Anda di halaman 1dari 22

referat

BUTA KORTIKAL

Oleh:

Muhammad Ibnu Rahman Syah


NIM. 1711901012

Pembimbing:
dr. ELVINA ZUHIR,Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


ILMU KESEHATAN NEUROLOGI RSUD BANGKINANG
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABDURRAB
PEKANBARU
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis persembahkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus dengan judul “Buta Kortikal”. Shalawat dan salam juga semoga
dilimpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Laporan kasus ini diajukan
sebagai persyaratan untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior Stase Neurologi.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada dr.Elvina
Zuhir Sp.S selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk
membimbing penulis, baik dalam penulisan laporan kasus ini.
Dalam penulisan laporan kasus ini, penulis menyadari bahwa laporan kasus
ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mohon maaf atas segala kesalahan
dan penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
membangun untuk kesempurnaan penulisan laporan kasus berikutnya.

Bangkinang, 17 oktober 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi ............................................................................................. 5
2. Definisi .............................................................................................. 9
3. Epidemiologi ..................................................................................... 9
4. Etiologi .............................................................................................. 10
5. Klasifikasi .......................................................................................... 13
6. Patofisiologi ....................................................................................... 14
7. Manifestasi klinis ............................................................................... 17
8. Diagnosis ........................................................................................... 18
9. Diagnosa banding .............................................................................. 24
10. Penatalaksanaan ................................................................................. 25
11. Prognosis ........................................................................................... 26
BAB III. LAPORAN KASUS ...................................................................... 28
BAB IV. PEMBAHASAN ............................................................................ 39
BAB V. SIMPULAN ...................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 42

3
BAB I
PENDAHULUAN

Buta kortikal adalah kehilangan penglihatan dikarenakan adanya disfungsi


bilateral darikorteks visual di oksipital (V1). Buta kortikal juga selalu digunakan
untuk indikasi keparahan dari gangguan visual yang dikarenakan disfungsi bilateral
jaras genikulokalkarina. Penggunaan istilah buta serebral lebih tepat karena lesi
tidak selalu pada korteks. diperkenalkan istilah ganguan visual korteks (cortical
visual impairment) untuk anak-anak untuk menghindari kesan negatif dari
prognosis yang buruk dari buta kortikal. Namun pada beberapa artikel, penggunaan
istilah gangguan visual kortikal dan buta kortikal dianggap sama. Walaupun pada
pembahasan gangguan visual kortikal lebih ditekankan pada anak-anak sedangkan
buta kortikal digunakan pada orang dewasa.
Angka kejadian buta kortikal pada orang dewasa, belum ada jumlah yang
pasti. Namun pada anak-anak sudah banyak penelitian yang dilakukan sehubungan
dengan gangguan visual kortikal atau buta kortikal yang merupakan penyebab
utama gangguan penglihatan bilateral pada anak-anak di negara Barat. Insidennya
pada anak-anak telah meningkat.
Penyakit ini tidak membahayakan kehidupan. Pada penelitian di lima
Negara berkembang tercatat bahwa jumlah kerusakan otak semakin banyak anak
tunanetra. Dalam studi lain dari Liverpool, Rogers menemukan bahwa gangguan
visual kortikal adalah penyebab paling umum penurunan visual pada anak dengan
gangguan saraf asosiasi.
The Oxford Register of Early Childhood Impairments melaporkan kejadian
secara keseluruhan gangguan penglihatan bilateral sebesar 0,14% dengan 29,5%
dari kasus disebabkan gangguan visual kortikal dan 14,1% karena nystagmus.
Penyebab utama kedua penurunan populasi penelitian ini, Di California
Utara, gangguan visual juga ditemukan menjadi penyebab utama
gangguan penglihatan pada anak-anak di bawah umur 5 tahun.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Korteks Serebri


2.1.1. Anatomi Korteks Serebri

Otak manusia paling berkembang hemisfer cerebri dibanding makhluk lain.


Korteks cerebri merupakan bagian otak yang berhubungan dengan fungsi
intelektual. Korteks cerebri terdiri dari 4 lobus yaitu : lobus frontalis, lobus
parietalis, lobus temporalis, dan lobus oksipitalis.1

5
Korteks cerebri mengandung ± 100 milyar neuron terdiri dari 3 tipe sel yaitu
stellata, fusiform, dan pyramidal yang masing-masing mempunyai axon dan
dendrite yang membentuk sinaps. Tiap bagian dari korteks mempunyai fungsi
spesifik yang dalam kerjanya akan berintegrasi sehingga menghasilkan suatu
aktivitas tubuh. Berdasarkan fungsi dan histologisnya Broadmann membagi korteks
menjadi 47 area. Beberapa area yang terkenal diantaranya : area 4 dan 6 (area
motorik dan premotorik), area 17, 18, dan 19 (area penglihatan primer dan asosiasi),
area 41 dan 42 (area pendengaran primer dan asosiasi).1,2

Kedua hemisfer cerebri tidak simetris baik dalam ukuran maupun fungsinya,
masing-masing hemisfer mendapat rangsang atau menerima impuls dari sisi tubuh
yang kontralateral. Hemisfer kiri dan kanan dihubungkan oleh corpus calosum.
Hemisfer (otak) kiri mempunyai ukuran yang lebih besar dan mengatur fungsi :

 Berbahasa
 Logika
 Angka

6
 Analisis
 Daya ingat
 Rasionalitas
Sedangkan hemisfer kanan mengatur fungsi :
 Visuo-spatial
 Intonasi/irama
 Musik
 Imajinasi/lamunan
 Dimensi

Tiap bagian dari korteks cerebri ini saling berhubungan antar lobus dalam
satu hemisfer melalui jaras asosiasi, dan antar hemisfer melalui jaras tranversa atau
kommisural, sedangkan hubungan korteks cerebri dengan bagian otak di bawahnya
sampai medulla spinalis melalui jaras proyeksi.1,3

a. Lobus Frontalis
Merupakan bagian korteks yang terbesar. Mempunyai bagian-bagian : Girus
presentralis atau korteks motorik, merupakan pusat gerakan motorik kontralateral.
Kelainan pada sisi dominan akan didapatkan Gerstmann Syndrom dengan gejala-
gejala : tak dapat membedakan ekstremitas kiri dan kanan, kesulitan mengenal jari
tangan (finger agnosia), gangguan berhitung (akalkuli), gangguan menulis
(agrafia). Kelainan pada sisi nondominan akan didapatkan gejala : anosognosia (tak
mengenal ekstremitas kontralateral dan tak mengakui kelumpuhannya), apraxia
(kesulitan melakukan suatu tindakan yang kompleks, seperti memakai baju,
menalikan sepatu), geographical agnosia( tidak mengenal lokasi tempat), apraksia
konstruksional ( tak dapat meniru gambar-gambar geometris).1,2
Gangguan pada lobus frontalis dapat menimbulkan gejala-gejala :
Monoplegi atau hemiplegi, disfasia motorik (disfasia ekspresif) ; merupakan suatu
perubahan kepribadian dengan perilaku antisosoial, kehilangan inisiatif, akinetik
mutism, Inkontinensia urine et alvi.

7
b. Lobus Temporalis
Terdapat korteks audotorik,pada sisi dominan berfungai untuk pusat
pendengaran dalam bahasa dan pada sisi nondominan untuk pendengaran dari
suara, irama,dan musik. Pada girus temporalis media dan inferior berhubungan
dengan proses belajar dan memori. Lobus limbik merupakan media dari sensasi
olfaktorik, emosi, dan perilaku afektif. Gangguan pada lobus temporalis dapat
menyebabkan : Tuli sensorik, Gangguan pendengaran irama (amusia), Gangguan
belajar dan ingatan.
Kelainan pada sistem limbik : halusinasi olfaktorik, perilaku agresif dan antisosial,
gangguan ingatan jangka pendek. Kelainan pada hemisfer dominan akan
menimbulkan disfasia Wernicke atau disfasia reseptif.1

c. Lobus oksipitalis
Terdapat korteks visual yang berhubungan dengan fungsi persepsi visual
yang terletak pada sulkus calcarina (korteks striata) yang diapit oleh korteks
parastriata. Korteks striata (area 17) merupakan korteks visual primer dan korteks
parastriata (area18 & 19) merupakan korteks asosiasi visual. Gangguan pada lobus
oksipitalis dapat menyebabkan: Gangguan lapang pandang, Buta kortikal bila
kelainannya di korteks striata (area17), Gangguan interpretasi visual bila
kerusakannya di korteks striata dan parastriata, Area Broca, merupakan pusat bicara
ekspresif, Area suplementer motorik, merupakan pusat pergerakan konjugasi
kepala dan mata.1

d. Lobus Parietalis
Mempunyai bagian-bagian : Girus postsentral berfungsi untuk menerima
jaras aferen untuk rasa posisi, raba, dan gerakan pasif. Girus supramarginal dan
angular hemisfer dominan untuk area reseptif untuk bahasa dimana komprehensi
anatara aspek pendengaran dan visual berintegrasi Selain itu berfungsi juga untuk:
kemampuan kalkulasi, kemampuan untuk konstruksi tubuh, dan pada hemisfer
dominan untuk konsep body image dan kesiagaan terhadap lingkungan eksternal.
Gangguan pada lobus parietalis dapat menyebabkan : Gangguan rasa posisi,

8
Gangguan sensorik gerakan pasif, Gangguan rasa halus, Gangguan two point
discrimination, Astereognosia (gangguan mengenal bentuk melalui perabaan),
Afasia reseptif atau afasia sensorik.1

2.2. Sistem Penglihatan


2.2.1 Anatomi Sistem Penglihatan

Mata merupakan salah satu alat indera yang berfungsi untuk melihat. Organ-
organ mata yang penting dalam proses melihat :

9
2.2.2 Fisiologi Penglihatan
Proses melihat terjadi karena adanya cahaya yang menyinari objek tertentu
sebagai stimulusnya. Cahaya yang dapat ditangkap oleh mata manusia (visible
light) adalah cahaya dalam spektrum elektromagnetik yang memiliki panjang
gelombang sekitar 380 – 760 nm. Bila mata melihat sebuah objek maka cahaya akan
masuk melalui kornea, kemudian melewati celah pupil pada iris yang akan
mengatur banyaknya sinar yang masuk, lalu melewati lensa yang dapat memipih
dan mencembung sehingga sinar dapat difokuskan ke bintik kuning yang berada
pada retina. Setelah sampai di retina cahaya tadi diteruskan sebagai impuls saraf
oleh N. II (N. optikus) menuju ke otak di lobus oksipitalis, yaitu ke korteks
penglihatan primer (area 17) sehingga benda tadi dapat dilihat, dan korteks
penglihatan sekunder atau korteks asosiasi penglihatan (area 18 dan 19) sehingga
benda tadi dapat dipahami.3,6
Sistem ini terdiri dari retina, N.optikus (N.II), khiasma optikus, traktus
optikus, korpus genikulatum lateral (CGL) radiatio genekulo-kalkarina, korteks
kalkarina primer, korteks asosiasi dan lintasan antar hemisfer. Cahaya yang tiba di
retina diterima oleh sel batang dan sel kerucut sebagai gelombang cahaya.
Gelombang mencetuskan impuls yang dihantarkan oleh serabut-serabut sel di
stratum optikum ke otak. Jika cahaya berproyeksi pada makula, gambaran yang
dilihat adalah tajam. Proyeksi cahaya di luar nmakula menghasilkan penglihatan
yang kabur. Proyeksi sesuatu benda yang terlihat oleh kedua mata terletak pada
tempat kedua makula secara setangkup, apabila proyeksi itu tidak menduduki
tempat yang bersifat setangkup, maka akan terlihat gambaran penglihatan yang
kembar (diplopia). Nervus optikus memasuki ruang intrakranium melalui foramen
optikum. Di daerah tuber sinerium (tangkai hipofise) nervus optikus kiri dan kanan
tergabung menjadi satu berkas untuk kemudian berpisah lagi dan melanjutkan lagi
perjalanannya ke korpus genikulatum laterale dan kolikulus superior. Tempat kedua
nervi optisi bergabung menjadi satu berkas dinamakan khiasma. Di situ serabut-
serabut nervus optikus yang menghantarkan impuls visual dari belahan temporal
dari retina tetap pada sisi yang sama. Setelah mengadakan pergabungan tersebut

10
nervus optikus melanjutkan perjalanannya sebagai fraktus optikus. Julukan yang
berbeda untuk serabut - serabut nervus optikus dari kedua belah sisi itu berdasarkan
karena nervus optikus aialah berkas saraf optikus (sebelum khiasma) yang terdiri
dari seluruh serabut optikus yang

berasal dari retina mata kiri atau kanan, sedangkan traktus optikus ialah berkas
serabut optikus yang sebagian berasal dari belahan nasal retina sisi kontralateral
dan sebagian dari belahan temporal retina sisi homolateral. Serabut-serabut optik
yang bersinaps di korpus genikulatum laterale merupakan jaras visual, sedangkan
yang menuju ke kolikulus superior menghantar impuls visual membangkitkan
refleks optosomatik. Setelah bersinaps di korpus genikulatum laterale,
penghantaran impuls visual selanjutnya dilaksanakan oleh serabut –serabut
genikulo kalkarina, yaitu juluran ganglion yang menyusun korpus genikulatum
laterale yang menuju ke korteks kalkarina. Korteks kalkarina ialah korteks perseptif
visual primer (area 17). Setibanya impuls visual di situ terwujudlah suatu sensasi
visual sederhana. Dengan perantaraan korteks area 18 dan 19 sensasi visual itu
mendapat bentuk dan arti, yakni suatu penglihatan. Untuk impuls yang menuju
kolikulus superior akan diteruskan ke kompleks inti pre tektal. Neuron interkalasi
menghubungkan kompleks inti pretekral dengan inti Edinger Westphal, neuron
inter kalasi ini ada yang menyilang dan ada yang tidak menyilang. Neuron eferent
parasimpatik, berjalan bersama N III, mengikuti divisi interior, lalu mengikuti
cabang untuk m.obiliquus inferior dan akhirnya mencapai ganglion ciliare, setelah
bersinap disini, serabut post ganglioner (n.ciliaris brevis) menuju m.sfincter
papillae.

a. Lobus Oksipital
Occipital Lobe (lobus oksipital) adalah bagian terkecil dari empat pasangan
lobus dalam korteks otak manusia. Lobus ini terletak di bagian paling belakang
tengkorak. Occipital lobe merupakan pusat pemrosesan visual dari otak yang berisi
sebagian besar wilayah anatomi visual cortex. Di dalam occipital lobe terdapat
korteks visual primer yang merupakan fungsi terpenting yang menyangkut aspek

11
penglihatan. Terdapat korteks visual yang berhubungan dengan fungsi persepsi
visual yang terletak pada sulkus calcarina (korteks striata) yang diapit oleh korteks
parastriata. Korteks striata (area 17) merupakan korteks visual primer dan korteks
parastriata (area18 & 19) merupakan korteks asosiasi visual.

Proses penglihatan terjadi berasal dari stimulus yang datang dari retina,
kemudian dibawa oleh saraf penglihatan kepada thalamus dan menuju ke occipital
lobe. Setelah informasi visual diproses di occipital lobe, kemudian diteruskan ke
bagian parietal, yang mengkombinasi dan mengintegrasikan informasi dari
berbagai sumber, sehingga seseorang memiliki pemaknaan visual dan visuospatial
terhadap stimulus yang dilihat. Jika terdapat gangguan pada occipital lobe, maka
otak gagal mengirimkan sinyal dari stimulus, sehingga proses terputus hanya
sampai fungsi penglihatan, tidak sampai diteruskan pada fungsi persepsi pada
parietal. Akibatnya seseorang hanya mampu menangkap cahaya atas stimulus yang
dilihat tanpa mampu memaknakan stimulus tersebut. Salah satu gangguan occipital
lobe adalah Anton’s syndrome. Gangguan pada lobus oksipitalis dapat
menyebabkan: Gangguan lapang pandang, Buta kortikal bila kelainannya di korteks
striata (area17), Gangguan interpretasi visual bila kerusakannya di korteks striata
dan parastriata, Area Broca, merupakan pusat bicara ekspresif, Area suplementer
motorik, merupakan pusat pergerakan konjugasi kepala dan mata.

2.2.3 Sistem Vaskularisasi Lobus Oksipital


Arteri Serebri Posterior (ASP) memperdarahi korteks oksipital, thalamus
dam mesensefalon. Arteri kalkarina yang merupakan cabang dari arteri oksipital
interna memperdarahi korteks visual primer. Daerah korteks makular yang terletak
pada bagian paling posterior menerima darah dari arteri kalkarina dan cabang arteri
serebri media, hal ini yang akan menerangkan timbulnya gejala makular sparing
pada oklusi ASP. Beberapa cabang ASP yaitu arteri koroidalis posterior medial dan
lateral, arteri thalamus perforate dan arteri talamo-genikulate dimana akan
memperdarahi glandula pineal, plexus koroidalis, thalamus , basal ganglia. Okulasi

12
a.kalkarina (salah satu cabang a.oksipitalis interna) menimbulkan HH
oksipital/kortikal dengan macular sparing karena kutub posterior korteks visual
primer diperdarahi juga oleh cabang ACM.
Dikenal 5 tipe hemianopia oksipital:

1. Hemianopia homonim (HH) (75%)


2. Quadrantopia homonim (16%)
3. HH bilateral (6%)
4. Skotoma parasentral homonim (3%)
5. Hemianopia cross quadrant/checkerboard
Okulasi ASP bilateral atau okulasi bagian rostral a.basilaris menimbulkan
buta kortikal dengan denial of blindness (sindroma Anton) dimana penglihatan, dan
persepsi cahaya tetapi refleks cahaya normal, tetapi seringkali masih tersisa sedikit
sekali penglihatan terutama untuk obyek yang dikenalnya (Toll, 1984), penderita
buta tetapi menyangkal kebutaannya, melaporkan pengalaman-pengalaman visual,
bertindak tanduk seperti penglihatannya normal afasia amnestik, gangguan memori
baru yang berat, konfabulasi dan deteriorisasi intelektual. Bila areal 18 dan 19
(psychic visual area) juga rusak, maka timbul aonosia visual (tidak mampu
mengenal/memberi nama pada obyek yang dilihat tetapi masih dapat mengenalnya
dengan perabaan, penciuman atau didengarkan suaranya) prosopagnosia, halusinasi
visual yang berbentuk, polinopsia (masih melihat bayangan/wajah setelah objeknya
menghilang), allthesia (bayangan visual ditransposisikan dari lapang pandang satu
sisi ke sisi lain), central dazzle (intoleransi terhadap cahaya tanpa rasa nyeri).
Korteks oksipital bawah penting untuk persepsi warna, lesi di daerah tersebut
menimbulkan buta warna, color anomia, kecerahan warna hilang atau bertambah
atau sekeliling penderita menjadi berwarna. Perbaikan infark lobus oksipital
ditandai oleh timbulnya fenomena Riddoch dimana penderita mampu melihat
gerakan tetapi tidak mampu mengenal bentuk, sumber cahaya yang diam tidak
terlihat tetapi bila digerak-gerakkan akan terlihat.

13
2.3.1. Cortical Blindness
2.3.2 Definisi
Buta kortikal adalah gangguan penglihatan yang sementara atau menetap
dikarenakan adanya gangguan jaras visual posterior dan atau kerusakan di lobus
oksipital di otak. Selain itu, dari literatur yang berbeda, buta kortikal adalah tipe
kebutaan yang terjadi akibat masalah di otak. Kondisi ini tercipta karena
menurunnya fungsi penglihatan akibat gangguan fungsi korteks. Orang yang
mempunyai mata yang berfungsi normal dan baik, bisa saja mengalami buta
kortikal. Buta kortikal adalah kehilangan penglihatan dikarenakan adanya disfungsi
bilateral dari korteks visual di oksipital.
Meskipun mata yang terkena secara fisik normal dan sehat, kerusakan hasil
otak secara penuh atau parsial kehilangan penglihatan. Pupil mata cortically buta
masih melebarkan dan menyempitkan sebagai respon terhadap perubahan cahaya,
karena reaksi ini adalah refleks, dan tidak bergantung pada otak. sindrom Anton-
Babinski, merupakan gejala yang jarang terjadi kerusakan otak, dinamai ahli saraf
Gabriel Anton dan Joseph Babinski, pasien cortically buta, tetapi menekankan pada
kemampuan untuk melihat. Sindrom Anton-Babinski terjadi paling sering setelah
stroke, tetapi juga bisa terjadi akibat cedera kepala. Dalam fenomena Riddoch, jenis
kebutaan kortikal, lesi di korteks oksipital menyebabkan pasien kehilangan
kemampuan untuk melihat objek statis. Pasien dapat melihat gerakan, tetapi dalam
beberapa kasus tidak dapat melihat bentuk atau warna benda bergerak.

2.3.2 Etiologi
Ada banyak kemungkinan penyebab kebutaan kortikal. Hal ini dapat
menjadi hasil dari kerusakan fisik pada korteks oksipital, seperti lesi. Hal ini juga
dapat disebabkan oleh oklusi arteri serebral posterior, yang memasok korteks
oksipital dengan darah beroksigen. Ini juga merupakan efek samping dari
penggunaan jangka panjang dari beberapa antikonvulsan, obat resep yang
digunakan untuk mengobati serangan epilepsi.

14
Kebutaan kortikal disebabkan oleh hipoksia atau anoksia yang melibatkan
lobus oksipital yang disebabkan oleh salah satu insufisiensi vaskular atau dengan
peningkatan tingkat metabolisme selama periode seizures. Hyperviscosity di NKH
dapat menyebabkan dehidrasi glial dan jaringan pendukung lainnya dengan
akumulasi radikal bebas. Yang dihasilkan edema sitotoksik mungkin membatasi
difusi zat yang dapat menyebabkan blindness. Transien hiperglikemia Non - ketotic
diketahui menyebabkan hemianopia homonim tanpa bukti adanya lesi struktural
jelas pada scanning tetapi tidak ada laporan dari kebutaan kortikal pada pasien
NKH.
Dalam sebuah buku, buta kortikal bisa dikarenakan perdarahan serebral, tumor,
infark pada vena, cardiopulmonary arrest , emboli udara dan lemak, herniasi uncus,
dan demielinisasi. Untuk buta kortikal sementara, penyebabnya bisa dari iskemik,
cerebral atau coronary arteriography, obat-obatan (siklosporin), trauma kapitis,
kejang, migraine, myelografi (Devinsky).

2.3.3 Klasifikasi
Pembagian buta kortikal yaitu buta kortikal total dan buta kortikal parsial. Pada buta
kortikal proses visual masih lebih bagus dari buta kortikal total. Lapangan pandang
dan ketajaman penglihatan bisa saja normal tapi terjadi gangguan pada korteks
asosiasi berakibat ketidakmampuan melihat objek secara normal.

2.3.4 Gejala Klinis


Ketika kebutaan kortikal kurang dari jumlah, ia juga disebut gangguan
penglihatan kortikal (CVI). Gejala CVI mungkin termasuk kemampuan visual yang
bervariasi dari hari ke hari, perbedaan dalam kemampuan visual antara dua mata,
bidang sempit visi, dan fotofobia atau keengganan terhadap cahaya. Jika CVI lebih
buruk dalam satu mata daripada di lain persepsi kedalaman, gangguan bisa terjadi.
Seorang pasien dengan CVI juga mungkin dapat melihat beberapa jenis benda lebih
baik daripada yang lain; misalnya, ia mungkin dapat membaca teks, tetapi
mengalami kesulitan mengamati wajah. CVI tidak biasanya berhubungan dengan

15
hilangnya kemampuan untuk melihat warna, tetapi beberapa warna, terutama
kuning dan merah, mungkin lebih mudah untuk melihat daripada yang lain.

2.3.5. Patofisiologi
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, penyebab tersering dari buta
kortikal pada pasien dewasa adalah infark bilateral pada area broadmann 17 yang
merupakan area visual primer. Pada dasarnya, kejadian buta kortikal ini tidak harus
terbatas hanya pada area 17 tersebut, tetapi dapat juga melibatkan area asosiasinya,
yaitu area 18 dan area 19. Hal ini dikarenakan impuls penglihatan tersebut akan
diintegrasikan dan dipersepsikan untuk kemudian menjadi bentuk dan arti suatu
penglihatan.
Perjalanan untuk menjadi buta kortikal ini dapat secara perlahan-lahan,
namun dapat juga terjadi secara akut. Kejadian buta kortikal yang terjadi secara
perlahan-lahan dijumpai pada pasien stroke unilateral pada lobus oksipital yang
kemudian mengalami kemungkinan akan berkembang pengurangan presepsi visual
secara kontralateral dan menjadi buta kortikal dalam 3-4 tahun. Perkembangan ini
berhubungan dengan umur yang lebih tua, riwayat keluarga mengenai penyakit
vaskular, penyakit jantung, merokok, diabetes melitus, perluasan infark sampai ke
area sylvian dan tanpa adanya kemajuan penglihatan setelah stroke yang sesisi.
Sedangkan kejadian buta kortikal yang terjadi secara mendadak umum
disebabkan oklusi arteri serebral posterior (Devinsky). Oklusi arteri serebral
posterior bilateral atau oklusi bagian rostral a.basilaris menimbulkan buta kortikal
dengan denial of blindness (sindroma Anton) dimana penderita buta tetapi
menyangkal kebutaannya, dan melaporkan pengalaman-pengalaman visual,
bertindak tanduk seperti penglihatannya normal, afasia amnestik, gangguan memori
baru yang berat, konfabulasi dan deteriorisasi intelektual.
Berbeda dengan pasien dewasa, anak yang mengalami kejadian buta
kortikal lebih sering diakibatkan oleh hiposik iskemik ensefalopati. Secara
anatomis, daerah perbatasan antara vaskularisasi arteri cerebri anterior dengan
media, dan antra arteri cerebri media dengan posterior dikenal sebagai daerah

16
watershed karena merupakan daerah dengan kemungkinan peling tinggi mengalami
hipoperfusi. Keadaan hipoksia berkepanjangan yang dialami oleh bayi akan
mengakibatkan hilangnya mekanisme autoregulasi cerebral sehingga daerah
tersebut dengan cepat menaglami hipoperfusi yang mengakibatkan infark pada
daerah parietooccipitalis. Daerah korteks calcarina (area 17) merupakan daerah
yang paling sering terkena, dan daerah daerah di sekitarnya juga sering mengalami
imbas negative walaupun tidak selalu.
Di masa lalu, tercatat infeksi merupakan salah satu penyebab penting
kejadian buta kortikal pada anak-anak. Infeksi terutama oleh Haemophillus
influenza, Pneumococci, Meningococci dan herpes simplex virus tercatat sebagai
1,8% penyebab buta kortikal pada anak. Infeksi oleh mikroorganisme tersebut
diduga menyebabkan keadaan trombophlebitis yang disertai dengan oklusi arteri
setempat dan mengakibatkan keadaan buta kortikal.
Migraine, epilepsi dan spasme infantile juga tercatat menjadi salah satu
penyebab kejadian buta kortikal. Dalam hal ini, keadaan vasospasme yang
menginduksi munculnya gejala migraine dan kejang tersebut akan berakibat
timbulnya iskemia pada beberapa daerah korteks termasuk korteks calcarina dan
menyebabkan gejala buta kortikal. Keadaan ini dapat bersifat transien (sementara)
dan kemudian daya penglihatan kembali menjadi normal.

2.3.5 Patogenesis
Sistem visual bagaimana seseorang dapat melihat dengannormal. Sistem ini
terdiri dari retina, N.optikus (N.II), khiasma optikus, traktus optikus, korpus
genikulatum lateral (CGL) radiatio genikulo-kalkarina, korteks kalkarina primer,
korteks asosiasi dan lintasan antar hemisfer. Cahaya yang tiba di retina diterima
oleh sel batang dan sel kerucut sebagai gelombang cahaya. Gelombang
mencetuskan impuls yang dihantarkan oleh serabut-serabut sel di striatum optikum
ke otak. Jika cahaya berproyeksi pada makula, gambaran yang dilihat adalah tajam.
Proyeksi cahaya di luar makula menghasilkan penglihatan yang kabur. Proyeksi
sesuatu benda yang terlihat oleh kedua mata terletak pada tempat kedua makula

17
secara setangkup,apabila proyeksi itu tidak menduduki tempat yang bersifat
setangkup, maka akan terlihatgambaran penglihatan yang kembar (diplopia).
Nervus optikus memasuki ruang intrakranium melalui foramen optikum. Di daerah
tuber sinerium (tangkai hipofise) nervus optikus kiri dan kanan tergabung menjadi
satu berkas untuk kemudian berpisah lagi dan melanjutkan lagi.8

2.3.6 Prognosis
Prognosis untuk pasien dengan kebutaan kortikal tergantung pada
penyebabnya, tingkat keparahan, durasi, kecepatan awal recovery, usia, dan
riwayat kesehatan. Dalam hal ini, harapan pada prognosis visual yang buruk
mengingat usianya, sejarah diabetes dan hipertensi dan hal itu sangat
mempengaruhi.7

18
BAB III

KESIMPULAN

Kerusakan pada lobus oksipital dan gangguan jaras visual posterior dapat
menyebabkan seseorang mengalami cortical blindness dimana seseorang
mengalami gangguan penglihatan yang sementara atau menetap. Sebagian dari
orang yang mengalami gangguan ini hanya mengetahui sedikit atau tidak
mengetahui sama sekali bahwa mereka mengalami gangguan penglihatan. Lobus
Oksipital adalah bagian terkecil dari empat pasangan lobus dalam korteks otak
manusia. Lobus ini terletak di bagian paling belakang tengkorak. Lobus oksipital
merupakan pusat pemrosesan visual dari otak yang berisi sebagian besar wilayah
anatomi korteks visual. Jika terdapat gangguan pada lobus oksipital seperti pada
Sindrom Anton, maka otak gagal mengirimkan sinyal dari stimulus, sehingga
proses terputus hanya sampai fungsi penglihatan, tidak sampai diteruskan pada
fungsi persepsi pada parietal. Akibatnya seseorang hanya mampu menangkap
cahaya atas stimulus yang dilihat tanpa mampu memaknakan stimulus tersebut.
Adapun etiologi dari buta kortikal adalah tumor, infark pada
vena,cardiopulmonary arrest, emboli udara dan lemak, herniasi uncus, dan
demielinisasi. Untuk buta kortikal sementara, penyebabnya bisa dari iskemik,
cerebral atau coronaryarteriography, obat-obatan (siklosporin), trauma kapitis,
kejang, migraine, myelografi. Managemen yang tepat untuk kondisi ini adalah
dengan cara fokus terhadap penanganan rehabilitasi.
Diagnosa ditegakkan dari anamnesa dan pemeriksaan penunjang berupa CT
Scan atau MRIyang memperlihatkan lesi di korteks oksipitalis. Adapun diagnosa
banding buta kortikaladalah lesi di jaras visual lebih awal, histeria, dan visual
agnosia. Pengobatan pada butakortikal tergantung pada penyakit yang
mendasarinya.Pada penelitian Aldrich, ditemui prognosis terbaik dijumpai pada
pasien dibawah 40 tahun,tanpa riwayat hipertensi atau diabetes melitus dan tanpa
adanya hubungan dengan gangguan memori, bahasa, dan kognitif. Dari penelitian

19
tersebut disimpulkan prognosis buruk dijumpai pada buta kortikal akibat stroke dan
bila adanya abnormalitas biooksipital pada pemeriksaan CT-Scan.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Stephen G Waxman, 2010. The Visual System, dalam Clinical


Neuroanatomy 26th ed. New York. McGraw-Hill: 211 ± 218

2. Luis H Opina, 2009. Cortical Visual Impairment, dalam American


Academy of Pediatrics: Pediatrics in Review vol 30: e81 ± e90

3. Iskandar Japardi, 2002. Kelainan Neurooftalmologik pada Pasien Stroke.


FK USU. Availabel from http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-
iskandar%20japardi16.pdf [Accessed Oktober 16, 2018]
4. Roger P Simon, David A greenberg. Michael J Aminoff. 2009.
Disturbance in Vision, dalam Clinical Neurology 7th ed International Edition.
New York. McGrawHill: 125 - 148

5. Melamed, E., Abraham F.A., dan S. Lavy. Cortical Blindness as a


Manifestation of Basilar Artery Occlusion. Europan Neurology, Vol.11. Kargel.
Yerussalem. 22-29.
Available from:http://content.karger.com/ProdukteDB/produkte.asp?Doi=114302
[Accessed Oktober 16, 2018]

6. Byron L Lam, Jonathan Trobe. 2011. Cortical Blindness; A Clinical


Summary. Available from http://www.medlink.com/medlinkcontent.asp
[Accessed Oktober 16, 2018]

7. Michael S Aldrich, Anthony G Alessi, Roy W Beck, 1987. Cortical


Blindness: Etiology, Diagnosis and Prognosis. Annals of Neurology vol 21 (2):
149 ± 158.

21
8. Fazel, Farhad dan Ali Abdalvand. Transien Cortical Blindness: A Ust
Know Complication of Coronary Angiography: A Case Report. ARYA
Atherosclerosis Journal. 2009. 49-50. Available from:
http://crc.mui.ac.ir/arya/arya/sounds/1691/1691_0.pdf [Accessed Oktober 16,
2018]

22

Anda mungkin juga menyukai