Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN KASUS

TRAUMATIC ICH

Disusun Oleh:
Dewi Astri Khairina

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Traumatic ICH” Penulisan laporan kasus ini adalah
salah satu syarat menyelesaikan kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan
Profesi Dokter di Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas KedokteranUniversitas
Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ridha
Dharmajaya, M. Ked (Neurosurg), Sp. BS, selaku supervisor pembimbing yang
telah meluangkan waktu dan memberikan masukan dalam penyusunan laporan
kasus ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga
laporan kasus ini bermanfaat. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 26 Maret 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB1 PENDAHULUAN ........................................................................................


1
1.1.Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2.Tujuan .......................................................................................... 1
1.3.Manfaat ........................................................................................ 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
5
2.1. Anatomi....................................................................................... 5
2.2. Definisi ........................................................................................ 9
2.3. Etiopatogenesis .......................................................................... 9
2.4. Diagnosis..................................................................................... 13
2.5. Tatalaksana ................................................................................. 18
2.6. Diferensial Diagnosa .................................................................. 26
2.7. Komplikasi .................................................................................. 28
2.8. Prognosis ..................................................................................... 28

BAB 3 STATUS PASIEN ............................................................................ 29


BAB 4 FOLLOW UP ................................................................................... 35
BAB 5 DISKUSI KASUS ............................................................................. 37
BAB 6 KESIMPULAN ................................................................................ 39
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 40
3

BAB I PENDAHULUAN

1.1LATAR BELAKANG

Di seluruh dunia insiden perdarahan intraserebral berkisar 10 sampai 20


kasus per 100.000 penduduk dan meningkat seiring dengan usia. Perdarahan
intraserebral lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, terutama yang lebih
tua dari 55 tahun, dan dalam populasi tertentu, termasuk orang kulit hitam dan
Jepang. Selama periode 20 tahun studi The National Health and Nutrition
Examination Survey Epidemiologic menunjukkan insiden perdarahan intraserebral
antara orang kulit hitam adalah 50 per 100.000, dua kali insiden orang kulit putih.
Perbedaan dalam prevalensi hipertensi dan tingkat pendidikan berhubungan
dengan perbedaan resiko. Peningkatan resiko terkait dengan tingkat pendidikan
yang lebih rendah mungkin terkait dengan kurangnya kesadaran akan pencegahan
primer dan akses ke perawatan kesehatan. Insiden perdarahan intraserebral di
Jepang yaitu 55 per 100.000 jumlah ini sama dengan orang kulit hitam. Tingginya
prevalensi hipertensi dan pengguna alkohol pada populasi Jepang dikaitkan
dengan insiden perdarahan intraserebral. Rendahnya observasi kadar kolesterol
serum pada populasi ini juga dapat meningkatkan resiko perdarahan intraserebral.
Usia rata-rata pada umur 53 tahun, interval 40 – 75 tahun. Insiden pada laki-laki
sama dengan pada wanita. Angka kematiannya berkisar antara 60 – 90%.1

1.2TUJUAN

Tujuan dari pembuatan paper ini adalah untuk menguraikan teori-teori


tentang ICH mulai dari definisi sampai diagnosis, penatalaksaan dan
prognosisnya. Penyusunan paper ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan
pelaksanaan kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen
Orthopedi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
4

1.3MANFAAT
Paper ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan pemahaman
penulis serta pembaca khususnya peserta P3D untuk lebih memahami dan
mengenal ICH, terutama tentang penegakan diagnosis dan tatalaksana.
5

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk oleh
mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria dan dura mater
disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater kranialis dan pia mater kranialis
terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks serebri. Sulkus dan fisura korteks serebri
membagi hemisfer serebri menjadi daerah lebih kecil yang disebut lobus.2

Gambar 1. Bagian – bagian otak3

1. Serebrum (Otak Besar)


6

Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer.
Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan
hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kanan.
Masingmasing hemisfer terdiri dari empat lobus. Bagian lobus yang menonjol
disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut sulkus. Keempat
lobus tersebut masing-masing adalah lobus frontal, lobus parietal, lobus oksipital
dan lobus temporal2
a. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum.
Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan bagian
belakang oleh garis yang ditarik dari sulkus parieto-oksipital ke ujung
posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah ini berfungsi untuk menerima
impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan dengan segala
bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatic.3
b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan
dari serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral
dari Rolando. Pada daerah ini terdapat area motorik untuk mengontrol
gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca sebagai pusat bicara; dan
area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual3
c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus
oksipital oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas
sulkus lateral. Lobus temporal berperan penting dalam kemampuan
pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara3
d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal.
Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan
manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap
oleh retina mata3
e. Lobus Limbik
Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi manusia, memori emosi dan
bersama hipothalamus menimbulkan perubahan melalui pengendalian atas
susunan endokrin dan susunan otonom. 4 Apabila diuraikan lebih detail,
7

setiap lobus masih bisa dibagi menjadi beberapa area yang punya fungsi
masing-masing, seperti terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2. Area Otak3

2. Serebelum (Otak Kecil)


Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak.
Serebelum terletak di bagian bawah belakang kepala, berada di belakang batang
otak dan di bawah lobus oksipital, dekat dengan ujung leher bagian atas.
Serebelum adalah pusat tubuh dalam mengontrol kualitas gerakan. Serebelum juga
mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi
tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Selain itu,
serebelum berfungsi menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis
yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis,
gerakan mengunci pintu dan sebagainya3
3. Batang Otak
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian
dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak bertugas untuk
mengontrol tekanan darah, denyut jantung, pernafasan, kesadaran, serta pola
8

makan dan tidur. Bila terdapat massa pada batang otak maka gejala yang sering
timbul berupa muntah, kelemahan otat wajah baik satu maupun dua sisi, kesulitan
menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun. 2
Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu: 4
a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian
teratas dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum.
Saraf kranial III dan IV diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah
berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata,
pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran
b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain
dan medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf
Kranial (CN) V diasosiasikan dengan pons
c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak
yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata terletak
juga di fossa kranial posterior. CN IX, X, dan XII disosiasikan dengan
medulla, sedangkan CN VI dan VIII berada pada perhubungan dari pons
dan medulla

Gambar 3. Serebellum dan bagian dari batang otak


9

2.2 Definisi
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang terjadi di otak yang
disebabkan oleh pecahnya (ruptur) pada pembuluh darah otak. Perdarahan dalam
dapat terjadi di bagian manapun di otak. Darah dapat terkumpul di jaringan otak,
ataupun di ruang antara otak dan selaput membran yang melindungi otak.
Perdarahan dapat terjadi hanya pada satu hemisfer (lobar intracerebral
hemorrhage), atau dapat pula terjadi pada struktur dari otak, seperti thalamus,
basal ganglia, pons, ataupun cerebellum (deepintracerebral hemorrhage).5

2.3 Etiopatogenesis1

Kaufman, membagi stroke perdarahan intraserebral menjadi intraserebral


primer (hipertensi) dan perdarahan intraserebral sekunder (non hipertensi).

1. Perdarahan Intraserebral Hipertensi

Perdarahan intraserebral hipertensi adalah perdarahan intraserebral dengan


hipertensi sebagai penyebab utamanya, terutama hipertensi yang tidak terkontrol,
yang menyebabkan rusaknya pembuluh darah kecil di otak sehingga mudah
ruptur. Biasanya perdarahan ini terdapat di area yang diperdarahi oleh arteri
penetrans kecil seperti pada thalamus, putamen, deep cerebral white matter, pons
dan serebelum.

•Patofisiologi
Pada orang normal terdapat sistem autoregulasi arteri serebral, dimana bila
tekanan darah sistemik meningkat maka pembuluh serebral akan vasokonstriksi,
sebaliknya bila tekanan darah sistemik menurun maka pembuluh serebral akan
vasodilatasi, dengan demikian aliran darah ke otak tetap konstan. Batas atas
tekanan darah sistemik yang masih dapat ditanggulangi adalah tekanan darah
sistolik 150-200 mmHg dan diastolic 110-120 mmHg. Ketika tekanan darah
sistemik meningkat, pembuluh serebral akan berkonstriksi, namun bila keadaan ini
terjadi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, akan menyebabkan degenerasi
pada lapisan otot pembuluh serebral, yang akan menyebabkan pembuluh diameter
lumen pembuluh darah menjadi sulit berubah. Hal ini berbahaya karena pembuluh
10

serebral tidak dapat berdilatasi atau berkonstriksi dengan leluasa untuk mengatasi
fluktuasi tekanan darah.

Pada hipertensi kronis, pembuluh darah arteriol akan mengalami perubahan


degeneratif yang menyebabkan dinding pembuluh darah arteriol menjadi lemah
sehingga akan menimbulkan mikroaneurisma yang tersebar disepanjang pembuluh
darah disebut mikroaneurisma Charchot-Bouchard, dengan bentuk seperti kantung
yang menonjol melalui tunika media yang lemah.

Teori yang dikemukakan oleh Kaplan (1990), jika terjadi peningkatan tekanan
darah kronis maka akan menyebabkan kerusakan spesifik pembuluh darah melalui
tiga mekanisme yang saling berhubungan, yaitu pulsatile flow, endothelial
denudation, dan replikasi sel otot polos. Namun yang dapat menyebabkan
perdarahan intraserebral adalah mekanisme pulsatile flow, dimana tekanan darah
yang tinggi akan menyebabkan tekanan pada jaringan kolagen dan elastin dinding
pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan kerusakan berupa medionekrosis,
aneurisma, dan perdarahan.

Bila pembuluh darah pecah akan terjadi perdarahan atau hematom sampai dengan
maksimal 6 jam, yang akan berhenti sendiri akibat pembentukan bekuan darah dan
ditampon oleh jaringan sekitarnya. Jika perdarahan terus berlanjut dengan volume
yang besar akan merusak struktur anatomi otak, ditambah lagi terjadinya edema
awal disekitar hematom akibat pelepasan dan akumulasi protein serum aktif
osmotic dari bekuan darah. Akibatnya akan destruksi massa otak dan terjadi
peninggian tekanan intracranial yang menyebabkan tekanan perfusi otak yang
menurun serta terganggunya aliran darah otak. Proses ini akan berlanjut terjadinya
kaskade iskemik dan terjadinya edema sitotoksik yang akan menyebabkan
kematian sel otak, dan massa didalam otak akan bertambah sehingga dapat terjadi
herniasi otak yang dapat menyebabkan kematian.
11

2. Perdarahan Intraserebral Non Hipertensi

Trauma Kapitis Arteri Vena

Malformasi (AVM)

AVM merupakan suatu kelainan perkembangan kongenital (embrional) pada


pembuluh darah intraserebral, dimana terjadinya hubungan langsung antara
arteriole dan venule tanpa melalui kapiler, sehingga terjadi aliran darah yang
cepat melewati daerah tersebut. Akibat aliran yang cepat inilah dan tekanan
yang besar dari arteri akan mengakibatkan penipisan dinding pembuluh darah,
dapat menimbulkan aneurisma dan penurunan aliran darah otak disekitar
AVM yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan disekitarnya.

Aneurisma
Aneurisma merupakan suatu kelainan congenital pada pembuluh darah,
dimana terjadi gangguan perkembangan dinding pembuluh darah yaitu pada
tunika media dan lamina elastika. Akibat adanya gangguan pada tunika media,
dan terjadi perubahan degeneratif sehingga dapat terjadi destruksi local pada
membrane elastika interna yang menyebabkan tunika intima menonjol dan
membentuk suatu aneurisma bentuk sakuler. Ukuran aneurisma ini rata-rata
7,5 mm, bila > 10 mm maka akan mudah terjadi ruptur.

Amiloid Angiopati
Cerebral amiloid angiopati atau disebut juga congophilic angiopati
merupakan suatu kelainan pada dinding pembuluh darah otak akibat deposit
protein beta amiloid. Deposit ini terjadi pada dinding arteri tunika media dan
tunika adventisia arteri kecil atau sedang yang terletak di korteks,
leptomeningen dan subkortikal substansia alba dimana menggantikan jaringan
kolagen dan elemen kontraktilitas pembuluh darah dengan amiloid protein
beta ini. Deposit amiloid ini menyebabkan kerusakan pada tunika media dan
adventisia pembuluh darah otak kortikal dan leptomeningen. Terjadi
penebalan membran basalis sehingga terjadi stenosis lumen pembuluh darah
dan fragmentasi/kerusakan pada tunika lamina elastika interna, sehingga
12

dinding pembuluh darah menjadi rapuh dan mudah terjadi ruptur pembuluh
darah.

Tumor Otak
Tumor otak dapat menyebabkan perdarahan intraserebral biasanya oleh jenis
tumor ganas yang primer atau bentuk metastasis dengan presentasi 510%.
Tumor otak primer yang dapat mengalami perdarahan adalah glioblastoma,
oligodendroma, medulloblastoma, hemangioblastoma atau metastase. Namun
yang paling sering terjadi adalah pada glioblastoma dan metastase. Metastase
yang sering alami perdarahan intraserebral adalah tumor primer melanoma,
karsinoma bronkial, karsinoma ginjal dan choriokarsinoma. Perdarahan diduga
karena rapuhnya pembuluh darah abnormal dalam tumor yang kaya akan
komponen vaskuler.

Penyalahgunaan Obat (Drug Abuse)


Banyak obat-obatan yang menyebabkan kecanduan mengakibatkan
perdarahan intraserebral. Kokain termasuk salah satu obat yang menyebabkan
perdarahan intraserebral dengan jalan meninggikan tekanan darah, nadi,
temperatur dan metabolisme.

Diskrasia darah
Yang termasuk diskrasia darah yang dapat menyebabkan perdarahan
intraserebral adalah anemia sickle cell, leukimia dan hemofilia serta gangguan
koagulasi yang didapat, misalnya pada penyakit hepar yang berat seperti
sirosis hepar dan hepatitis fulminan dapat menyebabkan gangguan sintesis
faktor pembekuan, peningkatan fibrinolisis, dan trombositopenia.

Antikoagulan
Pada penggunaan obat antikoagulan heparin atau warfarin, sekitar 9% dapat
terjadi perdarahan intraserebral. Biasanya terjadi perdarahan apabila
antikoagulan digunakan secara berlebihan atau penggunaan jangka panjang
dengan insidens 8-11 kali jika dibandingkan pada pasien yang tidak
mendapatkan antikoagulan. Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan
13

perdarahan pada pasien yang menggunakan antikoagulan adalah


meningkatnya umur, infark iskemik yang luas dan adanya hipertensi berat.

Trombolitik
Perdarahan merupakan gejala toksisitas mayor pada penggunaan obat-obat
trombolitik, hal ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu:

- Lisisnya fibrin pada trombin yang terbentuk di pembuluh darah yang luka
- Lisis sistemik yang diakibatkan oleh pembentukan plasmin, fibrinolisis
dan destruksi faktor-faktor pembekuan.
Namun mekanisme yang mendasari terjadinya perdarahan otak ini belum
diketahui jelas.

 Vaskulitis
Vaskulitis merupakan penyakit inflamasi pada pembuluh darah arteri dan
vena, misalnya penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (SLE). SLE secara
histologis ditandai dengan adanya inflamasi mononuclear sel raksasa (giant
cell) dalam tunika media dan adventisia arteri dan vena berukuran kecil dan
sedang. Keadaan ini menyebabkan lemahnya dinding pembuluh darah
sehingga terbentuk mikroaneurisma. Rupturnya pembuluh darah tersebut oleh
karena adanya riwayat hipertensi atau penyakit lain yang dapat memicunya.

2.4 Diagnosis
a. Anamnesis
Pendekatan diagnosis pada pasien dilakukan setelah kegawatdaruratan
tertangani berupa airway, breathing, and circulation (ABCs). Ukur kadar glukosa
darah segera, analisis gas darah, dan foto polos awal seperti yang telah diprediksi
secara klinis. Anamnesis harus meliputi riwayat trauma, demam, kecenderungan
perdarahan, dan penggunaan antikoagulan maupun penggunaan antiplatelet.
Pemeriksaan fisik setelah ABC harus meliputi pemeriksaan kepala dan leher,
pemeriksaan neurologis untuk mengakses defisit fokal pada pemeriksaan fisik
umum.1
14

Pasien perdarahan intraserebral dapat datang dengan gejala bervariasi dari


nyeri kepala ringan sampai koma. Pasien dapat datang dengan defisit neurologis
akut atau dengan gejala seperti migraine. Terdapat beberapa cara untuk
membedakan jejas otak sumbat maupun perdarahan. Skala pengelompokan
memiliki nilai sensitivitas maupun spesifisitas yang dapat digunakan secara klinis
dalam praktik emergensi dimana pencitraan otak masih dapat digunakan untuk
membedakan infark atau perdarahan pada pasien yang menggunakan terapi
trombolitik. Anamnesis dapat membantu klinisi menentukan faktor resiko ICH.1
Anamnesis dapat dilakukan untuk mengeksklusi diagnosis banding berupa
penyebab infeksi, hipoglikemia, dan intoksikasi.2

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari tidak ada gejala spesifik sampai
defisit neurologis fokal. Pasien dapat datang dengan gejala perubahan status
mental atau datang dengan keadaan koma. Pemeriksaan fisik tidak dapat
menghasilkan diagnosis spesifik perdarahan intraserebral. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik dapat mengarahkan klinisi pada suatu entitas klinis, namun pada
evaluasi gawat darurat hal ini mungkin dapat menjadi tidak jelas.1

Pasien ICH biasanya mengalami stroke-like symptoms dengan onset gejala


klinis tiba-tiba, yang disertai dengan defisit neurologis fokal. Hematoma yang
berukuran besar biasanya ditandai dengan penurunan kesadaran yang disebabkan
peningkatan tekanan intracranial.3

Tekanan darah cenderung lebih tinggi pada pasien ICH dibandingkan


pasien stroke iskemik. Pada anamnesis dapat ditanyakan gejala yang ditemui,
aktivitas yang dijumpai sewaktu terjadinya gejala, faktor resiko vaskular
(hipertensi, diabetes, dislipidemia, CKD, dan merokok), riwayat stroke
sebelumnya, trauma, malformasi vaskular atau aneurisma sebelumnya, neoplasma,
penggunaan alcohol, intoksikasi zat, riwayat koagulopati, maupun kondisi lainnya
yang dapat mengarah ke perdarahan seperti penyakit liver.3
15

Pemeriksaan fisik harus meliputi tanda-tanda vital, pemeriksaan kesadaran,


dan tingkat keparahan defisit neurologis (National Institutes of Health Stroke
Scale [NIHSS]). Studi laboratorium rutin meliputi pemeriksaan darah lengkap,
elektrolit, fungsi ginjal, fungsi koagulasi, skrining toksikologi, dan tes kehamilan.
Studi neuroimaging diperlukan untuk memastikan diagnosis dan memastikan
etiologic ICH.3

c. Pemeriksaan penunjang
CT scan kepala telah digunakan pada departemen gawat darurat sebagai
modalitas yang paling efektif dalam menegakkan diagnosis karena cepat dan
efektif dalam mengidentifikasi perdarahan akut. Gambaran MRI T2 dapat
mendeteksi adanya perdarahan mikro sebagai tanda potensi terjadinya perdarahan.
Mengingat diperlukannya protocol trombolitik segera maka CT scan kepala
menjadi modalitas pencitraan darurat terbaik pada pasien dengan gejala defisit
neurologis fokal akut.Pada CT, hematom dapat tampak isodens pada kasus anemia
berat; fluid-fluid level dapat terlihat pada hematoma yang berhubungan dengan
koagulopati.3
Estimasi volume hematoma merupakan hal yang penting untuk dilakukan.
Volume hematoma (cc atau cm3) dapat diperoleh dengan rumus ‘‘ABC/2’’ untuk
ICH berbentuk bulat atau lonjong. A merupakan diameter ICH maksimum dalam
cm. B merupakan diameter ICH maksimum dalam cm yang tegak lurus terhadap
A, dan C adalah total potongan ICH yang tampak pada potongan CT dengan
ketebalan 5 mm. Informasi yang diperoleh dari CT scan, umur pasien, dan riwayat
penyakit terdahulu (hipertensi) menentukan apakah orang tersebut memerlukan
investigasi lebih lanjut untuk menentukan adanya patologi structural (AVM,
aneurisma, dan tumor) .3

Gold standard diagnosis dengan NCCT kepala.

Evaluasi CT awal pada kasus darurat memiliki fokus pada efek massa dan
darah. Untuk menentukan apakah terdapat efek massa, dapat dilihat apakah ada
displacement maupun kompresi struktur penting (ventrikel, sisterna basal, dan
sulkus). Darah tampak dengan densitas tinggi dan dapat terkumpul di sisterna
16

basal, fisura silvi dan interhemispheric, ventrikel, rongga epidural maupun


subdural, atau parenkim otak (intracerebral).4

Trauma merupakan salah satu mekanisme yang mendasari kejadian.


Hematom intraserebral dapat terjadi karena adanya ruptur aneurisma, penyakit
atheroma pada pembuluh darah kecil, atau vasculitis. Jejas pada tempat benturan
dinamakan coup injuries dan contrecoup injuries pada jejas yang berada pada
tempat yang berlawanan dengan tempat terjadinya benturan. Coup injury biasanya
disebabkan oleh jejas pada pembuluh darah intraserebral yang kecil. Contrecoup
injury biasanya disebabkan oleh jejas acceleration/deceleration yang dapat terjadi
sewaktu otak menghantam tempurung kepala dengan arah yang berlawanan. 4
Mengenali traumatic ICH pada CT4 :

• Kontusio cerebral dapat tampak multiple, berukuran kecil, berbatas jelas


dengan penyengatan pada parenkim otak (gambar 1)
• Dapat dikelilingi hypodense rim karena adanya edema (gambar 2)
• Perdarahan intraventrikular dapat terjadi
• Efek massa sering terjadi dan dapat tampak berupa kompresi ventrikel dan
pergeseran ventrikel 3 dan septum pelusidum pada arah yang berlawanan.
• Herniasi (tabel 1)

Gambar 4. Kontusio cerebral4 Gambar 5. Kontusio dikelilingi


area hipodense4
4
Tabel 1. Jenis Herniasi Otak
17

MRI merupakan teknik pencitraan optimal untuk mendemonstrasikan


malformasi vaskular dengan aliran lambat (cavernoma), tumor hemoragik, dan
patologi vaskular lainnya. CT angiography dan magnetic resonance angiography
merupakan metode yang terpilih untuk mendemonstrasikan dural sinus
thrombosis. DSA dapat digunakan sewaktu ICH berukuran besar dan berpotensi
merubah hemodinamik.Perdarahan yang sedikit dan tipis dapat terjadi pada
cerebellum dan hematom batang otak, MRI dapat dilakukan sewaktu adanya
kecurigaan terhadap lesi di fossa posterior.3

Perdarahan mikro merupakan perdarahan dengan area minimal (<10 mm)


deposisi ferritin dan hemosiderin yang terlihat hipointens pada T2 gradient echo
(GRE) MR dan diyakini merupakan bagian dari spectrum penyakit pembuluh
darah kecil yang berlokalisasi di basal ganglia, batang otak, dan cerebellum.
Angiografi konvensional dapat dilakukan pada kasus SAH, ICH dengan kalsifikasi
abnormal, darah pada lokasi atipikal atau presentasi atipikal (pasien SAH dengan
gejala sakit kepala atau pasien non hipertensi dengan hematoma ganglionik), atau
pada pasien muda dengan penyebab ICH yang tidak jelas.3

Gambar 6..Gambaran MRI pada pasien ICH3

2.5 Penatalaksanaan11

Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya


cedera dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu
tim yang terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf, radiologi,
anestesi dan rehabilitasi medik. Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan
18

dipantau terus sejak tempat kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian
sampai rumah sakit, diruang gawat darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang
operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa memburuk akibat
aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya. Macam dan urutan prioritas tindakan
cedera kepala ditentukan atas dalamnya penurunan kesadaran pada saat diperiksa:
A. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)
Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:
1. Simple head injury (SHI)
Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, dari
anamnesa maupun gejala serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan
luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Keluarga dilibatkan untuk
mengobservasi kesadaran.
2. Kesadaran terganggu sesaat
Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada
saat diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuat dan
penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.

B. Pasien dengan kesadaran menurun


1. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15)
Kesadaran disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal
serebral. Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatanluka, dibuat foto
kepala. CT Scan kepala, jika curiga adanya hematom intrakranial, misalnya ada
riwayat lucid interval, pada follow up kesadaran semakinmenurun atau timbul
lateralisasi. Observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral disamping
tandatanda vital.
2. Cedera kepala sedang (GCS=9-12)
Pasien dalamkategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh
karena itu urutan tindakannya sebagai berikut:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
b. Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera
organ lain. Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas
c. Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain
19

d. CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakranial


e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral
3. Cedera kepala berat (CGS=3-8)
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu
disamping kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik.
Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:
a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC)
Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan
hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan
pertama adalah:
o Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi
kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa
endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi
lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan
aspirasi muntahan

o Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.
Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata,
pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik
hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema
paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat
terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen
kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai
ventilator.
o Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan
sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial,
kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat
perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade
jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah
20

menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung


danmengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch
atau darah
b. Pemeriksaan fisik
Setelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran,
pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan
fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap
perburukan dari salah satu komponen diatas bisa diartikan sebagai adanya
kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi
penyebabnya.
c. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada dan
abdomen dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur
tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematom intrakranial .
d. Tekanan tinggi intrakranial (TIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom
intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK
sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15
mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai
berikut:
1. Hiperventilasi
Setelah resusitasi ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang
terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana
terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral.
Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30-35mmHg dipertahankan selama
48-72 jam, lalu dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila
TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK
tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT
scan ulang untuk menyingkirkan hematom.
2. Drainase
21

Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka


pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang
dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus 3.
Terapi diuretik
o Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak
normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang
intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan.
Cara pemberiannya :
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5
gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Dilakukan monitor
osmolaritas.
4. Terapi antikonvulsan
Risiko kejang 30 hari setelah ICH adalah sekitar 8%. Kejang paling
sering terjadi pada awal perdarahan dan mungkin bahkan menjadi
gejala yang tampak. Lokasi lobar adala prediktor independen kejang
awal. Meskipun, tidak ada uji coba secara acak yang membahas efek
dari profilaksis antiepilepsi pada pasien ICH, American Heart
Association menyarankan profilaksis antiepileptik dapat
dipertimbangkan untuk 1 bulan pada pasien dengan perdarahan
intraserebral dan dihentikan jika tidak ada kejang. Manajemen akut
kejang memerlukan pemberian lorazepam intravena (0,05-0,10mg/kg)
diikuti oleh pemuatan intravena dosis phenytoin atau fosphenytoin
(1520mg/kg), asam valproik (15–45 mg / kg), atau fenobarbital (15–20
mg / kg). Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis
diturunkan bertahap selama 3 hari.
5. Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya
ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada
satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh
22

vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi
lancar.
e. Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah
bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan
perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada
awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat,
jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan
hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila
tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal dan volume
urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui
pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan
cairan eletrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian
obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic hormon
(SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula darah, ureum,
kreatinin dan osmolalitas darah.

f. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali
normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara
lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah
danakan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan perenterai
pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai,
sebanyak 2000-3000 kalori/hari
g. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early
epilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early
epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika
ada fraktur impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang
Panjang. Obat-obat yang dapat diberikan adalah:
o Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
23

o Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit.


Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan
tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena
tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain
misalnya Fenitoin.
Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling
cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral
Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko
kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan
penderita dengan amnesia post traumatik panjang
9. Komplikasi sistematik o Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko
tinggi infeksi seperti: pada fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur
basis kranii
o Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan
menambah kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh
karena itu setiap kenaikan suhu harus diatasi dengan menghilangkan
penyebabnya, disamping tindakan menurunkan suhu dengan kompres

o Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi


gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadaan ini
dapat dicegah dengan pemberian antasida atau bersamaan dengan H2
reseptor bloker.
o Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia,
hipo hiperagregasi trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut
walaupun ada yang bersifat sementara perlu cepat ditanggulangi agar
tidak memperparah kondisi pasien.
i. Neuroproteksi
Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya
kerusakan jaringan saraf, memberi waktu bagi kita untuk memberikan
neuroprotektan. Manfaat obat-obat tersebut masih diteliti pada penderita cedera
kepala berat antara lain, antagonis kalsium, antagonis glutama dan sitikolin.
24

Target utama dan cara dari neuroproteksi

Tujuan utama dari pengobatan pada cedera kepala adalah menghilangkan


atau meninimalkan kelainan sekunder, karena itu pengendalian klinis dan
penanggulannya sangat penting. Adanya jarak walaupun singkat antara proses
primer dan sekunder harus digunakan sebaik mungkin, waktu tersebut
dinamakan jendela terapi.

Tekanan darah
Peningkatan tekanan darah terlihat pada 46% -56% pasien dengan ICH.
Masih belum jelas apakah meningkat tekanan darah secara langsung menyebabkan
ekspansi hematoma tetapi penelitian telah menunjukkan peningkatan sistolik,
diastolik, dan MAP dikaitkan dengan hasil yang buruk di ICH. Bagaimanapun,
biasanya dokter enggan mengobati hipertensi pada pasien ICH karena takut
pengobatan tekanan darah yang terlalu agresif dapat menurun tekanan perfusi otak
dan secara teori memperburuk cedera otak, khususnya dalam penanganan
peningkatan TIK. Pada 1999, sebuah kelompok khusus terdiri dari layanan
kesehatan profesional dari American Heart Association membahas manajemen
perdarahan intraserebral. Hal tersebut direkomendasikan mempertahankan tekanan
arteri rata-rata di bawah 130 mmHg pada pasien dengan riwayat hipertensi. Pada
pasien dengan peningkatan TIK yang memiliki monitor TIK, tekanan perfusi
serebral (MAP-ICP) harus dijaga >70 mmHg.
25

Profilaksis deep vein trombosis


Keadaan imobilisasi karena paresis ekstremitas merupakan predisposisi
pasien ICH terjadinya deep vein trombosis dan emboli paru. Alat kompresi
pneumatik intermiten dan stoking elastis harus dipersiapkan. Sebuah uji coba
prospektif oleh Boeer dan rekannya bahwa menggunakan heparin dosis rendah
pada hari ke 2 di rumah sakit untuk mencegah tromboebolik komplikasi pada
pasien ICH secara signifikan menurunkan insiden emboli paru dan tidak ada
peningkatan rebleeding.

Pembedahan
Indikasi operasi pada lesi parenkim otak hematom intraserebral akibat
trauma adalah:
- Terdapat desit neurologis yang progresif.
- Terdapat peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter.
- Cushing reflex (hipertensi, bradikardi, tanda-tanda gangguan napas).
- Nilai GCS 6-8 dengan kontusio >20 cm di daerah frontal atau temporal
denganmidline shift 5 mm dan ukuran lesi 50cm.

Pasien dengan lesi massa parenkim tetapi tidak memperlihatkan tandatanda


defisit neurologis, tekanan intrakranial terkontrol dan tidak ditemukan kelainan
pada CT-scan, dapat diterapi secara non-operatif dan dengan monitoring
pencitraan serial. Salah satu indikasi utama pembedahan pada hematoma
intraserebral adalah untuk menurunkan tekanan intrakranial. Walaupun belum ada
data perbandinan mortalitas antara pasien yang dioperasi dan tidak, beberapa
penelitian menunjukkan penurunan tekanan intrakranial yang signifikan
pascaoperasi. Operasi pada 48jam pertama juga menunjukkan perbedaan hasil
yang signifikan dibandingkan dengan operasi yang dilakukan lebih dari 48 jam
setelah trauma. Hasil lebih buruk didapatkan 3 kali lebih banyak pada pasien yang
hanya mendapatkan terapi obat-obatan dibandinkan dengan yang dioperasi.

2.6 Diagnosis diferensial


Diagnosis diferensial meliputi transient ischemic attack (TIA), frank
ischemic stroke dan reversible ischemic neurologic deficit (RIND). Kondisi
26

perdarahan intracranial seperti hematom epidural, hematom subdural, dan


perdarahan di sekitar massa dapat dipertimbangkan.2

Penyebab infeksius meliputi empyema subdural, empyema epidural, abses


otak, meningitis, ensefalitis, maupun sepsis.2

Hipoglikemia dapat memiliki gejala klinis yang menyerupai perdarahan


intraserebral dan kadar gula darah mesti diperoleh pada pasien dengan gejala
perubahan status mental akut atau defisit neurologis fokal yang baru.2

Intoksikasi obat-obatan juga dapat menjadi diagnosis banding. Gejala


intoksikasi dapat terjadi sebagai akibat reaksi antar obat. Pasien dengan gejala
sympathomimetic, cholinergic, anticholinergic, atau serotonin syndrome dapat
datang dengan perubahan status mental dan kejang. Intoksikasi alcohol atau
sindrom withdrawal dapat memiliki gejala yang serupa.2

Kondisi neurologis yang mendasari seperti kejang atau keadaan post-ictal


harus dipertimbangkan. Pasien dengan gejala migraine berat atau dengan variasi
lainnya dapat menjadi masalah dalam penentuan diagnosis; namun, pencitraan
dapat dilakukan pada pasien ini.2 Dehidrasi signifikan, hypernatremia, maupun
hiponatremia dapat memiliki gejala perubahan status mental.2

Reversible cerebral vasoconstriction syndrome merupakan sebuah


spectrum penyakit (seperti postpartum angiopathy, migranous vasospasm, dan
drug-induced arteritis (SSRI, triptan, tacrolimus, cyclophosphamide, IVIG,
bromocryptin, dan lain-lain) yang ditandai dengan episode thunderclap headache.3
Kriteria penegakan diagnosis RCVS memiliki fitur: vasokonstriksi multifocal
segmental serebral (dapat dibuktikan melalui kateter angiography konvensional,
CT angiography, atau MRA); nilai CSF yang normal atau hampir normal ([CSF]
normalglucose, <10leukocytes, dan protein<80mg/dL); thunderclap headache
dengan gejala defisit neurologis atau tidak; vasospasm yang reversible dalam 12
minggu; tidak adanya bukti aneurisma.3
27

Kondisi psikis, katatonia, maupun psikosis dapat ditemukan sebagai


perubahan status mental. Malingering juga dapat dipertimbangkan sebagai
diagnosis eksklusi.2

Diferensial diagnosis intracranial hiperdense yang lebih putih dari brain


pada CT scan non contrast meliputi perdarahan akut, kalsium, pembuluh darah
dengan laju aliran yang lambat, dan melanoma (sedikit hiperdense dikarenakan
adanya melanin).2
Tabel 2. Diagnosis Diferensial ICH3

2.7 Komplikasi2
1) Ekspansi hematoma
2) Perihematomal edema dengan peningkatan tekanan intrakranial
3) Ekstensi perdarahan intraventrikular dengan hidrosefalus
4) Kejang
5) DVT
6) Hiperglikemia
7) Peningkatan tekanan darah
8) Demam
9) Infeksi

2.8 Prognosis1

Tiga prediktor utama yang menentukan prognosis pada kasus perdarahan


intraserebral adalah ukuran perdarahan, lokasi dari perdarahan dan status
kesadaran dari penderita. Ekspansi perdarahan juga mengindikasikan prognosis
28

yang buruk dengan hematoma ukuran yang luas. Ukuran dan lokasi lesi pada
gambaran imaging sangat bermanfaat sebagai informasi prognosis. Pada
perdarahan putaminal, lesi lebih dari 140 mm² pada satu slice menunjukkan
outcome yang buruk. Pada perdarahan thalamus, lesi lebih dari 3.3 cm dengan
diameter yang maksimal juga menunjukkan prognosis yang buruk, begitu juga
dengan lesi serebellar lebih dari 3 cm. Adanya hidrosefalus pada penderita dengan
perdarahan supratentorial juga sebagai tanda prognosis yang buruk.

Pada saat fase akut perdarahan intraserebral, efek massa yang berasal dari
hematoma menunjukkan risiko yang lebih besar untuk terjadinya kematian
dibandingkan ukuran stroke iskemik. Tidak seperti perdarahan subarakhnoid,
pengulangan perdarahan intraserebral selama penyakit akut jarang terjadi. Fakta
yang sederhana ini memberikan petunjuk untuk pengobatan perdarahan
intraserebral dimana secara agresif untuk mempertahankan perluasan hematoma
untuk mencegah kematian dan mengurangi morbiditas.

BAB 3 STATUS PASIEN


Identitas Pasien
Nama : Sumitro
No RM : 77.48.00
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 18-03-1991
Usia : 28 tahun
Alamat : Sempung Pollung Lae Parira, Dairi

Anamnesis

Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran


: Penurunan kesadaran dialami sejak 1 hari sebelum
Telaah masuk
rumah sakit. Penurunan kesadaran dialami setelah pasien mengalami kecelakaan
sepeda motor di Sidikalang, Dairi. Kronologis kecelakaan tidak jelas. Riwayat
29

kejang dan riwayat muntah menyembur tidak dijumpai. Terdapat luka pada wajah
sebelah kiri dan perdarahan aktif dari luka robek tersebut. Pasien sudah diberikan
tatalaksana awal di RS sidikalang, kemudian dirujuk ke RS Herna Medan, lalu
kemudian dirujuk ke RSUP H. Adam Malik.
RPT : Tidak Jelas
RPO : IVFD R-Sol, Inj. Ceftriaxone

Pemeriksaan Fisik
Status Presens
Sensorium : E2M5V3
Tensi : 130/90mmHg
Nadi : 100 x/menit
Frekuensi Nafas : 28 x/menit
Temperatur : 37,5oC

Status Generalisata
Kepala
Mata : Pupil anisokor bulat 3 mm/-, reflek cahaya +/-
Telinga : dalam batas normal
Hidung : Luka robek dari hidung ke sisi wajah sebelah kiri 3x2
cm
Mulut : Sianosis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-) dan tiroid (-)
Toraks
Inspeksi : Simetris Fusiform, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Stem Fremitus ka = ki
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Suara pernafasan : vesikuler
Suara Tambahan :ronki - / -
Jantung : S1, S2 (+) N, murmur (-)
HR= 100 x/menit; RR = 28x/menit
30

Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, H/L/R tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Genitalia : Laki-laki . Dalam batas normal
Inguinal
Inspeksi : Dalam batas normal
Palpasi : Dalam batas normal, tidak teraba adanya benjolan
Anorectal
Digital Rectal Examination : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
Superior : akral dingin, edema (-/-), CRT 3 detik
Inferior : akral dingin, edema (-/-), CRT 3 detik

STATUS NEUROLOGIS
Sensorium : GCS E3M5V2
Pupil : anisokor, diameter 2 mm/-
Motorik : lateralisasi (-)
Sensorik : Tidak dilakukan pemeriksaan
Refleks Primitif : (-)

TANDA PENINGKATAN INTRAKRANIAL

Nyeri kepala : Tidak jelas


Muntah proyektil : Tidak jelas
Pupil Edema : Tidak dilakukan pemeriksaan

TANDA PERANGSANGAN MENINGEAL


Kaku kuduk : Tidak
dilakukan
Brudzinski I : Tidak
31

dilakukan
Brudzinski II : Tidak
dilakukan
Brudzinski III : Tidak
dilakukan
Brudzinski IV : Tidak
dilakukan
Kernig sign : Tidak
dilakukan
PEMERIKSAAAN NERVUS KRANIALIS
CN I : Tidak dilakukan pemeriksaan
CN II : Pupil anisokor, φ 2mm/-, RC +/-
Funduscopy ODS : Tidak dilakukan pemeriksaan
CN III,IV,VI : Tidak dilakukan pemeriksaan
CN V : Refleks masseter (+)
CN VII : Refleks stapedial (+)
CN VIII : Refleks stapedial (+)
CN IX,X : Sulit dinilai
CN XI : Tidak dilakukan pemeriksaan
CN XII : Sulit dinilai

Rencana

- Darah Lengkap, KGD, Elektrolit, Faal Hemostasis, Fungsi Ginjal


- Head CT Scan
- X-Ray Thorax PA/L

X-Ray Cervical AP/L

Hasil Laboratorium (Tgl : 18-03-2019)

Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan


Hematologi

Hemoglobin (HGB) 8.2 g/dL 11.8 – 15.6


Eritrosit (RBC) 2.71 juta/ μL 4.50 – 6.5

Leukosit (WBC) 11590/ μL 4,500 – 13,500


32

Hematokrit 24 % 33 – 45

Trombosit (PLT) 181,000-521,000


32.000/μL
Ginjal

BUN 23 9 – 21
Ureum 49 mg/dL 19 – 44

Kreatinin 1.02 mg/dL 0,7 – 1,3

Elektrolit

Natrium 138 mEq/L 135-155


Kalium 5.5 mEq/L 3.6-5.5
Klorida 105 mEq/L 96-106

KGD 134 mg/dL < 200


Faal Hemostasis
PT 14.3 detik 14 detik
INR 1.02 0.8-1.3
APTT 26 detik 33 detik
TT 11.2 detik 18 detik

Pemeriksaan Lainnya Radiologi


:

CT SCAN 20/03/2019
33

Kesimpulan : SAH + fraktur pada maksilaris kiri, zygoma kiri dan arcus
zigomatikum kiri + fraktur pada dinding sinus maksilaris kanan + hematom di dalam
seluruh sinus paranasalis + subgaleal hematom
pada frontotemporaparietalis kiri.

Diagnosa Kerja : Traumatic ICH (R) Temporal

Terapi

- Head Up 30-450 (usahakan leher tidak tertekuk)


34

- O2 nasal canule 1-2 liter/menit


- IVFD Ringer Solution 20 gtt/i
- Inj. Ranitidine 50 gr/12 jam - Inj. Seftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj. Phenitoin 150 mg/8 jam
- Drip Manitol 125 cc/6 jam

Rencana :
- Rawat Konservatif.

BAB 4
FOLLOW UP

Follow up 19/03/2019
S Penurunan Kesadaran
O A : Gurgling
B : Spontan, sesak (+)
C : Akral dingin HR 100
D : GCS E3M5V2
Pupil anisokor d= 2mm/-, RC +/-
A HI GCS 10
P R/ Cek DL,elektrolit, KGDs, Fungsi Ginjal, Faal Hemostasis Foto
torax, head CT-Scan

Follow up 19/03/2019
S Penurunan Kesadaran
O A : Gurgling, suction
B : Spontan, sesak (+)
C : Akral dingin HR 100
D : GCS E3M5V2
Pupil anisokor d= 2mm/-, RC +/-
A Traumatic ICH (R) Temporal
P Rawat Konservatif
IVFD R Sol 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Inj. Ketolorac 30 mg/8 jam
Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam
Drip Manitol 250 cc loading dilanjutkan sisanya 150 cc/6 jam Pasang
35

Kateter dan NGT

Follow up 20/03/2019
S Penurunan Kesadaran, delirium
O A : Clear
B : Spontan, sesak (+)
C : Akral dingin HR 100
D : GCS E3M5V2
Pupil anisokor d= 2mm/-, RC +/-
A Traumatic ICH (R) Temporal
P Rawat Konservatif
IVFD R Sol 20 gtt/I
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Inj. Ketolorac 30 mg/8 jam
Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
Bolus Diazepam 1 amp dicampur 10 cc NaCl
Transfusi PRC 2 bag
R/ Konsul Psikiatri
Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam
Drip Manitol 250 cc loading dilanjutkan sisanya 150 cc/6 jam Pasang
Kateter dan NGT

Follow up 21-24/03/2019
S Penurunan Kesadaran, delirium
O A : Clear
B : Spontan, RR 27 x/i , spO2 97%
C : TD 130/90, HR 126
D : GCS E3M5V2
Pupil anisokor d= 3mm/2mm, RC +/-
A Traumatic ICH (R) Temporal
P Rawat Konservatif
IVFD R Sol 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Inj. Ketolorac 30 mg/8 jam
Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
Bolus Diazepam 1 amp dicampur 10 cc NaCl
Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam
Cek Darah Lengkap post transfusi

Hasil Lab 21/03/2019


Hb/Leu/Plt/Ht:8,5/2.9/10610/109000/25
36

BAB 5DISKUSI
KASUS

Teori Diskusi
Definisi

Etiologi : Pada pasien ini etiologi terjadinya


1) Hipertensi perdarahan intraserebral adalah trauma
kapitis.
2) Non-Hipertensi :
 Trauma Kapitis
 AVM
 Aneurisma
 Tumor Otak
 Angiloid Angiopati
37

Penatalaksanaan Penatalaksanaan

Penanganan yang dapat diberikan: - R sol 20 gtt/i

-Penatalaksanaan Peningkatan - Ceftriaxone 1 gr/12 jam


Tekanan Intrakranial (TIK)
- Ranitidin 50 mg/12 jam
1. Hiperventilasi
- Ketorolac 30 mg/8 jam
2. Drainase
- Phenytoin 100 mg/8 jam
3. Terapi diuretik/Manitol
- Manitol 250cc loading –
4. Terapi antikonvulsan Selanjutnya 125cc/6jam

5. Posisi Tidur.

- Keseimbangan cairan
elektrolit
- Nutrisi
- Epilepsi/kejang
- Komplikasi sistematik o
Infeksi: profilaksis antibiotik
o Demam

o Gastrointestinal o

Kelainan hematologi

- Neuroproteksi
- Tekanan darah
- Profilaksis deep vein trombosis
Pembedahan
38

BAB 6 KESIMPULAN

Bapak S, laki-laki berusia 28 tahun, didiahnosa dengan Traumatic ICH (R)


Temporal. Pasien dirawat di RSUPH H. Adam Malik dan ditatalaksana dengan
terapi konservatif, IVFD R Sol 20 gtt/i, Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam, Inj.
Ketolorac 30 mg/8 jam, Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam, Bolus Diazepam 1 amp
dicampur dalam 10 cc NaCl, dan inj. Phenitoin 100 mg/12 jam.
39
40

DAFTAR PUSTAKA
1. Jusman M. Perdarahan Intraserebral [skripsi]. Universitas Sumatera Utara. 2019 [cited
25 Maret 2019]. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/57662/Chapter%20II.pdf?
seque nce=5&isAllowed=y
2. JS Balami, AM Buchan. Complications of Intracerebral Hemorrhage [Internet]. NCBI.
2012 [cited 25 Maret 2019]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22172625
3. Anderson A & Huff J. S. Intracerebral Hemorrhage. Relias Media: 2008. Available
from: https://www.reliasmedia.com/articles/13304-intracerebral-hemorrhage
4. Greenberg M. S. Handbook of Neurosurgery. 8th ed. Thieme. 2010. 1330-1338 p.
5. Aguilar M. I. & Brott T. G. Update in Intracerebral Hemorrhage. SAGE. 2011.
150151 p.
6. Herring W. Learning Radiology Recognizing the Basics. 3rd ed. Elsevier. 2016.
285288 p.
7. Japardi I. Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut. 2002. Tersedia pada:
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi37%20.pdf
8. Sahni R, Weinberger J. Management of Intracerebral Hemorrhage. Vascular Health
and Risk Management 2007:3(5) 701–709

Anda mungkin juga menyukai