Disusun Oleh:
Satrya Dita Al Qorny
2007501010039
Pembimbing:
dr. Syahrial, Sp. KJ(K)
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Gangguan Penggunaan Zat Fokus pada Opioid”. Referat ini disusun
sebagai salah satu tugas menjalani Kepanitraan Klinik Senior pada
Bagian/SMF........ RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh, Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala.
Selama penyelesaian referat ini penulis mendapatkan bantuan, bimbingan,
dan arahan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan
terimakasih kepada dr. Syahrial, Sp. KJ(K) yang telah meluangkan banyak
waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam
menyelesaikan referat ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
keluarga, sahabat, dan rekan-rekan yang telah memberikan motivasi dan doa
dalam menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini.
Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari
pembaca sekalian demi kesempurnaan referat ini. Harapan penulis semoga referat
ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan umumnya dan profesi
kedokteran khususnya. Semoga Allah SWT selalu memberikan Rahmat dan
Hidayah-Nya bagi kita semua.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.....................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................ii
BAB I..............................................................................................................1
PENDAHULUAN..........................................................................................1
BAB II............................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................2
2.1 Penyalahgunaan Opioid.....................................................................2
2.1.1 Definisi Opioid............................................................................2
2.1.2 Epidemiologi...............................................................................3
2.1.3 Klasifikasi Senyawa Opioid........................................................3
2.1.4 Farmakokinetik.........................................................................10
2.1.5 Farmakodinamik.......................................................................12
2.1.6 Intoksikasi Opioid.....................................................................14
2.1.7 Diagnosis Banding Intoksikasi Opioid.....................................15
2.1.8 Ketergantungan Opioid............................................................15
2.1.9 Terapi Ketergantungan Opioid.................................................17
2.1.10 Putus Zat Opioid......................................................................18
2.2 Regulasi Terkait Penyalahgunaan Zat..............................................20
BAB III.........................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................27
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Opium digunakan dengan dihirup atau dengan cara ditusukkan pada kulit
yang akan memberikan efek analgesia, selain itu juga akan menyebabkan depresi
pernafasan dan kematian sesuai dengan derajat absorbsi yang diberikan. Opium
merupakan campuran bahan kimia yang mengandung gula, protein, lemak, air,
lilin nabati alami, lateks, dan beberapa alkaloid. Adapun alkaloid yang terkandung
2
3
2.1.2 Epidemiologi
Kecanduan opioid menimpa individu dari semua latar belakang sosial
ekonomi dan pendidikan. Empat juta orang mengakui penggunaan opioid
nonmedis. Dari tahun 2002 hingga 2011, sekitar 25 juta orang di Amerika Serikat
mulai menggunakan pereda nyeri nonmedis. Lebih dari 11 juta orang
menyalahgunakan obat-obatan tersebut. Kunjungan unit gawat darurat karena
komplikasi dan overdosis telah meningkat setiap tahun sejak 2010. Tingkat
kunjungan IGD yang melibatkan opioid lebih dari tiga kali lipat dari tahun 1999
hingga 2013. Pada tahun 2017, overdosis opioid dinyatakan sebagai keadaan
darurat nasional di Amerika Serikat.5 Data mengenai penyalahgunaan opioid di
Indonesia belum diketahui pasti. Tetapi dilaporkan kecenderungan penurunan
penyalahgunaan heroin dari tahun 2008 (1.534) hingga tahun 2012 (486).6
1) Agonis reseptor µ
a) Morfin
Morfin merupakan obat prototype opiod yang menjadi perbandingan pada
semua jenis obat golongan agonis opioid. Efek dari morfin berupa analgesia,
euforia, sedasi, berkurangnya konsentrasi, nausea, perasaan berat pada
ekstremitas, mulut yang kering dan priritus terutama pada daerah sekitar hidung.
Jenis nyeri tumpul yang continu lebih efektif dihilangkan dengan morfin daripada
jenis nyeri yang tajam dan intermiten. Efek analgesia dari morfin lebih efektif bila
diberikan sebelum stimulus nyeri diberikan. Sementara bila tidak ada rangsangan
nyeri, morfin lebih memberikan efek disforia daripada euforia.4
b) Kodein
Merupakan obat antitusif kuat yang sering digunakan pada praktek medis
sehari-hari. Sekitar 10% kodein dimetilasi di hepar menjadi morfin. Hal ini
membuat kodein efektif sebagai analgesik oral. Jika diberikan im efek analgesia
120 mg kodein setara dengan 10 mg morfin. Pemberian kodein secara iv tidak
disarankan oleh karena kejadian hipotensi yang dikaitkan dengan efek pelepasan
histaminnya cukup besar.4
c) Oksikodon
Oksikodon adalah opioid derivat dari thebain yang ditemukan di Jerman
tahun 1916 sebagai salah satu opioid semi sintetik. Terapi oksikodon untuk nyeri
sedang hingga berat sudah terbukti dan oleh European Association for Palliative
Care, oksikodon digunakan sebagai second line alternative drug setelah morfin.
Gejala withdrawal sering didapatkan pada pengguna oksikodon jangka panjang
yang mengalami henti obat seketika. Oleh karena itu disarankan untuk
menghentikan oksikodon bertahap.4
d) Heroin
Heroin atau juga dikenal sebagai diasetilmorfin adalah opioid sintetik
sebagai hasil asetilasi dari morfin. Penetrasi cepat ke otak adalah salah satu
keistimewaan obat ini oleh karena kelarutan lemak serta struktur kimianya yang
5
unik. Heroin sudah tidak beredar lagi di Amerika Serikat oleh karena potensi
ketergantungan fisiknya yang cukup tinggi.4
e) Fentanyl
Fentanyl adalah opioid sintetik yang secara struktur mirip dengan
meperidin. Potensial analgesiknya 75-125 kali lebih besar daripada morfin.
Mempunyai onset dan durasi yang lebih cepat jika dibandingkan dengan morfin
hal ini dikarenakan kelarutan lemak fentanyl yang tinggi.4
Fentanyl dimetabolisme dengan cara metilasi menjadi norfentanyl,
hydroksipropionil-fentanyl dan hidroksinorpropionil-fentanyl. Diekskresi melalui
urin dan dapat dideteksi 72 jam setelah pemberian iv. Namun <10% tetap tidak
termetabolisme dan diekskresikan melalui urin. Setelah pemberian bolus iv,
fentanyl tersebar terutama pada organ yang kaya vaskularisasi seperti otak, paru-
paru dan jantung. Dosis fentanyl 2-20 µg/kgBB seringkali diberikan sebagai
ajuvan anestesi inhalasi pada saat operasi. Pemberian intratekal juga memberikan
respon yang memuaskan terutama pada dosis 25 µg. Terdapat juga sediaan oral
transmukosa fentanyl 15-20 µg/kgBB untuk anak-anak 2-8 tahun yang diberikan
45 menit sebelum induksi anestesi. Fentanyl juga diberikan transdermal dengan
sediaan 12,5-100 µg yang ditujukan terutama pasien postoperatif serta pasien
dengan nyeri kanker. Jika dibandingkan dengan morfin, fentanyl kurang
menyebabkan pelepasan histamin namun lebih sering mencetuskan bradikardi.
Pemberian fentanyl iv secara cepat dapat mencetuskan otot rigid, batuk bahkan
kejang. Fentanyl juga dapat meningkatkan tekanan intrakranial hingga 6-9 mmHg
oleh karena efek vasodilatasi.4
f) Sufentanyl
Sufentanyl merupakan analog dari fentanyl dan mempunyai kekuatan
analgesi 5-10 kali lebih besar daripada fentanyl. Dimetabolisme terutama di hepar
melalui proses N-dealkilasi dan O-demetilasi. Ekskresi terutama di urine dan
faeses dengan <1% dari sufentanyl tidak berubah. Pada pemberian sufentanyl
dengan dosis 0,1-0,4 µg/kgBB memberikan waktu yang lebih lama serta efek
depresi pernafasan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan dosis fentanyl 1-4
µg/kgBB. Jika dibandingkan dengan opioid yang lain, sufentanyl mempunyai
beberapa kelebihan terutama penurunan kebutuhan oksigen metabolisme di otak
6
serta aliran darah otak cenderung menurun atau hampir tidak mengalami
perubahan yang berarti.4
g) Alfentanyl
Alfentanyl merupakan nalog dari fentanyl yang mempunyai potensi 1/5
sampai 1/10 dari fentanyl. Keunikan dari alfentanyl adalah onset dan durasi yang
lebih cepat jika dibandingkan dengan fentanyl. Alfentanyl dimetabolisme melalui
piperidin Ndealkilasi menjadi noralfentanyl serta melalui amida N-dealkilasi
menjadi N-fenilpropionamid. Sebagian besar diekskresi melalui urin dengan <1%
yang tidak berubah. Alfentanyl sering dipakai pada manipulasi singkat seperti
intubasi trakeal ataupun blok retrobulbar dengan dosis 1030 µg/kgBB. Jika
dibandingkan dengan opioid yang lain, kejadian Post Operative Nausea Vomitting
(PONV) lebih rendah pada pemakaian alfentanyl.4
h) Remifentanyl
Remifentanyl adalah agonis selektif reseptor opioid µ dengan potensi
analgesi menyerupai fentanyl (15-20 kali lebih poten daripada alfentanyl).
Struktur kimia remifentanyl tergolong unik karena meskipun tergolong derivat
fenilpiperidin, remifentanyl mempunyai gugus ester. Sehingga metabolism
remifentanyl juga terjadi oleh hidrolisis enzim esterase di plasma maupun jaringan
yang lain menjadi metabolit yang inaktif. Onset yang cepat, waktu pulih yang
singkat dan efek yang relative non kumulatif menjadikan remifentanyl opioid
yang sering dipakai intraoperasi di negara-negara maju saat ini. Hasil metabolisme
remifentanyl adalah asam remifentanyl, yang juga agonis reseptor u dengan
potensi 1/300-1/4600 dari asalnya. Hasil metabolit yang lain adalah N-dealkilasi
remifentanyl yang juga diekskresikan terutama melalui urin. Dosis 0,25-1
µg/kgBB memberikan efek analgesia yang memuaskan. Namun pemberian
remifentanyl intratekal tidak disarankan oleh karena adanya glisin pada vehikulum
obat ini. Glisin mempunyai efek menginhibisi neurotransmitter pada medulla
spinalis.4
i) Meperidin atau petidin
Meperidin atau petidin merupakan opioid sintetik yang bekerja agonis
terhadap reseptor u (mu) dan k (kappa) sebagai derivat dari fenilpiperidin. Adapun
beberapa analog golongan ini antara lain fentanil, alfentanyl, sufentanyl dan
7
k) Levorfanol
Levorfanol adalah golongan morfinian sintetik yang digunakan sebagai
salah satu terapi nyeri berat. Obat ini pertama kali ditemukan di Jerman tahun
1948. Levorfanol mempunyai afinitas yang sama pada reseptor opiat seperti
morfin tetapi mempunyai efek cross tolerance yang lebih rendah jika
dibandingkan morfin.4
mengatasi nyeri sedang. Efek samping yang seringdari pentazosin adalah sedasi
yang kemudiandiikuti dengan diaforesis dan pusing. Pentazosin menyebabkan
pelepasan katekolamin pada tubuhkita sehingga Pentazosin sebesar 20-30 mg
immempunyai efek analgesia, sedasi dan depresi pernafasan yang setara dengan
10 mg morfin. Tidak seperti morfin, pentazosin tidak memilikiefek miosis pada
pupil mata.4
c) Butorfanol
Butorfanol adalah agonis dan antagonis opioid yang menyerupai
pentazosin. Efek agonisnya 20 kali lebih besar dan efek antagonisnya 10 hingga
30 kali lebih besar jika dibandingkan dengan pentazosin. Butorfanol memiliki
afinitas yang lemah sebagai antagonis pada reseptor u dan afinitas yang sedang
pada reseptor k untuk menghasilkan analgesia dan efek anti menggigil. Pada
prakteknya butorfanol 2-3 mg im menghasilkan efek analgesia dan depresi
pernafasan setara dengan morfin 10 mg. Butorfanol terutama dimetabolisme
menjadi metabolit inaktif hidroksibutorfanol yang diekskresi terutama di empedu
dan sebagian kecil pada urin. Efek samping yang paling sering adalah sedasi,
mual dan diaphoresis. Efek pelepasan katekolamin yang dimiliki pentazosin juga
dimilikioleh butorfanol ini sehingga akan didapat peningkatan laju nadi dan
tekanan darah pada pasien.4
4) Antagonis reseptor µ
a) Nalokson
Nalokson adalah antagonis nonselektif pada ketiga reseptor opioid.
Dengan dosis 1-4µg/kgBB iv dapat membalikkan efek overdosis akibat obat-
obatan opioid. Durasi kerja nalokson sekitar 30-45 menit, sehingga pemberian
continuous 5 µg/kgBB iv/jam perlu dilanjutkan untuk mendapatkan efek yang
maksimal. Nalokson dimetabolisme erutama di hepar melalui proses konjugasi
dengan asam glukoronat menjadi nalokson-3-glukoronid. Pemberian nalokson iv
yang cepat dapat menimbulkan mual dan muntah. Oleh karena itu pemberian
bolus harus pelan yaitu 2-3 menit. Efek stimulasi kardiovaskuler juga sering
ditemukan pada pemberian nalokson ini sebagai akibat dari meningkatnya
aktifitas sistem saraf simpatis dan rangsangan nyeri yang kembali terasa.
10
2.1.4 Farmakokinetik
a) Absorbsi
Sebagian besar analgesik opioid mampu diserap bagus melalui rute
subkutan, intramuscular dan oral. Oleh karena efek first pass metabolism opioid
pada aliran darah di hepar maka dosis oral opioid membutuhkan dosis yang lebih
besar untuk mencapai efek terapeutik, seperti pada morfin. Beberapa jenis opioid
dipercaya lebih efektif jika diberikan melalui rute oral karena kecil yang melalui
first pass metabolism seperti kodein dan oksikodon. Insuflasi melalui nasal juga
bisa menjadi rute pilihan untuk menghindari first pass metabolism. Rute yang lain
yaitu melalui mukosa oral serta transdermal yang diyakini dapat memberikan
analgesik yang poten hingga dalam hitungan hari.4
b) Distribusi
11
2.1.5 Farmakodinamik
Sebagian besar analgesik opioid bekerja pada reseptor u. Efek analgesia,
euphoria, depresi system pernafasan dan ketergantungan fisik yang dipunyai
morin sebagian besar didapat oleh karena efek dari reseptor u.
Perubahan pada sistem kardiovaskuler.
Pemberian opioid dapat mnyebabkan depresi pada otot miokard jantung
serta hipotensi pada system kardiovaskuler. Selain itu tonus simpatis juga
dihambat oleh opioid menyebabkan tonus vena perifer menurun, sehingga
kejadian hipotensi ortostatik sering pada pasien dengan pemberian opioid.
Bradikardi juga dapat terjadi oleh karena overstimulasi nukleus vagus pada
medulla oblongata. Konduksi nodus sinoatrial juga dihambat oleh morfin, hal ini
menyebabkan menurunnya kejadian ventrikel fibrilasi pada pasien yang telah
diberikan morfin. Opioid, terutama morfin juga dapat memberikan efek pelepasan
histamin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah perifer yang kemudian
terjadi penurunan tekanan darah. Namun sebaliknya fentanyl dan sufentanyl tidak
menyebabkan pelepasan histamin.4, 14
Perubahan pada sistem ventilasi pernafasan.
Opioid sebagai salah satu agonis opioid (terutama yang berikatan pada
reseptor u2) dapat memberikan efek depresi pernafasan melalui pusat pengaturan
ventilasi pernafasan di batang otak. Menyebabkan menurunnya kadar asetilkolin
13
pada neuron didaerah pusat pernafasan medulla sehingga menurun juga respon
terhadap CO2. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kadar PaCO2 saat istirahat
serta bergesernya kurva repon CO2 ke kanan. Oleh karena itu pemberian
fisostigmin dapat mengembalikan efek depresi pernafasan pada pemberian opioid
tanpa mengurangi efek analgesianya. Agonis opioid juga mempebgaruhi pons dan
pusat ventilasi medulla yang mengatur irama pernafasan kita, sehingga
memperlama waktu jedah tiap waktu bernafas. Selain itu morfin juga
menyebabkan penurunan gerakan sillier pada jalan nafas yang dose-dependent.4, 14
Penurunan respon batuk.
Efek antitusif juga didapat pada opioid terutama pada kodein yang
terubstitusi pada posisi atom karbon nomor 3 serta pada isomer dekstro opioid
yaitu dekstrometorfan namun tidak mempunyai efek analgesi.4
Sistem saraf pusat.
Selain efek sentralnya pada sistem saraf pusat pengatur pernafasan, opioid
juga memberikan perubahan gambaran EEG. Terdapat perubahan gambaran
gelombang alfa yang cepat dan gelombang delta yang lambat. Terjadi tonus otot
thorakal dan abdominal yang rigid pada pemberian opioid yang cepat terutama
pada pemberian iv. Tertutupnya plika vokalis yang tiba-tiba juga menjadi salah
satu hal yang ditakuti pada pemberian agonis opioid terutama sufentanil. Hal ini
dihubungkan dengan interaksinya pada neuron dopaminergik dan GABA. Inhibisi
pelepasan GABA pada daerah striatal serta peningkatan produksi dopamin
merupakan respon seluler yang menyebabkan kejadian rigiditas. Efek eksitatori
opioid pada nukleus Edinger-westphal nervus okulomotorius merupakan
penyebab pinpoint pada pupil mata pasien yang menerima agonis opioid. Selain
itu morfin juga memberikan efek sedasi yang dose dependent.4, 14
Efek pada Sistem gastrointestinal dan hepatobilier.
Spasme pada otot polos bilier dapat terjadi pada pemberian opioid.
Tekanan intrabillier dapat meningkat hingga 53% pada pemberian morfin dan
99% pada pemberian fentanyl. Kontraksi otot polos duktus pankreatikus dapat
menyebabkan peningkatan kadar amilase dan lipase pada plasma darah, dan
terkadang dapat menjadi membingungkan diagnosis pada pankreatitis akut. (5,6) .
Opioid juga menurunkan gerakan peristaltik pada usus besar dan usus halus, serta
14
meningkatkan tonus sfingter pylorus, katup ileocaecal serta sfingter anus. Hal ini
menyebabkan transit makanan yang cukup lama sehingga penyerapan air
meningkat dan menyebabkan konstipasi. Dahulu kala pertama opium digunakan
oleh manusia sebagai obat diare sebelum populer efek analgesianya. Pengosongan
lambung juga tertunda akibat penggunaan opioid sehingga resiko aspirasi juga
meningkat pada penggunaan opioid. Mual dan muntah juga dapat tercetuskan
pada pemberian morfin olehkarena stimulasi opioid pada CTZ (Chemo Trigger
Zone) yang terdapat pada lantai ventrikel IV otak. Hal ini disebabkan oleh karena
efek agonis parsial opioid pada reseptor dopaminergik di CTZ.4, 14
Sistem urogenital.
Opioid dapat meningkatkan tonus dan aktivitas peristaltik dari ureter.
Selain itu tonus otot detrussor akan meningkat namun sfingter vesika juga
meningkat, hal ini menyebabkan kesulitan pasien untuk miksi. Morfin juga
mempunyai efek antidiuretik oleh karena pelepasan hormon arginin vasopressin.4
Perubahan Kulit.
Pembuluh darah pada kulit akan melebar setelah pemberian morfin,
sehingga terjadi kemerahan dan rasa hangat pada kulit wajah, leher, dan dada
bagian atas. Hal ini dikarenakan sebagai salah satu efek dari pelepasan histamin.
Perubahan Hormonal. Penggunaan opioid yang lama dapat menyebabkan
gangguan pada sistem hipotalamuspituitari-adrenal dan sistem hipotalamus-
pituitarigonad. Akan terjadi penurunan konsentrasi kortisol pada plasma darah.
Selain itu opioid juga dapat meningkatkan kadar hormon prolaktin, dan
menurunkan LH, FSH, Testosteron dan estrogen pada plasma.4
gejala putus zat secara fisik tidak ada lagi. Saat penderita adiksi menemui faktor
pencetus seperti bertemu teman lama yang juga pemakai narkoba, mengalami
stres/ permasalahan, atau ditawari kembali oleh bandar maka seringkali pasien
menggunakan dosis narkoba sama sebelum dia ditahan atau direhabilitasi
sehingga menimbulkan intoksikasi. Ketergantungan narkoba perlu diatasi dengan
konseling yang konsisten. Konseling dan layanan psikiatri dasar sangat
diperlukan. Banyak penyedia layanan terutama di layanan primer yang tidak
memiliki kemampuan dan percaya diri untuk mengatasi ketergantungan NAPZA
termasuk ketergantungan opiat/ opioid. Peningkatan keterampilan tenaga
kesehatan merupakan salah satu kunci keberhasilan pencegahan terjadinya
intoksikasi.15, 16
dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, akan menimbulkan gejala fisik dan
psikis yang khas.13
Di dunia, ketergantungan opioid menimbulkan masalah yang sangat besar
dan luas walaupun populasi penyalahgunan opioid kurang lebih 1 %. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa ketergantungan opioid suntik menimbulkan masalah
sosial, kriminal, kesehatan dan lainnya. Penyalahgunaan opioid berpotensi untuk
menimbulkan komorbiditas gangguan fisik dan gangguan mental. Berbagai
gangguan mental yang sering terjadi misalnya depresi, gangguan kecemasan,
gangguan psikotik, gangguan paranoid, dan lain-lain.13
Beberapa perilaku yang menonjol pada remaja dengan ketergantungan
opioid yang dinamakan sindroma perilaku opioid (heroin behavior syndrome).
Depresi adalah gangguan yang mendasari perilaku tersebut. Depresi pun sering
disertai dengan gejala kecemasan dan impulsivitas yang diekspresikan sebagai
orientasi pasif-agresif dan rasa takut akan kegagalan. Opioid digunakan sebagai
obat anti kecemasan untuk menutupi perasaan rendah diri, ketidakberdayaan dan
agresi tersebut. Komunitas ketergantungan opioid suntik yang sering disebut
Jungki atau IDU (Injection Drugs User).5, 13
Ketergantungan opioid ditandai oleh sekumpulan gejala kognitif, tingkah
laku dan psikologis. The International Classification of Diseases, 10th edition
(ICD-10) mengidentifikasikan gejala-gejala tersebut, antara lain:13
a) keinginan yang kuat untuk menggunakan opioid
b) kesulitan mengontrol penggunaan opioid
c) fase putus obat secara fisiologis
d) toleransi, yakni kebutuhan penggunaan opioid yang meningkat untuk
mendapatkan efek intoksikasi atau keinginan yang meningkat atau jika
menggunakan jumlah yang sama atau berkurang maka efek yang dirasakan
menurun.
e) penggunaan opioid yang tetap walaupun terdapat data yang jelas mengenai
konsekuensi buruk dari penggunaannya.
ICD-10 menyebutkan ketergantungan opioid jika terdapat 3 gejala atau
lebih dari gejala-gejala di atas yang timbul secara simultan pada suatu saat dalam
setahun.
17
Tanda dan gejala pada kriteria B menyebabkan stress atau gangguan yang
nyata secara klnis dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area lainnya yang
penting.12
Tanda dan gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis lainnya dan tidak dapat
diterangkan oleh gangguan mental lainnya, termasuk intoksikasi atau gejala
putus zat oleh zat lainnya.12
Waktu terjadinya dan keparahan dari gejaka putus zat tergantung pada
waktu paruh dari jenis opioid yang digunakan. Sebagian besar individu yang
secara fisiologis tergantung pada NAPZA yang memiliki kerja jangka pendek
seperti heroin akan mulai untuk mengalami gejala putus zat dalam 6-12 jam
setelah dosis terakhir. Gejala putus zat mungkin muncul dalam 2-4 hari jika
opioid yang digunakan merupakan obat yang kerja jangka panjang seperti
metadon, LAAM (L-alpha-acetylmethadol), atau buprenorfin. Gejala putus zat
pada opioid jangka pendek seperti heroin biasanya mengalami puncak dalam 1-3
hari dan secara bertahap menghilang dalam periode 5-7 hari.12
Gejala putus zat yang kurang akut dapat berlangsung selama beberapa
minggu sampai beberapa bulan. Hal ini termasuk gejala kronis seperti cemas,
disforia, anhedonia, dan insomnia. Derajat keparahan dari ketergantungan opiat/
opioid dan gejala somatik yang ditimbulkan dari putus zat merupaka faktor
penyebab utama terjadinya adiksi terhadap opiat/ opioid. Gejala putus zat juga
dapat terjadi jika pasien menurunkan dosis pemakaiannya atau menggunakan
opiat atau opioid yang memiliki kekuatan yang menstimulasi reseptor yang lebih
rendah tetapi memiliki kemampuan berikatan dengan reseptor yang lebih tinggi.
Misalnya jika pasien menggunakan metadon kemudian menyuntikan buprenorfin
maka pasien akan mengalami gejala putus zat karena metadon memiliki efek
menstimulasi reseptor lebih tinggi daripada buprenorfin tetapi buprenorfin
memiliki kemampuan berikatan dengan reseptor yang lebih tinggi dari pada
metadon.12
Diagnosis dan deteksi dini putus zat opioid harus ditegakkan dengan
segera. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan dengan segera dan dalam waktu
singkat. Pemeriksaan fisik dan laboratorium didapatkan gejala utama: mata dan
hidung berair, menguap, berkeringat, agitasi dan iritabel, goosebumps, perasaan
20
panas dan dingin, kehilangan nafsu makan, keinginan kuat untuk menggunakan
heroin (craving), kram perut, diare, mual, muntah, nyeri punggung, nyeri
persendian, tangan atau kaki, sakit kepala, sulit tidur, letargi, fatigue, tidak dapat
istirahat, sulit konsentrasi, keringat meningkat. Kemudian dilakukan pemeriksaan
lab rutin, kadar elektrolit, dan gula darah sewaktu.
Penatalaksanaan:11
Simtomatik sesuai gejala klinis; Analgetik (Tramadol, Asam Mefenamat,
Paracetamol), Spasmolitik (Papaverin), Dekongestan, Sedatif - Hipnotik, Anti
diare.
Subtitusi Golongan Opioida: Kodein, Metadon, Buprenorfin yang diberikan
secara tapering off. Untuk Metadon dan Buprenorfin terapi dapat dilanjutkan
untuk jangka panjang (Rumatan).
Subtitusi non opioida; Klonidin dengan dosis 17mcg/KgBB dibagi dalam 3-4
dosis diberikan selama 10 hari dengan tapering of 10%/hari, perlu pengawasan
tekanan darah. Bila tekanan darah systole kurang dari 100 mmHg atau diastole
kurang dari 70 mmHg maka Klonidin harus dihentikan.
Pemberian sedatif-hipnotika, neuroleptika (yang memberi efek sedatif, misal;
Clozapin 25 mg, atau Klorpromazin 100 mg).
Menteri Kesehatan tetap saja Narkotika jenis baru akan terus bermunculan dan
tidak bisa tersentuh oleh penegakan hukum.10
26
BAB III
KESIMPULAN
27
28