TRAUMATIC ICH
Disusun Oleh:
Dewi Astri Khairina
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Traumatic ICH” Penulisan laporan kasus ini adalah
salah satu syarat menyelesaikan kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan
Profesi Dokter di Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas KedokteranUniversitas
Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ridha
Dharmajaya, M. Ked (Neurosurg), Sp. BS, selaku supervisor pembimbing yang
telah meluangkan waktu dan memberikan masukan dalam penyusunan laporan
kasus ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga
laporan kasus ini bermanfaat. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1LATAR BELAKANG
1.2TUJUAN
1.3MANFAAT
Paper ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan pemahaman
penulis serta pembaca khususnya peserta P3D untuk lebih memahami dan
mengenal ICH, terutama tentang penegakan diagnosis dan tatalaksana.
5
2.1 Anatomi
Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk oleh
mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria dan dura mater
disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater kranialis dan pia mater kranialis
terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks serebri. Sulkus dan fisura korteks serebri
membagi hemisfer serebri menjadi daerah lebih kecil yang disebut lobus.2
Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer.
Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan
hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kanan.
Masingmasing hemisfer terdiri dari empat lobus. Bagian lobus yang menonjol
disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut sulkus. Keempat
lobus tersebut masing-masing adalah lobus frontal, lobus parietal, lobus oksipital
dan lobus temporal2
a. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum.
Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan bagian
belakang oleh garis yang ditarik dari sulkus parieto-oksipital ke ujung
posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah ini berfungsi untuk menerima
impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan dengan segala
bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatic.3
b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan
dari serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral
dari Rolando. Pada daerah ini terdapat area motorik untuk mengontrol
gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca sebagai pusat bicara; dan
area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual3
c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus
oksipital oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas
sulkus lateral. Lobus temporal berperan penting dalam kemampuan
pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara3
d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal.
Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan
manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap
oleh retina mata3
e. Lobus Limbik
Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi manusia, memori emosi dan
bersama hipothalamus menimbulkan perubahan melalui pengendalian atas
susunan endokrin dan susunan otonom. 4 Apabila diuraikan lebih detail,
7
setiap lobus masih bisa dibagi menjadi beberapa area yang punya fungsi
masing-masing, seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
makan dan tidur. Bila terdapat massa pada batang otak maka gejala yang sering
timbul berupa muntah, kelemahan otat wajah baik satu maupun dua sisi, kesulitan
menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun. 2
Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu: 4
a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian
teratas dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum.
Saraf kranial III dan IV diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah
berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata,
pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran
b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain
dan medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf
Kranial (CN) V diasosiasikan dengan pons
c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak
yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata terletak
juga di fossa kranial posterior. CN IX, X, dan XII disosiasikan dengan
medulla, sedangkan CN VI dan VIII berada pada perhubungan dari pons
dan medulla
2.2 Definisi
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang terjadi di otak yang
disebabkan oleh pecahnya (ruptur) pada pembuluh darah otak. Perdarahan dalam
dapat terjadi di bagian manapun di otak. Darah dapat terkumpul di jaringan otak,
ataupun di ruang antara otak dan selaput membran yang melindungi otak.
Perdarahan dapat terjadi hanya pada satu hemisfer (lobar intracerebral
hemorrhage), atau dapat pula terjadi pada struktur dari otak, seperti thalamus,
basal ganglia, pons, ataupun cerebellum (deepintracerebral hemorrhage).5
2.3 Etiopatogenesis1
•Patofisiologi
Pada orang normal terdapat sistem autoregulasi arteri serebral, dimana bila
tekanan darah sistemik meningkat maka pembuluh serebral akan vasokonstriksi,
sebaliknya bila tekanan darah sistemik menurun maka pembuluh serebral akan
vasodilatasi, dengan demikian aliran darah ke otak tetap konstan. Batas atas
tekanan darah sistemik yang masih dapat ditanggulangi adalah tekanan darah
sistolik 150-200 mmHg dan diastolic 110-120 mmHg. Ketika tekanan darah
sistemik meningkat, pembuluh serebral akan berkonstriksi, namun bila keadaan ini
terjadi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, akan menyebabkan degenerasi
pada lapisan otot pembuluh serebral, yang akan menyebabkan pembuluh diameter
lumen pembuluh darah menjadi sulit berubah. Hal ini berbahaya karena pembuluh
10
serebral tidak dapat berdilatasi atau berkonstriksi dengan leluasa untuk mengatasi
fluktuasi tekanan darah.
Teori yang dikemukakan oleh Kaplan (1990), jika terjadi peningkatan tekanan
darah kronis maka akan menyebabkan kerusakan spesifik pembuluh darah melalui
tiga mekanisme yang saling berhubungan, yaitu pulsatile flow, endothelial
denudation, dan replikasi sel otot polos. Namun yang dapat menyebabkan
perdarahan intraserebral adalah mekanisme pulsatile flow, dimana tekanan darah
yang tinggi akan menyebabkan tekanan pada jaringan kolagen dan elastin dinding
pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan kerusakan berupa medionekrosis,
aneurisma, dan perdarahan.
Bila pembuluh darah pecah akan terjadi perdarahan atau hematom sampai dengan
maksimal 6 jam, yang akan berhenti sendiri akibat pembentukan bekuan darah dan
ditampon oleh jaringan sekitarnya. Jika perdarahan terus berlanjut dengan volume
yang besar akan merusak struktur anatomi otak, ditambah lagi terjadinya edema
awal disekitar hematom akibat pelepasan dan akumulasi protein serum aktif
osmotic dari bekuan darah. Akibatnya akan destruksi massa otak dan terjadi
peninggian tekanan intracranial yang menyebabkan tekanan perfusi otak yang
menurun serta terganggunya aliran darah otak. Proses ini akan berlanjut terjadinya
kaskade iskemik dan terjadinya edema sitotoksik yang akan menyebabkan
kematian sel otak, dan massa didalam otak akan bertambah sehingga dapat terjadi
herniasi otak yang dapat menyebabkan kematian.
11
Malformasi (AVM)
Aneurisma
Aneurisma merupakan suatu kelainan congenital pada pembuluh darah,
dimana terjadi gangguan perkembangan dinding pembuluh darah yaitu pada
tunika media dan lamina elastika. Akibat adanya gangguan pada tunika media,
dan terjadi perubahan degeneratif sehingga dapat terjadi destruksi local pada
membrane elastika interna yang menyebabkan tunika intima menonjol dan
membentuk suatu aneurisma bentuk sakuler. Ukuran aneurisma ini rata-rata
7,5 mm, bila > 10 mm maka akan mudah terjadi ruptur.
Amiloid Angiopati
Cerebral amiloid angiopati atau disebut juga congophilic angiopati
merupakan suatu kelainan pada dinding pembuluh darah otak akibat deposit
protein beta amiloid. Deposit ini terjadi pada dinding arteri tunika media dan
tunika adventisia arteri kecil atau sedang yang terletak di korteks,
leptomeningen dan subkortikal substansia alba dimana menggantikan jaringan
kolagen dan elemen kontraktilitas pembuluh darah dengan amiloid protein
beta ini. Deposit amiloid ini menyebabkan kerusakan pada tunika media dan
adventisia pembuluh darah otak kortikal dan leptomeningen. Terjadi
penebalan membran basalis sehingga terjadi stenosis lumen pembuluh darah
dan fragmentasi/kerusakan pada tunika lamina elastika interna, sehingga
12
dinding pembuluh darah menjadi rapuh dan mudah terjadi ruptur pembuluh
darah.
Tumor Otak
Tumor otak dapat menyebabkan perdarahan intraserebral biasanya oleh jenis
tumor ganas yang primer atau bentuk metastasis dengan presentasi 510%.
Tumor otak primer yang dapat mengalami perdarahan adalah glioblastoma,
oligodendroma, medulloblastoma, hemangioblastoma atau metastase. Namun
yang paling sering terjadi adalah pada glioblastoma dan metastase. Metastase
yang sering alami perdarahan intraserebral adalah tumor primer melanoma,
karsinoma bronkial, karsinoma ginjal dan choriokarsinoma. Perdarahan diduga
karena rapuhnya pembuluh darah abnormal dalam tumor yang kaya akan
komponen vaskuler.
Diskrasia darah
Yang termasuk diskrasia darah yang dapat menyebabkan perdarahan
intraserebral adalah anemia sickle cell, leukimia dan hemofilia serta gangguan
koagulasi yang didapat, misalnya pada penyakit hepar yang berat seperti
sirosis hepar dan hepatitis fulminan dapat menyebabkan gangguan sintesis
faktor pembekuan, peningkatan fibrinolisis, dan trombositopenia.
Antikoagulan
Pada penggunaan obat antikoagulan heparin atau warfarin, sekitar 9% dapat
terjadi perdarahan intraserebral. Biasanya terjadi perdarahan apabila
antikoagulan digunakan secara berlebihan atau penggunaan jangka panjang
dengan insidens 8-11 kali jika dibandingkan pada pasien yang tidak
mendapatkan antikoagulan. Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan
13
Trombolitik
Perdarahan merupakan gejala toksisitas mayor pada penggunaan obat-obat
trombolitik, hal ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu:
- Lisisnya fibrin pada trombin yang terbentuk di pembuluh darah yang luka
- Lisis sistemik yang diakibatkan oleh pembentukan plasmin, fibrinolisis
dan destruksi faktor-faktor pembekuan.
Namun mekanisme yang mendasari terjadinya perdarahan otak ini belum
diketahui jelas.
Vaskulitis
Vaskulitis merupakan penyakit inflamasi pada pembuluh darah arteri dan
vena, misalnya penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (SLE). SLE secara
histologis ditandai dengan adanya inflamasi mononuclear sel raksasa (giant
cell) dalam tunika media dan adventisia arteri dan vena berukuran kecil dan
sedang. Keadaan ini menyebabkan lemahnya dinding pembuluh darah
sehingga terbentuk mikroaneurisma. Rupturnya pembuluh darah tersebut oleh
karena adanya riwayat hipertensi atau penyakit lain yang dapat memicunya.
2.4 Diagnosis
a. Anamnesis
Pendekatan diagnosis pada pasien dilakukan setelah kegawatdaruratan
tertangani berupa airway, breathing, and circulation (ABCs). Ukur kadar glukosa
darah segera, analisis gas darah, dan foto polos awal seperti yang telah diprediksi
secara klinis. Anamnesis harus meliputi riwayat trauma, demam, kecenderungan
perdarahan, dan penggunaan antikoagulan maupun penggunaan antiplatelet.
Pemeriksaan fisik setelah ABC harus meliputi pemeriksaan kepala dan leher,
pemeriksaan neurologis untuk mengakses defisit fokal pada pemeriksaan fisik
umum.1
14
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari tidak ada gejala spesifik sampai
defisit neurologis fokal. Pasien dapat datang dengan gejala perubahan status
mental atau datang dengan keadaan koma. Pemeriksaan fisik tidak dapat
menghasilkan diagnosis spesifik perdarahan intraserebral. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik dapat mengarahkan klinisi pada suatu entitas klinis, namun pada
evaluasi gawat darurat hal ini mungkin dapat menjadi tidak jelas.1
c. Pemeriksaan penunjang
CT scan kepala telah digunakan pada departemen gawat darurat sebagai
modalitas yang paling efektif dalam menegakkan diagnosis karena cepat dan
efektif dalam mengidentifikasi perdarahan akut. Gambaran MRI T2 dapat
mendeteksi adanya perdarahan mikro sebagai tanda potensi terjadinya perdarahan.
Mengingat diperlukannya protocol trombolitik segera maka CT scan kepala
menjadi modalitas pencitraan darurat terbaik pada pasien dengan gejala defisit
neurologis fokal akut.Pada CT, hematom dapat tampak isodens pada kasus anemia
berat; fluid-fluid level dapat terlihat pada hematoma yang berhubungan dengan
koagulopati.3
Estimasi volume hematoma merupakan hal yang penting untuk dilakukan.
Volume hematoma (cc atau cm3) dapat diperoleh dengan rumus ‘‘ABC/2’’ untuk
ICH berbentuk bulat atau lonjong. A merupakan diameter ICH maksimum dalam
cm. B merupakan diameter ICH maksimum dalam cm yang tegak lurus terhadap
A, dan C adalah total potongan ICH yang tampak pada potongan CT dengan
ketebalan 5 mm. Informasi yang diperoleh dari CT scan, umur pasien, dan riwayat
penyakit terdahulu (hipertensi) menentukan apakah orang tersebut memerlukan
investigasi lebih lanjut untuk menentukan adanya patologi structural (AVM,
aneurisma, dan tumor) .3
Evaluasi CT awal pada kasus darurat memiliki fokus pada efek massa dan
darah. Untuk menentukan apakah terdapat efek massa, dapat dilihat apakah ada
displacement maupun kompresi struktur penting (ventrikel, sisterna basal, dan
sulkus). Darah tampak dengan densitas tinggi dan dapat terkumpul di sisterna
16
2.5 Penatalaksanaan11
dipantau terus sejak tempat kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian
sampai rumah sakit, diruang gawat darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang
operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa memburuk akibat
aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya. Macam dan urutan prioritas tindakan
cedera kepala ditentukan atas dalamnya penurunan kesadaran pada saat diperiksa:
A. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)
Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:
1. Simple head injury (SHI)
Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, dari
anamnesa maupun gejala serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan
luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Keluarga dilibatkan untuk
mengobservasi kesadaran.
2. Kesadaran terganggu sesaat
Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada
saat diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuat dan
penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.
o Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.
Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata,
pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik
hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema
paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat
terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen
kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai
ventilator.
o Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan
sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial,
kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat
perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade
jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah
20
vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi
lancar.
e. Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah
bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan
perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada
awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat,
jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan
hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila
tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal dan volume
urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui
pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan
cairan eletrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian
obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic hormon
(SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula darah, ureum,
kreatinin dan osmolalitas darah.
f. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali
normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara
lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah
danakan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan perenterai
pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai,
sebanyak 2000-3000 kalori/hari
g. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early
epilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early
epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika
ada fraktur impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang
Panjang. Obat-obat yang dapat diberikan adalah:
o Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
23
Tekanan darah
Peningkatan tekanan darah terlihat pada 46% -56% pasien dengan ICH.
Masih belum jelas apakah meningkat tekanan darah secara langsung menyebabkan
ekspansi hematoma tetapi penelitian telah menunjukkan peningkatan sistolik,
diastolik, dan MAP dikaitkan dengan hasil yang buruk di ICH. Bagaimanapun,
biasanya dokter enggan mengobati hipertensi pada pasien ICH karena takut
pengobatan tekanan darah yang terlalu agresif dapat menurun tekanan perfusi otak
dan secara teori memperburuk cedera otak, khususnya dalam penanganan
peningkatan TIK. Pada 1999, sebuah kelompok khusus terdiri dari layanan
kesehatan profesional dari American Heart Association membahas manajemen
perdarahan intraserebral. Hal tersebut direkomendasikan mempertahankan tekanan
arteri rata-rata di bawah 130 mmHg pada pasien dengan riwayat hipertensi. Pada
pasien dengan peningkatan TIK yang memiliki monitor TIK, tekanan perfusi
serebral (MAP-ICP) harus dijaga >70 mmHg.
25
Pembedahan
Indikasi operasi pada lesi parenkim otak hematom intraserebral akibat
trauma adalah:
- Terdapat desit neurologis yang progresif.
- Terdapat peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter.
- Cushing reflex (hipertensi, bradikardi, tanda-tanda gangguan napas).
- Nilai GCS 6-8 dengan kontusio >20 cm di daerah frontal atau temporal
denganmidline shift 5 mm dan ukuran lesi 50cm.
2.7 Komplikasi2
1) Ekspansi hematoma
2) Perihematomal edema dengan peningkatan tekanan intrakranial
3) Ekstensi perdarahan intraventrikular dengan hidrosefalus
4) Kejang
5) DVT
6) Hiperglikemia
7) Peningkatan tekanan darah
8) Demam
9) Infeksi
2.8 Prognosis1
yang buruk dengan hematoma ukuran yang luas. Ukuran dan lokasi lesi pada
gambaran imaging sangat bermanfaat sebagai informasi prognosis. Pada
perdarahan putaminal, lesi lebih dari 140 mm² pada satu slice menunjukkan
outcome yang buruk. Pada perdarahan thalamus, lesi lebih dari 3.3 cm dengan
diameter yang maksimal juga menunjukkan prognosis yang buruk, begitu juga
dengan lesi serebellar lebih dari 3 cm. Adanya hidrosefalus pada penderita dengan
perdarahan supratentorial juga sebagai tanda prognosis yang buruk.
Pada saat fase akut perdarahan intraserebral, efek massa yang berasal dari
hematoma menunjukkan risiko yang lebih besar untuk terjadinya kematian
dibandingkan ukuran stroke iskemik. Tidak seperti perdarahan subarakhnoid,
pengulangan perdarahan intraserebral selama penyakit akut jarang terjadi. Fakta
yang sederhana ini memberikan petunjuk untuk pengobatan perdarahan
intraserebral dimana secara agresif untuk mempertahankan perluasan hematoma
untuk mencegah kematian dan mengurangi morbiditas.
Anamnesis
kejang dan riwayat muntah menyembur tidak dijumpai. Terdapat luka pada wajah
sebelah kiri dan perdarahan aktif dari luka robek tersebut. Pasien sudah diberikan
tatalaksana awal di RS sidikalang, kemudian dirujuk ke RS Herna Medan, lalu
kemudian dirujuk ke RSUP H. Adam Malik.
RPT : Tidak Jelas
RPO : IVFD R-Sol, Inj. Ceftriaxone
Pemeriksaan Fisik
Status Presens
Sensorium : E2M5V3
Tensi : 130/90mmHg
Nadi : 100 x/menit
Frekuensi Nafas : 28 x/menit
Temperatur : 37,5oC
Status Generalisata
Kepala
Mata : Pupil anisokor bulat 3 mm/-, reflek cahaya +/-
Telinga : dalam batas normal
Hidung : Luka robek dari hidung ke sisi wajah sebelah kiri 3x2
cm
Mulut : Sianosis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-) dan tiroid (-)
Toraks
Inspeksi : Simetris Fusiform, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Stem Fremitus ka = ki
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Suara pernafasan : vesikuler
Suara Tambahan :ronki - / -
Jantung : S1, S2 (+) N, murmur (-)
HR= 100 x/menit; RR = 28x/menit
30
Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, H/L/R tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Genitalia : Laki-laki . Dalam batas normal
Inguinal
Inspeksi : Dalam batas normal
Palpasi : Dalam batas normal, tidak teraba adanya benjolan
Anorectal
Digital Rectal Examination : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
Superior : akral dingin, edema (-/-), CRT 3 detik
Inferior : akral dingin, edema (-/-), CRT 3 detik
STATUS NEUROLOGIS
Sensorium : GCS E3M5V2
Pupil : anisokor, diameter 2 mm/-
Motorik : lateralisasi (-)
Sensorik : Tidak dilakukan pemeriksaan
Refleks Primitif : (-)
dilakukan
Brudzinski II : Tidak
dilakukan
Brudzinski III : Tidak
dilakukan
Brudzinski IV : Tidak
dilakukan
Kernig sign : Tidak
dilakukan
PEMERIKSAAAN NERVUS KRANIALIS
CN I : Tidak dilakukan pemeriksaan
CN II : Pupil anisokor, φ 2mm/-, RC +/-
Funduscopy ODS : Tidak dilakukan pemeriksaan
CN III,IV,VI : Tidak dilakukan pemeriksaan
CN V : Refleks masseter (+)
CN VII : Refleks stapedial (+)
CN VIII : Refleks stapedial (+)
CN IX,X : Sulit dinilai
CN XI : Tidak dilakukan pemeriksaan
CN XII : Sulit dinilai
Rencana
Hematokrit 24 % 33 – 45
BUN 23 9 – 21
Ureum 49 mg/dL 19 – 44
Elektrolit
CT SCAN 20/03/2019
33
Kesimpulan : SAH + fraktur pada maksilaris kiri, zygoma kiri dan arcus
zigomatikum kiri + fraktur pada dinding sinus maksilaris kanan + hematom di dalam
seluruh sinus paranasalis + subgaleal hematom
pada frontotemporaparietalis kiri.
Terapi
Rencana :
- Rawat Konservatif.
BAB 4
FOLLOW UP
Follow up 19/03/2019
S Penurunan Kesadaran
O A : Gurgling
B : Spontan, sesak (+)
C : Akral dingin HR 100
D : GCS E3M5V2
Pupil anisokor d= 2mm/-, RC +/-
A HI GCS 10
P R/ Cek DL,elektrolit, KGDs, Fungsi Ginjal, Faal Hemostasis Foto
torax, head CT-Scan
Follow up 19/03/2019
S Penurunan Kesadaran
O A : Gurgling, suction
B : Spontan, sesak (+)
C : Akral dingin HR 100
D : GCS E3M5V2
Pupil anisokor d= 2mm/-, RC +/-
A Traumatic ICH (R) Temporal
P Rawat Konservatif
IVFD R Sol 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Inj. Ketolorac 30 mg/8 jam
Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam
Drip Manitol 250 cc loading dilanjutkan sisanya 150 cc/6 jam Pasang
35
Follow up 20/03/2019
S Penurunan Kesadaran, delirium
O A : Clear
B : Spontan, sesak (+)
C : Akral dingin HR 100
D : GCS E3M5V2
Pupil anisokor d= 2mm/-, RC +/-
A Traumatic ICH (R) Temporal
P Rawat Konservatif
IVFD R Sol 20 gtt/I
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Inj. Ketolorac 30 mg/8 jam
Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
Bolus Diazepam 1 amp dicampur 10 cc NaCl
Transfusi PRC 2 bag
R/ Konsul Psikiatri
Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam
Drip Manitol 250 cc loading dilanjutkan sisanya 150 cc/6 jam Pasang
Kateter dan NGT
Follow up 21-24/03/2019
S Penurunan Kesadaran, delirium
O A : Clear
B : Spontan, RR 27 x/i , spO2 97%
C : TD 130/90, HR 126
D : GCS E3M5V2
Pupil anisokor d= 3mm/2mm, RC +/-
A Traumatic ICH (R) Temporal
P Rawat Konservatif
IVFD R Sol 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Inj. Ketolorac 30 mg/8 jam
Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
Bolus Diazepam 1 amp dicampur 10 cc NaCl
Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam
Cek Darah Lengkap post transfusi
BAB 5DISKUSI
KASUS
Teori Diskusi
Definisi
Penatalaksanaan Penatalaksanaan
5. Posisi Tidur.
- Keseimbangan cairan
elektrolit
- Nutrisi
- Epilepsi/kejang
- Komplikasi sistematik o
Infeksi: profilaksis antibiotik
o Demam
o Gastrointestinal o
Kelainan hematologi
- Neuroproteksi
- Tekanan darah
- Profilaksis deep vein trombosis
Pembedahan
38
BAB 6 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Jusman M. Perdarahan Intraserebral [skripsi]. Universitas Sumatera Utara. 2019 [cited
25 Maret 2019]. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/57662/Chapter%20II.pdf?
seque nce=5&isAllowed=y
2. JS Balami, AM Buchan. Complications of Intracerebral Hemorrhage [Internet]. NCBI.
2012 [cited 25 Maret 2019]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22172625
3. Anderson A & Huff J. S. Intracerebral Hemorrhage. Relias Media: 2008. Available
from: https://www.reliasmedia.com/articles/13304-intracerebral-hemorrhage
4. Greenberg M. S. Handbook of Neurosurgery. 8th ed. Thieme. 2010. 1330-1338 p.
5. Aguilar M. I. & Brott T. G. Update in Intracerebral Hemorrhage. SAGE. 2011.
150151 p.
6. Herring W. Learning Radiology Recognizing the Basics. 3rd ed. Elsevier. 2016.
285288 p.
7. Japardi I. Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut. 2002. Tersedia pada:
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi37%20.pdf
8. Sahni R, Weinberger J. Management of Intracerebral Hemorrhage. Vascular Health
and Risk Management 2007:3(5) 701–709