada
bagian atas. Hal ini dikarenakan sebagai salah satu efek dari pelepasan histamin.
Perubahan Hormonal. Penggunaan opioid yang lama dapat menyebabkan
gangguan pada sistem hipotalamuspituitari-adrenal dan sistem hipotalamus-
pituitarigonad. Akan terjadi penurunan konsentrasi kortisol pada plasma darah.
Selain itu opioid juga dapat meningkatkan kadar hormon prolaktin, dan
menurunkan LH, FSH, Testosteron dan estrogen pada plasma.4

2.1.6 Intoksikasi Opioid


Intoksikasi opiat/ opioid akut adalah kumpulan gejala yang disebabkan
oleh penggunaan opiat dan/atau opioid dalam dosis cukup tinggi sehingga terjadi
gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek/mood, perilaku atau fungsi
dan respon psikofisiologis lainnya. Intoksikasi opioid akut adalah suatu keadaan
emergensi yang harus segera ditangani agar tidak menimbulkan kematian.15
Penyalagunan opiat/ opioid yang biasa menggunakan opiat/ opioid dalam
dosis yang besar karena terjadinya toleransi akan menurun neuroadaptasinya
setelah tidak menggunakan opiat/ opioid. Abstinen menyebabkan toleransi dan
15

gejala putus zat secara fisik tidak ada lagi. Saat penderita adiksi menemui faktor
pencetus seperti bertemu teman lama yang juga pemakai narkoba, mengalami
stres/ permasalahan, atau ditawari kembali oleh bandar maka seringkali pasien
menggunakan dosis narkoba sama sebelum dia ditahan atau direhabilitasi
sehingga menimbulkan intoksikasi. Ketergantungan narkoba perlu diatasi dengan
konseling yang konsisten. Konseling dan layanan psikiatri dasar sangat
diperlukan. Banyak penyedia layanan terutama di layanan primer yang tidak
memiliki kemampuan dan percaya diri untuk mengatasi ketergantungan NAPZA
termasuk ketergantungan opiat/ opioid. Peningkatan keterampilan tenaga
kesehatan merupakan salah satu kunci keberhasilan pencegahan terjadinya
intoksikasi.15, 16

2.1.7 Diagnosis Banding Intoksikasi Opioid


a) Intoksikasi yang diisebabkan oleh zat lainnya.
Intoksikasi alkohol dan hipnotik sedatif dapat menyebabkan gambaran
klinis yang menyerupai intoksikasi opioid. Intoksikasi alkohol atau
hipnotik sedatif biasanya dapat dibuat pada keadaan tidak terdapat
konstriksi pupil atau tidak adanya perubahan terhadap pemberian
nalokson. Pada beberapa kasus, intoksikasi dapat disebabkan oleh
penggunaan bersamaan opioid dengan alkohol dan sedatif lainnya. Pada
kasus seperti ini, pemberian nalokson tidak akan merubah semua efek
sedatif.15, 16
b) Gangguan yang berhubungan dengan opioid
Intoksikasi opioid dapat dibedakan dengan gangguan yang dinduksi oleh
opioid (misalnya gangguan depresi yang diinduksi opioid, yang onsetnya
terjadi pada saat intoksikasi) karena gejala pada gangguan tersebut
(misalnya depresi) mendominasi tampilan klinis dan memenuhi kriteria
dari gangguan yang berhubungan.15

2.1.8 Ketergantungan Opioid


Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan
untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang
meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya
16

dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, akan menimbulkan gejala fisik dan
psikis yang khas.13
Di dunia, ketergantungan opioid menimbulkan masalah yang sangat besar
dan luas walaupun populasi penyalahgunan opioid kurang lebih 1 %. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa ketergantungan opioid suntik menimbulkan masalah
sosial, kriminal, kesehatan dan lainnya. Penyalahgunaan opioid berpotensi untuk
menimbulkan komorbiditas gangguan fisik dan gangguan mental. Berbagai
gangguan mental yang sering terjadi misalnya depresi, gangguan kecemasan,
gangguan psikotik, gangguan paranoid, dan lain-lain.13
Beberapa perilaku yang menonjol pada remaja dengan ketergantungan
opioid yang dinamakan sindroma perilaku opioid (heroin behavior syndrome).
Depresi adalah gangguan yang mendasari perilaku tersebut. Depresi pun sering
disertai dengan gejala kecemasan dan impulsivitas yang diekspresikan sebagai
orientasi pasif-agresif dan rasa takut akan kegagalan. Opioid digunakan sebagai
obat anti kecemasan untuk menutupi perasaan rendah diri, ketidakberdayaan dan
agresi tersebut. Komunitas ketergantungan opioid suntik yang sering disebut
Jungki atau IDU (Injection Drugs User).5, 13
Ketergantungan opioid ditandai oleh sekumpulan gejala kognitif, tingkah
laku dan psikologis. The International Classification of Diseases, 10th edition
(ICD-10) mengidentifikasikan gejala-gejala tersebut, antara lain:13
a) keinginan yang kuat untuk menggunakan opioid
b) kesulitan mengontrol penggunaan opioid
c) fase putus obat secara fisiologis
d) toleransi, yakni kebutuhan penggunaan opioid yang meningkat untuk
mendapatkan efek intoksikasi atau keinginan yang meningkat atau jika
menggunakan jumlah yang sama atau berkurang maka efek yang dirasakan
menurun.
e) penggunaan opioid yang tetap walaupun terdapat data yang jelas mengenai
konsekuensi buruk dari penggunaannya.
ICD-10 menyebutkan ketergantungan opioid jika terdapat 3 gejala atau
lebih dari gejala-gejala di atas yang timbul secara simultan pada suatu saat dalam
setahun.
17

2.1.9 Terapi Ketergantungan Opioid


Terapi pada ketergantungan opioid merupakan gabungan dari intervensi
farmakologis dan psikososial, yang bertujuan untuk mengurangi atau
menghentikan penggunaan opioid, mencegah bahaya mendatang akibat
penggunaan opioid dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Rehabilitasi medis dapat dilaksanakan melalui:15, 16
a. Intervensi psikososial antara lain melalui konseling adiksi narkotika,
wawancara motivasional, terapi perilaku dan kognitif (Cognitive
Behavior Therapy), dan pencegahan kambuh untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien, dan
b. Intervensi medis antara lain melalui program detoksifikasi, terapi
simtomatik, dan/atau terapi rumatan medis, serta terapi penyakit
komplikasi sesuai indikasi menurut WHO, Intervensi medis dapat
dilakukan dengan cara penghentian bertahap dengan opioid sintetis
agonist (metadon) atau dengan penggunaan opioid partial agonist
jangka pendek (buprenorfin). Di Indonesia khususnya, intervensi
medis dilakukan melalui terapi metadon dalam program terapi rumatan
metadon (PTRM).
Metadon adalah agonis opioid sintetis yang poten dan tidak memiliki
aktivitas reseptor delta atau kappa yang diserap dengan baik secara oral dan
memiliki waktu paruh yang panjang. Opioid dapat diresepkan bersama dengan
metadon sebagai saah satu terapi pada nyeri kronis maupun nyeri pasca operasi.
Metadon memiliki beberapa efek yang secara kualitatif mirip dengan morfin dan
opioid lainnya. Efek utama metadon melibatkan sistem saraf pusat dan sistem
organ yang terdiri dari otot polos.15
Farmakologi metadon membuat zat ini menjadi sangat berguna untuk
mengobati ketergantungan opioid. Tujuan dari terapi Metadon antara lain:
mengurangi bahaya dari penggunaan obat, mengobati penyakit penyerta medis
dan psikiatri, memberikan efek remisi pada ketergantungan zat, serta mencapai
tingkat fungsi psikososial yang memungkinkan. Program PTRM merupakan
kolaborasi langsung dari klien dan tim PTRM yang terdiri dari perawat, pekerja
sosial, farmasis, dokter dan pekerja kesehatan lainnya.15, 16
18

2.1.10 Putus Zat Opioid


Putus zat adalah suatu sindroma yang terjadi ketika konsentrasi NAPZA di
darah atau jaringan menurun pada individu yang telah mempertahankan
penggunaan jangka panjang dari NAPZA tersebut. Setelah mendapatkan gejala
putus zat, seseorang akan menggunakan NAPZA untuk mengurangi gejala yang
dialaminya. Putus zat opioid dapat menyebabkan timbulnya gangguan fisik dan
atau psikologis. Putus zat opioid dapat merupakan suatu keadaan emergensi yang
harus segera ditangani agar tidak menimbulkan kematian atau penderitaan bagi
pasien. Dalam Diagnostic Statistical Manual (DSM) V, gejala putus zat yang
terjadi pada terapi medis yang sesuai, tidak digolongkan pada gangguan
penggunaan zat. Jika NAPZA yang digunakan dalam terapi medis tersebut
digunakan secara berlebihan dan terdapat perilaku pencarian NAPZA yang
kompulsif maka diagnosis gangguan penggunaan zat dapat ditegakkan.12
 Kriteria A gejala-gejala putus opioid adalah sebagai berikut:12
1. Hilangnya atau berkurangnya penggunaan opiat/ opioid yang
cukup berat dan berlangsung lama (misalnya beberapa minggu atau
lebih).
2. Pemberian antagonis opiat/ opioid setelah periode pemakaian
opiat/ opioid
 Tiga atau lebih dari hal-hal di bawah ini yang timbul dalam beberapa menit
sampai beberapa hari setelah kriteria A:12
1. Suasana perasaan tidak senang (disforik)
2. Mual muntah
3. Nyeri otot
4. Lakrimasi dan/ atau rinore
5. Dilatasi pupil, piloereksi, atau berkeringat
6. Diare
7. Menguap
8. Demam
9. Insomnia
19

 Tanda dan gejala pada kriteria B menyebabkan stress atau gangguan yang
nyata secara klnis dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area lainnya yang
penting.12
 Tanda dan gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis lainnya dan tidak dapat
diterangkan oleh gangguan mental lainnya, termasuk intoksikasi atau gejala
putus zat oleh zat lainnya.12
Waktu terjadinya dan keparahan dari gejaka putus zat tergantung pada
waktu paruh dari jenis opioid yang digunakan. Sebagian besar individu yang
secara fisiologis tergantung pada NAPZA yang memiliki kerja jangka pendek
seperti heroin akan mulai untuk mengalami gejala putus zat dalam 6-12 jam
setelah dosis terakhir. Gejala putus zat mungkin muncul dalam 2-4 hari jika
opioid yang digunakan merupakan obat yang kerja jangka panjang seperti
metadon, LAAM (L-alpha-acetylmethadol), atau buprenorfin. Gejala putus zat
pada opioid jangka pendek seperti heroin biasanya mengalami puncak dalam 1-3
hari dan secara bertahap menghilang dalam periode 5-7 hari.12
Gejala putus zat yang kurang akut dapat berlangsung selama beberapa
minggu sampai beberapa bulan. Hal ini termasuk gejala kronis seperti cemas,
disforia, anhedonia, dan insomnia. Derajat keparahan dari ketergantungan opiat/
opioid dan gejala somatik yang ditimbulkan dari putus zat merupaka faktor
penyebab utama terjadinya adiksi terhadap opiat/ opioid. Gejala putus zat juga
dapat terjadi jika pasien menurunkan dosis pemakaiannya atau menggunakan
opiat atau opioid yang memiliki kekuatan yang menstimulasi reseptor yang lebih
rendah tetapi memiliki kemampuan berikatan dengan reseptor yang lebih tinggi.
Misalnya jika pasien menggunakan metadon kemudian menyuntikan buprenorfin
maka pasien akan mengalami gejala putus zat karena metadon memiliki efek
menstimulasi reseptor lebih tinggi daripada buprenorfin tetapi buprenorfin
memiliki kemampuan berikatan dengan reseptor yang lebih tinggi dari pada
metadon.12
Diagnosis dan deteksi dini putus zat opioid harus ditegakkan dengan
segera. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan dengan segera dan dalam waktu
singkat. Pemeriksaan fisik dan laboratorium didapatkan gejala utama: mata dan
hidung berair, menguap, berkeringat, agitasi dan iritabel, goosebumps, perasaan
20

panas dan dingin, kehilangan nafsu makan, keinginan kuat untuk menggunakan
heroin (craving), kram perut, diare, mual, muntah, nyeri punggung, nyeri
persendian, tangan atau kaki, sakit kepala, sulit tidur, letargi, fatigue, tidak dapat
istirahat, sulit konsentrasi, keringat meningkat. Kemudian dilakukan pemeriksaan
lab rutin, kadar elektrolit, dan gula darah sewaktu.

Penatalaksanaan:11
 Simtomatik sesuai gejala klinis; Analgetik (Tramadol, Asam Mefenamat,
Paracetamol), Spasmolitik (Papaverin), Dekongestan, Sedatif - Hipnotik, Anti
diare.
 Subtitusi Golongan Opioida: Kodein, Metadon, Buprenorfin yang diberikan
secara tapering off. Untuk Metadon dan Buprenorfin terapi dapat dilanjutkan
untuk jangka panjang (Rumatan).
 Subtitusi non opioida; Klonidin dengan dosis 17mcg/KgBB dibagi dalam 3-4
dosis diberikan selama 10 hari dengan tapering of 10%/hari, perlu pengawasan
tekanan darah. Bila tekanan darah systole kurang dari 100 mmHg atau diastole
kurang dari 70 mmHg maka Klonidin harus dihentikan.
 Pemberian sedatif-hipnotika, neuroleptika (yang memberi efek sedatif, misal;
Clozapin 25 mg, atau Klorpromazin 100 mg).

2.2 Regulasi Terkait Penyalahgunaan Zat


Saat ini, penyalahgunaan NPS dianggap sama seperti penyalahgunaan
NAPZA. Kementrian Kesehatan telah melampirkan beberapa jenis NPS sebagai
narkotika, baik golongan I, golongan II maupun golongan III. Hal tersebut
terlampir dalam Permenkes no 2 tahun 2017 dan Permenkes nomor 3 tahun 2017
yang mencantumkan 43 jenis NPS sebagai narkotika. Hal tersebut berarti bahwa
di Indonesia telah beredar NPS sejak 2010, atau mungkin dari tahun sebelum
2010. BNN mengemukakan bahwa pemerintah telah mengidentifikasi sejumlah
53 NPS. Sementara itu, UNODC melalui Early Warning Advisory (EWA) on New
Psychoactive Substances, Vol. 7, pada Februari 2016 telah mengidentifikasi 643
NPS yang mayoritas merupakan zat sintetis dari cannabinoid. Di Indonesia, NPS
yang banyak tersebar merupakan sintetis dari cannabinoid yang biasa dikenal
dengan nama tembakau gorilla, K2, atau spice.7
21

Peredaran NPS di Indonesia terus meningkat, tahun 2015 ditemukan 36


jenis NPS yang beredar, beberapa diantaranya sudah dimasukan dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 13 Tahun 2014. Pada Tahun 2018 sampai saat ini
sudah ditemukan 71 narkotika baru yang beredar di Indonesia. Secara regulasi
dari 71 jenis ini, 6 jenis belum diatur sebagai narkotika dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 58 Tahun 2017.
Terdapat 9 (sembilan) kategori NPS yang diperjual-belikan di pasaran
yaitu: 1. Aminoindanes; 2. Synthetic Cannabinoids (nama jalanan: spice, K2,
kronik); 3. Synthetic Cathinones; 4. Ketamin dan Phencyclidine-Type Substance;
5. Phenethylamines; 6. Piperazines; 7. Plant-Based Substances (Kratom di Asia
Tenggara, Salvia Divinorum, tanaman Khat); 8. Triptamin; dan 9. Kategori lain
yang tidak termasuk dalam nomor 1 sampai 8.
Data yang didapat dari studi sebelumnya menunjukkan bahwa NPS yang
beredar di Indonesia sebanyak 74 jenis sebagai berikut:
 Turunan Chatinone sebanyak 20 jenis,
 Cannabinoid Sintetis sebanyak 27 jenis,
 Turunan Phenethylamine (15 jenis),
 Turunan Piperazine (13 jenis),
 Plant-based substances (2 jenis),
 Chatinone dan cathine (1 jenis),
 Turunan Triptamin (2 jenis),
 Turunan Ketamin (1 jenis),
 Tanaman/ serbuk tanaman (1 jenis),
 Ketamin (1 jenis), dan
 Phencyclidine-type Substances (1 jenis).

Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 47 tahun 2016 yang berhubungan


dengan penggunaan opioid adalah:9
a) Setiap pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika
wajib menjalani rehabilitasi medis sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan;
22

b) Buprenorfina yang termasuk dalam narkotika golongan III dapat


digunakan dalam proses rehabilitasi medis bagi pecandu, penyalahguna,
dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai terapi sindrom putus
opioida dan rumatan ketergantungan opioida.
c) Terapi Buprenorfina adalah rangkaian kegiatan pengobatan yang
menggunakan buprenorfina disertai dengan intervensi psikososial bagi
pasien ketergantungan opioida untuk mengurangi dampak buruk
penggunaan opioda yang berisiko.
d) Nalokson adalah sejenis opioida antagonis yang memblokade reseptor µ
secara cepat sehingga menimbulkan gejala putus zat secara cepat dan pada
umumnya digunakan untuk mengatasi overdosis opioida, khususnya
mengatasi depresi sistem syaraf pusat dan sistem pernafasan.
e) Rumatan adalah suatu terapi jangka panjang minimal 6 (enam) bulan bagi
klien ketergantungan opioida dengan menggunakan golongan opioida
sintetis agonis atau agonis parsial dengan cara oral/sub-lingual.
f) Semua terapi substitusi opioida harus dipertimbangkan dengan hati-hati
pada individu yang menggunakan obat-obat lainnya, khususnya obat
sedatif seperti alkohol, benzodiazepin, atau obat depresan. Perhatian
khusus harus diberikan untuk menilai tingkat neuroadaptasi terhadap
opioida, pada keadaan yang menggunakan obat sedatif lain secara terus
menerus, dan risiko overdosis.
g) Terapi Buprenorfina bukan merupakan terapi tunggal untuk
ketergantungan opioida dan umumnya tetap diperlukan intervensi
psikososial. Pendekatan konseling, seperti motivational interviewing,
pencegahan relaps dan pelatihan keterampilan sosial, terapi perilaku
kognitif (Cognitive Behavioral Therapy/CBT), banyak digunakan dan
cukup efektif. Keterlibatan keluarga (Family Support Group/FSG) sangat
membantu kepatuhan pasien untuk mengikuti program terapi.

Single Convention Drugs Tahun 1961 telah diratifikasi melalui Undang-


Undang Nomor 8 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika
1961 Beserta Protokol 1972 yang mengubahnya. Konvensi ini menjadi landasan
yuridis dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
23

sedangkan Convention on Psychotropic Subtances Tahun 1971 diratifikasi melalui


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Convention On
Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971) dan menjadi
landasan yuridis dari UndangUndang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang
Psikotropika.10

Terdapat perbedaan antara narkotika dan psikotropika, menurut Pasal 1


Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika disebutkan
bahwa: “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini”
Sedangkan Psikotropika menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika adalah: “Psikotropika adalah zat atau obat,
baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas
pada aktivitas mental dan perilaku”
Dikarenakan perbedaan tersebut, maka pengaturan mengenai kedua zat
tersebut diatur dalam undang-undang yang berbeda, narkotika ke dalam
UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika sedangkan
psikotropika diatur ke dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang
Psikotropika. Namun dengan adanya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika, Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang
Psikotropika mengenai jenisjenis psikotropika Golongan I dan II dimasukkan ke
dalam Lampiran UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
mengenai jenis narkotika Golongan I. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika di bagian Ketentuan Penutup Pasal 153 disebutkan
bahwa:10
Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
a) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3698); dan
24

b) Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II


sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I
menurut Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Berdasarkan hal tersebut maka jenis psikotropika yang sering
disalahgunakan seperti Ganja, Sabu, dan Ectasy masuk ke dalam Golongan I
Narkotika sehingga zatzat tersebut dianggap sebagai narkotika. Setiap
penyalahgunaan zat-zat tersebut dapat dikenakan ketentuan hukum yang ada
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Sedangkan
New Psychoactive Subtances (NPS) sendiri merupakan zat-zat yang tidak
dikontrol oleh Single Convention Drugs Tahun 1961 dan Convention on
Psychotropic Subtances Tahun 1971, jadi di NPS dapat berupa narkotika
(narcotic) ataupun psikotropika (Psychotropic). Di Indonesia dikarenakan Pasal
153 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang telah
disebutkan di atas maka pengertian NPS adalah zat yang tidak ada dalam lampiran
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mengenai jenis
narkotika.10
Terakhir lampiran golongan narkotika dalam Undang- Undang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika diubah melalui Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. Saat ini di
Indonesia menurut penelitian Balai Laboratorium Badan Narkotika Nasional
terdapat 41 jenis NPS (New Psychoactive Subtances) 6 yang beredar di Indonesia,
dari 41 jenis tersebut baru 18 yang masuk lampiran Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika. Kemudian di awal Tahun 2017 muncul kembali
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2017 yang memasukkan tembakau
gorilla, tembakau hanoman, spice gold, dan legal herbal ke dalam Lampiran
UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.10
Pada intinya sekalipun tiap tahun ada penambahan daftar narkotika ke
dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 melalui Peraturan
25

Menteri Kesehatan tetap saja Narkotika jenis baru akan terus bermunculan dan
tidak bisa tersentuh oleh penegakan hukum.10
26

BAB III
KESIMPULAN

Gangguan penggunaan zat adalah suatu perilaku yang menyimpang dari


norma-norma yang umumnya berlaku pada bebagai kebudayaan di dunia Opioid
adalah derivat semisintetik dari opium dan molekul lain yang dapat mengaktivasi
reseptor opioid. Opioid diklasifikasikan berdasarkan efek pada reseptornya yaitu
agonis opioid kuat seperti morfin, heroin, meperidin, metadon, alfentanil, fentanil,
remifentanil, sufentanil; agonis opioid rendah-sedang seperti kodein, oksikodon,
propoksifen; agonis parsial opioid seperti buprenorfin, butorfanol, nalbufin,
pentazosin; dan antagonis opioid seperti nalokson, naltrekson. Terapi pada
ketergantungan opioid merupakan gabungan dari intervensi farmakologis dan
psikososial, yang bertujuan untuk mengurangi atau menghentikan penggunaan
opioid, mencegah bahaya mendatang akibat penggunaan opioid dan meningkatkan
kualitas hidup pasien.
Dampak gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif
tidak saja berpengaruh pada kesehatan jasmani, fungsi mental, kehidupan emosi
dan sosial yang bersangkutan, tapi juga merugikan keluarga, masyarakat, dan
negara karena permasalahannya begitu luas dan rumit. Gangguan ini
ditanggulangi secara multi disiplin, lintas sektoral, menyeluruh, terkoordinasi, dan
konsisten.
DAFTAR PUSTAKA

1. Joewana S. Gangguan Mental Dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat


Psikoaktif : Penyalahgunaan NAPZA/Narkoba. 2004. EGC: Jakarta.
2. BNN. Indonesia: Narkoba dalam Angka Tahun 2017. Jurnal Data
Puslidatin Tahun. 2018. Jakarta.
3. Grewal N, Huecker MR. Opioid. [Updated 2021 Apr 19]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551720/
4. Angkejaya O W. Opioid. Molucca Medica. 2018;11(1).
5. Azadfard M, Huecker MR, Leaming JM. Opioid Addiction. [Updated
2021 Apr 19]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448203/
6. Pusat Data dan Informasi Kesehatan RI. Gambaran Umum
Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia. Buletin Jendela Data dan
Informasi Kesehatan. 2014:23-28
7. Vintan M, et al. Keberfungsian Sosial Bagi Mahasiswa Penyalahguna New
Psychoactive Substance Di Universitas Padjadjaran. Pusat Studi
Kesejahteraan Anak dan Keluarga Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran. Bandung.
8. Leni N M, et al. Mengenal New Psychoactive Substances (NPS): Sebuah
Tinjauan Pustaka. Intisari Sains Medis. 2021;12(1).
9. Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 47 Tahun 2016. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.
10. Shadiq G F. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Narkotika New
Psychoactive Subtances Berdasarkan Undangundang Nomor 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika. Jurnal Wawasan Yuridika. 2017;1(1).
11. Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Psikiatrik di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Primer (FKTP). Kementerian Kesehatan RI. 2015.
Jakarta.

27
28

12. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders V. 2014.
13. Azadfard M, Huecker MR, Leaming JM. Opioid Addiction. [Updated
2021 Apr 19]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448203/
14. Kosten TR, George TP. The neurobiology of opioid dependence:
implications for treatment. Sci Pract Perspect. 2002;1(1):13-20.
doi:10.1151/spp021113.
15. Oelhaf RC, Del Pozo E, Azadfard M. Opioid Toxicity. [Updated 2021
May 19]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431077/
16. Fareed A, Stout S, Casarella J, Vayalapalli S, Cox J, Drexler K. Illicit
opioid intoxication: diagnosis and treatment. Subst Abuse. 2011;5:17-25.
doi:10.4137/SART.S7090.
17. Schumacher MA, Basbaum AI, Naidu RK. Bertram G Katsung, editors.
Opioid Agonist and Antagonist in Basic and Clinical Pharmacology.
edition 14th. United States of America: McGraw-Hill Education. 2018.
553-74 p.

Anda mungkin juga menyukai